Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
AMNIOINFUSI SEBAGAI TREATMENT ANHIDRAMNION YANG DISEBABKAN OLEH
AGENESIS GINJAL BILATERAL : LAPORAN KASUS SINDROMA
POTTER
Rizka Fadhillah Yusra, Yusrawati
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Anhidramnion adalah
jumlah cairan ketuban yang sangat sedikit dimana pengukuran MVP 2cm
melalui USG. Penyebab tersering dari anhidramnion yang menetap hingga trimester
dua kehamilan adalah agenesis ginjal bilateral. Agenesis ginjal bilateral
sangat erat hubungannya dengan Sindroma Potter. Sindroma Potter merupakan
gambaran dari berkurangnya cairan ketuban terlepas dari apapun penyebabnya.
Penyebab tersering dari kematian bayi baru lahir pada kasus anhidramnion adalah
hipoplasia paru. Amnioinfusi merupakan suatu tindakan penambahan cairan ke
dalam rongga amnion yang diharapkan dapat mengurangi tekanan uterus akibat dari
anhidramnion dan menjaga distensi alveolar untuk meningkatkan pertumbuhan paru
janin. Seorang perempuan 26 tahun G3P1A1H1 gravid 27-28 minggu dirujuk ke
poliklinik fetomaternal RSUP M.Djamil Padang dengan kecurigaan anhidramnion
yang disebabkan oleh agenesis ginjal bilateral. Pada pemeriksaan fisik dan
obstetrik didapatkan dalam batas normal. Pada pemeriksaan USG tidak ditemukan
adanya ketuban sehingga SDP sulit dinilai, tidak terlihat adanya ginjal dan
kandung kemih janin, sehingga diduga ini merupakan suatu kelainan agenesis
ginjal bilateral dan mengarah pada Sindroma Potter. Pasien dilakukan
amnioinfusi untuk mencegah kontraktur dan hipoplasia paru pada janin, dari
amnioinfusi pertama didapatkan SDP bertambah menjadi 2,99 cm. Dilakukan
pemantauan dan amnioinfusi berkala hingga janin viable untuk dilahirkan.Amnioinfusi pada
agenesis ginjal bilateral bermanfaat untuk membantu penegakan diagnosa dan
sebagai terapi pencegahan terjadinya kontraktur dan hipoplasia paru pada janin
serta meningkatkan harapan hidup saat janin dilahirkan.
Kata kunci: Agenesis Ginjal
Bilateral, Anhidramnion, Amnioinfusi, Sindroma Potter
Abstract
Anhydramnios is a very small
amount of amniotic fluid where the MVP measurement 2cm by ultrasound.
The most common cause of anhydramnios that persists
into the second trimester of pregnancy is bilateral renal agenesis. Bilateral
renal agenesis is closely related to Potter's Syndrome. Potter's syndrome is a
picture of reduced amniotic fluid regardless of the cause. The most common
cause of newborn death in cases of anhydramnios is
pulmonary hypoplasia. Amnioinfusion is an action of adding fluid into the
amniotic cavity which is expected to reduce uterine pressure due to anhydramnios and maintain alveolar distension to increase
fetal lung growth. A 26-year-old woman G3P1A1H1 gravid 27-28 weeks was referred
to the fetomaternal polyclinic of RSUP M. Djamil Padang with suspicion of anhydramnios
caused by bilateral renal agenesis. Physical and obstetric examinations were
found to be within normal limits. On ultrasound examination, there was no
amniotic fluid, so MVP was difficult to assess, no fetal kidney and bladder
were seen, so it is suspected that this is a bilateral renal agenesis disorder
and leads to Potter's Syndrome. The patient was subjected to amnioinfusion to
prevent contractures and pulmonary hypoplasia in the fetus. From the first
amnioinfusion, the MVP increased to 2.99 cm. Monitoring and amnioinfusion are
carried out periodically until the fetus is viable to be born
Amnioinfusion in
bilateral renal agenesis is useful for assisting diagnosis and as a preventive
therapy for pulmonary contractures and hypoplasia in the fetus as well as
increasing life expectancy when the fetus is born.
Keywords: Bilateral Renal Agenesis, Anhydramnios,
Amnioinfusion, Potter's Syndrome.
Pendahuluan
Anhidramnion adalah jumlah
cairan ketuban yang sangat sedikit dimana pengukuran MVP 2cm. (A., 2014)
(O�Hare et
al., 2019)
Anhidramnion yang menetap
pada trimester 2 sebelum tahap
pembentukan organ paru akan menyebabkan terjadinya hipoplasia pulmonal(3).
Keadaan ini akan memberikan angka mortalitas tinggi yaitu lebih
dari 80% dan bayi yang selamat akan mengalami
gangguan paru kronik. Selain itu, pada keadaan anhidramnion akan meningkatkan risiko kompresi tali pusat,
kontraktur sendi, gangguan sistem skeletal, pertumbuhan terhambat dan kematian janin. Penanganan dari kasus ini masih
menjadi tantangan besar bagi dokter
obstetri dan dokter anak (1, (Yusrawati
& Yusra, 2022)
�(Cunningham
et al., 2014)
Kondisi anhidramnion
dan ketidak mampuan memvisualisasikan ginjal serta kandung kemih
yang sulit diidentifikasi setelah beberapa kali pemeriksaan merupakan karakteristik dari kondisi agenesis ginjal
bilateral. Kondisi ini terjadi pada 0,1 hingga 0,3 per
1000 kelahiran. Kondisi anhidramnion lama akan menyebabkan kompresi uterus pada janin sehingga menyebabakan deformitas dari anggota gerak
janin, kontraktur pada kepala, wajah dan hipoplasia paru. Kondisi ini dikenal
dengan Sindroma Potter atau Potter�
Sequence. (Fred E,
Laulom B, Cassart M, Eurin D, Nassez A, 2008)
Amnioinfusi merupakan
suatu tindakan prenatal berupa penambahan cairan ke dalam
rongga amnion yang diharapkan
mengembalikan kondisi fisiologis intra uterin. Amnioinfusi bersifat diagnostik dan terapeutik. amnioinfusi dapat dilakukan antepertum maupun intrapartum. Amnioinfusi diagnostik dilakukan antepartum dengan tujuan meningkatkan
penilaian sonografi dalam kepentingan diagnosa prenatal. Sementara amnioinfusi terapeutik bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan biofisik dari janin (Vikraman et
al., 2017)
Berdasarkan pemaparan
diatas laporan kasus ini bertujuan
untuk untuk mengevaluasi upaya manajemen terkini terhadap kasus anhidramnion dengan agenesis ginjal bilateral; pada kasus suspek Sindroma Potter.
Case Report
Seorang Perempuan multipara 26 tahun G3P1A1H1
gravid 27-28 minggu dirujuk ke poliklinik fetomaternal RSUP M.Djamil Padang
dengan kecurigaan anhidramnion yang disebsbkan oleh agenesis ginjal bilateral.
Pasien tidak memiliki keluhan tertentu seperti perdarahan atau keluar air dari
vagina, sakit perut, sesak napas, maupun keluhan lain. Gerak janin sudah
dirasakan. Pasien mengaku tidak mengonsumsi obat apapun selain vitamin kehamilan,
tidak merokok maupun mengonsumsi alkohol dan jamu. Pasien tidak memiliki
Riwayat menggunakan kontrasepsi apapun. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit
terdahulu, alergi maupun operasi sebelumnya. Pasien kontrol teratur ke bidan
sebanyak 5x, sejak usia kehamilan 2,3,4,5 dan 6 bulan, Kontrol ke Sp.OG
sebanyak 4x� dan pada usia kehamilan
3,4,5 dan 6. Pada usia kehamilan 4 bulan diketahui bahwa ketuban sedikit, saat
usia kehamilan 6 bulan pasien dirujuk ke konsultan fetomaternal. Ini merupakan
kehamilan ke 3, anak pertama lahir cukup bulan secara spontan di bidan, dan
kehamilan kedua mengalami keguguran di usia kehamilan 2 bulan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos
mentis, dengan tekanan darah 110/70 mmHg, laju nadi 84 kali/menit, laju napas 20
kali/ menit, suhu 36,8o C, berat badan 53 kg dan tinggi badan 157 cm. Status
general dalam batas normal. Pada status obstetri ditemukan tinggi fundus uteri
setinggi pusar, dengan denyut jantung janin 154 kali/menit
Pada pemeriksaan USG didapatkan janin tunggal hidup
letak lintang kepala kanan dorso inferior, fetal heartbeat (+), fetal movement
terbatas, dengan perkiraan usia kehamilan 27 minggu, estimated fetal weight
1021 gram, SDP sulit dinilai, gambaran ginjal dan kandung kemih tidak dijumpai.
Dari hasil pemeriksaan USG tersebut diduga terdapat agenesis ginjal bilateral
pada janin yang mengarah pada Sindroma Potter (Gambar 1).
Abdomen
�
Gambar 1:
USG sebelum tindakan amnioinfusi, SDP sulit dinilai, tidak ditemukannya gambaran ginjal dan kadung kemih (Panah hitam:
tempat seharusnya ditemukan gambaran ginjal, Panah merah:
tempat seharusnya ditemukan vesika urinaria)
Sembilan hari setelahnya dilakukan tindakan amnioinfusi transabdominal terhadap
pasien. Sebelum tindakan amnioinfusi dilakukan, dimintakan persetujuan dari ibu dan suaminya serta diberikan penjelasan terkait prosedur, resiko pada ibu, janin� dan ketidakpastian keberhasilan tindakan amnioinfusi.� Risiko medis yang terkait dengan tindakan amnioinfus berupa resiko cedera pada janin, kematian janin dalam rahim,
PROM, persalinan prematur, solusio plasenta, korioamnionitis, dan ruptur
uterus
Amnioinfusi
dilakukan di poliklinik fetomaternal RSUP M.djamil
Padang, dimasukkan cairan
normal salin NaCl 0,9% dengan
menggunakan jarum spinocain fr 23. Amnioinfusi dilakukan dengan menggunakan panduan USG transabdominal, kemudian
jarum dimasukkan pada bagian uterus yang tidak terdapat plasenta dan bagian janin, dimasukkan
cairan normal saline sebanyak
150 ml (Gambar 2) dan dilakukan evaluasi
ulang setelah tindakan, dari hasil USG setelah tindakan didapatkan SDP bertambah menjadi 2,99 cm (Gambar
3C).
Dimasukkan NaCl 0,9 %, sekitar
150 ml dengan panduan USG B A
C D C
Gambar 2: A; dilakukan USG evaluasi dan mencari akses bagian uterus untuk
dilakukan amnioinfusi, yaitu bagian uterus yang bebas dari plasenta dan bagian
janin, B; Setelah lokasi didapatkan (A), entry dengan spinocain Fr 23 ke rongga
amnion dengan guide USG dan dopler (panah kuning), C; spinocain fr 23 masuk ke
dalam rongga amnion D; tampak cairan NaCl 0,9 % mengalir mengisi kavum uteri
melalui jarum spinocain fr 23 dengan panduan USG transabdominal� (panah merah).
B A
D C
Gambar 3: A;
anhidramnion (panah merah) pre amnioinfusi, B; Proses amnioinfusi; gambaran
cairan masuk ke rongga amnion (panah kuning), C; post amnioinfusi; SDP 2,99 cm
(panah biru), D; USG hari ke 3 setelah amnioinfusi ke 2, kembali didapatkan
kondisi anhidramnion, SDP sulit dinilai, tetapi organ janin dapat divisualisasi
dengan baik untuk pengukuran biometri.
Tindakan
amnioinfusi kedua dilakuakan 3 hari setelah amnioinfusi pertama, dengan
memasukkan Nacl 0,9% sebanyak 500 ml, 3 hari setelahnya dilakukan evaluasi USG
ulang dan didapatkan kondisi kembali anhidramnion dengan SDP sulit dinilai
(Gambar 3D). Pasien kemudian direncanakan pemantauan dan amnioinfusi berkala
hingga janin viable untuk dilahirkan.
Hasil dan Pembahasan
Cairan amnion merupakan komponen penting bagi pertumbuhan
dan perkembangan janin selama kehamilan. Pada awal embriogenesis, amnion merupakan perpanjangan dari matriks ekstraseluler
dan disana terjadi difusi dua arah
antara janin dan cairan amnion. Pada usia kehamilan 8 minggu, terbentuk uretra dan ginjal janin mulai
memproduksi urin. Selanjutnya janin mulai bisa menelan.
Eksresi dari urin, sistem pernafasan,
sistem digestivus, tali pusat dan permukaan plasenta menjadi sumber dari cairan amnion. Produksi urin janin
dimulai pada usia kehamilan antara 8� dan 11 minggu, tetapi itu tidak
menjadi komponen utama cairan amnion sampai trimester kedua, hal ini yang menjelaskan
mengapa janin dengan kelainan ginjal berat tidak
teradapat gejala sampai usia kehamilan
18 minggu. (Ross & Beall, 2012)
Oligohidramnion didefinisikan
dengan penurunan jumlah cairan amnion yang
abnormal. (Cunningham et al., 2014)
Jumlah cairan amnion ikut berubah sesuai
usia kehamilan dan cara yang akurat dalam memperkirakan jumlah cairan amnion telah berubah dalam
beberapa tahun terakhir. Oligohidramnion dapat didefinisikan dengan; 1.Jumlah cairan amnion kurang kurang dari
500 ml pada usia kehamilan
32-36 minggu; 2. Kantong vertikal terdalam (MVP) kurang dari 2 cm pada kehamilan trimester 2 akhir;
3.Indeks cairan amnion (AFI) kurang
dari 5 cm atau kurang dari 5th persentil pada kehamilan
trimester 2 akhir. (Cunningham et al., 2014)
(Moxey-Mims & Raju, 2018)
Anhidramnion merupakan
suatu keadaan tidak adanya cairan
amnion yang disebabkan pengeluaran
cairan yang berlebihan atau berkurangnya produksi urin atau
ekskresi urin (Ross & Beall, 2012)
Cairan ketuban diperlukan untuk menjaga cairan paru-paru di dalam paru-paru untuk meningkatkan distensi dan pertumbuhan alveolar dan untuk mempertahankan gradien transpulmoner. Volume cairan ketuban yang rendah memungkinkan cairan paru mengalir dari
trakea dan menyebabkan kompresi alveolar, mempengaruhi distensi dan pertumbuhan paru dengan menekan
rongga dada dan membiarkan cairan paru janin
keluar dari paru-paru. (Bhandari et al., 2021)
Volume cairan paru meningkat dengan berat paru-paru dan pada
trimester ketiga, sekresi epitel di paru-paru janin menghasilkan sekitar 25 mL / kg cairan paru, yang menyusun sekitar 90% dari berat paru. Selama
gerakan pernapasan janin, cairan melewati
trakea dan ditelan atau bercampur dengan cairan ketuban.
Selama periode non-pernapasan, tekanan positif cairan ketuban di saluran pernapasan bagian atas menghambat keluarnya cairan paru-paru, menjaganya tetap dalam trakea
oleh glotis. Hal ini menciptakan gradien tekanan transpulmoner yang diperlukan untuk mempertahankan distensi alveolar
di atas kapasitas residu fungsional bayi baru lahir
dan meningkatkan pertumbuhan
paru. (O�Hare et al., 2019)
(Tisekar & AK, 2020)
Pada USG dicurigai
mengalami agenesis renal bilateral bila tidak ditemukannya
bagian ginjal atau hanyan menemukan
Sebagian kecil jaringan
pada tempat dimana seharusnya ginjal berada. Pemeriksaan dilakukan pada usia kehamilan 18 minggu, biasanya akan ditemukan
jumlah air ketuban yang sedikit, kandung kemih yang tidak terlihat, atau tampak sangat kecil. Kekurangan ini bisa menyebabkan malformasi pada bayi karena kurangnya ruang. Malformasi yang paling sering terjadi adalah paru-paru yang terlalu kecil dan persendian yang terlalu kaku (Fred E, Laulom B, Cassart M, Eurin D, Nassez A, 2008).
Mekanisme terjadinya
anhidramnion dapat dikaitkan dengan agenesis ginjal bilateral, dimana tidak ditemukannya kandung kemih dan ginjal setelah trimester kedua kehamilan, agenesis ginjal bilateral merupakan salah saru penyebab primer dari kejadian Sindroma
Potter. Sindroma Potter dan Fenotip
Potter adalah suatu keadaan kompleks yang berhubungan dengan gagal ginjal bawaan
salah satunya agenesis ginjal
bilateral dan berhubungan dengan
oligohidramnion (Cunningham et al., 2014)
(Ross & Beall, 2012)
Sindroma Potter digambarkan
sebagai suatu keadaan khas pada bayi baru lahir,
dimana cairan amnionnya sangat sedikit atau tidak ada
(YUSRAWATI & FRIADI, 2007) �Oligohidramnion menyebabkan bayi tidak memiliki bantalan terhadap dinding uterus. Tekanan dari dinding uterus menyebabkan gambaran wajah yang khas (wajah Potter). Selain itu, karena ruang
di dalam uterus sempit, maka anggota gerak
tubuh menjadi abnormal atau mengalami kontraktur dan terpaku pada posisi abnormal (Moxey-Mims & Raju, 2018)
(Bhandari et al., 2021)
Pada pasien
ini tidak ditemukan faktor resiko dari ibu
sehingga diduga penyebab dari oligohidramnion
pasien ini berasal dari faktor
janin. Dimana pada hasil
USG ginjal janin sulit untuk dinilai,
diduga agenesis ginjal atau adanya kelainan
kongenital pada urogenitalnya.
Secara patofisiologi oligohidramnion terjadi karena terjadi suatu keadaan yang menyebabkan pengeluaran cairan amnion berlebihan atau berkurangnya produksi urin janin.
Pada kasus ini pasien tidak memiliki
riwayat pecah ketuban atau keluar
air-air dari kemaluan, sehingga kecurigaan terhadap berkurangnya produksi urin karena
kelainan kongenital janin makin meningkat.
Tindakan amnioinfusi
merupakan suatu tindakan prenatal dengan cara memasukkan cairan kedalam rongga amnion, baik secara transabdominal maupun
transvaginal (Vikraman et al., 2017)
Amnioinfusi merupakan usaha dalam pengembalian
kondisi lingkungan
intrauterine yang fisiologis untuk
janin. Amnioinfusi� mengurangi
tekanan uterus akibat dari anhidramnion dan menjaga distensi alveolar untuk meningkatkan pertumbuhan paru janin. Amnioinfus juga bertujuan untuk mencegah hipoplasia paru dan mendorong kelangsungan hidup janin. Mengingat hipoplasia paru merupakan kondisi yang sangat mematikan bagi janin, saat ini
belum ditemukan pengobatan untu hipoplasia paru setelah bayi lahir,
sehingga tindakan intra uterin merupakan satu-satunya cara yang diharapkan dapat mengatasi hipoplasi paru ini (O�Hare et al., 2019)
Amnioinfusi bersifat
diagnostik dan terapeutik. amnioinfusi dapat dilakukan antepertum maupun intrapartum. Amnioinfusi diagnostik dilakukan antepartum dengan tujuan meningkatkan
penilaian sonografi dalam kepentingan diagnosa prenatal (Vikraman et al., 2017). Pada pasien ini amnioinfusi
dilakukan untuk mempertajam diagnostik, dimana tetap tidak
ditemukan adanya gambaran ginjal dan kandung kemih setelah
amnioinfusi yang memperkuat
diagnosa agenesis ginjal
bilateral: Sindroma Potter pada pasien
ini. Tujuan terapeutik amnioinfusi pada pasien ini adalah
meminimalkan kontraktur
pada janin, memberikan ruang gerak janin
dan meminimalisir kejadian hipoplasia paru yang mungkin akan dialami
oleh janin. Setelah dilakukan amnioinfusi pertama didapatkan SDP bertambah menjadi 2,99 ml, namun Ketika dilakukan USG evaluasi ulang 3 hari setelahnya kembali didapatkan kondisi anhidramnion, hal ini membuktikan
bahwa fisiologis aliran amnion tetap berjalan namun produksi dari cairan
amnion yang kurang mengakibatkan
kondisi anhidramnion menetap bila tidak
dilakukan intervensi. Amnioinfusi dilakukan secara berkala untuk meningkatkan prognosa lahir hidup janin.
Kesimpulan
Anhidramnion pada kasus ini
disebabkan oleh agenesis ginjal
bilateral; Sindroma Potter. Amnioinfusi
bertujuan untuk membantu penegakan diagnosa dan sebagai terapi pencegahan terjadinya kontraktur dan hipoplasia paru pada janin serta meningkatkan
harapan hidup saat janin dilahirkan.
Kehamilan sekarang sangat berbeda dengan kehamilan pertama, pada kehamilan ini perut
saya tidak sebesar kehamilan pertama saat memasuki
usia 6 bulan, dan gerakan anak pun jarang dirasakan hingga kehamilan 6 bulan ini. Saya dirawat di RSUP M.Djamil
selama 6 hari, dan dilakukan tindakan penambahan air ketuban pada hari rawatan ke
2 dan ke 5, setelah dilakukan penambahan air ketuban, Gerakan anak mulai sering saya
rasakan dan semakin kuat, dipulangkan dihari ke 6 rawatan,
dan kontrol tiap minggu ke poliklinik
Fetomaternal RSUP M.Djamil
Padang.
A., A. (2014). Ultrasound Obstetric and
Gynecology , Chapter 9 : Amniotic Fluid Assessment.: Davies Publishing,
Incorporated; 2014. 178-84. Google Scholar
Bhandari, J., Thada, P. K., & Sergent,
S. R. (2021). Potter Syndrome. In StatPearls [Internet]. StatPearls
Publishing. Google Scholar
Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S.
L., Spong, C. Y., & Dashe, J. S. (2014). Williams obstetrics, 24e.
Mcgraw-hill New York, NY, USA. Google Scholar
Fred E, Laulom B, Cassart M, Eurin D,
Nassez A, H. M. (2008). Ultrasonography In Obstetrics and Gynecology;
Callen. . United States of America Elsevier:; 2008.
Moxey-Mims, M., & Raju, T. N. K.
(2018). Anhydramnios in the setting of renal malformations: the national
institutes of health workshop summary. Obstetrics and Gynecology, 131(6),
1069. Google Scholar
O�Hare, E. M., Jelin, A. C., Miller, J. L.,
Ruano, R., Atkinson, M. A., Baschat, A. A., & Jelin, E. B. (2019).
Amnioinfusions to treat early onset anhydramnios caused by renal anomalies: background
and rationale for the renal anhydramnios fetal therapy trial. Fetal
Diagnosis and Therapy, 45(6), 365�372. Google Scholar
Ross, M. G., & Beall, M. H. (2012).
Physiology of amniotic fluid volume regulation. Wellesley, MA: UpToDate.
Google Scholar
Tisekar, O. R., & AK, A. K. (2020). Hypoplastic
Lung Disease. Google Scholar
Vikraman, S. K., Chandra, V., Balakrishnan,
B., Batra, M., Sethumadhavan, S., Patil, S. N., Nair, S., & Kannoly, G.
(2017). Impact of antepartum diagnostic amnioinfusion on targeted ultrasound
imaging of pregnancies presenting with severe oligo-and anhydramnios: An
analysis of 61 cases. European Journal of Obstetrics & Gynecology and
Reproductive Biology, 212, 96�100. Google Scholar
Yusrawati, Y., & Friadi, A. (2007ss).
Diagnosis Prenatal Hidronefrose dengan Ultrasonografi (laporan kasus). Indonesian
Journal of Obstetrics and Gynecology. Google Scholar
Copyright holder: Rizka Fadhillah Yusra,Yusrawati (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |
Yusrawati, Y., & Yusra, R. F. (2022).
Amnioinfusions to Treat Early Onset Anhydramnios Caused by Bilateral Renal Agenesis:
Potter�s Syndrome. Andalas Obstetrics And Gynecology Journal, 6(1),
89�97. Google Scholar