Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 6, Juni 2022
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN PEMINJAMAN UANG DENGAN JAMINAN SERTIPIKAT
TANAH YANG TIDAK MENGGUNAKAN HAK TANGGUNGAN
Muhammad Rifqi, Bambang Eko
Universitas Diponegoro, Indonesia
�Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan guna mengetahui, mengidentifikasi, serta mengevaluasi akibat hukum dari perjanjian pinjam meminjam dengan sertifikat tanah yang tidak memakai akta hipotek serta mengkaji perlindungan hukum dari pemberi pinjaman (kreditur) uang dengan sertifikat tanah yang tidak memakai akta hak milik. hipotek. Teknik penelitian memakai pendekatan hukum normatif, ialah deskriptif kualitatif. Pendekatan pengumpulan data yakni data primer dengan wawancara langsung dengan informan serta data sekunder yakni bahan-bahan yang terkait dengan topik yang diteliti. Perjanjian pinjam meminjam dengan memakai sertifikat tanah yang dilakukan tidak melalui pendaftaran melalui Kantor Pertanahan dengan memakai akta hipotek yang menjadi kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kepastian dalam perjanjian pinjam meminjam ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Upaya hukum serta perlindungan bagi kreditur yang memberi pinjaman uang dengan jaminan sertifikat tanah yang tidak memakai akta hak tanggungan bisa ditangani secara nonlitigasi serta litigasi.
Kata kunci: Perjanjian, Sertipikat Tanah, Hak Tanggungan
Abstract
The goal
of this research is to investigate, identify, and evaluate the legal
repercussions of loan agreements with land certificates that do not use deed of
mortgages and examine the legal protections of lenders (creditors) of money
with land certificates that do not use deed of mortgages. The research
technique adopts a normative legal approach, is descriptive qualitative. Data
gathering approaches are primary data with direct interviews with informants
and secondary data are materials linked to the topics examined. Loan agreements
utilizing land certificate which are carried out not via registration through
the Land Office using deed of mortgage which is the authority of a Land Deed
Official (PPAT), the assurance in this loan agreement is that it does not have
executorial power. Legal efforts and protection for creditors that give money
loans using land certificates as collateral that do not utilize deed of
mortgage rights may be handled by non-litigation and litigation.
Keywords: Agreement,
Land Certificate, Mortgage
Pendahuluan
Suatu perikatan bisa
timbul dari suatu perjanjian ataupun undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1233 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang terbentuk dari suatu perjanjian
diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang memberi pengertian bahwasanya �perjanjian yakni suatu perbuatan
dengan mana seorang ataupun lebih orang mengikatkan dirinya kepada seorang ataupun lebih orang lain.� Hukum kontrak sesuai dengan prinsip kebebasan kontrak, sehingga para pihak bebas guna membuat
pengaturan apa pun. Agar suatu kontrak dianggap
sah di hadapan hukum, harus memenuhi
syarat-syarat sahnya suatu kontrak seperti
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, ialah �adanya persetujuan
dari mereka yang mengikatkan diri, kesanggupan guna membuat suatu perjanjian. , objek tertentu,
serta sebab yang halal.�
Pinjam meminjam uang termasuk hal yang lumrah dalam masyarakat
modern. Pada umumnya peminjam
(debitur) meminjam uang dari pemberi pinjaman
(kreditur) guna mendukung biaya hidup sehari-hari ataupun operasional perusahaan. Perjanjian pinjam meminjam tersebut memuat suatu perjanjian bernama seperti dipersyaratkan oleh Pasal 1754
KUH Perdata, yang menyatakan:
�pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberi kepada
pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis sebab pemakaian, dengan syarat bahwasanya
pihak yang terakhir ini akan mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.�
Dewasa ini, tidak
jarang memakai hak atas tanah
sebagai jaminan. Hak atas tanah
dipakai sebagai jaminan sebab menjamin
pelunasan kewajiban peminjam. Keadaan seperti itu mengharuskan
lahirnya undang-undang perundang-undangan yang berkaitan
dengan lembaga penjaminan yang kuat yang bisa memenuhi tuntutan
serta tuntutan zaman.
Hak Tanggungan yakni
hak jaminan yang diletakkan atas hak atas tanah
dan benda-benda yang termasuk
bagian penting dari tanah. Hal ini dilakukan untuk
memastikan bahwa debitur akan membayar
kepada pemberi pinjaman (kreditur), yang diberi jabatan utama (preferred creditor). Pegadaian
termasuk sarana bagi kreditur untuk
melindungi keamanannya, terutama dalam bentuk jaminan bahwa debitur akan
membayar kembali utangnya ataupun menyelesaikan tugas yang diberikan oleh kreditur ataupun penjamin jika debitur tidak
bisa membayar kembali semua utangnya.
Lembaga hipotek menghasilkan pemberi hipotek serta peminjam
hipotek. Pemegang hipotek yakni orang ataupun badan hukum yang bertempat tinggal sama dengan debitur.
Orang ataupun badan hukum
yang memiliki kesanggupan guna melaksanakan perbuatan hukum terhadap barang tidak bergeraknya untuk dijadikan subjek hipotek yakni pemberi hipotek.
sebab tanah yakni subjek hipotek,
orang yang memberi hipotek yakni pemilik properti
pada saat hipotek terdaftar.
Hak tanggungan melindungi
kreditur sebagai pemegang hak tanggungan
dalam hal terjadi pinjaman kepada debitur yang tidak bisa melunasi
utangnya seperti diperjanjikan di awal. Hak istimewa ini
membatasi kemampuan penjamin guna mengambil
tindakan hukum terhadap barang tanggungan. Bahkan menghilangkan hak pemberi pinjaman hipotek jika ia
gagal memenuhi kewajibannya.
Namun, dalam kehidupan
banyak individu, ada banyak contoh
peminjaman uang yang menjamin
kepemilikan sertifikat tanah tanpa memakai
lembaga hipotek, melainkan melalui perjanjian pinjam meminjam yang ditulis tangan. Dari sini, penulis ingin mendalami
lebih dalam penelitian ataupun penulisan hukum ini, yang akan fokus pada akibat hukum dari peminjaman
uang dengan jaminan sertifikat tanah tanpa memakai hak
tanggungan.
Metode Penelitian
Kajian hukum ini
memakai metodologi yuridis-normatif. Penelitian normatif hukum yakni teknik ilmiah
guna menemukan kebenaran berdasarkan penalaran ilmiah normatif yang subjeknya yakni hukum itu
sendiri. Dalam konteks kajian hukum yuridis normatif
dipakai pendekatan perundang-undangan (statute approach) serta
metode konseptual
(conceptual approach). Penulis memakai
sumber hukum sekunder serta sumber bahan hukum
primer, Artikel ini ditulis
dengan bantuan bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier, terutama yang berhubungan dengan perjanjian pinjam meminjam uang dengan sertifikat tanah yang tidak menggunakan hak tanggungan. Teknik analisis bahan hukum dirumuskan dengan deskriptif kualitatif, artinya dengan mengamati data yang dikumpulkan dan mengaitkan setiap data yang diterima dengan ketentuan dan prinsip hukum yang relevan dengan topik yang diteliti dengan menggunakan penalaran induktif, ialah berpikir dari hal yang khusus
ke hal yang lebih umum. Teknik normatif, seperti interpretasi dan konstruksi hukum, digunakan, dan kemudian pendekatan kualitatif digunakan untuk menghasilkan temuan dengan menggunakan
pendekatan deduktif.
Hasil dan Pembahasan
1) Akibat
Hukum Perjanjian Peminjaman Uang Dengan Jaminan Sertipikat Tanah Yang Tidak
memakai Hak Tanggungan
Dalam prakteknya, Perjanjian
pinjam meminjam, sebagai perjanjian pokok yang melahirkan perjanjian tambahan (asseoir), khususnya perjanjian penjaminan, tetap harus sesuai
dengan batasan-batasan perundang-undangan. termasuk yang
menyangkut syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320. KUHPerdata, yaitu, �adanya kesepakatan, adanya kecakapan, adanya suatu pokok
tertentu, dan adanya suatu sebab yang tidak dilarang.� Munculnya perjanjian penilai ialah perjanjian
assesoir, tidak terlepas dari perjanjian
pokok ialah perjanjian pinjaman. Konsep penilai jaminan utang memiliki akibat hukum sebagai
berikut:
a. �Tidak
ada perjanjian jaminan jika sebab sebab apapun perjanjian kreditnya tidak ada
baik sebab kebatalan, pembatalan, ataupun putusnya perjanjian. Sebaliknya,
eksistensi perjanjian kredit tidak terpengaruh dengan valid ataupun tidaknya
perjanjian jaminan kredit;
b. Tidak
mungkin ada jaminan kredit atas kredit yang belum ada. Undang-undang Hak
Tanggungan No 4 Tahun 1996 dengan tegas memaparkan bahwasanya hak tanggungan
bisa diberi baik atas utang yang sudah ada ataupun yang belum ada, tetapi jika
sudah diperjanjikan dengan jumlah utang tertentu setidak-tidaknya pada saat
eksekusi jaminan utang tersebut.�
Kecuali untuk jenis
jaminan tertentu, sifat mengikat dari jaminan utang tulisan tangan secara umum
bisa diterima. Pada kenyataannya, perjanjian jaminan lisan, seperti perjanjian
lainnya, tidak sering dilarang.
Agar suatu
perjanjian penjaminan memenuhi standar hukum yang relevan serta memiliki
kekuatan hukum, maka faktor formalitas harus diperhatikan. Pada umumnya gagasan
formalitas termasuk dalam akta asli, namun penggunaan akta di bawah tangan guna
menjamin utang tertentu tidak dilarang oleh undang-undang ataupun peraturan.
Ada berbagai macam janji yang tidak boleh diucapkan secara langsung, terutama
secara lisan. Salah satunya yakni hak tanggungan atas tanah yang akta-nya harus
dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan pertanahan yang bersangkutan. Setelah kantor pertanahan
menghasilkan hipotek sebagai konfirmasi bahwa pemegang hipotek memiliki
hipotek, pemegang hipotek diterbitkan dokumen yang dikenal sebagai Sertifikat
Hak Tanggungan. Dalam Sertifikat Hak Tanggungan muncul istilah Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, sertifikat hipotek
memiliki kekuatan eksekutif. Artinya, sertipikat hipotek memiliki kekuatan yang
sama dengan pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum
tetap, dan apabila debitur wanprestasi, pemegang hak tanggungan meminta
pelaksanaan sertipikat hipotek kepada Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan
eksekutorial. judul yang tercantum dalam sertifikat hipotek. Eksekusi
selanjutnya akan dilakukan dengan cara yang sama seperti eksekusi putusan yang
memiliki kekuatan hukum tetap, ialah melalui �eksekusi fiat�.
Dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tantang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah (�UUHT�) dinyatakan bahwasanya �penggunaan sertipikat
atas tanah yang seperti jaminan agar bisa memiliki kekuatan eksekutorial maka
pembuatannya harus di depan PPAT dengan meletakkan hak tanggungan pada jaminan
sertipikat tanah yang dipakai sebagai jaminan.� Obyek hak atas tanah yang bisa dibebani
hak tanggungan dalam Pasal 4 ayat 1 UUHT yakni hak milik, hak untuk usaha,
serta hak untuk bangunan, yang untuk itu harus dilampirkan sertifikat tanah
sebagai jaminan utang dengan hak tanggungan sesuai dengan ketentuan Pasal 13
ayat (1) ) UUHT dan terdaftar di Kantor Pertanahan serta Pertanahan (PPAT) Pada
saat didaftarkan ke Kantor Pertanahan, Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
melahirkan akta dengan kekuasaan eksekutif; selanjutnya apabila debitur
wanprestasi, jaminan perjanjian bisa dilaksanakan tanpa campur tangan
pengadilan (parate executie) sesuai dengan syarat-syarat Akta Pemindahtanganan
Hak. Hak Tanggungan (APHT) ada jaminan bahwasanya pemegang hak tanggungan
pertama berhak menjual obyek hak tanggungan atas kuasanya sendiri, tetapi
jaminan sertipikat tanah yang tidak didaftarkan pada Kantor Pertanahan tidak
memiliki kewenangan pelaksana.
Jika para pihak
dalam perjanjian tidak memakai akta otentik, artinya pembentukan APHT yang
dilakukan sebelum PPAT dalam penjaminan sertipikat tanah, melainkan memakai akta
di bawah tangan yang tidak dilarang, maka penjaminan sertipikat tanah tersebut.
belum memiliki kewenangan eksekutif. Agar sertipikat tanah memiliki kewenangan
eksekutorial, kreditur harus menempuh jalur hukum apabila debitur wanprestasi,
terutama dengan mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri serta menyita
jaminan.
Dalam hukum utang,
semua harta kekayaan debitur, baik yang ada maupun yang akan didapat di
kemudian hari, dijadikan sebagai jaminan untuk pelunasan piutang tertentu
masing-masing kreditur. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwasanya agunan untuk sertifikat
tanah yang dipakai dalam pengaturan pinjam meminjam pribadi yakni jaminan yang
luas seperti tercantum dalam Pasal 1131 serta 1132 KUHPerdata bahwasanya �semua
benda milik debitur bergerak ataupun tidak bergerak, sudah ada ataupun akan ada
menjadi tanggungan atas utang yang dibuatnya.� Ini yakni dasar di mana kreditur
bisa mengajukan petisi kepada pengadilan untuk sita eksekusi ataupun sita
conservatoir semua aset debitur.
Menurut Notaris dan PPAT Zaenal Arifin yang memiliki
wilayah kerja di Blitar, Jawa Timur, ia mengamati perjanjian pinjam meminjam dengan sertifikat tanah sebagai jaminan
tanpa memakai hak agunan; sebenarnya
perjanjian itu sah menurut syarat-syarat
serta syarat-syarat perjanjian yang sah seperti diatur dalam Pasal 1320 KUHP. Dalam perjanjian pinjam-meminjam apabila suatu sertipikat tanah dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang, maka harus dibuatkan Akta Hak Tanggungan
yang didaftarkan; kemudian memiliki kekuasaan eksekutorial yang sama dengan penetapan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan
pendapat Notaris dan PPAT Dewi Osdiartika dari Palembang, Sumatera Selatan, Perjanjian
Pinjam Meminjam dengan jaminan sertifikat tanah tanpa memakai hak
tanggunan tersebut sah jika memenuhi
persyaratan hukum perjanjian seperti dimaksud dalam Pasal 1320 Tahun KUHPerdata.
Menurut penjelasan Pasal 4 UUHT, pemberian hak atas tanah
hak tanggungan harus dicatat dalam
daftar umum. Ini terkait dengan fakta bahwasanya piutang diberi posisi prioritas, yang berarti mereka didahulukan dari kreditur konkuren. Seluruh properti terdaftar sebagai hipotek atas hutang.
Pendaftaran itu sebagai bekal konsep
publisitas, sehingga setiap orang bisa melihat bahwasanya sebidang tanah itu digadaikan dengan jumlah tertentu.
Perjanjian pinjam meminjam memakai jaminan sertipikat hak atas tanah
yang tidak didaftarkan melalui Kantor Pertanahan serta memakai Hak
Tanggungan. Oleh sebab itu bentuk penjaminan
dalam perjanjian pinjam meminjam ini tidak memiliki
kekuasaan eksekutif seperti dimaksud dalam Pasal 14 UUHT, sebab tidak mengandung
irah-irah. Oleh sebab itu, jaminan yang dipakai dalam perjanjian
pinjaman ini tidak termasuk dalam jaminan hipotek
yang memiliki kekuasaan eksekutif.
Berdasarkan uraian di atas, bisa ditentukan
bahwasanya Pasal 1320 KUHPerdata mengatakan bahwa perjanjian pinjam meminjam yang menggunakan sertifikat tanah tetapi tidak
menggunakan hak tanggungan yakni sah. Hal ini karena
perjanjian tersebut memenuhi syarat sah. Kemudian, jenis jaminan yang digunakan dalam perjanjian pinjam meminjam yang menggunakan akta di bawah tangan
tidak termasuk dalam jaminan yang melekat pada Hak Tanggungan menurut Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 (Jaminan Khusus), karena sertifikat tanah dijadikan sebagai jaminan hipotek. penyelesaian kesepakatan. Dalam hal pinjam
meminjam, para pihak memilih untuk tidak
membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan
apabila mereka menggunakan sertifikat tanah sebagai jaminan
dalam perjanjian pinjam meminjam. Artinya Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata bisa digunakan untuk mengklasifikasikan sertipikat tanah yang dijadikan jaminan sebagai jaminan umum.
2)
Perlindungan Terhadap
Pemberi Pinjaman Uang Dengan Jaminan Sertipikat Tanah Yang Tidak memakai Hak
Tanggungan
Ada dua macam jaminan
yang diberi pemberi pinjaman kepada peminjam:
a.
Hak jaminan yang bersifat
umum menurut Pasal 1131 KUH Perdata ialah �segala kebendaan yang dimiliki
debitor baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak, benda yang ada
maupun benda yang akan ada termasuk
jaminan terhadap pelunasan hutang yang dibuatnya.� Sedangkan Hak jaminan yang bersifat umum menurut
Pasal 1132 KUH Perdata ialah �semua harta
kekayaan yang dimiliki oleh
debitur termasuk jaminan bersama bagi semua kreditor
yang memberi hutang kepadanya.� Dalam hal ini, barang-barang
yang bisa dipakai guna membayar kembali
kewajiban yang dijamin dengan jaminan umum jika memenuhi
kriteria berikut:
1)
Benda tersebut memiliki
aspek ekonomi, artinya bisa dimonetisasi.
2)
Benda itu memiliki kemampuan
guna mengalihkan haknya kepada orang lain.
b.
Hak agunan khusus, ialah Jaminan
berupa penyerahan barang tertentu, terutama sebagai jaminan pelunasan utang
kepada kreditur tertentu, baik secara langsung maupun tertulis, yang diberikan
oleh debitur kepada kreditur dengan mengutamakan kreditur lain. Terbentuknya
hak jaminan khusus sebagai akibat adanya perjanjian
khusus antara debitur serta kreditur:
1)
Jaminan kebendaan,
termasuk hal-hal tertentu yang bisa dijadikan jaminan. Barang yang dijaminkan
harus dimiliki oleh entitas yang memberi jaminan. Dua kategori barang jaminan
yakni bergerak dan tidak bergerak, dengan fidusia serta gadai sebagai lembaga
penjaminan. Hipotek dijamin dengan barang tidak bergerak serta lembaga
penjaminnya.
2)
Jaminan yang berkaitan
dengan orang-orang, termasuk adanya orang tertentu yang mampu menyelesaikan
ataupun membayar kewajiban jika debitur wanprestasi ataupun melanggar
perjanjian.
Jaminan khusus memiliki
keunggulan dibandingkan jaminan umum sebab
memberi kesempatan untuk dibayar di depan kreditur lain. Pendaftaran hak tanggungan termasuk keharusan yang wajib bagi lahirnya
hak tanggungan serta menimbulkan kedudukan kreditur menjadi kreditur preferen, ialah kreditur yang berhak menerima pelunasan terlebih dahulu kepada kreditur serta kreditur lain. Preferensi dalam tagihan memiliki
prioritas atas tagihan kreditur lainnya.
Jika hak tanggungan
tidak lahir, Jika hipotek tidak lahir,
kedudukan kreditur terbatas pada kreditur lain pada saat yang sama, ialah kreditur yang tidak bisa melunasi
kreditor lain lebih awal dan piutangnya tidak didukung oleh hak kebendaan. Cara berpikir ini menghentikan
kreditur lain dari mengambil harta debitur jika mereka
gagal membayar ataupun melanggar perjanjian. Kreditur konkuren bisa menempuh
proses nonlitigasi ataupun litigasi apabila debitur wanprestasi ataupun wanprestasi dengan mengajukan gugatan ke pengadilan,
menyita barang jaminan, dan mendapat putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa hanya debitur yang melanggar haknya. janji dan agunannya bisa dijual secara
lelang. Ini bukan situasi yang baik bagi kreditur.
Jadi, pembuatan UUHT bisa melindungi kreditur sebagai kreditur preferen. Kreditur preferen bisa melaksanakan
eksekusi langsung wanprestasi ataupun cidera janji untuk
mempercepat proses hukum
yang lama dan dipandang lebih
efisien waktu.
Dalam hal ini,
menurut Subekti, tujuan eksekusi langsung atau, alternatifnya, Eksekusi Parate yang dilakukan oleh kreditur yang diunggulkan yakni agar kreditur bisa memakai haknya
sendiri, tanpa campur tangan pengadilan,
dengan menjual sendiri barang jaminan itu.
Kreditur (pemegang hak
jaminan) bisa melaksanakan Eksekusi Parate tanpa bantuan
pengadilan negeri, tetapi dengan kerja sama
balai lelang negara. Oleh sebab itu, bisa
ditetapkan bahwasanya eksekusi Parate bisa dilakukan tanpa persetujuan pengadilan negeri. Ayat 2 Pasal
14 UU Hak Tanggungan menjelaskan Eksekusi Parate sebagai berikut: �salah satu ciri hak tanggungan
yang kuat yakni mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji.� Walaupun ketentuan umum tentang eksekusi diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata
yang berlaku, dalam undang-undang ini perlu dicantumkan ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan hak tanggungan, ialah yang mengatur tentang Lembaga Parate Executie seperti dimaksud dalam Pasal 224 Peraturan Indonesia yang diperbarui
( Het Herzeine Inlands Reglement)
serta Pasal 258 Reglement Acara Hukum Daerah Luar
Jawa dan Madura (Reglement
tot Regeling van het Rechtswezen
in de Gewesten Buiten Java en
Madura).
Ini menunjukkan bahwasanya
eksekusi diatur oleh Hukum
Acara Perdata, tetapi membuktikan kualitas hipotek tergantung pada kenyamanan serta kepastian eksekusi. Menurut pandangan Notaris/PPAT Zaenal Arifin yang berkantor di Blitar, Jawa Timur, ketiadaan APHT akan membuat Hak
Tanggungan tidak berdaya. Menurut Pasal 14 ayat 3 UU Hak Tanggungan, Sertifikat hipotek memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan perintah pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Notaris/PPAT
Erna Effendi yang berkantor di Blitar,
Jawa Timur, juga mengatakan
bahwa hanya APHT yang tidak terdaftar yang tidak memenuhi tanggung jawabnya kepada kreditur yang akan menghadapi masalah. Kedudukan kreditur dibatasi pada kreditur konkuren jika APHT tidak terdaftar. Selanjutnya, APHT yang
tidak terdaftar tidak memiliki kekuasaan eksekutif.
Jika APHT tidak terdaftar serta kreditur sudah memberi kredit kepada debitur, maka jabatan kreditur
menjadi rangkap. Selama debitur tidak membuat janji
ataupun wanprestasi, tidak akan ada
masalah bagi kreditur; tetapi jika debitur wanprestasi
ataupun membuat janji, kreditur bisa melaksanakan perbuatan hukum sebagai badan hukum yang merasa dirugikan hak serta kepastian
hukumnya, menurut tata cara. -dengan cara
yang ditentukan oleh undang-undang
yang relevan.
Jika debitur melaksanakan
wanprestasi ataupun wanprestasi dalam Ini serta beritikad
baik, maka akan lebih menguntungkan
bagi kreditur jika tercapai win-win solution dengan debitur, dalam pengaturan hukum ketika APHT yang tidak terdaftar dipakai sebagai alat bukti. Berdasarkan
uraian di atas, maka tujuan pembuktian
yakni sebagai berikut APHT memiliki tiga (tiga) kekuatan
pembuktian, yaitu:
a.
Kekuatan pembuktian
lahiriah ialah akta otentik yang membuktikan dirinya tanpa penjelasan dari
orang lain;
b.
Kekuatan pembuktian
formal ialah keterangan-keterangan yang ada di dalam akta tersebut secara
formal benar adanya;
c.
Kekuatan pembuktian
materiil ialah isi materi dari apa yang ada dalam akta ini dijamin benar
adanya. sebab yang membuat serta menyusun akta ini yakni pejabat umum yang
berwenang. Kebenaran materiil akta ini sudah mengikat para pihak dan pihak yang
menerima haknya serta para ahli waris.�
Dari uraian di atas bisa ditarik
kesimpulan bahwasanya APHT termasuk dokumen asli yang memiliki bobot pembuktian di persidangan, sehingga tidak perlu ada
alat bukti pendukung lebih lanjut sebab dokumen
tersebut tidak diragukan lagi. Dalam putusan Notaris/PPAT,
Zaenal Arifin mengatakan bahwasanya jika debitur ingkar ataupun ingkar janji sedangkan kreditur merangkap jabatan, seringkali ada dua (dua)
cara penyelesaian perkara perdata ini: litigasi serta
nonlitigasi.
Penyelesaian gugatan yakni
cara penyelesaian sengketa hukum melalui sistem peradilan. Sedangkan penyelesaian nonlitigasi yakni penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan dengan memakai cara-cara kooperatif, seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, serta arbitrase. Hal tersebut juga sudah diungkapan oleh Rachmadi Usman, bahwasanya �selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga bisa diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) ataupun Alternative Penyelesaian Sengketa.�
Arbitrase, khususnya istilah
yang berkaitan dengan arbitrase dalam perjanjian perdata, sudah banyak dipakai
sebagai bentuk penyelesaian konflik yang tidak melibatkan litigasi. Selain itu, pembentukan arbitrase memberi pendapat yang mengikat. Akibatnya, tampilan yang disediakan akan dimasukkan ke dalam
perjanjian utama. Setiap sudut pandang
yang menentang nasihat hukum yang diberikan termasuk pelanggaran terhadap perjanjian. Akibatnya, para pihak yang berkonflik tidak punya pilihan lain kecuali mengajukan gugatan. Putusan arbitrase bersifat mengikat, independen, dan final (hampir setara dengan putusan
pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap), sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan menilai dasar putusan arbitrase
nasional.
Manfaat mediasi yakni
para pihak yang berkonflik bisa memilih mediator, selama mediator tetap tidak memihak serta
tidak memihak. Satu-satunya tanggung jawab mediator yakni memberi ide-ide guna membantu para pihak mencapai kesepakatan yang diinginkan. Mediasi tersedia dalam masalah perdata yang sudah dibawa ke
pengadilan tingkat pertama. Sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003,
yang mengamanatkan bahwasanya
�semua perkara yang diajukan ke pengadilan
tingkat pertama harus diselesaikan terlebih dahulu melalui perdamaian dengan bantuan seorang mediator, semua perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat
pertama instansi terlebih dahulu harus menjalani mediasi.� Masalah perdata yang sudah dibawa ke pengadilan
tingkat pertama diminta untuk berpartisipasi
dalam mediasi. Setelah mediator ditunjuk, dibutuhkan waktu 22 (dua puluh dua)
hari kerja guna melaksanakan mediasi. Menurut Perma Nomor 2 Tahun
2003 Pasal 15 ayat (1), ayat (2) serta ayat (3) menjelaskan bahwasanya �mediasi bisa diselenggarakan di satu dari ruang
pengadilan tingkat pertama ataupun di tempat lain yang disepakati oleh
para pihak, dengan menyelenggarakan mediasi di satu dari ruang
pengadilan tingkat pertama tidak akan
dikenakan biaya apapun.� Jika para pihak memutuskan untuk mengadakan mediasi di tempat lain, biaya
ditanggung oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan.
Negosiasi menghasilkan penyelesaian
non-litigasi final. Negosiator
yakni orang yang biasanya menangani pembicaraan. Seorang negosiator harus memiliki pengalaman sebelumnya dalam menegosiasikan isu-isu yang kontroversial di antara para pihak. Untuk membuat kesepakatan,
semua pihak dan negosiator harus mampu memanfaatkan kemungkinan dalam skenario apa pun, dan harus ada kepercayaan
antara para pihak dan negosiator.
Sedangkan fasilitas pengadilan
biasa bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur litigasi.
Peradilan umum yakni pengadilan yang tugasnya menggunakan kekuasaan kehakiman agar rakyat mencari keadilan. Pengadilan Distrik memiliki yurisdiksi untuk mengadili masalah komersial; Pengadilan Distrik dibedakan oleh fitur-fitur berikut:
a.
�Dalam mengambil
keputusan para pihak tidak dilibatkan;
b.
Sifat dari keputusan
tersebut yakni mengikat dan memaksa;
c.
Sifat dari persidangan
tersebut yakni terbuka;
d.
Dalam membuat keputusan
yakni pihak ketiga ialah hakim;
Orientasi dalam
penyelesaian masalah tersebut yakni sesuai dengan fakta
hukum yang ada.�.
Kesimpulan
Perjanjian pinjam meminjam
memakai jaminan sertipikat hak atas tanah yang tidak didapat melalui
pembebanan Hak Tanggungan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang menjadi kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti diatur dalam ketentuan
Pasal 1 ayat 4 serta ayat 5 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
atas Tanah dan Benda-benda
Yang Berkaitan Dengan
Tanah, selanjutnya disebut
UUHT, maka bentuk jaminan dalam perjanjian
pinjam meminjam ini adalah tidak
memiliki kekuatan eksekutorial sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 14 UUHT karena tidak mengandung
irah-irah sebagaimana ada di dalam APHT.
Perjanjian pinjam meminjam
yang memakai sertipikat tanah yang hak tanggungannya tidak didaftarkan dalam perlindungan bagi para krediturnya hanya berstatus merangkap kreditur. Sementara itu, bagi kreditur
hanya ada dua upaya hukum
yang tersedia bagi mereka: penyelesaian melalui nonlitigasi serta penyelesaian melalui litigasi. Tujuan penyelesaian nonlitigasi yakni penyelesaian sengketa hukum secara kooperatif
di luar pengadilan, khususnya melalui negosiasi, mediasi, serta arbitrase. Sedangkan penyelesaian secara litigasi yakni suatu cara
penyelesaian sengketa hukum melalui pengadilan,
baik umum.
BIBLIOGRAFI
Abdurrahman. 1985. Beberapa Catatan tentang Hukum Jaminan dan Hak-Hak Jaminan atas Tanah. Bandung: Alumni
Badriyah, Siti Malikhatun,
R.Suharto, dan H. Kashadi. 2019. Implikasi Hukum Penggunaan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah, Jurnal Vol 2, No. (2019):
Law, Development & Justice review, Mei 2019, Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro
Busro, Achmad.
2012. Hukum Perikatan Berdasar
Buku III KUHPerdata.
Yogyakarta: Percetakan Pohon
Cahaya
Faudy, Munir. 2013. Hukum Jaminan Hutang. Jakarta: Erlangga
Ibrahim, Johnny. 2011. Teori&Metodologi Penelitian
Hukum Normatif. Malang: Bayumedia
Jaya, I. G. P., Utama, I. M. A.,
& Westra, I. K. 2015. Kekuatan
Hukum Sertifikat Hak Tanggungan Dalam Hal Musnahnya Obyek Hak Tanggungan sebab Bencana Alam.
Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan.
Kusuma, I Gusti
Ngurah Bagus Surya, AA Gede Agung Dharma Kusuma, dan Desak
PutuDewi Kasih. 2013. Perjanjian
Pinjam Meminjam Uang Pada Koperasi Simpan Pinjam �Puri Sedana� Di Desa Peninjoan Peguyangan Kangin Denpasar, Kertha Semaya: Journal Ilmu Hukum, Vol. 01, No. 1, Januari
2013
Laurensius�Arliman. 2018. Peranan Metodologi Penelitian Hukum di Dalam Perkembangan Ilmu Hukum di
Indonesia. Jurnal Soumatera
Law Review.
Manurung, Grace Violenta.
2011. Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan Berdasarkan Putusan Pengadilan Yang Bersifat Condemnatoir. Penulisan Hukum Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan
Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Nugroho, Rage Cikal.
2018. Perlindungan Hukum Terhadap
Kreditur Dalam Hal Dibatalkannya Sertifikat Hak untuk Bangunan
Yang Dibebani Hak Tanggungan (Studi Kasus Perkara Perdata
Nomor: 27/PDT.G/2010/PN.PDG), Jurnal
Hukum Vol 9 No 1, Universitas Andalas.
Poesoko, Herowati.
2007. Parate Executie Objek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik
Norma dan Kesesatan Penalaran
Dalam UUHT), Cet. I. Yogyakarta: Laksbang
Pressindo
Putra, Bayu
Setiawan Hendri. 2020. Kedudukan
Sertipikat Hak Atas Tanak Sebagai Jaminan
Kebendaan Berdasarkan Undang-Undangn Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah, Jurnal Privat Law Vol. VIII No. 1 Januari 2020.
Risa, Yulia.
2017. Perlindungan Hukum Terhadap
Kreditur Atas Wanprestasi Debitur Pada Perjanjian Kredit Dengan Jaminan
Hak Tanggungan. Jurnal Normative volume 5 nomor 2
tahun 2017
Sari, Anisa Kartika. 2015. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan yang tidak Didaftarkan Di Kantor Pertanahan. Jurnal Repertorium, Edisi 3
Sofwan, Sri Soedewi
Masjchoen. 2001. Hukum Jaminan
Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
dan Perorangan, Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman.
Yogyakarta: Liberty Offset
Subekti. 1990. Pelaksanaan
Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa, Dalam: Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial. Jakarta: MARI
Tartib. 2011. Catatan
Tentang Parate Eksekusi. Artikel dalam majalah Varia Peradilan, Th.XI
Usman, Rachmadi.
2012. Mediasi di Pengadilan:
Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Sinar Grafika Jakarta
Wiguna, I wayan
Jody Bagus Wiguna. 2020. Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik, Acta Comitas Vol 5 no 1 April 2020, Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Copyright holder: Muhammad Rifqi, Bambang Eko (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |