Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia
p�ISSN: 2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 6, Juni 2022
MEDIA SOSIAL SEBAGAI RUANG TANDINGAN BAGI KOMUNITAS KEIBUAN DALAM
MENCIPTAKAN COUNTER-HEGEMONY
Ardhani
Indranila
Departemen Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Artikel ini
mengeksplorasi bagaimana kemunculan komunitas daring Keibuan di media sosial mampu menjadi media perlawanan hegemoni
(counter-hegemony) terhadap wacana
keibuan. Konsep �Ibuisme� sebagai gambaran pola pengasuhan
ibu yang baik di Indonesia dijustifikasi sebagai standar seorang �ibu yang baik� yang dikonstruksi secara sosial sejak lama. Wacana dominan tersebut terinternalisasi secara turun temurun
oleh perempuan Indonesia. Namun,
wacana tersebut menegasi narasi lain yang justru penting bagi perempuan. Oleh karena itu, komunitas
daring keibuan di media sosial
muncul untuk mengatasi tantangan tersebut dan menggerakan perempuan untuk memberikan narasi berlawanan melalui media sosial sebagai ruang tandingan. Dengan menggunakan perspektif Counterpublic dan
Counter-Hegemony, peneliti berargumen
bahwa komunitas daring di
media sosial memiliki kekuasaan untuk mengkonstruksikan wacana baru melawan hegemoni.
Secara spesifik, peneliti berargumen bahwa media sosial menjadi ruang alternatif
untuk melawan narasi dominan khususnya yang tabu dibahas. Studi kualitatif ini akan melihat
komunitas Halo Ibu dan Komunitas
Ibu Profesional di Instagram melalui
observasi konten dan wawancara. Kesimpulannya, kemunculan komunitas daring di
media sosial mampu bertindak sebagai agensi untuk menciptakan
narasi tandingan melalui konten dan pemanfaatan media sosial sebagai ruang perlawanan.
Kata Kunci: Counterpublic, Counter-Hegemony, Instagram, Komunitas Daring, Media Sosial, Wacana Keibuan.
Abstract:
This
article explores how the emergence of the online community of motherhood on
social media can become a medium of counter-hegemony against the discourse of
motherhood. The concept of �ibuism� as a picture of
an ideal mother�s parenting form in Indonesia is justified as the standard of a
�good mother� that has been socially constructed for a long time. The dominant
discourse has been internalized from generation to generation by Indonesian
women. However, this discourse negates other narratives that are important for
women. Therefore, the online motherhood community on social media emerged to
overcome these challenges and mobilize women to provide opposing narratives
through social media as counter space. By using the perspectives of Counterpublic and Counter-Hegemony, the researcher argues
that online communities on social media have the power to construct new
discourses against hegemony. Specifically, the researcher argues that social
media is an alternative space to fight dominant narratives, especially those
taboo to discuss. This qualitative study will look at the Halo Ibu community
and the Komunitas Ibu Profesional
(Professional Mother Community) on Instagram through content observations and
interviews. In conclusion, the emergence of online communities on social media
can act as an agency to create counter-narratives through content and the use
of social media as a space of resistance.
Keywords:
Counterpublic, Counter-Hegemony, Instagram,
Online Community, Social Media, Motherhood Discourse.
Pendahuluan
Media sosial menjadi
ruang bagi beredarnya wacana keibuan yang sering diterima begitu saja oleh sebagian besar perempuan di Indonesia. Wacana keibuan atau �Ibuisme� yang ada di lingkungan masyarakat patriarki seperti Indonesia sejatinya merupakan bentuk konstruksi sosial yang sudah terinternalisasi secara turun temurun
(Djajadiningrat-Nieuwenhuis,
1987; Suryakusuma, 2021). Adanya tuntutan peran sebagai ibu yang baik di masyarakat menjadikan media sosial sebagai pilihan mencari informasi maupun dukungan bagi para ibu (Arnold
& Martin, 2016; Valtchanov et al., 2016), melalui komunitas sesama ibu. Selain itu
media sosial dapat menjadikan wacana keibuan dan pola pengasuhan yang sebelumnya berada di luar norma sosial, dapat
dibahas secara bebas dan terbuka (Johnson,
2016).
Sejak era penjajahan
hingga Orde Baru, nilai-nilai keperempuanan yang dianggap baik adalah
yang berperan sebagai ibu dan istri beserta
peran subordinat sebatas dalam ranah
domestik (Chin,
2018). Perempuan dipaksa
menjalani peran sesuai kodratnya tanpa berhak menuntut
pengakuan maupun prestise (Djajadiningrat-Nieuwenhuis,
1987). Suryakusuma
(2021) mengutarakan
konsep �Ibuisme Negara� dimana pada masa Order Baru pemerintah mengkonstruksi wacana keibuan yang menjadi standar di masyarakat. Standar tersebut disebarkan melalui kegiatan-kegiatan PKK dan
Dharma Wanita. Kegiatan-kegiatan tersebut
mengakar ke dalam kelompok terkecil masyarakat, yaitu keluarga dengan konsep keluarga
batih sebagai bentuk keluarga yang paling
ideal. Hal tersebut membentuk
norma sosial terhadap standar ibu yang baik adalah
yang berpusat pada keluarga,
sebagai ibu dan istri (Kirnandita,
2020). Negara membentuk
wacana keibuan yang membuat perempuan tunduk pada nilai-nilai patriarki agar dapat membentuk masyarakat yang patuh pada agenda pemerintah saat itu (Suryakusuma,
2021).
Seiring perkembangan
jaman, banyak program pemerintah saat ini yang membahasakan diri sebagai pemberdayaan
perempuan maupun ibu. Namun demikian,
norma sosial yang sudah terinternalisasi dan budaya patriarki menjadikan wacana keibuan di Indonesia sebagai hal yang selalu terpinggirkan (Hyunanda
et al., 2021). Hal ini
juga termasuk pembahasan narasi keibuan dan keperempuanan yang dianggap tidak populer, diluar norma kesopanan,
atau bersifat tabu seperti seks, menstruasi,
depresi paska melahirkan, hingga pola pengasuhan yang berbeda dari yang ada di masyarakat (Widiyanti,
2021). Padahal,
wacana seperti di atas justru merupakan
hal yang penting diketahui oleh perempuan khususnya bagi mereka yang berganti peran sebagai ibu.
Berkembangnya teknologi
mempengaruhi penyebaran wacana keibuan yang dominan di masyarakat. Semakin mudahnya para ibu mencari informasi
di dunia maya, semakin banyak
informasi alternatif yang didapat mengenai wacana keibuan, seperti pola pengasuhan,
peran ibu di luar ranah domestik,
hingga pentingnya kesehatan fisik dan mental para ibu. Di sisi lain, kehadiran media sosial membuka jalan bagi
sekelompok orang untuk mulai membentuk persepsi dan gambaran ibu yang ideal (Germic
et al., 2021). Dengan demikian, Ibuisme yang telah terkonstruksi sejak lama mudah sekali masuk ke
dalam kehidupan privat dan sumber informasi para ibu melalui media sosial.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Setyastuti
et al. (2019) lebih dari 50% ibu-ibu muda memilih internet dan media sosial sebagai sumber informasi terkait pola pengasuhan
dan pencarian dukungan.
Media sosial dianggap bebas dari hierarki
komunikasi (Moore
& Abetz, 2016). Melalui
media sosial, para ibu dengan mudah mengetahui
apa yang dilakukan oleh ibu-ibu lainnya di berbagai daerah bahkan negara sehingga memberi gambaran lain terhadap pola pengasuhan
yang telah dibangun secara turun temurun
di keluarga Indonesia. Meskipun
demikian, media sosial juga
tidak lepas dari gempuran narasi
keibuan yang masih dominan, yang dapat disampaikan secara bebas, cepat, dan cenderung anonimus (Klonick,
2016; Lindgren, 2017). Dengan begitu, media sosial masih memiliki kekuasaan untuk menciptakan wacana populer di masyarakat (Straubhaar
et al., 2012) dan mengesampingkan
narasi yang dianggap melenceng dari norma sosial untuk
dibahas.
Semenjak pandemi
Covid-19 terjadi di seluruh
dunia, aktifitas keseharian
berubah memanfaatkan media komunikasi online. Hal tersebut
juga merubah bentuk komunitas menjadi bersifat online, khususnya dengan memanfaatkan media sosial. Studi ini
akan melihat media sosial sebagai media komunikasi baru muncul sebagai ruang alternatif atau ruang tandingan
bagi perempuan (Triastuti,
2022) khususnya
para ibu yang perannya dibatasi secara sosial pada ranah domestik (Arnold,
2016; Dedees & Noviani, 2020; Djajadiningrat-Nieuwenhuis, 1987). Ruang tersebut
dapat dimanfaatkan oleh komunitas ibu untuk
menciptakan narasi perlawanan terhadap hegemoni wacana keibuan yang selama ini tabu untuk dibahas atau berada
di luar norma sosial yang ada. Dengan menggunakan teori Social Identity
Model of Deindividuation Effects dari CMC, penelitian akan melihat bagaimana kehadiran media sosial sebagai ruang tersebut
yang dapat dimanfaatkan
oleh komunitas keibuan online.
Komunitas Keibuan seperti Halo Ibu dan Komunitas Ibu
Profesional merupakan bentuk komunitas yang berani membahas wacana dan narasi keibuan yang sering dinegasikan di masyarakat. Hal-hal yang bersifat tabu seperti seksualitas perempuan, depresi pasca melahirkan, hingga stigma negatif terhadap status dan peran ibu menjadi pembahasan
yang dilakukan secara bebas dan terbuka di tengah gempuran narasi dominan.� Komunitas Halo Ibu
dan Ibu Profesional sama-sama
memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk
mengumpulkan anggota komunitas dan menyelenggarakan berbagai program komunitas secara berkala. Selain itu, kedua
komunitas menjadi tempat untuk para ibu saling mendukung
dan bertukar informasi dengan keyakinan bebas dari hierarki
maupun penghakiman sosial (Abetz
& Moore, 2018). Kedua komunitas ini menunjukkan
keterbukaan komunitas terhadap reaksi dari pengguna media sosial lain, khususnya yang bukan anggota. Namun demikian, tidak semua komunitas
keibuan berani seterbuka ini. Beberapa komunitas keibuan mengkhususkan kegiatan dan keanggotaan secara tertutup sehingga tidak mudah di akses oleh pengguna media sosial secara umum. Hal ini ditujukan untuk
melindungi anggota komunitas dari stigma sosial dan penyalahgunaan keanggotaan untuk kepentingan pribadi. Bagi komunitas yang lebih tertutup, biasanya mereka membagi nilai-nilai yang ingin disampaikan hanya kepada pengikut
akun media sosialnya melalui unggahan konten.
Komunitas Halo Ibu sudah
berdiri sejak tahun 2015. Komunitas yang didirikan oleh seorang doula (pendamping
persalinan) ini pada awalnya memanfaatkan blog dan kanal YouTube untuk menyebarkan konten positif yang menjawab negasi dan penghakiman pola pengasuhan ibu di masyarakat. Kemudian Halo Ibu memanfaatkan
media sosial seperti
Instagram, TikTok, dan Website sebagai media sosial yang digunakan di luar kegiatan off-line, antara lain kelas meditasi, Lingkaran Ibu dan Kelas Menjadi Ibu. Hingga kini, anggota
komunitas Halo Ibu sudah berjumlah sekitar 180 orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Sementara itu, Komunitas Ibu Profesional (KIP)
yang berdiri sejak tahun 2011 telah meraih berbagai penghargaan sebagai komunitas seperti The Most
Influence Community tahun 2017, hingga
menjadi salah satu dari ratusan komunitas
di dunia yang berhak mengikuti
Facebook Community Leadership Program di Silicon Valley California. Dengan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan dunia, KIP tidak hanya memiliki kegiatan online namun juga
offline di 45 titik di Indonesia dan 4 negara lain di
dunia.
Penelitian sebelumnya
melihat media sosial seperti Instagram dan Facebook sebagai
media bagi para ibu secara individu menunjukan keampuhan diri (Germic
et al., 2021), ekspresi
diri (Bailey
et al., 2020), dan sebagai
media pilihan dalam mencari informasi (Setyastuti
et al., 2019). Penelitian
terdahulu juga melihat komunitas ibu memanfaatkan
media sosial sebagai bentuk pencarian dukungan terhadap pola pengasuhan (Arnold,
2016; Cole & Renegar, 2016; Moore & Abetz, 2016; Prikhidko & Swank,
2018; Valtchanov et al., 2016). Pada konteks
perempuan dan ibu
Indonesia, beberapa penelitian
menunjukan adanya keterkaitan antara komunitas ibu dan media sosial (Afrilia,
2017; Hartoyo & Supriadi, 2015; Yasya et al., 2019). Namun penelitian tersebut belum melihat media sosial sebagai ruang tandingan, maupun komunitas ibu sebagai gerakan
perempuan dalam menciptakan counter-hegemony.
Untuk itu, penelitian ini akan mengeksplorasi bagaimana media sosial sebagai ruang tandingan
memiliki potensi menggerakan komunitas ibu untuk menciptakan
counter-hegemony sebagai
bentuk perlawanan terhadap narasi dominan yang sudah diinternalisasikan di masyarakat.
Theorical Framework
a. Teori Social Identity Model of Deindividuation Effects (SIDE) dalam
Komunitas Online
Komunikasi dalam media sosial
merupakan bentuk komunikasi yang memanfaatkan
media komputer, dikenal dengan Computer-Mediated
Communication atau CMC (Laksana
& Fadhilah, 2021). Komunikasi
yang dimediasi oleh teknologi
komputer dan internet tidak
hanya bersifat
interpersonal tapi juga dapat
berupa interaksi sosial (Barnes,
2002; Thurlow et al., 2004). Di sisi
lain, penggunaan media sosial
pada dasarnya bersifat
personal karena masing-masing individu
sebagai pengguna memanfaatkan media sosial sebagai identitas pribadi (Katz
et al., 2004). Dengan teori SIDE ini, Walther
(2011) melihat bahwa CMC dapat mengubah pengguna media sosial ke arah
bentuk hubungan sosial yang berbeda berdasarkan pribadi
masing-masing. Dengan kata lain, identitas
sosial yang muncul di bawah anonimitas anggota menjadi lebih kuat dan menyebabkan �deindividuasi� dimana anggota komunitas menjadi lebih fokus pada standar kelompok dan mengesampingkan perbedaan individu (Castillo,
2018). Deindividuasi
dapat diartikan bagaimana individu bergerak sebagai anggota kelompok dengan nilai yang ada dalam komunitas
(Vilanova
et al., 2017). Hal tersebut
pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan sebagai kelompok terhadap norma sosial, yang mungkin tidak akan dilakukan
pengguna media sosial sebagai seorang individu. Teori SIDE memiliki dua faktor
dalam membentuk perilaku dalam komunitas online, yaitu (1) anonimitas visual (2) tipe identifikasi. Anonimitas visual muncul ketika pengguna
CMC saling bertukar pesan dalam real-time chat maupun komunikasi asinkronus seperti email. Anonimitas visual ini mengarah kepada deindividuasi atau reduksi pada kesadaran terhadap individualitas
masing-masing anggota. Dengan
munculnya deindividuasi, maka muncul juga faktor kedua dimana
terdapat identifikasi terhadap identitas individu, apakah berorientasi pada identitas kelompok sebagai yang menonjol, seperti halnya identifikasi sosial. Pada saat pengguna CMC atau anggota kelompok mengalami identifikasi sosial, pengguna tersebut akan menghubungkannya
dengan pengguna CMC lain (anggota komunitas lain) dalam dinamika in-group atau out-group. Hal tersebut
yang kemudian mengarahkan persepsi terhadap kesamaan dan ketertarikan terhadap antar anggota kelompok sebagai sebuah persepsi dasar yang selalu ditonjolkan dalam komunitas (see
also Walther, 2011). Teori ini juga menspesifikasi ketika deindividuasi CMC berorientasi pada identifikasi
yang bersifat individual daripada
identifikasi sosial, maka efek sistemik
akan adanya kesamaan dan ketertarikan antar anggota tidak
terjadi.
Komunitas online memiliki nilai-nilai yang disepakati bersama dan menjadikannya sebagai identitas kelompok. Berbagai kegiatan dalam komunitas online seringkali tidak hanya bersifat
online namun juga terdapat komunikasi tatap muka secara parallel. Dengan demikian, anggota kelompok dalam komunitas online dapat mengkonstruksi bentuk komunikasi hyperpersonal yang akan menciptakan kesamaan identitas individu yang berorientasi pada identitas sosial.
b. Media Sosial
sebagai Ruang Tandingan (Counterpublic)
Beberapa platform media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook merupakan media sosial yang cukup diminati oleh para ibu dalam mencari
dukungan terhadap pola pengasuhan dan informasi mengenai narasi keibuan (Setyastuti
et al., 2019). Instagram digunakan
sebagai media sosial yang menarik untuk aktualisasi
diri karena fitur berbagi gambar
dan filter yang menarik (Jiang
& Ngien, 2020; Woodley, 2018). Selain itu, Instagram merupakan platform
yang banyak digunakan untuk menampilkan pencapaian para ibu sebagai bentuk pengakuan akan perannya sebagai ibu (Newman-Bremang,
2019). Sementara
itu, Facebook mampu mewadahi komunitas ibu dengan berbagai
fitur grup yang mudah diakses (Kim
et al., 2019; Valtchanov et al., 2016). Dengan demikian, media sosial dianggap cukup berperan dalam merangkul komunitas ibu dan menampilkan narasi keibuan yang ideal di publik (Arnold
& Martin, 2016).
Media
sosial tidak hanya sekedar menjadi
ruang publik baru, dimana media sosial menjadi tempat berdiskusi secara bebas dan leluasa mengenai berbagai narasi umum (Athique,
2013). Hannah Arendt dalam
Benhabib
(1992) melihat ruang publik atau
public space dari
dua sisi; secara agonistik sebagai ruang tampil
bagi kekuatan moral dan politik yang kompetitif dan tampak hebat, dan secara asosiasional dimana ruang publik
dapat muncul kapanpun dan dimanapun, di saat sebuah kebebasan
muncul. Di sisi lain,
Habermas menganggap ruang publik atau public sphere sebagai sebuah
utopia demokrasi karena adanya ruang kebebasan
untuk masyarakat melakukan diskusi sosial. Namun ruang
publik yang berada di tengah kelas borjuis
pada akhirnya tetap membentuk jarak antar kelas sosial
(Katz
et al., 2004). Pendapat
umum yang tercipta pada akhirnya tetap dikuasai oleh kelas dominan (Papacharissi,
2004), sementara� kelompok minoritas dan narasi yang berada di baliknya akan tetap terbungkam
(Gibson,
2019). Kedua konsep ruang publik
di atas sama-sama mengesampingkan wacana privat sebagai wacana pembahasan utama di ruang publik, khususnya bagi kaum perempuan.
Seperti yang dinarasikan
oleh Benhabib
(1992):
��the
way in which the distinction between the public and the private spheres has
been drawn has served to confine women and typically female spheres of activity
like housework, reproduction, nurturance and care for the young, the sick and
the elderly to the "private" domain, and to keep them off the public
agenda in the liberal state. These issues have often been considered matters of
the good life, of values, of nongeneralizable interests (p.108)�
Fraser
(1992) muncul dengan konsep subaltern-counterpublic atau
ruang publik tandingan untuk melengkapi konsep ruang publik Habermas yang tidak mengikutsertakan kaum perempuan dan kelas bawah (Papacharissi,
2004). Dalam hal ini, subaltern counterpublic tidak berarti lepas
dari wacana dominan, namun lebih ditujukan agar narasi subdominan ini lebih didengar
publik secara luas (Weisser,
2008). Sementara
itu, karakter media sosial yang membebaskan penggunanya untuk berpendapat menjadikannya sebagai ruang publik
baru untuk terciptanya berbagai wacana di masyarakat. Lebih jauh lagi,
media sosial memiliki kemampuan untuk mengaburkan batasan antara kehidupan publik dan privasi (Gibson,
2019; Lindgren, 2017). Dengan
kata lain, apa yang diunggah
ke dalam media sosial secara pribadi
dapat dikonsumsi secara luas secara
digital. Setiap pengguna
media sosial akan terkoneksi dan dapat saling mengakses informasi maupun berinteraksi tanpa harus saling mengenal
(De
Vries, 2015).
Di
sisi lain, Poster
(1998) melihat bahwa media sosial tidak bisa dianggap
sebagai ruang publik karena bentuk
komunikasinya yang tersebar
dan bersifat desentralisasi.
Namun Papacharissi
(2004) berpendapat
bahwa media sosial memiliki potensi sebagai tempat mendiskusikan berbagai wacana layaknya ruang publik. Meskipun
demikian, ruang tersebut lebih mengarah kepada counter-public Fraser
(1992) karena adanya identitas dari pengguna media sosial yang anonimus dan dapat berubah-ubah (Papacharissi,
2004). Melalui
media sosial sebagai ruang tandingan inilah maka dapat
tercipta narasi perlawanan terhadap hegemoni narasi keibuan yang sudah turun temurun, atau yang dikenal dengan counter-hegemony.
c. �Komunitas Keibuan Online Sebagai Counter-Hegemony
Komunitas Keibuan muncul
sebagai bentuk pencarian dukungan terhadap pola pengasuhan
yang dianggap sejalan dengan peran ibu
(Arnold
& Martin, 2016). Komunitas
secara sosial menekankan pada dukungan, relasi sosial yang memberikan rasa keterkaitan satu dengan yang lain (Hampton
& Wellman, 2001). Demikian
halnya komunitas online
yang dapat memberikan dukungan dan membangun relasi sosial dimanapun
dan kapanpun mereka berada (Turner
et al., 2001). Hal yang sama
terjadi pada komunitas keibuan di Indonesia. Seiring perkembangan teknologi, komunitas para ibu ini memanfaatkan teknologi internet dan media sosial
sebagai media komunikasi. Dengan kemunculan anggota lain yang dapat berbagi pandangan dan perhatian yang serupa, menciptakan kenyamanan bagi pengguna media sebagai anggota serta menghasilkan kekuatan terhadap partisipasi anggota secara online (Tanis,
2008; Turner et al., 2001). Media sosial
dimanfaatkan anggota komunitas untuk dapat mengembangkan ide, narasi, program, dan mempertahankan
eksistensi kelompok di tengah masyarakat (Athique,
2013; Bailey et al., 2020; Eschmann, 2021; Hasford, 2016; Valencia, 2015). Dengan begitu, komunitas dapat secara bebas
dan terbuka melakukan diskusi mengenai berbagai nilai dan wacana keibuan, tanpa adanya resistensi.
Hal tersebut membuka peluang bagi komunitas
online menciptakan resistensinya
terhadap dominasi nilai keibuan, atau counter-hegemony.
Konsep counter-hegemony merupakan gerakan resistensi, sebagai buah pemikiran Anthony Gramsci
(1995) yang melihat adanya
ide dan wacana yang menantang
keyakinan, pola, serta budaya dominan
di masyarakat (Cox
& Schiltuis, 2012).�
Jika Gramsci melihat counter-hegemony bergerak pada konteks globalisasi dan perlawanan terhadap globalisasi, maka Laclau
& Mouffe (1985) melihat resistensi dalam hegemoni sebagai sebuah konstruksi wacana yang dibangun secara historis. Selain itu, Laclau
dan Mouffe juga melihat narasi sebagai bentuk resistensi yang memegang peran penting dalam membangun
identitas sosial (Smith,
2012). Counter-hegemony memungkinkan terjadinya aliansi yang �bekerja sama� antara
berbagai identitas yang berbeda-beda untuk menciptakan sebuah tatanan sosial baru (Laclau
& Mouffe, 1985).
Seiring perkembangan digital, diseminasi wacana dominan terjadi di dunia digital melalui internet dan media sosial,
yang dikenal dengan digital hegemony (Kristiyono
et al., 2020). Counter-hegemony sering menjadi cikal bakal
gerakan sosial yang lebih luas (Carroll,
2010) dan pelaku
counter-hegemony harus
sama terampilnya dalam memanfaatkan media agar narasi yang disampaikan dapat tersebar luas (Cox
& Schiltuis, 2012). Counter-hegemony juga membutuhkan area
agar terjadi perubahan, yaitu melalui subaltern (Gibbons,
2019).
Dalam hal ini,
Gramsci melihat ada dua bentuk counter-hegemony. Pertama counter-hegemony yang bersifat penolakan dalam skala besar,
yang biasanya bertujuan untuk melindungi budaya-budaya lokal. Sementara yang kedua lebih kepada gerakan
masyarakat yang dapat berintegrasi dengan globalisasi, namun menawarkan bentuk alternatif wacana lain (lihat
juga Cox & Schiltuis, 2012). Dalam konteks media sosial, counter-hegemony menantang
sistem dominan melalui teks, komentar,
maupun pesan daring dari kelompok yang menolak mengambil paham dominan sebagai
opini yang normal maupun
natural (Warf
& Grimes, 2014).
Katz
et al. (2004) melihat
media sosial sebagai
platform tepat untuk berbagai komunitas daring. Sementara itu, Hampton
& Wellman (2001) melihat komunitas sebagai sebuah jaringan, bukan sebatas pada kelompok yang bersifat lokal. Koneksi yang terjadi pada komunitas daring melalui media sosial dapat bermakna sama dengan yang terjadi pada komunitas tatap muka (Germic
et al., 2021). Komunitas
pada media sosial juga memiliki
kekuasaan untuk membangun narasi tandingan yang kemudian dapat diinternalisasi oleh anggota komunitas (Carroll,
2010; Kristiyono et al., 2020; Santos, 2003). Dari perspektif
Laclau dan Mouffe, komunitas keibuan di media sosial dapat dilihat
sebagai kelompok subordinat yang dapat menjadi agen sosial
namun tidak serta merta memberikan
perubahan radikal, seperti yang dikatakan Gramsci. Anggota komunitas sebagai subjek atas kehendak anggota
lainnya harus dapat membayangkan apa yang dapat dilakukan di ruang alternatif tersebut (Laclau
& Mouffe, 1985). Sejalan dengan Laclau dan Mouffe yang melihat counter-hegemony tidak
lepas dari permasalahan wacana yang disebarkan (Carroll,
2006), artikel ini melihat bahwa
komunitas keibuan berpotensi menjadi counter-hegemony yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan narasi alternatif yang tetap berdampingan dengan narasi dominan,
melalui kesamaan nilai dan identitas kelompok atau komunitasnya.
Dengan identitas baru sebagai sebuah
kelompok, maka gerakan komunitas keibuan yang memanfaatkan media sosial dapat dengan
mudah meluas dan wacana yang disebarkan dapat diterima secara umum.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan studi kasus
pada komunitas Halo Ibu dan Komunitas
Ibu Profesional (KIP) di Instagram dan websitenya. Kedua komunitas ini secara
konsisten membahas mengenai wacana keibuan yang sering dikesampingkan dan mendapatkan
stigma tabu. Halo Ibu konsisten membahas
mengenai depresi paska melahirkan, seksualitas perempuan, serta peran ganda
ibu sebagai perempuan di luar ranah domestik. Sementara Komunitas Ibu Profesional menjadi komunitas yang sudah cukup berpengalaman dan konsisten membahas peran ibu yang tidak hanya sebatas
pada ranah domestik. Metode kualitatif menjadi pilihan peneliti agar dapat memahami realitas sosial sebagai konstruksi sosial, serta fokus pada proses interaktif yang mengedepankan originalitas sebagai kunci (Neuman,
2019).
Pengumpulan data melalui wawancara
singkat dengan pendiri komunitas Halo Ibu dan Komunitas Ibu Profesional serta dua orang anggota dari masing-masing komunitas yang sudah aktif sejak dua
tahun terakhir. Pemilihan informan didasarkan pada keaktifan anggota dalam kegiatan
komunitas serta memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai yang ditanamkan dalam komunitas.
Pengumpulan data dan analisa
juga akan dilakukan melalui observasi pada unggahan akun Instagram @haloibu dan
@ibu.profesional.official serta
isi website masing-masing komunitas.
Penelitian juga dilengkapi dengan data dukung dari berbagai referensi
buku, artikel ilmiah, laporan penelitian terdahulu, data penelitian, serta pemberitaan terkait media sosial dan wacana keibuan di internet.
Hasil dan Pembahasan
Komunitas Halo Ibu dan Komunitas
Ibu Profesional (KIP) sama-sama
berfokus pada pemberdayaan
para ibu dan pemberian dukungan kepada ibu dengan isu
masing-masing. Kelima narasumber
memiliki latar belakang masing-masing dalam memutuskan untuk bergabung maupun menjadikan akun komunitas tersebut sebagai sumber informasi. Anggota komunitas Halo Ibu umumnya memiliki isu mengenai
depresi pasca melahirkan, kehilangan, maupun kesehatan mental ibu setelah berganti
peran. Sementara anggota Komunitas Ibu Profesional lebih banyak memiliki isu terhadap peran
ibu di ranah domestik, yang mana di satu sisi dianggap terbaik
secara kodrati oleh wacana keibuan dominan, namun di sisi lain menjadikan ibu sebagai pihak
yang terpenjara dengan rutinitas.
Tabel
1
Daftar Narasumber
Initial |
Detail
Narasumber |
|
Title |
Lama
Bergabung |
|
AD |
Founder
Halo Ibu Community |
2015 |
SX |
Member
Halo Ibu Community |
2015
|
NL |
Member
Halo Ibu Community |
2018 |
MO |
Member
Komunitas Ibu Profesional |
2019 |
YS |
Member
Komunitas Ibu Profesional |
2014 |
Sumber: Data Peneliti
Kedua komunitas
ini memanfaatkan berbagai platform digital dan media sosial
untuk mengakomodir kegiatan komunitas, baik sebagai ruang
berdiskusi maupun untuk mempromosikan kegiatan online maupun offline. Kedua komunitas ini memiliki website www.haloibu.id dan www.ibuprofesional.com sebagai
basis bagi semua topik dan informasi seputar komunitas dan kegiatannya. Selain itu, kedua komunitas
ini memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan
nilai-nilai yang diusung
oleh komunitas ini. Media sosial yang digunakan terdiri dari berbagai
platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok untuk Halo Ibu, serta Instagram,
YouTube, dan Facebook untuk KIP. Keduanya
juga memanfaatkan platform Whatsapp
Group untuk memelihara intensitas komunikasi dengan anggotanya.
Komunitas keibuan
Halo Ibu berani menampilkan
konten-konten yang dianggap
tabu oleh masyarakat awam. Mulai dari seksualitas
perempuan (e.g. penggunaan kata vagina sebagai sesuatu yang lumrah), pembahasan mengenai depresi pasca melahirkan
(e.g. baby blues, PPD, mental health), hingga wacana dominan mengenai peran ibu dan pola pengasuhan
yang baik (e.g. working mom, stay at home mom, single
mom, etc).
�Perempuan bukan mahluk yang berlebihan, mahluk penuh rasa seperti Ibu pertiwi, jadi perempuan boleh mengutamakan diri dan kesehatan mental dirinya. Saat perempuan
merawat dirinya, tubuhnya, rahimnya, vaginanya, Ia akan
memahami dirinya lebih baik. She can understand
herself fully. Haloibu exists to empower her to
understand what she experiences. Every experience is not always beautiful, but
could be useful for her life, and she knows that she�s worthy enough for life�
(AD)
Berbeda dengan
komunitas Halo Ibu yang cukup
frontal menyuarakan topik
yang tidak biasa dibahas pada forum publik atau media sosial, konten akun Instagram Komunitas Ibu Profesional (KIP) lebih banyak menginformasikan
mengenai kegiatan-kegiatan
online maupun offline yang diadakan
komunitas. Uniknya, kegiatan-kegiatan di KIP dibuat seperti kurikulum dalam sebuah wadah
institusi. Dengan demikian, anggota komunitas bebas memilih mengikuti topik manapun yang ingin dipelajari.
Kedua komunitas
ini sama-sama memiliki kekuatan memanfaatkan media sosial dan ranah digital dalam mengembangkan komunitasnya. Namun demikian, Halo Ibu lebih banyak bermain
pada Instagram dan YouTube yang bersifat visual, sementara KIP lebih banyak memanfaatkan Facebook,
YouTube, Twitter, dan Instagram untuk kepentingan forum-forum online yang diadakan.
Komunitas Keibuan Sebagai
Pembentuk Identitas Sosial Baru
Komunitas keibuan menjadi wadah yang dipilih bagi para ibu tidak hanya
untuk mencari informasi, namun juga untuk mencari dukungan
terhadap pembenaran pola pengasuhan yang dilakukan. Umumnya para anggota bergabung dengan komunitas keibuan karena adanya kebutuhan validasi akan peran
mereka sebagai ibu dan mencari teman sesama ibu
yang memiliki isu serupa dengan mereka
(Arnold
& Martin, 2016). Adanya komunitas keibuan membantu para anggota melewati masa-masa sulit dimana mereka membutuhkan
dukungan dan pengakuan.
�Jadi gue tuh banyak
ikut komunitas waktu itu, yang menerima gue apa
adanya ya si ashtra (founder Halo Ibu) itu. Trus udah
tuh cerita tumpah semua trus
kok ga di judge ya? Ya oke deh
jadi lanjut. Jadi ya gitu ya
kebutuhan gue untuk didengarkan itu di fulfil kan oleh si Halo Ibu� (SX)
Dengan ikut aktif dalam kegiatan
yang diadakan oleh komunitas
keibuan, maka para anggota maupun follower akun komunitas memiliki pandangan yang sama terhadap nilai
yang ingin dibagikan kepada masyarakat luas. Bagi komunitas
Halo Ibu misalnya, mereka
pada akhirnya sepakat pada nilai bersama mengenai
seorang ibu, bahwa menjadi ibu
merupakan perjalanan yang tidak melulu indah
bagi seorang perempuan. Selain itu, banyak penilaian
subjektif terhadap peran ibu membuat
Halo Ibu menanamkan pandangan
positif tanpa judgment terhadap
setiap ibu. Nilai kelompok tersebut diinternalisasi oleh anggotanya sehingga mampu menyebarkan nilai yang sama.
�Halo Ibu memberikan pandangan yang berbeda tentang menjadi ibu, gak ngejudge, dan pandangan tersebut justru yang bisa gue terima.� (NL)
Sama halnya dengan anggota
komunitas Halo Ibu, anggota
komunitas Ibu Profesional
juga melihat bahwa setiap ibu harus
bersikap professional di ranah
manapun ia berkarya. Nilai tersebut yang dipegang oleh setiap anggotanya dan menjadi fokus pada nilai yang disampaikan dalam komunitas ini.
�Dulu sih rasanya ketika saya memilih resign dan full di ranah domestik, hidup saya akan
terpaku pada �rutinitas� saja. Setelah ikut
Ibu Profesional, jadi terbuka bahwa jadi
�ibu rumah tangga� juga harus profesional, bisa berkembang sampai berdampak sesuai dengan hal yang ia suka dan bisa�
(MO).
Hal tersebut menggambarkan bagaimana komunitas mampu membangun sebuah identitas kelompok yang membuat deindividuasi, dimana setiap anggota menjadi fokus pada identitas kelompok dan bergerak sebagai anggota kelompok dengan nilai yang ada pada kelompok (Vilanova et al., 2017). Namun berbeda
dengan Castillo (2018) anonimitas disini menjadi tidak krusial dalam
membentuk deindividuasi karena hampir setiap
anggota saling mengenal meskipun tidak dekat. Komunikasi
yang terjalin antar anggota dalam komunitas
kebanyakan terbatas pada kegiatan komunitas yang diadakan. Namun adanya deindividuasi menjadikan nilai yang dianut individu dalam komunitas menjadi seragam dan muncul sebagai identitas kelompok. Anggota komunitas kemudian menerima nilai-nilai tersebut sebagai sebuah kenormalan, menginternalisasi apa yang sebelumnya dianggap berbeda dan tidak biasa menjadi
hal yang umum untuk dibahas bersama.
�Misalnya ada satu
hal yang tabu ya, karena kita satu
komunitas maka kita akan me-normalize this bareng-bareng. Nanti kan ibu-ibu yang lain akan bingung ya
�kok lo me-normalize this like talking about vagina
dan lain-lain?� akhirnya bisa
dijawab bersama-sama �kenapa engga?� jadi bisa menjawab
bersama-sama� (SX)
Identitas kelompok pada akhirnya menjadi hal yang dibawa oleh masing-masing
anggota komunitas. Ketika anggota komunitas masing-masing belum saling mengenal
atau bersifat anonimus, akan terjalin komunikasi melalui kegiatan online yang diselenggarakan komunitas. Seiring berlangsungnya kegiatan dalam komunitas dan didukung dengan konten-konten yang diunggah di media sosial, maka konsumsi konten
dan nilai komunitas dapat mengarahkan persepsi terhadap kesamaan nilai dan ketertarikan terhadap antar anggota kelompok sebagai sebuah identifikasi identitas bersama (Walther,
2011). Para anggota
akhirnya berbagi nilai yang sama dan bergerak dengan identitas kelompok yang sejalan. Semua anggota komunitas sepakat bahwa kesamaan
nilai dalam kelompok menjadikan mereka lebih dekat.
Bahkan ketika mereka masih bersifat
anonimus, mereka dapat tetap berdiskusi
dan menemukan kecocokan hanya melalui platform media sosial. Hal tersebut menjadikan kedekatan antar anggota komunitas
lebih terjalin dan semakin memperkuat pergerakan komunitas sebagai sebuah identitas baru.
Media Sosial
Sebagai Ruang Alternatif Bagi Komunitas Online
Kedua komunitas
sama-sama memanfaatkan
media sosial sebagai medium
untuk mengembangkan komunitasnya. Para anggota komunitas juga memanfaatkan media
sosial sebagai ruang mencari informasi
seputar pola pengasuhan dan nilai keibuan (Moore
& Abetz, 2016; Setyastuti et al., 2019). Media sosial
seperti Instagram dan Facebook dimanfaatkan
sebagai ruang untuk aktualisasi diri (Cole
& Renegar, 2016), mencari pengakuan bersama dari orang lain (Newman-Bremang,
2019),�
mencari dukungan terhadap pola pengasuhan
(Valtchanov
et al., 2016), maupun berdiskusi tentang berbagai topik di luar narasi keibuan
(Athique,
2013).
�Because
everything is one click away in our phone. Sebagai
Ibu yang melahirkan di zaman millenial,
socmed jadi sumber pemahaman dan kenyamanan perempuan. Adanya haloibu, memberikan oase informasi dan edukasi untuk perempuan yang sangat membutuhkan informasi ini.� (AD)
Wacana yang berada dalam ranah privat
akan menjadi konsumsi publik ketika diunggah ke media sosial (Gibson, 2019;
Lindgren, 2017). Namun begitu,
wacana keibuan selalu menjadi wacana domestik yang seringkali dikesampingkan dalam pembahasan utama di ruang publik (Benhabib, 1992). Terutama dalam konteks masyarakat
patriarki dan budaya timur yang kental seperti Indonesia, peran ibu dikonstruksi menjadi wacana yang hanya berada dalam
ranah domestik. Beberapa anggota komunitas kerap merasa tersudutkan dengan komentar yang biasanya datang dari orang terdekat, khususnya mengenai pola pengasuhan maupun kesehatan mental ibu. Berbicara dengan orang terdekat seperti orang tua, saudara, bahkan teman justru memberikan
tekanan bagi para ibu sehingga mereka
tidak bisa menyuarakan apa yang mereka inginkan.
�Karena kita memiliki budaya
timur yang kuat, dan budaya patriarki yang kental, membicarakan kebutuhan perempuan, dan memiliki ruang aman untuk menceritakan
ini nyaris nihil. Perasaan bukanlah sesuatu yang patut dibicarakan di dalam budaya Indonesia. Perempuan terpaksa
menyimpan apa yang Ia alami sendirian.
Isu keseteraan berkomunikasi dirumah menjadi penyebab perempuan-perempuan bungkam akan identitas dirinya sendiri. Seakan-akan jika perempuan membicarakan vaginanya, Ia bukan
perempuan terhormat atau perempuan yang perlu dihormati.� (AD)
�Boleh (berdiskusi mengenai hal privat),
sejauh bukan, hal-hal yang dilarang. Jadi di
KIP itu ada prinsip: semua boleh kecuali yang tidak boleh. Yang tidak boleh: tidak
kritik kepentingan, tidak ghibah dan fitnah, tidak bicara SARA, tidak bicara khilafayah,
tidak konflik kepentingan� (YS)
Media sosial akhirnya menjadi pilihan sebagai ruang alternatif
bagi para ibu untuk mengungkapkan kebutuhan maupun ekspresi dirinya. Dalam hal ini,
baik ibu sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas dapat menyampaikan narasi keibuan secara bebas agar dapat lebih didengar
publik secara luas (Weisser, 2008). Para ibu berpendapat bahwa melalui media sosial, mereka lebih bebas
menyuarakan pendapat mereka secara personal. Media sosial menjadi pilihan sebagai ruang tandingan karena banyak fitur
yang bisa memudahkan penggunanya menyampaikan pesan. Para ibu dapat memperoleh informasi maupun mengunggah konten yang sesuai dengan persepsinya
tanpa harus saling mengenal (De Vries, 2015). Adanya anonimitas
ini menjadikan media sosial sebagai tempat untuk berdiskusi
layaknya ruang publik (Papacharissi, 2004) dan juga menjadi ruang alternatif bagi komunitas untuk menyampaikan narasi keibuan. Dalam hal ini,
Instagram dan Facebook merupakan media sosial yang menjadi pilihan bagi komunitas
dalam menyampaikan nilai-nilai yang ingin disampaikan (Jiang & Ngien,
2020). Bagi anggota komunitas ini, Instagram merupakan media sosial yang
simple dan berbasis visual sehingga
lebih menarik ketika digunakan untuk membaca konten.
Sementara Facebook memiliki
Facebook Group yang umumnya digunakan
untuk mengakomodir kegiatan-kegiatan komunitas.
�Peran media sosial sih
besar banget ya. Contohnya aja
nih, media belajar utama di KIP itu pakai media sosial lho; facebook group. Gue kagum sih
gimana KIP memanfaatkan fitur-fitur Facebook groups untuk
media belajarnya� (MO)
Komunitas keibuan memanfaatkan
media sosial sebagai ruang tandingan (Fraser, 1992) untuk dapat
menyebarkan nilai-nilai dalam komunitas yang berbeda dengan nilai sosial yang sudah mendominasi. Komunitas memanfaatkan media sosial untuk dapat
menjadi ruang tandingan yang dapat menyebarkan narasi lain di samping narasi dominan melalui konten-konten yang diunggah secara konsisten dan diikuti teks yang mendukung narasi tersebut. Melalui fitur repost, reshare,
atau meneruskan pesan ke platform media sosial personal masing-masing, anggota
kelompok dapat menyebarkan narasi tandingan dan menguatkan pesan yang disampaikan kepada audiens yang lebih luas. Dengan
begitu, narasi tandingan ini bisa
mendapatkan perhatian meskipun harus berdampingan dengan narasi dominan (Weisser, 2008). Misalnya saja jika di tengah
masyarakat patriarki mendukung peran ibu rumah tangga
sebagai pencapaian terbaik dibandingkan ibu pekerja, maka
melalui media sosial, komunitas ini memiliki
ruang diskusi untuk menyampaikan gambaran lain mengenai peran ibu yang tidak hanya terbatas
pada urusan rumah tangga, melainkan ibu yang bahagia (Halo Ibu, 2021) ataupun ibu
yang mampu memberdayakan diri sendiri (Komunitas Ibu Profesional, 2022). Ruang diskusi yang bebas dari penilaian
subjektif (judgement)
tersebut yang menjadikan
media sosial sebagai ruang tandingan (Kampourakis, 2016) bagi ruang
publik yang selama ini penuh dengan
konstruksi wacana terhadap standar keibuan. Media sosial akhirnya menjadi pilihan sebagai ruang tandingan bagi ruang publik
dimana para ibu bebas berdiskusi mengenai wacana keibuan yang selama ini hanya berada
dalam ranah privat (Benhabib, 1992;
Fraser, 1992).
Counter-Hegemony Sebagai
Gerakan Komunitas Melalui Konten Media Sosial
Adanya narasi dominan mengenai bagaimana seorang ibu hanya bisa
fokus pada ranah domestik dan tabu untuk membicarakan masalah seksualitas atau kesehatan mentalnya, menjadikan narasi-narasi yang disuarakan oleh kedua komunitas ini sebagai
tandingan terhadap dominasi wacana tersebut. Narasi keibuan atau Ibuisme
yang telah terkonstruksi secara sosial membentuk
peran ibu yang ideal secara turun temurun
di masyarakat Indonesia (Djajadiningrat-Nieuwenhuis,
1987). Kedua komunitas ini ingin
memberikan gambaran lain di
luar nilai dan norma keibuan atau
Ibuisme tersebut, sehingga memunculkan sebuah gerakan dalam menyebarkan wacana tandingan melalui media sosial. Adanya identitas yang berbeda-beda dalam komunitas ini juga menciptakan sebuah kerjasasama dalam menciptakan sebuah struktur sosial yang baru (Laclau
& Mouffe, 1985) meskipun dalam skala kecil.
Gerakan inilah membentuk sebuah counter-hegemony
dimana wacana keibuan dominan mendapatkan �perlawanan� dari kedua komunitas
ini (Gibbons,
2019).
Komunitas Halo Ibu dan Komunitas
Ibu Profesional merupakan dua komunitas keibuan
yang banyak memanfaatkan media
sosial dan kegiatan online dalam komunitasnya. Komunitas ini tidak
hanya bertujuan memberdayakan para ibu yang tergabung di dalamnya, tapi juga berfungsi sebagai hubungan sosial yang dapat saling mendukung dan bertukar visi dan value yang sama (Arnold
& Martin, 2016; Hampton & Wellman, 2001). Selain itu, kedua komunitas
ini memiliki nilai, pandangan, serta wacana yang berbeda dari wacana
dominan mengenai peran ibu di masyarakat.
Misalnya pada Komunitas
Halo Ibu yang ingin lebih menormalisasi ketubuhan ibu, transisi peran
seorang ibu, hingga kesehatan mental ibu pasca melahirkan
sebagai sebuah hal yang wajar dan perlu untuk selalu
didiskusikan di ruang publik. Sama halnya dengan Komunitas Ibu Profesional yang ingin agar peran ibu baik
di ranah domestik maupun di ranah publik tidak melulu
di justifikasi dan stigmatisasi,
melainkan justru menjadikan ibu sebagai sosok yang professional apapun dan dimanapun peran yang dipilihnya untuk berkarya. Wacana tersebut yang ingin disebarkan tidak hanya kepada
anggota komunitas tapi juga kepada masyarakat luas.
�Sebenarnya intensinya lebih ke edukasi sih
kalau kita pengen ngomongin hal-hal yang tabu tuh bisa dibicarakan dan perlu dibicarakan� (AD)
Kehadiran media sosial
tentu saja mempermudah bentuk penyebaran narasi tandingan dan counter-hegemony.
Penyebaran wacana yang dapat menantang wacana dominan dilakukan melalui konten, teks, komentar,
dan opini timbal balik dari anggota komunitas
maupun pengguna media sosial secara umum
(Warf
& Grimes, 2014). Melalui konten-konten lucu, ringan, dan bahasa yang mudah diterima sebagian besar kelompok ibu, kedua
komunitas ini mencoba meraih atensi pengguna media sosial seluas-luasnya. Selain itu, kemudahan
pengguna media sosial dalam meneruskan konten tersebut menjadikan wacana tersebut lebih mudah tersebar dan dapat diinternalisasi bersama. Dalam hal ini, para anggota
komunitas menjadi kelompok subaltern
yang bergerak bersama dan menjadi agensi perubahan terhadap wacana keibuan yang dominan di masyarakat (Smith,
2012). Seperti
yang dikatakan Laclau
& Mouffe (1985) bahwa kelompok subordinat ini tidak akan
membawa perubahan radikal secara langsung. Namun begitu, wacana yang diangkat dalam counter-hegemony dapat
berdampingan dengan wacana dominan sebagai alternatif wacana (Cox
& Schiltuis, 2012).
�Perbedaan
nilai seperti pola pengasuhan sudah mulai bisa
diterima sih sekarang, sudah mulai terbuka lah.
Media sosial mempermudah kita buat menyampaikan
apa yang diinginkan, apalagi kita kan
sama-sama ya. Jadi karena sama-sama sebagai komunitas makanya lebih berani
dan lebih banyak bisa diterima� (NL)
�Media sosial penuh
dengan pemengaruh. Para pemengaruh inilah yang dapat menyebarkan nilai-nilai perubahan pada masyarakat. Anggota KIP juga dilatih untuk menjadi
pemengaruh yang dapat menyebarkan nilai-nilai baru di masyarakat melalui media sosial.� (YS)
Counter-hegemony melalui komunitas keibuan pada akhirnya dapat menjadi sebuah gerakan yang jauh lebih besar (Carroll,
2006). Hal tersebut
dibuktikan oleh Komunitas
Ibu Profesional yang akhirnya
dapat menyebarkan nilai-nilai komunitas ini kepada seluruh
anggotanya yang tersebar di
berbagai negara selain
Indonesia. Hal ini menunjukkan
bahwa kekuatan counter-hegemony melalui
komunitas keibuan ini berada pada kemampuan anggota komunitas memanfaatkan media sosial untuk juga menyebarkan nilai-nilai dan identitas kelompoknya (Cox
& Schiltuis, 2012).
Kesimpulan
Media sosial memiliki
peran yang signifikan dalam menyebarkan nilai-nilai dan wacana keibuan. Tidak hanya sekedar mengukuhkan
wacana keibuan yang sudah terkonstruksi secara sosial di masyarakat, tapi juga untuk membentuk wacana baru untuk
mendobrak dominasi wacana lama. Penelitian ini memiliki kesimpulan
(1) komunitas keibuan di
media sosial mampu membentuk sebuah identitas kelompok yang dapat bergerak sesuai nilai-nilai yang dianutnya; (2) media sosial menjadi pilihan sebagai ruang tandingan
(subaltern counterpublic)
bagi komunitas keibuan dalam membagikan
nilai-nilai baru; (3) wacana keibuan yang sudah terkonstruksi secara turun temurun
dapat digoyahkan melalui gerakan counter-hegemony komunitas
keibuan; (4) komunitas keibuan berpeluang menjadi kelompok dominan serta memiliki
kekuasaan untuk menyebarkan wacana keibuan baru di masyarakat.
Belum banyaknya penelitian di Indonesia mengenai
media sosial sebagai ruang tandingan untuk menciptakan narasi tandingan terhadap wacana dominan menjadikan artikel ini sebagai
penelitian yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Selain itu, komunitas keibuan yang berpotensi sebagai kekuatan dominan di masyarakat menjadi unit analisis yang menarik untuk diteliti
lebih mendalam.
BIBLIOGRAFI
Abetz, J., & Moore, J. (2018). �Welcome to the Mommy
Wars, Ladies�: Making Sense of the Ideology of Combative Mothering in Mommy
Blogs. Communication, Culture and Critique, 11(2), 265�281.
https://doi.org/10.1093/ccc/tcy008
Afrilia, A. M. (2017). Penggunaan New Media Di Kalangan Ibu
Muda Sebagai Media Parenting Masa Kini. Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media,
1(1), 31�42.
Arnold, L. B. (2016). Confession in 140 Characters: Intensive
Mothering and the #BadMom Twitter. In L. B. Arnold & B. Martin (Eds.), Taking
The Village Online : Mothers, Motherhood, and Social Media (p. 44).
Demeter Press.
Arnold, L. B., & Martin, B. (2016). Taking The Village
Online: Mothers, Motherhood, and Social Media (L. B. Arnold & B. Martin
(Eds.)). Demeter Press.
Athique, A. (2013). Digital Media and Society: An
Introduction. In Digital Media and Society. Polity Press.
https://doi.org/10.1057/9781137393630
Bailey, E. R., Matz, S. C., Youyou, W., & Iyengar, S. S.
(2020). Authentic self-expression on social media is associated with greater
subjective well-being. Nature Communications, 11(1), 1�9.
https://doi.org/10.1038/s41467-020-18539-w
Barnes, S. B. (2002). Computer-Mediated Communication:
Human-to-Human Communication Across the Internet. Pearson Publication.
Benhabib, S. (1992). Models of Public Space: Hannah Arendt,
the Liberal Tradition and J�rgen Habermas. In C. Calhoun (Ed.), Situating
the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Vol.
30, Issue Special, pp. 73�98). Polity Press.
Carroll, W. K. (2010). Social Movements and Counter-Hegemony:
Lessons from the Field. New Proposals - Journal of Marxism and
Interdisciplinary Inquiry, 4(1), 7�22.
Carroll, W. K. (2006). Hegemony, Counter-hegemony,
Anti-hegemony. Annual Meeting of the Society for Socialist Studies, June
2006, 9�43.
Castillo, R. P. (2018). There�s no �me� in �Imgur�: Applying
SIDE theory and content analysis to viral posts on Imgur.com. The Hilltop
Review, 11(1), 3.
https://scholarworks.wmich.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1337&context=hilltopreview%0Ahttps://scholarworks.wmich.edu/hilltopreview/vol11/iss1/3/%0Ahttps://lens.org/190-397-381-137-412
Chin, G. V. S. (2018). State ibuism and one happy family:
Polygamy and the �good� woman in contemporary indonesian narratives. Asia in
Transition, 6, 89�106. https://doi.org/10.1007/978-981-10-7065-5_6
Cole, K., & Renegar, V. R. (2016). The �Wicked
Stepmother� Online: Maternal Identity and Personal Narrative in Social Media.
In L. B. Arnold & B. Martin (Eds.), Taking The Village Online :
Mothers, Motherhood, and Social Media (pp. 30�32). Demeter Press.
Cox, R. H., & Schiltuis, A. (2012). Hegemony and
Counterhegemony. In G. Ritzer (Ed.), The Wiley-Blackwell Encyclopedia of
Globalization (1st ed., pp. 72�110). Blackwell Publishing.
https://doi.org/10.1215/9780822380535-003
De Vries, A. (2015). The use of social media for shaming
strangers: Young people�s views. Proceedings of the Annual Hawaii
International Conference on System Sciences, 2015-March,
2053�2062. https://doi.org/10.1109/HICSS.2015.245
Dedees, A. R., & Noviani, R. (2020). The Discourse of
(Re)Motherhood in Online Media: A Critical Study of the Corruption News on
Tempo.co. Journal Communication Spectrum, 10(1), 33�51.
https://doi.org/http://dx.doi.org/ 10.36782/jcs.v10i1.2003
Djajadiningrat-Nieuwenhuis, M. (1987). Ibuism and
priyayization: Path to power? In E. Locher-Scholten & A. Niehof (Eds.), Indonesian
women in focus: Past and present notions (p. 43). Foris Publications.
Eschmann, R. (2021). Digital Resistance: How Online
Communication Facilitates Responses to Racial Microaggressions. Sociology of
Race and Ethnicity, 7(2), 264�277.
https://doi.org/10.1177/2332649220933307
Fraser, N. (1992). Rethinking the public sphere: A
contribution to the critique of actually existing democracy. Public Space
Reader, 26(25), 34�41. https://doi.org/10.4324/9781351202558-6
Germic, E. R., Eckert, S., & Vultee, F. (2021). The
Impact of Instagram Mommy Blogger Content on the Perceived Self-Efficacy of
Mothers. Social Media and Society, 7(3).
https://doi.org/10.1177/20563051211041649
Gibbons, A. (2019). Counterhegemony. In Keywords in
Radical Geography: Antipode at 50 (First Ed., Issue March, pp. 74�77). John
Hopkins Center for Transatlantic Relations.
https://doi.org/10.1002/9781119558071.ch13
Gibson, A. (2019). Free Speech and Safe Spaces: How
Moderation Policies Shape Online Discussion Spaces. Social Media + Society,
5(1), 205630511983258. https://doi.org/10.1177/2056305119832588
Halo Ibu. (2021). www.haloibu.id
Hampton, K., & Wellman, B. (2001). Long distance
community in the network society: Contact and support beyond Netville. American
Behavioral Scientist, 3, 476�495.
https://doi.org/10.1177/00027640121957303
Hartoyo, N. M., & Supriadi, D. (2015). Aktivisme Sosial
Melalui Penggunaan Media Sosial: Studi Kasus Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia
(Aimi). Jurnal Kajian Komunikasi, 3(1), 1�11.
https://doi.org/10.24198/jkk.vol3n1.1
Hasford, J. (2016). Dominant Cultural Narratives, Racism, and
Resistance in the Workplace: A Study of the Experiences of Young Black
Canadians. American Journal of Community Psychology, 57(1�2),
158�170. https://doi.org/10.1002/ajcp.12024
Hyunanda, V. F., Ram�rez, J. P., L�pez-Mart�nez, G., &
Meseguer-S�nchez, V. (2021). State ibuism and women�s empowerment in indonesia:
Governmentality and political subjectification of chinese benteng women. Sustainability
(Switzerland), 13(6). https://doi.org/10.3390/su13063559
Jiang, S., & Ngien, A. (2020). The Effects of Instagram
Use, Social Comparison, and Self-Esteem on Social Anxiety: A Survey Study in
Singapore. Social Media and Society, 6(2).
https://doi.org/10.1177/2056305120912488
Johnson, K. O. (2016). Digitally Mediated Motherhood :
Mommy Blogs and Reading Mothering. In L. B. Arnold & B. Martin (Eds.), Taking
The Village Online : Mothers, Motherhood, and Social Media (pp.
19�29). Demeter Press.
Kampourakis, I. (2016). Nancy Fraser: Subaltern
Counterpublics. Critical Legal Thinking.
https://criticallegalthinking.com/2016/11/06/nancy-fraser-subaltern-counterpublics/
Katz, J. E., Rice, R. E., Acord, S., Dasgupta, K., &
David, K. (2004). Personal Mediated Communication and the Concept of Community
in Theory and Practice. Annals of the International Communication
Association, 28(1), 315�371. https://doi.org/10.1080/23808985.2004.11679039
Kim, M. J., Preis, M. W., & Lee, C. K. (2019). The
effects of helping, self-expression, and enjoyment on social capital in social
media: the moderating effect of avoidance attachment in the tourism context. Behaviour
and Information Technology, 38(8), 760�781.
https://doi.org/10.1080/0144929X.2018.1552718
Kirnandita, P. (2020). Kepemimpinan Perempuan Era Orde
Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu. Magdalene.
https://womenlead.magdalene.co/2020/10/02/kepemimpinan-perempuan-di-era-orde-baru/
Klonick, K. (2016). Re-Shaming the Debate : Social
Norms , Shame , and Regulation in an Internet Age. Maryland Law Review, 75(4).
http://digitalcommons.law.umaryland.edu/mlr
Komunitas Ibu Profesional.
(2022). https://www.ibuprofesional.com/
Kristiyono, J., Ida, R., & Mashud, M. (2020).
Counter-hegemony of the East Java Biennale art community against the domination
of hoax content reproduction Perlawanan hegemoni komunitas seni Biennale Jawa
Timur terhadap dominasi reproduksi konten hoax Department of Sociology ,
Faculty of Social and Po. Masyarakat, KEbudayaan Dan Politik, 33(1),
26�35.
Laclau, E., & Mouffe, C. (1985). Hegemony and
Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. Verso Books.
Laksana, N. Y., & Fadhilah, A. (2021). Computer-mediated communication
and interpersonal communication in social media Twitter among adolescents. Journal
of Social Studies (JSS), 17(1), 65�78.
https://doi.org/10.21831/jss.v17i1.39015
Lindgren, S. (2017). Digital Media & Society.
Sage.
Moore, J., & Abetz, J. (2016). �Uh Oh. Cue the [New]
mommy wars�: The ideology of combative mothering in popular U.S. Newspaper
articles about attachment parenting. Southern Communication Journal, 81(1),
49�62. https://doi.org/10.1080/1041794X.2015.1076026
Neuman. (2019). Social Research Methods: Qualitative and
Quantitative Approaches.
Newman-Bremang, K. (2019). Insta-Parenting: Why We Can�t
Stop, Won�t Stop Sharing Pics Of Our Kids. Refinery29.Com.
https://www.refinery29.com/en-ca/instagram-parenting-sharing-photos-kids-online-survey
Papacharissi, Z. (2004). Democracy online: Civility,
politeness, and the democratic potential of online political discussion groups.
New Media and Society, 6(2), 259�283.
https://doi.org/10.1177/1461444804041444
Poster, M. (1998). Cyber Democracy: The Internet and the
Public Sphere. In D. Holmes (Ed.), Virtual Politics: Identity and Community
in Cyberspace (pp. 212�228). Sage.
Prikhidko, A., & Swank, J. M. (2018). Motherhood
Experiences and Expectations: A Qualitative Exploration of Mothers of Toddlers.
Family Journal, 26(3), 278�284.
https://doi.org/10.1177/1066480718795116
Santos, B. D. S. (2003). The World Social Forum: Towards a
Counter-hegemonic Globalization (Part 1). The World Social Forum:
Challenging Empires, 235�245.
Setyastuti, Y., Suminar, J. R., Hadisiwi, P., & Zubair,
F. (2019). Millennial moms: Social media as the preferred source of information
about parenting in Indonesia. Library Philosophy and Practice, 2019(July).
Smith, A. M. (2012). Laclau And Mouffe: The radical
democratic imaginary. In Laclau and Mouffe: The Radical Democratic Imaginary.
Routledge.
Straubhaar, J., LaRose, R., & Davenport, L. (2012). Media
Now : Understanding Media, Culture, and Technology (Seventh Ed).
Wadsworth.
Suryakusuma, J. (2021). Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial
Keperempuanan Order Baru (U. Chabibah & J. Suryakusuma (Eds.); 2nd
ed.). Komunitas Bambu.
Tanis, M. . (2008). What makes the internet a place to seek
social support? In S. E.A. Konjin, S. Utz, M. Tanis, & S. . Barnes (Eds.), Mediated
interpersonal communication (pp. 290�308). Routledge Taylor & Francis
Group.
Thurlow, C., Lengel, L., & Tomic, A. (2004). Computer
Mediated Communication Social Interaction and the Internet. Sage
Publication.
Triastuti, E. (2022). Penyintas Kekerasan Seksual
Menemukan Ruang Aman, Dukungan, dan Penghiburan di Media Sosial. The
Conversation.Com.
https://theconversation.com/penyintas-kekerasan-seksual-menemukan-ruang-aman-dukungan-dan-penghiburan-di-media-sosial-167558
Turner, J. W., Grube, J. A., & Meyers, J. (2001).
Developing an optimal match within online communities: An exploration of CMC
support communities and traditional support. Journal of Communication, 51(2),
231�251. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.2001.tb02879.x
Valencia, L. (2015). Being a Mother, Practicing Motherhood,
Mothering Someone: The Impact of Psy-Knowledge and Processes of
Subjectification. Journal of Family Issues, 36(9), 1233�1252.
https://doi.org/10.1177/0192513X14533542
Valtchanov, B. L., Parry, D. C., & Glover, T. D. (2016).
From �Fakebooking� and �Flaming� to a �Mom�s Support Network.� In L. B. Arnold
& B. Martin (Eds.), Taking The Village Online : Mothers,
Motherhood, and Social Media (pp. 119�135). Demeter Press.
Vilanova, F., Beria, F. M., Costa, �. B., & Koller, S. H.
(2017). Deindividuation: From Le Bon to the social identity model of
deindividuation effects. Cogent Psychology, 4(1).
https://doi.org/10.1080/23311908.2017.1308104
Walther, J. B. (2011). Theories of Computer-Mediated
Communication and Interpersonal Relations. In M. L. Knapp & J. A. Daly
(Eds.), The Handbook of Interpersonal Communication (Fourth, pp.
443�479). Sage Publication. https://doi.org/10.1007/978-94-017-4447-8_11
Warf, B., & Grimes, J. (2014). Counterhegemonic
Discourses and The Internet. The Geographical Review: Cyberspace and
Geographical Space, 87(2), 259�274.
Weisser, C. R. (2008). Subaltern counterpublics and the
discourse of protest. JAC: A Journal of Composition Theory, 28(3�4),
608�620.
Widiyanti, A. (2021). Break the pattern about
menstruation, Menstruation is not taboo. Haloibu.Id.
https://haloibu.id/2021/05/break-the-pattern-about-menstruation-menstruation-is-not-taboo/
Woodley, A. (2018). How does Instagram impact on people�s
perceptions of their appearance? Journal of Aesthetic Nursing, 7(2),
94�95. https://doi.org/10.12968/joan.2018.7.2.94
Copyright holder: Ardhani Indranila
(2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |
Yasya, W., Muljono, P., Seminar, K. B., & Hardinsyah, H.
(2019). Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Dan Dukungan Sosial Online
Terhadap Perilaku Pemberian Air Susu Ibu. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media,
23(1), 71. https://doi.org/10.31445/jskm.2019.1942