Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
POPULISME MARIANUS SAE SEBAGAI STRATEGI POLITIK DALAM PILKADA
KABUPATEN NGADA TAHUN 2015
Asterius Bata Seda
Program Magister Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan politik populisme Marianus Sae sebagai strategi politik pertahanan kekuasaan dalam Pilkada Kabupaten Ngada tahun 2015. Sejatinya eksekusi kebijakan yang sifatnya populis oleh pemimpin politik memberikan dampak elektoral yang positif dalam proses pemilihan kepala daerah/Pilkada. Kebijakan populis yang ditawarkan dapat dilihat sebagai instrumen strategi politik dalam upaya memperoleh dukungan politik serentak sebagai upaya mempertahankan kekuasaan. Berkaitan dengan itu, artikel ini berupaya membedah keterkaitan antara kebijakan populis terhadap strategi politik pertahanan kekuasaan. Dalam menjelaskan hal ini, peneliti memanfaatkan elaborasi populisme menurut Gidron, dan Bonikowski (2014) sebagai pisau analisis, serta menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Dalam memperoleh data penelitian, peneliti memanfaatkan metode wawancara mendalam dan dilengkapi dengan studi kepustakaan terhadap laporan, pemberitaan media dan surat kabar berkaitan dengan obyek penelitian. Adapun hasil yang ditemukan dalam penelitian ini ialah bahwa keberhasilan Marianus Sae terpilih kembali menjadi Bupati dalam Pilkada Ngada tahun 2015, dengan persentase suara yang signifikan tidak lepas dari kuatnya figuritas dan citra Marianus Sae sebagai pemimpin populis, serta keberhasilannya menjalankan serentak mempropagandakan berbagai kebijakan dan program populis yang ditawarkan kepada masyarakat kabupaten Ngada, diantarnya; program PERAK (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat), program JKMN (Jaminan Kesehatan Masyarakat Ngada), serta program beasiswa pendidikan. Dalam bingkai kekuasaan, eksekusi dan propaganda kebijakan populis demikian tidak lain merupakan bagian dari upaya membangun legitimasi publik sebagai bagian dari strategi politik untuk memperoleh dukungan elektoral dalam rangka mempertahankan kekuasaan.
Kata kunci: Politik Populisme, Kebijakan Populis, Strategi Politik, Pilkada
Abstract
This article aims to explain Marianus
Sae's populist politics as a political strategy to
maintain power in the 2015 Ngada Regency Pilkada. In
fact, the execution of populist policies by political leaders has a positive
electoral impact in the process of selecting regional heads/pilkada.
In this regard, this article attempts to dissect the relationship between
populist policies and political strategies for defense of power. In explaining
this, the researcher uses the elaboration of populism according to Gidron, and Bonikowski (2014) as
an analytical tool, and uses a descriptive qualitative approach. In obtaining
research data, researchers use in-depth interviews
and equipped with literature studies on reports, news media and newspapers
related to the object of research. The results found in this study are that the
success of Marianus Sae
being re-elected as Regent in the 2015 Regional Head Elections in Ngada, with a significant percentage of the vote, cannot be
separated from the strong figure and image of Marianus
Sae as a populist leader, as well as his success in implimanting and simultaneously propagating various
populist policies and programs offered to the people of Ngada
district, including; The PERAK Program (People's Economic Empowerment), the
JKMN (Ngada Community Health Insurance) program, and
the educational scholarship program. Within the framework of power, the execution and propaganda of such populist policies is nothing
but an effort to build public legitimacy as part of a political strategy to
gain electoral support in order to maintain power.
Keywords: Populism Politics, Populist Policy, Political Strategy, Pilkada
Pendahuluan
Fenomena politik populisme
menjadi tren politik global dewasa ini. Fakta ini berkaitan dengan hadirnya para pemimpin yang mengedepankan karakter populis serentak memaksimalkan populisme sebagai instrumen strategi politik untuk memperoleh
dukungan elektoral dalam upaya merebut
dan mempertahankan kekuasaan.
Hadirnya para pemimpin� populis seperti Hugo Chaves di Venezuela, Evo Morales di Bolivia,
Daniel Ortega di Nikaragua, Marine Le Pen di Prancis, Geert Wilders di Belanda, Rodrigo Duterte di
Filipina hingga Donald Trump di Amerika Serikat menegaskan fakta tersebut (Mudde & Kaltwasser,
2017). Untuk konteks
Indonesia, wacana populisme
semakin populer didiskusikan kurang lebih satu dekade
belakangan, hal ini tidak lepas
dari kehadiran sosok populis seorang
Joko Widodo (Jokowi), dalam gelanggang
politik nasional Indonesia (Mietzner, 2014, 2015). Tidak sebatas pada lingkup skala nasional, seiring dengan ditetapkan mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung, fenomena populisme seakan menjadi �wabah� yang hadir dan �menjangkiti� para pemimpin politik pada� lingkup lokal-kedaerahan. Hal ini dapat dijelaskan dengan kehadiran beberapa pemimpin dengan corak politik
dan kebijakan populis di tingkat daerah antara lain seperti Walikota Surabaya Tri Rismaharini,
Walikota Bandung Ridwan kamil,
Walikota Pekalongan Basyir Achmad, Bupati Banteng Nurdin Abdullah, hingga Bupati Bojonegoro Suyono (Habbodin, 2019; Rahmah,
2019). Fakta ini membenarkan
preposisi Rooduijin, Lange
dan Brug berdasarkan penelitiannya di Eropa Barat bahwa populisme bersifat menular, di mana hadirnya program populis adalah hasil penularan
secara tidak langsung atas kesuksesan
yang diraih satu sama lain baik oleh partai ataupun pemimpin politik tertentu (Rooduijn, de Lange, &
van der Brug, 2014).
�� Sejalan
dengan fakta yang diuraikan sebelumnya, survei PWD (Power Welfare and Democracy) pada tahun 2013 menjelaskan kecenderungan menguatnya politik berbasis figur dan penggunaan populisme di Indonesia. Populisme
yang dimaksudkan oleh PWD ialah
strategi populis untuk memobilisasi dan mengorganisasikan
dukungan dalam kontestasi elektoral. Survei tersebut menunjukkan bahwa strategi yang
paling sering digunakan
oleh aktor politik dominan ialah strategi sosialisasi program populis, dan
strategi populis-karismatik terutama
saat mengangkat isu kesejahteraan dan pelayanan publik (Savirani et al., 2014, p. 4; Savirani
& Turnquist, 2016, p. 12). Sinergitas
penerapan dua strategi ini tampak dalam
wujud upaya para aktor politik untuk
mendekatkan diri dengan masyarakat melalui gerakan populis, dan pada saat yang bersamaan dijanjikan serentak dipropagandakan kepada publik� tentang
berbagai kebijakan tentang pemenuhan akan akses pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan.
Populisme pada umumnya selalu
bersinggungan dengan kenyataan akan adanya penguatan politik berbasis figur. Di sini tampil� figur �orang
kuat� populis, yang berupaya menyatukan berbagai kepentingan dan mengemasnya menjadi isu publik yang menarik minat dan dukungan publik luas. Isu publik
tersebut kemudian diwujudkan dalam pilihan kebijakan yang sifatnya populis (Paskarina, Asiah, &
Madung, 2015). Dalam kerangka kekuasaan, pilihan kebijakan populis oleh pemimpin politik (kepala daerah) bertujuan untuk memperoleh legitimasi publik yang diperlukan dalam membangun kekuasaan politik. Oleh karenanya eksekusi kebijakan-kebijakan populis oleh pemimpin politik dapat dilihat
sebagai bagian dari strategi memperoleh ataupun mempertahankan kekuasaan politik (Savirani, Turnquist, &
Stokke, 2014).
�� Pemilihan
kepala daerah (Pilkada) Kabupaten Ngada tahun 2015 menyisihkan cerita yang hampir serupa tentang
keberhasilan kebijakan populis dalam menghantarkan
pasangan calon petahana untuk terpilih kembali dengan jumlah presentasi
dukungan suara yang signifikan. Pilkada tersebut diikuti oleh tiga pasangan calon
bupati dan wakil bupati yakni antara lain; pasangan Kornelis Soi, SH dan
Joseph Bei dengan perolehan
suara 12667 suara (16,52
%), pasangan Paulinus No Watu,
S.Sos dan Bernadus Dhey Ngebu, SP dengan perolehan 11829 suara (15,43%), serta pasangan calon petahana Marianus Sae, S.A.P dan Drs. Paulus Soliwoa
dengan perolehan 52164 suara (68,05 %) (KPU Kabupaten Ngada, 2016). Perolehan hasil suara pada Pilkada Ngada tahun
2015 menunjukkan kuatnya dominasi petahana berhadapan dengan kedua pasangan calon penantang dalam kontestasi tersebut.
Keberhasilan pasangan petahana
Marianus Sae, S.A.P dan
Drs. Paulus Soliwoa untuk kembali terpilih dalam Pilkada Ngada
2015 dengan persentase dukungan suara yang sangat signifikan, di satu sisi dapat menunjukkan
besarnya legitimasi dan kepercayaan publik terhadap kinerja pasangan calon petahana pada periode kepemimpinan sebelumnya. Hal ini tentunya berkaitan
dengan keberhasilan petahana mengelola kepemimpinannya sehingga berbagai program yang direncanakan
dapat dieksekusi secara baik dalam
menjawabi kebutuhan publik. Selama periode kepemimpinannya sejak terpilih menjadi bupati dan wakil bupati melalui Pilkada tahun 2010, Marianus Sae, S.A.P dan Drs.
Paulus Soliwoa telah mencanangkan berbagai program dan
kebijakan yang sifatnya populis. Program-program tersebut
antara lain Program Perak (Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat), program JKMN (Jaminan Kesehatan
Masyarakat Ngada), serta
program beasiswa pendidikan.
Pilihan kebijakan yang tertuang dalam program-program populis tersebut nyatanya memberikan efek elektoral yang baik, hal ini
dibuktikan dengan tingginya hasil perolehan suara yang diperoleh pasangan petahana. Dalam bingkai kekuasaan, pilihan kebijakan populis oleh kepala daerah berkaitan erat dengan strategi mempertahankan kekuasaan. Berkaitan dengan itu, maksud artikel
ini ialah untuk menelaah secara lebih jauh
keterkaitan antara kebijakan populis Petahana (Marianus Sae) terhadap strategi politik pertahanan kekuasaan. Pertanyaan dasar yang menjadi pijakan dari keseluruhan
ulasan ini ialah bagaimana pemanfaatan kebijakan populis Marianus Sae sebagai strategi politik pertahanan kekuasaan dalam Pilkada 2015?
Konsep Populisme: antara Ideologi, Gaya Diskursif dan Strategi Politik
Populisme merupakan konsep
yang memiliki cakupan yang luas dan cair. Atas dasar hal ini,
beberapa sarjana ilmu politik memaknai
populisme sebagai konsep yang dipertarungkan (the
contested concept), karena belum
terdapat konsensus bersama yang jelas mengenai populisme berkaitan dengan kelonggarannya meliwati berbagai pembelahan ideologi baik kanan
maupun kiri (De Raadt et al., 2004, p.
2). Secara etimologis
populisme berasal dari kata Latin populus yang berarti rakyat, dan isme yang berarti aliran atau pemahaman,
keadaan, atau kondisi, prinsip. Dengan demikian populisme secara etimologis dapat diartikan sebagai paham atau aliran
yang ingin memperjuangkan kepentingan rakyat.
Berkaitan dengan konvergensi
makna populisme, selangkah lebih maju Mudde dan Kaltwasser (2017) mengetengahkan kategori umum yang inheren dalam pemahaman
tentang populisme. Keduanya mendefinisikan populisme sebagai posisi politik yang menempatkan rakyat kebanyakan dan kelompok elite dalam relasi yang antagonistis, serta melihat politik sebagai ekspresi kehendak umum dari
masyarakat kebanyakan. Terdapat tiga kategori
inheren dalam pengertian populisme ini yakni rakyat
(the people), kelompok elite (the elit)
dan kehendak umum (general
will) (Mudde & Kaltwasser,
2017). Definisi ini
bermuara pada kenyataan bahwa populisme adalah ekspresi �perlawanan� dari kelompok masyarakat yang termarginalkan oleh karena tidak terpenuhnya tuntutan hak dasar
sebagai warga negara. Pada posisi ini, Taggarat
(2000) sebagaimana dikutip
oleh Muhtadi menilai bahwa populisme merupakan �indikator kesehatan� sistem demokrasi representatif berhadapan dengan tidak berfungsinya sistem politik. Dalam hal ini
dapat dijadikan �alarm�
yang mengingatkan elite politik
agar tidak lupa terhadap aneka kepentingan dan hak dasar rakyat (Muhtadi, 2019, pp. 8�9).� Namun sering kali populisme dibajak untuk tujuan dan kepentingan terselubung. Dalam kontes tertentu
populisme dilihat sebagai �siasat� yang dimanfaatkan oleh aktor tertentu dengan cara menggarap isu rakyat untuk
memperoleh kekuasaan. Aktor populis cenderung
hanya memanfaatkan delusi publik atas
praktik demokrasi untuk kepentingan elektoral semata. Dalam hubungannya dengan ini populisme
dilihat sebagai �ancaman� bagi demokratisasi.
(Rooduijn et al., 2014).
Ulasan ini sejatinya
mengikuti elaborasi populisme menurut Gidron, dan Bonikowski (2014). Gidron, dan Bonikowski dalam analisis mereka membedakan populisme ke dalam
beberapa kategori yakni; populisme sebagai ideologi (populism as
ideology), populisme sebagai
gaya diskursif/ gaya politik (populism as
discursive style), dan populisme sebagai
strategi politik (populism as a political strategy). Dalam hubungannya dengan kepentingan ulasan ini, maka
penulis akan memberikan penekanan pada kategori ketiga yakni populisme sebagai strategi politik. Tujuannya ialah agar menjadi perangkat pijakan yang membantu penulis dalam mengidentifikasi
serentak menjelaskan populisme� Marianus Sae dalam Pilkada
Ngada 2015.
Populisme Sebagai Ideologi
Konseptualisasi populisme sebagai
ideologi telah menjadi posisi dominan dalam literatur
ilmu politik, secara khusus digunakan
oleh ilmuwan politik di Eropa beberapa tahun terakhir. Pendekatan yang melihat populisme sebagai ideologi merupakan kontribusi besar Cass Mudde dalam analisanya
tentang partai populis sayap kanan
di Eropa. Sebagaimana dikutip oleh Gidron, dan Bonikowski (2014), Mudde mendefinisikan populisme sebagai ideologi yang tipis (a
thin-centered ideology) dengan melihat
masyarakat� dalam dua kelompok kategori
homogen yakni kelompok rakyat pada umumnya (pure people) di satu sisi dan kelompok elite koruptif (corrupt elite) di sisi lainnya� dalam relasi yang antagonistis, di sini politik didefinisikan sebagai ekspresi kehendak umum (general will) rakyat. Populisme dilihat sebagai ideologi dalam hubungannya dengan kontes politik. Gidron dan Bonikowski mendefinisikan ideologi sebagai kerangka mental, kerangka ini membantu
untuk memahami realitas politik, serentak memberikan pedoman dalam tindakan
politik. Keberhasilan populisme sebagai ideologi terlihat ketika aktor politik
dapat membangun koneksi dengan budaya yang diterima sebagai common sense masyarakat umum. Sebagai ideologi
yang longgar populisme bukanlah ideologi yang murni tetapi selalu
mudah bersinggungan dengan ideologi lain.� Oleh karena itu bentuk
populisme sangat bergantung
pada konteks sosial politik di mana populisme bekerja ataupun bergantung pada latar hadirnya aktor populis (Gidron & Bonikowski,
2014, pp. 5�6; Moffitt & Tormey, 2014, p. 3).
Populisme dikatakan sebagai
ideologi dapat tercermin dalam tiga indikator berikut; Pertama, selalu merujuk ataupun berorientasi pada rakyat. Dalam artian
berfokus pada kelompok masyarakat biasa yang diklaim oleh aktor ataupun partai populis sebagai kelompok yang diwakili. Kedua, gagasan ataupun program harus memuat usulan untuk
menciptakan hubungan langsung antara kayat dan pemegang kekuasaan, sebagai upaya untuk menciptakan
momen keberalihan dari situasi menyimpang
kepada kondisi ideal. Ketiga, harus berisikan
pernyataan anti kemapanan atau anti elite (De Raadt et al., 2004). Pendekatan� ini
juga dikenal sebagai pendekatan yang ideasional karena penekannya yang kuat pada ide-ide atau gagasan-gagasannya yang disampaikan
oleh aktor maupun kelompok populis. Dengan demikian apabila ideologi merupakan karakter utama dari populisme,
maka studi empirisnya perlu mengarahkan perhatian pada �pernyataan programatik� dalam bentuk kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh aktor politik dan memperlakukannya sebagai unit analisis utama (Ritonga, 2020, p. 3).
Populisme Sebagai Gaya Diskursif
Uraian Ernesto Laclau tentang karakteristik populisme sangat berpengaruh dalam membentuk pendekatan populisme sebagai gaya diskursif.
(Laclau, 2005). Bertolak dari uraian Laclau,
Panizza (2005) secara lebih
jauh melihat populisme sebagai praktik diskursif anti status
quo. Bahwa proses identifikasi
�rakyat� (the people) dan �yang lain� (the other) merupakan konstruksi politis yang dibangun secara simbolis melalui hubungan antagonis. Proses identifikasi
yang berlangsung berkaitan dengan penamaan untuk menentukan kategori yang memisahkan the
people dan the other, ataupun kategori
kelompok �kami� dan kelompok
�mereka� sebagaimana diuraikan oleh Laclau merupakan hasil bentukan praktek diskursif. Lacklau menjelaskan bahwa populisme memiliki subyeknya pada rakyat yang menjadi syrat material bagi keberadaannya. Namun rakyat itu
sendiri butuh diciptakan. Oleh karena itu populisme perlu
diikuti dengan konstruksi mengenai rakyat, yakni rakyat
yang spesifik. Dengan demikian populisme sebagai konsep diskursif mengacu pada praktik yang relatif cair dari proses identifikasi dan pembentukan identitas rakyat� (Panizza, 2005, pp. 3�5).
Berbeda dengan Laclau
yang menjelaskan populisme sebagai praktek diskursus pada tingkatan teori yang abstrak, Dela Tore sebagaimana dikutip oleh Gidron, dan Bonikowski dalam kajiannya tentang fenomena populisme di Amerika Latin, mendefinisikan
populisme sebagai bentuk �retorika� yang membangun politik sebagai moral dan etika perjuangan antar kelompok rakyat dan kelompok elite (oligarki). Retorika yang dimaksudkan di sini adalah bahasa
yang dimanfaatkan untuk mengklaim bahwa ia mewakili suara
mayoritas sehingga secara jelas dalam
populisme selalu mendikotomikan antara �kita� dan �mereka�(Gidron
& Bonikowski, 2014). Populisme dimaknai sebagai gaya diskursif dalam hubungannya dengan karakteristik dasarnya sebagai serangkaian tindakan representasi simbolik yang mengandung sekaligus membentuk makna �rakyat�, serentak �membela rakyat� sebagai entitas yang bersifat tunggal, serta sebagai bentuk
identifikasi dalam kaitannya dengan hubungan langsung dengan rakyat yang menekankan� prinsip
�anti kemapanan�. Pendekatan
diskursif menunjukkan bahwa yang berkaitan dengan populisme ialah performatifitas, atau proses identifikasi dan penubuhan melalui serangkaian pernyataan verbal, sikap, aksi, dan perilaku yang mencerminkan sekaligus membentuk ulang identitas aktor kolektif bernama rakyat (Moffitt & Tormey, 2014,
p. 7., Hiariej, 2017, p. 136).
Berkaitan dengan hal
ini, Rooduijn et al., mengatakan bahwa definisi populisme sebagai gaya diskursif
menjadi penting untuk digunakan sebagai kacamata melihat fenomena aktor politik. Definisi ini membuat
sudut pandang terhadap populisme bukan lagi identitas
ideologi seorang aktor politik melainkan
political talk atau model ekspresi
dan retorika� (Rooduijn et al., 2014). Termaksud� di dalamnya bagaimana aktor politik mengisi,
menampilkan, dan mempraktikkan
makna �rakyat� sebagai aktor kolektif
melalui tindakan, pernyataan, bahasa tubuh, simbol, dan praktik-praktik diskursif lainnya. Makna rakyat dibentuk melalui permainan bahasa yang memerlukan keberadaan kelompok the other
yang dinegasikan (Hiariej, 2017). Hasting dalam (Rahmah, 2019) menjelaskan bahwa dalam hubungannya
dengan praktik diskursif populisme dapat dimaknai sebagai sebuah gaya politik. Di sini, populisme muncul sebagai sumber perubahan dengan memanfaatkan retorika untuk menarik rakyat. Bentuk yang diskursif tersebut terwujud dalam karakteristik kebijakan programatik yang
minimal, akan tetapi memiliki simbol yang kuat. Sebagai contoh
kebijakan yang menekankan pentingnya isu kesejahteraan, isu ekonomi, agama, etnis, elite, dan
lain-lain. Gaya politik populis
ditampilkan dalam proses mengisi, menampilkan, dan mempraktikkan makna rakyat oleh aktor politik tertentu. Biasanya aktor populis cenderung berkomunikasi dengan bahasa yang sederhana, mudah dipahami. Komunikasi yang dibangun juga cenderung berbentuk komunikasi langsung baik itu dengan
metode terjun langsung (blusukan) untuk berbicara, mendengarkan keluhan, dan bersama-sama rakyat mencari jalan keluar.
Selain itu aktor populis juga lebih memanfaatkan saluran� komunikasi langsung melalui media seperti televisi, radio, dan
media sosial. Bahkan terdapat kecenderungan aktor populis menyerang
media-media mainstream karena dinilai
tidak netral serta telah diintervensi
oleh kepentingan kekuasaan.
Oleh karena itu mereka cenderung menggunakan media alternatif untuk menyuarakan pembelaan terhadap rakyat selama proses kampanye (Rahmah, 2019, p. 15).
Populisme Sebagai Strategi Politik
Berbeda dengan pendekatan
ideasional dan pendekatan diskursif, populisme sebagai strategi politik lebih menekankan pada tujuan untuk memperoleh
dukungan dari rakyat dengan mengedepankan
program-program pro rakyat, serta
strategi organisasi dan kerangka
mobilisasi masa. Dalam pendekatan ini, populisme menjadi perangkat bagi aktor tertentu untuk mendapatkan, merebut, menjalankan ataupun mempertahankan kekuasaan. Karakteristik populisme sebagai strategi politik biasanya terlihat pada calon ataupun penguasa sah yang memfokuskan diri pada instrumen pemenangan kontestasi dan penggunaan kekuasaan (exercising
power) (Gidron & Bonikowski,
2014).
�Weyland
mendefinisikan populisme sebagai strategi politik berkaitan dengan kemampuan kekuasaan yang digunakan oleh para penguasa untuk mempertahankan diri mereka secara
politis. Ia kemudian menambahkan bahwa kemunculan populisme tampak sebagai upaya aktor
politik untuk mendekatkan diri kepada rakyat atau
konstituennya dengan
program-program yang sejalan dengan
tuntutan aspirasi rakyat. Cara lain yang relevan dengan upaya ini
ialah mobilisasi masa baik secara terorganisir
ataupun tidak terorganisir oleh aktor bersangkutan (Weyland, 2001, pp. 11�14). Paul Drake sebagaimana
dikutip oleh Rahmah menjelaskan bahwa aktor populis menggunakan
mobilisasi politik, penguatan retorika, serta pengorganisasian simbol-simbol tertentu yang didesain secara sengaja sebagai alternatif strategi dalam upaya menarik simpati
rakyat. Akor populis tersebut pula membangun koalisi yang sifatnya heterogen termaksud dengan kelompok atau organisasi
tertentu seperti serikat pekerja dan bentuk organisasi lainnya sebagai perwakilan kelompok kelas menengah. Aktor populis menawarkan
program populis yang didalamnya
juga merespons kepentingan kelompok organisasi tersebut (Rahmah, 2019).
Roberts (1996) dalam kajiannya di Amerika Latin menemukan
adanya keterkaitan antara populisme sebagai strategi politik dengan ikatan-ikatan antar aktor dan kepentingannya. Populisme yang dibangun oleh aktor yang personalistik ataupun karismatik memungkinkan terbentuknya aliansi multi kelas yang heterogen di mana berfokus pada anggota kelompok masyarakat kelas bawah yang terkonsentrasi di daerah pinggiran.� Kondisi ini memungkinkan
mobilisasi politik dari atas ke
bawah oleh aktor populis dalam bentuk
kebijakan yang bertujuan untuk peningkatan taraf ekonomi dan kesejahteraan yang terkadang juga
cenderung berkarakter klientelis untuk menciptakan fondasi materi bagi dukungan
rakyat terhadap posisi politik aktor populis tersebut
(Rahmah, 2019).
Ketiga pendekatan yang dikategorikan oleh Gidron dan Boniwiski (2014) memiliki titik tekannya masing-masing. Pendekatan ideologi dan gaya diskursif memiliki keterkaitan yakni pada dikotomi kategori rakyat dan elite. Yang membedakannya ialah pada titik tekannya masing-masing. Pendekatan ideologi lebih menekankan populisme sebagai gagasan ideasional, sedangkan gaya diskursif lebih pada aspek retoris dan performitas. Sementara itu sebagai strategi politik populisme berfokus pada tujuan pengorganisasian dukungan melalui program pro rakyat. Gidron dan Boniwiski (2014) menjelaskan lebih jauh bahwa walaupun
ketiga pendekatan ini dapat berdiri
sendiri, sesungguhnya ketiga pendekatan ini tidak dapat
dipisahkan secara tegas karena cenderung
beririsan dalam aktualisasi populisme (Gidron & Bonikowski,
2014).
Metode Penelitian
Dalam menjelaskan maksud
artikel sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka penulisan artikel ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus.
Penelitian kualitatif pada dasarnya berupaya menjelaskan suatu fenomena atau peristiwa
secara holistik. Penelitian ini lebih merupakan kajian yang sifatnya deskriptif ketimbang predikatif. Selanjutnya metode studi kasus
memiliki karakteristik yang
berbeda dengan metode penelitian kualitatif lainnya, hal ini dikarenakan
konstruksi realitas yang akan diamati dalam
studi kasus lebih mengarah pada karakteristik sistem masalah yang spesifik atau peristiwa yang dibatasi (Aminah & Roikan, 2019;
Moleong, 2021). Ulasan artikel ini berfokus
pada fenomena Pilkada Kabupaten Ngada tahun 2015, dengan obyek analisis utama terletak pada sosok dan kebijakan populis Marianus Sae yang adalah calon petahana yang ikut berkontestasi dan terpilih dalam kontestasi tersebut.
Dalam penelitian, proses pengumpulan data memanfaatkan metode wawancara mendalam (in-depth interview) dengan
model wawancara semi terstruktur,
yang dilengkapi dengan studi kepustakaan (literature
study) terhadap data sekunder
berupa jurnal, laporan, pemberitaan media dan surat kabar berkaitan
dengan obyek penelitian. Penentuan narasumber penelitian bertolak dari kebutuhan
data penelitian dalam menjawabi maksud dan tujuan penelitian. Berkaitan dengan itu, narasumber penelitian ini ialah Tim Sukses pasangan calon petahana yang atas permintaan para narasumber tidak dipublikasikan identitasnya, selain itu narasumber lainnya ialah Kepala
Dinas PMDP3A Kabupaten Ngada,
serta penerima Program
Perak, program JKMN, dan Program Beasiswa Pendidikan.
Dalam menganalisis data hasil penelitian, artikel ini menggunakan
model analisis data yang ditawarkan
oleh Miles dan Huberman, yakni yang terdiri dari tiga
alur kegiatan antara lain; reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles, Hubermen, &
Saldana, 2014). Dalam proses analisis tersebut peneliti tetap berpijak pada perangkat teori populisme sebagai strategi politik sebagaimana dielaborasi oleh Gidron, dan Bonikowski.
Hasil dan Pembahasan
Dinamika
Pilkada Ngada Tahun 2015
�� Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar pada Desember 2015 merupakan Pilkada pertama dalam cakupan skala
nasional yang menerapkan mekanisme pemilihan kepala daerah secara
serentak di seluruh Indonesia.� Pilkada tersebut berlangsung dengan tahapan pemilihan dan pencoblosan pada hari yang bersamaan untuk memilih 269 kepala daerah yang terdiri dari pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur,
pemilihan Wali Kota dan
wakil Walikota, serta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati pada 32 dari 34 Provinsi di Indonesia.�
Untuk kontes kabupaten Ngada, Pilkada tahun 2015 menghadirkan tiga pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam arena kontestasi. Ketiga pasangan calon tersebut antara lain pasangan Kornelis Soi, SH dan Joseph Bei (KONSEP), pasangan Paulinus No Watu, S.Sos dan Bernadus
Dhey Ngebu, SP (PADI), serta pasangan calon petahana, Marianus Sae, S.A.P dan Drs.
Paulus Soliwoa (MULUS). Pasangan
calon petahana, Marianus Sae, S.A.P dan Drs.
Paulus Soliwoa yang lebih dikenal dengan paket Mulus kembali
bertarung dalam kontestasi Pilkada 2015, setelah pada tahun 2010,� pasangan
tersebut berhasil terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati dalam pemilihan satu putaran dengan
perolehan persentase suara sebesar 48%. Dalam Pilkada tersebut,
paket Mulus berhasil mengalahkan tujuh kontestan lainnya termasuk bupati incumbent (Bere, 2018,
https://regional.kompas.com/read/2018/02/12).
�� Pada Pilkada 2015, pasangan calon petahana, Marianus Sae, S.A.P dan Drs.
Paulus Soliwoa berhasil mengulang cerita suksesnya tersebut. Pasangan yang diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar (GOLKAR) dan Partai Hati Nurani Rakyat
(HANURA) tersebut akhirnya berhasil terpilih kembali sebagai Bupati dan Wakil Bupati periode 2016-2020 dengan perolehan dukungan suara yang signifikan yakni 52164 Suara (68,05%). Pasangan ini berhasil
unggul dari dua pasangan calon
penantang lainnya yakni pasangan Kornelis Soi, SH dan Joseph Bei, yang diusung
oleh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai
Nasional Demokrat (NASDEM) dengan
perolehan 12667 Suara (16,52%),
serta pasangan Paulinus No Watu, S.Sos dan Bernadus Dhey Ngebu,
SP yang diusung oleh Partai
Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan perolehan 11829 Suara (15,43%) (KPU Kabupaten
Ngada, 2016). Hal ini
dijelaskan secara detail
pada tabel berikut;
Tabel 1
Perolehan Suara Pilkada Ngada Tahun 2015
No. |
Nama Kecamatan |
Jumlah Suara Paket
Calon Bupati Dan Wakil Bupati |
||
KONSEP |
PADI |
MULUS |
||
1. |
Aimere |
1078 |
808 |
2779 |
2 |
Bajawa |
5182 |
3391 |
10029 |
3. |
Bajawa Utara |
515 |
752 |
3364 |
4. |
Golewa |
838 |
1471 |
6384 |
5. |
Golewa Barat |
1106 |
353 |
3622 |
6. |
Golewa Selatan |
204 |
1168 |
4184 |
7. |
Inerie |
500 |
663 |
2574 |
8. |
Jerebuu |
273 |
314 |
2886 |
9. |
Riung |
1377 |
1401 |
4733 |
10. |
Riung Barat |
465 |
838 |
3102 |
11. |
Soa |
570 |
290 |
6536 |
12. |
Wolomeze |
559 |
372 |
1971 |
Persentase Total
Suara |
12667 (16,52%) |
11829 (15,43%) |
52164 (68,05%) |
Data diolah dari (KPU Kabupaten Ngada, 2016).
�� Kemenangan pasangan calon petahana Marianus Sae, S.A.P dan Drs. Paulus Soliwoa
dalam Pilkada Ngada tahun 2015 boleh dikatakan sebagai kemenangan yang fenomenal. Hal ini� dibuktikan
dengan tingginya perolehan suara calon petahana berhadapan dengan ke dua calon
lainnya. Selain itu, fakta� lain yang perlu digarisbawahi ialah berkaitan dengan kemenangan calon petahana pada seluruh kecamatan di wilayah kabupaten Ngada. Pada 12 kecamatan tersebut, pasangan calon petahana berhasil menang dengan selisih
suara yang signifikan dari kedua pasangan
calon lainnya. Kemenangan ini menunjukkan bekerjanya hukum �reward and punishment� dalam
Pilkada. Perolehan suara yang signifikan dapat dimaknai sebagai bentuk �reward� yang diberikan massa rakat (pemilih) atas kinerja petahana
selama periode kepemimpinannya.
Menjelaskan Populisme Marianus
Sae
�� Keberhasilan pasangan
calon petahana untuk kembali terpilih
dalam Pilkada Ngada tahun 2015 tidak dapat dipisahkan
dari Figur Marianus Sae. Ia
dikenal sebagai seorang pemimpin berkarakter populis terkait dengan gaya kepemimpinan serta berbagai kebijakan populisnya selama memimpin kabupaten Ngada pada periode 2010-2015. Berkenaan dengan itu pada uraian selanjutnya, penulis akan lebih
berfokus dan membatasi bahasan pada figur Marianus Sae, untuk
menjelaskan keterkaitan antara sosok dan kebijakan populis Marianus Sae terhadap
keberhasilannya pada Pilkada
Ngada tahun 2015.�
Figur Populis
Marianus: Referensi Kerakyatan dan Gaya Diskursif
�� Marianus lahir di Kampung Bobajo, Kecamatan Golewa, Ngada, pada tanggal 8 Mei 1962. Ia berasal dari keluarga
petani, yang secara ekonomi kurang mampu. Kondisi demikian membentuk Marianus menjadi pribadi yang mandiri dan pekerja keras. Hal ini terbukti dengan
keberhasilannya merintis usaha di tempat rantau, hingga pada akhirnya ia memutuskan
kembali untuk berkontribusi dan mengabdikan dirinya demi pembangunan di tanah Ngada. Kontribusi
Marianus untuk masyarakat Ngada diawali dengan mendorong dan menyokong masyarakat Ngada untuk mengembangkan usaha kayu sebagai
investasi jangka panjang yang memberi dampak ekonomi besar bagi masyarakat
Ngada. Dengan pembiayaan sendiri, ia menyediakan bibit-bibit pohon kayu berkualitas bagi masyarakat di berbagai wilayah di Ngada. Lebih jauh dari
itu pada tahun 2007, Marianus menginisiasi program pemberdayaan ekonomi dalam wujud pengembangan
ternak sapi dan babi, di mana masyarakat pedesaan dimodali untuk bisa mengupayakan
pengembangan ternak. Programnya ini menjadi cikal bakal
program �Perak� salah satu program unggulannya saat terpilih menjadi Bupati Ngada pada Pilkada tahun 2010 (Bere, 2018
https://pemilu.kompas.com; Fajar, 2015, https://www.kompasiana.com).
Marianus Sae merupakan sosok seorang pemimpin yang dikenal dekat dengan
masyarakat, secara khusus kelompok masyarakat kelas bawah. Kedekatan ini, berkaitan� dengan
latar belakang Marianus yang juga berasal dari kelompok kelas
yang sama.� Dalam lanskap budaya
Ngada dikenal adanya pengelompokan masyarakat berdasarkan strata sosial antara lain;� kelompok kelas atas yakni
kaum bangsawan (gae), kelompok kelas bawah yakni
golongan masyarakat biasa/common people (gae kisa), serta kelompok
hamba (hoo). Marianus Sae berasal dari
kelompok kelas bawah berdasarkan pengelompokan tersebut. Oleh karena itu kehadirannya
dalam panggung politik berbenturan dengan pandangan budaya yang menilai bahwa yang lebih pantas (berhak) memimpin adalah golongan kelas atas/ bangsawan (gae) (Sese Tolo,
2018, https://islambergerak.com/2018). Keterpilihan
Marianus Sae sebagai Bupati pada Pilkada 2010, membongkar pandangan tersebut. Marianus tampil sebagai pemimpin yang lahir dari �rahim�
rakyat kecil.
Populisme menempatkan
rakyat sebagai kerangka sentral. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga
kategori inheren dalam pengertian populisme ini yakni
rakyat (the people), kelompok
elite (the elit) dan kehendak
umum (general will) (Mudde
& Kaltwasser, 2017, pp. 6�19). Kharakter yang demikian sejalan dengan apa yang dielaborasi oleh Rooduijn et al., bahwa populisme dapat dipahami dalam empat karakteristik antara lain; 1.) rakyat menjadi penanda sentral dan fokus dari bahasan. 2.) Terdapat pembelahan antara kelompok rakyat dan kelompok elite. 3.) Adanya krisis yang serius baik itu
dari segi politik, sosial, dan ekonomi yang kemudian memicu lahirnya �kesepakatan� bahwa rakyat adalah kelompok
yang harus dilindungi (Rooduijn et
al., 2014). Dengan
demikian populisme adalah ekspresi �perlawanan� (ketidakpuasan) dari kelompok masyarakat
oleh karena tidak terpenuhnya tuntutan hak dasar sebagai
warga negara. Ketidakpuasan
pada kondisi sosial tersebut pada gilirannya membentuk identitas masyarakat tersebut. Pembentukan identitas ini semakin mempertegas
watak antagonisme sebagai prasyarat sesuatu dikatakan populisme. Filc menyebut kelompok masyarakat tersebut sebagai kelompok tereksklusi, kelompok ini menempati posisi
subordinat atau marginal (Filc, 2015).
Kehadiran aktor populis senantiasa sejalan dengan identifikasi akan kelompok rakyat yang spesifik. Formasi identifikasi akan rakyat boleh jadi
bermacam-macam, bergantung dengan kondisi riil yang ada. Untuk konteks kabupaten
Ngada, rakyat didefinisikan sebagai kelompok tereksklusi, kelompok marginal yakni kelompok masyarakat miskin yang berasal dari kelompok
kelas bawah (gae kisa dan hoo).
Kehadiran Marianus Sae sebagai aktor
Populis berpijak pada referensi kerakyatan yang demikian. Ia mengidentifikasikan
diri sebagai figur pemimpin yang berasal dari kelompok
masyarakat tereksklusi (kelas bawah). Lebih
jauh dari itu kehadirannya diidentifikasi sebagai representasi perjuangan rakyat itu sendiri
untuk melawan kondisi ketidakadilan yang dialaminya. Hal ini tercermin dalam pernyataan Marianus dalam wawancaranya bersama Frans Anggal, �saya yatim piatu
... saya berasal dari kalangan masyarakat
kecil, oleh karena itu saya bekerja
untuk rakyat� kecil... program saya untuk membantu
mereka� (Anggal, 2017,
https://www.florespost.com/2017) Dengan demikian populisme yang terjadi lebih berwatak
pada pemihakan terhadap
�orang-orang kecil�. Identifikasi
kerakyatan tidak serta merta terbentuk
dengan sendirinya. Identifikasi ini pula perlu diciptakan oleh karena itu identifikasi
kerakyatan juga terwujud sebagai formasi bentukan Marianus dan tim pemenangannya sebagaimana tergambar dalam pernyataan salah satu tim pemenangan
sebagai berikut;
�... demikian dalam kampanye tim, salah satu hal yang menjadi penekanan tim kepada
pemilih ialah tentang latar belakangnya
dari keluarga kecil, di sini kehadirannya dalam panggung politik sungguh menjadi perwakilan kehadiran rakyat kecil itu
sendiri. Tujuannya agar pemilih sungguh merasa senasib dan terwakili perjuangannya...� Wawancara, 20 April 2020.
Identifikasi kerakyatan
menegaskan kebasahan aktor populis, hal ini biasnya
didukung dengan pemanfaatan retorika� gaya
populis serta pilihan kebijakan yang pro pada rakyat. Hal ini juga nyata ditemukan dalam figur Marianus
Sae yang� menerapkan gaya kepemimpinan populis dengan segala bentuk praktik
diskursifnya.
�� Populisme sebagai gaya diskursif berkaitan dengan karakteristik dasarnya sebagai serangkaian tindakan representasi simbolik yang mengandung sekaligus membentuk makna �rakyat�, serentak �membela rakyat�. Dalam hal ini gaya
diskursif berkaitan dengan performatifitas, atau proses identifikasi dan penabuhan melalui pernyataan verbal, sikap, aksi, dan perilaku aktor populis (Gidron &
Bonikowski, 2014). Populisme
Marianus Sae dapat dijelaskan dalam kerangka populisme sebagai gaya diskursif. Hal ini dapat diidentifikasi
dari tindakan representasi simbolik yang termanifestasi dalam retorika, aksi dan perilaku serta gaya kepemimpinan politiknya. Marianus selalu menggunakan retorika populis yang menegaskan posisi dirinya dalam intensi
membela rakyat kecil, hal ini
diungkapkan oleh seorang tim pemenangannya;��
�� �... dalam perjumpaan dengan masyarakat, pak Marianus selalu
menegaskan bahwa dirinya terpanggil untuk mengabdikan diri sebagai pemimpin
di kabupaten Ngada untuk membantu rakyat kecil keluar
dari situasi kemiskinan. ... berulang-kali beliau selalu dengan
tegas mengatakan bahwa kemiskinan adalah masalah bersama yang perlu dilawan ...� Wawancara, 22 April
2020.
Tidak sebatas
pemanfaatan retorika populis, Marianus juga menekankan bentuk komunikasi yang sifatnya langsung. Hal ini ia lakukan untuk
menunjukkan kedekatannya dengan rakyat. Komunikasi yang sifatnya langsung dengan rakyat tersebut dibangun melalui mekanisme blusukkan untuk mengalami secara langsung kondisi masyarakat, serentak menyerap berbagai aspirasi masyarakat yang kemudian diwujudkan dalam kebijakan sebagai solusi konkret terhadap permasalahan rakyat. Selain metode blusukan, Marianus juga menyediakan saluran alternatif yang memungkinkan adanya komunikasi yang intens dengan masyarakat dengan metode personal message melalui layanan SMS (short
message servis), dan juga menyediakan
waktu rutin untuk berjumpa masyarakat di kantornya selama menjabat sebagai Bupati. Komunikasi langsung yang dilakukan oleh Marianus merupakan bentuk negasi dari praktik
kemapanan politik yang menempatkan jarak pemisah antara pemimpin dan rakyat.� Hal ini diungkapkan oleh Kepala Dinas
PMDP3A Kabupaten Ngada, Yohanes C.W. Ngebu, S.Sos, M.Si
sebagai berikut;
�... Pak Marianus adalah seorang bupati yang rajin turun ke masyarakat.
Hampir seluruh wilayah di kabupaten Ngada telah ia kunjungi,
bahkan daerah pelosok yang susah aksesnya, ... buah dari kunjungannya ialah kebijakan yang sangat pro terhadap rakyat seperti pembukaan akses jalan...�
�...tidak ada jarak antara
beliau dengan masa rakyat... siapa saja boleh berjumpa
dengan beliau karena beliau selalu
menyediakan waktu untuk berjumpa masyarakat di kantornya... masyarakat juga boleh menyampaikan aduan atau keluhan melalui
pesan pribadi langsung kepada beliau...� Wawancara, 21 Mei
2020.
�Berkaitan dengan komunikasi langsung, aktor populis pada umumnya mencitrakan dirinya dengan kesederhanaan, demikian juga aktor populis cenderung
lebih suka berbeda dengan routine politic, mereka tidak menyukai
acara yang sifatnya seremonial
dan lebih menyukai aksi spontan dengan
grassroot sebagai perwujudan
kedekatan dengan rakyat (Rahmah, 2019). Hal ini
juga nyata terlihat dalam gaya kepemimpinan
Marianus Sae. Bahkan kecenderungan ini terbawa dalam
pola pengambilan kebijakan yang tidak menyukai alur birokrasi
yang sifatnya berbelit-belit.
Marianus tercatat pernah bersitegang dengan anggota DPRD Kabupaten Ngada, dan mengancam akan mengundurkan diri bila program pemberdayaan ekonomi rakyat dalam bentuk penyediaan
bibit ternak Sapi bagi 18000 penduduk Miskin tidak disetujui oleh DPRD (Alfons
Nedabang, 2018, https://kupang.tribunews). Populisme
Marianus Sae, tidak sebatas dilihat
dalam kerangka gaya diskursif tetapi lebih jauh
dari itu dapat dijelaskan melalui pilihan kebijakan yang sifatnya populis sebagaimana dijelaskan pada bagian berikut.��
Kebijakan Populis Marianus
Sebagai Strategi Politik Pertahanan Kekuasaan
�� Sebagai strategi politik populisme berfokus pada pilihan kebijakan yang mengedepankan program-program pro rakyat,
organisasi politik, serta kerangka mobilisasi yang bertujuan untuk memperoleh dukungan rakyat dalam proses elektoral (Gidron & Bonikowski,
2014). Dalam kontes
kabupaten Ngada, penulis tidak menemukan
adanya data yang cukup mengenai aktor populis (Marianus Sae) dalam mengembangkan
skema organisasi untuk memobilisasi masyarakat. Sebaliknya sebagai sebuah strategi politik aktor populis,
mengedepankan pilihan kebijakan sebagai bagian dari kerangka
mobilisasi. Corak mobilisasi yang tampak ialah yang bersifat top-down dalam wujud kebijakan
populis.
Suatu kebijakan dikatakan
populis apabila sesuai dengan isu
publik atau sejalan dengan kebutuhan prioritas masyarakat bersangkutan. Kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan merupakan tiga masalah utama
yang dialami oleh masyarakat
Kabupaten Ngada, hal ini sejalan
dengan data BPS Kabupaten Ngada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa jumlah presentasi penduduk miskin masih terbilang cukup tinggi sebesar 13,54 %,. Dalam bidang
kesehatan, ketersediaan sarana prasarana kesehatan serta akses akan jaminan
kesehatan masyarakat menjadi kendala yang dialami oleh masyarakat Ngada. Hingga pada tahun 2009 masih terdapat 49,22 persen penduduk yang belum memiliki jaminan/asuransi kesehatan. Selanjutnya dalam bidang pendidikan, rendahnya jangkauan (coverage)
dan akses pada pelayanan pendidikan, serta� tingkat
kemiskinan dan biaya sekolah yang tinggi menjadi penyebab rendahnya partisipasi sekolah. Alasan ini turut menjadi
pemicu banyaknya siswa yang putus sekolah atau tidak
dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi. Berkaitan dengan ini, data BPS Kabupaten Ngada menunjukkan bahwa penduduk berumur 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah
memiliki persentase yang cukup tinggi yakni
sebesar 3,72 % (BPS Ngada, 2010).
Ketiga masalah tersebut
menjadi prioritas Marianus Sae semenjak
menjabat sebagai Bupati. Dalam upaya
memecahkan masalah tersebut, Marianus melahirkan tiga program unggulan yakni; Program PERAK (Pemberdayaan Ekonomi Rakyat), program JKMN (Jaminan Kesehatan Masyarakat Ngada),
serta program beasiswa pendidikan. Pertama, Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (PERAK )
lahir sebagai jawaban atas upaya
pengentasan kemiskinan dalam wujud bantuan
modal usaha produktif bagi kelompok masyarakat
miskin. Program PERAK meliputi bantuan
masyarakat miskin dalam bidang peternakan, pertanian, kehutanan, dan hortikultura. Salah satu produk unggulan program ini ialah bantuan
modal usaha berupa penyediaan bibit hewan ternak sapi
dan babi� bagi masyarakat miskin. Berkaitan dengan program ini pada tahun 2010 Marianus Sae merealisasikan bantuan 18000 bibit hewan ternak bagi
masyarakat kategori miskin
di Kabupaten Ngada. Kedua, Program Jaminan Kesehatan
Masyarakat Ngada (JKMN), Program asuransi
kesehatan yang disediakan
dan dibiayai oleh pemerintah
daerah kabupaten Ngada untuk keluarga
miskin, dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Ketiga, Program Beasiswa bagi masyarakat tidak mampu dan beasiswa berprestasi. Program beasiswa ini terbagi
dalam beberapa kategori yakni; program beasiswa kedokteran, program beasiswa BOSDA (Bantuan Operasional Daerah), dan BOSDIK (Bantuan
Operasional Pendidikan), serta
program beasiswa bagi pelajar yang berasal dari keluarga miskin.
�� Program yang dicanangkan oleh Marianus Sae pada periode pertama kepemimpinannya sebagaimana diuraikan sebelumnya merupakan wujud nyata dari
pilihan kebijakan populis sebab sejalan
dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Ngada. Gidron dan Bonikowski �menggarisbawahi bahwa populisme menjadi perangkat bagi aktor populis untuk
mendapatkan, merebut, ataupun mempertahankan kekuasaan (Gidron & Bonikowski,
2014). Dengan demikian
kebijakan populis yang dicanangkan sangat berkaitan erat dengan strategi politik pertahanan kekuasaan. Politik pertahanan kekuasaan yang dimaksudkan ialah upaya kepala daerah
memanfaatkan kekuasaannya untuk mendapatkan dukungan rakyat dalam rangka mempertahankan
kekuasaannya. Sebab kekuasaan adalah� kemampuan
untuk mengerahkan segala bentuk sumber
daya, untuk mencapai tujuan. Termaksud didalamnya tujuan mempertahankan kekuasaan (Habbodin, 2019). Karakteristik populisme sebagai strategi politik pertahanan kekuasaan biasanya terlihat pada calon ataupun penguasa sah yang memfokuskan diri pada instrumen pemenangan kontestasi elektoral.
Dalam Pilkada Ngada
2015, posisi Marianus Sae sebagai calon
petahana jelas diuntungkan bila dibandingkan dengan kedua pasangan calon penantang lainnya. Sebab dalam kapasitasnya sebagai kepala daerah, Marianus Sae memiliki akses
langsung terhadap kebijakan publik, termaksud di dalamnya dalam mengintervensi birokrasi untuk kepentingannya. Selaku incumbent pilihan kebijakan populis Marianus Sae selama periode
kepemimpinannya dapat dikategorikan sebagai alat mobilisasi yang relevan untuk memperoleh
dukungan rakyat. Sebagai alat mobilisasi
kebijakan populis yang telah dieksekusi perlu disebarkan dan dipropagandakan kepada masyarakat. Hal ini juga diterapkan oleh Marianus dan tim pemenangannya terutama selama masa kampanye Pilkada 2015, sebagaimana diutarakan oleh tim pemenangannya sebagai berikut;��
�... program Perak, JKMN, dan Beasiswa
menjadi program unggulan
yang telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Cerita sukses program ini menjadi bahan
utama yang terus disebarluaskan oleh tim tidak saja dalam
masa kampanye tetapi juga sebelumnya...�
Kebijakan populis tidak
saja dimaknai sebagai upaya pemimpin
menjawabi segala tuntutan kebutuhan rakyatnya. Lebih dari itu dapat
dilihat sebagai strategi pemimpin mendekatkan diri dengan rakyat� serentak sebagai alat mobilisasi
dukungan dalam kontes politik elektoral dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
Kesimpulan
Populisme sebagai strategi politik berfokus pada pilihan kebijakan yang sifatnya populis. Dalam kontes elektoral,
kebijakan demikian dapat dimanfaatkan sebagai alat mobilisasi
yang relevan oleh aktor populis untuk memperoleh
ataupun mempertahankan kekuasaan. Kontestasi Pilkada Kabupaten Ngada Tahun 2015 berhasil menghantar pasangan calon petahana, Marianus Sae, S.A.P dan Drs. Paulus Soliwoa� untuk kembali terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati dengan persentase
dukungan suara yang signifikan. Keberhasilan ini tidak lepas
dari sosok populis Marianus Sae dengan segala
kebijakan populisnya. Dalam hal ini
kebijakan populis yang dimaksudkan terwujud dalam tiga program unggulan pada periode pertama kepemimpinannya yakni; program PERAK (Pemberdayaan
Ekonomi Rakyat), program JKMN (Jaminan Kesehatan
Masyarakat Ngada), serta
program beasiswa pendidikan.
Pilihan kebijakan populis Marianus Sae tersebut dapat
dilihat sebagai strategi politik pertahanan kekuasaan. Di mana kebijakan populis terus disebarluaskan
kepada masyarakat sebagai bentuk mobilisasi dukungan elektoral. Sebagai strategi politik, kebijakan populis Marianus Sae terbukti berhasil
memberikan efek elektoral yang positif bagi keterpilihannya.
BIBLIOGRAFI
Alfons Nedabang. (2018). Program
Populis Bupati Ngada Dipuji Dahlan Iskan Dihadapan Sby.
Aminah, S., & Roikan. (2019). Pengantar Metode
Penelitian Kualitatif Ilmu Politik . In Edisi Pertama. Jakarta:
Prenadameedia Group.
Anggal, Frans. (2017). Lebih Jauh Dengan Bupati
Marianus.
Badan Pusat Statistik (Bps) Kabupaten Ngada. (2010). Indikatar
Kesejaterhan Rakyat Kabupaten Ngada 2010.
Bere, Sigrianus Marutho. (2018). Perjalanan Marianus
Sae Dari Pengusaha Kayu Hingga Bupati Ngada 2 Periode.
De Raadt, Jasper, Hollanders, David, & Krouwel,
Andr�. (2004). Varieties Of Populism : An Analysis Of The Programmatic
Character Of Six European Parties. Political Science.
Emilianus Yakop Sese Tolo. (2018). Marianus Sae Dan
Pilkada Borjuis Di Nusa Tenggara Timur.
Fajar. (2015). Bupati Yang Sedang Jadi Buah Bibir
Dahlan Iskan.
Filc, Dani. (2015). Latin American Inclusive And
European Exclusionary Populism: Colonialism As An Explanation. Journal Of
Political Ideologies, 20(3).
Https://Doi.Org/10.1080/13569317.2015.1075264
Gidron, Noam, & Bonikowski, Bart. (2014).
Varieties Of Populism: Literature Review And Research Agenda. Ssrn
Electronic Journal. Https://Doi.Org/10.2139/Ssrn.2459387
Habbodin, Muhtar. (2019). Populisme Sebagai Bentuk
Politik Pertahanan Pemimpin Lokal. Jurnal Politik Walisongo, 1,
21�28.
Hiariej, Eric. (2017). Politik Jokowi: Pasca
Klientelisme Dalam Rantai Ekuivalensi Yang Rapuh. Prisma, 36(Negara
Kesejaterahan Dan Demokrasi), 127�147.
Kpu Kabupaten Ngada. (2016). Pilkada Ngada 2015.
Laclau, Ernesto. (2005). On Populist Reason.
London: Verso.
Mietzner, Marcus. (2014). Indonesia�s 2014 Elections.
How Jokowi Won And Democracy Survived. Journal Of Democracy, 25(4).
Mietzner, Marcus. (2015). Reinventing Asian Populism:
Jokowi�s Rise, Democracy, And Political Contestation In Indonesia. Policy
Studies, (72).
Miles, A. Mathew, Hubermen, A. Michael, & Saldana,
J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook (3rd Ed.).
Usa: Sage Publication.
Moffitt, Benjamin, & Tormey, Simon. (2014).
Rethinking Populism: Politics, Mediatisation And Political Style. Political
Studies, 62(2). Https://Doi.Org/10.1111/1467-9248.12032
Moleong, Lexy J. (2021). Metodologi Penelitian
Kualitatif. Pt Remaja Rosdakarya.
Mudde, Cass, & Kaltwasser, Kristobal Rovira.
(2017). Populisma Very Short Introduction. New York: Oxford University.
Muhtadi, Burhanuddin. (2019). Populisme Politik
Identitas Dan Dinamika Elektoral : Mengurai Jalan Panajang Demokrasi
Prosedural. Malang: Intrans Publishing.
Panizza, Francisco. (2005). Introduction: Populism And
The Mirror Of Democracy. In Populism And The Mirror Of Democracy.
Paskarina, Caroline, Asiah, Mariatul, & Madung,
Otto Gusti. (2015). Berebut Kontrol Atas Kesejahteraan: Kasus-Kasus
Politisasi Demokrasi Di Tingkat Lokal.
Rahmah, Anisa Nur Nia. (2019). Pasang Surut
Populisme: Populisme Basyir Ahmad Di Pekalongan (Polgov Ugm, Ed.).
Yogyakarta.
Ritonga, Alwi Dahlan. (2020). Mencermati Populisme
Prabowo Sebagai Bentuk Gaya Diskursif Saat Kampanye Politik Pada Pemilihan
Presiden 2019. Politeia: Jurnal Ilmu Politik, 12(1).
Https://Doi.Org/10.32734/Politeia.V12i1.3170
Rooduijn, Matthijs, De Lange, Sarah L., & Van Der
Brug, Wouter. (2014). A Populist Zeitgeist? Programmatic Contagion By Populist
Parties In Western Europe. Party Politics, 20(4).
Https://Doi.Org/10.1177/1354068811436065
Savirani, Amalinda, Turnquist, Olle, & Stokke,
Kristian. (2014). Demokrasi Di Indonesia: Antara Patronase Dan Populisme.
Yogyakarta: Universitas Gaja Mada Dan Universitas Oslo.
Weyland, Kurt. (2001). Clarifying A Contested Concept:
Populism In The Study Of Latin American Politics. Comparative Politics, 34(1).
Https://Doi.Org/10.2307/422412
Copyright holder: Nama Author (Tahun Terbit) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |