Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
6, Juni 2022
EPISTEMOLOGI MULTIKULTURAL
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Suryawan Bagus. H
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email: [email protected]
Abstrak
Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari aneka budaya, suku, golongan, agama, etnis, ras, kelas sosial, dan sebagainya. Meski terbangun atas bermacam keragaman, setiap bangsa memiliki latar belakang dalam meningkatkan pendidikan multikultural. Latar belakang ini setidaknya menjadi alasan serta memberi warna baru bagaimana pendidikan multikultural dikembangkan serta diterapkan. Pendidikan multikultural mengakui adanya keberagaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa. Pendidikan multikultural merupakan suatu bentuk upaya dalam mewujudkan hubungan yang harmonis, yaitu kegiatan edukasi dengan maksud menumbuh kembangkan kearifan pemahaman, sikap, kesadaran, dan perilaku peserta didik terhadap keaneka ragaman budaya, masyarakat, dan agama. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode library research (pustaka). Artikel ini bertujuan untuk memaparkan terkait bagaimana hakikat pendidikan multikultural, bagaimana prinsip, tujuan, fungsi pendidikan multikultural, bagaimana pendidikan multikultural dalam filsafat pendidikan Islam, dan bagaimana pendidikan multikultural di Indonesia.
Kata kunci: Filsafat; Pendidikan Multikultural; Pendidikan Islam.
Abstract
Indonesia is a nation consisting
of various cultures, tribes, groups, religions, ethnicities, races, social
classes, and so on. Although built on a variety of diversity, every nation has
a background in improving multicultural education. This background is at least
a reason and gives a new color for how multicultural education is developed and
applied. Multicultural education recognizes the ethnic and cultural diversity
of the people of a nation. Multicultural education is a form of effort in
realizing a harmonious relationship, namely educational activities with the aim
of developing the wisdom of understanding, attitudes, awareness, and behavior
of students towards cultural, community, and religious diversity. The method in
this study uses the library research method (library). This article aims to explain
how the nature of multicultural education is, what are the principles,
objectives, functions of multicultural education, how multicultural education
is in the philosophy of Islamic education, and how multicultural education is
in Indonesia.
Keywords: Philosophy; Multicultural
Education; Islamic education.
Pendahuluan
Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari aneka budaya,
suku, golongan, agama, etnis, ras, kelas
sosial, dan sebagainya. Singkatnya, multikultural sebagaimana Australia, Amerika, Inggris,
serta negara maju lainnya. Meski terbangun atas bermacam keragaman, demikian Moeis, setiap bangsa memiliki
latar belakang (alasan historis) dalam meningkatkan pendidikan multikultural. Latar belakang ini setidaknya menjadi alasan serta memberi warna
baru bagaimana pendidikan multikultural dikembangkan serta diterapkan (Hermawan Winditya et al.,
2020).
Pendidikan multikultural mengakui adanya keberagaman etnik dan budaya masyarakat suatu bangsa, seperti
halnya yang diutarakan oleh
R. Stavenhagen: �Keragaman adalah suatu keadaan
pada kehidupan masyarakat. Perbedaan yang seperti itu terdapat pada suku bangsa, ras,
budaya, dan agama. Keragaman
merupakan kekayaan serta keindahan dari suatu bangsa.
Pemerintah harus mampu memberikan dorongan agar keberagaman tersebut mampu menjadi sebuah kekuatan guna mewujudkan
kebersamaan dalam bermasyarakat dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan sehingga dapat tercipatanya hubungan keselarasan yang lebih baikdan efektif (Zakiah, 2018).
Kegiatan pendidikan multikultural
merupakan suatu bentuk upaya dalam
mewujudkan hubungan yang harmonis, yaitu kegiatan edukasi dengan maksud menumbuh
kembangkan kearifan pemahaman, sikap, kesadaran, dan perilaku peserta didik terhadap
keaneka ragaman budaya, masyarakat, dan agama. Dengan penafsiran tersebut, pendidikan multikultural dapat mencakup pendidikan agama dan pendidikan umum yang �mengindonesia� karena responsif terhadap kesempatan dan tantangan kemajemukan budaya, masyarakat, dan agama. Maka tentu saja dalam
pendidikan multikultural di
sini tidak hanya sekedar membutuhkan
�pendidikan agama�, namun
juga �pendidikan religiusitas�
(Arif, 2012).
Di Indonesia hubungan harmonis antar umat beragama bukanlah
suatu hal yang sudah usai. Oleh sebab itu, secara
serius dibutuhkan upaya untuk terus
dikembangkan dari masa ke masa kualitas dari hubungan yang lebih baik lagi
antar umat beragama (Misrawi & Toleransi,
2010). Sampai saat
ini masih banyak kita lihat,
banyak konflik kekerasan, mulai dari antar kelompok,
antar individu, antar kampung, antar etnis, hingga antar
suku di tanah air, yang dikarenakan permasalahan tidak adanya pemahaman
multikultural (Zamroni, 2007). Mengingat keberagaman dan kemajemukan budaya, terutama berhubungan dengan ranah keagamaan, seringkali direspon dengan perilaku dan sikap monolog-monokultur yang sarat akan klaim
keselamatan, klaim kebenaran, dan klaim memperabdabkan (Arif, 2012).
Oleh sebab itu,
artikel ini akan memaparkan terkait hakikat pendidikan multikultural, prinsip, tujuan, fungsi, dan perspektif pendidikan multikultural, dan akan dibahas juga mengenai pendidikan multikultural dalam tinjauan filsafat pendidikan Islam, serta seperti apakah pendidikan multikultural di
Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
library research (pustaka), dalam
penelitian ini menggunakan data pustaka sebagai objek kajian
dalam penelitiannya, menggunakan buku-buku, artikel, dan lain sebagainya sebagai sumber datanya. Sifat penelitian ini sendiri yaitu
deskriptif-analisis, yang mana penelitian
ini menguraikan secara teratur seluruh konsep yang memiliki relevansi terhadap pembahasan. Kemudian data yang telah dikumpulkan selanjutnya disusun sebagaimana mestinya dan dilanjutkan untuk dianalisis. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode library
research, yakni studi kepustakaan. Penelitian dilaksanakan dengan menghimpun data dari berbagai literature, digunakan tidak terbatas hanya pada buku-buku, tetapi dapat berupa
bahan-bahan dokumentasi, artikel ilmiah, koran, majalah, dan lain sebagainya.
Hasil dan Pembahasan
1. Hakikat
Pendidikan Multikultural
Manusia tidak pernah
ditakdirkan untuk sama sepenuhnya, tetapi takdir manusia hanya untuk berbeda.
Kenyataan hidup manusia bermacam-macam dan multidimensi. Banyak sekali
berbedaan-perbedaan mendasar manusia sebagai individu dan juga sosial.
Pebedaan-perbedaan tersebut pada mulanya menjadi bukti kajian dan munculnya
perdebatan filosofis-historis dalam waktu yang lama. Ada beberapa aliran pemikiran
yang mencoba untuk memberikan penilaian kritis terhadap kenyataan atas
perbedaan manusia ini, atau yang biasa disebut pemikiran monismemoral (Hermawan Winditya et al., 2020).
Multi dimaknai banyak,
sedangkan kulturalisme adalah aliran atau ideologi budaya. Multikulturalisme
bermakna pemikiran yang mencakup banyak ideologi/aliran budaya.
Multikulturalisme merancang pemikiran terhadap keberagaman kehidupan di dunia,
ataupun kebijakan kebudayaan yang menitik beratkan pada penerimaan terhadap
hadirnya keberagaman, serta keanekaragaman budaya di dalam realitas masyarakat
menyangkut nilai-nilai, praktik budaya, sistem social, filosofi politik yang
dianut dalam konteks tertentu, dan adat kebiasaan. Multikulturalisme tidak
bermaksud untuk menciptakan keseragaman ala monism ataupun juga penciptaan
budaya umum ala plularisme. Multikulturalisme lebih maju dari monism dan juga
plularisme (Hermawan Winditya et al., 2020).
Multikulturalisme memberikan
dukungan terhadap perbedaan serta memperjuangkan bermacam kepentingan kelompok
di antaranya kelompok minoritas dalam berbagai ukuran sosialnya (etnis, ras,
agama, budaya, politik, gender, dll). Multikulturalisme dalam tingkatan yang
sempurna mendesak ke arah terbentuknya sebuah politic of recognition (politik
pengakuan) identitas tiap budaya yang beragam di dalam nation state (negara
bangsa). Tokoh James Banks diketahui sebagai perintis pendidikan multikultural (Hermawan Winditya et al., 2020).
Banks percaya bahwa sebagian
dari pendidikan lebih condong pada mengajari bagaimana berpikir dibandingkan
dengan apa yang dipikirkan. Banks mengutarakan bahwa peserta didik harus
diajarkan untuk memahami seluruh jenis pengetahuan (knowledge construction) serta interpretasi yang beragam (Banks & Banks, 2001).
Peserta didik yang baik merupakan peserta didik yang senantiasa mempelajari
seluruh pengetahuan dan ikut serta secara aktif dalam mendiskusikan konstruksi
pengetahuan. Peserta didik juga perlu untuk disadarkan jika di dalam
pengetahuan yang mereka terima ada berbagai macam interpretasi yang sangat
ditetapkan oleh kepentingan masing-masing. Peserta didik harus membiasakan diri
untuk menerima perbedaan yang terdapat di sekitarnya (Hermawan Winditya et al., 2020).
Berikutnya Banks mengutarakan
bahwa pendidikan multikulural adalah sebuah rangkaian keyakinan (set of beliefs) serta uraian yang
mengakui dan mengevaluasi seberapa pentingnya keberagaman budaya dan juga etnis
di dalam wujud gaya hidup, identitas pribadi, pengalaman social, kesempatan
pendidikan dari individu, kelompok ataupun Negara. Banks mendeskripsikan
pendidikan multikultural merupakan gagasan, gerakan, pemodernan pendidikan dan
proses pendidikan yang memiliki tujuan utama untuk mengganti susunan lembaga
pendidikan agar peserta didik baik laki-laki maupun perempuan, peserta didik
berkebutuhan khusus, dan peserta didik yang merupakan bagian dari kelompok
etnis, ras, dan juga buudaya yang beragam tersebut akan tetap memiliki
kesempatan yang serupa dalam mencapai prestasi pendidikan di sekolah (Banks & Banks, 2001).
Howard mengutarakan bahwa
pendidikan multikultural memberikan kompetensi multikultural. Dengan pendidikan
multikultural sejak usia dini diharapkan agar anak mampu memahami dan toleran
terhadap keberagaman budaya yang berakibat pada perbedaan usage (cara individu
bertingkah laku); folkways (kebiasaan-kebiasaan yang terdapat di masyarakat);
mores (tata kelakuan di masyarakat); dan customs (adat istiadat suatu
perkumpulan). Dengan pendidikan multikultural, peserta didik sanggup menerima keberagaman,
kritik, serta mempunyai rasa empati, dan juga toleransi terhadap sesame tanpa
melihat golongan, gender, status, serta keahlian akademik (Hanum, 2005).
Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Musa Asya�rie bahwa pendidikan multikultural memiliki makna sebagai suatu
proses pendidikan cara hidup menghormati, tulus, dan toleransi akan keberagaman
budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural, sehingga peserta didik
nantinya akan mempunyai kekenyalan jan kelenturan mental bangsa dalam menyikapi
problematika social di masyarakat (Asy�arie, 2004).
Pendidikan multikultural
merupakan suatu bentuk upaya dalam mewujudkan hubungan yang harmonis, yaitu
kegiatan edukasi dengan maksud menumbuh kembangkan kearifan pemahaman, sikap,
kesadaran, dan perilaku peserta didik terhadap keaneka ragaman budaya,
masyarakat, dan agama. Dengan penafsiran tersebut, pendidikan multikultural
dapat mencakup pendidikan agama dan pendidikan umum yang �mengindonesia� karena
responsif terhadap kesempatan dan tantangan kemajemukan budaya, masyarakat, dan
agama. Maka tentu saja dalam pendidikan multikultural di sini tidak hanya
sekedar membutuhkan �pendidikan agama�, namun juga �pendidikan religiusitas�. (Arif, 2012).
Lingkungan pendidikan
merupakan suatu pola yang tersusun dari berbagai aspek serta variabel utama,
seperti kebijakan sekolah, politik, kultur sekolah, serta formalisasi kurikulum
dan juga bidang studi. Apabila dalam perihal tersebut mengalami perubahan maka
seharusnya perubahan tersebut difokuskan untuk menciptakan dan menjaga
lingkungan sekolah dalam keadaan multikultural yang efektif. Setiap anak
sepatutnya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah dalam kondisi yang
multikultural.
Tujuan utama dari pendidikan
multikultural yaitu mengganti pendekatan pelajaran dan pembelajaran yang
mengarah pada sistem yang mampu memberikan kesempatan yang setara bagi setiap
anak. Maka tidak ada yang dikorbankan demi persatuan. Maka dari itu,
kelompok-kelompok harus saling memahami, damai, mengakhiri perbedaan tetapi
tetap menjunjung nilai yang ada dalam tujuan umum yakni untuk mencapai
persatuan. Perlu ditanamkan pada peserta didik pemikiran lateral,
keanekaragaman, dan juga keunikan itu dihargai. Maka perlu adanya perubahan
perilaku, sikap, dan juga nilai-nilai khususnya akademika sekolah. Ketika
seorang peserta didik berada pada posisi diantara sesamanya yang memiliki latar
belakang berbeda mereka harus belajar satu sama lain, berinteraksi dan juga
berkomunikasi, sehingga diantara mereka bisa saling menerima perbedaan yang ada
sebagai bentuk memperkaya pribadi masing-masing (Hermawan Winditya et al., 2020).
Perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada peserta didik yang harus diakui dalam pendidikan multikultural,
meliputi penduduk minoritas etnis dan ras, kelompok penganut agama, perbedaan
agama, perbedaan jenis kelamin, keadaan ekonomi, daerah/asal-usul, kelompok umur,
kelompok umur, dan lain-lain (Baker, 1994).
Dengan adanya pendidikan multikultural ini peserta didik diberikan kesempatan
dan juga opsi untuk memberikan dukungan dan memperhatikan satu atau beberapa
budaya, seperti bahasa, sistem nilai, dan gaya hidup (Hermawan Winditya et al., 2020).
2. Prinsip, Tujuan dan Fungsi Pendidikan
Multikultural
Menurut Groski, prinsip pendidikan multicultural adalah sebagai berikut:
a.
Isi materi pelajaran
yang diseleksi wajib memiliki perbedaan dan persamaan dalam lintas kelompok.
b.
Pemilihan materi pelajaran wajib terbuka secara budaya didasarkan pada siswa. Keterbukaan ini wajib menyatukan
opini/pendapat yang bertentangan serta interpretasi-interpretasi yang berbeda.
c.
Pendidikan sebaiknya memuat
model belajar mengajar yang
interaktif agar mudah dipahami.
d.
Materi pelajaran yang diseleski harus sesuai dengan konteks
waktu dan tempat.
e.
Pengajaran seluruh pelajaran wajib menggambarkan serta dibentuk berlandaskan pada pengalaman serta pengetahuan yang dibawa speserta didik ke dalam kelas
(Hermawan
Winditya et al., 2020).
Multikultularisme tidak hanya suatu wacana
saja, namun suatu pandangan hidup yang harus diperjuangkan, sebab dibutuhkan sebagai landasan untuk tegaknya suatu demokrasi, HAM, serta kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme tidak hanya suatu
pandangan hidup yang berdiri sendiri terpisah dari ideology-ideologi yang lain, serta multikulturalisme membutuhkanseperangkat
konsep-konsep yang merupakan
bangunan konsep-konsep untuk dijadikan pegangan bagi yang memahaminya serta mengembang luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat (Hermawan Winditya
et al., 2020).
�Pendidikan multikultural
berupaya membantu peserta didik untuk
meningkatkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi peluang untuk bekerja
sama dengan orang ataupun kelompok orang yang berbeda etnis ataupun
rasnya secara langsung, membantu peserta didik untuk
mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang bermacam-macam, membantu peserta didik meningkatkan kebanggaan terhadap peninggalan budaya mereka, menyadarkan peserta didik bahwa
konflik/permasalahan nilai kerap menjadi
pemicu konflik antar kelompok masyarakat.
Farris
& Cooper menyatakan bahwa
tujuan pendidikan
multicultural yaitu mengembangkan
keahlian peserta didik untuk melihat
kehidupan dari berbagai macam sudut pandang budaya
yang berbeda dengan budaya yang mereka punya, serta bersifat positif terhadap perbedaan ras, budaya, dan etnis. Banks menyebutkan bahwa tujuan pendidikan multikultural, di antaranya:
a.
Untuk mendayagunakan peranan sekolah dalam melihat keberadaan
peserta didik yang berbagai macam.
b.
Untuk menolong peserta didik dalam
membangun sikap yang positif terhadap perbedaan ras, budaya, etnik, kelompok keagamaan. c. Untuk menolong peserta didik dalam
membangunketergantungan lintas
budaya serta memberi gambaran positif kepada mereka terkait perbedaan kelompok. d. Memberikan ketahanan peserta didik dengan
metode mengajar mereka dalam mengambil
keputusan serta keterampilan sosialnya. (Hermawan
Winditya et al., 2020).
Secara konseptual, menurut Groski pendidikan multikultural memiliki beberapa fungsi di antaranya:
a.
Memberi keleluasaan peserta didik bagaimana
belajar dan berpikir secara kritis.
b.
Memberi peluang peserta didik untuk
meningkatkan prestasi mereka.
c.
Mendorong peserta didik untuk mengambil
peran aktif dalam pembelajaran, dengan cara memperkenalkan
pengalaman-pengalaman mereka
dalam konteks belajar.
d.
Mengakomodasikan seluruh gaya belajar peseta didik.
e.
Meningkatkan sikap positif terhadap kelompok-kelompok yang memiliki latar belakang berbeda.
f.
Mengapresiasi kontribusi dari kelompok-kelompok yang berbeda.
g.
Menjadikan mereka warga yang baik, baik itu di sekolah
ataupun di lingkungan masyarakat.
h.
Belajar bagaimana memperkirakan pengetahuan dari sudut pandang
yang beragam.
i.
Mengembangkan identitas etnis, nasional, serta global
j.
Meningkatkan keterampilan-keterampilan
pengambilan keputusan serta analisis secara kritis sehingga
peserta didik bisa membuat opsi
yang lebih baik dalam kehiduan sehari-hari (Hermawan
Winditya et al., 2020).
3. Pendidikan Multikultural dalam
Pandangan Filsafat
Pendidikan Islam
Pemikiran filsafat pendidikan dasar Islam di
Indonesia pada hakikatnya bisa
dilihat dari bermacam sudut pandang, dimana setiap sudut pandang
mempunyai tipologi tertentu. (Nata,
2005).
a.
Dari segi sumber pemikiran, selain ia berasal dari
ajaran murni agaya yang terdapat dalam al-Qur�an, al-Sunnah, serta
pendapat para ulama, dan juga dari
pandangan hidup berbangsa serta bernegara, sosio-kultural yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (baik pada masa lalu ataupun pada masa sekarang ini), serta desakan modernitas
yang dialami (Mulkhan,
2005).
b.
Dari segi dasar pemikiran, tidak hanya memakai dasar
filsafat Islam, namun juga memperbolehkan penggunaan dasar filsafat Yunani ataupun filsafat Barat yang pada kesimpulannya berujung pada aliran-aliran filsafat pendidikan, semacam Perenialisme, Esensialisme, Eksistensialisme, Progressifisme,
serta Rekonstruksialisme.
c.
Dari segi pendekatan
pemikiran, tidak hanya menggunakan pendekatan doktriner, normative, serta idealistic, namun juga memperbolehkan untuk menggunakan pendekatan adopsi, adaptif-akomodatif, ataupun pragmatis.
d.
Dari segi pola pemikiran, selain menampilkan pemikiran yang spekulatif-rasionalistik, namun
juga memperbolehkan untuk memunculkan pemikiran yang spekulatif-intuitif.
e.
Dari segi wilayah jangkauannya,
tidak hanya pemikiran filsafat yang bertabiat umum yang bisa diterapkan untuk seluruh tempat,
kondisi, serta masa, namun juga memperbolehkan bersifat local yang khusus untuk tempat, kondisi,
serta masa tertentu saja.
f.
Dari segi wacana pemikirannya yang berkembang,
yang berkaitan dengan tinjauan filosofis tentang komponen-komponen inti kegiatan pendidikan Islam (semacam tujuan, kurikulum, peserta didik, guru, lingkungan, dan juga
metode), dan bisa jadi masih banyak
lagi sudut pandang yang lain (Nata,
2005).
Dalam ikatan ini,
ditemukan bermacam pendapat para pakar yang berupaya merumuskan penafsiran filsafat pendidikan Islam. Seperti Muzayyin Arifin, menyebut jika filsafat pendidikan
Islam pada dasarnya merupakan
rancangan berpikir tentang kependidikan yang berasal atau berlandaskan
pada ajaran-ajaran agama Islam tentang
hakikat keahlian manusia untuk bisa
dilatih serta dikembangkan, dan dibimbing menjadi manusia Muslim yang segala kepribadiannya dijiwai oleh ajaran Islam (Muzayyin,
2003).
Pengertian ini memberikan kesan bahwa filsafat pendidikan pada umumnya. Dalam arti jika filsafat Pendidikan Islam mengkaji
terkait bermacam permasalahan yang terdapat hubungan dengan pendidikan, semacam manusia sebagai subjek serta objek
pendidikan, metode, kurikulum, guru, lingkungan, dan sebagainya. Bedanya dengan filsafat pendidikan pada umumnya bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam seluruh permasalahan kependidikan tersebut senantiasa dilandaskan kepada ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur�an dan al-Hadits.
Seperti halnya kata Islam
yang mengiringi kata filsafat
pendidikan itu menjadi sifat, merupakan sifat dari filsafat pendidikan
tersebut (Zakiah,
2018).
Di
antara idealitas keagamaan Islam seperti yang tertulis dalam al-Qur�an, merupakan untuk saling memahami serta menghormati bermacam budaya, ras, serta agama sebagai sebuah kenyataan kemanusiaan (Zakiah,
2018). Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat: 13:
يَأٓيُّهَا
النَّاسُ
اِنَّا
خَلَقْنٰكُمْ
مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَىٰ
وَجَعَلْنٰكُمْ
شُعُوبًا
وَقَبَا ﺌِلَ
لِتَعَارَفُوْاۚ
�إِنَّ
اَكْرَمَكُمْ
عِنْدَ
اللّٰهِ اَتْقٰكُمْۚ
�إِنَّ
اللّٰهَ
عَلِيْمٌ
خَبِيْرٌ
Artinya: Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. Al-Hujurat: 13)
Dalam pembahasan ini, pendidikan multicultural adalah pendekatan progresif guna melaksanakan transformasi pendidikan serta budaya masyarakat secara merata, sejalan dengan prinsip pelaksanaan pendidikan yang termaktub dalam Undang-undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 4 ayat 1
yang berbunyi, jika pendidikan nasiona dilaksanakan secara demokratis serta menjunjung keadilan dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi nilai hak
asasi manusia (HAM), nilai keagamaan, nilai budaya, serta
kemajemukan bangsa (Nasional,
2003).
4. Pendidikan Multikultural di Indonesia
Pendidikan
multikultural relatif baru diketahui di Indonesia sebagai sebuah pendekatan yang dianggap lebih cocok untuk
masyarakat Indonesia. Indonesia adalah
bangsa yang terdiri dari aneka budaya,
suku, golongan, agama, etnis, ras, kelas
sosial, dan sebagainya. Singkatnya, multikultural sebagaimana Australia, Amerika, Inggris,
serta negara maju lainnya. Meski terbangun atas bermacam keragaman, demikian Moeis, setiap bangsa memiliki
latar belakang (alasan historis) dalam meningkatkan pendidikan multikultural. Latar belakang ini setidaknya menjadi alasan serta memberi warna
baru bagaimana pendidikan multikultural dikembangkan serta diterapkan (Hermawan
Winditya et al., 2020).
Dalam penerapan pendidikan multikultural, terdapat lima �P� yang dibutuhkan
dalam mendukung keberhasilam dalam proses implementasi pendidikan multikultural itu sendiri, diantaranya:
a.
Perspektif (paradigma, cara pandang, visi
atau misi sekolah)
b.
Policy (kebijakan, aturan
yang dikeluarkan oleh pimpinan
sekolah)
c.
Program (rencana paket
kegiatan yang diselenggarakan
untuk pencapaian saasaran tertentu)
d.
Personal (pelaksana, terutama
para guru yang menjadi ujung
tombak)
e.
Praktik (implementasi, pelaksanaan di kelas/sekolah).
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam proses pendidikan multikultural, antara lain:
a.
Pertama, Tidak lagi terbatas pada membandingkan pemikiran pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural dengan program-program sekolah
formal. Pemikiran yang lebih
luas terkait pendidikan sebagai transmisi kebudayaan melepaskan pendidik dari anggapan jika
tanggung jawab utama mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik semata-mata terletak di tangan mereka dan seharusnya semakin banyak pihak yang bertanggung jawab sebab program-rogram sekolah sepatutnya terpaut dengan pendidikan informal di luar sekolah (Amirin,
2012).
b.
Kedua, menjauhi pemikiran yang membandingkan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Maknanya,
tidak diperlukan lagi untuk mengaitkankan
kebudayaan sebatas dengan kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional,
para pendidik mengaitkan kebudayaan hanya sebatas dengan kelompok-kelompok sosial relatif selfsufficient, dibandingkan dengan beberapa orang yang secara terus menerus terkait
satu sama lain dalam satu atau
bahkan lebih kegiatan. Dalam kasus pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan bisa mengilhami para penyususn program-program pendidikan
multikultural untuk mengubah kecenderungan dalam memandang peserta didik secara
stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman lingkup yang lebih besar terkait
kesamaan dan perbedaan pada
kalangan peserta didik dari bermacam-macam
kelompok etnik (Aly, 2005).
c.
Ketiga, dikarenakan pengembangan kemampuan dalam suatu �kebudayaan
baru� umumnya memerlukan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang
telah mempunyai kompetensi, bahkan bisa dilihat lebih
jelas jika usaha-usaha untuk menunjang sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik merupakan antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan
seta memperluas solidaritas
kelompok adalah membatasi sosialisasi ke dalam kebudayaan
baru. Pendidikan untuk pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak bisa disamakan
secara logis (Zuriah,
2011).
d.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kemaampuan dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diangkat ditentukan oleh konteks itu sendiri
(Fakhry et
al., 1986).
e.
Kelima, kemungkinan pendidikan (baik dalam maupun luar
sekolah) meningkatkan kesadaran terkait kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran yang seperti itu selanjutnya akan menjauhkan kita dari konsep
dwi budaya atau dikotomi antara
pribumi dan non-pribumi. Dikotomi seperti itu bersifat membaatasi
individu dalam mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini mampu meningkatkan
kesadaran terhadap multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini memiliki
penafsiran bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik lagi
melalui kompetensi kebudayaan yang terdapat pada individu peserta didik (Fajar,
2004).
Pendekatan pendidikan multikultural di Indonesia, berdasarkan
realita Indonesia dan kearifan
lokal. Dalam konteks implementasinya, pendidikan multilkultural itu dapat dilihat
atau diposisikan sebagai berikut.
a.
Sebagai falsafah pendidikan; yaitu pandangan bahwa guna mencapai masyarakat
Indonesia yang adil, makmur,
dan bahagia dunia akhirat maka kekayaan keberagaman
budaya Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia.
b.
Sebagai pendekatan pendidikan; yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang kontekstual, memperhatikan keragaman budaya Indonesia. Karena nilai budaya diyakini akan mempengaruhi pandangan, keyakinan, dan perilaku individu (pendidik dan peserta didik), serta mempengaruhi
pula struktur pendidikan di
sekolah (kurikulum, pedagogi dan faktor lainnya).
c.
Bidang kajian dan bidang studi; yaitu
dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan maka disiplin ilmu
dibantu oleh sosiologi dan antropologi pendidikan untuk menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya seperti norma, etika atau
tatakrama, dan adat-istiadat
atau tradisi.
Jadi
dapat dimaknai inti masyarakat yaitu kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam
waktu yang cukup lama, sehingga individu-individu bisa memenuhi kebutuhan
mereka dan menyerap watak sosial. Keadaan
ini berikutnya menjadikan sebagian dari mereka menjadi
komunitas yang terorganisir
yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas. Dari sudut lain, jika
kehidupan di dalam masyarakat berarti interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut merupakan pendidikan atau dalam istilah
lain masyarakat pendidik (Aly, 2005). Maka dari itu, setiap
masyarakat mempunyai peranan dan tanggung jawab moral yang sangat penting terkait pelaksaan proses pendidikan. Hal ini dikarenakan terdapat hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam usaha memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan adalah sebuah hal yang pentinng untuk meningkakan kemajuan pendidikan (Zakiah,
2018).
Kesimpulan
Multi dimaknai banyak, sedangkan kulturalisme adalah aliran atau ideologi
budaya. Multikulturalisme bermakna pemikiran yang mencakup banyak ideologi/aliran budaya. Pendidikan multikultural merupakan suatu bentuk upaya dalam
mewujudkan hubungan yang harmonis, yaitu kegiatan edukasi dengan maksud menumbuh
kembangkan kearifan pemahaman, sikap, kesadaran, dan perilaku peserta didik terhadap
keaneka ragaman budaya, masyarakat, dan agama.
Dengan penafsiran tersebut,
pendidikan multikultural dapat mencakup pendidikan agama dan pendidikan umum yang �mengindonesia� karena responsif terhadap kesempatan dan tantangan kemajemukan budaya, masyarakat, dan agama. Maka tentu saja
dalam pendidikan multikultural di sini tidak hanya sekedar
membutuhkan �pendidikan
agama�, namun juga �pendidikan
religiusitas�.
Adapun prinsip pendidikan multikultural adalah sebagai berikut: 1) isi materi pelajaran yang diseleksi wajib memiliki perbedaan dan persamaan dalam lintas kelompok, 2) pemilihan materi pelajaran wajib terbuka secara budaya didasarkan pada siswa. Keterbukaan ini wajib menyatukan
opini/pendapat yang bertentangan serta interpretasi-interpretasi yang berbeda,
3) pendidikan sebaiknya memuat model belajar mengajar yang interaktif agar mudah dipahami, 4) materi pelajaran yang diseleski harus sesuai dengan konteks
waktu dan tempat, 5) pengajaran seluruh pelajaran wajib menggambarkan serta dibentuk berlandaskan pada pengalaman serta pengetahuan yang dibawa speserta didik ke dalam kelas.
Dalam penerapan pendidikan multikultural, terdapat lima �P� yang dibutuhkan
dalam mendukung keberhasilam dalam proses implementasi pendidikan multikultural itu sendiri, diantaranya: 1) Perspektif (paradigma, cara pandang, visi
atau misi sekolah); 2) Policy (kebijakan, aturan yang dikeluarkan oleh pimpinan sekolah); 3) Program (rencana paket kegiatan
yang diselenggarakan untuk pencapaian saasaran tertentu); 4) Personal (pelaksana,
terutama para guru yang menjadi
ujung tombak); 5) Praktik (implementasi, pelaksanaan di kelas/sekolah).
Aly, A. (2005). Pendidikan multikultural
dalam tinjauan pedagogik. Makalah �Seminar Pendidikan Multikultural sebagai
seni mengelola keragaman. 8.
Amirin, T. M.
(2012). Implementasi pendekatan pendidikan multikultural kontekstual berbasis
kearifan lokal di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan
Aplikasi, 1(1), 1�16. https://doi.org/10.21831/jppfa.v1i1.1047
Arif, M. (2012).
Pendidikan Agama Islam Inklusifmultikultural. Jurnal Pendidikan Islam, 1(1),
1�18. https://doi.org/10.14421/jpi.2011.11.1-18
Asy�arie, M.
(2004). Pendidikan Multikutlural dan Konflik Bangsa. Universitas
Indonesia.
Baker, G. C.
(1994). Planning dan organizing for multicultural instruction.(2nd).
California: Addison-Elsey Publishing Company.
Banks, J. A.,
& Banks, C. A. M. (2001). Multicultural Education. Routledge: Allyn
and Bacon.
Fajar, M.
(2004). Mendiknas: Kembangkan pendidikan multikulturalisme. Jurnal
Pendidikan Indonesia, V.
Fakhry, M.,
Kartenagara, R. M., & Madjid, N. (1986). Sejarah Filsafat Islam.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Hanum, F.
(2005). Fenomena Pendidikan Multikural pada Mahasiswa Aktivis UNY.
Universitas Negeri Yogyakarta.
Hermawan
Winditya, S. S., Utama, I. W. B., Siregar, C., & Th, S. (2020). Filsafat
Pendidikan Multikultural. Banyumas: CV. PENA PERSADA.
Misrawi, Z.,
& Toleransi, A.-Q. K. (2010). Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alamin.
Jakarta: Oasis.
Mulkhan, A. M.
(2005). Kesalehan multikultural: ber-Islam secara autentik-kontekstual di
aras peradaban global. Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah.
Muzayyin, A.
(2003). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasional, D. .
(2003). Undang-undang republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional. Language, 188, 22cm.
Nata, A. (2005).
Pendidikan Multikultural di Era Global, Pendidikan Islam.
Zakiah, S.
(2018). Pendidikan Multikultural di Indonesia: Konsepsi Filsafat Islam. Al-Iltizam,
3(1), 64�77. https://doi.org/10.33477/alt.v3i1.419
Zamroni. (2007).
Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi. Jakarta: PSAP.
Zuriah, N.
(2011). Model Pengembangan Pendidikan Kewarganegaraan Multikultural Berbasis
Kearifan Lokal: Studi di Perguruan Tinggi Kota Malang. Universitas
Copyright holder: Suryawan Bagus. H (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed
under: |
Pendidikan
Indonesia.