Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

ANALISIS PEMBATALAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DALAM KASUS HUTANG PIUTANG (STUDI PUTUSAN NOMOR: 10/PTS/MJ.PWN. PROV.DKI JAKARTA/IX/2021)

 

Sylviana, Rasji

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Setiap orang ingin memenuhi semua kebutuhan hidupnya, namun tidak semua kebutuhannya mudah dipenuhi dengan mudah. Berbagai cara dilakukannya, yang salah satunya adalah dengan cara berhutang pada orang lain. Dua orang melakukan hutang piutang yang diikat dengan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) formalitas yang dibuat oleh notaris dengan jaminan sertifikat hak atas tanah. Kemudian sertifikat hak atas tanah tersebut telah dibalik nama kepemilikannya, sehingga menjadi hak milik atas tanah beralih dari orang berhutang ke orang yang berpiutang. Hal ini merugikan pihak yang berhutang. Melalui putusan nomor10/Pts/Mj.Pwn.Prov.DKIJakarta/IX/2021 Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta menyatakan notaris telah melanggar Undang-undang Jabatan Notaris. Permasalahannya adalah apakah dengan adanya Putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris, PPJB formalitas dapat dibatalkan oleh Pengadilan. Permasalahan ini telah diteliti dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menemukan bahwa notaris yang membuat PPJB formalitas telah melanggar tugasnya sebagai notaris. Notaris telah salah membuat PPJB formalitas, karena itu PPJB formalitas memiliki cacat hukum, sehingga tidak memiliki kebenaran hukum. Pihak yang berhutang dapat mengajukan gugatan pembatalan PPJB formalitas kepengadilan dan pengadilan berwenang membatalkan PPJB formalitas.

 

Kata Kunci: Hutang Piutang, PPJB Formalitas, Pembatalan.

 
Abstract

Everyone wants to fulfill all their needs in life, but not all of their needs are easily met. Various ways to do it, one of which is by way of debt to others. Two people pay debts that are bound by a formality sale and purchase agreement (PPJB) made by a notary with guaranteed land rights certificates. Then the certificate of land rights has been reversed by the name of the ownership, so that the ownership rights to the land are transferred from the debtor to the debtor. This is detrimental to the debtor. Through decision number 10/Pts/Mj.Pwn.Prov.DKIJakarta/IX/2021 the DKI Jakarta Provincial Notary Supervisory Council stated that the notary had violated the law on the position of a notary. The problem is whether with the decision of the Notary Supervisory Council, the formal PPJB can be canceled by the Court. This problem has been investigated using normative legal research methods. The results of the study found that the notary who made PPJB a formality had violated his duties as a notary. The notary has made the wrong PPJB formality, therefore the PPJB formality has a legal defect, so it does not have legal validity. The debtor can file a lawsuit for the cancellation of the formality PPJB to the court and the court has the authority to cancel the formality PPJB.

 

Keywords: Accounts Payable, PPJB Formality, Cancellation.

 

Pendahuluan

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, yang mana seseorang atau lebih orang mengikatkan dirinya kepada seseorang atau lebih orang lainnya. Dalam arti sempit perjanjian juga diartikel sebagai suatu kesepakatan atau persetujuan antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan diri secara baik untuk melaksanakan hal tertentu yang bersifat barang atau kebendaan tertentu dibidang harta-benda kekayaan (Muhammad, 2010). Secara luas, perjanjian adalah setiap pengikatan diri orang seseorang atau lebih mengenai objek perjanjian tertentu untuk dilaksanakan sesuai dengan kesepakatannya. Salah satu asas yang dianut dalam perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan berkontrak (membuat perjanjian) oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian, untuk dapat menyusun dan/atau menyetujui klausula-klausula atau ketentuan-ketentuan dari perjanjian tersebut, tanpa ada campur tangan dari pihak lain. Asas kebebasan berkontrak dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Setiap perjanjian wajib memenuhi syarat sahnya perjanjian, baik syarat subyektif maupun syarat obyektif. Syarat subyektif adalah syarat yang berkaitan dengan para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat obyektif adalah syarat mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Syarat sah perjanjian diatur di dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yiatu �sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan adanya suatu sebab yang halal (Miru, 2007). Syarat pertama dan kedua adalah syarat subyektif perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif perjanjian.

Salah satu bentuk kebebasan perjanjian adalah perjanjian utang-piutang. Seorang yang berinisial B dan LRK mengadakan perjajian utang piutang mengenai sejumlah uang. Namun perjanjian tersebut tidak dituangkan kedalam akta perjanjian hutang piutang, namun dikemas dalam bentuk akta Perjanjian Pengikatan Jual beli (PPJB). B adalah orang yang berpiutang (memberihutang) kepada LRK, sedangkan LRK adalah orang yang berhutang kepada B. PPJB dibuat oleh Notaris/PPAT dengan inisial YM atas kehendak B. PPJB yang dibuat oleh notaris ini menjadi permasalahan hukum sehingga terjadi sengketa hukum antara B dan LRK. Kasus ini telah diputus oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris bahwa sampai diajukan ke pengadilan.

Kasus ini dimulai pada bulan Agustus tahun 2017, saat LRK meminjam uang kepada B (founder). Perjanjian meminta uang tersebut tidak dituangkan ke dalam perjanjian hutang piutang, namun dibuat dalam bentuk PPJB dengan menggunakan jasa notaris YM. PPJB ini dibuat atas arahan B dan notaris menindaklanjutinya. Pada saat PPJB akan ditandatangani, LRK dan suaminya mempertanyakan kepada B, mengapa harus menandatangani akta-akta seperti ini, karena hanya meminjam uang dan bukan jual beli?� Namun dijawab oleh B bahwa ini hanya formalitas saja (Penggugat). Pada saat itu LRK dan suaminya dalam kondisi sangat membutuhkan uang dan tidak ada pilihan lain dalam waktu mendesak maka dengan serta merta LRK dan suami percaya begitu saja terhadap omongan B. Karena itu akhirnya LRK dan suaminya menandatangani akta yang telah dibuat oleh notaris YM dengan jaminan 2 sertifikat besar.

Pada bulan Maret tahun 2020 LRK mendapat telepon dari pihak Notaris YM dan dimintai foto copy Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk suami-istri untuk urus balik nama sertifikat. LRK kaget dan langsung memblokir sertifikatnya sendiri ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun BPN mengatakan bahwa cukup 1 sertfikat saja yang diblokir tidak usah 2 sertifikat karena masih berada dalam 1 lahan dan pemblokiran itu tidak bisa dibuka oleh orang lain selain oleh LRK (Penggugat).

Pada tanggal 21 Oktober 2020 LRK menerima surat pemberitahuan dari surat somasi yang di buat oleh B yang isinya menyatakan bahwa berdasarkan akta yang dibuat oleh Notaris YM sertifikat-sertipikat tanah yang LRK jaminkan sudah dibalik nama menjadi atas nama B. Untuk memastikan hal tersebut LRK meminta bantuan notaris lain untuk melakukan pengecekan ke kantor BPN dan alangkah terkejutnya LRK, bahwa dari hasil pengecekan pada tanggal 22 Oktober 2020 kedua sertipikat LRK sudah beralih ke atas nama B. LRK sangat kecewa dan menyangka atas batas waktu pemblokiran sertifikatnya oleh BPN hanya berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak ditetapkan oleh BPN dan secara otomatis terbuka blokirnya setelah lewat waktu 30 (tiga puluh) hari. Moment itulah yang dimanfatkan oleh B yang bekerjasama notaris YM untuk mengalihkan sertipikat LRK ke atas nama B.

Ketika mengetahui sertifikatnya sudah balik nama ke B, LRK langsung mendaftarkan kasus ini dengan mengajukan gugatan pembatalan PPJB formalitas������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������������ �����������������������������������������������������������������������������������������������������������������ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Penggugat). Tujuannya adalah untuk mendapatkan haknya kembali seperti semula. Pada Selain itu, LRK juga melaporkan Notaris YM ke Majelis Pengawas Daerah Notaris (MPDN) Kota Administrasi Jakarta Selatan, karena telah membuat akte PPJB formalitas dan membuat surat kuasa menjual formalitas, yang diduga telah melakukan pelanggaran UU Jabatan Notaris (Adjie, 2004). MPDN meneruskan laporan LRK kepada Majelis Pengawas Wilayah Notaris tingkat Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (MPWN DKI Jakarta).

Setelah mendapatkan pengajuan, MPWN DKI Jakarta menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat terhadap dugaan pelanggaran Undang-undang Jabatan Notaris yang dilakukan oleh Notaris YM. Dalampertimbangannya MPWN DKI Jakarta menyatakan pengaduan yang diajukan oleh pelapor sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Terhadap Notaris. Selanjutnya Majelis Pengawas Wilayah Notaris Provinsi DKI Jakarta memutuskan bahwa Notaris YM terbukti telah melanggar melanggar Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 16 ayat (1) huruf a dalam melaksanakan tugasnya dan memberikan sanksi teguran tertulis kepada Notaris tersebut�.

Berdasarkan fakta hukum di atas, permasalahnnya adalah apakah dengan adanya putusan MPWN DKI Jakarta yang menyatakan notaris YM telah melanggar Undang-undang Jabatan Notaris dan Undang-Undang Jabatan Notaris pengadilan dapat membatalkan PPJB formalitas yang dibuat oleh Notaris YM? Permasalahan ini sangat menarik untuk dianalisis, dengan tujuan agar dapat diketahui kepastian hukumnya tentang kewenangan pengadilan dapat membatalkan PPJB formalitas atau tidak dapat membatalkan PPJB formalitas. Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hokum yang berkaitan dengan perjanjian utang piutang dan PPJB.

 

Metode Penelitian

Permasalahan di atas diteliti dengan menggunakan penelitian hokum normative dengan sifat penelitian deskriptif. Penelitian ini dilakukan terhadap data sekunder yang terdapat di bahan hukum primer dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, bahan hukum sekunder dalam bentuk pendapat ahli hukum yang disajikan di dalam buku, jurnal, dan artikel, serta bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan kamus Bahasa Indoensia. Data hasil penelitian dipelajari dan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan penelitian untuk menemukan kesesuaian kualifikasi data sekunder dengan permasalahan penelitian. Hasil kesesuaian ini menjadi kesimpulan yang menjawab rumusan masalah penelitian.

 

Hasil Dan Pembahasan

Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian tersebut adalah sah apabila memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu para pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya, cakap membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Perjanjian yang dibuat secara sah dan dilakukan dengan itikad baik maka perjanjian mempunyai kekuatan mengikat secara hukum seperti undang-undang bagi pada pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda) (Bujang Ali, Mella Eimelina Farma Rahaju, 2020).

Sebaliknya suatu perjanjian tidak dapat mempunyai kekuatan mengikat secara hukum karena suatu hal tertentu. Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan �tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Suatu kekhilafan, paksaan, atau penipuan dapat menyebabkan suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan berlaku mengingat. Perjanjian yang disebabkan oleh hal-hal tersebut memiliki cacat kehendak, karena tidak didasarkan pada kehendak bebas para pihak. Suatu perjanjian yang cacat kehendak mengakibatkan perjanjian itu tidak memiliki kekuatan hukum sempurna dan dapat dimintakan pembatalannya (Budiono, 2009a).

Pada perjanjian yang mengandung cacat kehendak, kehendak yang diberikan dalam perjanjian bukan didasarkan atas kehendak (sepakat) murni para pihak. Kesepakatan pada perjanjian cacat kehendak merupakan kesepakatan dalam tertekan, tipuan, atau di bawah pengaruh orang lain yang menyalah gunakan keadaan yang ada. Menurut Herlien Budiono, suatu perjanjian didasarkan pada penipuan apabila seseorang yang mengadakan perjanjian dengan kehendak dan pengetahuan (willensenwetens) sengaja (opzet) menyesatkan orang lain, menyembunyikan fakta tertentu, memberikan informasi secara keliru, atau melakukan tipu daya lainnya (Budiono, 2009b).

Pada kasus hutang piutang di atas, pihak berhutang tidak memahami dengan baik kehendak pihak yang berpiutang untuk membuatkan PPJB di notaris. Pihak yang berhutang hanya ingin meminjam (berhutang) uang dengan jaminan sertifikat tanah, bukan ingin menjual tanah miliknya. Namun pihak berpiutang memanfaatkan pertemanannya dengan pihak yang berhutang, serta menggunakan kesempatan ketidak pahaman pihak yang berhutang, yang kemudian meminta notaris membuatkan akta PPJB. Sebenarnya pihak berhutang tidak mau menandatangani PPJB, namun karena pihak berpiutang menyatakan bahwa PPJB yang dibuat oleh notaris hanya bersifat formalitas, maka pihak berhutang terpaksa menandatangani PPJB.

Notaris terlibat dalam proses pembuatan akta PPJB ini yang kemudian notaris pun menjadi pihak yang dilaporkan oleh pihak berhutang ke majelis pengawas notaris. Hal ini tentu menjadi pertanyaan, mengapa notaris menjadi pihak yang dipermasalahkan dalam kasus ini? Apakah notaris telah salah melaksanakan tugas dan kewajibannya? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk diungkap dengan melihat peraturan yang mengatur jabatan notaris, karena notaris terikat pada hukum dan peraturan perundang-undangan, terutama hukum material yang mengatur hak dan kewajiban atau lingkup perilaku yang secara keseluruhan mengikat kepada publik (Rasji, 2022).

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau berdasarkan Undang-undang lainnya. Pengertian menggariskan secara jelas dan Tegas tugas notaris sebagai pembuat akta autentik, yaitu akta resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, yang dalam hal ini adalah notaris. Legalitas wewenang notaris menjadikan sasaran masyarakat untuk membuatkan akta autentiknya atas setiap peristiwa hukum yang dikehendakinya. Dengan akta autentik, maka peristiwa hukum yang tercatat di dalamnya mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat, ketika terjadi sengketa hukum yang menyangkut objek yang ditetapkan di dalamnya. Atas dasar itu, notaris juga berwenang membuat PPJB untuk peristiwa jual beli yang dimohonkan oleh pihak penjual dan pihak pembeli.

Dalam menjalankan tugasnya atau kewajibannya, notaris membutuhkan kemampuan dan pengetahuan kenotariatan yang diperoleh melalui pendidikan khusus. Tugas notaris tidak semudah yang dikatakan oleh orang awam, karena notaris juga mempunyai resiko dalam menjalankan tugasnya. Apalagi notaris kurang berhati-hati dan menimbulkan keserakahan yaitu mengikuti kemauan klien yang nantinya akan menimbulkan masalah dikemudian hari, notaris akan terkena dampaknya dan bahkan bisa beresiko pada jabatannya. Kewenangannya membuat akta autentik memerlukan kemampuan untuk memahami semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang tentukan oleh peraturan perundang-undangan. Kehendak pihak yang berkepentingan, yang perlu dinyatakan dalam akta autentik harus memperhatikan ketentuan hukum tersebut untuk menjamin kepastian hukum atas peristiwa yang akan ditetapkan di dalam akta autenik itu, baik mengenai tanggal permbuatan, menyimpan akta, pemberian grosse akte, maupun salinan dan kutipan akta.

Secara jelas, kewenangan lain notaris diatur di dalam Pasal 15 ayat (2) UUJN. Wewenang itu meliputi�pengesahan tandatangan, penetapan kepastian tanggal surat, pendaftarannya di dalam buku khusus, pembukuan atas surat-surat di bawah tangan ke dalam buku khusus, pembuatan kopi surat di bawah tangan asli dalam bentuk salinan yang di dalamnya memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan, pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya, pemberian penyuluhan hukum yang berkaitan dengan pembuatan akta, pembuatan akta autentik yang terkait dengan pertanahan; atau pembuatan akta risalah lelang. Jika notaris tersebut tidak jujur, tidak hati-hati dalam pembuatan akta maupun dalam hal perbuatan hukum yang lainnya notaris bertanggungjawab atas kewajiban dan kewenangan yang diberikan kepadanya. Kewajiban dan kewenangan tersebut secara sah dan terikat mulai berlaku sejak notaris mengucapkan sumpah jabatannya sebagai notaris. Sumpah yang telah diucapkan tersebutlah yang seharusnya mengontrol segala tindakan notaris dalam menjalankan jabatannya. Notaris dalam menjalankan jabatan dan wewenangnya sebagai notaris sering ditarik para pihak sebagai orang yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindakan yang membuat keterangan palsu di dalam akta (Adjie, 2011).

Tanggung jawab Notaris secara perdata adalah tanggung jawab kebenaran dalam materiil akta. Jika sudah melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain maka bisa disebut juga notaris telah melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan, atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Apabila notaris benar telah melanggar kewajiban dan kewenangannya maka notaris dapat dikenakan sanksi yang berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 17 ayat (2) UUJN.�

Dalam penjatuhan sanksi atas pelanggaran UUJN dilakukan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris yang selanjutnya disebut (MPWN) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN bahwa, Majelis Pengawas Wilayah berwenang untuk memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis. Dan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 73 ayat (1) huruf f UUJN, MPW berwenang juga mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara selama 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan atau pemberhentian tidak hormat.

Berdasarkan wewenangnya, notaris berwenang dalam membuat akta autentik. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) yang berbunyi �suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat�. Walaupun yang dimaksud pejabat yang berwenang adalah notaris, tetapi notaris tidak kebal hukum.�

Pada fakta di lapangannya ada akta autentik yang dibuat oleh seorang notaris, sehingga menimbulkan kerugian pada hak orang lain. Akhirnya orang yang dirugikan menggugat notaris tersebut ke Majelis Pengawas Wilayah Notaris karena diduga telah melanggar Undang-undang Jabatan Notaris dan juga menggugat ke Peradilan Umum untuk membatalkan akta yang telah dibuatnya tersebut.

PPJB formalitas di atas mengandung unsur kesepakatan dalam tekanan atau dalam penipuan. Karena itu PPJB di atas memiliki cacat kehendak pada pihak yaitu pihak berhutang dipaksa, dan ditipu kehendaknya. Selain itu telah terjadi penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) atau kelemahan kedudukan (misbruik van positive/abuse of power) pihak berhutang yang sangat membutuhkan uang, sehingga pihak berpiutang meminta pihak berhutang menandatangani PPJB. Perbuatan pihak berpiutang tersebut merupakan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang merugikan pihak berhutang.

Pihak berhutang telah dirugikan oleh akta PPJB formalitas. Suatu akta dapat diajukan pembatalannya ke pengadilan apabila dapat dibuktikan adanya penipuan atau apabila pada saat menandatangani akta PPJB si berhutang adanya penipuan (Tan, 2007). Dalam kasus di atas, pada awalnya pihak berhutang tidak mengetahui maksud pihak berpiutang menipunya karena pihak berpiutang menyatakan PPJB yang dibuatnya hanya formalitas. Perbuatan menipu baru diketahui ketika pihak berpiutang mengalihkan nama kepemilikan hak atas tanah dari pihak berhutang ke pihak berpiutang di Badan Pertanahan Nasional. Pada saat itu, niat pihak berhutang hanya meminjam uang dengan jaminan sertifikat hak atas tanah telah ditipu oleh pihak berpiutang dengan PPJB sebagai pengikatan jual beli tanah pada sertifikat hak atas tanah itu.

Fakta Putusan MPWN DKI Jakarta yang menyatakan Notaris YM melanggar Undang-undang Jabatan Notaris dan di beri sanksi hukum atas kesalahannya menunjukkan bukti bahwa akta PPJB formalitas yang dibuat oleh Notaris YM adalah salah secara hukum. MPWN DKI Jakarta menyatakan notaris tersebut terlibat bekerjasama dengan orang yang berpiutang, yang seharusnya perjanjian utang piutang, namun oleh notaris dibuat PPJB dan kuasa menjual. Perbuatan notaris ini juga dinyatakan telah melanggar Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 16 ayat (1) huruf adengan sanksi teguran tertulis.

Jika dikaji dari Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 11 September 2002 No. Reg. 3641/KPdt/2001akta PPJB formalitas di atas dapat dibatalkan oleh pengadilan. Menurut yurisprudensi tersebut, hakim berwenang untuk meneliti dan menyatakan para pihak berada pada keadaan seimbang atau tidak dalam membuat perjanjian, serta hakim dapat melihat apakah terdapat nilai-nilai keadilan hukum dalam perjanjian yang dibuat oleh pada pihak. PPJB formalitas tidak memperlihatkan adanya keseimbangan pihak berhutang dan berpiutang dalam kesepakatan kehendak ketika membuat PPJB serta tidak ada nilai-nilai keadilan hukum dalam PPJB formalitas. Karena itu, hakim pengadilan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus pembatalan akta PPJB yang dibuat oleh pihak berhutang dengan pihak berpiutang di atas. Ini merupakan wujud upaya pemulihan hak berhutang atas hak atas tanahnya sebagaimana dijamin oleh Pasal 1452 KUHPerdata.

Pengadilan hadir sebagai lembaga negara untuk proses penyelesaian perkara perdata sesuai dengan hukumnya. Hukum, termasuk hokum perdata, hadir dengan tujuan untuk mewujudkan keadilan hukum. Keadilan disini sebagai suatu kebenaran yang dibuktikan melalui proses peradilan (Soenartho, 2022), sehingga kebenaran hukum memiliki kekuatan berlaku mengikat. Pengadilan sebagai benteng keadilan, menjadi tempat rakyat atau masyarakat pencari keadilan, ketika upaya lain tidak dapat memberikan rasa keadilan. Karena itu pengadilan dapat menjadi tempat dan sarana pihak berhutang untuk mencari keadilan atas PPJB yang dianggap merugikannya.

Kewenangan pengadilan di atas adalah sesuai dengan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan yang dimaksud adalah Peradilan Umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur di dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian hutang piutang adalah salah satu bentuk perbuatan hukum perdata. Perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) adalah salah satu bentuk perjanjian yang didasarkan pada KUHPerdata, sehingga kerugian pihak berhutang akibat PPJB formalitas merupakan ranah Pengadilan Umum untuk memeriksa, mengadili, dan memutusnya demi keadilan berdasarkan hukum. Setiap orang atau masyarakat adalah sasaran hukum, undang-undang, atau peraturan perundang-undangan (Rasji, 2022), sehingga di dalamnya terdapat hak setiap orang atau masyarakat yang perlu dilindungi secara hukum. Karena itu penyelesaian oleh Pengadilan Umum ini merupakan pemulihan hak perdata setiap orang (Tata Wijayanta, 2011), sehingga, termasuk pihak yang berhutang di atas yang telah dirugikan oleh PPJB formalitas.

 

Kesimpulan

Kasus di atas adalah kasus hutang piutang, namun telah disalahgunakan oleh pihak berhutang dengan membuat PPJB. PPJB dibuat oleh notaris YM atas kehendak dari pihak berpiutang. Melalui akta PPJB peristiwa hutang piutang dialihkan menjadi peristiwa jual beli atas tanah. Status PPJB formalitas merupakan suatu penyalahhgunaan keadaan dan tipu daya untuk mendapatkan hak atas tanah milik pihak berhutang. Perbuatan ini telah merugikan pihak berhutang, karena telah kehilangan hak atas tanah miliknya. Notaris yang membuat akta PPJB dinyatakan oleh MPWN DKI Jakarta telah melakukan Tindakan berpihak kepada pihak berpiutang, dinyatakan melanggar undang-undang jabatan notaris. Sebagai peristiwa hukum perdata, KUHPerdata dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman memberikan hak kepada pihak berhutang untuk memulihkan haknya melalui gugatan pembatasan akta PPJB Pengadilan Umum. Karena itu, Pengadilan Umum berwenang menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pembatasan akta PPJB formalitas demi keadilan hukum.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Adjie, Habib. (2004). Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No 30. Tahun. Google Scholar

 

Adjie, Habib. (2011). Merajut Pemikiran dalam Dunia Notaris & PPAT. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

 

Budiono, Herlien. (2009a). Ajaran Umum Hukum Perjanjian. Bandung, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Google Scholar

 

Budiono, Herlien. (2009b). Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

 

Bujang Ali, Mella Eimelina Farma Rahaju, Rasji. (2020). �Mediation as a Final Settlement in Bankruptcy Disputes.� Journal Environmental Treatment Techniques, 8(4), 1457.

 

Miru, Ahmadi. (2007). Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Muhammad, Abdulkadir. (2010). Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

 

Rasji. (2022). �Problems in Various Implications of Laws and Regulations.� Journal of Positive School Psychology, 6(4), 7890.

 

Soenartho, Grace Angelia. (2022). Tinjauan Terhadap Keabsahan Kedudukan Pancasila sebagai Landasan Teori dari Nilai Moral dalam Ilmu Filsafat Hukum. Journal Of Social Research, 1(6), 603�608. Google Scholar

 

Tan, Thong Kie. (2007). Studi notariat, beberapa mata pelajaran: dan, Serba-serbi praktek notaris. Ichtiar Baru van Hoeve. Google Scholar

 

Tata Wijayanta, HeryFirmansyah. (2011). PerbedaanPendapatDalamPutusanPengadilan. Yogyakarta: MediaPressindo.

 

Copyright holder:

Sylviana, Rasji (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: