Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
PERANAN PEMUDA DALAM
MEWUJUDKAN PARTISIPASI POLITIK YANG INKLUSIF
Apriya Maharani Rustandi, Karim Suryadi
Pendidikan Kewarganegaraan Universitas Pendidikan Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Suatu demokrasi
yang inklusif dapat dijalankan jika adanya keterwakilan dari setiap kelompok,
salah satunya pemuda. Peneliti
melakukan analisis untuk menelaah penguatan peranan pemuda dalam memproses sebuah peningkatan partisipasi politik yang inklusif. Peneliti melakukan penelitian dengan maksud menggali
permasalahan dalam menganalisis stigma adanya pemuda
oligarki dan pemuda anarkis
sehingga mengurangi peranan dari pemuda melalui pendekatan kualitatif yakni wawancara, observasi dan studi pustaka dengan
mendalami artikel nasional atau artikel
internasional dengan tujuan menggali peranan pemuda dalam mewujudkan partisipasi politik yang inklusif. �Hasil tinjauan ini menunjukkan bahwa pemuda kritis dan partisipatif sangat diperlukan penguatan partisipasi politik yang inklusif oleh kemitraan strategis antara seluruh komponen masyarakat, badan pemerintah, otoritas hukum, para wakil dan anggota organisasi lainnya untuk pemberdayaan pemuda. Penelitian ini memberikan titik acuan yang tepat untuk diteliti lebih lanjut dengan
mengidentifikasi eksistensi
pemuda kritis dan partisipatif
sebagai upaya menguatkan partisipasi politik yang inklusif.
Kata Kunci: Pemuda, Partisipasi
Politik, Demokrasi yang Inklusif.
Abstract
An inclusive democracy can be
implemented if there is representation from every group, one of which is youth.
The researcher conducts an analysis to examine the strengthening of the role of
youth in the process of increasing inclusive political participation.
Researchers conducted research with the aim of exploring problems in analyzing
the stigma of oligarchic youth and anarchic youth so as to reduce the role of
youth through qualitative approaches, namely interviews, observations and
literature studies by exploring national articles or international articles
with the aim of exploring the role of youth in realizing inclusive political
participation. The results of this review indicate that critical and
participatory youth are urgently needed to strengthen inclusive political
participation by strategic partnerships between all components of society,
government agencies, legal authorities, representatives and other members of
organizations for youth empowerment. Overall, this study provides an
appropriate reference point for further research by identifying the existence
of critical and participatory youth as an effort to strengthen inclusive
political participation.
Keywords: Youth, Political Participation, Inclusive
Democracy.
Pendahuluan
Syarat menjadi
negara demokratis salah satunya
adalah menghendaki adanya partisipasi politik. Partisipasi politik menjadi penentu dalam demokratis
tidaknya suatu negara, sehingga sangat dibutuhkan keterwakilan dari kelompok-kelompok. Keterwakilan dari kelompok masyarakat
itu dinamakan dengan partipasi politik yang inklusif (Daeli et al., 2017).
Partisipasi politik yang inklusif pada tataran perwujudan
stabilitas nasional, menjadi fenomena yang perlu untuk diperhatikan.
Dalam hal ini mengingat jelas
laporan yang dibawa EUI The Economist Intelligence dengan ada penurunan
skor dari 6,48 menjadi 6,3 dari tahun 2019 ke tahun
2020 (The Economist Intelligence Unit, 2009).
Indonesia menempatkan peringkat
64 dari 167 negara di dunia dari
skor Indeks Demokrasi.
Gambar 1
Skor Indeks Demokrasi
di Asia Tenggara (2020)
Sumber: The Economist
Intelligence Unit (2021)
Demokrasi sering sekali
membahas mengenai kedaulatan rakyat dan pengelolaan serta permasalahan yang ada didalamnya, sebagaimana yang dengan telah dikatakan
oleh Abraham Lincoln, yakni tidak
lain adalah pemerintahan
yang dikelola dari (of),
oleh (by), dan untuk (for) rakyat.
Demokrasi saat ini juga membahas mengenai tanggung jawab pemerintah, kekuasaan yang tidak luas atau terbatas,
pembagian kekuasaan yang menjadi hal utama
dan partisipasi politik
yang inklusif (Wahyuni, 2018). Partisipasi politik
inklusif yang dihadirkan harus mengutamakan keadilan dan kesetaraan dalam sosial politik.
Berbeda halnya dengan adanya sebuah fenomena bahwa adanya pemuda yang menjadi bagian dari staff khusus pemerintah, menjadikan sebuah stigma adanya pemuda yang oligarki dan partisipasi yang muncul bukanlah yang inklusif.
Konteks keberadaan partisipasi
politik dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas demokrasi yang inklusif Indonesia, penelitian ini membahas
tentang rasionalitas keberadaan partisipasi. Pembahasan dalam artikel ini dimaksudkan
untuk menunjukkan secara umum bahwa
partisipasi politik yang inklusif merupakan bagian integral dari demokrasi. Dahl dalam (Alarie, 2018)
berpendapat bahwa hal ini disebabkan
oleh reformasi demokrasi yang belum
tuntas. Hal ini terutama benar jika ia memiliki
efek positif yang kuat pada penegakan kedaulatan rakyat dan bentuk pemerintahan yang dikendalikan. Demokrasi yang memungkinkan penguasa yang dipilih untuk mewakili
kepentingan seluruh "delegasi" (bertindak atas nama rakyat)
dan dengan demikian melakukan apa pun yang tampaknya penting tanpa terlalu memperhatikan� aspek tanggung jawab bentuk atau akuntabilitas
(Gatara, 2016).
Pemerintahan seperti itu pada dasarnya mirip dengan apa
yang disebut� Thomas Hobbes sebagai Leviathan, jika tidak mencakup reformasi pandangan dan posisi partisipasi politik yang inklusif.
Demokrasi yang inklusif dapat terbangun dengan adanya tiga
hal, pertama adanya kepercayaan terhadap demokrasi, kedua, adanya pemberdayaan
perempuan yang mana perempuan
juga bisa bekerja, sekolah dan belajar. Adanya keterlibatan pemuda atau generasi Z dalam politik bisa
menjadi salah satu warna terwujudnya demokrasi yang inklusif. Partisipasi yang inklusif ini tidak memandang
adanya gender, kelompok budaya, etnis dan agama. Sebuah partisipasi politik yang inklusif dapat terwujud jika adanya keterwakilan
juga dari kelompok rentan misalnya perempuan, penyandang disabilitas dan masyarakat adat (Wheatley, 2003).
Partisipasi politik dari
tahun ke tahun pastinya memiliki efek dalam
peningkatan partisipasi
pemuda. Salah satu akibatnya
dalam tataran keterwakilan kelompok rentan yang belum maksimal membuat kurangnya partisipasi politik terutama pada kaum pemuda. Beredarnya sebuah stigma adanya pemuda anarkis dan pemuda oligarki membuat partisipasi politik dan kepercayaan terhadap demokrasi menurun.� Adanya faktor empiris
tadi peneliti menilai bahwa dampak
partisipasi politik dapat dicegah dengan
adanya konstruksi makna sosial dan mengembalikan stigma dari peranan pemuda. Pemahaman utuh mengenai peranan
pemuda dapat mengubah pemahaman atau interpretasi dari subjek penelitian, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif dari minimnya
partisipasi politik yang inklusif karena kesadaran dari pemuda sudah terkonstruksi dengan baik (Pedrazzani, 2017).
Pemahaman yang utuh tentang
arti pemberdayaan pemuda tentunya
akan meminimalisir� dampak negatif dari minimnya
partisipasi politik kalangan muda saat
ini Schutz (dalam Hasbiansyah, 2008).
Pemahaman yang sudah berkembang baik dengan akan pentingnya
pemuda berpartisipasi baik masuk kedalam pemerintahan
atau tidak dapat secara aktif
melaksanakan partisipasi.
Ketika individu mempunyai pencerahan yg baik
& berorientasi dalam kepentingan partisipasi politik yang inklusif di negara demokrasi, tentu akan meminimalisir terjadinya dampak negatif yakni kemandulan
partisipasi politik yang inklusif, lantaran mempunyai niat ikhlas dan berpikiran secara jernih (Pickvance, 1998).
Khusus bagi anak muda saat
ini, berbagai permasalahan yang muncul dari kampanye negatif
dan demokrasi siber adalah upaya memantik
pemuda yang kritis dan partisipatif
dalam memperkuat pentingnya demokrasi dan kewarganegraan pemuda yang berkualitas.
Berdasarkan hasil dari review atas penelitian yang sejenis memberikan penjelasan bahwa keberadaan demokrasi inklusif saat ini
sangat ditentukan oleh pemuda Aspinal
dalam (Robet, 2019).
�Dengan banyaknya praktik-praktik mengenai keamanan demokrasi yang kurang dan melemahkan keberadaannya sebagai penyeimbang. Banyaknya kasus seperti melemahnya upaya antikorupsi, pengurangan berbicara dan berserikat dan upaya dalam menghapuskan pemilihan secara langsung menjadi bukti diskrimatif terhadap demokrasi saat ini (Fealy,
2020; Mietzner, 2021; Power, 2018). Salah satu strategi bertahan hidupnya pemuda adalah bentuk aksi
politik yang mana aktivisme
politik ini menempatkan mereka dalam bahaya inilah
yang membuat sebuah stigma adanya pemuda anarkis (Berents & McEvoy-Levy, 2015).
Sebagian aksi dari pemuda selama pandemi berlangsung melalui media sosial namun hal
ini masih saja belum menyentuh
keterlibatan dari kelompok rentan, sedangkan demokrasi yang berlangsung harus berlandaskan keadilan.
Keterlibatan pemuda dalam hal
demokrasi sangat ditentukan
untuk meningkatkan partisipasi politik pemuda. Pasal 1 Undang-Undang nomor 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan didefinisikan sebagai warga negara Indonesia dalam rentang usia 16 hingga 30 tahun (Pusat, 2009).
Di ruang politik formal
pun, data menunjukkan bahwa
dari total 575 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode
2014-2019, hanya sekitar 4%
saja (atau 24 orang) yang berusia kurang dari 30 tahun. Tanpa adanya sebuah
partisipasi dari pemuda maka akan sangat sulit mewujudkan demokrasi yang inklusif, karena kaum muda
harus mempunyai peran aktif dan berdaya dengan peranan yang dapat memecahkan masalah di kelompok mereka.
Adanya politisi muda
yang dilatar belakangi kelas sosial dan ekonomi tertentu membuat sebuah keistimewaan dalam mengakses sumber daya, hal ini
memunculkan stigma dalam masyarakat mengenai pemuda oligarki. Menurut studi yang dilakukan pemuda yang masuk sebagai elit
politik ini belum memiliki kapasitas dalam membangun sebuah gerakan (Noor et al., 2019).
Disamping munculnya stigma
pemuda oligarki, tidak terlepas dari adanya
stigma pemuda anarkis, yakni
adanya pemuda yang sering melakukan demonstrasi dan merusak fasilitas umum ketika sedang
melakukan unjuk rasa.
Stigma yang dibangun membuat
sebuah efek terhadap partisipasi politik pemuda sat ini, terutama terjadi kepada pemuda yang termarginalkan.
Hal ini bertentangan dengan partisipasi politik yang inklusif, menghendaki adanya keterwakilan dari setiap kelompok pemuda yang ada.
Berdasarkan pendahuluan yang telah di uraikan di atas maka rumusan
masalah yang di temukan �Bagaimana pemuda mengkonstruksi makna dari stigma pemuda anarkis dan pemuda oligarki dalam melaksanakan peranannya� dan �Bagaimana pemberdayaan pemuda mewujudkan partisipasi politik yang inklusif�. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis konstruksi makna dari stigma pemuda anarkis dan pemuda oligarki dalam melaksanakan peranannya dan mengetahui
strategi pemberdayaan pemuda dalam
mewujudkan partisipasi politik yang inklusif.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.� Penelitian kualitatif bersikap deskriptif,data yang� dikumpulkan adalah� berupa� kata-kata� gambar,� bukan� angka-angka. Pendekatan penelitian kualitatif deskriptif kualitatif bertujuan untuk menggambarkan, melukiskan, menerangkan,menjelaskan� dan� menjawab� secara� lebih� rinci� permasalahan�
yang� akan
diteliti dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok atau suatu� kejadian.� Deskriptif� kualitatif� menafsirkan� dan� menguraikan�
data� yang� ada bersamaan dengan situasi yang sedang terjadi (Sugiyono, 2016).
Subjek penelitian ini terdapat lima informan yaitu perwakilan dari setiap ketua BEM Universitas
negeri, swasta dan politeknik
yang saat ini masih aktif dalam
berbagai forum pemuda.
Hasil dan Pembahasan
Pemuda dalam Mewujudkan
dan Menjalankan Stabilitas
Nasional
Proses menkonstruksi pastinya tidak terlepas dari pengalaman yang dialami oleh subjek penelitian identifikasi kebutuhan di atas di lihat dari kebutuhan saat melihat pemuda dalam menjalankan stabilitas nasional. �Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan lima informan tentang pemuda dalam menjalankan dan mewujudkan stabilitas sudah cukup aktif karena beberapa gerakan yang laksanakan itu masih belum didukung dengan pengetahuan yang baik sehingga organisasi yang terbentuk masih sangat kurang dari segi kualitas. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya pemuda yang mengikuti demonstrasi namun tidak tahu konsep yang akan dituntut kepada pemerintah, hanya mengikuti keseruan dari banyaknya massa aksi (Hariyadi et al., 2020).
Hal ini sejalan dengan adanya teori dari Young mengenai kecenderungan praktik demokrasi yang menghambat sebuah partisipasi politik dan terciptanya sebuah ketidakadilan. Salah satu penyebabnya ialah Dominasi dan Oppersi, dalam hal penindasan sekelompok orang berkuasa dalam melakukannya kepada kelompok lain. Young memberikan definisi tentang adanya �proses kelembagaan yang secara sistematis mencegah beberapa orang untuk melakukan belajar dan mengembangkan keterampilannya, sebuah proses sosial yang diakui secara sosial ini menghambat kemampuan orang lain dalam mengekspresikan perasaan dan prespektif mereka dalam hal kehidupan sosial dan mendengarkan orang lain (Wheatley, 2003). Philip Pettit membuat sebuah definisi dari penindasan adalah ketiadaaan kebebasan karena ketidakmampuan dari seseorang untuk menguasai dirinya sendiri saat ini (Mccormack-George, 2021). Sally Hasllanger mengungkapkan adanya penindasan dapat dilakukan Ketika sekolompok orang mengalami perlakuan yang tidak adil dan mengalami kerugian dalam sebuah struktur sosial (Lepold, 2013).
Pemberdayaan pemuda sangat penting sejak dini agar terciptanya pemuda yang berkualitas. Pemberdayaan yang dimaksud adalah adanya pengembangan dari segi softskill pemuda yakni public speaking, cara membuat policy brief dan mengambil posisi di organisasi pemuda.
Pada masa pandemic datang memberikan sebuah batasan kepada pemuda dalam memberikan suaranya karena peraturan yang mengatur mengenai protocol Kesehatan. Dampak yang dirasakan ketika adanya pandemic membuat Gerakan dari pemuda kurang massif untuk mengawal kebijakan pemerintah. Media sosial menjadi salah satu tempat untuk pemuda melakukan aspirasinya kepada pemerintah.
Pemuda selalu dikaitkan
sebagai agent of change, yakni
dapat mengontrol nilai-nilai sosial dari masyarakat karena dapat merepresentasikan
kondisi masyarakat (Latif Ruslan, 2020).
Pemuda sebagai penerus dari estafet kepemimpinan
yang sehingga perlu adanya ruang diskusi
yang seluas-luasnya untuk memberikan kesempatan berpikir kritis terhadap bangsa ini. Demokrasi
sudah sangat dikenal ketika zaman polis Yunani yang berasal
dari kata demos yang artinya
menjalankan sebuah fungsinya agar kepentingan warga negara dapat terwakili (Faisyal,
2020). Sekalipun
demokrasi dianggap sebagai system yang baik namun tidak dapat
terlepas dari kekurangan dan kritikan selama praktik demokrasi ini berkembang.
Salah satunya pemikiran dari young yang memberikan sebuah kritik membangun
untuk demokrasi, yang mana keadilan dari demokrasi
harus berjalan sungguh-sungguh dan tidak ada kelompok yang terkucilkan. Dalam membuat sebuah keputusan dari adanya demokrasi haruslah adanya demokrasi komunikatif, ketidakadilan dan ketidaksetaraan
sosial-politik dapat diatasi.
Penelitian yang dilakukan
oleh Young membuktikan adanya
empat kecenderungan praktik demokrasi yang menghambat sebuah partisipasi politik dan terciptanya sebuah ketidakadilan bagi sebagian kelompok salah satunya eksklusi (Wheatley, 2003).
Ekslusi, sekolompok orang
yang memiliki kekuatan untuk membuat sebuah
kebijakan demi kepentingannya
sendiri dan kelompok lain disisihkan dalam proses demokrasi. Salah satu penyebab eksklusi ini terjadi adalah
karena adanya persaingan dalam demokrasi (Judith Bara dan Albert Weale)
(Bara & Weale, 2006).
Kedua ialah ketidaksetaraan ekonomi, sosial dan kultural sehingga adanya ketimpangan dalam menjalankan stabilitas demokrasi.
Eksklusi terbagi menjadi dua yakni
eksklusi eksternal dan ekslusi internal. Eksklusi internal
adalah kelompok yang sudah ikut terlibat
dalam sebuah forum secara sengaja atau tidak sengaja
namun keberadaanyya dalam tempat diskusi
diabaikan untuk mengambil sebuah keputusan, sekalipun mereka memiliki akses dalam proses dan prosedur musyawarah. Sedangkan ekslusi eksternal adalah sebuah meniadakan kelompok yang seharusnya terlibat namun terabaikan dan dikecualikan untuk tidak masuk
dalam forum diskusi (Wheatley, 2003).
Pemuda mengkonstruksi makna dari stigma pemuda anarkis dan pemuda oligarki dalam melaksanakan peranannya�����������
����������� Partisipasi politik yang inklusif
dapat terwujud dengan adanya kesadaran
dari pemuda untuk melakukan peranan aktif. Peranan aktif dapat terhambat
jika adanya stigma yang tidak baik mengenai
pemuda. Salah satu stigma yang beredar
adalah adanya pemuda oligarki dan pemuda anarkis. Berdasarkan hasil wawancara dengan kelima informan memberikan konstruksi makna dari adanya
stigma tersebut. Adanya pemuda yang masuk
ke dalam struktur pemerintahan membuat sebuah stigma dari masyarakat yang menyatakan bahwa pemuda tersebut adalah pemuda elit atau oligarki.
Peneliti membuat sebuah konstruksi dari makna pemuda oligarki yang jauh dari pendekatan inklusif berdasarkan dari hasil wawancara
bersama dengan lima informan. Hal ini disebabkan oleh stigma pemuda oligarki
terjadi karena adanya sebuah kekuatan
yang membuatnya mempunyai akses terhadap sumber daya lain dari kelompok yang tidak bisa mengakses
sehingga dapat memperkuat posisi sendiri.
Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek penelitian mengartikan dari pemuda oligarki ini adalah
mereka yang mempunyai kekuasaan dari elemen yang dipegang oleh mereka, sehingga mereka harus mempunyai
keputusan dengan menyalurkan ide yang ada atau mengikuti tradisi yang sudah dipegang oleh suatu kelompok. Kelompok pemuda yang mempunyai kesempatan untuk menjalankan roda pemerintahan seharusnya mempunyai kualifikasi yang bagus, bukan karena mereka
yang mempunyai privilege dan
dekat dengan lingkungan pemerintahan.
Sedangkan pemuda anarkis
adalah lahir karena ketidaksepemahaman terkait nilai-nilai tertentu, kegagalan untuk bermusyawarah atau berdiskusi sebab instrument dalam menyelesaikan perbedaan atau bahkan tujuan
sudah berbeda, untuk mencapai sebuah sistem dibutuhkan
sebuah kekuatan yang besar, yang mana hal ini sangatlah identic dengan kekerasan. Pemuda ini sebenarnya mempunyai keinginan untuk bebas dari
pemerintahan dan cocok sebagai mitra kritis
pemerintah atas dasar tidak kepercayaan
terhadap pemerintahan.
Cara-cara yang dilakukan
oleh pemuda anarkis saat melakukan demonstrasi tidak sesuai dengan
aturan yang ada, salah satunya dengan merusak fasilitas umum.�
Ketidaksetaraan structural menyebabkan
adanya ketidakadilan dan penghambat bagi tumbuh kembangnya demokrasi. Adanya sumber daya normative, institusi dan material membuat sebuah hasil dari
aturan dan kondisi yang membuat seseorang itu terbatasi. Ketimpangan struktural seperti itu dianggap
sebagai ketidakadilan berbasis kelompok, karena hal tersebut
melanggar prinsip kesetaraan kesempatan yang substantive.
Sejalan dengan yang� diutarakan� Young,�
ketidakadilan�
dianggap�
bersifat struktural ketika� ada� perlakuan� diskriminatif� terhadap� kelompok-kelompok� sosial rentan� seperti� kaum� perempuan,� etnis� minoritas,� disabilitas, pemuda
yang tidak memiliki akses (Laku, 2021; Wahman & Boone, 2018).
Berbeda halnya dengan ketidaksetaraan structural
politik persamaan menjelaskan kepada kita bahwa perlu
mengesampingkan perbedaan prinsip persamaan dan kesatuan sosial, sehingga perlakuan hadirnya inklusif yang adil harus diciptakan
karena implikasi dari perbedaan yang membuat eksistensi dari masyarakat tercipta.
Pemberdayaan pemuda mewujudkan partisipasi politik yang inklusif
Hasil temuan yang didapat menggambarkan bahwa pemuda yang dibutuhkan saat ini adalah pemuda yang dapat berpartisipasi aktif dan kritis sebagai mitra diskusi
pemerintah. Adapun stigma yang berkembang
mengenai pemuda anarkis dan
pemuda oligarki, bukan termasuk dalam pemuda yang ideal diharapkan oleh negara. Setiap
pemuda memiliki kesempatan dalam memberikan partisipasi politik untuk mewujudkan keterwakilan dari kelompoknya tanpa memandang suku, ras atau latar
belakang keluarga dari pemuda tersebut.
Partisipasi politik
yang adil tidak meniadakan kelompok yang rentan ini. Disisi
lain terdapat sebuah presepsi terhadap ciri dan karakter mereka yakni lemah,
lembut, halus dan tidak berdaya. Hal ini sejalan dengan
yang diungkap oleh Husserl yaitu
tubuh yang hidup adalah yang dapat merasakan indrawi dan dirasakan setelah dimiliki (Young, 2003).
Tubuh dapat dikatakan dalam keadaan totalitas, jika dia dapat
mengaktualisasikan seluruh potensi yang dimiliki individu. Sehingga sangat penting untuk memperjuangkan
partisipasi politik bagi kaum yang lemah, termarginal secara sosial, struktural dan tidak berdaya (Aubert, 2021; Vieten, 2014; Young, 2006).
Demokrasi yang inklusif
dapat terwujud dengan adanya pemuda yang krtis dan partisipasipatif.
Pemuda yang kritis dapat terwujud ketika dia mempunyai rasa ingin tahu yang lebih, sehingga mempunyai pertanyaan-pertanyaan
yang mendasar sampai pada titik fundamental, mampu menghasilkan suatu diagnose atau analsis yang tepat dari apa
yang dia amati serta akan lebih
baik juga bila diiringi dengan keberanian menyampaikan kritiknya secara bertanggung jawab. Sedangkan, pemuda yang partisipatif
adalah mereka yang mempunyai semangat dan tidak diam ketika dihadapkan dengan kebijakkan/fenomena apapun, sikap selalu
peduli dan mencari tahu dan adanya dorongan utk bermuara
pada solusi yang bisa lakukan.
Gabungan dari keduanya tentu akan hasilkan pemuda solutif dan empati, mereka tidak akan
mau diam, jika mendeteksi adanya penyimpangan yang mereka� lakukan
adalah menganalisis secara faktual dan menghasilkan analisis atau diagnosis yang kritis serta membangun, memberikan kritikan tersebut secara bertanggung jawab dan punya keinginan untuk melakukan sesuatu berdasarkan analisis yang dia lakukan semata-mata
utk meperbaiki kecacatan atau penyimpangan yang ada.
Pemuda yang kritis dan partisipatif dapat membentuk demokrasi yang inklusif karena dengan karakter
tersebut dapat mengakses hak yang seharusnya terpenuhi. Transisi menuju demokrasi inklusif dapat terwujud dengan cepat dan tepat ketika pemuda tersebut mendapatkan pemberdayaan yang baik (Anakotta et al., 2020).
Salah satu pemberdayaan
pemuda yang baik dapat dilakukan di persekolahan dan perkuliahan. Mata pelajaran yang selalu didapatkan untuk mengembangkan pemberdayaan pemuda ialah pendidikan kewarganegraan (Tuhuteru, 2017).
Urgensi dari pendidikan kewarganegaraan sangat
dibutuhkan dikarenakan dapat menghargai proses dan nilai-nilai dari kebangsaan seperti yang sudah dilakukan oleh kelompok pemuda pada saat kemerdekaan. Pendidikan kewarganegaraan
juga dapat meningkatkan sense
of belonging dari pemuda� untuk lebih cinta terhadap
tanah air (Suwandi & Sari, 2017).
Kecintaan terhadap tanah air dapat meminimalisir adanya penyimpangan yang dilakukan oleh
pemuda di masa depan (Doll, 2008; Lederach, 2020).
Pemikiran pemuda yang sudah
cinta terhadap tanah air, akan melakukan semua berdasarkan pengabdiannya terhadap negara bukan lagi sebagai profesi
untuk mencari keuntungan semata. Pendidikan kewarganegaraan dapat mencetak masyarakat nasionalis yang mempunyai pendirian teguh pendirian bangsa, sehingga dapat mengoptimalkan pemberdayaan
pemuda dan meminimalisir terjadinya
oligarki baru, karena sudah dilakukan
pemupukan dan investasi masyarakat nasionalis.
Kesimpulan
Peranan pemuda dalam
mewujudkan partisipasi politik yang inklusif sangatlah penting, sekalipun banyak stigma yang tersemat pada diri pemuda. Baik itu stigma dari pemuda oligarki atau pemuda anarkis haruslah mempunyai kapasitas sebagai pemuda yang kritis dan partisipatif sehingga setiap kelompoknya bisa mewujudkan adanya demokrasi yang inklusif dan tidak adanya diskriminasi antara kelompok satu dengan kelompok
yang lain, sehingga terwujudnya
perwakilan dari setiap masyarakat, khususnya pemuda. Gerakan pemuda dalam
mewujudkan stabilitas nasional juga sangat diperlukan sekalipun masih banyak ekslusi terhadap gerakan pemuda dan kualitas yang kurang memadari dari sumber
dayanya. Pemberdayaan
pemuda melalui pendidikan kewarganegaraan menjadi salah satu upaya untuk
membentuk pemuda yang krtis
dan partsipatif dalam meningkatkan partisipasi politik inklusif.
Alarie, L. (2018).
Polyarchie : participation et opposition, de Robert A. Dahl [trad.
Pascal Delwit et Mich�le Mat], Bruxelles, �ditions de l�Universit� de
Bruxelles, 2016 [1971], 266 p. Politique et Soci�t�s, 37(2).
https://doi.org/10.7202/1048881ar Google Scholar
Anakotta, M. Y.,
Disemadi, H. S., & Roisah, K. (2020). From Youth for 74 Years of
Independence of the Republic of Indonesia (Masohi Militancy: Youth Efforts to
Eradicate Radicalism And Terrorism). Jurnal Hukum Prasada.
https://doi.org/10.22225/jhp.7.1.1271.53-60 Google Scholar
Aubert, I. (2021).
Social inclusion, a challenge for deliberative democracy? Some reflections on
Habermas�s political theory. European Journal of Social Theory. https://doi.org/10.1177/1368431020983781 Google Scholar
Bara, J., &
Weale, A. (2006). Democratic politics and party competition: Essays in honour
of Ian Budge. In Democratic Politics and Party Competition: Essays in Honour
of Ian Budge. https://doi.org/10.4324/9780203965771
Google Scholar
Berents, H., &
McEvoy-Levy, S. (2015). Theorising youth and everyday peace(building). Peacebuilding,
3(2). https://doi.org/10.1080/21647259.2015.1052627 Google Scholar
Daeli, W., Tauhid,
K., Maharani, C., Moeliono, M., & Bong, W. (2017). Dari Partisipasi ke
Inklusi. Brief Cifor. Google Scholar
Doll, W. E. (2008).
Complexity and the Culture of Curriculum. Educational Philosophy and Theory,
40(1). https://doi.org/10.1111/j.1469-5812.2007.00404.x Google Scholar
Faisyal. (2020).
Negara Di Tengah Ancaman Demokrasi Siber. Jurnal Oratio Directa, 2(2). Google Scholar
Fealy, G. (2020).
Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the
Overbearing State. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 56(3).
https://doi.org/10.1080/00074918.2020.1846482 Google Scholar
Gatara, A. A. S.
(2016). Demokrasi Nithing Kritik Terhadap Konsep Dan Praktek Cyberdemocracy. Demokrasi
Digital, 22(October). Google Scholar
Hariyadi, A., Hawa,
M., Sutrimah, S., Sofwani, S. A., & Yuliani, E. (2020). Pelatihan Manajemen
Pengelolaan Administrasi Menggunakan Metode Demonstrasi Di Wotsogo Jatirogo
Tuban. InEJ: Indonesian Engagement Journal.
https://doi.org/10.21154/inej.v1i2.2333 Google Scholar
Hasbiansyah, O.
(2008). Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu Sosial
dan Komunikasi. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(1).
https://doi.org/10.29313/mediator.v9i1.1146 Google Scholar
Laku, S. K. (2021).
Ketika Demokrasi Membutuhkan Inklusi. Dekonstruksi. https://doi.org/10.54154/dekonstruksi.v4i01.70 Google Scholar
Latif Ruslan, A.
(2020). Peranan Generasi Muda Dimasa Pademi Covid19 (The Role of the Younger
Generation in the Era of COVID-19). SSRN Electronic Journal.
https://doi.org/10.2139/ssrn.3634372 Google Scholar
Lederach, A. J. (2020).
Youth provoking peace: an intersectional approach to territorial peacebuilding
in Colombia. Peacebuilding, 8(2).
https://doi.org/10.1080/21647259.2019.1616959 Google Scholar
Lepold, K. (2013).
Sally Haslanger: Resisting Reality: Social Construction and Social Critique. Zeitschrift
F�r Philosophische Literatur. https://doi.org/10.21827/zfphl.1.1.35304 Google Scholar
Mccormack-George,
D. (2021). Philip Pettit�s Republicanism and Labour Law: A Defence. International
Journal of Comparative Labour Law and Industrial Relations.
https://doi.org/10.54648/ijcl2021019 Google Scholar
Mietzner, M.
(2021). Sources of resistance to democratic decline: Indonesian civil society
and its trials. Democratization, 28(1).
https://doi.org/10.1080/13510347.2020.1796649 Google Scholar
Noor, S. Y.,
Auliyah, N., & Ngabito, M. (2019). Pemberdayaan Pemuda Desa Tunggulo
Kecamatan Limboto Barat Melalui Budidaya Ikan Gabus (Channa Striata). JPM17:
Jurnal Pengabdian Masyarakat. https://doi.org/10.30996/jpm17.v4i1.1990 Google Scholar
Pedrazzani, A.
(2017). Wasting or saving time? How government and opposition parties use time
during legislative debates. Evidence from the Italian case. Journal of
Legislative Studies, 23(3).
https://doi.org/10.1080/13572334.2017.1361206 Google Scholar
Pickvance, K.
(1998). Democracy and grassroots opposition in Eastern Europe: Hungary and
Russia compared. Sociological Review, 46(2).
https://doi.org/10.1111/1467-954X.00116 Google Scholar
Power, T. P.
(2018). Jokowi�s authoritarian turn and Indonesia�s democratic decline. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, 54(3).
https://doi.org/10.1080/00074918.2018.1549918 Google Scholar
Pusat, P. (2009).
Undang Undang tentang Kepemudaan. Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun 2009.
Robet, R. (2019).
Democracy for sale: elections, clientelism and the state in Indonesia, by
Edward Aspinall & Ward Berenschot. Asian Studies Review, 43(3).
https://doi.org/10.1080/10357823.2019.1636476 Google Scholar
Sugiyono. (2016). Memahami
Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Suwandi, I. K.,
& Sari, I. P. (2017). Analisis Karakter Nasionalisme Pada Buku Teks
Kurikulum 2013 Edisi Revisi 2016 Kelas 1 SD. Elementary School, 4(2). Google Scholar
The Economist
Intelligence Unit. (2009). E-readiness rankings 2009 The usage imperative. The
Economist Intelligence Unit Limited.
Tuhuteru, L.
(2017). Peran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Peningkatan Pembentukan Karakter
Bangsa di Tengah Arus Globalisasi. Prosiding Konferensi Nasional
Kewarganegaraan III, November. Google Scholar
Vieten, U. M. (2014).
Revisiting Iris Marion young on normalisation, inclusion and democracy. In Revisiting
Iris Marion Young on Normalisation, Inclusion and Democracy.
https://doi.org/10.1057/9781137440976 Google Scholar
Wahman, M., &
Boone, C. (2018). Captured countryside? Stability and change in sub-national
support for African Incumbent Parties. In Comparative Politics (Vol. 50,
Issue 2). https://doi.org/10.5129/001041518822263593 Google Scholar
Wahyuni, R. (2018).
Aplikasi Pemilihan Presiden Mahasiswa Stmik Hang Tuah Pekanbaru Berbasis
Android ( E-Voting). Jurnal Ilmu Komputer, 7(1).
https://doi.org/10.33060/jik/2018/vol7.iss1.82 Google Scholar
Wheatley, S.
(2003). Deliberative Democracy and Minorities. European Journal of
International Law. https://doi.org/10.1093/ejil/14.3.507 Google Scholar
Young, I. M.
(2003). Inclusion and Democracy. In Inclusion and Democracy.
https://doi.org/10.1093/0198297556.001.0001 Google Scholar
Young, I. M.
(2006). Representa��o pol�tica, identidade e minorias. Lua Nova.
https://doi.org/10.1590/S0102-64452006000200006 Google Scholar
Copyright holder: Apriya Maharani Rustandi, Karim Suryadi (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |