Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 6, Juni 2022
PENJUALAN RUMAH MELALUI SISTEM CESSIE DAN DAMPAKNYA TERHADAP AKTA
CESSIE DAN PERJANJIAN JUAL BELI
Natasya Fila Rais, Mohamad Fajri
Mekka Putra
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai
praktik pembelian rumah melalui sistem
Cessie yang dilakukan oleh
Bank Tabungan Negara melalui laman
Rumah Murah BTN. Praktik ini dilakukan
terhadap aset-aset, salah satunya adalah rumah, yang mana pemiliknya tidak dapat memenuhi
kewajiban pelunasan kredit yang diberikan oleh pihak bank. Sistem yang digunakan dalam praktik ini adalah
dimana calon pembeli membayar sejumlah kewajiban kredit yang masih harus dibayarkan oleh pemilik rumah yang lama. dengan dilakukannya pembayaran ini, maka pembeli akan
mendapatkan sertipikat rumah yang masih mengatasnamakan pemilik rumah yang lama dan Akta Cessie. Akan tetapi, untuk pembelian rumah dari pihak
pemilik rumah yang lama harus dilakukan perjanjian jual beli dan pembayaran yang harus dilakukan untuk membeli rumah
tersebut sepenuhnya. Selain itu, pembelian
dari rumah sepenuhnya dapat dilakukan agar sertipikat rumah tersebut dapat dimohonkan balik nama. Sehingga,
dengan adanya praktik ini, Penulis
menganalisis dampak praktik pembelian rumah melalui sistem
Cessie terhadap akta-akta perjanjian yang dibuat dalam perbuatan
hukum ini, seperti Akta Cessie
dan Akta Jual Beli. Selain itu,
penulis menganalisis dampaknya terhadap sertipikat yang masih mengatasnamakan pemilik rumah yang lama, apabila calon pembeli ingin
membeli rumah tersebut sepenuhnya. Penulis juga memaparkan teori-teori penunjang, diantaranya terkait Hukum Jaminan, Perjanjian Kredit, Cessie dan lelang eksekusi Hak Tanggungan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dimana penelitian dilakukan terhadap data-data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan artikel-artikel internet. Diharapkan,
tulisan ini dapat dijadikan acuan akademis terkait praktik Cessie dalam jual beli
rumah dan dampaknya terhadap Akta-Akta Notaris terkait.
Kata Kunci: akta; cesssie; jual beli; lelang;
rumah
Abstract
This paper discusses the practice of buying houses through the Cessie system carried out by the State Savings Bank through
the BTN Cheap House page. This practice is carried out on assets, one of which
is a house, where the owner is unable to fulfill the loan repayment obligations
provided by the bank. The system used in this practice is where the prospective
buyer pays a number of credit obligations that still have to be paid by the old
home owner. By making this payment, the buyer will get a house certificate which
is still in the name of the old home owner and the Cessie
Deed. However, for the purchase of a house from the old homeowner, a sale and
purchase agreement must be made and payment must be made to fully purchase the
house. In addition, the purchase from the house can be completely done so that
the certificate of the house can be applied for change of name. So, with this
practice, the author analyzes the impact of the practice of buying a house
through the Cessie system on the agreement deeds made
in this legal act, such as the Cessie Deed and the
Sale and Purchase Deed. In addition, the author analyzes the impact on
certificates that are still in the name of the old home owner, if the
prospective buyer wants to buy the house completely. The author also describes
supporting theories, including those related to Guarantee Law, Credit
Agreements, Cessie and Mortgage Execution auctions.
The research method used is normative juridical, where research is conducted on
secondary data, such as laws and regulations, books, journals and internet
articles. It is hoped that this paper can be used as an academic reference
regarding Cessie's practice in buying and selling
houses and its impact on related Notary Deeds.
Keywords: deed; cesssie; buy and sell; auction; House
Pendahuluan
Kebutuan akan tempat tinggal
merupakan kebutuhan yang
primer bagi kehidupan manusia. Manusia membutuhkan suatu tempat tinggal yang layak untuk melakukan
kegiatan sehari-hari dan beristirahat. Berbagai cara dapat dilakukan
untuk memperoleh suatu rumah layak
huni. Kini, bisnis properti dan para pengembang berlomba-lomba untuk menawarkan hunian yang berada di wilayah
yang kaya fasilitas, strategis,
memiliki ukuran memadai dan harga yang terjangkau. Akan tetapi, dalam beberapa kasus pun, tidak semua orang dapat membeli rumah baru,
terlebih dengan naiknya harga tanah
dan keadaan perekonomian
yang tidak menentu.
Sehingga, calon pembeli rumah
pun mencari alternatif-alternatif
hunian yang murah, namun masih dapat
ditinggali. Beberapa alternatif pun bermunculan, dimulai dari adanya
fasilitas kredit bank yang memudahkan pembeli untuk membayar angsuran rumah per bulannya dan masih dapat menikmati tempat tinggal yang dibeli. Selain itu, ada pula yang memperoleh hunian dari proses lelang eksekusi, yang sebelumnya merupakan benda jaminan. Salah satu solusi yang akhir-akhir ini baru dikembangkan
adalah pembelian rumah melalui Cessie,
dimana pembeli dipersyaratkan menanggung pembayaran sisa kredit rumah tersebut
dengan nantinya dapat memiliki hunian tersebut.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, maka melalui tulisan ilmiah ini, Penulis
meneliti mengenai bagaimana mekanisme dari penjualan rumah melalui Cessie.
Selain itu, Penulis mengidentifikasi dampak-dampaknya terhadap Akta-Akta penunjang dari tindakan-tindakan hukum yang dilakukan, diantaranya Akta Cessie dan Akta Jual Beli. Dengan
begitu, maka didapatkan suatu analisis mengenai apakah praktik penjualan rumah melalui Cessie sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
dan ketentuan-ketentuan pembuatan
Akta Cessie dan
Akta Jual Beli yang sudah ada. Selain itu,
Penulis menganalisis dampaknya terhadap sertipikat rumah yang diperjualbelikan, serta status kepemilikan rumah setelah Cessie telah terpenuhi.
Teori-teori yang dibahas dalam tulisan ini antara lain mengenai Hukum Jaminan, Perjanjian Kredit, Cessie dan lelang eksekusi Hak Tanggungan.
Metode penelitian yuridis normatif dilakukan dalam penelitian ini, dengan dilakukannya penelitian terhadap data-data sekunder, seperti peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan artikel-artikel internet. Diharapkan,
tulisan ini dapat dijadikan referensi terkait praktik Cessie dalam jual beli rumah
dan dampaknya terhadap Akta-Akta Notaris terkait.
Metode Penelitian
Dalam mengkaji suatu permasalahan yang sedang diteliti dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian ini merupakan unsur
yang mutlak harus ada dalam suatu
penelitian yang memiliki suatu fungsi untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan (Soerjono Soekanto, 1989). Serta penelitian
ini bertujuan untuk dapat menjelaskan
seluruh pertanyaan terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini. Penelitian hukum menurut Soerjono
Soekanto yaitu suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan terhadap sistematika, metode yang ada terhadap pemikiran tertentu. Memiliki tujuan untuk mempelajari
satu satu atau beberapa gejala
hukum dengan cara menganalisanya. Kecuali itu, maka
juga diadakan pemeriksaan
yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut,
untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan (Mamudji, 1979).
Menggunakan bentuk penelitian ini, diharapkan dapat menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini yaitu Penjualan Rumah Melalui Sistem
Cessie Dan Dampaknya Terhadap Akta Cessie
Dan Perjanjian Jual Beli yang mana apakah praktik penjualan rumah melalui Cessie
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan ketentuan-ketentuan
pembuatan Akta Cessie dan Akta Jual Beli yang sudah ada. Kemudian
juga terkait dampak terhadap sertipikat rumah yang diperjualbelikan, serta status kepemilikan rumah setelah Cessie
telah terpenuhi yang akan dikaji dengan
menggunakan bahan hukum yang sesuai dengan asas-asas hukum yang ada, hukum positif
terkait permasalahan dan beberapa pendukung lainnya.
Hasil dan Pembahasan
a) Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli,
berdasarkan Pasal 1457
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Jual-beli dianggap telah terjadi antara
kedua belah pihak, berdasarkan Pasal 1458 KUHPerdata, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat
tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan,
maupun harganya belum dibayar. Pasal 1459 KUHPerdata mengatur pula bahwa hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli,
selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616. Unsur-unsur pokok dari perjanjian jual beli adalah
barang dan harga (Subekti, 1995).
Lahirnya perjanjian jual beli adalah
pada detik tercapainya kata
sepakat terkait barang dan harga. Pasal 1458 KUHPerdata mengatur juga bahwa jual-beli itu dianggap
telah terjadi antara kedua belah
pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan,
maupun harganya belum dibayar. Asas kesepakatan yang dianut dalam perjanjian
jual beli adalah asas konsensualisme,
berdasarkan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam perjanjian jual beli, diatur
hak dan kewajiban si penjual dan pembeli yang mengikatkan diri dalam perjanjian
tersebut. Berdasarkan Pasal 1473 KUHPedata, si penjual diwajibkan
menyatakan dengan tegas untuk apa
ia mengikatkan dirinya; segala janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk kerugiannya. Kewajiban utama penjual, berdasarkan Pasal 1474 KUHPerdata, adalah menyerahkan barangnya dan menanggungnya. Si penjual tidak diwajibkan menyerahkan barangnya, jika si pembeli
belum membayar harganya, sedangkan si penjual tidak
telah mengizinkan penundaan pembayaran kepadanya, berdsarkan Pasal 1478 KUHPerdata. Terkait dengan kewajiban penanggungan penjual, Pasal 1491 KUHPerdata mengatur bahwa penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap
si pembeli, adalah untuk menjamin
dua hal, yaitu pertama penguasaan
benda yang dijual secara aman dan tenteram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan
alasan untuk pembatalan pembeliannya.
Kewajiban utama pembeli
dalam perjanjian jual beli, berdasarkan
Pasal 1513 KUHPerdata, adalah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. Jika pada waktu membuat perjanjian
tidak ditetapkan tentang itu, Pasal
1514 KUHPerdata mengatur bahwa si pembeli
harus membayar di tempat dan pada waktu dimana penyerahan harus dilakukan. Kewajiban membayar bunga diatur dalam
Pasal 1515, dimana si pembeli, biarpun
tidak ada suatu janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian,
jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau
lain pendapatan. Apabila pembeli tidak membayar
harga pembelian, si penjual, sesuai
dengan Pasal 1517 KUHPerdata, dapat menuntut pembatalan pembelian.
b) Hukum Jaminan
Meskipun tidak ada definisi
resmi mengenai apa yang dimaksud dengan Hukum Jaminan, namun terdapat pasal-pasal yang merujuk pada rumusan mengenai jaminan itu sendiri,
yaitu dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, dimana mempersyaratkan bahwa tanpa diperjanjikan
pun seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan utangnya (Husni, 2009).
Beberapa pakar hukum mendefinisikan hukum jaminan, diantaranya Mariam Darus Badrulzaman merumuskan jaminan sebagai suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur atau pihak
ketiga kepada kreditur untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan
(Husni, 2009).
Selain itu, J. Satrio berpendapat bahwa hukum jaminan
adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur (Husni, 2009).
Perjanjian jaminan bersifat accessoir, dimana perjanjian tersebut merupakan perjanjian tambahan yang bergantung pada perjanjian pokoknya (Husni, 2009).
Perjanjian pokok dari perjanjian jaminan diantaranya perjanjian pinjam meminjam, maupun hutang piutang yang diikuti dengan perjanjian tambahan sebagai jaminan. Akibat-akibat dari sifat accessoir ini antara lain bahwa adanya dan hapusnya perjanjian tambahan tergantung pada perjanjian pokok, jika perjanjian pokok batal maka
perjanjian tambahan juga batal, jika perjanjian
pokok beralih maka perjanjian tambahan ikut beralih,
dan jika perjanjian pokok beralih karena
cessie, subrogatie
maka perjanjian tambahan juga beralih tanpa penyerahan khusus (Husni, 2009).
Secara umum, jaminan dinilai
kurang cukup dan kurang aman. Hal ini dikarenakan kekayaan yang dimiliki si berutang bisa
saja habis sewaktu-waktu, dan jaminan secara umum berlaku
untuk semua kreditor, sehingga jika terdapat banyak
kreditor, terdapat kemungkinan bahwa beberapa diantara mereka tidak mendapatkan
bagian. Maka dari itu, seorang
kreditor minta diberikan jaminan khusus dan jaminan khusus, yang dapat berupa jaminan kebendaan berupa hipotek, gadai dan fidusia, serta dapat juga berupa jaminan perorangan yang dinamakan penanggungan utang atau borgtocht atau guaranty. Jika hipotek,
gadai dan fidusia telah diletakkan suatu ikatan kebendaan,
dimana kreditor memperoleh suatu hak atas benda-benda
tertentu, maka dalam hal penanggungan
ini tercipta suatu ikatan perorangan
(Subekti, 1995).
Macam-macam jaminan diantaranya adalah jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata adalah jaminan yang diberikan bagi kepentingan semua kreditur dan menyangkut semua harta kekayaan debitur, sehingga benda jaminan tidak
diperuntukkan bagi kreditur tertentu dan dari hasil penjualannya
dibagi diantara para kreditur seimbang dengan piutang-piutangnya
masing-masing (Husni, 2009).
Jaminan umum memiliki ciri-ciri, diantaranya: a) para kreditur mempunyai kedudukan yang sama atau seimbang,
artinya tidak ada yang lebih didahulukan dalam pemenuhan piutangnya dan disebut sebagai kreditur yang konkuren; b) ditinjau dari sudut
haknya, para kreditur konkuren mempunyai hak yng bersifat
perorangan, yaitu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu; dan c) jaminan umum timbul
karena undang-undang, artinya antara para pihak tidak diperjanjikan
terlebih dahulu, maka para kreditur konkuren secara bersama-sama memperoleh jaminan umum berdasarkan
undang-undang (Husni, 2009).
Jaminan khusus diatur secara
tersirat dalam Pasal 1132 KUHPerdata yang klausulanya berbunyi �� kecuali di antara para kreditur ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.� Dimana berdasarkan pasal ini, para pihak diberi kesempatan
untuk menyimpang dari perjanjian, dimana ada kreditur
yang didahulukan kedudukannya
dalam pelunasan utangnya dibandingkan para kreditur lainnya (Husni, 2009).
Pasal 1133 KUHPerdata mengatur lebih lanjut mengenai hak untuk didahulukan,
dimana diantaranya
orang-orang berpiutang terbit
dari hak istimewa, dari gadai, dan dari hipotik. Sehingga hak untuk didahulukan
dapat terjadi karena ketentuan perundang-undangan, maupun kesepakatan para pihak. Jaminan khusus terdiri atas jaminan
perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan menurut Soebekti adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang atau kreditur dengan seorang ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang atau debitur. Jaminan perorangan menimbulkan hubungan langsung dengan pihak ketiga,
dimana timbul penanggungan berdasarkan Pasal 1820 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian
dengan mana seorang pihak ketiga, guna
kepentingan si berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi
perikatan si berutang manakalah orang ini sendiri tidak
memenuhinya. Ciri-ciri jaminan perorangan antara lain: a) mempunyai hubungan langsung dengan orang tertentu; b) hanya dapat dipertahankan
terhadap debitur tertentu; c) seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan pelunasan utang, misalkan borgtocht; d) menimbulkan hak perseorangan yang mengandung asas kesamaan atau
keseimbangan (konkuren) artinya tidak membedakan
mana piutang yang terjadi lebih dahulu dan mana piutang yang terjadi kemudian; dan e) jika suatu saat terjadi
kepaiitan, maka hasil penjualan dari benda-benda jaminan dibagi di antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing-masing berdasarkan Pasal 1136 KUHPerdata (Husni, 2009).
Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan kepada kreditur atas suatu kebendaan
milik debitur hak untuk memanfaatkan
benda tersebut jika debitur melakukan
wanprestasi (Husni, 2009).
Benda yang dijaminkan dapat
berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Ciri-ciri dari jaminan kebendaan antara lain: a) merupakan hak mutlak (absolut)
atas suatu benda; a) merupakan hak mutlak (absolut)
atas suatu benda; b), kreditur mempunyai hubungan langsung dengan benda-benda tertentu milik debitur; c) dapat dipertahankan terhadap tuntutan oleh siapapun; d) selalu mengikuti bendanya di tangan siapapun bend aitu berada (droit de suite/zaaksgevolg);
e) mengandung asas prioritas, yaitu hak kebendaan yang lebih dahulu terjadi
akan lebih diutamakan daripada yang terjadi kemudian (droit de
preference); f) dapat diperalihkan
seperti hipotik; dan g) bersifat perjanjian tambahan (accessoir) (Husni, 2009).
c)
Perjanjian Kredit
Dalam suatu
perjanjian kredit, pihak kreditur dan debitur sepakat atas syarat-syarat dan jangka waktu pemenuhan
kewajiban oleh debitur. Kesepakatan dalam perjanjian kredit dibuat berdasarkan asas kepercayaan. Kemudian, pihak debitur menyerahkan suatu objek yang dapat dijadikan sebagai jaminan kepada kreditur. Objek yang dijadikan jaminan tersebut akan dikembalikan setelah pemenuhan kewajiban, dalam hal ini pembayaran
utang, dapat terpenuhi. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa kredit adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga. Sehingga, perjanjian kredit dapat didefinisikan sebagai perjanjian pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam hal
ini, pihak bank berperan sebagai kreditur dan peminjam merupakan debitur. Perjanjian dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti yang sempurna. Perjanjian kredit bersifat baku, karena bentuk
perjanjiannya telah disediakan oleh kreditur sehingga debitur tinggal mepelajarinya.
Pengaturan mengenai Akta Perjanjian Kredit mengikuti ketentuan tentang perjanjian dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata).
Syarat-syarat sah perjanjian diatur dalam KUHPerdata, yaitu pada Pasal 1320 KUHPerdata, diantaranya: 1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) suatu hal tertentu; 4) suatu sebab yang halal, serta ketentuan-ketentuan lainnya dalam Pasal 1321 hingga 1337. Selain itu, berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, diatur bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Subjek dari perjanjian kredit adalah para pihak yang mengikatkan diri terhadap perjanjian
tersebut. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, objek dari perjanjian
kredit adalah uang atau tagihan, serta
apabila berkaitan dengan pembelian barang seperti rumah dan kendaraan bermotor, kredit yang diberikan bertujuan untuk membeli barang
tersebut. Isi dari perjanjian kredit meliputi jumlah utang yang merupakan jumlah maksimum kredit yang diberikan oleh kreditur, besar bunga, jangka
waktu pelunasan, cara pembayaran klausula opeisbaarheid (mengenai kehilangan hak debitur untuk
mengurus kekayaannya, barang jaminan dan kelalaian debitur atas pemenuhan kewajiban) dan barang yang menjadi jaminan. Selain itu, dicantumkan
pula syarat-syarat lainnya serta biaya akta
dan penagihan utang.
Pasal 1131 KUHPerdata
mengatur mengenai asas umum hak
seorang kreditur terhadap debiturnya dan ditentukan bahwa segala kebendaan si berutang, baik
yang bergerak maupun tak bergerak, baik
yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian
hari, menjadi tannggungan untuk segala perikatannya perseorangan.� Berdasarkan ketentuan ini, maka hak-hak tagihan
seorang kreditur dijamin dengan semua barang-barang debitur yang sudah ada pada saat utang dibuat. Selain itu, semua barang
yang akan ada dan akan dimiliki oleh debitur juga menjadi bagian dari hak-hak
tersebut. Hak-hak tagihan seorang kreditur juga meliputi barang bergerak dan tidak bergerak. Berdasarkan ketentuan ini, maka piutang
kreditur menindih seluruh harta debitur
tanpa pengecualian (Satrio, 1996).
Asas hubungan ekstern kreditur berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata meliputi wewenang kreditur yang dapat mengambil pelunasan dari setiap harta kekayaan
debitur, setiap kekayaan debitur dapat dijual guna
pelunasan dan hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan
harta benda debitur saja, bukan
debitur sebagai orang pribadi. Penjualan harta kekayaan debitur hanya dilakukan
apabila debitur dinyatakan pailit dan dalam penerimaan boedel dengan hak utama untuk
mengadakan pencatatan (Satrio, 1996).
Pada prinsipnya, debitur tidak dapat menawar
harta kekayaan apa saja yang disita,
kecuali telah ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh, pada 1200 KUHPerdata, apabila ada beberapa persil
milik debitur yang dibebani hipotik untuk keuntungan kreditur dan dapat menutup utang debitur.
Terkait dengan
hubungan intern para kreditur,
Pasal 1132 KUHPerdata mengatur bahwa kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
kecilnya tagihan
masing-masing, kecuali apabila
di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan (Satrio, 1996).
Berdasarkan ketentuan ini, dapat disimpulkan
bahwa antara para kreditur terhadap debitur memiliki persamaan hak dan keistimewaan, serta tidak ada yang diistimewakan. Para kreditur yang
haknya dipenuhi pun memiliki kedudukan yang sama antara satu
sama lain. Akan tetapi, dalam pemenuhan kewajiban debitur, dapat dibuat suatu
pengecualian, sebagai contoh apabila debitur membayar sebagian utangnya, kreditur tidak akan melelangkan barang-barang tertentu (Satrio, 1996).
Hak jaminan
kebendaan memberikan kreditur kedudukan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan kreditur didahulukan dan dimudahkan dalam mengambil pelunasan atas tagihannya atas hasil penjualan
benda tertentu atau sekelompok benda tertentu milik debitur dan/atau ada benda
tertentu milik debitur yang dipegang oleh kreditur yang berharga bagi debitur dan dapat memberikan suatu tekanan pisiologis
terhadap debitur untuk memenuhi kewajibannya dengan baik terhadap kreditur
(Satrio, 1996).
Sehingga, terdapat semacam tekanan psikologis kepada debitur untuk melunasi
utang-utangnya, adalah karena benda yang dipakai sebagai jaminan umumnya merupakan barang yang berharga baginya (Satrio, 1996).
d) Cessie
Pasal 613 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) mengatur mengenai penyerahan piutang-piutng atas nama dan kebendaan,
dimana penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan
tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat
sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan
mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan
kepada orang lain. Selain itu, pasal tersebut
mengatur pula bahwa penyerahan yang demikian bagi di berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis
disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan
dengan penyerahan surat itu; penyerahan
tiap-tiap piutang karena surat tunjuk
dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
Cessie, menurut R. Subekti dalam bukunya,
Pokok-Pokok Hukum Perdata,
didefinisikan sebagai suatu perbuatan pemindahan suatu piutang kepada seorang yang telah membeli piutang itu (Subekti, 1995).
Cessie merupakan
suatu cara pemindahan piutang atas nama dimana
piutang itu dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nantinya menjadi kreditur baru, namun hubungan
hukum utang piutang tersebut tidak hapus sedetik pun, tetapi dalam keseluruhannya
dipindahkan kepada kreditur baru. Tagihan atas nama
dimaksud adalah tagihan yang krediturnya tertentu serta diketahui oleh debitur dengan baik. Meskipun
pada umumnya tagihan atas sejumlah uang, namun tagihan yang dirujuk berupa tagihan atas prestasi
dari suatu perikatan, yang mana merupakan benda tidak berwujud.
Berdasarkan Pasal 1602g KUHPerdata, terdapat tagihan-tagihan yang tidak dapat dijadikan objek cessie, yang mana dalam peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak dapat dipindahkan
karena sifatnya yang tidak dapat dialihkan
(hak alimentasi dan hak pensiun, serta
tagihan yang bersifat pribadi, dimana mengikat pada pribadi si debitur. Akan tetapi, karena perpindahan tersebut memiliki akibat hukum terhadap debitur, maka setelah
melakukan pengalihan piutang, peristiwa hukum tersebut harus diberitahukan kepada debitur atau secara tertulis
disetujui atau diakui oleh debitur yang bersangkutan.
Dalam cessie, pihak-pihak yang terlibat diantaranya adalah: 1) pihak yang menyerahkan tagihan atas nama
atau kreditur asal, yang dikenal sebagai cedent; 2) pihak
yang menerima penyerahan atau kreditur baru,
yaitu cessionaris,
serta; 3) pihak yang memiliki utang atau debitur, yaitu cessus. Cessie dapat dilaksanakan tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari debitur, berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata, serta dapat dilakukan
oleh kreditur asal dan kreditur baru. Dengan ditandatanganinya akta cessie, maka cessie pun selesai, dimana hak milik atas
tagihan atas nama sudah berpindah
kepemilikannya kepada kreditur baru.
e)
Lelang Eksekusi Hak Tanggungan
Lelang Eksekusi Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atau Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Pasal 20 UUHT menjelaskan bahwa terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan,
antara lain eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, eksekusi berdasarkan titel eksekutorial dan atas kesepakatan.
Eksekusi berdasarkan Pasal 6 UUHT, yakni apabila debitur cidera janji, maka
berdasarkan hak pemegang Hak Tanggungan
pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan (vide Pasal 20 ayat (1) huruf (a) UUHT). Pasal 6 jo. 20 ayat 1 huruf (a) UUHT memgatur bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan
dapat dilakukan oleh pemegang Hak Tanggungan
atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Kewenangan pelaksanaan lelang berdasarkan pasal tersebut diberikan oleh undang-undang (ex
lege) kepada pemegang Hak Tanggungan
pertama terhadap aset yang menjadi jaminan jika debitur
cidera janji. Kreditur diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan
tanpa persetujuan pihak manapun.
Terkait dengan eksekusi
hipotek, eksekusi (parate eksekusi) harus didasarkan pada janji untuk menjual
atas kekuasaan sendiri berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata, sehingga eksekusi merupakan pelaksanaan dari perjanjian dan dilengkapi grosse akta hipotek,
yang dibuat oleh Notaris, dengan irah-irah �Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.� Berdasarkan Pasal 14 ayat (3) UUHT. Karena janji menjual dengan
kekuasaan sendiri harus diperjanjikan terlebih dahulu maka sudah sepatutnya
eksekusi dalam hipotek berdasarkan 1178 BW harus dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
27/PMK.06.2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang mengatur pula bahwa jenis lelang yang dimaksud adalah Lelang Eksekusi Pasal 6 UUHT bukan Lelang Hak Tanggungan.
Untuk melaksanakan lelang, dokumen-dokumen yang harus disediakan oleh kreditur sebagai penjual sebagai syarat yaitu Perjanjian
Kredit, Akta Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dan pernyataan wanprestasi.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
27/PMK.06.2016 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang (PMK Nomor 27 Tahun 2016) mengatur mengenai pelaksanaan lelang eksekusi. Pasal 1 angka 4 mendefinisikan Lelang Eksekusi sebagai lelang untuk melaksanakan putusan atau penetapan
pengadilan, dokumen-dokumen
lain yang dipersamakan dengan
itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Lelang eksekusi Pasal 6 UUHT tidak dapat dilaksanakan
apabila terdapat gugatan sebelum pelaksanaan lelang terhadap objek Hak Tanggungan dari pihak lain selain debitur/tereksekusi, suami atau istri debitur/tereksekusi yang terkait kepemilikan, berdasarkan Pasal 14. Pasal 30 mengatur mengenai pembatalan lelang sebelum pelaksanaan lelang dilakukan oleh Pejabat Lelang dalam hal terdapat
gugatan atas rencana pelaksanaan Lelang Eksekusi Pasal 6 UUHT dari pihak lain selain debitur/tereksekusi, suami atau istri
debitur/tereksekusi yang terkait dengan kepemilikan objek lelang. Nilai limit dari Lelang Eksekusi Pasal 6 UUHT berdasarkan Pasal 45 adalah Rp 1.000.000.000
dan bank kreditur akan ikut menjadi peserta
lelang.
f)
Praktik Pembelian Rumah Melalui Sistem Cessie
Praktik pembelian
rumah melalui sistem Cessie ditemukan dalam laman Rumah Murah
BTN yang dimiliki oleh Bank Tabungan Negara (Bank
BTN), yang dapat diakses melalui https://rumahmurahbtn.co.id/.
Laman Rumah Murah BTN ini menampilkan
portofolio atau agunan yang siap dijual atau lelang,
maupun melalui mekanisme penjualan lainnya. Dalam laman ini, objek-objek
yang tersedia untuk dibeli meliputi Rumah Bekas yang dapat dijual secara
sukarela dan Rumah Lelang yang dijual melalui prosedur lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang
(KPKNL). Jenis-jenis aset
yang ditawarkan dalam laman ini pun meliputi
rumah, tanah, apartemen, perumahan dan bentuk-bentuk aset lainnya, seperti lahan sawah dan rumah kantor atau ruko.
Beberapa diantaranya dapat dibeli melalui
sistem Cessie, dimana dalam rinciannya
tertera kata �CESSIE� pada kolom
Keterangan Penjualan.
Gambar 1.1. Kolom
Keterangan Penjualan
(Sumber: https://rumahmurahbtn.co.id/btn/detail/36783/tpi-220201/)
Jumlah yang harus dibayarkan dalam setiap aset, diantaranya
rumah, untuk melanjutkan proses jual beli pun beragam, bahkan rumah dapat
dibeli dengan harta serendah Rp 17.000.000. Aset rumah yang dipatok dengan harga Rp 17.000.000 ini berlokasi di Bekasi, Jawa Barat dengan luas tanah
60 m2 dan luas bangunan
22 m2. Dahulu, sistem
Cessie yang digunakan
dalam proses pembelian rumah adalah dengan
melakukan pembayaran terhadap sisa utang pemilik aset tersebut.
Akan tetapi, dalam sistem yang digunakan dalam praktik ini
adalah calon pembeli membayar sisa kredit atau
utang bank dari rumah yang ditawarkan (over credit). Sehingga,
bagi pembeli yang berminat untuk membeli rumah dalam
program Rumah Murah BTN dapat membeli rumah
tersebut dengan membayarkan sisa kredit pemilik rumah terdahulu.
Dalam praktiknya, setelah calon pembeli
rumah melunasi jumlah utang yang merupakan sisa utang dari pemilik rumah yang lama, maka calon pembeli
dapat memiliki rumah tersebut. Calon pembeli dari rumah
tersebut akan mendapatkan sertipikat rumah, akta cessie,
dan dokumen perumahan lainnya. Melalui berita yang dilansir oleh Detik, dimana Penulis
menghubungi pihak Customer
Service dari Rumah Murah BTN, cara yang direkomendasikan untuk membeli rumah tersebut
adalah jika melunasi utang pemilik sebelumnya sejumlah yang tertera dalam laman
secara tunai, kemudian pembeli rumah akan memegang
sertipikat rumah dan Akta Cessie, serta dokumen lainnya.
Akan tetapi, sertipikat rumah yang didapatkan, meskipun telah diberikan kepada pembeli rumah, masih mengatasnamakan pemilik rumah lama, sehingga tidak serta merta langsung
berubah menjadi atas nama pemilik
rumah yang baru, yang telah melunasi kredit pemilik rumah yang lama. Sehingga, pembeli rumah yang baru tersebut harus
menghubungi pemilik rumah lama untuk melakukan balik nama dari sertipikat
rumah yang dibeli.
Proses balik nama sertipikat
antara pembeli baru dan pemilik rumah yang lama dilakukan secara pribadi dan dalam proses ini, pemilik rumah lama akan meminta pembayaran
sebagai harga pembelian rumah, karena pada awalnya pemilik rumah lama telah membayar kredit rumah tersebut
meskipun masih ada kewajiban yang harus dibayarkan. Untuk penetapan jumlah nominal harga untuk pembelian rumah berdasarkan kesepakatan pembeli dan pemilik rumah, sehingga misalkan dalam kasus pembelian
rumah seharga Rp 17.000.000
di atas, pembayaran Rp
17.000.000 merupakan pemenuhan
skema Cessie-nya saja, akan tetapi
pembeli rumah tetap harus membayarkan
harga pembelian rumah dari pemilik
yang lama. Setelah kesepakatan
harga pembelian rumah didapatkan, jual beli rumah
pun dilakukan dan kemudian sertipikat rumah tersebut akan diurus.
Jika pemilik rumah yang
lama menolak rumahnya untuk dibayarkan oleh pembeli, pemilik rumah lama harus memenuhi kewajibannya untuk membayar sisa utangnya yang sebelumnya dijadikan harga Cessie kepada pembeli baru ditambah dengan
bunga yang harus dibayarkan. Sehingga, pembeli baru tetap
mendapatkan keuntungan dari bunga yang dibayarkan meskipun tidak mendapatkan rumah tersebut. Apabila tidak terdapat
kesepakatan dari dua cara yang telah
dijelaskan, maka pembeli baru dapat
melakukan lelang terhadap rumah dan mendapat keuntungan dari hasil lelang
tersebut.
g) Analisis Penjualan Rumah Melalui Sistem
Cessie dan Dampaknya
Terhadap Akta Cessie dan Perjanjian Jual Beli
Berdasarkan pemaparan materi di atas, dapat diketahui bahwa antara perjanjian-perjanjian
mengenai Cessie dan
jual beli merupakan perjanjian-perjanjian
yang tidak saling berkaitan. Hal ini dikarenakan perjanjian Cessie yang dituangkan
dalam Akta Cessie yang merupakan
perjanjian yang bersifat accessoir dengan perjanjian kredit antara kreditur yang merupakan pihak bank dan pemilik rumah yang lama sebagai debitur. Akan tetapi, hal yang menarik yang dapat diperhatikan dari praktik ini adalah
pihak yang merupakan Cessor, yang merupakan
pihak pembeli, baru muncul apabila
terjadi transaksi antara pihak pembeli
tersebut dengan bank. Hal ini menarik karena
ketentuan mengenai Cessie apabila debitur tidak sanggup
memenuhi kewajibannya baru disepakati jauh setelah perjanjian
kredit dibuat dan pihaknya pun baru diketahui setelah sudah ada kesepakatan.
Dalam proses balik nama rumah over credit, pembelian rumah dilakukan pada masa cicilan atau KPR yang masih berjalan dan biaya KPR yang belum dilunaskan oleh pemilik rumah lama akan dialihkan kepada pembeli baru.
Selain itu, berdasarkan
praktik ini, didapati bahwa tindakan hukum untuk Cessor (calon pembeli) melunasi kewajiban pembayaran dan jual beli rumah antara
calon pembeli dan pihak pemilik rumah
yang lama adalah dua hal yang berbeda, dimana pihak bank sebagai kreditur hanya campur tangan
sebatas pemenuhan pembayaran kredit telah diselesaikan oleh calon pembeli rumah.
Hal ini seakan menjadi dua informasi
yang berbeda, dimana berdasarkan praktik yang dijelaskan pertama adalah bahwa calon
pembeli dapat membeli aset rumah
dengan harga rumah, akan tetapi
pembayaran dengan nominal
yang dipromosikan tersebut merupakan nominal pemenuhan pembayaran kredit. Sehingga, untuk membeli rumah tersebut
secara penuh, biaya yang telah dikeluarkan oleh calon pembeli sebagai pihak yang melakukan Cessie tidaklah termasuk sebagai pemenuhan pembayaran jual beli rumah
dan kedua transaksi tersebut merupakan transaksi yang berbeda. Meskipun begitu, dalam lama Rumah Murah BTN juga terdapat aset-aset yang diperjualbelikan tidak melalui Cessie.
Meskipun begitu, praktik Cessie yang
dilakukan dalam laman Rumah Murah
BTN tetap sesuai dengan ketentuan Pasal 613 KUHPerdata, karena penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan
tak bertubuh lainnya � dalam hal ini piutang
terhadap kewajiban pembayaran kredit rumah � dilakukan dengan jalan membuat
sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan
mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan
kepada orang lain.
Hal lainnya yang dapat diteliti terkait penyerahan sertipikat rumah atas nama
pemilik lama setelah dibayarkannya sisa kewajiban kredit atas rumah tersebut
oleh calon pembeli. Pasal 1459 KUHPerdata mengatur bahwa hak milik atas
barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli,
selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616. Pasal 613 KUHPerdata mengatur mengenai proses Cessie dan Pasal
616 KUHPerdata mengatur terkait penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan
dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan. Karena sertipikat rumah tersebut merupakan objek yang dijaminkan, maka akan diserahkan setelah pembayaran kredit dilunasi. Nama dalam sertipikat itu juga tidak berubah selama tidak dilakukan proses balik nama sertipikat
di Kantor Badan Pertanahan Nasional, sehingga pada tahap pemenuhan kewajiban pembayaran kredit, rumah tersebut masih merupakan milik pemilik rumah
yang lama. Proses balik nama
juga dilakukan setelah
proses jual beli telah dilakukan dan calon pembeli benar-benar
membeli rumah tersebut dan melakukan pembayaran terhadap rumah tersebut kepada pemilik rumah yang lama. Untuk melakukan balik nama sertipikat rumah, maka persyaratan
dokumen-dokumen yang harus disediakan antara lain: a)
formular permohonan yang sudah
ditandatangani di atas materai; b) surat kuasa; c) fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) pemohon dan kuasa; d) sertipikat asli; e) Akta Jual Beli;
f) izin pemindahan hak; g) Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPP) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahunan yang telah tervalidasi.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan materi terkait dan analisis pada bagian-bagian sebelumnya, maka dapat disimpulkan
bahwa perjanjian-perjanjian
mengenai Cessie dan
jual beli merupakan perjanjian-perjanjian
yang tidak saling berkaitan karena perjanjian Cessie yang
dituangkan dalam Akta Cessie yang merupakan perjanjian yang bersifat accessoir dengan perjanjian kredit antara kreditur
yang merupakan pihak bank
dan pemilik rumah yang lama
sebagai debitur. Selain itu, praktik
Cessie yang dilakukan
dalam laman Rumah Murah BTN tetap sesuai dengan
ketentuan Pasal 613 KUHPerdata, karena masih terdapat proses penyerahan akan piutang-piutang melalui sebuah akta otentik
atau di bawah tangan, serta hak-hak
atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Dengan dibayarkannya sisa kredit rumah tersebut
oleh calon pembeli, kepemilikan rumah belum diserahkan karena nama dalam
sertipikat rumah tersebut masih mengatasnamakan pemilik rumah yang lama.
Husni, Hasbullah Frieda. (2009). Hukum
Kebendaan Perdata (Hak-hak Yang Memberi Jaminan) Jilid 2. IND HILL CO,
Jakarta.
Mamudji, Soerjono Soekanto dan Sri. (1979).
Peran dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum. Jakarta:
PDHUI.
Satrio, John. (1996). Hukum jaminan,
hak-hak jaminan pribadi penanggungan (borgtocht), dan perikatan
tanggung-menanggung. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekanto. (1989). Pengantar
Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Subekti, R. (1995). Aneka Perjanjian
(Cet. 10). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Copyright holder: Natasya Fila Rais, Mohamad Fajri Mekka Putra (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |