Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

�e-ISSN : 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

KUALITAS HIDUP WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN (WBP) YANG MENGIKUTI LAYANAN REHABILITASI DI LAPAS NARKOTIKA JAKARTA BERDASARKAN WHOQOL-BREF

 

Putri Herdriani, Arthur Josias Simon Runturambi

Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kasus penyalahguna narkotika yang berada di lapas terus mengalami peningkatan dimana seharusnya menurut Undang � Undang dan perturan lainnya adalah di rehabilitasi. Oleh karena itu diselenggarakannya layanan rehabilitasi di lapas. Kualitas hidup merupakan indikator penting untuk menilai keberhasilan pembinaan WBP di lembaga pemasyarakatan, dalam hal ini adalah melalui layanan rehabilitasi narkotika. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor - faktor yang mempengaruhi kualitas hidup warga binaan pemasyarakatan di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta. Peneliti menggunakan pendekatan campuran (mixed methods) dengan metode ekplanasi sekuensial (Explanatory design), menggunakan data sekunder sebanyak 500 kuesioner WHOQOL-BREF. Teknik analisis data menggunakan analisis faktor dan wawancara kepada 2 orang WBP untuk melihat gambaran layanan rehabilitasi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup. Hasil penelitian menunjukkan adanya empat faktor yang mempengaruhi kualitas hidup WBP, yaitu faktor 1 (hubungan dengan lingkungan) mampu menjelaskan sebesar 30,349 persen, faktor 2 (kesehatan psikologis) sebesar 11,337 persen, faktor 3 (hubungan dengan soSial) sebesar 6,175 persen, faktor 4 (kesehatan fisik) sebesar 5,429 persen. Selain itu layanan rehabilitasi secara keseluruhan berpengaruh terhadap kualitas hidup WBP yang lebih baik sebelum mengikuti layanan rehabilitasi.

 

Kata Kunci: rehabilitasi narkotika, kualitas hidup, warga binaan pemasyarakatan, WHOQOL-BREF

 

Abstract

Cases of narcotics abusers who are in prisons continue to increase where according to the law and other regulations, they should be rehabilitated. Therefore, rehabilitation services are held in prisons. Quality of life is an important indicator to assess the success of fostering prisoners in correctional institution, in this case is the narcotics rehabilitation. This study aims to analyze the factors that affect the quality of life of prisoners in the Narcotics Prison Class II A Jakarta. Researchers used a mixed approach (mixed methods) with sequential explanation (Explanatory design) using the WHOQOL-BREF questionnaire with a number of secondary data as much as 500 WBP. The data analysis technique used factor analysis and interviews with two prisoners to see a description of the narcotics rehabilitation that affect the quality of life. The results showed that there were four factors that influenced the quality of life of the prisoners, first factor (relationship with the environment) was able to explain 30.349 percent, second factor (psychological health) was 11,337 percent, third factor (social relationship) was 6.175 percent, fourth factor (health physical) by 5,429 percen and the prisoners have a better quality of life after participating in narcotics rehabilitation..

 

Keywords: narcotics rehabilitation, quality of life, prisoners, WHOQOL-BREF

 

Pendahuluan

Maslah penyalahgunaan narkotika masih terus menjadi ancaman dan tantangan bagi negara di seluruh dunia termasuk di Indoneisa. Pada tahun 2019 data dari UNODC (United Nations Office and on Drugs and Crime) menunjukkan sebanyak 35 juta orang di seluruh dunia bermasalah dengan kecanduan akibat penggunaan narkoba (UNODC, 2019). Di Indonesia sendiri berdasarkan data Indonesia Drugs Report (IDR) 2019 Badan Narkotika Nasional (BNN) angka prevalensi penyalahgunaan narkoba sebesar 3,2 % (setara 2.297.492 jiwa) untuk kelompok pelajar dan mahasiswa, sedangkan pada kelompok pekerja sebesar 2.1%� (setara 1.514.037 jiwa) (BNN, 2019). Kemudian data IDR tahun 2020 BNN angka prevalesi yang pernah pakai sebanyak 2,40% atau setara dengan 4.534.744 jiwa dan dalam satu tahun terakhir yang terpapar memakai narkotika sebanyak 3.419.188 jiwa (BNN, 2020).

Paradigma terhadap pecandu, penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika seiring perkembangannya telah berubah, mereka tidak lagi dianggap seorang pelaku kriminal melainkan sebagai orang yang sedang sakit dan kecanduan (adiksi) sehingga perlu diberikan layanan rehabilitasi. Melalui Undang - Undang RI Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Indonesia memberlakukan tindakan bagi pelaku produsen, impor dan ekspor ilegal, serta peredaran gelap narkotika adalah dengan hukuman berat sedangkan terhadap para pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika adalah dengan rehabilitasi.

Di Indonesia untuk kasus tindak pidana dan penyalahgunaan narkotika di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) terus mengalami peningkatan. Hal tersebut tidak terlepas dari persoalan permintaan (demand) dan kesediaan pasokan (supply) narkotika yang secara agresif dan terus menerus terjadi di lingkungan masyarakat umum. Selanjutnya data menunjukan bahwa jumlah tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) kasus narkotika sebagai pengguna khususnya juga mengalami peningkatan yaitu,� pada tahun 2014 sebesar 28.609 lalu tahun 2018 menjadi sebesar 41.979 (Direktorat Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Kemenkumham, 2018). Kemudian pada tahun 2019 jumlahnya juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 49.983 (Ditjenpas, 2020).

Oleh karena itu untuk tetap memenuhi hak para WBP penyalahguna narkotika mendapatkan rehabilitasi agar dapat pulih dan mempertahankan kondisi kesehatan yang meliputi aspek biologis, psikologis dan sosial dari ketergantungan terhadap narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, serta memiliki kualitas hidup yang baik untuk mempersiapkan WBP nantinya dapat menjalankan fungsi sosialnya dilingkungan masyarakat, Kementerian Hukum dan HAM RI khususnya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pemasyarakatan) mengambil langkah - langkah strategis dalam rangka memberikan pelayanan dan penanganan terhadap WBP kasus narkotika yang secara spesifik memiliki kekhususan dalam pembinaannya yaitu dalam program layanan rehabilitasi narkotika kepada WBP (Kemenkumham, 2017).

WBP yang menjalani hukuman di lapas tentunya tidak terlapas dari adanya pembatasan kebebasan yang mereka terima atas konsekuensi dari tindakan mereka, termasuk narapidana penyalah guna narkotika. Menurut WHO (World Health Organization) dalam pendekatan rehabilitasi, penahanan harus membantu individu untuk menjalani kehidupan kembali ke masyarakat, bukan membuat mereka menderita dan mengurangi kualitas hidupnya (St�ver, H., Kastelic, 2014).

Selanjutnya organisasi dunia, yaitu PBB mengesahkan Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners yang menjadi pedoman seluruh negara dalam penyelenggaraan pemasyarakatan narapidana (Tawawi, 2020). Pedoman tersebut hakikatnya adalah bentuk pelayanan sosial yang memberikan acuan kerangka kerja bagi penanganan tahanan dan narapidana serta manajemen lembaga pemasyarakatan. Butir � butir yang terdapat pada standar minimum tersebut disusun secara lengkap mewakili kebutuhan � kebutuhan para WBP selama berada di dalam lembaga pemasyaraatan, seperti hak mendapatkan kebutuhan dasar, sarana prasarana yang layak, perawatan kesehatan fisik dan psikis dan kesejahteraan lainnya. Sehingga diharapkan para WBP memiliki kualitas hidup yang baik meskipun sedang berada dalam lembaga pemasyarakatan karena tetap di berikan hak � hak nya. Adapun butir - butir dalam pedoman tersebut yang menjelaskan tentang pemberian layanan agar WBP mendapatkan kualitas hidup yang baik dan kembali berfungsi sosial ke lingkungan masyarakat secara bertanggung jawab antara lain sebagai berikut (UNODC, 2015):

a.      Pemenjaraan dan tindakan - tindakan lain yang mengakibatkan terputusnya pelaku pelanggaran dari dunia luar adalah hal yang menimbulkan penderitaan karena tindakan tersebut merampas dari orang yang bersangkutan hak untuk menentukan nasib sendiri, yaitu dengan mencabut kebebasannya. Oleh karena itu, sistem pemenjaraan tidak boleh memperburuk lagi penderitaan yang sudah melekat pada situasi terpenjara itu, kecuali bentuk penegakan disiplin (butir 57)

b.     Hukuman penjara dipergunakan untuk memastikan bahwa sekembalinya pelaku pelanggaran tersebut ke masyarakat, dia tidak saja mau tetapi mampu hidup sebagai warga yang taat hukum dan mencukupi kebutuhan diri sendiri (butir 58).

c.      Lembaga pemasyarakatan perlu memanfaatkan semua cara dan bentuk bantuan yang tepat serta tersedia di bidang pembinaan, pendidikan, moralitas, kerohanian, dan lainnya. Selain itu perlu berupaya menerapkan cara - cara dan bentuk - bentuk bantuan tersebut sesuai dengan kebutuhan penanganan dari para narapidana secara individual (butir 59).

d.     Penanganan terhadap narapidana perlu ditekankan bukan pada pengucilannya dari masyarakat tetapi pada keberlanjutan keikutsertaan mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu badan - badan sosial kemasyarakatan membantu petugas lembaga pemasyarakatan dalam menjalankan tugas rehabilitasi sosial narapidana (butir 61).������

e.      Penanganan terhadap orang yang divonis dengan pidana penjara atau dengan tindakan lain serupa harus bertujuan membentuk dalam diri narapidana kemauan untuk hidup sebagai warga yang taat hukum dan dapat mencukupi kebutuhan diri sendiri setelah pembebasan, serta membuatnya layak untuk hidup. Penanganan terhadap mereka harus sedemikian rupa sehingga dapat membangkitkan rasa harga dirinya dan mengembangkan rasa tanggung jawabnya (butir 65).

f.      Memisahkan para narapidana berdasarkan catatan kriminalitasnya atau karakter buruknya yang berpotensi memberikan pengaruh buruk. Hal tersebut merupakan cara untuk memfasilitasi penanganan dalam rangka rehabilitasi sosial mereka agar dapat berjalan dengan baik (butir 93).

Kemudian organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan kualitas hidup sebagai persepsi individu dari posisi mereka dalam kehidupan, dalam konteks sistem budaya dan nilai dimana mereka hidup dan dalam hubungannya dengan tujuan mereka, harapan, standar, dan kekhawatiran. Pengertian tersebut memiliki pandangan yang luas mengenai kesehatan mental seseorang, baik kesehatan fisik, keadaan psikologis, tingkat kemandirian, hubungan sosial, keyakinan pribadi, dan hubungan mereka dengan fitur - fitur yang menonjol dilingkungan mereka. Untuk melihat kualitas hidup warga binaan pemasyarakatan tersebut mengacu pada WHOQOL-BREF terdiri dari 24 facets (aspek) yang mencakup 4 domain dan terbukti dapat mengukur kualitas hidup seseorang, yaitu (Laratmase, 2016) :

1.     Kesehatan fisik, terdiri dari tujuh aspek : aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada bahan-bahan medis atau pertolongan medis, tenaga dan kelelahan, mobilitas, rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, serta kapasitas berkegiatan.

2.     Kesehatan Psikologis, terdiri dari enam aspek : body image dan penampilan, perasaan-perasaan negatif dan positif, kepercayaan personal, pikiran, belajar, memori dan kosentrasi.

3.     Hubungan Sosial, terdiri dari tiga aspek : hubungan personal, dukungan sosial dan aktivitas seksual.

4.     Hubungan dengan Lingkungan, terdiri dari delapan aspek : sumber - sumber finansial, kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial (aksesibilitas dan kualitas), lingkungan tempat tinggal, kesempatan untuk memperoleh informasi dan belajar keterampilan baru, kesempatan untuk memiliki waktu luang serta kondisi lingkungan secara fisik.

Lapas Narkotika Klas II A Jakarta merupakan salah satu yang melaksanakan rehabilitasi narkotika dan merupakan lapas yang memiliki sarana prasarana cukup baik, salah satunya adalah memiliki blok khusus atau terpisah untuk WBP yang mengikuti layanan rehabilitasi. Layanan rehabilitasi medis yang diberikan adalah penanganan kondisi gawat darurat narkotika, detoksifikasi, terapi simtomatik, terapi komorbiditas, terapi rumatan, dan terapi non rumatan. Sedangkan layanan rehabilitasi sosial yang diberikan adalah dalam bentuk program Therapeutic Community, Criminon, dan Intervensi Singkat (Ditjenpas, 2020).

Layanan rehabilitasi narkotika di lapas mencakup layanan rehabilitasi medis dan sosial, durasi layanan selama 6 bulan. Layanan rehabilitasi sosial menggunakan metode atau program terapi komunitas/ TC (Therapeutic Community) yang dimodifikasi berdasarkan kebutuhan. Program tersebut terdiri dari kegiatan evaluasi fisik dan psikis yang dilaksanakan selama 2 minggu. Lalu program inti dilaksanakan selama 19 minggu dengan fokus kegiatan pada perubahan perilaku serta kegiatan persiapan pasca rehabilitasi yang dilaksanakan selama 3 minggu. Dalam melaksanakan layanan rehabilitasi terdapat tiga aspek yang harus dipenuhi yaitu petugas layanan, program yang diberikan dan sarana prasarana yang mendukung kegiatan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1

Komponen SDM Layanan Rehabilitasi Narkotika di Lapas

Sumber: Buku Standar Penyelenggara Layanan Rehabilitasi Pemasyarakatan Tahun 2019

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2

Komponen Program Layanan Rehabilitasi Narkotika di Lapas

Sumber : Buku Standar Penyelenggara Layanan Rehabilitasi Pemasyarakatan Tahun 2019

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3

Komponen Sarana dan Prasaranan Rehabilitasi Narkotika

Sumber: Buku Standar Penyelenggara Layanan Rehabilitasi Pemasyarakatan Tahun 2019

 

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa peningkatan kualitas hidup pada saat pembebasan dapat dilihat sebagai indikator keberhasilan rehabilitasi dan juga pengurangan risiko pengulangan kejahatan kembali (Muller & Bukten, 2019). Kemudian kondisi psikologis (psychological distress) dan fisik narapidana juga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka (Muller & Bukten, 2019). Selain itu hal tersebut juga sejalan dengan penelitian yang dilakuan oleh Anggarwati dan Nawangsih bahwa pemberian layanan komprehensif (rehabilitasi) akan mengembangkan pribadi klien dan mampu memperoleh kesejahteraan fisik, emosional dan sosial sesuai dengan kemampuan dalam dirinya karena merupakan personal values and aspiration dalam membentuk kualitas hidup (Anggarwati & Nawangsih, 2016). Selanjutnya dari Prison Climate Scales (PCS) didapatkan beberapa hal yang membuat kualitas hidup narapidana baik, yaitu keamanan, hubungan petugas dan narapidana yang cukup positif, adanya aktivitas yang bermanfaat serta penjara dengan keamanan minimal memberikan lebih banyak kebebasan bergerak bagi para tahanan (Van Ginneken et al., 2018).

����������� Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini untuk memberikan gambaran tentang faktor - faktor yang mempengaruhi kualitas hidup WBP di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta. Selanjutnya penelitian ini dimaksudkan agar menjadi dasar atau referensi baik dalam evaluasi penyelenggaraan rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan di Lapas Narkotika Klas II A Jakarta maupun dalam merencanakan program - program dan kebijakan selanjutnya sebagai upaya memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan warga binaan pemasyarakatan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran (mixed methods) dengan metode Ekplanasi Sekuensial (Explanatory design), yaitu mengumpulkan data kuantitatif yang dianalisa dengan menggunakan analisis faktor dan menggunakan hasilnya untuk pengumpulan data kualitatif sebagai tindakan lanjutan (Sugiyono, 2015).

Peneliti menggunakan data sekunder berupa kuesioner WHOQOL-BREF yang telah diisi oleh 500 WBP peserta rehabilitasi pada gelombang ke 2 (dua) di Lapas Narkotika Kelas II A Jakarta tahun 2020. Dilakukan uji validitas terlebih dahulu terhadap data tersebut sebelum melakukan analisis faktor. Analisis faktor digunakan untuk menganalisis adanya faktor � faktor yang dapat mempengaruhi kualitas hidup WBP. Selanjutnya peneliti juga melakukan wawancara kepada dua orang WBP untuk melihat gambaran layanan rehabilitasi yang dapat mempengaruhi kualitas hidup WBP.

Setelah data terkumpul lalu diolah dan dianalis untuk mendapatkan jawaban akhir mengenai masalah yang diteliti.� Dalam hal analisis data dilakukan proses penyederhanaan dan interpretasi data. Pengujian keabsahan data dilakukan melalui triangulasi sumber dengan membandingkan informasi yang didapat dari sumber yang berbeda.

 

Hasil dan Pembahasan

Pada bab ini akan dipaparkan hasil analisis data terkait kualitas hidup WBP Lapas Narkotika Klas II A Jakarta dan juga pengaruh layanan rehabilitasi terhadap kualitas hidup WBP Lapas Narkotika Klas II A Jakarta. Sebelum dilakukan analisis data, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kuesioner WHOQOL-BREF. Hasil uji tersebut terlihat pada Tabel 1.

 

Tabel 1

Hasil Deskriptif dan Uji Validitas, Reliabilitas dan Kecukupan Data

Item

Mean

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach�s Alpha if Item Deleted

Anti-Image Correlation

Cronbach�s Alpha

KMO dan Bartlett�s

Variabel Independen

 

Q3

3.912

0.185

0.893

0.690

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0.891

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

0.900

(0.000)

Q4

4.222

0.181

0.894

0.743

Q5

3.214

0.546

0.885

0.927

Q6

3.946

0.430

0.888

0.915

Q7

3.456

0.605

0.884

0.929

Q8

3.448

0.594

0.885

0.906

Q9

3.402

0.602

0.884

0.932

Q10

3.202

0.539

0.886

0.886

Q11

3.684

0.563

0.885

0.900

Q12

3.936

0.535

0.886

0.921

Q13

3.502

0.570

0.885

0.946

Q14

3.237

0.582

0.885

0.894

Q15

3.716

0.247

0.892

0.858

Q16

3.822

0.601

0.885

0.953

Q17

3.500

0.375

0.890

0.844

Q18

2.416

0.549

0.886

0.925

Q19

3.750

0.574

0.885

0.916

Q20

3.554

0.528

0.889

0.910

Q21

2.405

0.406

0.889

0.880

Q22

3.381

0.482

0.887

0.925

Q23

2.793

0.452

0.888

0.863

Q24

2.910

0.453

0.888

0.901

Q25

2.348

0.459

0.888

0.868

Q26

3.815

0.421

0.889

0.857

 

Nilai uji Cronbach�s Alpha yang diinginkan adalah > 0,7. Terlihat pada tabel 1 nilai yang didapatkan adalah 0,891 sehingga kuesioner memenuhi syarat reliabilitas. Selanjutnya nilai uji validitas nilai yang dinginkan adalah > 0,088. Pada tabel 1 kolom Corrected Item-Total Correlation didapatkan nilai setiap item pernyataan > 0,088. Hasil tersebut menunjukan bahwa tiap item pernyataan adalah valid, sehingga analisis data dapat dilanjutkan.

Setelah dilakukan uji validitas dan reliabilitas, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis faktor terhadap 24 item kuisioner. Berdasarkan hasil analisis factor pada tabel 1 didapatkan nilai KMO dan Bartlett sebesar 0,900 dengan signifikansi 0,000. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel dan sampel memungkinkan untuk dilakukan uji atau analisis lebih lanjut. Hal itu sesuai dengan persyaratan nilai KMO and Bartlett yang ditetapkan adalah > 0,5. Selanjutnya, untuk melihat adanya korelasi atau hubungan antar variabel independen dapat dilihat pada tabel 1 kolom Anti Image Correlation. Nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) dalam penelitian ini adalah > 0.5. Maka seluruh variabel independen dapat dianalisis lebih lanjut.

 

Tabel 2

Hasil Analisis Faktor

Factor

Initial Eigen Values

% of Variance

Loading Factor

Faktor I (Hubungan dengan lingkungan)

 

7,248

30,349

 

Q25

Seberapa jauh ketersediaan informasi bagi kehidupan Anda dari hari ke hari ?

 

 

0,767

Q14

Seberapa sering Anda memiliki kesempatan untuk bersenang-senang / rekreasi ?

 

 

0,720

Q24

Seberapa puaskah Anda dengan akses Anda pada layanan kesehatan ?

 

 

0,621

Q21

Seberapa puaskah Anda dengan kehidupan seksual Anda ?

 

 

0,596

Q9

Seberapa sehat lingkungan dimana Anda tinggal (berkaitan dengan sarana dan prasarana) ?

 

 

0,584

Q13

Seberapa jauh ketersediaan informasi bagi kehidupan Anda dari hari ke hari ?

 

 

0,570

Q23

Seberapa puaskah Anda dengan kondisi tempat Anda tinggal saat ini ?

 

 

0,566

Q16

Seberapa puas Anda dengan tidur Anda ?

 

 

0,498

Faktor 2 (Kesehatan psikologis)

2,721

11,337

 

Q8

Secara umum, seberapa aman Anda rasakan dalam kehidupan Anda sehari-hari ?

 

 

0,753

Q6

Seberapa jauh Anda merasa hidup Anda berarti ?

 

 

0,700

Q7

Seberapa jauh Anda mampu berkonsentrasi ?

 

 

0,699

Q5

Seberapa jauh Anda menikmati hidup Anda ?

 

 

0,697

Q11

Apakah Anda dapat menerima penampilan tubuh Anda ?

 

 

0,680

Q12

Apakah Anda memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan Anda ?

 

 

0,588

Q10

Apakah Anda memiliki vitalitas yang cukup untuk beraktivitas sehari-hari ?

 

 

0,576

Q17

Seberapa puas Anda dengan kemampuan Anda untuk menampilkan aktivitas kehidupan Anda sehari-hari ?

 

 

0,436

 

Faktor 3 (Hubungan dengan social)

�������

1,482

 

6,175

 

Q22

Seberapa puaskah Anda dengan dukungan yang Anda peroleh dari teman Anda ?

 

 

0,680

Q15

Seberapa baik kemampuan Anda dalam bergaul ?

 

 

0,674

Q19

Seberapa puaskah Anda terhadap diri Anda ?

 

 

0,650

Q18

Seberapa puaskah Anda dengan kemampuan Anda untuk bekerja ?

 

 

0,507

Q20

Seberapa puaskah Anda dengan hubungan personal/sosial Anda ?

 

 

0,494

 

Faktor 4 (Kesehatan fisik)

 

1,303

 

5,429

 

Q3

Seberapa jauh rasa sakit fisik Anda mencegah Anda dalam beraktivitas sesuai kebutuhan Anda ?

 

 

0,819

Q4

Seberapa sering Anda membutuhkan terapi medis untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari Anda ?

 

 

0,729

Q26

Seberapa sering Anda memiliki perasaan negatif seperti feeling blue� (kesepian), putus asa, cemas dan depresi ?

 

 

0,632

 

Tahap selanjutnya adalah melihat berapa faktor yang terbentuk. Pada tabel 2 didapatkan adanya 4 faktor atau komponen yang terbentuk. Syarat nilai eigen yang ditetapkan adalah diatas angka 1 (satu). Berdasarkan tabel 2 didapatkan faktor 1 (hubungan dengan lingkungan) mampu menjelaskan sebesar 30,349 persen, faktor 2 (kesehatan psikologis) sebesar 11,337 persen, faktor 3 (hubungan dengan sosial) sebesar 6,175 persen, factor 4 (kesehatan fisik) sebesar 5,429 persen.

Berdasarkan hasil analisis faktor diatas, didapatkan data bahwa terdapat 4 faktor yang mempengaruhi kualitas hidup WBP yang sedang menjalani rehabilitasi di Lapas Narkotika Kelas II A Jakarta. Faktor pertama adalah hubungan dengan lingkungan. WHOQOL Group (1998) menyebutkan bahwa hubungan dengan lingkungan terdiri dari delapan aspek, yaitu : sumber - sumber finansial, kebebasan, keamanan dan keselamatan fisik, perawatan kesehatan dan sosial (aksesibilitas dan kualitas), lingkungan tempat tinggal, kesempatan untuk memperoleh informasi dan belajar keterampilan baru, kesempatan untuk rekreasi atau memiliki waktu luang, lingkungan fisik sekitar. Sejalan yang dikemukakan oleh Ginneken, Van et,al bahwa kondisi lingkungan penjara yang aman untuk narapidana dan staf adalah sebuah kunci dari kebijakan penjara. Banyaknya kekerasan yang terjadi, viktimisasi, buruknya manajemen dari penjara, jumlah kegiatan harian narapidana yang sedikit, sempitnya lingkungan penjara, staf yang kurang memiliki pengalaman di penjara akan sangat mempengaruhi kualitas hidup narapidana (Van Ginneken et al., 2018).

Selanjutnya Boone (dalam Van Ginneken et al., 2018) menganggap kondisi fasilitas kesehatan, kondisi fisik penjara, fasilitas umum penjara, adalah komponen dimensi yang sangat penting dalam menentukan kualitas hidup dari narapidana. Adanya kebijakan penjara yang membiarkan tahanannya untuk bisa memiliki aktivitas sendiri diluar dari jadwal harian akan sangat membantu narapidana untuk memiliki kehidupan penjara yang positif. Kegiatan yang bermakna untuk narapidana membantu mereka untuk mengatasi kebosanan selama menjalani masa tahanan. Selain itu bahkan jika narapidana memiliki pekerjaan yang mampu meningkatkan kemampuannya akan mengurangi resistensi dan dapat mengatasi trauma dari proses prisonisasi. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari WBP 1 yang mengatakan bahwa rasa bosan bisa diatasi jika dia diberi kesempatan untuk menghirup udara segar di luar penjara misalnya di lapangan olah raga. Berada di dalam kamar mambuat WBP 1 sering sedih memikirkan nasib nya kedepan nanti jika keluar dari penjara. Bahkan WBP 1 mengatakan sangat senang apabila mengikuti sesi pelatihan atau workshop yang diadakan oleh petugas, misalnya membuat kerajinan tangan. WBP 1 berharap nanti nya akan ada pelatihan lain yang dapat diikuti.

Faktor yang kedua adalah kesehatan psikologis. Menurut WHOQOL Group (1998) kesehatan psikologis terdiri dari enam aspek, yaitu : body image dan penampilan, perasaan-perasaan negatif dan positif, kepercayaan personal, pikiran, belajar, memori dan kosentrasi. Aspek psikologis yaitu terkait dengan keadaan mental individu. Lalu Power mengatakan keadaan mental mengarah pada mampu atau tidaknya individu menyesuaikan diri terhadap berbagai tuntutan perkembangan sesuai dengan kemampuannya, baik tuntutan dari dalam diri maupun dari luar dirinya. Kesejahteraan psikologis mencakup body image and appearance, perasaan positif, perasaan negatif, self esteem, spiritual/ agama/ keyakinan pribadi, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi (Lopez & C. R. Snyder, 2003).

Selanjutnya dalam penelitian lain mengatakan kualitas hidup mantan pecandu narkoba yang sedang menjalani rawat jalan di klinik rehabilitasi ditinjau dari dimensi psikologis (perasaan positif dan negatif). Perasaan positif meliputi penerimaan diri, rasa optimis dan semangat dalam menjalani rehabilitasi sedangkan perasaan negatif meliputi rasa malu, menyesal dan tidak ingin untuk menggunakan narkoba kembali (Prasetya, Aynal Mardiyah La Dupai, 2018). Hasil wawancara kepada WBP 1 dan 2 juga menunjukan bahwa mereka tidak ingin menggunakan narkoba kembali dan merasa yakin bisa berhenti untuk menggunakan narkoba ketika sudah keluar penjara. Kedua WBP mengatakan program rehabilitasi yang dijalani selama ini membuat mereka merasa optimis bisa pulih dari ketergantungan narkoba.

Aspek kesehatan psikologis yang mempengaruhi kualitas hidup juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Muller dan Bukten bahwa ditemukan korelasi yang sangat kuat antara psychological distress dengan kualitas hidup narapidana (Muller & Bukten, 2019). Pernyataan tersebut juga sejalan dengan yang dirasakan oleh WBP 1 dengan mengatakan bahwa dirinya merasa lebih tenang dan tidak mudah emosi seperti sebelumnya. Lalu WBP 2 juga mengatakan lebih mampu untuk mengungkapkan perasaan - perasaannya kepada orang lain, merasakan suasana kekeluargaan dan secara spiritual lebih dekat dengan Tuhan. Kedua WBP juga merasa yakin hidupnya kelak akan menjadi lebih baik lagi setelah mengikuti program rehabilitasi dilapas.

Faktor yang ketiga adalah hubungan dengan sosial. Menurut WHOQOL Group (1998) hubungan dengan sosial terdiri dari tiga aspek, yaitu: hubungan personal, dukungan sosial dan aktivitas seksual. Liebling mengatakan hubungan antara staf dan narapidana adalah faktor kunci dari kualitas hidup di penjara (Liebeling, 2014). Apabila staf penjara sangat kaku dan tidak fleksibel, akan membuat kondisi penjara menjadi tidak aman. Hubungan antara staf dengan tahanan harus didasari dengan adanya rasa saling menghormati dan adil juga termasuk penggunaan wewenang yang tepat dan benar, sehingga narapidana yang �rapuh� akan terbebas dari adanya viktimisasi dan perundungan dari tahanan lain. Selain faktor social lainnya seperti perpisahan dengan orang yang dicintai juga merupakan hal tersulit bagi seseorang yang berada di dalam penjara. Apalagi komunikasi lewat telepon dan kunjungan dibatasi. Menurut Hutton (Van Ginneken et al., 2018) kunjungan dan bentuk komunikasi lainnya dengan anggota keluarga dapan memberikan dukungan secara emosi kepada narapidana dan mengurangi kesedihan akibat perpisahan. Namun Pleggenkuhle (dalam Van Ginneken et al., 2018) juga mengatakan tidak semua kunjungan berdampak positif bagi narapidana, beberapa narapidana memilih untuk tidak menerima kunjungan karena takut merasa stress

Pernyataan � pernyataan tersebut diatas sesuai dengan yang disampaikan oleh WBP 1 yang mengatakan sangat senang jika mendapatkan kunjungan dari keluarganya setiap minggu. Seperti merasa ada perhatian dan dukungan dari keluarga nya terutama istri dan anak nya. Hal yang sebaliknya terjadi pada WBP 2, menurutnya dia malah merasa sedih setiap kali dikunjungi oleh keluarga karena merasa bersalah tidak bisa membantu keuangan keluarga disaat orang tuanya sedang kesusahan. WBP 2 merasa lebih baik jika tidak dikunjungi saja dan lebih memilih untuk menjalani masa tahanan sendirian.

Selanjutnya penjelasan mengenai faktor sosial juga dikemukakan oleh Azhima, bahwa semakin positif dukungan sosial maka semakin tinggi subjective well-being, demikian pula sebaliknya bahwa semakin negatif narapidana mempersepsi dukungan sosial maka semakin rendah subjective well-being (Azhima, Indrawati, 2018). Selanjutnya penelitian lain juga mengatakan, interaksi diantara WBP pengguna Narkoba menunjukkan adanya rasa kebersamaan (sense of togetherness) dan rasa saling memiliki (sense of belongingness) yang berimplikasi pada sekuritas mereka selama berada di Lapas (Riskiyani, 2016). Beberapa penjelasan tersebut juga sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada WBP I dan 2. Mereka mengatakan petugas yang ada di layanan rehabilitasi khususnya (blok khusus) sangat peduli dengan seluruh tahanan berbeda dengan petugas diblok lain. WBP 2 merasa para petugas (psikolog, konselor dan dokter) menganggap mereka seperti anak asuh sendiri selalu membantu jika ada masalah. WBP 1 mengatakan petugas yang ada dilayanan rehabilitasi sering memberikan motivasi untuk mereka selama menjalani sisa masa tahanan sehingga merasa nyaman ketika mengikuti program rehabilitasi.

Kemudian Ginneken et.al mengatakan tahanan mungkin tidak puas dengan kondisi sarana dan prasarana, namun karena mereka diberi kebebasan untuk bergerak, bahkan bisa melakukan pekerjaan diluar tahanan, akan memungkinkan tahanan untuk berintraksi dengan sesama tahanan dan staf penjara, membuat hubungan sosial mereka menjadi lebih baik, hal ini menunjukkan kualitas hidup yang membaik pula selama menjalani sisa masa tahanan di lapas (Van Ginneken et al., 2018). Kedua WBP mengatakan fasilitas yang ada di layanan rehabiltiasi sudah cukup memadai, bahkan lebih baik daripada tahanan yang tidak mengikuti rehabilitasi. Keduanya mengatakan hal terpenting adalah tempat tidur dan kamar mandi. Jika kedua hal itu baik maka sarana prasarana yang lain tidak dipermasalahkan.

Faktor yang terakhir adalah kesehatan fisik. Menurut WHOQOL Group, 1998 kesehatan fisik terdiri dari tujuh aspek, yaitu: aktivitas sehari - hari, ketergantungan pada bahan - bahan medis atau pertolongan medis, tenaga dan kelelahan, mobilitas, rasa sakit dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, serta kapasitas berkegiatan. Ada perbedaan yang sangat signifikan pada tahanan yang diberi perlakuan aktifitas fisik dan yang tidak diberikan aktifitas fisik (Alice Mannocci, et al., 2017). Tahanan yang mendapatkan aktivitas fisik setiap hari dengan olah raga mengatakan lebih positif. Mereka merasa lebih sehat dan konflik yang biasanya terjadi antara sesama tahanan menjadi berkurang. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas hidup dari narapiana. Sedangkan mereka yang tidak diberi aktivitas fisik merasa bosan dan lebih pemarah (Alice Mannocci, et al., 2017). Selanjutnya Mannocci juga menyebutkan bahwa aktifitas fisik yang cukup selama berada di penjara mampu mengurangi depresi dan kecemasan, menambah kemampuan fisik, dan meningkatkan status kesehatan narapidana (Alice Mannocci, et al., 2017). Fox KR 1999 (dalam Mannocci et al., 2015) mengatakan waktu yang dihabiskan oleh narapidana untuk berolahraga dan intensitas Gerakan tubuh meningkat seiring dengan bertambahnya tahun yang dihabiskan di penjara. Narapidana dengan masa tahanan yang Panjang perlu untuk mengatur jadwal aktivitas fisik untuk mencapai kepuasan dan kualitas hidup yang lebih baik.

Kemudian penelitian lain juga dilakukan pada kelompok non perlakuan dan perlakuan. Didapatkan hasil bahwa kelompok yang dilakukan aktivitas fisik selama 9 bulan, memiliki efek yang positif pada kesehatan mental (Togas et al., 2014). Yaitu perubahan mood dan hubungan personal dengan sesama narapidana yang lebih baik. Bahkan dapat mengurangi bosan, mengurangi ketegangan karena proses prisonisasi dan meningkatkan kepercayaan diri narapidana. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh WBP 1 dan 2. Keduanya mengatakan aktivitas fisik seperti olah raga, berjemur, workshop dan pelatihan membuat subjek merasa tidak bosan karena bisa berinteraksi dengan sesama tahanan dan juga petugas lapas. Hal tersebut membuat mereka menjalani masa tahanan di lapas menjadi tidak terlalu jenuh atau bosan.

Selanjutnya terkait aspek � aspek pada layanan rehabilitasi narkotika (petugas, program dan sarana prasarana) peneliti mendapatkan hasil sebagai berikut:

1.     Petugas (SDM), WBP I dan 2 mengatakan secara keseluruhan para petugas yang ada di layanan rehabilitasi sangat peduli, berbeda perlakuannya ketika di blok biasa sebelum mengikuti layanan rehabilitasi. WBP 2 merasa para petugas layanan rehabilitasi (psikolog, konselor dan dokter) dan petugas pengamanan melindungi dan membimbing mereka. Namun menurut WBP 1 dan 2 pada petugas konselor khususnya masih dirasa kurang kompeten dalam memberikan konseling, informasi tentang adiksi serta memberikan masukan untuk mereka dan peserta yang lain. Selain itu jumlah petugas konselor juga masih sangat kurang, tidak berimbang dengan jumlah WBP yang mengikuti layanan rehabulitasi. Jumlah konselor hanya 10 orang sedangkan WBP yang direhabilitasi berjumlah 500 orang.

2.     Program Layanan, terkait dengan pelayanan rehabilitasi medis baik WBP 1 maupun 2 mengatakan pelayanan yang didapatkan saat direhabilitasi medis baik. WBP 2 menyebutkan jika ada keluhan akan langsung di tangani oleh dokter. Dan jika ada WBP yang mengalami sakit TB misalnya akan di letakkan di kamar - kamar untuk isolasi sehingga tidak terjadi penularan ke WBP yang lain. Sedangkan WBP 1 menyatakan pelayanan medis dapat memenuhi kebutuhan atas masalah kesehatan yang dialami oleh peserta rehabilitasi. Selanjutnya pada layanan rehabilitasi sosial, peneliti menanyakan tentang ada atau tidaknya perubahan yang signifikan terkait dengan abstinensia, fungsi fisik, psikis dan adaptasi sosial selama menjalankan program rehabilitasi (Therapeutic Community). WBP 1 dan 2 mengatakan perubahan signifikan setelah mengikuti layanan rehabilitasi tubuh menjadi lebih sehat dan segar, dikarenakan pola hidup yang baik, kondisi sosial dan lingkungan juga jauh lebih baik seperti cara berkomunikasi dan menghormati orang lain. Dampak psikis juga dirasakan oleh WBP 1 dengan mengatakan merasa lebih tenang dan tidak mudah emosi seperti sebelumnya. WBP 2 juga mengatakan lebih mampu untuk mengungkapkan perasaan - perasaannya kepada orang lain. Baik WBP 1 maupun 2 mengatakan selama mengikuti rehabilitasi mampu menahan sugesti untuk menggunakan narkotika. Namun menurut WBP 2 masih adanya kesempatan bertemu WBP dari blok lain diluar blok rehabilitasi ketika jam bebas selama program sehingga sering memicu konflik antar sesama WBP dan sering berujung kekerasan.

3.     Sarana dan Prasarana, WBP 1 mengatakan sudah cukup baik karena mendukung kegiatan � kegiatan yang ada dalam program rehabilitasi. Namun masih ada beberapa yang harus diperbaki yaitu kamar mandi yang salurannya masih mampet. Menurut WBP 2 sarana dan prasarana yang ada di lapas cukup lengkap misalnya dari matras, tempat hunian, gelas, sendok masing-masing dan ompreng yang layak pakai hal itu tidak didapatkan ketika berada di blok biasa (sebelum mengikuti layanan rehabilitasi). Selain itu sarana dan prasarana yang mendukung program rehabilitasi juga baik, seperti lapangan untuk berolahraga, tempat ibadah, alat musik.

 

Kesimpulan

Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa terdapat empat faktor (hubungan dengan lingkungan, kesehatan psikologis, kesehatan fisik dan hubungan sosial) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup WBP yang mengikuti layanan rehabilitasi di Lapas Narkotika Klas IIA Jakarta. Hasil dari wawancara dengan dua orang WBP bahwa dalam layanan rehabilitasi narkotika yang meliputi aspek petugas (SDM), progam dan sarana prasarana, secara keseluruhan berpengaruh terhadap kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan sebelum mengikuti. Namun masih dirasakan kurang dari aspek petugas layanan rehabilitasi yaitu konselor, baiki kualitas maupun kuantitasnya, dimana konselor memiliki peran yang sangat penting dalam proses pemulihan WBP dari masalah penyalahgunaan narkotika.

�Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui faktor � faktor lain yang mempengaruhi kualitas hidup WBP dalam layanan rehabilitasi narkotika dan mengetahui lebih mendalam lagi mengenai gambaran layanan rehablitasi narkotika yang meliputi aspek petugas (SDM), program layanan dan sarana prasarana.

 


BIBLIOGRAFI

Anggarwati, S., & Nawangsih, E. (2016). Prosiding Psikologi Pengaruh Pelayanan Komprehensif Terhadap Quality of Life pada Pengguna NAPZA di LSM Rehabilitasi Rumah Cemara Bandung Berdasarkan WHOQOL-BREF. Psikologi, 2, 535�540. Google Scholar

 

BNN. (2019). HEALTH : Research and Drugs. Puslitdatin BNN.

 

BNN. (2020). Indonesia Drug Report. Puslitdatin BNN.

 

Direktorat Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi Kemenkumham. (2018). Petunjuk Pelaksanaan Layanan Rehabilitasi Narkotika Bagi Tahanan dan WBP di UPT Pemasyarakatan.

 

Ditjenpas. (2020a). Sistem Database Pemasyarakatan.

 

Ditjenpas. (2020b). Standar Penyelenggara Layanan Rehabilitasi Pemasyarakatan Bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan Pecandu, Penyalahguna dan Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) Di UPT Pemasyarakatan.

 

Kemenkumham. (2017). Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Layanan Rehabilitasi Narkotika Bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan Tahun 2017. Kemenkumham.

 

Laratmase, A. J. (2016). Pengembangan Alat Ukur Kualitas Hidup Nelayan. Jurnal Ilmiah Pendidikan Lingkungan Dan Pembangunan, 17(01), 34�41. https://doi.org/10.21009/plpb.171.04 Google Scholar

 

Lopez, S. J., & C. R. Snyder, P. . (2003). Positive Psychological Assessment a Handbook of Models & measures.Washington. American Psychological Association. Google Scholar

 

Mannocci, A., Masala, D., Mipatrini, D., Rizzo, J., Meggiolaro, S., Di Thiene, D., & La Torre, G. (2015). The relationship between physical activity and quality of life in prisoners: A pilot study. Journal of Preventive Medicine and Hygiene, 56(4), E172�E175. https://doi.org/10.15167/2421-4248/jpmh2015.56.4.458 Google Scholar

 

Mannocci, Alice, Mipatrini, D., D�Egidio, V., Rizzo, J., Meggiolaro, S., Firenze, A., Boccia, G., Santangelo, O. E., Villari, P., La Torre, G., & Masala, D. (2018). Health related quality of life and physical activity in prison: A multicenter observational study in Italy. European Journal of Public Health, 28(3), 570�576. https://doi.org/10.1093/eurpub/ckx183 Google Scholar

 

Muller, A. E., & Bukten, A. (2019). Measuring the quality of life of incarcerated individuals. International Journal of Prisoner Health, 15(1), 1�13. https://doi.org/10.1108/IJPH-02-2018-0005 Google Scholar

 

Prasetya, Aynal Mardiyah La Dupai, F. (2018). Studi kualitatif kualitas hidup mantan pecandu narkoba di klinik rehabilitasi BNN (Badan Narkotika Nasional) kota kendari tahun 2017. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 3(1), 1�8. Google Scholar

 

Riskiyani, S. (2016). Perlakuan di Lapas , Interaksi Sosial dan Harapan Pengguna Narkoba Mantan Narapidana. Etnosia, 01(01), 71�84. Google Scholar

 

St�ver, H., Kastelic, A. (2014). Drug treatment and harm reduction in prisons. Prisons and Health, WHO Europe, 1, 113�130. Google Scholar

 

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.

 

Tawawi, C. D. (2020). Implementasi Pengaturan Hak-Hak Narapidana Melalui The Nelson Mandela Rules di Indonesia. JUSTITIA : Jurnal Ilmu Hukum Dan Humaniora, 7(3), 523�535. Google Scholar

 

Togas, C., Raikou, M., & Niakas, D. (2014). An assessment of health related quality of life in a male prison population in Greece associations with health related characteristics and characteristics of detention. BioMed Research International, 2014. https://doi.org/10.1155/2014/274804 Google Scholar

 

UNODC. (2015). The United Nations Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners (the Nelson Mandela Rules). UNODC.

 

UNODC. (2019). World Drug Report.

 

Van Ginneken, E. F. J. C., Palmen, H., Bosma, A. Q., Nieuwbeerta, P., & Berghuis, M. L. (2018). The Life in Custody Study: the quality of prison life in Dutch prison regimes. Journal of Criminological Research, Policy and Practice, 4(4), 253�268. https://doi.org/10.1108/JCRPP-07-2018-0020 Google Scholar

 

Copyright holder:

Putri Herdriani, Arthur Josias Simon Runturambi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: