Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

PENERAPAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM DALAM PERKARA PERMOHONAN PEMBERIAN IZIN POLIGAMI

 

Emilka Nuradanta, Febby Mutiara Nelson

Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Prinsip audi et alteram partem merupakan prinsip dalam Hukum acara perdata yang hakikatnya bermakna hakim harus mendengarkan kedua belah pihak yang berperkara di dalam persidangan berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Isu hukum yang diangkat dalam tulisan ini adalah penerapan asas audi et alteram partem dalam perkara perdata terkait permohonan pemberian izin poligami. Berjenis penelitian hukum Normatif, dan akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil pembahasan menunjukan bahwa dalam praktiknya penerapan asas audi et alteram partem ini belum terlaksana dengan baik dikarenakan masih ditemukan dalam peradilan perkara perdata tidak berimbangnya pertimbangan hakim terkait pernyataan yang diberikan oleh kedua belah pihak dalam memutus suatu perkara. Adanya putusan yang tidak menerapkan atau mengesampingkan asas audi et alteram partem ini antara lain, keterangan salah satu pihak tidak dipertimbangkan dalam putusan bahkan dikesampingkan (tidak didengar) dan hal ini merupakan kewenangan hakim.

 

Kata Kunci: perdata; asas audi et alteram partem; poligami

 

Abstract

The principle of audi et alteram partem is a principle in civil procedural law which essentially means that judges must listen to both parties in court based on Article 4 paragraph (1) of Law Number 48 Year 2009 concerning Judicial Power. The legal issue raised in this paper is the application of the principle of audi et alteram partem in civil cases related to applications for granting polygamy permits. This type of research is normative legal research, and will be analyzed using a statutory approach and a conceptual approach. The results of the discussion show that in practice the application of the principle of audi et alteram partem has not been carried out properly because it is still found in civil court cases that the judges' considerations are not balanced regarding the statements given by both parties in deciding a case. The existence of a decision that does not apply or overrides the principle of audi et alteram partem, among others, the statement of one party is not considered in the decision and is even set aside (not heard) and this is the authority of the judge.

 

Keywords: civil; audi et alteram partem; polygamy

 

Pendahuluan

Terdapat suatu fenomena ketidakadilan saat ini diakibatkan dari adanya suatu putusan perkara perdata yang kurang mencerminkan keseimbangan serta keadilan bagi para pihak yang berperkara di pengadilan, hal ini tentu saja dapat mencederai keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak. Asas audi et alteram partem sendiri merupakan asas dalam hukum acara perdata yang mempunyai makna bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya (Mertokusumo, 2009).

Asas Audi Et Alteram Partem sendiri belum diatur secara khusus dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, akan tetapi dalam peraturan hukum acara perdata, HIR atau RBG antara lain Pasal 121 ayat (1) dan (2) HIR (145 RBG) termuat/ tersirat secara samar atau kabur. Asas ini diimplementasikan pada proses perkara perdata, mulai dari perkara masuk sampai dengan pelaksanaan putusan. Namun asas ini dapat juga diterapkan pada perkara lain, seperti perkara judicial review di Mahkamah Agung yang terakomodir pada pemberian kesempatan untuk menyampaikan pendapat para pihak yang berperkara yaitu Termohon sebagai pembuat peraturan perundangan dibawah UU dan Pemohon sebagai pelaksana UU (Hidayat, 2019).

Asas Audi Et Alteram Partem adalah salah satu asas yang ada di dalam proses pemeriksaan perkara di dalam persidangan, Audi Et Alteram Partem dalam tradisi Anglo Saxon dapat disamakan maknanya dengan Nemo Inauditus Condemmnari Debet Si Non Sit Contumax, yang bermakna bahwa sesorang tidak dapat dihukum sebelum orang tersebut diberi kesempatan untuk didengar keteranganya, pandanganya, pengakuanya, bantahanya, pembuktianya dan melakukan pembelaan diri kecuali memang orang tersebut enggan untuk memberikan pernyataan dan pembelaan (Asnawi, 2016). Asas ini memiliki dua aspek, aspek yang pertama adalah bahwa asas ini mengakui hak seseorang untuk membela diri, dan adanya jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Undang-Undang mengenai pengakuan tentang kesamaan kedududkan para pihak. Maksudnya, bahwa para pihak yang bersengketa haruslah diberi kesempatan yang sama untuk mempertahankan hak atau kepentinganya (Almitra, 2013).

Dalam penyelesaian perkara melalui pengadilan, pembuktian adalah hal yang paling berpengaruh dan penting untuk hakim memberikan dasar-dasar dalam pemutusan suatu perkara. Apabila hal pembuktian tersebut dihubungkan dengan asas audi et alteram partem dalam hukum acara perdata, maka hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai keterangan yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Menyangkut hal pembuktian tersebut, dapat diartikan juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Hakim wajib menerapkan asas audi et alteram partem dalam hal pembuktian, karena pembuktian adalah kunci utama hakim dalam membuat putusan (Mertokusumo, 2009).

Tidak sedikit kurangnya penerapan terhadap asas audi et alteram partem terjadi dalam suatu persidangan. Salah satunya dalam persidangan perkara perdata yang memerlukan penerapan Asas audi et alteram partem yaitu dalam permohonan pemberian izin poligami. Seorang suami yang hendak melakukan poligami tidak dapat begitu saja melakukan poligami, melainkan harus terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Bagi yang beraga Islam, perkawinan poligami yang di lakukan tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum menurut Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam.

Walaupun pada dasarnya permohonan (gugatan voluntair) yang diatur ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (�UU 14/1970�) mempunyai karakteristik yang berbeda dengan halnya gugatan yaitu;

1.     Masalah yang diajukan bersifat sepihak saja;

2.     Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dan tanpa pihak lain;

3.     Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak.

4.     Keputusan hakim mengikat terhadap semua orang.

5.     Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon.

Meskipun UU 14/1970 tersebut telah diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan permohonan. Hal-hal yang disebutkan mengenai karakteristik sebuah permohonan ini pula yang memungkinkan memberikan ruang untuk terjadinya kealpaan penerapan Asas audi et alteram partem dalam persidangan dan pemberian putusan.

Dalam mengajukan permohonan pemberian izin poligami baik pemohon maupun termohon sudah seharusnya mempunyai hak yang sama dimuka persidangan untuk mendalilkan keinginan, mengutarakan keberatannya serta memperjuangkan hak-haknya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Disinilah diperlukannya Asas audi et alteram partem untuk diterapkan sehingga menhindarkan hakim dari kesewenang-wenangan (abusive act) dalam mengadili suatu perkara.

Akan tetapi tidak sedikit pelanggaran terhadap asas audi et alteram partem tersebut terjadi. Salah satunya yaitu permohonan pemberian izin poligami yang terjadi di Pengadilan Agama Rembang (Putusan Nomor 996/ Pdt.G/2018/PA.Rbg) dimana pernyataan keberatan yang diutarakan oleh Termohon dalam perkara tersebut tidak di ikut sertakan dalam pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Bahwa sudah seharusnya berdasarkan asas audi et alteram partem hakim memberi kesempatan yang sama dalam mempertimbangkan keinginan-keinginan yang diajukan baik yang diajukan Pemohon maupun Termohon secara adil.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus normatif berupa produk perilaku hukum, oleh karena itu digunakan pendekatan undang-undang (Statue Approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). Pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Sehingga penelitian hukum normatif berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan sejarah hukum (kadir Muhammad, 2004). Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. Istilah pendekatan penelitian dengan metode pendekatan undang- undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani (Marzuki & SH, 2021).

 

Hasil Dan Pembahasan

A.    Permohonan Pemberian Izin Poligami Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan Yang Berlaku

Poligami adalah seorang suami yang beristri lebih dari saru orang. Islam memperbolehkan seorang laki-laki untuk menikah lebih dari sekali, tetapi dengan syarat laki-laki tersebut dapat berlaku adil bagi semua isteri-isterinya. Namun, apabila dikhawatirkan tidak dapat berlau adil, maka cukup dengan satu isteri saja (Jamaluddin & Nanda, 2016). Poligami merupakan terjemahan dari kata ta�addut al-zawjai yaitu merupakan kebolehan suami untuk beristeri lebih dari seorang dalam waktu bersamaan (Musawwamah, 2012).

Alasan Poligami Didalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 menyatakan bahwa �Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari�ah. Pada penjelasan pasal 49 alinea kedua dijelaskan pula bahwa yang dimaksud dengan �antara orang-orang yang beragama Islam� adalah �termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini�. Kemudian pada penjelasan huruf a pasal ini dinyatakan bahwa yang dimaksud �perkawinan� adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Unadng-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari�ah, yang antara lain adalah �izin beristeri lebih dari seorang� (Ardhian, Anugrah, & Bima, 2015).

Adapun yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu : Pasal 4 ayat (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan Pasal 4 ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

1.     Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

2.     Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3.     Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1.     Adanya persetujuan dari istri / istri-istri;

2.     Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;

3.     Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Izin berpoligami oleh Pengadilan Agama dapat diberikan apabila alasan suami telah memenuhi alasan-alasan alternatif sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan syarat-syarat komulatif yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana tersebut di atas. Adapun ketentuan-ketentuan yuridis formil yang menjadi dasar hukum pemberian izin poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, juncto Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, juncto Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) juncto Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, menyatakan bahwa �Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki pihak-pihak yang bersangkutan�.

Ketentuan-ketentuan diatas secara jelas menyatakan bahwa untuk berpoligami harus melalui izin Pengadilan Agama, dan apabila dilakukan diluar izin Pengadilan Agama, maka perkawinannya itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Kedudukan izin untuk poligami menurut ketentuan diatas adalah wajib, apabila dilakukan tanpa mendapatkan izin, maka perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum, dengan demikian perkawinan itu dianggap tidak sah karena dianggap tidak pernah terjadi. Konsekuensi perkawinan tersebut adalah segala akibat hukum dari hubungan perkawinan itu dianggap tidak ada, seperti anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut, oleh Undang-Undang sesuai dengan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dianggap anak lahir diluar perkawinan sehingga tidak mempunyai hubungan perdata kecuali semata dengan ibunya.

B.    Penerapan Asas Audi Et Alteram Partem Dalam Perkara Permohonan Pemberian Izin Poligami Di Pengadilan Agama Rembang

Dalam hukum acara perdata dikenal adanya Asas Audi Et Alteram Partem yang berarti bahwa kedua belah pihak yang berperkara didalam hukum acara perdata harus diperlakukan sama, tidak memihak. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Demikian pula para pihak masing-masing diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya dam didengar serta hakim seyogyanya tidak boleh hanya menerima keterangan salah satu pihak seperti yang dimuat dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Namun penulis melihat dari fenomena yang terjadi dalam persidangan perkara perdata yang terjadi di Pengadilan Agama Rembang, dimana pada putusan perkara permohonan pemberian izin poligami dirasa tidak menerapkan Asas Audi Et Alteram Partem. Hal ini disebabkan pada Putusan Nomor 996/ Pdt.G/2018/PA.Rbg Pemohon (suami) yang mengajukan permohonan permberian izin poligami memberikan alasan-alasan terkait permohonannya tersebut. Bahwa menurut Pemohon, ketidak-harmonisan rumah tangga tersebut disebabkan masalah hubungan biologis/hubungan seksual antara Pemohon dengan Termohon. Pemohon mempunyai Hasrat biologis sangat kuat, 2 (dua) kali dalam sehari, karena hasrat melakukan hubungan seksual Pemohon sangat besar, Pemohon lalu secara baik-baik memberi pengertian dan meminta izin kepada Termohon untuk menikah lagi (poligami), namun niat baik Pemohon tersebut tidak disetujui oleh Termohon, sedangkan Termohon tidak kuat dan kurang ikhlas melayani hubungan seksual dengan Pemohon. Lalu Termohon (isteri) dalam hal ini menyampaikan keberatannya terhadap permohonan ijin poligami Pemohon, dengan alasan karena menurut Termohon bahwa walaupun Pemohon minta berhubungan suami isteri sehari 2 kali bahkan lebih dari 2 kali, namun Termohon masih sanggup untuk melayani Pemohon asal pada saat anak-anak sudah pada tidur tidak dalam keadaan bangun. Dalam pertimbangan Putusan Nomor 996/ Pdt.G/2018/PA.Rbg mengesampingkan pernyataan keberatan dari salah satu pihak yaitu Termohon sebagai salah satu unsur pembuktian. Bahwa terhadap keberatan Termohon tersebut menurut Majelis Hakim, Termohon tidak dapat mebuktikan kebenaran dalil-dalil bantahan Termohon, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil-dalil keberatan Termohon tidaklah beralasan dan berdasarkan hukum sehingga harus dinyatakan ditolak. Dan mengabulkan permohonan pemberian izin poligami Pemohon.

Merujuk pada ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia terkait permohonan untuk berpoligami, sudah seharusnya memenuhi segala persyaratan poligami yang telah diatur dalam Undang-Undang. Dasar hukum poligami dapat di jumpai dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan yang mengatur secara jelas bahwa: Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bagi yang beragama Islam, dasar hukum poligami diatur pula dalam Pasal 56 ayat (1) KHI suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Syarat poligami di Indonesia diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan yaitu:

Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

1.     istri tidak dapat memnjalankan kewajibannya sebagai isteri;

2.     istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3.     istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan yaitu:

1)     Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:

a.      adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b.     adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c.      adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

2)     Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Dalam putusan tersebut dengan jelas termohon menolak memberikan izin untuk Pemohon melakukan poligami hal ini sesuai dengan ketentuan syarat-syarat berpoligami Pasal 5 ayat (1) huruf b UU Perkawinan dan Pasal 41 (b) PP. No. 9/1975 yaitu: �ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, yang harus dinyatakan di depan sidang�. Dimana persetujuan isteri dalam permohonan pemberian izin poligami merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dan menjadi pertimbangan hakim dalam suatu perkara permohonan pemberian izin poligami. Hal ini dapat dikesampingkan hanya bilamana isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU No.1/1974 tentang perkawinan.

Dan dalam keberatannya Termohon juga turut menyanggah terkait ketidakmampuannya untuk menjalankan kewajibannya sebagai istri, yaitu memenuhi Hasrat seksual suami hanya saja dengan persyaratan tidak ketika anak-anaknya dalam keadaan terbangun. Maka permohonan pemohon tidak memenuhi pula ketentuan persyaratan izin berpoligami Pasal 4 ayat (2) UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Sehingga pertimbangan Hakim yang menyatakan bahwa Termohon tidak dapat mengajukan bukti-bukti baik tertulis maupun bukti saksi-saksi, sehingga Hakim berpendapat bahwa Termohon tidak dapat mebuktikan kebenaran dalil-dalil bantahan Termohon, sehingga Hakim berpendapat bahwa dalil-dalil keberatan Termohon tidaklah beralasan dan sepatutnya ditolak adalah bukti bahwa Pengadilan Agama Rembang tidak menerapkan Asas Audi Et Alteram Partem dalam persidangannya. Alasan utama permohonan pemberian izin poligami didasari oleh pengakuan Pemohon yang merasa mempunyai �Hasrat Seksual yang besar� dan merasa harus melakukan poligami untuk dapat memenuhi hasratnya tersebut bukanlah hal yang dapat dibenarkan. Hasrat seksual yang besar atau Hiperseksual yang dialami Pemohon sesuai yang tercantum dalam berkas putusan tersebut bukan merupakan suatu alasan sebagai syarat sah mengajukan permohonan pemberian izin poligami dan tidak ada yang mengaturnya dalam perundang-undangan. Terlebih Diagnosa terkait Hiperseksual ini adalah �self diagnose� bukan merupakan diagnosa tenaga profesional. Namun alasan-alasan yang tidak mempunyai dasar hukum inilah yang di pertimbangkan oleh Hakim di Pengadilan Agama Rembang dan mengesampingkan alasan keberatan Termohon yang justru memenuhi ketentuan Undang-Undang.

Dapat terlihat bahwa hakikat audi et alteram partem terimplementasi dalam tahap �jawab menjawab� dalam pembuktian dan pembuatan kesimpulan oleh masing-masing pihak sehingga perkara yang disengketakan dapat dinyatakan benar-benar terjadi. Pada akhir proses persidanganadalahputusan hakimyangberdasarkanprinsip audi et alteram partem setelah mempertimbangkan dan menilai alat-alat bukti daripara pihak.

Disinilah terlihat tidak adanya penerapan Asas Audi Et Alteram Partem dalam persidangan perkara perdata permohonan pemberian izin poligami di Pengadilan Agama Rembang. Dimana Hakim tidak memberikan perlakuan yang sama terhadap Pemohon dan Termohon untuk sama-sama di dengar dan dipertimbangkan segala alasan-alasan yang diberikan di muka pengadilan. Tentunya dalam pelaksanaan hukum acara perdata ini belum berjalan sesuai dengan aturan yang diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama.

Tujuan dari asas hakim harus mendengarkan kedua belah pihak adalah untuk mendengarkan keterangan-keterangan dari masing-masing pihak atas peristiwa hukum yang telah terjadi, yang tentu dari keterangan-keterangan para pihak memudahkan hakim untuk memeriksa dan mengadili dalam proses persidangan guna menggali nilai-nilai kebenaran dari perkara yang diajukan oleh pihak yang dirugikan. Penerapan Asas Audi Et Alteram Partem jika diterapkan dengan efektif tentu sangat menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa atau berselisih, terutama seperti perkara diatas, karena dengan terwujudnya hal tersebut maka lembaga peradilan secara tidak langsung juga dapat membantu dalam mewujudkan penerapan asas-asas dalam hukum perdata yang tujuan yaitu memberikan keadilan.

 

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia tidak melarang dilangsungkannya perkawinan poligami, namun ada ketentuan-ketentuan yang perlu di perhatikan dan ditaati dalam hal melakukan perkawinan poligami. Sehingga prilaku poligami tidak serta merta dapat dilakukan secara bebas dengan alasan-alasan yang tidak sesauai peraturan yang berlaku.

Penerapan asas hakim harus mendengarkan kedua belah pihak Audi Et Alteram Partem di Pengadilan Agama Rembang masih belum dapat terwujudkan dapat dilihat dalam proses penyelesaian perkara permohonan pemberian izin poligami yang berdasarkan Putusan Nomor 996/ Pdt.G/2018/PA.Rbg yakni dalam putusan tersebut keberpihakan hakim dalam mempertimbangkan segala pernyataan yang diajukan dimuka pengadilan oleh Pemohon lebih dipertimbangkan daripada alasan keberatan Termohon yang pada dasarnya telah sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan.

Berlandaskan prinsip asas audi et alteram partem pada perkara perdata diatas, sudah seharusnya asas tersebut lebih terakomodir dalam Undang-Undang bisa dengan menambahkan pasal dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman atau menyempurnakan pasal-pasal yang berkaitan dengan prinsip audi et alteram partem. Dan tentu perlunya peningkatan dalam penerapan dan pengawasan asas audi et alteram partem dipengadilan.

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

Almitra, Iffah. (2013). Audi Et Alteram Partem Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum Dan Herziene Inlandsche Reglement (HIR). Verstek, 1(3). Google Scholar

 

Ardhian, Reza Fitra, Anugrah, Satrio, & Bima, Setyawan. (2015). Poligami Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia Serta Urgensi Pemberian Izin Poligam Di Pengadilan Agama. Privat Law, 3(2), 164461. Google Scholar

 

Asnawi, M. Natsir. (2016). Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Jakarta: Ull Pres. Google Scholar

 

Hidayat, Asep Syarifuddin. (2019). Penerapan asas audi alteram et partem pada perkara judicial review di Mahkamah Agung. Mizan: Journal of Islamic Law, 3(1), 37�50. Google Scholar

 

Jamaluddin, Jamaluddin, & Nanda, Amalia. (2016). Buku Ajar Hukum Perkawinan. Unimal Press. Google Scholar

 

Kadir Muhammad, Abdul. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

 

Marzuki, Peter Mahmud, & SH, M. S. (2021). Pengantar ilmu hukum. Prenada Media. Google Scholar

 

Mertokusumo, Sudikno. (2009). Hukum acara perdata Indonesia. Google Scholar

 

Musawwamah, Siti. (2012). Keterlibatan Perempuan pada Penyelesaian Kasus KDRT di Pengadilan Agama. AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 7(1), 52�81. Google Scholar

 

Copyright holder:

Emilka Nuradanta, Febby Mutiara Nelson (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: