Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSI

 

Farhan Alfikri, Nyayu Khodijah, Ermis Suryana

Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat kebijakan pendidikan inklusi di Indonesia. Saat ini diperkirakan sepuluh persen anak di dunia adalah anak berkebutuhan khusus. Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia semakin meningkat meskipun belum pasti. Tingginya prevalensi dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah ini membuat Anak Berkebutuhan Khusus mendapat perhatian lebih. Pendidikan inklusi adalah bentuk pendidikan khusus yang memungkinkan semua anak berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan yang setara dengan apa yang diterima teman sebayanya di kelas biasa. Realitas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan sekolah inklusi di Indonesia masih jauh dari visi dan pedoman pelaksanaan yang dikedepankan, baik dari segi siswa, kualifikasi guru, sarana dan prasarana, serta dukungan dari orang tua dan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi akan bergantung pada kerja sama negara, guru dan orang tua.

 

Kata Kunci: Kebijakan, Pendidikan Inklusi

 

Abstract

The main purpose of this research is to look at inclusive education policies in Indonesia. Currently, it is estimated that ten percent of children in the world are children with special needs. The number of children with special needs in Indonesia is increasing, although it is not certain. The high prevalence and increasing public awareness of this problem make Children with Special Needs receive more attention. Inclusive education is a form of special education that allows all children with special needs to get an education that is equivalent to what their peers receive in ordinary classes. The reality of implementing inclusive school implementation policies in Indonesia is still far from the vision and implementation guidelines put forward, both in terms of students, teacher qualifications, facilities and infrastructure, as well as support from parents and the community. The success of implementing inclusive education will depend on the cooperation of the state, teachers and parents.

 

Keywords: Policy, Inclusive Education

 

 

 

Pendahuluan

Pendidikan merupakan hak penting bagi seluruh warga negara Indonesia, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus. Seperti halnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dalam Pasal 5 Ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu, setiap orang berhak memperoleh pendidikan yang bermutu. Memberikan pemerataan pendidikan tentunya sangat berpengaruh dan penting bagi perkembangan pendidikan. Selama ini anak berkebutuhan khusus telah diberikan fasilitas pendidikan khusus yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB), berdasarkan derajat dan jenis peminatannya. Namun, Sekolah Luar Biasa masih dapat menjadi penghambat interaksi antara anak berkebutuhan khusus dengan mereka yang tidak berkebutuhan khusus, sehingga menghambat proses integrasi di antara mereka. Akibatnya, anak berkebutuhan khusus tersisih dari interaksi sosial. Anak berkebutuhan khusus tidak diakui, begitu pula sebaliknya, anak berkebutuhan khusus merasa tidak termasuk dalam kehidupan masyarakat sekitar.

Pendidikan inklusi adalah pendekatan yang bertujuan untuk mengubah sistem pendidikan dengan menghilangkan hambatan yang menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Komprehensif adalah perubahan praktis yang memberikan kesempatan kepada anak-anak dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda untuk berhasil dalam belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak-anak yang sering terdesak, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi juga semua anak dan orang tuanya, semua guru dan sekolah, manajer, dan masyarakat.

Menurut Baihaqi dan Sugiarmin (2006:75-76), inklusi adalah tentang memastikan bahwa setiap siswa menerima perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya. Untuk memanfaatkan potensi ini, sistem pendidikan harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa yang berbeda. Siswa dengan disabilitas khusus dan/atau dengan kebutuhan belajar yang luar biasa harus memiliki akses ke pendidikan yang berkualitas.

Selama ini tembok eksklusivitas belum berhasil membuat anak difabel dan non difabel saling mengenal dengan baik. Akibatnya, dalam interaksi sosial di masyarakat, kelompok difabel menjadi komunitas yang terasing dari dinamika sosial dalam masyarakat. Masyarakat belum begitu mengenal kehidupan kelompok penyandang disabilitas sebagaimana mestinya. Sementara kelompok penyandang disabilitas sendiri merasa keberadaan mereka tidak selalu menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat sekitar. Namun, pada kenyataannya, sistem pendidikan inklusif di Indonesia masih membuat guru berkutat dengan tarik ulur antara pemerintah dan diri mereka sendiri. Kesimpulannya, pendidikan inklusif merupakan suatu pendekatan yang saat ini sedang dikembangkan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar peserta didik, dalam hal ini anak berkebutuhan khusus. Siswa memiliki hak yang sama tanpa didiskriminasi berdasarkan kemampuan dan perkembangan individunya. Perbedaan yang ada antar individu harus disikapi oleh dunia pendidikan dengan memberikan kurikulum yang disesuaikan dengan keunikan kemampuan dan perkembangan masing-masing individu. Perbedaan tidak serta merta menimbulkan diskriminasi dalam pendidikan, tetapi pendidikan harus peka dalam menghadapi perbedaan.

Pendidikan inklusi berarti semua siswa berkebutuhan khusus ditempatkan di sekolah reguler sepanjang hari. Jenis pendidikan ini menekankan tanggung jawab guru terhadap siswa berkebutuhan khusus. Pemahaman ini memberikan pemahaman bahwa semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus, adalah bagian dari komunitas kelas. Untuk itu, guru bertanggung jawab penuh atas proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Penting bagi guru untuk dapat menangani secara efektif berbagai perilaku siswa. (Daniel P. Hallahan dkk., 2009:53).

Mereka yang berkebutuhan khusus dulunya adalah anak-anak yang diberi label sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah istilah lain untuk mengganti istilah anak Berkebutuhan Khusus (ALB) yang menunjukkan kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa digunakan untuk berdiskusi dengan anak-anak yang "berbeda" dengan yang lain adalah Hendaye (gangguan).

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 70 tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua siswa yang menyandang disabilitas dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau kecerdasan. keahlian khusus. membutuhkan setengah dalam pendidikan atau pembelajaran di lingkungan akademik. disamping mahasiswa pada umumnya.

Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan banyak penjelasan rinci tentang sesuatu yang tercakup dalam pendidikan komprehensif. pokok-pokok yang diberikan oleh pemerintah dipahami sebagai berbagai kebijakan yang telah disesuaikan dengan kondisi negara, agar pemerintah menganggap perlu untuk menghasilkan kesempatan yang sama untuk setiap atau semua siswa, penyandang cacat, dan memiliki kecerdasan dan kecerdasan khusus/atau bakat untuk pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisahkan siswa tradisional menjadi perguruan tinggi reguler, siswa dengan kecerdasan dan bakat luar biasa menjadi perguruan tinggi akselerasi, dan siswa penyandang disabilitas menjadi perguruan tinggi Luar Biasa (SLB).

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI nomor 70 tahun 2009 secara bersama-sama dijelaskan bahwa anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan zat pembentuk kebiasaan alternatif diklasifikasikan sebagai anak berkebutuhan khusus. Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang disebutkan di atas, anak-anak memiliki keterampilan atau kecerdasan luar biasa yang digolongkan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan demikian, pendidikan inklusi tidak hanya mengakomodasi anak berkebutuhan khusus, tetapi juga mengakomodasi anak-anak yang memiliki keterampilan dan/atau kecerdasan luar biasa agar mereka dapat belajar bersama dalam satu kelas.

Jadi, sekolah inklusi menyatukan berbagai pemerataan dan pendidikan yang beragam tanpa membeda-bedakan dimanapun anak-anak berkebutuhan khusus dan anak-anak biasanya akan mendapatkan pendidikan yang setara. Dalam pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan perlakuan atau keistimewaan khusus, namun memiliki hak dan kewajiban yang setara sebagai siswa alternatif. Kerjasama dari berbagai pihak baik itu pemerintah, sekolah, maupun masyarakat sangat berpengaruh dalam pelaksanaannya, karena sekolah inklusi merupakan tantangan baru bagi lembaga pendidikan dan masyarakat. Dengan dilaksanakannya sekolah inklusi ini diharapkan mampu menghasilkan generasi penerus bangsa yang berwawasan dan berwawasan terhadap segala macam variasi dan tidak menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat di masa yang akan datang.

 

Metode Penelitian

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat berupa teknik atau metode kualitatif. metode Kualitatif, biasa dilakukan untuk menelaah kondisi obyek-obyek alam, dimana peneliti adalah instrumen kuncinya (Sugiyono, 2016:1). Berdasarkan objek kajiannya, metode ini adalah metode kepustakaan. metode kepustakaan adalah metode yang dilakukan dengan mengelompokkan pengetahuan, info dan berbagai alternatif pengetahuan yang terdapat dalam literatur (Subagyo, 1991: 109).

Sumber pengetahuan yang digunakan dalam analisis ini adalah buku-buku, jurnal, makalah, artikel, dan karya ilmiah alternatif yang relevan dengan hal yang dianalisis selama penelitian ini. topik analisis ini terkait dengan kebijakan pendidikan yang komprehensif. Teknik pengumpulan informasi selama analisis ini adalah dokumentasi. Terlebih lagi, untuk mengolah dan menganalisis informasi tersebut, penulis menggunakan strategi content analysis, khususnya content analysis yang menitikberatkan pada interpretasi teori kebijakan pendidikan yang komprehensif.

 

Hasil Dan Pembahasan

Pendidikan inklusi telah dipersatukan oleh beberapa negara untuk ditegakkan guna memerangi perlakuan diskriminatif dalam bidang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan inklusi bergantung pada dokumen internasional, khususnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, Konvensi Organisasi Internasional 1989 tentang Hak Anak, Planet Deklarasi Pendidikan untuk Semua, Jomtien 1990, Aturan Mutu tentang Kesempatan yang Sama bagi Orang Penyandang Disabilitas 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi 1994 untuk Pendidikan Keinginan Khusus. Pendidikan inklusi menurut beberapa ahli mempunyai pengertian yang beragam, diantarannya :

a.      Tarmansyah (2009:75) mengatakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama

b.     Tarmansyah (2009:76) mengemukakan bahwa pendidikan inklusi adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas regular.

c.      L.K.M. Marentek (2007:145) mengemukakan pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan pendidikan khusus di sekolahregular (SD, SMP, SMA, dan SMK) yang tergolong luar biasa baik dalam arti berkelainan,lamban belajar (slow learner) maupun yang berkesulitan belajar lainnya.

Saat ini Indonesia belum memiliki data yang akurat dan spesifik tentang jumlah anak berkebutuhan khusus. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah anak berkebutuhan khusus yang tercatat sekitar 1,5 juta orang. Namun secara umum, PBB memperkirakan setidaknya 10 persen anak usia sekolah memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5-14 tahun, adalah 42,8 juta orang. Jika mengikuti perkiraan ini, diperkirakan ada sekitar 4,2 juta anak Indonesia berkebutuhan khusus. Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia cukup banyak.

Saat ini negara Indonesia belum memiliki data yang akurat dan spesifik tentang jumlah anak berkebutuhan khusus. Berdasarkan kewenangan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah anak berkebutuhan khusus yang tercatat sekitar 1,5 juta orang. namun secara umum, PBB memperkirakan bahwa minimal 10 % anak usia sekolah memiliki keinginan khusus. Di negara Indonesia, jumlah anak usia sekolah, khususnya 5-14 tahun, adalah 42,8 juta orang. Jika mengikuti perkiraan ini, dapat dihitung bahwa ada sekitar empat,2 juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di negara Indonesia terbilang besar.

 

Teori dan Konsep Kebijakan Pendidikan Inklusi

Pendidikan mungkin menjadi keinginan dasar setiap orang untuk menegaskan bahwa hidupnya menjadi lebih bermartabat. Oleh karena itu, negara berkewajiban untuk menghasilkan pelayanan akademik yang bermutu tinggi kepada setiap warga negara dan bukan kepada mereka yang berkebutuhan khusus sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasal 31 (1). Namun, sistem pendidikan di tanah air belum mengakomodir keragaman, sehingga menimbulkan munculnya segmentasi institusi akademik yang didukung variasi keyakinan, suku, bahkan variasi kemampuan fisik dan mental siswa. Jelas bahwa segmentasi institusi akademik ini telah menghalangi mahasiswa untuk memiliki kemampuan mencari tahu untuk memahami fakta keragaman dalam masyarakat. Pemerintah telah melakukan upaya untuk menghasilkan pendidikan inklusi melalui berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dan juga dunia kerja Pendidikan di provinsi, kota/kabupaten. Dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan pendidikan inklusi menemui berbagai kendala dan tantangan. Hambatan-hambatan tersebut biasanya diisukan sebagai kesalahpahaman mengenai konsepsi pendidikan inklusi, aturan atau kebijakan yang tidak konsisten, sistem pendidikan yang tidak fleksibel dan sebagainya.

Pendidikan inklusi merupakan kebijakan pemerintah dalam mengupayakan apa yang sering dinikmati oleh setiap mata pelajaran agar mendapatkan pemerataan pendidikan meskipun anak berkebutuhan khusus dan anak normal sehingga mereka akan memperoleh pendidikan yang ketat dan berkualitas untuk kehidupan masa depan.

Strategi, metode, atau cara pelaksanaan pendidikan inklusi di setiap negara sangat beragam (UNESCO, 200; sejarawan, 2002). Keragaman implementasi ini berkat fakta aktual bahwa setiap negara memiliki budaya dan tradisi yang sama sekali berbeda. Selain itu, variasi pelaksanaan ini juga terjadi di tingkat provinsi, kota, bahkan fakultas.

Upaya memperkenalkan dan melaksanakan pendidikan komprehensif di negara Indonesia sudah dimulai sejak Tahun 1980 an. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan komprehensif dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor budaya, politik, dan sumber daya manusia (Kwon, 2005). Penyelenggaraan pendidikan komprehensif dapat dievaluasi dengan indeks gelar associate yang disebut sebagai indeks inklusi (Ainscow, 2000). Indeks inklusi ini dibuat dari 3 dimensi, yaitu (1) dimensi budaya (menciptakan budaya yang komprehensif gelar associate), (2) dimensi kebijakan (menghasilkan kebijakan yang komprehensif), dan (3) dimensi praktik (mengembangkan praktik yang komprehensif). setiap dimensi dibagi menjadi 2 komponen, yaitu: Dimensi budaya terdiri dari bagian membangun komunitas dan bagian membangun nilai-nilai inklusif. Dimensi kebijakan terdiri dari bagian yang mengembangkan pengaturan untuk semua dan bagian yang menerapkan dukungan untuk keragaman (mengorganisir dukungan untuk keragaman). sedangkan dimensi praktis terdiri dari sebuah bagian untuk belajar dan bermain bersama (bermain dan belajar) dan sebuah bagian untuk memobilisasi sumber daya (memobilisasi sumber daya).

Pasal 11 ayat 1 dan 2 tentang hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah menyatakan bahwaPemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberikan pelayanan dan fasilitas, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkewajiban menjamin ketersediaan dana bagi penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun.

Undang-undang di atas menunjukkan bahwa setiap anak usia sekolah harus mendapatkan pendidikan yang benar dan berkualitas, sekaligus sebagai pendidikan untuk semua. Kemajuan suatu bangsa dilihat dari bagaimana metode akademik di dalamnya kemudian dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang diambil dalam penyelenggaraan pendidikan. Salah satunya adalah anak berkebutuhan khusus yang harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas.

Dalam perkembangannya pendidikan anak berkebutuhan khusus mengalami beberapa perubahan, terutama pada awalnya pendidikan anak berkebutuhan khusus dipisahkan dari masyarakat biasanya. Dalam penyelenggaraan pendidikan seperti SLB yang didalamnya terdapat peminatan anak untuk remaja dan untuk anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kendalanya seperti: SLB-A untuk anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu, SLB-C untuk anak-anak tunagrahita, SLB-D untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Kemudian mengarah pada pendidikan integratif, atau disebut pendekatan terpadu yang mengintegrasikan anak-anak luar biasa ke sekolah reguler, namun tetap sebatas pada anak-anak muda yang mampu mengikuti program studi di sekolah sehingga inklusi merupakan konstruksi akademik yang tidak membedakan keragaman karakteristik individu.

Selama ini anak berkebutuhan khusus diberikan fasilitas pembelajaran khusus yang disesuaikan dengan derajat dan jenis yang diinginkan yang dikenal dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Tanpa disadari, sistem pendidikan telah merancang dinding eksklusivitas bagi anak berkebutuhan khusus. Dinding eksklusivitas selama ini tidak disadari menghalangi cara mencapai pemahaman satu sama lain antara anak berkebutuhan khusus dan anak pada umumnya. Akibatnya, dalam interaksi sosial di masyarakat, kelompok dengan berkebutuhan khusus menjadi komunitas yang terasing dari dinamika sosial dalam masyarakat. individu tidak mengenal kehidupan kelompok berkebutuhan khusus. Sementara itu, kelompok berkebutuhan khusus sendiri merasa bahwa keberadaan mereka bukan bagian integral dari kehidupan individu di sekitar mereka.

 

Formulasi Kebijakan Pendidikan Inklusi.

Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok berkebutuhan khusus dalam penyesuaian kembali hak-haknya, maka munculah gagasan pendidikan inklusi. Salah satu kesepakatan internasional yang mendorong lahirnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pasal 24 Konvensi ini menyatakan bahwa setiap negara berkewajiban menerapkan sistem pendidikan inklusi di setiap jenjang pendidikan. salah satu tujuannya adalah untuk mendorong partisipasi total kelompok berkebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam mengikuti sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan tarik ulur antara pemerintah dan praktisi pendidikan.

Meski hingga saat ini sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi masih terus melakukan penyempurnaan dalam berbagai aspek, namun dari segi kesempurnaan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi merupakan sekolah yang ideal bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan non-khusus. Suasana yang tercipta sangat membantu anak berkebutuhan khusus, mereka akan belajar dari interaksi spontan teman-temannya, terutama dari aspek sosial dan emosional. Sedangkan bagi anak berkebutuhan khusus memberikan kesempatan kepada mereka untuk belajar berempati, memfasilitasi dan peduli. Selain itu, ada bukti lain bahwa mereka yang tidak memiliki keinginan khusus mempunyai prestasi tanpa terganggu sedikit pun.

Pelaksanaan sekolah yang inklusi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menciptakan masyarakat madani yang komprehensif. Masyarakat yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebhinekaan sebagai realitas kehidupan. beberapa kasus yang muncul terkait dengan penyelenggaraan pendidikan komprehensif, seperti kelangkaan fasilitas pendukung sistem pendidikan komprehensif, keterbatasan data dan keterampilan yang dimiliki tenaga pengajar sekolah inklusi menunjukkan bahwa sistem pendidikan inklusi belum siap dengan baik. Penyelenggaraan lembaga pendidikan inklusi untuk anak berkebutuhan khusus seharusnya menghasilkan suasana belajar yang bersahabat, yang memungkinkan semua siswa belajar dengan baik dan menyenangkan.

Menyelenggarakan pendidikan inklusi tidak semudah mengorganisir sekolah umum lainnya. fakta di lapangan adalah bahwa karakteristik anak berkebutuhan khusus yang diterima tampaknya tidak sesuai dengan kebijakan, seperti dalam hal menerima jenis tertentu, tingkat kecerdasan mereka terus di bawah rata-rata, tidak ada batasan jumlah. jumlah anak yang diterima, dan tidak ada infrastruktur khusus. Dukungan dari orang tua anak-anak berkebutuhan khusus, orang tua siswa normal, dan komunitas baru dalam bentuk dukungan etis. Padahal dukungan yang dibutuhkan harus berupa dukungan materil dan keterlibatan langsung dalam penyelenggaraan pendidikan yang komprehensif. Dukungan pemerintah, baik pusat maupun daerah belum merata di semua daerah dan masih sangat terbatas, masing-masing dalam bantuan teknis (keterlibatan dalam pelaksanaan: pengamatan, pendampingan dan evaluasi pelaksanaan pendidikan inklusi) dan non-teknis. bantuan (dana dan peralatan).

Adapun model pendidikan inklusi yang dapat dilakukan pada penyelenggaraan sekolah inklusi di Indonesia adalah sebagai berikut (Ashman, 1994 dalam Emawati, 2008):

1.     Kelas Reguler (Inklusi Penuh), Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal sepanjang hari di kelas regulardengan menggunakan kurikulum yang sama.

2.     Kelas regular dengan Cluster, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus.

3.     Kelas Reguler dengan Pull Out, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal di kelas regular namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas regular ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbingkhusus.

4.     Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out, Anak berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal di kelas regular dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas regular ke kelas lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.

5.     Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian, Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak normal di kelas regular.

6.     Kelas Khusus Penuh, Anak berkebutuhan khusus belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular.

 

Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusi.

Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif telah dideklarasikan secara resmi pada 11 Agustus 2004 di pusat kota, dengan harapan dapat menggerakkan sekolah reguler untuk menyelenggarakan pendidikan bagi semua anak, termasuk anak-anak penyandang disabilitas. setiap orang yang tidak mampu berhak mengenyam pendidikan di semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk mengembangkan keterampilan, keterampilan, dan kehidupan sosialnya, khususnya bagi penyandang disabilitas muda dalam keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas).

Selain sekolah reguler, pemerintah dan lembaga swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah yang biasa disebut sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani berbagai jenis disabilitas. Berbeda dengan sekolah reguler yang tersebar luas masing-masing di perkotaan dan pedesaan. SLB dan SDLB pada prinsipnya terletak di sebagian perkotaan dan sebagian lagi berada di perdesaan. anak-anak penyandang disabilitas untuk pergi menuju SLB atau SDLB sangat jauh, sehingga membutuhkan banyak biaya yang tidak masuk akal bagi anak-anak penyandang disabilitas dari pedesaan. Hal ini seringkali juga merupakan hambatan yang akan diselesaikan dengan pendidikan atau sekolah inklusi, kecuali penentuan masalah kesetaraan penyandang disabilitas akibat diskriminasi sosial, akibat dari usia dini mereka tidak sejalan, menuju kepada orang lain.

Sejak tahun 2001, pemerintah mulai merintis sekolah inklusi, seperti di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 12 sekolah di wilayah Gunung Kidul dan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan 35 sekolah. Sekolah reguler yang dijadikan perintis diperuntukan bagi anak-anak yang lambat belajar dan anak-anak yang mengalami kesulitan belajar sehingga memerlukan layanan khusus. Karena masih dalam tahap percontohan hingga saat ini belum ada informasi yang berarti dari sekolah tersebut.

Menurut akademisi. Dr Fawzie Aswin Hadi (Universitas Negeri Jakarta) dikisahkan bahwa sekolah inklusif ini (SD Muhamadiyah di Gunung Kidul) memiliki seratus dua puluh siswa, dua anak laki-laki bersama dengan Tuna Grahita, 2 anak ini dikirim oleh 2 ibu mereka ke kategori I karena mereka ingin masuk SLB-C yang jauh dari tempat tinggalnya di pegunungan. Keluarga ini dinilai sebagai keluarga miskin, sehingga menyekolahkan anaknya ke SD Muhammadiyah. Mereka merasa sangat senang dan bangga karena anaknya diterima di sekolah. Seorang anak terlihat pendiam dan acuh, sedangkan sebaliknya terlihat ceria dan bahagia, bahkan dia suka menari dan suka musik, dia juga ramah dan bermain bersama teman sekolahnya. Para guru menyukai mereka, mengajar dan mendidik mereka memanfaatkan modifikasi silabus untuk mata pelajaran aritmatika dan pelajaran lainnya, evaluasi yang disesuaikan dengan keahlian mereka. yang penting di sini dalam kaitannya dengan guru adalah bahwa anak-anak orang akan berubah dengan baik, bahagia dan senang di sekolah. Ini adalah potret seorang anak kecil di dalam sekolahnya yang sedang belajar.

Di negara Indonesia, uji coba telah diterapkan di banyak daerah sejak tahun 2001, pendidikan sistem inklusi dicanangkan secara resmi di Bandung pada tahun 2004 dengan banyak sekolah reguler bersiap untuk pelaksanaan pendidikan inklusi. Dalam beberapa tahun terakhir tidak ada tanda-tandanya, informasi tentang pendidikan inklusi belum muncul ke publik, kelemahan ini telah menghapus berbagai masalah menarik seperti biaya operasional sekolah, sistem sekolah menengah dll.

Di Indonesia, pada dasarnya peraturan perundang-undangan yang ada secara umum telah sejalan dengan semangat yang direkomendasikan di tingkat internasional, bahkan sejak UUD 1945. Peraturan perundang-undangan lainnya termasuk UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hal ini menunjukkan adanya peran pemerintah dalam pelaksanaannya sehingga tanggung jawab tidak semata-mata dipikul oleh sekolah pelaksana, karena peraturan dan kebijakan mewajibkan pemerintah kabupaten/kota untuk mengangkat minimal satu SD dan SMP di tingkat kecamatan. dan satu SMA di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota juga wajib memastikan terselenggaranya pendidikan inklusi dan ketersediaan sumber daya pendidikan inklusi pada satuan pendidikan yang ditunjuk, melalui peningkatan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada penyelenggara pendidikan inklusi.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi melibatkan perubahan dan modifikasi, pendekatan, struktur dan teknik, dengan visi standar yang menampilkan semua anak yang sama sekali berbeda dalam usia yang sama bervariasi dan oleh karena itu keyakinan bahwa pendidikan inklusi adalah tanggung jawab sistem pendidikan reguler yang mendidik semua siswa. Konsepsi pendidikan inklusi adalah terciptanya komunitas belajar, dimana pembelajaran dirancang secara khusus dan menjawab kebutuhan siswa, sehingga keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusi dapat mengandalkan kerjasama guru dan orang tua.

Namun, implementasi pendidikan inklusi di tanah air belum maksimal. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai masalah seperti jumlah anak berkebutuhan khusus yang belum mendapatkan pendidikan yang layak, masalah dengan sumber daya guru dan informasi dan persepsi publik. Pelaksanaan pembelajaran dalam kategori inklusif juga sama karena pelaksanaan pembelajaran dalam kategori reguler. Namun, anak berkebutuhan khusus memerlukan penanganan yang disesuaikan dengan kondisi anak berkebutuhan khusus. Untuk mengetahui kondisi anak berkebutuhan khusus, diperlukan metode penyaringan dan penilaian. Penilaian yang dimaksud adalah metode kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan setiap siswa dalam hal perkembangan ciri psikologis dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang peka.

 

Rekomendasi Kebijakan Pendidikan Inklusi.

Dari berbagai dilema yang terjadi dalam pendidikan inklusi dinegara Indonesia, setidaknya harus diantisipasi langsung dengan kebijakan khusus agar tidak menghambat implementasi kebijakan pendidikan inklusi. Senada dengan Sunardi (2009), terdapat banyak dilema yang perlu disikapi dengan kebijakan khusus yang kemudian menjadi rekomendasi pelaksanaan kebijakan pendidikan yang inklusi di negara ini, yaitu:

1.     Sistem penerimaan siswa baru, khususnya pada jenjang pendidikan menengah dan pendidikan yang lebih tinggi, menggunakan nilai ujian nasional karena kriteria penerimaan. Calon siswa hanya akan diterima jika hasil ujian nasionalnya memenuhi standar minimal yang ditetapkan oleh masing-masing sekolah.

2.     Prestasi hasil UN dijadikan tolak ukur kualitas sekolah, bukan diukur dari kemampuannya mengoptimalkan kemampuan siswa secara komprehensif sesuai dengan keragamannya.

3.     Pemanfaatan label lembaga pendidikan inklusif dan oleh karena itu keberadaan PP. No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 41 ayat 1 tentang persyaratan mendapatkan tenaga kependidikan untuk sekolah inklusi sebagai alasan untuk menolak masuknya anak-anak penyandang cacat ke sekolah yang bersangkutan, yang ditandai dengan munculnya gejala 'baru eksklusivisme', khususnya menolak anak-anak berkebutuhan khusus dengan alasan bahwa sekolah tersebut bukan sekolah inklusi

4.     Kurikulum pendidikan umum saat ini belum mengakomodir keberadaan anak berkebutuhan khusus (difabel).

5.     Masih adanya pemahaman yang dangkal tentang pendidikan inklusi, yaitu hanya memasukkan anak difabel ke sekolah reguler, tanpa ada upaya untuk mengakomodasi kebutuhan khusus mereka. Kondisi ini dapat membuat anak tetap dikucilkan dari lingkungan karena anak merasa tersisih, terasing, ditolak, tidak nyaman, sedih, marah, dan sebagainya. Ditinjau dari pengertian inklusi adalah ketika kelas atau lingkungan sekolah mampu memberikan rasa senang, penerimaan, keramahan, keramahan, kepedulian, kasih sayang, rasa hormat, serta hidup dan belajar bersama.

6.     Munculnya label khusus yang sengaja dibuat oleh pemerintah dan masyarakat yang cenderung membentuk sikap eksklusivisme, seperti sekolah unggulan, sekolah bertaraf internasional (SBI), Sekolah Percontohan Berstandar Internasional (RSBI), sekolah favorit, percontohan sekolah, kelas akselerasi, dan sekolah lainnya. berbasis agama. Kondisi ini tentunya dapat berdampak pada sekolah inklusi sebagai sekolah kelas dua, karena menerima anak berkebutuhan khusus sama dengan sekolah luar biasa.

7.     Masih minimnya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam mempersiapkan pendidikan inklusi secara matang dan komprehensif, baik dari aspek sosialisasi, penyiapan sumber daya, maupun uji coba metode pembelajaran, sehingga hanya terkesan sebagai eksperimen. program.

 

Kesimpulan

Penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah upaya pemerintah yang diharapkan siap untuk menjadikan generasi penerus bangsa ini dapat menerima segala macam perbedaan dan tidak menimbulkan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat di masa yang akan datang. Di banyak kota di Republik Indonesia, bermunculan sekolah-sekolah inklusi yang pelaksanaannya tersebar secara terpadu dengan sekolah dan pemerintah kota. Namun nyatanya masih sulit untuk memahami sekolah inklusi yang dapat memenuhi kebutuhan untuk anak berkebutuhan khusus. Salah satu kendala tersebut adalah masih adanya masyarakat yang tidak menerima dengan keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler, selain itu masih terdapat disonansi antar berbagai pihak dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan inklusi, seperti kebutuhan akan akademisi yang berkualitas. Setiap pihak harus bersinergi dalam mewujudkan pendidikan inklusif di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam upaya bersama untuk memahami konsep pendidikan tanpa diskriminasi. dalam hal ini, pemerintah harus lebih memperhatikan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi sehingga anak-anak berkebutuhan khusus akan menyalurkan keterampilan mereka. pemerintah hendaknya juga mensosialisasikan keberadaan sekolah inklusi agar keberadaannya dapat dipahami, dan juga masyarakat tidak meremehkan lembaga pendidikan inklusi bahwa anak inklusi juga bisa berprestasi seperti anak normal.

Landasan dan kebijakan bagi anak berkebutuhan khusus harus diimplementasikan dengan lebih baik lagi, agar berbagai permasalahan anak berkebutuhan khusus dapat teratasi dan yang terpenting anak berkebutuhan khusus akan terlayani sesuai dengan keinginannya. Hal ini sering terjadi karena pendidikan yang inklusif masih membutuhkan perhatian khusus dalam pelaksanaannya agar nantinya anak berkebutuhan khusus dapat sangat mendapatkan layanan akademik yang sesuai dengan kondisinya dan dapat menghargai kenyataan keragaman dalam kehidupan di masyarakat sepenuhnya.


 

BIBLIOGRAFI

 

Budhi Wibhawa, Santoso T. Raharjo, Meilany Budiarti S. 2010. Dasar-Dasar Pekerjaan Sosial, Bandung: Widya Padjadjaran.

 

Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus. �Proses Pembelajaran Dalam Setting Inklusi Di Sekolah Dasar�. Vol. 1, No. 1, Januari 2012.

 

Jurnal Pendidikan Khusus. Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol. 7, No. 2, November 2010.

 

Mulyadi, Kiki. 2016 Penerapan Pendidikan Inkulsi Di Indonesia�.

 

Openshaw, Linda. 2008. Social Work in School. New York: The Guildford Press

 

Stubbs, Sue. 2002. Inclusive Education Where There Are Resources: The Atlas Alliance

 

Subagyo, J., 1991. Metode Penelitian dan Praktek, Jakarta: Rhineka Cipta

 

Sugianto, Suparman. 2016 �Pendidikan Inklusi terhadap Anak�.

 

Sugiyono, 2016. Memahami Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-12, Bandung : Alfabeta.

 

Sunardi 2009. Issues and Problems on Implementation of inclusive Education for Disable Children in Indonesia. Tsukuba: CRICED � University of Tsukuba.

 

Suparno, Edi Purwanto. Tanpa Tahun. Pendidikan Akan Kebutuhan Khusus Unit 2.

 

Copyright holder:

Farhan Alfikri, Nyayu Khodijah, Ermis Suryana (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: