Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

ADAT, ADMINISTRASI, DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN PERTANAHAN

 

Ilham Urane

Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memiliki urgensi untuk diwujudkan ditengah dinamisnya perkembangan aktivitas masyarakat, secara yang berkaitan dengan masyarakat adat. Dinamisasi yang terjadi kerap membuat timbulnya perbuatan hukum jual beli tanah dengan hak ulayat atau adat terhadap pihak lain. Perolehan hak atas tanah yang dilakukan atas objek tanah adat dapat dilakukan melalui jual beli disertai dengan acara adat yang berlaku di daerah, khususnya di Torong Wani Kampung Pohon Pisang. Perolehan hak atas tanah yang telah dilakukan serangkaian proses tersebut, masih menimbulkan persoalan dimana terdapat pihak lain yang juga mengajukan klaim atas objek tanah. Disamping itu, secara dari sisi administrasi diketahui terdapat dua versi letak objek tanah yakni objek tanah menjadi bagian dari Desa Tanjung Boelang atau di Desa Batu Tiga. Perbedaan tersebut menimbulkan persoalan terkait Desa mana yang berwenang untuk melakukan pengurusan terhadap perolehan hak atas tanah pada objek tanah yang bersangkutan. Persoalan tersebut membawa konsekuensi dimana harus dilakukannya perlindungan hukum bagi pembeli sebagai konsumen pertanahan. Beberapa mekanisme yang dapat ditempuh adalah melalui perkara pidana, perkara perdata hingga mengajukan pengaduan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Dalam melakukan penelitian ini, metode yang digunakan penulis adalah yuridis normative dengan melakukan kajian dan menguji bahan pustaka atau data sekunder sebagai data dasar yang dikaitkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan.

 

Kata Kunci: Perolehan hak atas tanah, perlindungan pembeli sebagai konsumen pertanahan, administrasi, Torong Wani Kampung Pohon Pisang.

 

Abstract

Guarantees of legal certainty in the land sector have urgency to be realized in the midst of the dynamic development of community activities, related to indigenous peoples. The dynamics that occur often lead to legal acts of buying and selling land with ulayat or customary rights against other parties. The acquisition of land rights carried out on customary land objects can be carried out through buying and selling accompanied by traditional events that apply in the area, especially in Torong Wani, Banana Tree Village. The acquisition of land rights, which has been carried out in a series of processes, still raises problems where there are other parties who also file claims on land objects. In addition, from an administrative point of view, it is known that there are two versions of the location of the land object, namely the land object being part of Tanjung Boelang Village or in Batu Tiga Village. This difference raises problems regarding which village is authorized to administer the acquisition of land rights on the land object in question. This problem has consequences where legal protection must be carried out for buyers as land consumers. Several mechanisms that can be taken are through criminal cases, civil cases to submitting complaints to the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency. In conducting this research, the method used by the author is normative juridical by conducting studies and testing library materials or secondary data as basic data associated with various laws and regulations.

 

Keywords: Acquisition of land rights, protection of buyers as land consumers, administration, Torong Wani Kampung Pohon Pisang.

 

Pendahuluan

Perkembangan aktivitas masyarakat yang secara khusus dalam bidang pertanahan membuat banyak anggota masyarakat yang melakukan peralihan hak atas tanah seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, bahkan melalui waris. Atas dasar tersebut menjadi penting untuk mewujudkan suatu perangkat hukum yang memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam berbagai persoalan pertahanan. Sejalan dengan hal tersebut, urgensi mewujudkan perangkat hukum yang mapan untuk bidang pertanahan juga menjadi salah satu fokus penting yang mana Soerjono Soekanto menyatakan, �Sebagai salah satu unsur essensial pembentukan negara adalah tanah.� Tanah memiliki peranan yang esensial dalam konteks kehidupan dan penghidupan negara (Soekanto, 2016).

Pembentukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut sebagai �UU Pokok Agraria�) menjadi suatu dasar yang mengakhiri adanya dualisme hukum pertanahan. UU Pokok Agraria pada pokoknya telah menghapuskan adanya dualisme, semua hak, apakah hak itu didasarkan pada hukum barat maupun hukum adat, diubah menjadi hak-hak baru berdasarkan pada hukum adat yang disesuaikan dengan asas-asas yang tercantum dalam UU Pokok Agraria (Hutagalung, 1985).

Boedi Harsono berpandangan bahwa pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan harus dapat diwujudkan. Kepastian hukum sejatinya menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. Berkaitan dengan hal tersebut, Oce Madril dan Hasrul Halili mengemukakan bahwa kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara (Syarif, 2012).

Guna mewujudkan kepastian hukum dalam bidang pertanahan memerlukan: 1. tersedianya perangkat hukum tertulis yang lengkap dan jelas serta dilaksanakan secara konsisten; 2. Penyelenggaraan pendaftaran tanah yang efektif (Harsono, 2003). Dalam mencapai kepastian hukum tersebut, Pasal 19 ayat (1) UU Pokok Agraria menyatakan bahwaUntuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.� Pendaftaran tanah menjadi salah satu persoalan penting dalam kerangka pertanahan. Sebagaimana diuraikan bahwa tujuannya akan memberikan kepastian hukum maka pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan, agar terwujudnya kepastian hukum tentang haknya.

Sehubungan dengan pendaftaran tanah, maka dapat dikaitkan pula dengan tanah adat yang masih menimbulkan beberapa persoalan. Hak penguasaan atas tanah adat atau yang secara konstitutif pada UU Pokok Agraria dikenal sebagai hak ulayat sebagai salah satu bentuk penguasaan masih diakui keberadaannya hingga saat ini. Oleh karena itu, kemudian dapat diketahui adanya peranan Kepala Adat serta Kepala Desa dalam lingkup kecil guna pengurusan sertifikat pendaftaran tanah.

Namun harus diperhatikan bahwa pengurusan hak atas tanah ulayat menjadi isu hukum yang cakupannya tidak hanya ada pada satu sektor saja seperti halnya administrasi. Disamping itu pengurusan hak atas tanah ulayat juga mengalami dinamisasi yang kompleks, dimana suatu tanah ulayat dapat saja diperjualbelikan oleh Kepala Adat atas kesepakatan dengan masyarakat adat kepada pihak lain. Dapat dilihat pada perkara dengan Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN. Lbj., dimana terdapat beberapa pihak yang pada waktu berdekatan melakukan pendaftaran hak atas tanah. Secara ringkas diuraikan bahwa terdapat tanah ulayat yang dilakukan pengalihan hak kepada Rikard Bagun melalui Surat Jual Beli Tanah Adat dan Surat Pernyataan Menyerahkan Hak atas Tanah dari Pemangku Adat dengan cara adatKapu Manuk-Lele Tuakyaitu sarana budaya untuk mendapatkan sebidang tanah atas persetujuan dari Kepala Adat.

Atas dasar tersebut, Rikard Bagun berupaya untuk melakukan pendaftaran tanah guna memperoleh sertifikat atas tanah. Namun, objek tanah tersebut telah terbit sertifikat atas nama Baharuddin, Hindong, Hataming, Syahril, Ruslin. Sehingga diduga penerbitan sertifikat atas nama yang telah disebutkan tersebut menggunakan dokumen palsu atau surat yang dipalsukan dalam proses pendaftaran tanah hingga penerbitan sertifikat.

 

Metode Penelitian

Adapun metode penelitian hukum normatif pada penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang dikaji. Kedua, pendekatan kasus, dimana perlu dipahami alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya. Hal tersebut juga disertai dengan perlunya fakta materiel tersebut diperhatikan guna mencari aturan hukum yang tepat untuk dapat diterapkan kepada fakta-fakta yang dianalisis (Marzuki & SH, 2021).Ketiga, pendekatan konseptual, dimana dalam hal ini mempelajari peraturan perundang-undangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum yang berkaita dengan isu hukum yang dikaji dan dijadikan acuan dalam membangun argumentasi hukum guna memecahkan isu hukum yang dihadapi.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Perolehan hak atas tanah adat dikaitkan dengan Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN. Lbj.

Pendaftaran tanah pada dasarnya mengacu pada status legal guna menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut sebagai �PP Pendaftaran Tanah�) berbunyiPendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.�

Berikutnya, Boedi Harsono menerangkan juga mengenai yang dimaksud dengan pendaftaran tanah sebagai suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh negara/pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya.� Melalui pengertian yang diberikan, maka dapat diketahui terdapat unsur-unsur penting yang berkaitan dengan pendaftaran tanah sebagai berikut (Harsono, 2003):

a.      Suatu rangkaian kegiatan

Suatu rangkain kegiatan merupakan diwujudkannya berbagai kegiatan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu sama lain, berurutan menajdi satu kesatuan rangkaian yang dapat mewujudkan tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum.

b.     Terus menerus

Suatu rangkaian tertentu merujuk pada pelaksanaan kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang diperoleh dan dikumpulkan harus dipelihara dalam arti disesuaikan dengan perkembangan yang dapat terjadi kemudian hari, hingga tetap berkesinambungan keadaan yang sebelumnya.

c.      Teratur

Teratur menunjuk bahwa semua kegiatan didasarkan pada peraturan-perundang-undangan yang berlaku, karena hasilnya akan menjadi suatu bukti menurut hukum.

d.     Wilayah

Wilayah merujuk pada wilayah kesatuan administrasi yang bisa meliputi seluruh negara, hingga pada tingkatan desa dan kelurahan

e.      Tanah-tanah tertentu

Tanah-tanah tertentu menunjukkan adanya objek pendaftaran tanah dan ada kemungkinan bahwa hanya Sebagian tanah yang dipunyai dengan hak-hak yang ditunjuk.

Sebagaimana diketahui bahwa pada perkara dengan Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN.Lbj., terdapat beberapa pihak yang melakukan pendaftaran tanah. Tanah yang dimaksudkan terletak di Torong Wani Kampung Pohon Pisang, Dusun Kokor, Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng, Kabupaten Mangarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas kurang lebih 264 (dua ratus enam puluh empat) hektar (selanjutnya disebut sebagaiObjek Tanah�). Objek tanah tersebut semula merupakan tanah dengan hak ulayat. Boedi Harsono berpandangan bahwa hak ulayat merupakannama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum secara konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah di dalam wilayahnya dengan rumusan, bahwa hak ulayat adalah hak dari suatu masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya yang memberi wewenang tertentu kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah wilayah masyarakat hukum tersebut. Selain itu hak ulayat juga diartikan sebagai tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuataan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok atau masyarakat hukum adat.�

Sehubungan dengan objek tanah yang semula merupakan tanah dengan hak ulayat, maka Objek Tanah harus memenuhi berbagai syarat konversi hak. Konversi hak sebagaimana di definisikan pada Penjelasan Pasal 3 huruf d Peraturan Daerah Kabupaten Manggarai Barat Nomor 13 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disebut sebagaiPerda Manggarai Barat�) merupakan perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut UU Pokok Agraria, termasuk hak oleh pemerintah.� Ketentuan tersebut memberikan contoh dimana bekas tanah milik adat (dengan bukti surat girik atau sejenisnya) menjadi hak baru. pada perkara a quo diketahui bahwa terdapat beberapa pihak yang menyatakan penguasaan atas objek tanah. Pertama yakni, Rikard Bagun, menyatakan penguasaan tanah atas objek tanah yang semula merupakan tanah dengan hak ulayat. Penguasaan tanah oleh Rikard Bagun didasarkan atas beberapa alas hak seperti, Surat Jual Beli Tanah Adat dan Surat Pernyataan Menyerahkan Hak Atas Tanah dari Pemangku Adat Nggieng Gelarang Sepang yang terdiri dari Tua Golo, Ketua Ulayat dan perwakilan Lima Ame kepada Rikard Bagun dengan cara adatKapu Manuk Lele-Tuakyaitu suatu sarana budaya untuk mendapatkan sebidang tanah atas persetujuan dari Tua Golo.

Perbuatan hukum yang dilakukan oleh Rikard Bagun dengan masyarakat adat tersebut merupakan suatu perbuatan hukum jual beli tanah atau transaksi/pemindahan hak tanah dalam hukum adat yang merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti bahwa pemindahan hak tersebut dilakukan dihadapan Ketua Ulayat, sedangkan tunai ialah perbuatan pemindahan hak dan pembayaran dilakukan secara serentak.Hal tersebut sesuai dengan pandangan Ter Haar yang menyatakan bahwaPembantuan dari penghulu-penghulu rakyat untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum (rechtshandeling) yang menimbulkan suatu perubahan yang diinginkan dalam ketertiban hukum dan yang berhak atas perlindungan hukum maka ia harus dilaksanakan dengan pembantuan penghulu-penghulu rakyat atau kepala-kepala dusun yang tugasnya disebut dengan perkataan yang menunjukkan bahwa mereka bertanggung jawab dimana perbuatan hukum pada objek tanah sudah cukup tertib dan sudah cukup sah menurut hukumnya. Perbuatan hukum tersebut diadakan dengan pengetahuan umum, mengangkatnya sampai ketertiban hukum umum, menjadikannya terang dan tidak gelap, petang (Haar, 1987).

Selain berdasarkan prosesi cara adatKapu Manuk Lele-Tuak�, keterkaitan Kepala Desa juga menjadi salah satu fokus dalam perbuatan hukum yang diadakan oleh Rikard Bagun. Setidaknya terdapat beberapa pandangan mengenai urgensi perananan Kepala Desa dan fungsinya dalam peralihan hak tanah bekas milik adat yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a)     Ter Haar menyatakan bahwa bila perjanjian itu dilaksanakan di luar pengetahuan maka perbuatan tidak dapat mewujudkan ketertiban hukum, tidak berlaku terhadap pihak ketiga, dan penerima oleh dunia luar tidak diakui sebagai yang berhak atas tanah juga dalam hubungan kedua belah pihak maka bila timbul perselisihan mengenai ha katas tanah-tanah risikonya ada pada penerima yang tidak menerimnya dengan terang (Bzn, 1983).

b)     Arie S. Hutagalung dan Suparjo berpandangan bahwa dengan disaksikan Kepala Desa yang fungsinya untuk: 1. menjamin kebenaran tentang status tanahnya, pemegang haknya, keabsahan bahwa telah dilaksanakan dengan hukum yang berlaku; 2. mewakili warga desa (unsur publisitas) (Bzn, 1983).

Merujuk pada kasus, diketahui bahwa Hamzah merupakan Kepala Desa Tanjung Boelang sejak Bulan Desember Tahun 2017.Desa Tanjung Boelang terdiri atas 5 (lima) dusun yaitu dusun Rangko, Boelng, Grak, Kokor dan Rareng. Bahwa berdasarkan keterangan Hamzah, diketahui bahwa objek tanah berada yang berada di Torong Wani Kampung Pohon Pisang berada di Dusun Kokor. Pada keterangan yang diberikan, bahwa Hamzah mengetahui adanya kepemilikan tanah pada objek tanah oleh Rikard Bagun. Hanya saja bila merujuk pada tempo waktu jual beli objek tanah, Hamzah belum menjabat sebagai Kepala Desa. Sehingga pengetahuan Hamzah secara langsung terkait objek tanah tersebut tidak ada. Sedangkan menilik muatan keterangan saksi serta alat bukti lain, tidak terdapat bukti yang menunjukkan pengetahuan atau perananan dari Kepala Desa Tanjung Boelang pada tempo waktu tahun 2016 saat jual beli objek tanah dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas, maka perolehan hak atas tanah melalui jual beli objek tanah yang dilakukan oleh Rikard Bagun dengan masyarakat adat melalui prosesi cara adatKapu Manuk Lele-Tuaktelah memenuhi ketentuan Pasal 3 huruf d Perda Manggarai Barat dalam hal konversi hak. Konversi hak dibuktikan dengan penyertaan berupa Surat Pernyataan Menyerahkan Hak Atas Tanah anggal 8 Agustus 2016 dan Surat Jual Beli Tanah Adat tanggal 8 Agustus 2016. Namun untuk pengetahuan Kepala Desa, perbuatan jual beli yang dilakukan Rikard Bagun tidak terdata oleh pemerintahan desa. Padahal, dalam peralihan hak atas tanah bekas milik adat, Kepala Desa memiliki peranan penting seperti dapat melakukan pencatatan mengenai peralihan hak atau memberikan keterangan mengenai peralihan hak atas tanah. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 26 ayat (4) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang menyatakan bahwaDalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban: menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik.� Salah satu wujud dari administrasi Pemerintahan Desa yang baik adalah dengan melakukan pendataan mengenai peralihan hak atas tanah, apalagi mengenai peralihan tanah dengan hak ulayat guna mewujudkan ketertiban di masyarakat.

Meskipun demikian, saat Rikard Bagun mengajukan permohonan penerbitan sertifikat pada objek tanah tersebut kepada Badan Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat tidak dapat dilakukan sebab di atas objek tanah tersebut telah terbit sertifikat atas nama Baharudin, Hindong, Hataming, Syahril, Ruslin (selanjutnya disebut sebagai �4 Pihak Lain�). Adanya pendaftaran tersebut menimbulkan persoalan mengenai pihak mana yang berhak atas kepemilikan objek tanah tersebut. Secara ringkas dapat diuraikan bahwa perolehan hak tanah atas nama 4 Pihak Lain dilakukan dengan mengajukan Surat Pengukuhan Kepemilikan Hak atas Bidang Tanah; Surat Keterangan Riwayat Kepemilikan Hak atas Tanah; Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik); Surat Pernyataan Penanaman Tanda Batas Tanah; Surat Pernyataan Tidak Sengketa; Surat Peralihan Objek Tanah; dan Surat Perikatan Jual Beli atas Tanah dan Akta Jual Beli yang ditandatangi oleh Nasaruddin selaku Kepala Desa Batu Tiga.

Namun harus diperhatikan bahwa adanya berbagai dokumen yang diurus oleh 4 Pihak Lain tidak mendapat persetujuan dari Tua Golo yaitu Nikolaus Todo selaku kepala kampung. Hal tersebut tertuang dalam keterangan saksi Nikolaus Todo yang menyatakan bahwa Nikolaus Todo tidak pernah menandatangani dan memberikan surat pengukuhan kepemilikan hak atas tanah kepada 4 Pihak Lain. Selain itu, Nikolaus Todo juga menyatakan bahwa pada tahun 2017 tidak ada penyerahan tanah kepada orang lain yang dilakukan oleh pemangku adat �Sepang Nggiengatas dasarKapu Manuk Lele Tuak�. Bahkan pada tahun 2016, pemangku adat juga tidak pernah menyerahkan tanah secara adat kepada orang lain selain kepada Rikard Bagun.

Berdasarkan uraian di atas maka konversi hak yang dilakukan oleh 4 Pihak Lain tidak sesuai dengan Pasal 3 huruf d Perda Manggarai Barat yang menekankan mengenai konversi hak, dimana konversi hak bekas tanah hak milik adat harus dilengkapi bukti (surat girik atau sejenisnya) menjadi hak baru. Bahkan untuk prosesi adatKapu Manuk Lele Tuak� juga tidak dilakukan dalam penyerahan tanah kepada 4 Pihak Lain. Sehingga dari pengaturan pada Perda Manggarai Barat dan adat yang berlaku di daerah Objek Tanah, perbuatan 4 Pihak Lain tidak sesuai.

Selain dari perolehan hak atas tanah dari sisi adat, persoalan lain yang muncul atas perbuatan yang dilakukan oleh 4 Pihak Lain dapat dikaitkan dengan bidang administrasi wilayah. Diketahui bahwa daerah Objek Tanah merupakan wilayah dari Desa Tanjung Boleng. Hal tersebut didasarkan pada keterangan Saksi Syarifuddin yang merupakan Kepala Desa Pontianak yang mendapatkan informasi dari beberapa mantan kepala desa sebelumnya, dimana Objek Tanah yang berada di Torong Wani Kampung Pisang, Dusun Kokor terletak di wilayah desa Tanjung Boelang. Selain itu, Hamzah selaku Kepala Desa Tanjung Boelang juga menegaskan bahwa Torong Wani Kampung Pisang, Dusun Kokor terletak di wilayah Desa Tanjung Boelang. Lebih lanjut disesuaikan dengan keterangan saksi Mateus Ngabut selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa pada Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat juga menyatakan bahwa Dusun Kokor berada dalam wilayah Desa Tanjung Boelang. Sehingga, perolehan hak atas tanah pada Objek Tanah yang dilakukan oleh 4 Pihak Lain kepada Nasaruddin Kepala Desa Batu Tiga telah salah secara administratif juga sebab wilayah Objek Tanah tidak terletak di wilayah Desa Batu Tiga, melainkan terletak di wilayah Desa Tanjung Boelang.

Meskipun demikian, merujuk pada dokumen yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat melalui Camat Boleng bahwa daerah Objek Tanah berada di Desa Batu Tiga. Hal tersebtu termaktub dalam keterangan saksi Luput Royman selaku Camat Boleng sejak tanggal 2 Desember 2010 sampai dengan tahun 2013. Bahwa dokumen yang tersimpan di kantor Camat Boleng terkait wilayah pemerintah desa yang berada di kecamatan Boleng yaitu peta wilayah pemerintah desa. Dalam peta wilayah desa Batu Tiga ada di daratan pulau Flores yang salah satunya adalah Torong Wani Kampugn Pisang.

Permasalahan yang dapat diketahui menilik pada uraian di atas adalah mengenai masalah wilayah administratif. Bila memperhatikan dokumen yang dikeluarkan oleh Camat Boleng, maka persoalan mengenai peralihan hak atas Objek Tanah menjadi wilayah wewenang dari Kepala Desa Batu Tiga. Sedangkan bila merujuk pada keterangan saksi Kepala Desa Pontianak, Kepala Desa Tanjung Boelang dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa bahwa daerah Objek Tanah menjadi wewenang Kepala Desa Tanjung Boelang.

B.    Perlindungan pembeli objek tanah sebagai konsumen pertanahan dikatikan dengan Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN. Lbj.

Jual beli ha katas tanah sebagai suatu lembaga hukum, tidak secara tegas dan rinci diatur dalam UU Pokok Agraria. Bahkan sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai pelaksanaan jual beli hak atas tanah (Sutedi, 2007). Istilah jual beli hak atas tanah hanya termaktub dalam Pasal 26 UU Pokok Agraria yang menyatakan bahwa: (1) Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; (2) Setiap jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaran asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Sementara itu, ketentuan yang terdapat pada pasal-pasal lain tidak ada yang menyebutkan kata jual beli, tetapi disebutkan sebagaidialihkan.� Pengertian dialihkan menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada piha lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena jual beli (Sutedi, 2007).

Merujuk pada Pasal 5 UU Pokok Agraria bahwa �Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Dikaitkan dengan perkara a quo bahwa jual beli yang dilakukan didasarkan pada adat yang berlaku di wilayah Objek Tanah yakni di Torong Wani Kampung Pisang. Dalam hal jual beli tanah menurut hukum adat bersifat kontan atau tunai. Pembayaran harga dan penyerahan haknya dilakukan pada saat yang bersamaan. Pada saat itu jual beli tersebut menurut hukum telah selesai (Perangin, 1989).

Sehubungan dengan hal tersebut, Effendi Perangin berpandangan bahwa dengan dilakukannya jual beli di hadapan Kepala Adat (Desa), jual beli yang dilakukan menjadi terang, bukan perbuatan hukum yang gelap. Dengan demikian, maka pembeli mendapat pengakuan dari masyarakat yang bersagkutan sebagai pemilik yang baru dan akan mendapatkan perlindungan hukum jika dikemudian hari ada gugatan terhadapnya dari pihak yang menganggap jual beli tersebut tidak sah (Perangin, 1989). Pada perkara a quo Rikard Bagun melakukan jual beli Objek Tanah dihadapan Kepala Adat yang disertai juga dengan prosesi adatKapu Manuk Lele Tuak�. Bukti adanya jual beli tersebut berupa Surat Pernyataan Menyerahkan Hak Atas Tanah anggal 8 Agustus 2016 dan Surat Jual Beli Tanah Adat tanggal 8 Agustus 2016. Kedua bukti tersebut menunjukkan secara nyata dan sebagai bukti dilakukan perbuatan hukum tersebut. Namun Objek Tanah yang telah dibeli oleh Rikard Bagun belum didaftarkan. Sehingga secara yuridis berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU Pokok Agraria yang mengamanatkan untuk melakukan pendaftaran tanah, Objek Tanah yang telah dibeli oleh Rikard Bagun tidak dapat dibuktikan secara yuridis.

Pada perkara a quo dijelaskan bahwa Rikard Bagun berupaya untuk melakukan pendaftaran atas Objek Tanah. Namun ketika mengajukan permohonan pendaftaran tanah, telah terdapat alas hak berupa sertifikat tanah bagi 4 Pihak lain. Hal tersebut menimbulkan persoalan mengenai perlindungan hukum atas perbuatan hukum jual beli Objek Tanah yang dilakukan oleh Rikard Bagun dihadapan Kepala Adat. Padahal memperhatikan pertimbangan hakim pada perkara a quo, diketahui bahwa unsurdengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati� dan unsur �Jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugiantelah terbukti secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh Baharuddin, Hindong, dan Syahrir. Sehingga dapat dilihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh 4 Pihak Lain telah melanggar hak yang diperoleh oleh Rirkad Bagun selaku konsumen pertanahan yang telah melakukan perbuatan hukum jual beli Objek Tanah dihadapan Kepala Adat.

Sehubungan dengan hal tersebut, Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwaSetiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.� Guna mewujudkan hak tersebut, dihubungkan dengan perkara a quo sejatinya telah terwujud suatu publikasi negatif. Sistem publikasi negative yakni, dimana sahnya perbuatan hukum menentukan berpindahnya hak kepada pembeli, dan hanya memberikan perlindungan hak kepada pemegang haknya saja (yang berhak), sehingga sistem publikasi ini dikenal dengan asas Nemo Plus Yuris, yakni suatu asas yang menyatakan seseorang tidak boleh melakukan jual beli kalau dia tidak berwenang atas tanah yang bersangkutan. Bahwa orang yang tidak bertindak melebihi kewenangan yang ada padanya, siapa Namanya tercantum dalam tanda bukti hak tersebut maka dialah pemegang haknya. Orang lain boleh percaya, boleh tidak percaya atas keterangan yang ada. Bilama mana terjadi kesalahan dalam pencatatan, berdasarkan putusan hakim dapat diperbaiki oleh petugas penyelenggara pendaftaran tanah. Dengan demikian orang yang berhak tetap terlindungi.

Rikard Bagun merupakan orang yang memiliki hak atas Objek Tanah setelah melakukan perbuatan jual beli atas Objek Tanah dihadapan Kepala Adat yang disertai dengan prosesi adat. Sedangkan, kaitannya dengan 4 Pihak Lain, berdasarkan Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN. Lbj., yang juga melakukan klaim atas Objek Tanah dengan bukti sertifikat Objek Tanah atas nama 4 Pihak Lain didasarkan atas perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang dimaksud tertuang dalam bagi pertimbangan Majelis Hakim pada perkara a quo yang menyatakan bahwa unsur-unsur pada Pasal 263 ayat (1) ke-2 telah terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai berikut:

a.      Unsurdengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati

Memperhatikan bahwa adanya perbedaan isi dari Surat Pernyataan Penyerahan Tanah Adat dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan, menyebabkan isi dari surat-surat tersebut menjadi tidak benar karena disatu sisi Para Terdakwa mengatakan pembagian dilakukan oleh Arifin pada tahun 2011. Namun disi lain, isi surat tersebut menyatakan bahwa Ruslin yang membagikan pada tahun 2016. Oleh karena Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa IV berdasarkan keterangan pada pertimbangan di atas, mengetahui perihal perbedaan tersebut dan tetap menyerahkan surat itu kepada orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut dalam hal ini Badan Kantor Pertanahan sehingga terbit Sertifikat Hak Milik, dengan demikian terhadap Terdakwa I, Terdakwa II, dan Terdakwa IV, unsurdengan sengaja memakai surat palsutelah terpenuhi.

b.     Unsurjika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian

Memperhatikan bahwa meskipun tidak terdapat kejelasan mengenai perolehan tanah oleh Rikard Bagun antara dengan jual beli atau penyerahan adat, akan tetapi karena dapat dibuktikan bahwa Saksi Rikard Bagun telah mengeluarkan sejumlah uang, sementara pada saat ini sudah Sertifikat Hak Milik atas nama Para Terdakwa yang terbit di atas Objek Tanah yang menurut Saksi Rikard Bagun adalah miliknya, adapaun mengenai kebenarannya belum dapat ditentukan namun sudah terdapat kemungkinan kerugian bagi Saksi Rikard Bagun selaku pelapor, dengan demikian unsurjika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugiantelah terpenuhi.

Berdasarkan uraian pertimbangan Majelis Hakim di atas, maka telah terang bahwa terdapat kecacatan dalam dokumen pendaftaran tanah yang dilakukan oleh 4 Pihak Lain. Hal tersebut tentu berpotensi merugikan Rikard Bagun yang telah melakukan jual beli tanah dihadapan Kepala Adat. Majelis Hakim pada Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN. Lbj., memberikan amar yang pada pokoknya Terdakwa I, Terdakwa II dan Terdakwa IV harus dilepas dari segala tuntutan hukum. hal tersebut karena Majelis Hakim menyimpulkan bahwa permasalahan yang demikian lebih tepat untuk dipersengketan mengenai kepemilikan tanah dengan diselesaikan melalui hukum acara perdata.

Penyelesaian melalui hukum acara perdata menjadi pranata hukum yang dapat ditempuh para pihak yang berselisih mengenai kepemilikan Objek Tanah. Rikard Bagun atau sebaliknya untuk 4 Pihak Lain dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kaitannya dengan pembuktian pemilik sah Objek Tanah yang dipersoalkan. Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwaTiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkna orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.� Diketahui, bahwa pada Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN. Lbj., 4 Pihak Lain telah melakukan perbuatan pemalsuan surat yang digunakan untuk mengajukan permohonan penerbitan sertifikat hak milik atas Objek Tanah.

Padahal Objek Tanah yang diajukan penerbitan sertifikat tersebut telah dimiliki oleh Rikard Bagun melalui perbuatan hukum jual beli dan proses adat yang disertai dengan bukti Surat Pernyataan Menyerahkan Hak Atas Tanah anggal 8 Agustus 2016 dan Surat Jual Beli Tanah Adat tanggal 8 Agustus 2016. Sehingga, perbuatan 4 Pihak Lain memiliki hubungan kausalitas dengan kerugian Rikard Bagun yang mana terdapat penolakan dari Kantor Badan Pertanahan ketika mengajukan permohonan penerbitan sertifikat atas Objek Tanah. Sesuai dengan Pasal 49 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasonal Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (selanjutnya disebut sebagaiPermen Pertanahan�) bahwaPelaksanaan putusan pengadilan merupaan tindak lanjut atas putusan lembaga peradilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.� Berikutnya, pada Pasal 49 ayat (2) Permen Pertanahan berbunyi: �Amar putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang berkaitan dengan penerbitan, peralihan, pembatalan hak atas tanah dan/atau pembatalan penetapan tanah terlantar antara lain: a. perintah untuk membatalkan hak atas tanah; b. menyatakan batal/tidak sah/tidak mempunyai kekuatan hukum hak atas tanah; c. menyatakan tanda bukti hak tidak sah/tidak berkekuatan hukum; d. perintah dilakukannya pencatatan atau pencoretan dalam Buku Tanah; e. perintah penerbitan hak atas tanah; f. perintah untuk membatalkan penetapan tanah terlantar; g. amar yang bermakna menimbulkan akibat hukum terbitnya peralihan hak ata batalnya peralihan hak.�

Selain mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, mekanisme lain yang dapat ditempuh oleh Rikard Bagun adalah dengan melakukan pengaduan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Permen Pertanahan bahwaPengaduan adalah laporan atau keberatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan, kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atas kasus pertanahan. Setelah menerima laporan maka dilakukan pengumpulan data dan hasil analisis untuk kemudian ditindaklanjuti sesuai dengan Pasal 14 Permen Pertanahan. Berikutnya, berdasarkan hasil pengumpulan data dan analisis, maka dilakukan pengkajian untuk mengetahui pokok masalah, penyebab terjadinya, potensi dampak, alternatif penyelesaian dan rekomendasi penyelesaian sengketa dan konflik. Berdasarkan hasil pengkajian dan hasil pemeriksaan lapangan, maka dapat dilakukan pemaparan. Paparan sebagaimana termaktub dalam Pasal 21 ayat (2) Permen Pertanahan bahwaPaparan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam hal: a. sengketa dan konflik termasuk dalam karakteristik tertentu; atau b. sengketa dan konflik ditangani oleh Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik.

Selanjutnya, pejabat yang bertanggungjawab dalam menangani Sengketa, Konflik dan Perkara atau Tim Penyelesaian Sengketa dan Konflik membuat Laporan Penyelesaian Pertanahan. Lebih lanjut, Setelah menerima Laporan Penyelesaian Sengketa dan Konflik, maka berdasarkan Pasal 24 Permen Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN atau Menteri menyelesaikan Sengketa dan Konflik dengan menerbitkan: a. Keputusan Pembatalan Hak Atas Tanah; b. Keputusan Pembatalan Sertifikat; c. Keputusan Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan/atau Daftar Umum lainnya, atau d. Surat Pemberitahuan bahwa tidak terdapat kesalahan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3).

 

Kesimpulan

Perolehan hak atas tanah dengan hak ulayat dapat diperoleh melalui perbuatan hukum jual beli dan acara adat yang berlaku. Dalam hal ini terdapat beberapa pihak yang memiliki klaim penguasaan hak atas adat yakni Rikard Bagun dan 4 Pihak Lain. Merujuk pada perkara dengan Putusan Nomor 9/Pid.B/2021/PN. Lbj., diketahui bahwa Rikard Bagun melakukan perbuatan hukum jual beli tanah dihadapan Kepala Adat yang disertai dengan acara adat pada daerah Objek Tanah. Sedangkan 4 Pihak Lain dalam proses perolehan hak atas tanah melakukan perbuatan pemalsuan surat, dimana berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa Kepala Adat tidak mengadakan penandatanganan dan memberikan surat pengukuhan kepemilikan hak atas tanah kepada 4 Pihak Lain. Selain itu, persoalan administrasi juga berkaitan dengan proses perolehan hak atas tanah antara Rikard Bagun dan 4 Pihak Lain. Berdasarkan fakta yang terungkap terdapat dua versi wilayah administratif Objek Tanah yang masih menjadi persoalan, yakni wilayah Objek Tanah yang berada di Desa Tanjung Boelang atau di Desa Batu Tiga.


BIBLIOGRAFI

 

Bzn, B. Ter Haar. (1983). Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan, Jakarta, Pradnya Paramita. Google Scholar

 

Haar, Ter. (1987). Terjemahan Soebakti Pesponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat (9th ed.). Jakarta: Pradnya Paramita.

 

Harsono, Boedi. (2003). Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria. Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid, 1. Google Scholar

 

Hutagalung, Arie Sukanti. (1985). Program redistribusi tanah di Indonesia: suatu sarana ke arah pemecahan masalah penguasaan tanah dan pemilikan tanah. Rajawali. Google Scholar

 

Marzuki, Peter Mahmud, & SH, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada Media. Google Scholar

 

Perangin, Effendi. (1989). Hukum Agraria di Indonesia; Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Rajawali Press. Google Scholar

 

Soekanto, Soerjono. (2016). Hukum Adat Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta.

 

Sutedi, Adrian. (2007). Peralihan hak atas tanah dan pendaftarannya. Google Scholar

 

Syarif, Laode M. &. Didik E. Purwoleksono. (2012). Hukum Anti Korupsi. The Asia Foundation. Jakarta.

 

Copyright holder:

Ilham Urane (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: