Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�e-ISSN
: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
KUALITAS HIDUP WARGA BINAAN
PEMASYARAKATAN (WBP) YANG MENGIKUTI LAYANAN REHABILITASI DI
LAPAS NARKOTIKA JAKARTA BERDASARKAN WHOQOL-BREF
Putri Herdriani, Arthur Josias Simon Runturambi
Sekolah Kajian Stratejik
dan Global, Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Kasus penyalahguna narkotika yang berada di lapas terus mengalami peningkatan dimana seharusnya menurut Undang � Undang dan perturan lainnya adalah di rehabilitasi. Oleh karena itu diselenggarakannya layanan rehabilitasi di lapas. Kualitas hidup merupakan indikator penting untuk menilai keberhasilan
pembinaan WBP di lembaga pemasyarakatan, dalam hal ini adalah
melalui layanan rehabilitasi narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi kualitas hidup warga binaan
pemasyarakatan di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta. Peneliti menggunakan pendekatan campuran (mixed
methods) dengan metode ekplanasi sekuensial (Explanatory
design), menggunakan data sekunder sebanyak 500 kuesioner
WHOQOL-BREF. Teknik analisis data menggunakan
analisis faktor dan wawancara kepada 2 orang WBP untuk melihat gambaran
layanan rehabilitasi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Hasil penelitian menunjukkan adanya empat faktor
yang mempengaruhi kualitas hidup WBP, yaitu faktor 1 (hubungan dengan lingkungan) mampu menjelaskan sebesar 30,349 persen, faktor 2 (kesehatan psikologis) sebesar 11,337 persen, faktor 3 (hubungan dengan soSial) sebesar 6,175 persen, faktor 4 (kesehatan fisik) sebesar 5,429 persen. Selain itu layanan rehabilitasi secara keseluruhan berpengaruh terhadap kualitas hidup WBP
yang lebih baik sebelum mengikuti layanan rehabilitasi.
Kata Kunci: rehabilitasi narkotika, kualitas hidup, warga binaan pemasyarakatan, WHOQOL-BREF
Abstract
Cases
of narcotics abusers who are in prisons continue to increase where according to
the law and other regulations, they should be rehabilitated. Therefore,
rehabilitation services are held in prisons. Quality of life is an important
indicator to assess the success of fostering prisoners in correctional
institution, in this case is the narcotics
rehabilitation. This study aims to analyze the factors
that affect the quality of life of prisoners in the Narcotics Prison Class II A Jakarta.
Researchers used a mixed approach (mixed methods) with sequential explanation
(Explanatory design) using the WHOQOL-BREF questionnaire with a number of
secondary data as much as 500 WBP. The data analysis technique used factor
analysis and interviews with two prisoners to see a
description of the narcotics rehabilitation
that affect the quality of life. The results showed that there were four
factors that influenced the quality of life of the prisoners, first factor (relationship with the environment) was
able to explain 30.349 percent, second factor (psychological health) was 11,337
percent, third factor (social relationship) was 6.175 percent, fourth factor
(health physical) by 5,429 percen and the prisoners have a
better quality of life after participating in narcotics rehabilitation..
Keywords: narcotics rehabilitation, quality of
life, prisoners, WHOQOL-BREF
Pendahuluan
Maslah penyalahgunaan narkotika masih terus menjadi ancaman dan tantangan
bagi negara di seluruh dunia termasuk di Indoneisa. Pada tahun 2019 data dari UNODC (United
Nations Office and on Drugs and Crime) menunjukkan
sebanyak 35 juta orang di seluruh dunia bermasalah dengan kecanduan akibat penggunaan narkoba (UNODC, 2019).
Di Indonesia sendiri berdasarkan
data Indonesia Drugs Report (IDR) 2019
Badan Narkotika Nasional (BNN) angka
prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 3,2 % (setara 2.297.492 jiwa) untuk kelompok pelajar dan mahasiswa, sedangkan pada kelompok pekerja sebesar 2.1%� (setara 1.514.037 jiwa) (BNN, 2019).
Kemudian data IDR tahun
2020 BNN angka prevalesi
yang pernah pakai sebanyak 2,40% atau setara dengan 4.534.744 jiwa dan dalam satu tahun terakhir
yang terpapar memakai narkotika sebanyak 3.419.188 jiwa (BNN, 2020).
Paradigma terhadap
pecandu, penyalahguna dan korban
penyalahguna narkotika seiring perkembangannya telah
berubah, mereka tidak lagi dianggap seorang pelaku kriminal melainkan sebagai orang
yang sedang sakit dan kecanduan (adiksi) sehingga perlu diberikan layanan rehabilitasi. Melalui
Undang - Undang RI Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika, Indonesia memberlakukan tindakan bagi pelaku produsen, impor dan ekspor ilegal,
serta peredaran gelap narkotika adalah dengan hukuman berat sedangkan terhadap para pecandu, penyalahguna dan korban
penyalahgunaan narkotika adalah dengan rehabilitasi.
Di
Indonesia
untuk kasus tindak pidana dan penyalahgunaan narkotika di
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)
dan Rumah Tahanan (Rutan) terus
mengalami peningkatan. Hal
tersebut tidak terlepas dari persoalan
permintaan (demand) dan kesediaan
pasokan (supply) narkotika
yang secara agresif dan terus menerus terjadi
di lingkungan masyarakat umum. Selanjutnya data menunjukan bahwa jumlah tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan
(WBP) kasus narkotika sebagai pengguna khususnya juga mengalami
peningkatan yaitu,� pada tahun 2014 sebesar 28.609 lalu tahun 2018 menjadi sebesar 41.979 (Direktorat Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Kemenkumham, 2018).
Kemudian pada tahun 2019 jumlahnya juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 49.983 (Ditjenpas, 2020).
Oleh
karena itu untuk tetap memenuhi hak para WBP penyalahguna narkotika mendapatkan rehabilitasi agar
dapat pulih dan mempertahankan
kondisi kesehatan yang meliputi aspek biologis, psikologis dan sosial dari ketergantungan
terhadap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta memiliki kualitas
hidup yang baik untuk mempersiapkan
WBP
nantinya dapat menjalankan fungsi sosialnya dilingkungan masyarakat, Kementerian
Hukum dan HAM RI khususnya Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pemasyarakatan) mengambil langkah - langkah strategis dalam rangka memberikan pelayanan dan penanganan terhadap WBP kasus narkotika yang secara spesifik memiliki kekhususan dalam pembinaannya yaitu dalam program layanan rehabilitasi narkotika kepada
WBP (Kemenkumham, 2017).
WBP yang menjalani
hukuman di lapas tentunya tidak terlapas dari adanya
pembatasan kebebasan yang mereka terima atas
konsekuensi dari tindakan mereka, termasuk narapidana penyalah guna narkotika.
Menurut WHO (World
Health Organization) dalam pendekatan
rehabilitasi, penahanan harus membantu individu untuk menjalani kehidupan kembali ke masyarakat,
bukan membuat mereka menderita dan mengurangi kualitas hidupnya (St�ver, H., Kastelic, 2014).
Selanjutnya
organisasi dunia, yaitu PBB mengesahkan Standard
Minimum Rules for The Treatment of Prisoners yang menjadi pedoman seluruh
negara dalam penyelenggaraan pemasyarakatan narapidana (Tawawi, 2020). Pedoman
tersebut hakikatnya adalah bentuk pelayanan sosial yang memberikan acuan
kerangka kerja bagi penanganan tahanan dan narapidana serta manajemen lembaga
pemasyarakatan. Butir � butir yang terdapat pada standar minimum tersebut disusun secara lengkap mewakili kebutuhan
� kebutuhan para WBP selama berada di dalam lembaga pemasyaraatan, seperti hak mendapatkan
kebutuhan dasar, sarana prasarana yang layak, perawatan kesehatan fisik dan
psikis dan kesejahteraan lainnya. Sehingga diharapkan para WBP memiliki
kualitas hidup yang baik meskipun sedang berada dalam lembaga pemasyarakatan
karena tetap di berikan hak � hak nya. Adapun butir - butir dalam pedoman
tersebut yang menjelaskan tentang pemberian layanan agar WBP mendapatkan
kualitas hidup yang baik dan kembali berfungsi sosial ke lingkungan masyarakat
secara bertanggung jawab antara lain sebagai berikut (UNODC, 2015):
a.
Pemenjaraan dan tindakan -
tindakan lain yang mengakibatkan terputusnya pelaku pelanggaran dari dunia luar
adalah hal yang menimbulkan penderitaan karena tindakan tersebut merampas dari
orang yang bersangkutan hak untuk menentukan nasib sendiri, yaitu dengan
mencabut kebebasannya. Oleh karena itu, sistem pemenjaraan tidak boleh memperburuk
lagi penderitaan yang sudah melekat pada situasi terpenjara itu, kecuali bentuk
penegakan disiplin (butir 57)
b.
Hukuman penjara
dipergunakan untuk memastikan bahwa sekembalinya pelaku pelanggaran tersebut ke
masyarakat, dia tidak saja mau tetapi mampu hidup sebagai warga yang taat hukum
dan mencukupi kebutuhan diri sendiri (butir 58).
c.
Lembaga pemasyarakatan
perlu memanfaatkan semua cara dan bentuk bantuan yang tepat serta
tersedia
di bidang pembinaan, pendidikan, moralitas, kerohanian, dan lainnya. Selain itu
perlu
berupaya menerapkan cara - cara dan bentuk - bentuk bantuan tersebut sesuai
dengan kebutuhan penanganan dari para narapidana secara individual (butir 59).
d.
Penanganan terhadap
narapidana perlu ditekankan bukan pada pengucilannya dari masyarakat tetapi
pada keberlanjutan keikutsertaan mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
karena itu badan - badan sosial kemasyarakatan membantu petugas lembaga pemasyarakatan
dalam menjalankan tugas rehabilitasi sosial narapidana (butir 61).������
e.
Penanganan terhadap orang
yang divonis dengan pidana penjara atau dengan tindakan lain serupa harus bertujuan membentuk
dalam diri narapidana
kemauan untuk hidup sebagai warga yang taat hukum dan dapat mencukupi kebutuhan
diri sendiri setelah pembebasan,
serta membuatnya layak untuk hidup. Penanganan terhadap mereka
harus sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan rasa harga dirinya dan
mengembangkan rasa tanggung jawabnya (butir 65).
f.
Memisahkan para narapidana
berdasarkan
catatan kriminalitasnya atau karakter buruknya yang berpotensi memberikan
pengaruh buruk. Hal tersebut merupakan cara untuk memfasilitasi penanganan dalam
rangka rehabilitasi sosial mereka agar dapat berjalan dengan baik (butir 93).
Kemudian
organisasi kesehatan dunia
(WHO) mendefinisikan kualitas
hidup sebagai persepsi individu dari posisi mereka
dalam kehidupan, dalam konteks sistem
budaya dan nilai dimana mereka hidup
dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka,
harapan, standar, dan kekhawatiran. Pengertian tersebut memiliki pandangan yang luas mengenai kesehatan mental seseorang, baik kesehatan fisik, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi, dan hubungan mereka dengan fitur - fitur
yang menonjol dilingkungan mereka. Untuk melihat
kualitas hidup warga binaan pemasyarakatan
tersebut mengacu pada
WHOQOL-BREF terdiri dari 24
facets (aspek) yang mencakup
4 domain dan terbukti dapat
mengukur kualitas hidup seseorang, yaitu (Laratmase, 2016)
:
1. Kesehatan
fisik, terdiri dari tujuh aspek : aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada
bahan-bahan medis atau pertolongan medis, tenaga dan kelelahan, mobilitas, rasa
sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, serta kapasitas berkegiatan.
2. Kesehatan
Psikologis, terdiri dari enam aspek : body
image dan penampilan, perasaan-perasaan negatif dan positif, kepercayaan
personal, pikiran, belajar, memori dan kosentrasi.
3. Hubungan
Sosial, terdiri dari tiga aspek : hubungan personal, dukungan sosial dan
aktivitas seksual.
4. Hubungan
dengan Lingkungan, terdiri dari delapan aspek : sumber - sumber finansial,
kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial
(aksesibilitas dan kualitas), lingkungan tempat tinggal, kesempatan untuk
memperoleh informasi dan belajar keterampilan baru, kesempatan untuk memiliki waktu luang serta kondisi
lingkungan secara
fisik.
Lapas Narkotika Klas II A Jakarta merupakan salah satu yang melaksanakan rehabilitasi narkotika dan merupakan lapas yang memiliki sarana prasarana cukup baik, salah satunya adalah memiliki blok khusus atau terpisah untuk WBP yang mengikuti layanan rehabilitasi. Layanan rehabilitasi medis yang diberikan adalah penanganan kondisi gawat darurat narkotika, detoksifikasi, terapi simtomatik, terapi komorbiditas, terapi rumatan, dan terapi non rumatan. Sedangkan layanan rehabilitasi sosial yang diberikan adalah dalam bentuk program Therapeutic Community, Criminon, dan Intervensi Singkat (Ditjenpas, 2020).
Layanan
rehabilitasi narkotika di lapas mencakup
layanan rehabilitasi medis dan sosial, durasi layanan selama 6 bulan. Layanan rehabilitasi sosial menggunakan metode atau program terapi komunitas/ TC (Therapeutic Community) yang dimodifikasi berdasarkan kebutuhan. Program tersebut terdiri dari kegiatan
evaluasi fisik dan psikis yang dilaksanakan selama 2 minggu. Lalu program
inti dilaksanakan selama 19
minggu dengan fokus kegiatan pada perubahan perilaku serta kegiatan persiapan pasca rehabilitasi yang dilaksanakan selama 3 minggu. Dalam melaksanakan layanan rehabilitasi terdapat tiga aspek
yang harus dipenuhi yaitu petugas layanan,
program yang diberikan dan sarana
prasarana yang mendukung kegiatan.
Gambar 1
Komponen SDM Layanan Rehabilitasi
Narkotika di Lapas
Sumber: Buku Standar Penyelenggara Layanan Rehabilitasi Pemasyarakatan Tahun 2019
Gambar 2
Komponen Program Layanan Rehabilitasi Narkotika di Lapas
Sumber : Buku Standar Penyelenggara Layanan Rehabilitasi Pemasyarakatan Tahun 2019
Gambar 3
Komponen Sarana dan Prasaranan
Rehabilitasi Narkotika
Sumber: Buku Standar Penyelenggara Layanan Rehabilitasi Pemasyarakatan Tahun 2019
Penelitian
sebelumnya menemukan bahwa peningkatan kualitas hidup pada saat pembebasan dapat dilihat
sebagai indikator keberhasilan rehabilitasi dan juga pengurangan risiko
pengulangan kejahatan kembali (Muller & Bukten, 2019).
Kemudian kondisi psikologis (psychological
distress) dan fisik narapidana juga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka (Muller & Bukten, 2019).
Selain itu
hal tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakuan oleh Anggarwati dan
Nawangsih bahwa pemberian layanan komprehensif (rehabilitasi) akan
mengembangkan pribadi klien dan mampu memperoleh kesejahteraan fisik, emosional
dan sosial sesuai dengan kemampuan dalam dirinya karena merupakan personal
values and aspiration dalam membentuk kualitas hidup (Anggarwati & Nawangsih, 2016).
Selanjutnya dari Prison Climate
Scales (PCS) didapatkan beberapa
hal yang membuat kualitas hidup narapidana baik, yaitu keamanan, hubungan petugas
dan
narapidana yang cukup positif, adanya aktivitas yang bermanfaat
serta penjara dengan keamanan minimal memberikan lebih banyak kebebasan
bergerak bagi para tahanan (Van Ginneken et al., 2018).
����������� Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang faktor - faktor yang mempengaruhi kualitas hidup WBP di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta. Selanjutnya penelitian ini dimaksudkan agar menjadi dasar atau referensi baik dalam evaluasi
penyelenggaraan rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan di
Lapas Narkotika Klas II A Jakarta maupun
dalam merencanakan program
- program dan kebijakan selanjutnya sebagai
upaya memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan warga binaan pemasyarakatan.
Metode
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan pendekatan campuran (mixed
methods) dengan metode Ekplanasi Sekuensial (Explanatory
design), yaitu mengumpulkan
data kuantitatif yang dianalisa
dengan menggunakan analisis faktor
dan menggunakan hasilnya untuk pengumpulan data kualitatif sebagai tindakan lanjutan (Sugiyono, 2015).
Peneliti
menggunakan data sekunder berupa kuesioner WHOQOL-BREF yang telah diisi oleh
500 WBP peserta rehabilitasi pada gelombang ke 2 (dua) di
Lapas Narkotika Kelas II A Jakarta tahun 2020. Dilakukan uji validitas terlebih dahulu terhadap
data tersebut sebelum melakukan analisis faktor. Analisis faktor digunakan untuk menganalisis adanya faktor � faktor yang dapat
mempengaruhi kualitas
hidup WBP. Selanjutnya peneliti
juga melakukan wawancara kepada dua
orang WBP untuk melihat gambaran layanan
rehabilitasi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup WBP.
Setelah
data terkumpul lalu diolah dan dianalis untuk mendapatkan jawaban akhir mengenai
masalah yang diteliti.� Dalam hal analisis data dilakukan proses penyederhanaan
dan interpretasi data. Pengujian
keabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber dengan membandingkan
informasi yang didapat dari sumber yang berbeda.
Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini akan dipaparkan hasil analisis data terkait
kualitas hidup WBP Lapas Narkotika Klas II A Jakarta dan juga pengaruh layanan
rehabilitasi terhadap kualitas hidup WBP Lapas Narkotika Klas II A Jakarta.
Sebelum dilakukan analisis data, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas
terhadap kuesioner WHOQOL-BREF. Hasil uji tersebut terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Hasil Deskriptif dan Uji Validitas, Reliabilitas dan Kecukupan Data
Item |
Mean |
Corrected Item-Total Correlation |
Cronbach�s Alpha if Item Deleted |
Anti-Image Correlation |
Cronbach�s Alpha |
KMO dan Bartlett�s |
Variabel Independen |
|
|||||
Q3 |
3.912 |
0.185 |
0.893 |
0.690 |
0.891 |
0.900 (0.000) |
Q4 |
4.222 |
0.181 |
0.894 |
0.743 |
||
Q5 |
3.214 |
0.546 |
0.885 |
0.927 |
||
Q6 |
3.946 |
0.430 |
0.888 |
0.915 |
||
Q7 |
3.456 |
0.605 |
0.884 |
0.929 |
||
Q8 |
3.448 |
0.594 |
0.885 |
0.906 |
||
Q9 |
3.402 |
0.602 |
0.884 |
0.932 |
||
Q10 |
3.202 |
0.539 |
0.886 |
0.886 |
||
Q11 |
3.684 |
0.563 |
0.885 |
0.900 |
||
Q12 |
3.936 |
0.535 |
0.886 |
0.921 |
||
Q13 |
3.502 |
0.570 |
0.885 |
0.946 |
||
Q14 |
3.237 |
0.582 |
0.885 |
0.894 |
||
Q15 |
3.716 |
0.247 |
0.892 |
0.858 |
||
Q16 |
3.822 |
0.601 |
0.885 |
0.953 |
||
Q17 |
3.500 |
0.375 |
0.890 |
0.844 |
||
Q18 |
2.416 |
0.549 |
0.886 |
0.925 |
||
Q19 |
3.750 |
0.574 |
0.885 |
0.916 |
||
Q20 |
3.554 |
0.528 |
0.889 |
0.910 |
||
Q21 |
2.405 |
0.406 |
0.889 |
0.880 |
||
Q22 |
3.381 |
0.482 |
0.887 |
0.925 |
||
Q23 |
2.793 |
0.452 |
0.888 |
0.863 |
||
Q24 |
2.910 |
0.453 |
0.888 |
0.901 |
||
Q25 |
2.348 |
0.459 |
0.888 |
0.868 |
||
Q26 |
3.815 |
0.421 |
0.889 |
0.857 |
Nilai
uji Cronbach�s Alpha yang diinginkan
adalah > 0,7. Terlihat pada tabel 1 nilai yang didapatkan adalah 0,891 sehingga
kuesioner memenuhi syarat reliabilitas. Selanjutnya nilai uji validitas nilai yang dinginkan adalah > 0,088. Pada tabel 1 kolom Corrected Item-Total
Correlation didapatkan nilai
setiap item pernyataan >
0,088. Hasil tersebut
menunjukan bahwa tiap item pernyataan adalah valid, sehingga analisis data
dapat dilanjutkan.
Setelah dilakukan uji validitas
dan reliabilitas, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis faktor terhadap 24 item kuisioner. Berdasarkan hasil analisis factor pada tabel 1 didapatkan nilai KMO dan Bartlett sebesar 0,900 dengan signifikansi 0,000. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel dan sampel memungkinkan untuk dilakukan uji atau analisis lebih
lanjut. Hal itu sesuai dengan persyaratan
nilai KMO and
Bartlett yang ditetapkan adalah
> 0,5. Selanjutnya, untuk
melihat adanya korelasi atau hubungan antar variabel independen dapat dilihat
pada tabel 1 kolom Anti
Image Correlation. Nilai MSA (Measure
of Sampling Adequacy) dalam penelitian ini adalah > 0.5.
Maka seluruh variabel independen
dapat dianalisis lebih lanjut.
Tabel 2
Hasil Analisis Faktor
Factor |
Initial Eigen Values |
% of
Variance |
Loading Factor |
|
Faktor I (Hubungan dengan lingkungan) |
7,248 |
30,349 |
|
|
Q25 |
Seberapa jauh
ketersediaan informasi bagi kehidupan Anda dari hari ke
hari ? |
|
|
0,767 |
Q14 |
Seberapa sering
Anda memiliki kesempatan untuk bersenang-senang / rekreasi ? |
|
|
0,720 |
Q24 |
Seberapa puaskah
Anda dengan akses Anda
pada layanan kesehatan ? |
|
|
0,621 |
Q21 |
Seberapa puaskah
Anda dengan kehidupan seksual Anda ? |
|
|
0,596 |
Q9 |
Seberapa sehat
lingkungan dimana Anda tinggal (berkaitan dengan sarana dan prasarana) ? |
|
|
0,584 |
Q13 |
Seberapa jauh
ketersediaan informasi bagi kehidupan Anda dari hari ke
hari ? |
|
|
0,570 |
Q23 |
Seberapa puaskah
Anda dengan kondisi tempat Anda tinggal saat ini ? |
|
|
0,566 |
Q16 |
Seberapa puas
Anda dengan tidur Anda ? |
|
|
0,498 |
Faktor 2 (Kesehatan psikologis) |
2,721 |
11,337 |
|
|
Q8 |
Secara umum, seberapa aman Anda rasakan dalam kehidupan Anda sehari-hari ? |
|
|
0,753 |
Q6 |
Seberapa jauh Anda merasa hidup Anda berarti ? |
|
|
0,700 |
Q7 |
Seberapa jauh Anda mampu berkonsentrasi
? |
|
|
0,699 |
Q5 |
Seberapa jauh Anda menikmati hidup Anda ? |
|
|
0,697 |
Q11 |
Apakah Anda dapat menerima penampilan tubuh Anda ? |
|
|
0,680 |
Q12 |
Apakah Anda memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan Anda ? |
|
|
0,588 |
Q10 |
Apakah Anda memiliki vitalitas yang cukup untuk beraktivitas
sehari-hari ? |
|
|
0,576 |
Q17 |
Seberapa puas Anda dengan kemampuan Anda untuk menampilkan aktivitas kehidupan Anda sehari-hari ? |
|
|
0,436 |
Faktor 3 (Hubungan dengan social) |
������� 1,482 |
6,175 |
|
|
Q22 |
Seberapa puaskah Anda dengan dukungan yang Anda peroleh dari teman Anda
? |
|
|
0,680 |
Q15 |
Seberapa baik kemampuan Anda dalam bergaul ? |
|
|
0,674 |
Q19 |
Seberapa puaskah Anda terhadap diri Anda ? |
|
|
0,650 |
Q18 |
Seberapa puaskah Anda dengan kemampuan Anda untuk bekerja ? |
|
|
0,507 |
Q20 |
Seberapa puaskah Anda dengan hubungan personal/sosial Anda ? |
|
|
0,494 |
Faktor 4 (Kesehatan
fisik) |
1,303 |
5,429 |
|
|
Q3 |
Seberapa jauh rasa sakit fisik Anda mencegah Anda dalam beraktivitas sesuai kebutuhan Anda ? |
|
|
0,819 |
Q4 |
Seberapa sering Anda membutuhkan terapi medis untuk dapat berfungsi
dalam kehidupan sehari-hari Anda ? |
|
|
0,729 |
Q26 |
Seberapa sering Anda memiliki perasaan negatif seperti feeling blue� (kesepian),
putus asa, cemas dan depresi ? |
|
|
0,632 |
Tahap selanjutnya adalah melihat berapa faktor yang terbentuk. Pada tabel 2 didapatkan adanya 4 faktor atau komponen
yang terbentuk. Syarat nilai eigen yang ditetapkan adalah diatas angka
1 (satu). Berdasarkan tabel 2 didapatkan faktor 1 (hubungan dengan lingkungan) mampu menjelaskan sebesar 30,349 persen, faktor 2 (kesehatan psikologis) sebesar 11,337 persen, faktor 3 (hubungan dengan sosial) sebesar 6,175 persen, factor 4 (kesehatan fisik) sebesar 5,429 persen.
Berdasarkan hasil analisis faktor diatas, didapatkan data bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi kualitas hidup WBP yang sedang menjalani rehabilitasi di Lapas Narkotika Kelas II A Jakarta. Faktor pertama adalah hubungan dengan lingkungan. WHOQOL
Group (1998)
menyebutkan bahwa hubungan dengan lingkungan terdiri dari delapan aspek,
yaitu : sumber - sumber
finansial, kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial (aksesibilitas dan kualitas), lingkungan tempat
tinggal, kesempatan untuk memperoleh informasi dan belajar keterampilan baru, kesempatan untuk rekreasi atau memiliki
waktu luang, lingkungan fisik sekitar. Sejalan yang dikemukakan oleh Ginneken, Van et,al bahwa
kondisi lingkungan penjara yang aman untuk narapidana dan staf adalah sebuah
kunci dari kebijakan penjara. Banyaknya kekerasan yang terjadi, viktimisasi, buruknya manajemen dari penjara, jumlah
kegiatan harian narapidana yang sedikit, sempitnya lingkungan penjara, staf yang kurang memiliki pengalaman di penjara akan sangat mempengaruhi kualitas hidup narapidana (Van Ginneken et al., 2018).
Selanjutnya Boone
(dalam Van Ginneken
et al., 2018)
menganggap kondisi fasilitas kesehatan, kondisi fisik penjara,
fasilitas umum penjara, adalah komponen dimensi yang sangat penting dalam menentukan
kualitas hidup dari narapidana. Adanya kebijakan penjara yang membiarkan tahanannya untuk bisa memiliki aktivitas
sendiri diluar dari jadwal harian
akan sangat membantu narapidana untuk memiliki kehidupan penjara yang positif. Kegiatan yang bermakna untuk narapidana membantu mereka untuk mengatasi kebosanan selama menjalani masa tahanan. Selain itu bahkan
jika narapidana memiliki pekerjaan yang mampu meningkatkan kemampuannya akan mengurangi resistensi dan dapat mengatasi trauma dari proses prisonisasi. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari WBP 1 yang mengatakan bahwa rasa bosan bisa diatasi jika
dia diberi kesempatan untuk menghirup udara segar di luar penjara misalnya
di lapangan olah raga. Berada di dalam kamar mambuat WBP 1 sering sedih memikirkan
nasib nya kedepan nanti jika
keluar dari penjara. Bahkan WBP 1 mengatakan sangat senang apabila mengikuti sesi pelatihan atau workshop yang diadakan oleh petugas, misalnya membuat kerajinan tangan. WBP 1 berharap nanti nya akan
ada pelatihan lain yang dapat diikuti.
Faktor yang
kedua adalah kesehatan psikologis. Menurut WHOQOL Group (1998) kesehatan
psikologis terdiri dari enam aspek, yaitu : body image
dan penampilan, perasaan-perasaan
negatif dan positif, kepercayaan personal, pikiran, belajar, memori dan kosentrasi.
Aspek psikologis yaitu terkait dengan
keadaan mental individu. Lalu Power mengatakan keadaan
mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu
menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan sesuai dengan kemampuannya,
baik tuntutan dari dalam diri
maupun dari luar dirinya. Kesejahteraan
psikologis mencakup body image and appearance, perasaan positif, perasaan negatif, self esteem,
spiritual/ agama/ keyakinan pribadi,
berpikir, belajar, memori dan konsentrasi (Lopez & C. R. Snyder, 2003).
Selanjutnya dalam penelitian lain mengatakan kualitas hidup mantan pecandu
narkoba yang sedang menjalani rawat jalan di klinik rehabilitasi ditinjau dari dimensi psikologis
(perasaan positif dan negatif). Perasaan positif meliputi penerimaan diri, rasa optimis dan semangat dalam menjalani rehabilitasi sedangkan perasaan negatif meliputi rasa malu, menyesal dan tidak ingin untuk menggunakan
narkoba kembali (Prasetya, Aynal Mardiyah La Dupai, 2018).
Hasil wawancara kepada WBP 1 dan 2 juga menunjukan
bahwa mereka tidak ingin menggunakan
narkoba kembali dan merasa yakin bisa
berhenti untuk menggunakan narkoba ketika sudah keluar
penjara. Kedua WBP mengatakan program rehabilitasi
yang dijalani selama ini membuat mereka
merasa optimis bisa pulih dari
ketergantungan narkoba.
Aspek kesehatan psikologis yang mempengaruhi kualitas hidup juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muller dan Bukten
bahwa ditemukan korelasi yang sangat kuat antara psychological distress dengan
kualitas hidup narapidana (Muller & Bukten, 2019).
Pernyataan tersebut juga sejalan dengan yang dirasakan oleh WBP 1 dengan mengatakan bahwa dirinya merasa
lebih tenang dan tidak mudah emosi
seperti sebelumnya. Lalu WBP
2 juga mengatakan lebih mampu untuk mengungkapkan
perasaan - perasaannya kepada orang lain, merasakan suasana kekeluargaan dan secara spiritual lebih dekat dengan Tuhan.
Kedua WBP juga merasa yakin hidupnya kelak akan menjadi
lebih baik lagi setelah
mengikuti program rehabilitasi
dilapas.
Faktor
yang ketiga adalah hubungan dengan sosial. Menurut WHOQOL Group (1998) hubungan
dengan sosial terdiri dari tiga aspek,
yaitu:
hubungan personal, dukungan sosial dan aktivitas seksual. Liebling mengatakan hubungan antara staf dan narapidana adalah faktor kunci
dari kualitas hidup di penjara (Liebeling,
2014). Apabila staf penjara sangat kaku dan tidak fleksibel, akan membuat kondisi penjara menjadi tidak aman. Hubungan
antara staf dengan tahanan harus didasari dengan adanya rasa saling menghormati dan adil juga termasuk penggunaan wewenang yang tepat dan benar, sehingga narapidana yang �rapuh� akan terbebas
dari adanya viktimisasi dan perundungan dari tahanan lain.
Selain faktor social lainnya seperti perpisahan dengan orang yang dicintai juga merupakan hal tersulit bagi
seseorang yang berada di dalam penjara. Apalagi komunikasi lewat telepon dan kunjungan dibatasi. Menurut Hutton (Van Ginneken et al., 2018)
kunjungan dan bentuk komunikasi lainnya dengan anggota keluarga dapan memberikan dukungan secara emosi kepada
narapidana dan mengurangi kesedihan akibat perpisahan. Namun Pleggenkuhle (dalam Van Ginneken et al., 2018)
juga mengatakan tidak
semua kunjungan berdampak positif bagi narapidana, beberapa narapidana memilih untuk tidak
menerima kunjungan karena takut merasa
stress
Pernyataan
� pernyataan tersebut diatas sesuai dengan
yang disampaikan oleh WBP 1 yang mengatakan
sangat senang jika mendapatkan kunjungan dari keluarganya setiap minggu. Seperti merasa ada perhatian dan dukungan dari keluarga
nya terutama istri dan anak nya. Hal yang sebaliknya terjadi pada WBP 2, menurutnya dia malah merasa
sedih setiap kali dikunjungi oleh keluarga karena merasa bersalah
tidak bisa membantu keuangan keluarga disaat orang tuanya sedang kesusahan.
WBP 2 merasa lebih baik jika tidak
dikunjungi saja dan lebih memilih untuk
menjalani masa tahanan sendirian.
Selanjutnya penjelasan mengenai faktor sosial juga dikemukakan oleh Azhima, bahwa semakin positif
dukungan sosial maka semakin tinggi
subjective well-being, demikian pula sebaliknya bahwa semakin negatif
narapidana mempersepsi dukungan sosial maka semakin rendah
subjective well-being (Azhima, Indrawati, 2018).
Selanjutnya penelitian lain
juga mengatakan, interaksi diantara WBP pengguna Narkoba menunjukkan adanya rasa kebersamaan (sense of togetherness) dan rasa saling memiliki (sense of belongingness) yang berimplikasi pada sekuritas mereka selama berada
di Lapas (Riskiyani, 2016).
Beberapa penjelasan tersebut juga sesuai
dengan hasil wawancara yang
dilakukan kepada
WBP I dan 2. Mereka mengatakan
petugas yang ada di layanan rehabilitasi khususnya (blok khusus) sangat peduli dengan seluruh tahanan berbeda dengan petugas diblok lain. WBP 2 merasa para petugas (psikolog, konselor dan dokter)
menganggap mereka seperti anak asuh
sendiri selalu membantu jika ada
masalah. WBP 1 mengatakan petugas yang ada dilayanan rehabilitasi
sering memberikan motivasi untuk mereka selama menjalani
sisa masa tahanan sehingga merasa nyaman ketika mengikuti
program rehabilitasi.
Kemudian Ginneken et.al mengatakan tahanan mungkin tidak puas dengan
kondisi sarana dan prasarana, namun karena mereka diberi
kebebasan untuk bergerak, bahkan bisa melakukan pekerjaan diluar tahanan, akan memungkinkan
tahanan untuk berintraksi dengan sesama tahanan dan staf penjara, membuat
hubungan sosial mereka menjadi lebih baik, hal
ini menunjukkan kualitas hidup yang membaik pula selama menjalani sisa masa tahanan di lapas (Van Ginneken et al., 2018).
Kedua
WBP mengatakan fasilitas
yang ada di layanan rehabiltiasi sudah cukup memadai, bahkan lebih baik
daripada tahanan yang tidak mengikuti rehabilitasi. Keduanya mengatakan hal terpenting adalah tempat tidur dan kamar mandi. Jika kedua hal itu baik
maka sarana prasarana yang lain tidak dipermasalahkan.
Faktor
yang terakhir adalah kesehatan fisik. Menurut WHOQOL Group, 1998 kesehatan
fisik terdiri
dari tujuh aspek, yaitu: aktivitas
sehari - hari, ketergantungan pada bahan - bahan medis atau
pertolongan medis, tenaga dan kelelahan, mobilitas, rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, serta kapasitas berkegiatan. Ada perbedaan yang sangat signifikan
pada tahanan yang diberi perlakuan aktifitas fisik dan yang tidak diberikan aktifitas fisik (Alice Mannocci,
et al., 2017). Tahanan
yang mendapatkan aktivitas fisik setiap hari
dengan olah raga mengatakan lebih positif. Mereka merasa lebih sehat
dan konflik yang biasanya terjadi antara sesama tahanan menjadi berkurang. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup dari narapiana. Sedangkan mereka yang tidak diberi aktivitas
fisik merasa bosan dan lebih pemarah (Alice Mannocci, et al., 2017).
Selanjutnya Mannocci juga menyebutkan bahwa aktifitas fisik yang cukup selama berada
di penjara mampu mengurangi depresi dan kecemasan, menambah kemampuan fisik, dan meningkatkan status kesehatan narapidana (Alice Mannocci, et al., 2017).
Fox KR 1999 (dalam Mannocci et
al., 2015)
mengatakan waktu yang dihabiskan oleh narapidana untuk berolahraga dan intensitas Gerakan tubuh meningkat seiring dengan bertambahnya tahun yang dihabiskan di penjara. Narapidana dengan masa tahanan yang Panjang perlu untuk mengatur
jadwal aktivitas fisik untuk mencapai
kepuasan dan kualitas hidup yang lebih baik.
Kemudian penelitian lain juga dilakukan
pada kelompok non perlakuan
dan perlakuan. Didapatkan hasil bahwa kelompok
yang dilakukan aktivitas fisik selama 9 bulan, memiliki efek yang positif pada kesehatan mental (Togas et al., 2014).
Yaitu perubahan mood dan hubungan
personal dengan sesama narapidana yang lebih baik. Bahkan dapat
mengurangi bosan, mengurangi ketegangan karena proses prisonisasi dan meningkatkan kepercayaan diri narapidana. Hal ini sesuai dengan
yang disampaikan oleh WBP 1 dan 2. Keduanya mengatakan aktivitas fisik seperti olah raga, berjemur, workshop dan pelatihan membuat subjek merasa tidak bosan
karena bisa berinteraksi dengan sesama tahanan dan juga petugas lapas. Hal tersebut membuat mereka menjalani masa tahanan di
lapas menjadi tidak terlalu jenuh atau bosan.
Selanjutnya terkait aspek � aspek pada layanan rehabilitasi narkotika (petugas, program dan sarana prasarana) peneliti mendapatkan hasil sebagai berikut:
1.
Petugas
(SDM), WBP I dan 2 mengatakan secara keseluruhan para petugas yang ada di
layanan rehabilitasi sangat peduli, berbeda
perlakuannya ketika di blok biasa sebelum mengikuti layanan rehabilitasi. WBP 2
merasa para petugas layanan rehabilitasi (psikolog, konselor dan dokter) dan petugas
pengamanan melindungi dan membimbing mereka. Namun menurut WBP 1 dan 2 pada
petugas konselor khususnya masih dirasa kurang kompeten dalam memberikan
konseling, informasi tentang adiksi serta memberikan masukan untuk mereka dan
peserta yang lain. Selain itu jumlah petugas konselor juga masih sangat kurang,
tidak berimbang dengan jumlah WBP yang mengikuti layanan rehabulitasi. Jumlah
konselor hanya 10 orang sedangkan WBP yang direhabilitasi berjumlah 500 orang.
2.
Program Layanan, terkait dengan pelayanan rehabilitasi
medis baik WBP 1 maupun 2 mengatakan pelayanan yang didapatkan saat
direhabilitasi medis baik. WBP 2 menyebutkan jika ada keluhan akan langsung di
tangani oleh dokter. Dan jika ada WBP yang mengalami sakit TB misalnya akan di
letakkan di kamar - kamar untuk isolasi sehingga tidak terjadi penularan ke WBP
yang lain. Sedangkan WBP 1 menyatakan pelayanan medis dapat memenuhi kebutuhan
atas masalah kesehatan yang dialami oleh peserta rehabilitasi. Selanjutnya pada
layanan rehabilitasi sosial, peneliti menanyakan tentang ada atau tidaknya
perubahan yang signifikan terkait dengan abstinensia, fungsi fisik, psikis dan
adaptasi sosial selama menjalankan program rehabilitasi (Therapeutic Community). WBP 1 dan 2 mengatakan perubahan signifikan
setelah mengikuti layanan rehabilitasi tubuh menjadi lebih sehat dan segar,
dikarenakan pola hidup yang baik, kondisi sosial dan lingkungan juga jauh lebih
baik seperti cara berkomunikasi dan menghormati orang lain. Dampak psikis juga
dirasakan oleh WBP 1 dengan mengatakan merasa lebih tenang dan tidak mudah
emosi seperti sebelumnya. WBP 2 juga mengatakan lebih mampu untuk mengungkapkan
perasaan - perasaannya kepada orang lain. Baik WBP 1 maupun 2 mengatakan selama
mengikuti rehabilitasi mampu menahan sugesti untuk menggunakan narkotika. Namun
menurut WBP 2 masih adanya kesempatan bertemu WBP dari blok lain diluar blok
rehabilitasi ketika jam bebas selama program sehingga sering memicu konflik
antar sesama WBP dan sering berujung kekerasan.
3. Sarana dan Prasarana,
WBP 1 mengatakan sudah cukup baik karena mendukung kegiatan � kegiatan yang ada
dalam program rehabilitasi. Namun masih ada beberapa yang harus diperbaki yaitu
kamar mandi yang salurannya masih mampet. Menurut WBP 2 sarana dan prasarana
yang ada di lapas cukup lengkap misalnya dari matras, tempat hunian, gelas,
sendok masing-masing dan ompreng yang layak pakai hal itu tidak didapatkan
ketika berada di blok biasa (sebelum mengikuti layanan rehabilitasi). Selain
itu sarana dan prasarana yang mendukung program rehabilitasi juga baik, seperti
lapangan untuk berolahraga, tempat ibadah, alat musik.
Kesimpulan
Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa terdapat empat faktor (hubungan dengan lingkungan, kesehatan psikologis,
kesehatan fisik dan hubungan sosial) yang
berpengaruh terhadap kualitas hidup WBP yang mengikuti layanan rehabilitasi
di Lapas Narkotika Klas IIA Jakarta. Hasil dari wawancara dengan dua orang WBP
bahwa dalam layanan rehabilitasi
narkotika
yang meliputi aspek petugas (SDM), progam dan sarana prasarana, secara
keseluruhan berpengaruh terhadap kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan sebelum mengikuti.
Namun masih dirasakan kurang dari aspek petugas layanan
rehabilitasi yaitu konselor, baiki
kualitas maupun kuantitasnya,
dimana konselor memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemulihan WBP
dari masalah penyalahgunaan narkotika.
�Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor � faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup WBP dalam layanan rehabilitasi
narkotika dan mengetahui lebih
mendalam lagi mengenai gambaran layanan rehablitasi narkotika yang meliputi aspek petugas (SDM), program layanan dan sarana prasarana.
Anggarwati, S., & Nawangsih, E. (2016). Prosiding
Psikologi Pengaruh Pelayanan Komprehensif Terhadap Quality of Life pada
Pengguna NAPZA di LSM Rehabilitasi Rumah Cemara Bandung Berdasarkan
WHOQOL-BREF. Psikologi, 2, 535�540. Google Scholar
BNN. (2019). HEALTH : Research and Drugs.
Puslitdatin BNN.
BNN. (2020). Indonesia Drug Report. Puslitdatin BNN.
Direktorat Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Kemenkumham.
(2018). Petunjuk Pelaksanaan Layanan Rehabilitasi Narkotika Bagi Tahanan dan
WBP di UPT Pemasyarakatan.
Ditjenpas. (2020a). Sistem Database Pemasyarakatan.
Ditjenpas. (2020b). Standar Penyelenggara Layanan
Rehabilitasi Pemasyarakatan Bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan
Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya (NAPZA) Di UPT Pemasyarakatan.
Kemenkumham. (2017). Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor
12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Layanan Rehabilitasi Narkotika Bagi
Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan Tahun 2017. Kemenkumham.
Laratmase, A. J. (2016). Pengembangan Alat Ukur Kualitas
Hidup Nelayan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Lingkungan Dan Pembangunan, 17(01),
34�41. https://doi.org/10.21009/plpb.171.04 Google Scholar
Lopez, S. J., & C. R. Snyder, P. . (2003). Positive
Psychological Assessment a Handbook of Models & measures.Washington.
American Psychological Association. Google Scholar
Mannocci, A., Masala, D., Mipatrini, D., Rizzo, J.,
Meggiolaro, S., Di Thiene, D., & La Torre, G. (2015). The relationship
between physical activity and quality of life in prisoners: A pilot study. Journal
of Preventive Medicine and Hygiene, 56(4), E172�E175. https://doi.org/10.15167/2421-4248/jpmh2015.56.4.458 Google Scholar
Mannocci, Alice, Mipatrini, D., D�Egidio, V., Rizzo, J.,
Meggiolaro, S., Firenze, A., Boccia, G., Santangelo, O. E., Villari, P., La
Torre, G., & Masala, D. (2018). Health related quality of life and physical
activity in prison: A multicenter observational study in Italy. European
Journal of Public Health, 28(3), 570�576.
https://doi.org/10.1093/eurpub/ckx183 Google Scholar
Muller, A. E., & Bukten, A. (2019). Measuring the quality
of life of incarcerated individuals. International Journal of Prisoner
Health, 15(1), 1�13. https://doi.org/10.1108/IJPH-02-2018-0005 Google Scholar
Prasetya, Aynal Mardiyah La Dupai, F. (2018). Studi
kualitatif kualitas hidup mantan pecandu narkoba di klinik rehabilitasi BNN
(Badan Narkotika Nasional) kota kendari tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kesehatan Masyarakat, 3(1), 1�8. Google Scholar
Riskiyani, S. (2016). Perlakuan di Lapas , Interaksi Sosial
dan Harapan Pengguna Narkoba Mantan Narapidana. Etnosia, 01(01),
71�84. Google Scholar
St�ver, H., Kastelic, A. (2014). Drug treatment and harm
reduction in prisons. Prisons and Health, WHO Europe, 1, 113�130. Google Scholar
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif
dan R&D. Alfabeta.
Tawawi, C. D. (2020). Implementasi Pengaturan Hak-Hak
Narapidana Melalui The Nelson Mandela Rules di Indonesia. JUSTITIA :
Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 7(3), 523�535. Google Scholar
Togas, C., Raikou, M., & Niakas, D. (2014). An assessment
of health related quality of life in a male prison population in Greece
associations with health related characteristics and characteristics of
detention. BioMed Research International, 2014.
https://doi.org/10.1155/2014/274804 Google Scholar
UNODC. (2015). The United Nations Standard Minimum Rules
for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules). UNODC.
UNODC. (2019). World Drug Report.
Van Ginneken, E. F. J. C., Palmen, H., Bosma, A. Q.,
Nieuwbeerta, P., & Berghuis, M. L. (2018). The Life in Custody Study: the
quality of prison life in Dutch prison regimes. Journal of Criminological
Research, Policy and Practice, 4(4), 253�268.
https://doi.org/10.1108/JCRPP-07-2018-0020 Google Scholar
Copyright
holder: Putri Herdriani,
Arthur Josias Simon Runturambi (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |