Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

MEDIA SOSIAL SEBAGAI RUANG TANDINGAN BAGI KOMUNITAS KEIBUAN DALAM MENCIPTAKAN COUNTER-HEGEMONY

 

Ardhani Indranila

Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Artikel ini mengeksplorasi bagaimana kemunculan komunitas daring Keibuan di media sosial mampu menjadi media perlawanan hegemoni (counter-hegemony) terhadap wacana keibuan. Konsep �Ibuisme� sebagai gambaran pola pengasuhan ibu yang baik di Indonesia dijustifikasi sebagai standar seorang �ibu yang baik� yang dikonstruksi secara sosial sejak lama. Wacana dominan tersebut terinternalisasi secara turun temurun oleh perempuan Indonesia. Namun, wacana tersebut menegasi narasi lain yang justru penting bagi perempuan. Oleh karena itu, komunitas daring keibuan di media sosial muncul untuk mengatasi tantangan tersebut dan menggerakan perempuan untuk memberikan narasi berlawanan melalui media sosial sebagai ruang tandingan. Dengan menggunakan perspektif Counterpublic dan Counter-Hegemony, peneliti berargumen bahwa komunitas daring di media sosial memiliki kekuasaan untuk mengkonstruksikan wacana baru melawan hegemoni. Secara spesifik, peneliti berargumen bahwa media sosial menjadi ruang alternatif untuk melawan narasi dominan khususnya yang tabu dibahas. Studi kualitatif ini akan melihat komunitas Halo Ibu dan Komunitas Ibu Profesional di Instagram melalui observasi konten dan wawancara. Kesimpulannya, kemunculan komunitas daring di media sosial mampu bertindak sebagai agensi untuk menciptakan narasi tandingan melalui konten dan pemanfaatan media sosial sebagai ruang perlawanan.

 

Kata Kunci: Counterpublic, Counter-Hegemony, Instagram, Komunitas Daring, Media Sosial, Wacana Keibuan.

 

Abstract:

This article explores how the emergence of the online community of motherhood on social media can become a medium of counter-hegemony against the discourse of motherhood. The concept of �ibuism� as a picture of an ideal mother�s parenting form in Indonesia is justified as the standard of a �good mother� that has been socially constructed for a long time. The dominant discourse has been internalized from generation to generation by Indonesian women. However, this discourse negates other narratives that are important for women. Therefore, the online motherhood community on social media emerged to overcome these challenges and mobilize women to provide opposing narratives through social media as counter space. By using the perspectives of Counterpublic and Counter-Hegemony, the researcher argues that online communities on social media have the power to construct new discourses against hegemony. Specifically, the researcher argues that social media is an alternative space to fight dominant narratives, especially those taboo to discuss. This qualitative study will look at the Halo Ibu community and the Komunitas Ibu Profesional (Professional Mother Community) on Instagram through content observations and interviews. In conclusion, the emergence of online communities on social media can act as an agency to create counter-narratives through content and the use of social media as a space of resistance.

 

Keywords: Counterpublic, Counter-Hegemony, Instagram, Online Community, Social Media, Motherhood Discourse.

 

Pendahuluan

Media sosial menjadi ruang bagi beredarnya wacana keibuan yang sering diterima begitu saja oleh sebagian besar perempuan di Indonesia. Wacana keibuan atau �Ibuisme� yang ada di lingkungan masyarakat patriarki seperti Indonesia sejatinya merupakan bentuk konstruksi sosial yang sudah terinternalisasi secara turun temurun (Djajadiningrat-Nieuwenhuis, 1987; Suryakusuma, 2021). Adanya tuntutan peran sebagai ibu yang baik di masyarakat menjadikan media sosial sebagai pilihan mencari informasi maupun dukungan bagi para ibu (Arnold & Martin, 2016; Valtchanov et al., 2016), melalui komunitas sesama ibu. Selain itu media sosial dapat menjadikan wacana keibuan dan pola pengasuhan yang sebelumnya berada di luar norma sosial, dapat dibahas secara bebas dan terbuka (Johnson, 2016).

Sejak era penjajahan hingga Orde Baru, nilai-nilai keperempuanan yang dianggap baik adalah yang berperan sebagai ibu dan istri beserta peran subordinat sebatas dalam ranah domestik (Chin, 2018). Perempuan dipaksa menjalani peran sesuai kodratnya tanpa berhak menuntut pengakuan maupun prestise (Djajadiningrat-Nieuwenhuis, 1987). Suryakusuma (2021) mengutarakan konsep �Ibuisme Negara� dimana pada masa Order Baru pemerintah mengkonstruksi wacana keibuan yang menjadi standar di masyarakat. Standar tersebut disebarkan melalui kegiatan-kegiatan PKK dan Dharma Wanita. Kegiatan-kegiatan tersebut mengakar ke dalam kelompok terkecil masyarakat, yaitu keluarga dengan konsep keluarga batih sebagai bentuk keluarga yang paling ideal. Hal tersebut membentuk norma sosial terhadap standar ibu yang baik adalah yang berpusat pada keluarga, sebagai ibu dan istri (Kirnandita, 2020). Negara membentuk wacana keibuan yang membuat perempuan tunduk pada nilai-nilai patriarki agar dapat membentuk masyarakat yang patuh pada agenda pemerintah saat itu (Suryakusuma, 2021).

Seiring perkembangan jaman, banyak program pemerintah saat ini yang membahasakan diri sebagai pemberdayaan perempuan maupun ibu. Namun demikian, norma sosial yang sudah terinternalisasi dan budaya patriarki menjadikan wacana keibuan di Indonesia sebagai hal yang selalu terpinggirkan (Hyunanda et al., 2021). Hal ini juga termasuk pembahasan narasi keibuan dan keperempuanan yang dianggap tidak populer, diluar norma kesopanan, atau bersifat tabu seperti seks, menstruasi, depresi paska melahirkan, hingga pola pengasuhan yang berbeda dari yang ada di masyarakat (Widiyanti, 2021). Padahal, wacana seperti di atas justru merupakan hal yang penting diketahui oleh perempuan khususnya bagi mereka yang berganti peran sebagai ibu.

Berkembangnya teknologi mempengaruhi penyebaran wacana keibuan yang dominan di masyarakat. Semakin mudahnya para ibu mencari informasi di dunia maya, semakin banyak informasi alternatif yang didapat mengenai wacana keibuan, seperti pola pengasuhan, peran ibu di luar ranah domestik, hingga pentingnya kesehatan fisik dan mental para ibu. Di sisi lain, kehadiran media sosial membuka jalan bagi sekelompok orang untuk mulai membentuk persepsi dan gambaran ibu yang ideal (Germic et al., 2021). Dengan demikian, Ibuisme yang telah terkonstruksi sejak lama mudah sekali masuk ke dalam kehidupan privat dan sumber informasi para ibu melalui media sosial.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyastuti et al. (2019) lebih dari 50% ibu-ibu muda memilih internet dan media sosial sebagai sumber informasi terkait pola pengasuhan dan pencarian dukungan. Media sosial dianggap bebas dari hierarki komunikasi (Moore & Abetz, 2016). Melalui media sosial, para ibu dengan mudah mengetahui apa yang dilakukan oleh ibu-ibu lainnya di berbagai daerah bahkan negara sehingga memberi gambaran lain terhadap pola pengasuhan yang telah dibangun secara turun temurun di keluarga Indonesia. Meskipun demikian, media sosial juga tidak lepas dari gempuran narasi keibuan yang masih dominan, yang dapat disampaikan secara bebas, cepat, dan cenderung anonimus (Klonick, 2016; Lindgren, 2017). Dengan begitu, media sosial masih memiliki kekuasaan untuk menciptakan wacana populer di masyarakat (Straubhaar et al., 2012) dan mengesampingkan narasi yang dianggap melenceng dari norma sosial untuk dibahas.

Semenjak pandemi Covid-19 terjadi di seluruh dunia, aktifitas keseharian berubah memanfaatkan media komunikasi online. Hal tersebut juga merubah bentuk komunitas menjadi bersifat online, khususnya dengan memanfaatkan media sosial. Studi ini akan melihat media sosial sebagai media komunikasi baru muncul sebagai ruang alternatif atau ruang tandingan bagi perempuan (Triastuti, 2022) khususnya para ibu yang perannya dibatasi secara sosial pada ranah domestik (Arnold, 2016; Dedees & Noviani, 2020; Djajadiningrat-Nieuwenhuis, 1987). Ruang tersebut dapat dimanfaatkan oleh komunitas ibu untuk menciptakan narasi perlawanan terhadap hegemoni wacana keibuan yang selama ini tabu untuk dibahas atau berada di luar norma sosial yang ada. Dengan menggunakan teori Social Identity Model of Deindividuation Effects dari CMC, penelitian akan melihat bagaimana kehadiran media sosial sebagai ruang tersebut yang dapat dimanfaatkan oleh komunitas keibuan online.

Komunitas Keibuan seperti Halo Ibu dan Komunitas Ibu Profesional merupakan bentuk komunitas yang berani membahas wacana dan narasi keibuan yang sering dinegasikan di masyarakat. Hal-hal yang bersifat tabu seperti seksualitas perempuan, depresi pasca melahirkan, hingga stigma negatif terhadap status dan peran ibu menjadi pembahasan yang dilakukan secara bebas dan terbuka di tengah gempuran narasi dominan.� Komunitas Halo Ibu dan Ibu Profesional sama-sama memanfaatkan media sosial sebagai ruang untuk mengumpulkan anggota komunitas dan menyelenggarakan berbagai program komunitas secara berkala. Selain itu, kedua komunitas menjadi tempat untuk para ibu saling mendukung dan bertukar informasi dengan keyakinan bebas dari hierarki maupun penghakiman sosial (Abetz & Moore, 2018). Kedua komunitas ini menunjukkan keterbukaan komunitas terhadap reaksi dari pengguna media sosial lain, khususnya yang bukan anggota. Namun demikian, tidak semua komunitas keibuan berani seterbuka ini. Beberapa komunitas keibuan mengkhususkan kegiatan dan keanggotaan secara tertutup sehingga tidak mudah di akses oleh pengguna media sosial secara umum. Hal ini ditujukan untuk melindungi anggota komunitas dari stigma sosial dan penyalahgunaan keanggotaan untuk kepentingan pribadi. Bagi komunitas yang lebih tertutup, biasanya mereka membagi nilai-nilai yang ingin disampaikan hanya kepada pengikut akun media sosialnya melalui unggahan konten.

Komunitas Halo Ibu sudah berdiri sejak tahun 2015. Komunitas yang didirikan oleh seorang doula (pendamping persalinan) ini pada awalnya memanfaatkan blog dan kanal YouTube untuk menyebarkan konten positif yang menjawab negasi dan penghakiman pola pengasuhan ibu di masyarakat. Kemudian Halo Ibu memanfaatkan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan Website sebagai media sosial yang digunakan di luar kegiatan off-line, antara lain kelas meditasi, Lingkaran Ibu dan Kelas Menjadi Ibu. Hingga kini, anggota komunitas Halo Ibu sudah berjumlah sekitar 180 orang dan tersebar di seluruh Indonesia. Sementara itu, Komunitas Ibu Profesional (KIP) yang berdiri sejak tahun 2011 telah meraih berbagai penghargaan sebagai komunitas seperti The Most Influence Community tahun 2017, hingga menjadi salah satu dari ratusan komunitas di dunia yang berhak mengikuti Facebook Community Leadership Program di Silicon Valley California. Dengan anggota yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan dunia, KIP tidak hanya memiliki kegiatan online namun juga offline di 45 titik di Indonesia dan 4 negara lain di dunia.

Penelitian sebelumnya melihat media sosial seperti Instagram dan Facebook sebagai media bagi para ibu secara individu menunjukan keampuhan diri (Germic et al., 2021), ekspresi diri (Bailey et al., 2020), dan sebagai media pilihan dalam mencari informasi (Setyastuti et al., 2019). Penelitian terdahulu juga melihat komunitas ibu memanfaatkan media sosial sebagai bentuk pencarian dukungan terhadap pola pengasuhan (Arnold, 2016; Cole & Renegar, 2016; Moore & Abetz, 2016; Prikhidko & Swank, 2018; Valtchanov et al., 2016). Pada konteks perempuan dan ibu Indonesia, beberapa penelitian menunjukan adanya keterkaitan antara komunitas ibu dan media sosial (Afrilia, 2017; Hartoyo & Supriadi, 2015; Yasya et al., 2019). Namun penelitian tersebut belum melihat media sosial sebagai ruang tandingan, maupun komunitas ibu sebagai gerakan perempuan dalam menciptakan counter-hegemony. Untuk itu, penelitian ini akan mengeksplorasi bagaimana media sosial sebagai ruang tandingan memiliki potensi menggerakan komunitas ibu untuk menciptakan counter-hegemony sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi dominan yang sudah diinternalisasikan di masyarakat.

 

 

 

Theorical Framework

a.   Teori Social Identity Model of Deindividuation Effects (SIDE) dalam Komunitas Online

Komunikasi dalam media sosial merupakan bentuk komunikasi yang memanfaatkan media komputer, dikenal dengan Computer-Mediated Communication atau CMC (Laksana & Fadhilah, 2021). Komunikasi yang dimediasi oleh teknologi komputer dan internet tidak hanya bersifat interpersonal tapi juga dapat berupa interaksi sosial (Barnes, 2002; Thurlow et al., 2004). Di sisi lain, penggunaan media sosial pada dasarnya bersifat personal karena masing-masing individu sebagai pengguna memanfaatkan media sosial sebagai identitas pribadi (Katz et al., 2004). Dengan teori SIDE ini, Walther (2011) melihat bahwa CMC dapat mengubah pengguna media sosial ke arah bentuk hubungan sosial yang berbeda berdasarkan pribadi masing-masing. Dengan kata lain, identitas sosial yang muncul di bawah anonimitas anggota menjadi lebih kuat dan menyebabkan �deindividuasi� dimana anggota komunitas menjadi lebih fokus pada standar kelompok dan mengesampingkan perbedaan individu (Castillo, 2018). Deindividuasi dapat diartikan bagaimana individu bergerak sebagai anggota kelompok dengan nilai yang ada dalam komunitas (Vilanova et al., 2017). Hal tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan perlawanan sebagai kelompok terhadap norma sosial, yang mungkin tidak akan dilakukan pengguna media sosial sebagai seorang individu. Teori SIDE memiliki dua faktor dalam membentuk perilaku dalam komunitas online, yaitu (1) anonimitas visual (2) tipe identifikasi. Anonimitas visual muncul ketika pengguna CMC saling bertukar pesan dalam real-time chat maupun komunikasi asinkronus seperti email. Anonimitas visual ini mengarah kepada deindividuasi atau reduksi pada kesadaran terhadap individualitas masing-masing anggota. Dengan munculnya deindividuasi, maka muncul juga faktor kedua dimana terdapat identifikasi terhadap identitas individu, apakah berorientasi pada identitas kelompok sebagai yang menonjol, seperti halnya identifikasi sosial. Pada saat pengguna CMC atau anggota kelompok mengalami identifikasi sosial, pengguna tersebut akan menghubungkannya dengan pengguna CMC lain (anggota komunitas lain) dalam dinamika in-group atau out-group. Hal tersebut yang kemudian mengarahkan persepsi terhadap kesamaan dan ketertarikan terhadap antar anggota kelompok sebagai sebuah persepsi dasar yang selalu ditonjolkan dalam komunitas (see also Walther, 2011). Teori ini juga menspesifikasi ketika deindividuasi CMC berorientasi pada identifikasi yang bersifat individual daripada identifikasi sosial, maka efek sistemik akan adanya kesamaan dan ketertarikan antar anggota tidak terjadi.

Komunitas online memiliki nilai-nilai yang disepakati bersama dan menjadikannya sebagai identitas kelompok. Berbagai kegiatan dalam komunitas online seringkali tidak hanya bersifat online namun juga terdapat komunikasi tatap muka secara parallel. Dengan demikian, anggota kelompok dalam komunitas online dapat mengkonstruksi bentuk komunikasi hyperpersonal yang akan menciptakan kesamaan identitas individu yang berorientasi pada identitas sosial.

b.   Media Sosial sebagai Ruang Tandingan (Counterpublic)

Beberapa platform media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook merupakan media sosial yang cukup diminati oleh para ibu dalam mencari dukungan terhadap pola pengasuhan dan informasi mengenai narasi keibuan (Setyastuti et al., 2019). Instagram digunakan sebagai media sosial yang menarik untuk aktualisasi diri karena fitur berbagi gambar dan filter yang menarik (Jiang & Ngien, 2020; Woodley, 2018). Selain itu, Instagram merupakan platform yang banyak digunakan untuk menampilkan pencapaian para ibu sebagai bentuk pengakuan akan perannya sebagai ibu (Newman-Bremang, 2019). Sementara itu, Facebook mampu mewadahi komunitas ibu dengan berbagai fitur grup yang mudah diakses (Kim et al., 2019; Valtchanov et al., 2016). Dengan demikian, media sosial dianggap cukup berperan dalam merangkul komunitas ibu dan menampilkan narasi keibuan yang ideal di publik (Arnold & Martin, 2016).

Media sosial tidak hanya sekedar menjadi ruang publik baru, dimana media sosial menjadi tempat berdiskusi secara bebas dan leluasa mengenai berbagai narasi umum (Athique, 2013). Hannah Arendt dalam Benhabib (1992) melihat ruang publik atau public space dari dua sisi; secara agonistik sebagai ruang tampil bagi kekuatan moral dan politik yang kompetitif dan tampak hebat, dan secara asosiasional dimana ruang publik dapat muncul kapanpun dan dimanapun, di saat sebuah kebebasan muncul. Di sisi lain, Habermas menganggap ruang publik atau public sphere sebagai sebuah utopia demokrasi karena adanya ruang kebebasan untuk masyarakat melakukan diskusi sosial. Namun ruang publik yang berada di tengah kelas borjuis pada akhirnya tetap membentuk jarak antar kelas sosial (Katz et al., 2004). Pendapat umum yang tercipta pada akhirnya tetap dikuasai oleh kelas dominan (Papacharissi, 2004), sementara� kelompok minoritas dan narasi yang berada di baliknya akan tetap terbungkam (Gibson, 2019). Kedua konsep ruang publik di atas sama-sama mengesampingkan wacana privat sebagai wacana pembahasan utama di ruang publik, khususnya bagi kaum perempuan. Seperti yang dinarasikan oleh Benhabib (1992):

 

��the way in which the distinction between the public and the private spheres has been drawn has served to confine women and typically female spheres of activity like housework, reproduction, nurturance and care for the young, the sick and the elderly to the "private" domain, and to keep them off the public agenda in the liberal state. These issues have often been considered matters of the good life, of values, of nongeneralizable interests (p.108)�

 

Fraser (1992) muncul dengan konsep subaltern-counterpublic atau ruang publik tandingan untuk melengkapi konsep ruang publik Habermas yang tidak mengikutsertakan kaum perempuan dan kelas bawah (Papacharissi, 2004). Dalam hal ini, subaltern counterpublic tidak berarti lepas dari wacana dominan, namun lebih ditujukan agar narasi subdominan ini lebih didengar publik secara luas (Weisser, 2008). Sementara itu, karakter media sosial yang membebaskan penggunanya untuk berpendapat menjadikannya sebagai ruang publik baru untuk terciptanya berbagai wacana di masyarakat. Lebih jauh lagi, media sosial memiliki kemampuan untuk mengaburkan batasan antara kehidupan publik dan privasi (Gibson, 2019; Lindgren, 2017). Dengan kata lain, apa yang diunggah ke dalam media sosial secara pribadi dapat dikonsumsi secara luas secara digital. Setiap pengguna media sosial akan terkoneksi dan dapat saling mengakses informasi maupun berinteraksi tanpa harus saling mengenal (De Vries, 2015).

Di sisi lain, Poster (1998) melihat bahwa media sosial tidak bisa dianggap sebagai ruang publik karena bentuk komunikasinya yang tersebar dan bersifat desentralisasi. Namun Papacharissi (2004) berpendapat bahwa media sosial memiliki potensi sebagai tempat mendiskusikan berbagai wacana layaknya ruang publik. Meskipun demikian, ruang tersebut lebih mengarah kepada counter-public Fraser (1992) karena adanya identitas dari pengguna media sosial yang anonimus dan dapat berubah-ubah (Papacharissi, 2004). Melalui media sosial sebagai ruang tandingan inilah maka dapat tercipta narasi perlawanan terhadap hegemoni narasi keibuan yang sudah turun temurun, atau yang dikenal dengan counter-hegemony.

c.   �Komunitas Keibuan Online Sebagai Counter-Hegemony

Komunitas Keibuan muncul sebagai bentuk pencarian dukungan terhadap pola pengasuhan yang dianggap sejalan dengan peran ibu (Arnold & Martin, 2016). Komunitas secara sosial menekankan pada dukungan, relasi sosial yang memberikan rasa keterkaitan satu dengan yang lain (Hampton & Wellman, 2001). Demikian halnya komunitas online yang dapat memberikan dukungan dan membangun relasi sosial dimanapun dan kapanpun mereka berada (Turner et al., 2001). Hal yang sama terjadi pada komunitas keibuan di Indonesia. Seiring perkembangan teknologi, komunitas para ibu ini memanfaatkan teknologi internet dan media sosial sebagai media komunikasi. Dengan kemunculan anggota lain yang dapat berbagi pandangan dan perhatian yang serupa, menciptakan kenyamanan bagi pengguna media sebagai anggota serta menghasilkan kekuatan terhadap partisipasi anggota secara online (Tanis, 2008; Turner et al., 2001). Media sosial dimanfaatkan anggota komunitas untuk dapat mengembangkan ide, narasi, program, dan mempertahankan eksistensi kelompok di tengah masyarakat (Athique, 2013; Bailey et al., 2020; Eschmann, 2021; Hasford, 2016; Valencia, 2015). Dengan begitu, komunitas dapat secara bebas dan terbuka melakukan diskusi mengenai berbagai nilai dan wacana keibuan, tanpa adanya resistensi. Hal tersebut membuka peluang bagi komunitas online menciptakan resistensinya terhadap dominasi nilai keibuan, atau counter-hegemony.

Konsep counter-hegemony merupakan gerakan resistensi, sebagai buah pemikiran Anthony Gramsci (1995) yang melihat adanya ide dan wacana yang menantang keyakinan, pola, serta budaya dominan di masyarakat (Cox & Schiltuis, 2012).� Jika Gramsci melihat counter-hegemony bergerak pada konteks globalisasi dan perlawanan terhadap globalisasi, maka Laclau & Mouffe (1985) melihat resistensi dalam hegemoni sebagai sebuah konstruksi wacana yang dibangun secara historis. Selain itu, Laclau dan Mouffe juga melihat narasi sebagai bentuk resistensi yang memegang peran penting dalam membangun identitas sosial (Smith, 2012). Counter-hegemony memungkinkan terjadinya aliansi yang �bekerja sama� antara berbagai identitas yang berbeda-beda untuk menciptakan sebuah tatanan sosial baru (Laclau & Mouffe, 1985).

Seiring perkembangan digital, diseminasi wacana dominan terjadi di dunia digital melalui internet dan media sosial, yang dikenal dengan digital hegemony (Kristiyono et al., 2020). Counter-hegemony sering menjadi cikal bakal gerakan sosial yang lebih luas (Carroll, 2010) dan pelaku counter-hegemony harus sama terampilnya dalam memanfaatkan media agar narasi yang disampaikan dapat tersebar luas (Cox & Schiltuis, 2012). Counter-hegemony juga membutuhkan area agar terjadi perubahan, yaitu melalui subaltern (Gibbons, 2019).

Dalam hal ini, Gramsci melihat ada dua bentuk counter-hegemony. Pertama counter-hegemony yang bersifat penolakan dalam skala besar, yang biasanya bertujuan untuk melindungi budaya-budaya lokal. Sementara yang kedua lebih kepada gerakan masyarakat yang dapat berintegrasi dengan globalisasi, namun menawarkan bentuk alternatif wacana lain (lihat juga Cox & Schiltuis, 2012). Dalam konteks media sosial, counter-hegemony menantang sistem dominan melalui teks, komentar, maupun pesan daring dari kelompok yang menolak mengambil paham dominan sebagai opini yang normal maupun natural (Warf & Grimes, 2014).

Katz et al. (2004) melihat media sosial sebagai platform tepat untuk berbagai komunitas daring. Sementara itu, Hampton & Wellman (2001) melihat komunitas sebagai sebuah jaringan, bukan sebatas pada kelompok yang bersifat lokal. Koneksi yang terjadi pada komunitas daring melalui media sosial dapat bermakna sama dengan yang terjadi pada komunitas tatap muka (Germic et al., 2021). Komunitas pada media sosial juga memiliki kekuasaan untuk membangun narasi tandingan yang kemudian dapat diinternalisasi oleh anggota komunitas (Carroll, 2010; Kristiyono et al., 2020; Santos, 2003). Dari perspektif Laclau dan Mouffe, komunitas keibuan di media sosial dapat dilihat sebagai kelompok subordinat yang dapat menjadi agen sosial namun tidak serta merta memberikan perubahan radikal, seperti yang dikatakan Gramsci. Anggota komunitas sebagai subjek atas kehendak anggota lainnya harus dapat membayangkan apa yang dapat dilakukan di ruang alternatif tersebut (Laclau & Mouffe, 1985). Sejalan dengan Laclau dan Mouffe yang melihat counter-hegemony tidak lepas dari permasalahan wacana yang disebarkan (Carroll, 2006), artikel ini melihat bahwa komunitas keibuan berpotensi menjadi counter-hegemony yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan narasi alternatif yang tetap berdampingan dengan narasi dominan, melalui kesamaan nilai dan identitas kelompok atau komunitasnya. Dengan identitas baru sebagai sebuah kelompok, maka gerakan komunitas keibuan yang memanfaatkan media sosial dapat dengan mudah meluas dan wacana yang disebarkan dapat diterima secara umum.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus pada komunitas Halo Ibu dan Komunitas Ibu Profesional (KIP) di Instagram dan websitenya. Kedua komunitas ini secara konsisten membahas mengenai wacana keibuan yang sering dikesampingkan dan mendapatkan stigma tabu. Halo Ibu konsisten membahas mengenai depresi paska melahirkan, seksualitas perempuan, serta peran ganda ibu sebagai perempuan di luar ranah domestik. Sementara Komunitas Ibu Profesional menjadi komunitas yang sudah cukup berpengalaman dan konsisten membahas peran ibu yang tidak hanya sebatas pada ranah domestik. Metode kualitatif menjadi pilihan peneliti agar dapat memahami realitas sosial sebagai konstruksi sosial, serta fokus pada proses interaktif yang mengedepankan originalitas sebagai kunci (Neuman, 2019).

Pengumpulan data melalui wawancara singkat dengan pendiri komunitas Halo Ibu dan Komunitas Ibu Profesional serta dua orang anggota dari masing-masing komunitas yang sudah aktif sejak dua tahun terakhir. Pemilihan informan didasarkan pada keaktifan anggota dalam kegiatan komunitas serta memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan nilai-nilai yang ditanamkan dalam komunitas.

Pengumpulan data dan analisa juga akan dilakukan melalui observasi pada unggahan akun Instagram @haloibu dan @ibu.profesional.official serta isi website masing-masing komunitas. Penelitian juga dilengkapi dengan data dukung dari berbagai referensi buku, artikel ilmiah, laporan penelitian terdahulu, data penelitian, serta pemberitaan terkait media sosial dan wacana keibuan di internet.

 

Hasil dan Pembahasan

Komunitas Halo Ibu dan Komunitas Ibu Profesional (KIP) sama-sama berfokus pada pemberdayaan para ibu dan pemberian dukungan kepada ibu dengan isu masing-masing. Kelima narasumber memiliki latar belakang masing-masing dalam memutuskan untuk bergabung maupun menjadikan akun komunitas tersebut sebagai sumber informasi. Anggota komunitas Halo Ibu umumnya memiliki isu mengenai depresi pasca melahirkan, kehilangan, maupun kesehatan mental ibu setelah berganti peran. Sementara anggota Komunitas Ibu Profesional lebih banyak memiliki isu terhadap peran ibu di ranah domestik, yang mana di satu sisi dianggap terbaik secara kodrati oleh wacana keibuan dominan, namun di sisi lain menjadikan ibu sebagai pihak yang terpenjara dengan rutinitas.

 

 

 

Tabel 1

Daftar Narasumber

Initial

Detail Narasumber

Title

Lama Bergabung

AD

Founder Halo Ibu Community

2015

SX

Member Halo Ibu Community

2015

NL

Member Halo Ibu Community

2018

MO

Member Komunitas Ibu Profesional

2019

YS

Member Komunitas Ibu Profesional

2014

Sumber: Data Peneliti

 

Kedua komunitas ini memanfaatkan berbagai platform digital dan media sosial untuk mengakomodir kegiatan komunitas, baik sebagai ruang berdiskusi maupun untuk mempromosikan kegiatan online maupun offline. Kedua komunitas ini memiliki website www.haloibu.id dan www.ibuprofesional.com sebagai basis bagi semua topik dan informasi seputar komunitas dan kegiatannya. Selain itu, kedua komunitas ini memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan nilai-nilai yang diusung oleh komunitas ini. Media sosial yang digunakan terdiri dari berbagai platform seperti Instagram, YouTube, dan TikTok untuk Halo Ibu, serta Instagram, YouTube, dan Facebook untuk KIP. Keduanya juga memanfaatkan platform Whatsapp Group untuk memelihara intensitas komunikasi dengan anggotanya.

Komunitas keibuan Halo Ibu berani menampilkan konten-konten yang dianggap tabu oleh masyarakat awam. Mulai dari seksualitas perempuan (e.g. penggunaan kata vagina sebagai sesuatu yang lumrah), pembahasan mengenai depresi pasca melahirkan (e.g. baby blues, PPD, mental health), hingga wacana dominan mengenai peran ibu dan pola pengasuhan yang baik (e.g. working mom, stay at home mom, single mom, etc).

 

�Perempuan bukan mahluk yang berlebihan, mahluk penuh rasa seperti Ibu pertiwi, jadi perempuan boleh mengutamakan diri dan kesehatan mental dirinya. Saat perempuan merawat dirinya, tubuhnya, rahimnya, vaginanya, Ia akan memahami dirinya lebih baik. She can understand herself fully. Haloibu exists to empower her to understand what she experiences. Every experience is not always beautiful, but could be useful for her life, and she knows that she�s worthy enough for life� (AD)

Berbeda dengan komunitas Halo Ibu yang cukup frontal menyuarakan topik yang tidak biasa dibahas pada forum publik atau media sosial, konten akun Instagram Komunitas Ibu Profesional (KIP) lebih banyak menginformasikan mengenai kegiatan-kegiatan online maupun offline yang diadakan komunitas. Uniknya, kegiatan-kegiatan di KIP dibuat seperti kurikulum dalam sebuah wadah institusi. Dengan demikian, anggota komunitas bebas memilih mengikuti topik manapun yang ingin dipelajari.

Kedua komunitas ini sama-sama memiliki kekuatan memanfaatkan media sosial dan ranah digital dalam mengembangkan komunitasnya. Namun demikian, Halo Ibu lebih banyak bermain pada Instagram dan YouTube yang bersifat visual, sementara KIP lebih banyak memanfaatkan Facebook, YouTube, Twitter, dan Instagram untuk kepentingan forum-forum online yang diadakan.

 

Komunitas Keibuan Sebagai Pembentuk Identitas Sosial Baru

Komunitas keibuan menjadi wadah yang dipilih bagi para ibu tidak hanya untuk mencari informasi, namun juga untuk mencari dukungan terhadap pembenaran pola pengasuhan yang dilakukan. Umumnya para anggota bergabung dengan komunitas keibuan karena adanya kebutuhan validasi akan peran mereka sebagai ibu dan mencari teman sesama ibu yang memiliki isu serupa dengan mereka (Arnold & Martin, 2016). Adanya komunitas keibuan membantu para anggota melewati masa-masa sulit dimana mereka membutuhkan dukungan dan pengakuan.

 

�Jadi gue tuh banyak ikut komunitas waktu itu, yang menerima gue apa adanya ya si ashtra (founder Halo Ibu) itu. Trus udah tuh cerita tumpah semua trus kok ga di judge ya? Ya oke deh jadi lanjut. Jadi ya gitu ya kebutuhan gue untuk didengarkan itu di fulfil kan oleh si Halo Ibu� (SX)

 

Dengan ikut aktif dalam kegiatan yang diadakan oleh komunitas keibuan, maka para anggota maupun follower akun komunitas memiliki pandangan yang sama terhadap nilai yang ingin dibagikan kepada masyarakat luas. Bagi komunitas Halo Ibu misalnya, mereka pada akhirnya sepakat pada nilai bersama mengenai seorang ibu, bahwa menjadi ibu merupakan perjalanan yang tidak melulu indah bagi seorang perempuan. Selain itu, banyak penilaian subjektif terhadap peran ibu membuat Halo Ibu menanamkan pandangan positif tanpa judgment terhadap setiap ibu. Nilai kelompok tersebut diinternalisasi oleh anggotanya sehingga mampu menyebarkan nilai yang sama.

 

 

�Halo Ibu memberikan pandangan yang berbeda tentang menjadi ibu, gak ngejudge, dan pandangan tersebut justru yang bisa gue terima.� (NL)

 

Sama halnya dengan anggota komunitas Halo Ibu, anggota komunitas Ibu Profesional juga melihat bahwa setiap ibu harus bersikap professional di ranah manapun ia berkarya. Nilai tersebut yang dipegang oleh setiap anggotanya dan menjadi fokus pada nilai yang disampaikan dalam komunitas ini.

�Dulu sih rasanya ketika saya memilih resign dan full di ranah domestik, hidup saya akan terpaku pada �rutinitas� saja. Setelah ikut Ibu Profesional, jadi terbuka bahwa jadi �ibu rumah tangga� juga harus profesional, bisa berkembang sampai berdampak sesuai dengan hal yang ia suka dan bisa� (MO).

Hal tersebut menggambarkan bagaimana komunitas mampu membangun sebuah identitas kelompok yang membuat deindividuasi, dimana setiap anggota menjadi fokus pada identitas kelompok dan bergerak sebagai anggota kelompok dengan nilai yang ada pada kelompok (Vilanova et al., 2017). Namun berbeda dengan Castillo (2018) anonimitas disini menjadi tidak krusial dalam membentuk deindividuasi karena hampir setiap anggota saling mengenal meskipun tidak dekat. Komunikasi yang terjalin antar anggota dalam komunitas kebanyakan terbatas pada kegiatan komunitas yang diadakan. Namun adanya deindividuasi menjadikan nilai yang dianut individu dalam komunitas menjadi seragam dan muncul sebagai identitas kelompok. Anggota komunitas kemudian menerima nilai-nilai tersebut sebagai sebuah kenormalan, menginternalisasi apa yang sebelumnya dianggap berbeda dan tidak biasa menjadi hal yang umum untuk dibahas bersama.

�Misalnya ada satu hal yang tabu ya, karena kita satu komunitas maka kita akan me-normalize this bareng-bareng. Nanti kan ibu-ibu yang lain akan bingung ya �kok lo me-normalize this like talking about vagina dan lain-lain?� akhirnya bisa dijawab bersama-sama �kenapa engga?� jadi bisa menjawab bersama-sama� (SX)

Identitas kelompok pada akhirnya menjadi hal yang dibawa oleh masing-masing anggota komunitas. Ketika anggota komunitas masing-masing belum saling mengenal atau bersifat anonimus, akan terjalin komunikasi melalui kegiatan online yang diselenggarakan komunitas. Seiring berlangsungnya kegiatan dalam komunitas dan didukung dengan konten-konten yang diunggah di media sosial, maka konsumsi konten dan nilai komunitas dapat mengarahkan persepsi terhadap kesamaan nilai dan ketertarikan terhadap antar anggota kelompok sebagai sebuah identifikasi identitas bersama (Walther, 2011). Para anggota akhirnya berbagi nilai yang sama dan bergerak dengan identitas kelompok yang sejalan. Semua anggota komunitas sepakat bahwa kesamaan nilai dalam kelompok menjadikan mereka lebih dekat. Bahkan ketika mereka masih bersifat anonimus, mereka dapat tetap berdiskusi dan menemukan kecocokan hanya melalui platform media sosial. Hal tersebut menjadikan kedekatan antar anggota komunitas lebih terjalin dan semakin memperkuat pergerakan komunitas sebagai sebuah identitas baru.

 

Media Sosial Sebagai Ruang Alternatif Bagi Komunitas Online

Kedua komunitas sama-sama memanfaatkan media sosial sebagai medium untuk mengembangkan komunitasnya. Para anggota komunitas juga memanfaatkan media sosial sebagai ruang mencari informasi seputar pola pengasuhan dan nilai keibuan (Moore & Abetz, 2016; Setyastuti et al., 2019). Media sosial seperti Instagram dan Facebook dimanfaatkan sebagai ruang untuk aktualisasi diri (Cole & Renegar, 2016), mencari pengakuan bersama dari orang lain (Newman-Bremang, 2019),� mencari dukungan terhadap pola pengasuhan (Valtchanov et al., 2016), maupun berdiskusi tentang berbagai topik di luar narasi keibuan (Athique, 2013).

 

�Because everything is one click away in our phone. Sebagai Ibu yang melahirkan di zaman millenial, socmed jadi sumber pemahaman dan kenyamanan perempuan. Adanya haloibu, memberikan oase informasi dan edukasi untuk perempuan yang sangat membutuhkan informasi ini.� (AD)

Wacana yang berada dalam ranah privat akan menjadi konsumsi publik ketika diunggah ke media sosial (Gibson, 2019; Lindgren, 2017). Namun begitu, wacana keibuan selalu menjadi wacana domestik yang seringkali dikesampingkan dalam pembahasan utama di ruang publik (Benhabib, 1992). Terutama dalam konteks masyarakat patriarki dan budaya timur yang kental seperti Indonesia, peran ibu dikonstruksi menjadi wacana yang hanya berada dalam ranah domestik. Beberapa anggota komunitas kerap merasa tersudutkan dengan komentar yang biasanya datang dari orang terdekat, khususnya mengenai pola pengasuhan maupun kesehatan mental ibu. Berbicara dengan orang terdekat seperti orang tua, saudara, bahkan teman justru memberikan tekanan bagi para ibu sehingga mereka tidak bisa menyuarakan apa yang mereka inginkan.

�Karena kita memiliki budaya timur yang kuat, dan budaya patriarki yang kental, membicarakan kebutuhan perempuan, dan memiliki ruang aman untuk menceritakan ini nyaris nihil. Perasaan bukanlah sesuatu yang patut dibicarakan di dalam budaya Indonesia. Perempuan terpaksa menyimpan apa yang Ia alami sendirian. Isu keseteraan berkomunikasi dirumah menjadi penyebab perempuan-perempuan bungkam akan identitas dirinya sendiriSeakan-akan jika perempuan membicarakan vaginanya, Ia bukan perempuan terhormat atau perempuan yang perlu dihormati.� (AD)

�Boleh (berdiskusi mengenai hal privat), sejauh bukan, hal-hal yang dilarang. Jadi di KIP itu ada prinsip: semua boleh kecuali yang tidak boleh. Yang tidak boleh: tidak kritik kepentingan, tidak ghibah dan fitnah, tidak bicara SARA, tidak bicara khilafayah, tidak konflik kepentingan� (YS)

Media sosial akhirnya menjadi pilihan sebagai ruang alternatif bagi para ibu untuk mengungkapkan kebutuhan maupun ekspresi dirinya. Dalam hal ini, baik ibu sebagai individu maupun sebagai anggota komunitas dapat menyampaikan narasi keibuan secara bebas agar dapat lebih didengar publik secara luas (Weisser, 2008). Para ibu berpendapat bahwa melalui media sosial, mereka lebih bebas menyuarakan pendapat mereka secara personal. Media sosial menjadi pilihan sebagai ruang tandingan karena banyak fitur yang bisa memudahkan penggunanya menyampaikan pesan. Para ibu dapat memperoleh informasi maupun mengunggah konten yang sesuai dengan persepsinya tanpa harus saling mengenal (De Vries, 2015). Adanya anonimitas ini menjadikan media sosial sebagai tempat untuk berdiskusi layaknya ruang publik (Papacharissi, 2004) dan juga menjadi ruang alternatif bagi komunitas untuk menyampaikan narasi keibuan. Dalam hal ini, Instagram dan Facebook merupakan media sosial yang menjadi pilihan bagi komunitas dalam menyampaikan nilai-nilai yang ingin disampaikan (Jiang & Ngien, 2020). Bagi anggota komunitas ini, Instagram merupakan media sosial yang simple dan berbasis visual sehingga lebih menarik ketika digunakan untuk membaca konten. Sementara Facebook memiliki Facebook Group yang umumnya digunakan untuk mengakomodir kegiatan-kegiatan komunitas.

�Peran media sosial sih besar banget ya. Contohnya aja nih, media belajar utama di KIP itu pakai media sosial lho; facebook group. Gue kagum sih gimana KIP memanfaatkan fitur-fitur Facebook groups untuk media belajarnya� (MO)

Komunitas keibuan memanfaatkan media sosial sebagai ruang tandingan (Fraser, 1992) untuk dapat menyebarkan nilai-nilai dalam komunitas yang berbeda dengan nilai sosial yang sudah mendominasi. Komunitas memanfaatkan media sosial untuk dapat menjadi ruang tandingan yang dapat menyebarkan narasi lain di samping narasi dominan melalui konten-konten yang diunggah secara konsisten dan diikuti teks yang mendukung narasi tersebut. Melalui fitur repost, reshare, atau meneruskan pesan ke platform media sosial personal masing-masing, anggota kelompok dapat menyebarkan narasi tandingan dan menguatkan pesan yang disampaikan kepada audiens yang lebih luas. Dengan begitu, narasi tandingan ini bisa mendapatkan perhatian meskipun harus berdampingan dengan narasi dominan (Weisser, 2008). Misalnya saja jika di tengah masyarakat patriarki mendukung peran ibu rumah tangga sebagai pencapaian terbaik dibandingkan ibu pekerja, maka melalui media sosial, komunitas ini memiliki ruang diskusi untuk menyampaikan gambaran lain mengenai peran ibu yang tidak hanya terbatas pada urusan rumah tangga, melainkan ibu yang bahagia (Halo Ibu, 2021) ataupun ibu yang mampu memberdayakan diri sendiri (Komunitas Ibu Profesional, 2022). Ruang diskusi yang bebas dari penilaian subjektif (judgement) tersebut yang menjadikan media sosial sebagai ruang tandingan (Kampourakis, 2016) bagi ruang publik yang selama ini penuh dengan konstruksi wacana terhadap standar keibuan. Media sosial akhirnya menjadi pilihan sebagai ruang tandingan bagi ruang publik dimana para ibu bebas berdiskusi mengenai wacana keibuan yang selama ini hanya berada dalam ranah privat (Benhabib, 1992; Fraser, 1992).

Counter-Hegemony Sebagai Gerakan Komunitas Melalui Konten Media Sosial

Adanya narasi dominan mengenai bagaimana seorang ibu hanya bisa fokus pada ranah domestik dan tabu untuk membicarakan masalah seksualitas atau kesehatan mentalnya, menjadikan narasi-narasi yang disuarakan oleh kedua komunitas ini sebagai tandingan terhadap dominasi wacana tersebut. Narasi keibuan atau Ibuisme yang telah terkonstruksi secara sosial membentuk peran ibu yang ideal secara turun temurun di masyarakat Indonesia (Djajadiningrat-Nieuwenhuis, 1987). Kedua komunitas ini ingin memberikan gambaran lain di luar nilai dan norma keibuan atau Ibuisme tersebut, sehingga memunculkan sebuah gerakan dalam menyebarkan wacana tandingan melalui media sosial. Adanya identitas yang berbeda-beda dalam komunitas ini juga menciptakan sebuah kerjasasama dalam menciptakan sebuah struktur sosial yang baru (Laclau & Mouffe, 1985) meskipun dalam skala kecil. Gerakan inilah membentuk sebuah counter-hegemony dimana wacana keibuan dominan mendapatkan �perlawanan� dari kedua komunitas ini (Gibbons, 2019).

Komunitas Halo Ibu dan Komunitas Ibu Profesional merupakan dua komunitas keibuan yang banyak memanfaatkan media sosial dan kegiatan online dalam komunitasnya. Komunitas ini tidak hanya bertujuan memberdayakan para ibu yang tergabung di dalamnya, tapi juga berfungsi sebagai hubungan sosial yang dapat saling mendukung dan bertukar visi dan value yang sama (Arnold & Martin, 2016; Hampton & Wellman, 2001). Selain itu, kedua komunitas ini memiliki nilai, pandangan, serta wacana yang berbeda dari wacana dominan mengenai peran ibu di masyarakat. Misalnya pada Komunitas Halo Ibu yang ingin lebih menormalisasi ketubuhan ibu, transisi peran seorang ibu, hingga kesehatan mental ibu pasca melahirkan sebagai sebuah hal yang wajar dan perlu untuk selalu didiskusikan di ruang publik. Sama halnya dengan Komunitas Ibu Profesional yang ingin agar peran ibu baik di ranah domestik maupun di ranah publik tidak melulu di justifikasi dan stigmatisasi, melainkan justru menjadikan ibu sebagai sosok yang professional apapun dan dimanapun peran yang dipilihnya untuk berkarya. Wacana tersebut yang ingin disebarkan tidak hanya kepada anggota komunitas tapi juga kepada masyarakat luas.

 

�Sebenarnya intensinya lebih ke edukasi sih kalau kita pengen ngomongin hal-hal yang tabu tuh bisa dibicarakan dan perlu dibicarakan� (AD)

 

Kehadiran media sosial tentu saja mempermudah bentuk penyebaran narasi tandingan dan counter-hegemony. Penyebaran wacana yang dapat menantang wacana dominan dilakukan melalui konten, teks, komentar, dan opini timbal balik dari anggota komunitas maupun pengguna media sosial secara umum (Warf & Grimes, 2014). Melalui konten-konten lucu, ringan, dan bahasa yang mudah diterima sebagian besar kelompok ibu, kedua komunitas ini mencoba meraih atensi pengguna media sosial seluas-luasnya. Selain itu, kemudahan pengguna media sosial dalam meneruskan konten tersebut menjadikan wacana tersebut lebih mudah tersebar dan dapat diinternalisasi bersama. Dalam hal ini, para anggota komunitas menjadi kelompok subaltern yang bergerak bersama dan menjadi agensi perubahan terhadap wacana keibuan yang dominan di masyarakat (Smith, 2012). Seperti yang dikatakan Laclau & Mouffe (1985) bahwa kelompok subordinat ini tidak akan membawa perubahan radikal secara langsung. Namun begitu, wacana yang diangkat dalam counter-hegemony dapat berdampingan dengan wacana dominan sebagai alternatif wacana (Cox & Schiltuis, 2012).

 

�Perbedaan nilai seperti pola pengasuhan sudah mulai bisa diterima sih sekarang, sudah mulai terbuka lah. Media sosial mempermudah kita buat menyampaikan apa yang diinginkan, apalagi kita kan sama-sama ya. Jadi karena sama-sama sebagai komunitas makanya lebih berani dan lebih banyak bisa diterima� (NL)

 

�Media sosial penuh dengan pemengaruh. Para pemengaruh inilah yang dapat menyebarkan nilai-nilai perubahan pada masyarakat. Anggota KIP juga dilatih untuk menjadi pemengaruh yang dapat menyebarkan nilai-nilai baru di masyarakat melalui media sosial.� (YS)

Counter-hegemony melalui komunitas keibuan pada akhirnya dapat menjadi sebuah gerakan yang jauh lebih besar (Carroll, 2006). Hal tersebut dibuktikan oleh Komunitas Ibu Profesional yang akhirnya dapat menyebarkan nilai-nilai komunitas ini kepada seluruh anggotanya yang tersebar di berbagai negara selain Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan counter-hegemony melalui komunitas keibuan ini berada pada kemampuan anggota komunitas memanfaatkan media sosial untuk juga menyebarkan nilai-nilai dan identitas kelompoknya (Cox & Schiltuis, 2012).

 

Kesimpulan

Media sosial memiliki peran yang signifikan dalam menyebarkan nilai-nilai dan wacana keibuan. Tidak hanya sekedar mengukuhkan wacana keibuan yang sudah terkonstruksi secara sosial di masyarakat, tapi juga untuk membentuk wacana baru untuk mendobrak dominasi wacana lama. Penelitian ini memiliki kesimpulan (1) komunitas keibuan di media sosial mampu membentuk sebuah identitas kelompok yang dapat bergerak sesuai nilai-nilai yang dianutnya; (2) media sosial menjadi pilihan sebagai ruang tandingan (subaltern counterpublic) bagi komunitas keibuan dalam membagikan nilai-nilai baru; (3) wacana keibuan yang sudah terkonstruksi secara turun temurun dapat digoyahkan melalui gerakan counter-hegemony komunitas keibuan; (4) komunitas keibuan berpeluang menjadi kelompok dominan serta memiliki kekuasaan untuk menyebarkan wacana keibuan baru di masyarakat.

Belum banyaknya penelitian di Indonesia mengenai media sosial sebagai ruang tandingan untuk menciptakan narasi tandingan terhadap wacana dominan menjadikan artikel ini sebagai penelitian yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Selain itu, komunitas keibuan yang berpotensi sebagai kekuatan dominan di masyarakat menjadi unit analisis yang menarik untuk diteliti lebih mendalam.

 

BIBLIOGRAFI

Abetz, J., & Moore, J. (2018). �Welcome to the Mommy Wars, Ladies�: Making Sense of the Ideology of Combative Mothering in Mommy Blogs. Communication, Culture and Critique, 11(2), 265�281. https://doi.org/10.1093/ccc/tcy008

Afrilia, A. M. (2017). Penggunaan New Media Di Kalangan Ibu Muda Sebagai Media Parenting Masa Kini. Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media, 1(1), 31�42.

Arnold, L. B. (2016). Confession in 140 Characters: Intensive Mothering and the #BadMom Twitter. In L. B. Arnold & B. Martin (Eds.), Taking The Village Online : Mothers, Motherhood, and Social Media (p. 44). Demeter Press.

Arnold, L. B., & Martin, B. (2016). Taking The Village Online: Mothers, Motherhood, and Social Media (L. B. Arnold & B. Martin (Eds.)). Demeter Press.

Athique, A. (2013). Digital Media and Society: An Introduction. In Digital Media and Society. Polity Press. https://doi.org/10.1057/9781137393630

Bailey, E. R., Matz, S. C., Youyou, W., & Iyengar, S. S. (2020). Authentic self-expression on social media is associated with greater subjective well-being. Nature Communications, 11(1), 1�9. https://doi.org/10.1038/s41467-020-18539-w

Barnes, S. B. (2002). Computer-Mediated Communication: Human-to-Human Communication Across the Internet. Pearson Publication.

Benhabib, S. (1992). Models of Public Space: Hannah Arendt, the Liberal Tradition and J�rgen Habermas. In C. Calhoun (Ed.), Situating the Self: Gender, Community and Postmodernism in Contemporary Ethics (Vol. 30, Issue Special, pp. 73�98). Polity Press.

Carroll, W. K. (2010). Social Movements and Counter-Hegemony: Lessons from the Field. New Proposals - Journal of Marxism and Interdisciplinary Inquiry, 4(1), 7�22.

Carroll, W. K. (2006). Hegemony, Counter-hegemony, Anti-hegemony. Annual Meeting of the Society for Socialist Studies, June 2006, 9�43.

Castillo, R. P. (2018). There�s no �me� in �Imgur�: Applying SIDE theory and content analysis to viral posts on Imgur.com. The Hilltop Review, 11(1), 3. https://scholarworks.wmich.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1337&context=hilltopreview%0Ahttps://scholarworks.wmich.edu/hilltopreview/vol11/iss1/3/%0Ahttps://lens.org/190-397-381-137-412

Chin, G. V. S. (2018). State ibuism and one happy family: Polygamy and the �good� woman in contemporary indonesian narratives. Asia in Transition, 6, 89�106. https://doi.org/10.1007/978-981-10-7065-5_6

Cole, K., & Renegar, V. R. (2016). The �Wicked Stepmother� Online: Maternal Identity and Personal Narrative in Social Media. In L. B. Arnold & B. Martin (Eds.), Taking The Village Online : Mothers, Motherhood, and Social Media (pp. 30�32). Demeter Press.

Cox, R. H., & Schiltuis, A. (2012). Hegemony and Counterhegemony. In G. Ritzer (Ed.), The Wiley-Blackwell Encyclopedia of Globalization (1st ed., pp. 72�110). Blackwell Publishing. https://doi.org/10.1215/9780822380535-003

De Vries, A. (2015). The use of social media for shaming strangers: Young people�s views. Proceedings of the Annual Hawaii International Conference on System Sciences, 2015-March, 2053�2062. https://doi.org/10.1109/HICSS.2015.245

Dedees, A. R., & Noviani, R. (2020). The Discourse of (Re)Motherhood in Online Media: A Critical Study of the Corruption News on Tempo.co. Journal Communication Spectrum, 10(1), 33�51. https://doi.org/http://dx.doi.org/ 10.36782/jcs.v10i1.2003

Djajadiningrat-Nieuwenhuis, M. (1987). Ibuism and priyayization: Path to power? In E. Locher-Scholten & A. Niehof (Eds.), Indonesian women in focus: Past and present notions (p. 43). Foris Publications.

Eschmann, R. (2021). Digital Resistance: How Online Communication Facilitates Responses to Racial Microaggressions. Sociology of Race and Ethnicity, 7(2), 264�277. https://doi.org/10.1177/2332649220933307

Fraser, N. (1992). Rethinking the public sphere: A contribution to the critique of actually existing democracy. Public Space Reader, 26(25), 34�41. https://doi.org/10.4324/9781351202558-6

Germic, E. R., Eckert, S., & Vultee, F. (2021). The Impact of Instagram Mommy Blogger Content on the Perceived Self-Efficacy of Mothers. Social Media and Society, 7(3). https://doi.org/10.1177/20563051211041649

Gibbons, A. (2019). Counterhegemony. In Keywords in Radical Geography: Antipode at 50 (First Ed., Issue March, pp. 74�77). John Hopkins Center for Transatlantic Relations. https://doi.org/10.1002/9781119558071.ch13

Gibson, A. (2019). Free Speech and Safe Spaces: How Moderation Policies Shape Online Discussion Spaces. Social Media + Society, 5(1), 205630511983258. https://doi.org/10.1177/2056305119832588

Halo Ibu. (2021). www.haloibu.id

Hampton, K., & Wellman, B. (2001). Long distance community in the network society: Contact and support beyond Netville. American Behavioral Scientist, 3, 476�495. https://doi.org/10.1177/00027640121957303

Hartoyo, N. M., & Supriadi, D. (2015). Aktivisme Sosial Melalui Penggunaan Media Sosial: Studi Kasus Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (Aimi). Jurnal Kajian Komunikasi, 3(1), 1�11. https://doi.org/10.24198/jkk.vol3n1.1

Hasford, J. (2016). Dominant Cultural Narratives, Racism, and Resistance in the Workplace: A Study of the Experiences of Young Black Canadians. American Journal of Community Psychology, 57(1�2), 158�170. https://doi.org/10.1002/ajcp.12024

Hyunanda, V. F., Ram�rez, J. P., L�pez-Mart�nez, G., & Meseguer-S�nchez, V. (2021). State ibuism and women�s empowerment in indonesia: Governmentality and political subjectification of chinese benteng women. Sustainability (Switzerland), 13(6). https://doi.org/10.3390/su13063559

Jiang, S., & Ngien, A. (2020). The Effects of Instagram Use, Social Comparison, and Self-Esteem on Social Anxiety: A Survey Study in Singapore. Social Media and Society, 6(2). https://doi.org/10.1177/2056305120912488

Johnson, K. O. (2016). Digitally Mediated Motherhood : Mommy Blogs and Reading Mothering. In L. B. Arnold & B. Martin (Eds.), Taking The Village Online : Mothers, Motherhood, and Social Media (pp. 19�29). Demeter Press.

Kampourakis, I. (2016). Nancy Fraser: Subaltern Counterpublics. Critical Legal Thinking. https://criticallegalthinking.com/2016/11/06/nancy-fraser-subaltern-counterpublics/

Katz, J. E., Rice, R. E., Acord, S., Dasgupta, K., & David, K. (2004). Personal Mediated Communication and the Concept of Community in Theory and Practice. Annals of the International Communication Association, 28(1), 315�371. https://doi.org/10.1080/23808985.2004.11679039

Kim, M. J., Preis, M. W., & Lee, C. K. (2019). The effects of helping, self-expression, and enjoyment on social capital in social media: the moderating effect of avoidance attachment in the tourism context. Behaviour and Information Technology, 38(8), 760�781. https://doi.org/10.1080/0144929X.2018.1552718

Kirnandita, P. (2020). Kepemimpinan Perempuan Era Orde Baru: Jadi Istri dan Ibu Nomor Satu. Magdalene. https://womenlead.magdalene.co/2020/10/02/kepemimpinan-perempuan-di-era-orde-baru/

Klonick, K. (2016). Re-Shaming the Debate : Social Norms , Shame , and Regulation in an Internet Age. Maryland Law Review, 75(4). http://digitalcommons.law.umaryland.edu/mlr

Komunitas Ibu Profesional. (2022). https://www.ibuprofesional.com/

Kristiyono, J., Ida, R., & Mashud, M. (2020). Counter-hegemony of the East Java Biennale art community against the domination of hoax content reproduction Perlawanan hegemoni komunitas seni Biennale Jawa Timur terhadap dominasi reproduksi konten hoax Department of Sociology , Faculty of Social and Po. Masyarakat, KEbudayaan Dan Politik, 33(1), 26�35.

Laclau, E., & Mouffe, C. (1985). Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. Verso Books.

Laksana, N. Y., & Fadhilah, A. (2021). Computer-mediated communication and interpersonal communication in social media Twitter among adolescents. Journal of Social Studies (JSS), 17(1), 65�78. https://doi.org/10.21831/jss.v17i1.39015

Lindgren, S. (2017). Digital Media & Society. Sage.

Moore, J., & Abetz, J. (2016). �Uh Oh. Cue the [New] mommy wars�: The ideology of combative mothering in popular U.S. Newspaper articles about attachment parenting. Southern Communication Journal, 81(1), 49�62. https://doi.org/10.1080/1041794X.2015.1076026

Neuman. (2019). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches.

Newman-Bremang, K. (2019). Insta-Parenting: Why We Can�t Stop, Won�t Stop Sharing Pics Of Our Kids. Refinery29.Com. https://www.refinery29.com/en-ca/instagram-parenting-sharing-photos-kids-online-survey

Papacharissi, Z. (2004). Democracy online: Civility, politeness, and the democratic potential of online political discussion groups. New Media and Society, 6(2), 259�283. https://doi.org/10.1177/1461444804041444

Poster, M. (1998). Cyber Democracy: The Internet and the Public Sphere. In D. Holmes (Ed.), Virtual Politics: Identity and Community in Cyberspace (pp. 212�228). Sage.

Prikhidko, A., & Swank, J. M. (2018). Motherhood Experiences and Expectations: A Qualitative Exploration of Mothers of Toddlers. Family Journal, 26(3), 278�284. https://doi.org/10.1177/1066480718795116

Santos, B. D. S. (2003). The World Social Forum: Towards a Counter-hegemonic Globalization (Part 1). The World Social Forum: Challenging Empires, 235�245.

Setyastuti, Y., Suminar, J. R., Hadisiwi, P., & Zubair, F. (2019). Millennial moms: Social media as the preferred source of information about parenting in Indonesia. Library Philosophy and Practice, 2019(July).

Smith, A. M. (2012). Laclau And Mouffe: The radical democratic imaginary. In Laclau and Mouffe: The Radical Democratic Imaginary. Routledge.

Straubhaar, J., LaRose, R., & Davenport, L. (2012). Media Now : Understanding Media, Culture, and Technology (Seventh Ed). Wadsworth.

Suryakusuma, J. (2021). Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Order Baru (U. Chabibah & J. Suryakusuma (Eds.); 2nd ed.). Komunitas Bambu.

Tanis, M. . (2008). What makes the internet a place to seek social support? In S. E.A. Konjin, S. Utz, M. Tanis, & S. . Barnes (Eds.), Mediated interpersonal communication (pp. 290�308). Routledge Taylor & Francis Group.

Thurlow, C., Lengel, L., & Tomic, A. (2004). Computer Mediated Communication Social Interaction and the Internet. Sage Publication.

Triastuti, E. (2022). Penyintas Kekerasan Seksual Menemukan Ruang Aman, Dukungan, dan Penghiburan di Media Sosial. The Conversation.Com. https://theconversation.com/penyintas-kekerasan-seksual-menemukan-ruang-aman-dukungan-dan-penghiburan-di-media-sosial-167558

Turner, J. W., Grube, J. A., & Meyers, J. (2001). Developing an optimal match within online communities: An exploration of CMC support communities and traditional support. Journal of Communication, 51(2), 231�251. https://doi.org/10.1111/j.1460-2466.2001.tb02879.x

Valencia, L. (2015). Being a Mother, Practicing Motherhood, Mothering Someone: The Impact of Psy-Knowledge and Processes of Subjectification. Journal of Family Issues, 36(9), 1233�1252. https://doi.org/10.1177/0192513X14533542

Valtchanov, B. L., Parry, D. C., & Glover, T. D. (2016). From �Fakebooking� and �Flaming� to a �Mom�s Support Network.� In L. B. Arnold & B. Martin (Eds.), Taking The Village Online : Mothers, Motherhood, and Social Media (pp. 119�135). Demeter Press.

Vilanova, F., Beria, F. M., Costa, �. B., & Koller, S. H. (2017). Deindividuation: From Le Bon to the social identity model of deindividuation effects. Cogent Psychology, 4(1). https://doi.org/10.1080/23311908.2017.1308104

Walther, J. B. (2011). Theories of Computer-Mediated Communication and Interpersonal Relations. In M. L. Knapp & J. A. Daly (Eds.), The Handbook of Interpersonal Communication (Fourth, pp. 443�479). Sage Publication. https://doi.org/10.1007/978-94-017-4447-8_11

Warf, B., & Grimes, J. (2014). Counterhegemonic Discourses and The Internet. The Geographical Review: Cyberspace and Geographical Space, 87(2), 259�274.

Weisser, C. R. (2008). Subaltern counterpublics and the discourse of protest. JAC: A Journal of Composition Theory, 28(3�4), 608�620.

Widiyanti, A. (2021). Break the pattern about menstruation, Menstruation is not taboo. Haloibu.Id. https://haloibu.id/2021/05/break-the-pattern-about-menstruation-menstruation-is-not-taboo/

Woodley, A. (2018). How does Instagram impact on people�s perceptions of their appearance? Journal of Aesthetic Nursing, 7(2), 94�95. https://doi.org/10.12968/joan.2018.7.2.94

Copyright holder:

Ardhani Indranila (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

Yasya, W., Muljono, P., Seminar, K. B., & Hardinsyah, H. (2019). Pengaruh Penggunaan Media Sosial Facebook Dan Dukungan Sosial Online Terhadap Perilaku Pemberian Air Susu Ibu. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 23(1), 71. https://doi.org/10.31445/jskm.2019.1942