Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
KEWENANGAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN SURAT KETERANGAN WARIS UNTUK WARGA NEGARA INDONESIA
Rizky Adi Nugraha, Febby Mutiara Nelson
Program
Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Notaris sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh negara untuk membuat
bukti berupa perbuatan otentik, dengan berlakunya UU Administrasi Kependudukan,
Notaris memiliki peran yang sangat penting dalam pembuatan sertifikat warisan.
Peran notaris dalam distribusi hak waris memiliki peran penting dalam
menentukan kehendak khusus, di mana orang yang mewariskan kepada satu atau
lebih orang memberikan beberapa barangnya dari jenis tertentu. Warisan Islam
tidak diberikan kepada notaris. Notaris memiliki kewenangan dalam pembagian
warisan Islam tetapi yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan pengakuan
dan pemutusan hukum adalah pengadilan. Notaris dalam pembagian warisan berperan
dalam pembuatan Akta Pernyataan Warisan dan Sertifikat Warisan. Dalam hal
terjadi perselisihan, Notaris dapat membuat akta perdamaian dan/atau perjanjian
untuk membebaskan klaim tersebut.
Kata
Kunci: otoritas
notaris dan sertifikat warisan
Abstract
Notaries as
officials who are authorized by the state to make evidence in the form of
authentic deeds, with the enactment of the Population Administration Law,
Notaries have a very important role in making certificates of inheritance. The
role of a notary in the distribution of inheritance rights has an important role
in determining a special will, in which the person who bequeaths to one or more
people gives some of his goods of a certain type. Islamic inheritance is not
assigned to a notary. Notaries have authority in the distribution of Islamic
inheritance but who have full authority to determine legal recognition and
termination is the court. Notaries in the distribution of inheritance play a
role in making the Deed of Declaration of Inheritance and Certificate of
Inheritance. In the event of a dispute, the Notary can make a deed of peace
and/or an agreement to release the claim.
Keywords: notary authority
and certificate of heritage
Pendahuluan
Manusia dalam kehidupannya akan mengalami peristiwa hukum yang disebut kematian, dimana peristiwa hukum ini akan
menimbulkan suatu akibat hukum. Akibat
hukum yang dimaksud antara lain adalah pengaturan mengenai pembagian harta warisan dari orang yang meninggal dunia tersebut atau yang disebut pewaris (Labetubun & Fataruba, 2020).
�Akibat hukum ini didahului
dengan pencatatan sipil dalam bentuk
akta kematian dari seorang yang meninggal baik kematian yang alamiah maupun dalam peristiwa
kematian yang disangka secara hukum terjadi
kematian, akta kematian inilah yang nantinya akan dijadikan
dasar untuk membuat surat keterangan
waris yang digunakan untuk memisahkan dan membagi harta warisan
(Sarmadi & al Amruzi, 2012).
Surat Keterangan Waris merupakan dokumen yang sangat penting dan dibutuhkan oleh para ahli-waris pada umumnya (MK, 2017).
Upaya untuk membuktikan bahwa seseorang merupakan ahli waris dari pewaris
dalam proses pendaftaran baliknama waris atas tanah, maka
berdasarkan pasal 111 ayat 1 C point 4 Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No 3/1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa surat tanda bukti
hak yang bentuknya terdiri dari salah satunya adalah Surat Keterangan Waris. Pelaksanaan pencatatan kematian dan pembuatan surat keterangan waris tersebut sangat membutuhkan peran dan fungsi Pejabat Catatan Sipil dan Notaris.
Notaris sebagai pejabat yang diberi kewenangan oleh negara untuk membuat alat bukti
dalam bentuk akta otentik, dengan
berlakunya Undang-Undang Administrasi Kependudukan Notaris memiliki peran yang sangat penting dalam pembuatan surat keterangan waris (Mertokusumo, 2009).
Dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, disebutkan bahwa Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana maksud dalam undang-undang ini. Pejabat umum
adalah orang yang menjalankan
sebagian fungsi publik dari negara, khususnya di bidang hukum perdata. Definisi yang diberikan oleh UUJN
ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Notaris. Seorang Notaris melaksanakan tugas jabatannya semata-mata bukan hanya untuk
kepentingan diri pribadi Notaris itu sendiri, akan
tetapi juga untuk kepentingan masyarakat umum (Diana, Vera, Mertha, & Artha, 2017).
Notaris berwenang membuat surat keterangan waris untuk masyarakat
yang masuk dalam golongan Timur Asing. Namun surat keterangan
waris belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, maka
perlu adanya unifikasi hukum yang mengatur tentang bentuk format surat keterangan waris oleh notaris. Dengan kewenangan yang ada pada notaris dalam Pasal
15 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, maka notaris atas
permintaan para pihak yaitu para ahli waris dapat membuatkan
bukti sebagai ahli waris dan akta pembagian hak waris dalam
bentuk format partij akta. Hak waris
pada dasarnya merupakan
salah satu bagian dari hukum perdata
secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum
kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
kehidupan manusia, bahwa setiap manusia
akan mengalami peristiwa yang merupakan hukum yang lazimnya disebut dengan meninggal dunia (Suma, 2013). Apabila ada peristiwa
hukum, yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu
bagaimana tentang pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia (Kasim, 2012).
Berdasarkan hal tersebut maka
dapat diketahui kewenangan Notaris mengenai pembuatan surat keterangan waris untuk warga
negara Indonesia perspektif Pasal
106 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Sebagaimana Diubah Dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan dalam penjelasan sebagai berikut: �Surat Keterangan Waris adalah surat
yang dijadikan dasar adanya hak bagi
pihak ahli waris untuk melakukan
perbuatan hukum atas suatu warisan
yang ditinggalkan pewaris�.
Pada prinsipnya kewarisan terjadi didahului dengan adanya kematian, lalu orang yang meninggal tersebut meninggalkan harta warisan yang akan dibagikan kepada ahli warisnya.
Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 830 Bab XII KUHPerdata yang isinya bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Pengaturan mengenai pemindahan kekayaan (warisan) yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya.
Baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak
ketiga berdasarkan hukum waris barat diatur dalam Burgerlijk
Wetboek (BW) atau KUHPerdata (Ali, 2008).
Dengan adanya surat keterangan waris maka ahli
waris dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta peninggalan pewaris secara bersama-sama, baik mengenai tindakan kepengurusan maupun tindakan kepemilikan atas warisan tersebut
(Suparman, 2014),
dalam hal ini adalah berupa
barang-barang harta peninggalan pewaris berupa tanah yang apabila ingin dilakukan
balik nama dapat mengajukan permohonan ke Kantor Pertanahan setempat yaitu dengan cara
(Harun, 2010):
1. Melakukan pendaftaran peralihan hak (balik nama)
untuk tanah yang sudah terdaftar (bersertifikat).
2. Melakukan permohonan hak baru (sertifikat) atas tanah yang belum terdaftar seperti misalnya tanah girik, tanah
bekas hak barat, tanah negara.
Pada tanggal 8 Juni 1997 diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini maka dibuat Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 42 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah memerintahkan adanya surat keterangan
waris sebagai dasar peralihan hak karena pewarisan,
yang pada intinya bahwa jika penerima waris
hanya satu orang, maka pembuktian peralihan haknya adalah surat tanda
bukti sebagai ahli waris.
Mengenai kewenangan Notaris sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 15 UUJN adalah membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan,
untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam kaitannya dengan waris, secara
khusus notaris juga mempunyai wewenang untuk membuat Surat Keterangan Waris. Pembuktian kedudukan seseorang sebagai ahli-waris, diperlukan suatu dokumen yang menjabarkan ketentuan hukum waris tentang
hal itu, yang dapat dipakai sebagai
pegangan oleh para ahliwaris
maupun pejabat-pejabat,
yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris (Salman, 1993).
Metode Penelitian
Sesuai dengan judul dan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian
ini dan supaya dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan dengan
penelitian yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif). Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka (Soekanto, 2014).
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian
yuridis normatif (metode penelitian hukum normatif). Metode penelitian yuridis normatif adalah penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan
pustaka atau data sekunder belaka. Dengan menggunakan metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu
yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar
dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus). Dengan demikian objek yang dianalisis dengan pendekatan yang bersifat kualitatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2019).
Dalam hal ini mengenai kewenangan
notaris dalam pembuatan surat keterangan waris untuk warga negara indonesia
Hasil dan Pembahasan
Jabatan notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud
untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum. Notaris berperan melaksanakan sebagaian tugas dalam bidang
hukum keperdataan, dan notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik (Herman, 2010).
Menurut teori kewenangan atribusi yang merupakan merupakan pemeberian wewenang yang baru kepada suatu
jabatan berdasarkan suatu peraturan perundangundangan atau aturan hukum. Melalui
teori kewenangan atribusi ini notaris
memperoleh sumber kewenangan dari UUJN. Berdasarkan UUJN Notaris sebagai Pejabat Umum memperoleh wewenang membuat akta dalam ruang
lingkup keperdataan. Dari ketentuan pasal 15 Ayat (1) (2)
dan (3) UUJN diatas bahwa kewenangan notaris di bidang keperdataan adalah sangat luas. Untuk mengetahui dasar hukum notaris
membuat surat keterangan waris yang terdapat dalam Pasal 15 UUJN maka perlunya interpretasi dalam menelusurinya, melalui Metode interpretasi sistematis yaitu menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang
lain atau dengan keseluruhan sestem hukum (Mertokusumo, 2013).
Dengan menggunakan metode interpretasi sistematis maka dapat dianalisi
sebagai berikut: Pasal 1870 KUHPerdata menyebutkan: �Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya atupun bagi orang-orang yang mendapatkan
hak dari mereka, suatu akta
otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya� Menurut Pasal 1870 KUHPerdata bahwa suatu akta
otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya, dalam hal kaitanya dengan
ahli waris dalam surat keterangan
warisnya dibuat dalam bentuk otentik,
selanjutnya dihubungkan mengenai akta otentik
dalam Pasal 1868 KUHPerdata menyebutkan �Suatu akta otentik
adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undangundang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta
itu dibuat� maksud dari pasal
1868 KUHPerdata mengandung
3 unsur, yaitu:
a. Di
dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang.
b. Dibuat
oleh dan di hadapan pejabat
umum.
c. Akta
yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk dan di tempat dimana ata itu
dibuat.
Salah satu unsur yaitu dibuat
oleh dan dihadapan pejabat umum yang merupakan notaris, dalam Pasal 1 UUJN menyebutkan �Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini� mengenai kewenangan
notaris tersebut diatur dalam Pasal
15 ayat 1,2 dan 3 UUJN yang menyebutkan:
Ayat 1 : Notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin
kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan
akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.
Pejabat umum adalah orang yang menjalankan sebagian fungsi publik dari
negara, khususnya di bidang
hukum perdata. Definisi yang diberikan oleh UUJN
ini merujuk pada tugas dan wewenang yang dijalankan oleh Notaris (Rasyid, 1999).
Seorang Notaris melaksanakan tugas jabatannya semata-mata bukan hanya untuk
kepentingan diri pribadi Notaris itu sendiri, akan
tetapi juga untuk kepentingan masyarakat umum (Diana et al., 2017).
Jadi dapat dikatakan bahwa kewenangan Notaris sebagaimana yang dinyatakan uaraian tersebut adalah membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan,
untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam kaitannya dengan waris, secara
khusus notaris juga mempunyai wewenang untuk membuat Surat Keterangan Waris.Pembuktian kedudukan seseorang sebagai ahli-waris, diperlukan suatu dokumen yang menjabarkan ketentuan hukum waris tentang hal
itu, yang dapat dipakai sebagai pegangan oleh para ahliwaris maupun pejabat-pejabat, yang berkaitan dengan pelaksanaan hukum waris.Surat seperti
itu disebut Surat Keterangan Waris. Surat Keterangan Waris merupakan dokumen yang sangat penting dan dibutuhkan oleh para ahli-waris pada umumnya.
Melalui hubungan antara keseluruhan peraturan-peraturan
yang diuraikan secara sistematis maka surat keterangan waris dapat dibuat
dalam bentuk otentik sehingga jabatan notaris sebagai pejabat umum berwenang dalam pembuatan surat keterangan waris dalam bentuk
akta otentik (Adjie, 2011).
Pembagian waris dengan menggunakan akta notaris adalah
sebagai suatu alternatif cara pembagian warisan selain menggunakan institusi pengadilan yang mana biasa dipergunakan oleh masyarakat Indonesia di dalam pembagian warisan. Sama halnya dengan putusan
pengadilan, akta yang dibuat notaris bertujuan sebagai penjelas pembagian warisan untuk mengantisipasi
masalah-masalah yang mungkin
saja muncul di depan.
Berdasarkan hukum positif Indonesia ada beberapa cara
dalam mendapatkan penetapan pembagian harta warisan. Pertama sebagaimana telah disebutkan yaitu melalui putusan
pengadilan yang kedua adalah melalui notaris lewat pembagian
akta pemisahan dan pembagian waris. Keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama sehingga bila
satu keluarga sudah mempunyai satu saja atau
menggunakan salah satu cara saja maka
kekuatan hukumnya sudah kuat. Kedua
cara itu memiliki kekuatan hukum yang sama-sama kuat (Rasyid, 1999).
Pasal
15 ayat (1) UUJN menjelaskan
bahwa salah satu kewenangan Notaris, yaitu membuat akta
secara umum, dengan batasan sepanjang: (a) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh
undang-undang. (b) Masyarakat akta
yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan.
(c) Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat atau
dikehendaki oleh yang berkepentingan.
(d) Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat,
hal ini sesuai
dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris. (e) Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal
ini Notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. Dalam hal
ini, Notaris sebagai salah satu pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta otentik
dan kewenangan lain sebagaimana
telah diamatkan padanya oleh Undang-Undang, maka iapun berperan
terhadap kepentingan setiap warga masyarakat
yang berkepentingan untuk membuat akta, tidak
terlepas dari adanya kepentingan warga muslim yang ingin melakukan pembagian waris.
Kewenangan notaris dalam Pasal
15 dari ayat (1) sampai dengan ayat
(3) UUJN, yang dapat dibagi
menjadi (Vos, 2015):
kewenangan umum notaris terdapat dalam Pasal 15 Ayat 1 UUJN, yang menyebutkan: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai
semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam akta otentik,
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh undangundang.
Kewenangan khusus notaris terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) mengatur mengenai wewenang khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah
tangan dengan mendaftarkan dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar
dalam buku khusus.
c. Membuat copy
dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan
yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya
e. Memberikan penyuluhan hukum sehungan dengan pembuatan akta
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.
g. Membuat akta risalah lelang
Kewenangan notaris yang akan ditentukan kemudian terdapat dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN menyebutkan �Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan�
Dengan menggunakan bentuk format partij akta, maka
akibat hukumnya adalah materi atau
substansi dari akta tersebut menjadi
tanggung jawab para pihak yang menyatakannya atau menerangkannya di hadapan Notaris. Notaris hanya bertanggung
jawab untuk segi formalitasnya dan lahiriah mengenai bentuk akta. Surat keterangan waris pada umumnya dibuat atas permintaan satu atau beberapa
diantara para ahli waris. Sekalipun Surat keterangan waris mendapat pengakuan dalam undang-undang maupun yurisprudensi, namun ternyata tidak ada suatu
ketentuan umum yang mengatur bentuk dan isi Surat keterangan waris. Surat keterangan waris yang dibuat oleh notaris di Indonesia, dibuat dengan mengikuti jejak para notaris seniornya, yang pada gilirannya mengikuti jejak dari para Notaris di Negeri
Belanda.
Pasal
38 Undang-Undang Jabatan Notaris ada disebutkan,
bahwa Verklaring van Erfrecht termasuk dalam kelompok akta yang dikecualikan dari kewajiban pembuatan secara Notaris dalam bentuk
minut. Walaupun seperti sudah disebutkan
diatas, bahwa tidak ada ketentuan
umum yang mengatur tentang Surat keterangan waris, tetapi ternyata
ada suatu undang-undang, yang kebetulan mengandung suatu ketentuan yang mengatur peralihan hak atas
obligasi negara yang terdaftar
dalam buku besar dari pemiliknya
kepada para ahli-warisnya (Wet
op de Grootboek der Nasionale
Schul S) yang dalam pasal
14 ayat (2) UUJN mengatakan,
bahwa untuk itu harus dibuat
suatu surat keterangan waris (Verklaring van Erfrecht),
dalam mana disebutkan pada pokoknya Verklaring van
Erfrecht berisi tentang:
1. Siapa pewarisnya, kapan meninggal dan dimana domisili terakhirnya.
2. Siapa ahli-waris Pewaris dan berapa hak bagian
masing-masing.
3. Ada
tidaknya wasiat dan kalau ada, perlu
ada penyebutannya secara rinci isi
wasiat tersebut.
4. Hubungan kekeluargaan antara Pewaris dan para ahli-waris.
5. Pembatasan-pembatasan kewenangan terhadap para ahli waris kalau
ada.
Pembuatan surat keterangan waris oleh Notaris dengan mendasarkan pada ketentuan Wet op de Grootboek
der Nasionale Schul seperti
itu, walaupun tidak didasarkan atas suatu ketentuan
umum yang secara khusus mengaturnya, tetapi karena telah
dilaksanakan untuk waktu yang lama dan diterima, maka sekarang dapat
dikatakan, bahwa praktek pembuatan Surat keterangan waris seperti itu sudah
menjadi hukum kebiasaan (Adjie, 2012).
Jadi dari suatu ketentuan khusus telah ditarik
menjadi suatu ketentuan umum. Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka surat keterangan
waris yang dibuat oleh Notaris pada umumnya berbentuk pernyataan sepihak dari Notaris,
dengan mendasarkan kepada keterangan-keterangan dan bukti-bukti (dokumen-dokumen)
yang disampaikan atau diperlihatkan kepadanya, berisi data sebagai yang disyaratkan oleh Wet op de Grootboek
der Nasionale Schul tersebut
(Supriadi, 2019).
Kalau dikaji secara cermat, bahwa Surat Keterangan Waris yang selama ini dibuat oleh para Notaris berdasarkan kebiasaan yang tidak ada dasar hukumnya
sama sekali, dengan menggunakan ukuran sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 38 UUJN, maka Surat Keterangan Waris tidak memenuhi syarat untuk disebut
sebagai akta Notaris, tapi hanya
berupa pernyataan Notaris berdasarkan bukti-bukti yang disodorkan kepada Notaris. Bahkan menurut Tan Thong Kie pembuatan surat
keterangan waris oleh para Notaris tidak ada
peraturan perundangundangan
yang mendasarinya (Kie, 2000).
Kesimpulan
Peran notaris dalam pembagian hak waris
memiliki peran penting dalam penetapan
wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih
memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu,
seperti misal segala barang-barangnya
bergerak atau tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil
atas seluruh atau sebagian harta.
Jadi pernyataan waris adalah suatu penetapan
wasiat dengan mana pewaris memberikan kepada seorang/lebih: 1) Beberapa barang tertentu dari harta peninggalan
2) Memberikan barang-barang
dari jenis tertentu 3) Memberikan hak pakai hasil
atas seluruh / sebagian harta peninggalan. Mengenai pembagian harta warisan menurut hukum islam. Pelaksanaannya
dapat dilakukan oleh ahli waris dan didampingi oleh notaris, dengan penjelasan sebagai berikut: Pembagian harta peninggalan (harta warisan) yang dilakukan oleh para
ahli waris (pasal 187 dan 188 kompilasi hukumIislam) umumnya masyarakat membagi sendiri harta peninggalan
pewaris sesuai dengan kehendak dan keiinginannya sendiri. Pembagian semacam ini terkadang menimbulakn
masalah.
Kemungkinan
yang bisa terjadi yaitu unsur subjektifitas,
padahal kesepakatan dan kerelaan para ahli waris yang menjadi acuan dalam pembagian
harta warisan dan pembagian harta peninggalan yang dilaksanakan
oleh para ahli waris dihadpan notaris berupa akta waris.
Kewenangan notaris dalam pembagian waris hanya terbatas
pada waris barat (BW) dan mengapa
pembagian waris islam tidak ditugaskan
kepada notaris. Notaris memiliki kewenangan dalam pembagian waris islam tetapi yang memiliki kewenangan penuh untuk menetapkan
pengakuan dan pemutusan secara hukum adalah
pengadilan. Notaris dalam pembagian warisan berperan dalam pembuatan Akta Pernyataan Waris dan Surat Keterangan Hak Waris. Apabila
terjadi sengketa, Notaris dapat membuatkan
akta-akta perdamaian dan/atau perjanjian pelepasan hak tuntutan.
Adjie,
Habib. (2011). Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris. Refika Aditama. Google Scholar
Adjie,
Habib. (2012). bernas-bernas pemikiran di bidang Notaris dan PPAT.
Mandar Maju. Google Scholar
Ali,
Zainuddin. (2008). Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Google Scholar
Diana,
Purnama, Vera, Putu, Mertha, I. Ketut, & Artha, I. Gede. (2017). Pertanggung
Jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Pemalsuan Surat Oleh Para
Pihak. Udayana University. Google Scholar
Harun,
Arsyad. (2010). Tinjauan Yuridis Surat Keterangan Hak Waris bagi Penduduk di
Indonesia. Bandung: Refika Aditama. Google Scholar
Herman.
(2010). Surat Keterangan Waris Dan Permasalahannya.
Kasim,
Nur Mohamad. (2012). Hukum Islam dan Masalah Kontemporer. Insentif Buku Ajar
(PNBP), 1(502). Google Scholar
Kie,
Tan Thong. (2000). Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris. Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve. Google Scholar
Labetubun,
Muchtar Anshary Hamid, & Fataruba, Sabri. (2020). Implikasi Hukum Putusan
Pengadilan terhadap Pembatalan Perkawinan. Batulis Civil Law Review, 1(1),
54�59. Google Scholar
Mertokusumo,
Sudikno. (2009). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Liberty Yogyakarta.
Google Scholar
Mertokusumo,
Sudikno. (2013). Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi. Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka. Google Scholar
MK,
Anshary. (2017). �Hukum Kewarisan Islam dalam teori dan Praktik.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Rasyid,
Roihan A. (1999). Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem
Hukum Nasional. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Google Scholar
Salman,
R. Otje. (1993). Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris.
Google Scholar
Sarmadi,
A. Sukris, & al Amruzi, M. Fahmi. (2012). Dekonstruksi hukum progresif
ahli waris pengganti dalam Kompilasi hukum Islam. Aswaja Pressindo. Google Scholar
Soekanto,
Soerjono. (2014). Sosiologi suatu pengantar. Google Scholar
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji. (2019). Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Depok: Rajawali Pers. Google Scholar
Suma,
Muhammad Amin. (2013). Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan
Konteks. Rajawali Pers. Google Scholar
Suparman,
Eman. (2014). Hukum Waris Indonesia: Dalam Perseptif Hukum Islam, Adat, dan BW,
Cetakan Keempat, Bandung: PT. Refika Aditama. Google Scholar
Supriadi,
S. H. (2019). Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Sinar
Grafika. Google Scholar
Vos,
Johannes Wilhelmus Maria De. (2015). De Notariele Verklaring Van Erfrecht.
Gouda Quint B.V, Arnhem.
Copyright
holder: Rizky Adi
Nugraha, Febby Mutiara
Nelson (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |