Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 6, Juni 2022

 

TANGGUNGJAWAB PIDANA DOKTER DALAM MELAKUKAN PERBUATAN ABORSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

 

Slamet Pribadi

Dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Indonesia
Email: [email protected]


Abstrak

Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) masalah penelitian. Pertama, Berapa tahun hukuman yang dikenakan kepada terdakwa dr. Wim Ghazali Bin H. Wahni dalam kasus Tindak Pidana Aborsi Putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018/PN. Plg? Kedua, Sanksi Kode Etik apakah yang diterima kepada terdakwa? Metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian hukum yuridis-normatif. Penelitian menghasilkan 2 (dua) simpulan yakni sebagai berikut. Pertama, penerapan tindakan aborsi secara ilegal di Indonesia yang dilakukan secara tidak diizinkan seperti menggugurkan/mematikan kandungnya dengan sengaja maupun dibantu dengan orang lain atau dokter akan dikenakan sanksi secara tegas dan melarang tindakan aborsi atau praktik aborsi dilakukan, dan untuk tindakan legal aborsi provokatus/buatan legal yaitu aborsi buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kesehatan dapat dilakukan namun memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan hanya untuk alasan medis dan korban perkosaan. Tindakan aborsi yang dilegalkan yaitu perempuan yang hamil dengan kedaruratan medis dan perempuan yang hamil akibat perkosaan. Kedua, maraknya kasus-kasus pelanggaran disiplin kedokteran yang dilakukan oleh dokter, disebabkan karena kurangnya kedisiplinan berprofesi dan pemahaman mengenai Kode Etik kedokteran menjadi faktor penyebab terjadinya pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter dalam praktik kedokterannya. Dalam penangan kasus yang dilakukan oleh dokter, MKEK dan MKDKI sangat berperan dalam penegakan setiap kasus yang dilakukan dokter. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia (MKEK IDI) adalah lembaga yang mengeluarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Pertama, tanggungjawab dokter sebagai profesi yang telah melanggar Kode Etik, wajib ditindak sesuai perundangan yang berlaku, dalam apabila terbukti maka pelaku dapat diberhentikan sebagai dokter, dimana tindakan perlaksanaan hukum administrasi serta tindakan hukum pelaku harus menjalani pidana serta denda sebagai konsekuensi yuridis akibat tindakan aborsi yang melawan hukum. Kedua, dalam melaksanakan pratik kedokteran hendaklah norma etik, disiplin dan hukum harus ditanamkan secara pribadi bagi setiap dokter yang melakukan pekerjaan mulianya. Karena masyarakat pada umumnya selalu menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada dokter demi mendapatkan kesembuhan. Untuk melakukan pengawasan secara berkala terhadap dokter, tidaklah salah jika mengsosialisasikan tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia kepada seluruh dokter yang ada, mengingat bahwa dokter juga manusia yang terkadang bisa lalai dalam melakukan tugasnya.

 

Kata Kunci: Aborsi, kode etik

 

Abstract

In this study there are 2 (two) research problems. First, how many years was the sentence imposed on the defendant dr. Wim Ghazali Bin H. Wahni in the case of the Abortion Crime Decision Number 1106/Pid.Sus/2018/PN. Pls? Second, what code of ethics sanctions were accepted for the defendant? The research method used is the juridical-normative legal research method. The research resulted in 2 (two) conclusions, namely as follows. First, the application of illegal abortion in Indonesia which is carried out in an unauthorized manner, such as aborting/killing the womb intentionally or assisted by another person or doctor, will be subject to strict sanctions and prohibit abortion or the practice of abortion being carried out, and for legal acts of provocative/artificial abortion. legal, ie artificial abortion in accordance with the provisions as regulated in the Health Act can be carried out but fulfills the applicable provisions and only for medical reasons and rape victims. Legalized abortions are women who become pregnant with a medical emergency and women who become pregnant as a result of rape. Second, the rise of cases of medical discipline violations committed by doctors, due to the lack of professional discipline and understanding of the Medical Code of Ethics are factors that cause disciplinary violations by doctors in their medical practice. In handling cases carried out by doctors, MKEK and MKDKI play a very important role in enforcing every case carried out by doctors. The Indonesian Medical Ethics Honorary Council (MKEK IDI) is the institution that issues the Indonesian Medical Ethics Code (KODEKI). First, the responsibility of doctors as a profession that has violated the Code of Ethics, must be dealt with in accordance with applicable laws, if it is proven that the perpetrator can be dismissed as a doctor, where the administrative law enforcement action as well as the legal action of the perpetrator must undergo a criminal act and a fine as a juridical consequence due to an abortion. against the law. Second, in carrying out medical practice, ethical, disciplinary and legal norms should be instilled personally for every doctor who does his noble work. Because people in general always put their full trust in doctors in order to get a cure. To carry out regular supervision of doctors, it is not wrong to socialize the Indonesian Medical Code of Ethics to all existing doctors, considering that doctors are also human beings who can sometimes be negligent in carrying out their duties.

 

Keywords: Abortion, code of conduct

 

 

Pendahuluan

Negara Repulik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan (machstaat). Hal ini secara jelas disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang rumusannya �Negara Indonesia adalah negara hukum.� Negara hukum menghendaki agar hukum ditegakkan oleh semua anggota masyarakat. Artinya, setiap perbuatan haruslah didasarkan pada aturan hukum yang berlaku. Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai individu maupun sebagai anggota-anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mengadakan keselamatan, kebahagiaan, tata tertib dan situasi yang harmoni di dalam masyarakat. Asas yang harus di perhatikan dalam pembangunan kesehatan yaitu asas perikemanusian, artinya bahwa pembangunan kesehatan harus dilandasi atas perikemanusiaan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tidak membedakan golongan Agama dan Bangsa. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009, Pasal 75 bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan dan aturan ini diperkuat dengan Pasal 77 yang berisi pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 mengenai tindakan aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Walaupun ada perbedaan antara KUHPidana dengan Undang-Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 tentang aborsi, tetapi dalam Undang-undang kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, tenaga medis diperbolehkan untuk melakukan aborsi legal pada perempuan hamil karena alasan medis dengan persetujuan perempuan yang bersangkutan disertai suami dan keluarganya (Langie, 2014). Seperti yang sudah dijelaskan diatas dalam KUHPidana terdapat larangan terhadap aborsi, dan bagi ibu serta pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, maka pasalpasal tentang aborsi dalam KUHPidana ini masih berlaku. Terlepas dari hukum formal yang mengatur, aborsi merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai-nilai sosial budaya agama yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks masyarakat Indonesia aborsi lebih condong sebagai aib sosial dari pada manifestasi kehendak bebas tiap individu.

Aborsi merupakan masalah yang sarat dengan nilai-nilai sosial, budaya, agama, dan politik. Alasan untuk melakukan tindakan aborsi Apabila dijabarkan, ada beberapa alasan yang digunakan oleh wanita dalam menggugurkan kandungannya baik legal maupun ilegal yang disebabkan karena tidak menginginkan untuk meneruskan kehamilan sampai melahirkan. Alasan-alasan tersebut sebagaimana: Alasan kesehatan; Alasan sosial; Alasan ekonomi dan Alasan keadaan darurat (memaksa) (Langie, 2014). Selain itu juga dimuat mengenai syarat dan ketentuan dari pelaksanaan aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 (Hamdani, 1992). Pada Pasal 299 dan 346-349 KUHPidana tidak diatur masalah aborsi provocatus medicalis. Apabila ditelaah lebih jauh, kedua peraturan tersebut berbeda satu sama lain. KUHPidana mengenal larangan aborsi provocatus tanpa kecuali, termasuk aborsi provocatus medicalis atau aborsi provocatus therapeuticus. Tetapi, Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 justru memperbolehkan terjadi aborsi provocatus medicalis dengan spesifikasi therapeutics. Dalam konteks hukum pidana, terjadilah perbedaan antara peraturan perundang-undangan yang lama (KUHPidana) dengan peraturan perundang-undangan yang baru. Padahal peraturan perundang-undangan disini berlaku asas �lex posteriori derogat legi priori�.

Asas ini beranggapan bahwa jika diundangkan peraturan baru dengan tidak mencabut peraturan lama yang mengatur materi yang sama dan keduanya saling bertentangan satu sama lain, maka peraturan yang baru itu mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama. Dengan demikian, Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 yang mengatur tentang aborsi provocatus medicinalis tetap dapat berlaku di Indonesia meskipun sebenarnya aturan berbeda dengan rumusan aborsi provocatus criminalis menurut KUHPidana. Berlakunya asas Lex posteriori derogat legi priori sebenarnya merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengembangkan hukum pidana Indonesia. Banyak aturan-aturan KUHPidana yang dalam situasi khusus tidak relevan lagi untuk diterapkan pada masa sekarang ini. Untuk mengatasi kelemahan KUHPidana tersebut pemerintah mengeluarkan undang-undang kesehatan dengan harapan dapat memberikan suasana yang kondusif bagi dinamika masyarakat Indonesia pada masa sekarang ini.

Asas Lex posteriori derogat legi priori merupakan asas hukum yang berkembang di seluruh bidang hukum. Fungsinya dalam ilmu hukum (khususnya hukum pidana) hanya bersifat mengatur dan eksplikasitif (menjelaskan). Asas ini berfungsi untuk menjelaskan berlakunya Pasal 75-78 ketika harus dikontfrontasikan dengan pasal-pasal KUHPidana yang mengatur masalah abortus provocatus (Napitupulu & Mulyadi, 2013).� Melihat rumusan Pasal 75 UU Nomor 36 Tahun 2009 tampaklah bahwa dengan jelas UU Nomor 36 Tahun 2009 melarang aborsi kecuali untuk jenis aborsi provocatus therapeuticus (aborsi yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa si ibu dan atau janinnya). Dalam dunia kedokteran, aborsi provocatus medicalis dapat dilakukan jika nyawa si ibu terancam bahaya maut akibat dari lahirnya bayi yang belum waktunya ataupun keadaan si ibu yang mengandung sebelum melahirkan mengalami, masalah kesehatan yang menyangkut, Iatrogenik, Maternal, Uterus, Plasenta, Cairan Amnion, Janin, dan Serviks (Wibowo, 1997). Lalu dapat dilakukan aborsi jika janin yang akan lahir diperkirakan mengalami cacat berat dan diindikasikan tidak dapat hidup diluar kandungan. Dalam kaitanya dengan hal ini, Suryono Ekotama, dkk mengemukakan pendapat sebagai berikut �Dari segi medis, tidak ada batasan pasti kapan kandungan bias digugurkan. Kandungan perempuan bisa digugurkan kapan saja sepanjang ada indikasi medis untuk menggugurkan kandungan itu (Suryono Ekotama, 2001). Dalam hukum positif di Indonesia, pengaturan tindakan aborsi terdapat dalam dua undang-undang yaitu KUHP Pasal 299, 346, 347, 348 dan 349 serta diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 76,77,78. Terdapat perbedaan antara KUHP dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam mengatur masalah aborsi.

KUHP dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun, sedangkan UU Kesehatan membolehkan aborsi atas indikasi medis maupun karena adanya perkosaan. Akan tetapi ketentuan aborsi dalam UU No. 36 Tahun 2009 tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar misalnya kondisi kehamilan maksimal 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir. Selain itu berdasarkan Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, tindakan medis (aborsi), sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli.

Hal tersebut menunjukkan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum dan segala perbuatan yang di lakukan oleh tenaga kesehatan terhadap hak reproduksi perempuan bukan merupakan suatu tindak pidana atau kejahatan, Selama ini aborsi oleh tenaga medis dilakukan bilamana ada indikasi medis misalnya ibu dengan penyakit berat yang mengancam nyawa. Dalam perkara putusan nomor 1106/Pid.Sus/2018/PN.Plg, didalam persidangan terdakwa Dr. Wim Ghazali Bin H. Wahni Warak mengakui telah menjalani praktik sebagai dokter sejak 1972 dan dimuka persidangan terdakwa mengatakan sudah sering melakukan praktik aborsi dan tidak dapat diingat lagi berapa kali terdakwa melakukan praktik aborsi. Terdakwa Dr. Wim Ghazali Bin H. Wahni telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Percobaan melakukan aborsi� oleh karena itu terdakwa dipidana penjara selama 4 (empat) tahun, dan menjatuhkan pidana tambahan berupa mencabut izin praktik terdakwa sebagai dokter. Dalam perkara putusan nomor 29/Pid/B/2007/PN.Kray, menyatakan terdakwa Tarwiyati binti Khusen Karso Dipo telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �dengan sengaja melakukan tindakan medis terhadap ibu hamil yang dilakukan tidak dalam keadaan darurat maupun bukan oleh tenaga ahli dan mempunyai kewengan untuk itu�. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun, dan dengan denda sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan.

Dalam perkara putusan nomor 567/Pid.Sus/2016/PN.JKT.PST terkait dengan aborsi yang dilakukan oleh dokter, dalam perbuatan terdakwa Dr.M.Nazip dengan peran sebagai dokter umum yang melakukan aborsi tersebut tidak dibenarkan oleh aturan perundang-undang yang berlaku, terutama undang-undang bidang tenaga kesehatan atau tindak pidana bidang praktek kedokteran atau tindak pidana bidang kesehatan. Karena terdakwa bukan tenaga kesehatan melakukan praktek seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang telah memiliki izin resmi. Berdasarkan permasalahan yang disebutkan diatas maka perlu dibahas mengenai kasus aborsi yang dilakukan dokter dari sudut pandang hukum pidana.

 

 

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif atau disebut juga sebagai penelitian kepustakaan, yakni meneliti dengan cara meneliti bahan Pustaka artau data sekunder belaka.

 

Hasil Dan Pembahasan

A.    Tinjauan Pustaka

1.     Tindak Pidana

Tindak pidana atau delik merupakan terjemahan dari perkataan strafbaar feit atau delictdalam bahasa Belanda atau criminal act dalam bahasa inggris, dalam menterjemahkan istilah tindak pidana ke dalam bahasa Indonesia maka dipergunakan bermacam macam istilah oleh para ahli hukum di Indonesia. Peristilahan yang sering di pakai dalam hukum pidana adalah tindak pidana. Istilah ini dimaksudkan sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda, yaitu delict atau strafbaar feit. Disamping itu bahasa Indonesia sebagai terjemahannya telah di pakai beberapa istilah, yaitu:

1)     Peristiwa pidana;

2)     Perbuatan pidana;

3)     Pelanggaran pidana;

4)     Perbuatan yang dapat dihukum, dan;

5)     Perbuatan yang boleh di hukum Dasar patut di pidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan.

2.     Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. a. Unsur Subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam niat dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif itu adalah sebagai berikut:

1)     Kesengajaan atau kelalaian.

2)     Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3)     Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain lain.

4)     Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam kejahatan menurut Pasal 340 KUHP.

5)     Perasaan takut seperti yang terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

3.     Pengertian Dan Jenis Aborsi

Dalam pengertian medis, abortus (aborsi) adalah gugur kandungan atau keguguran. Menurut World Health Organization (WHO) abortus adalah berakhirnya suatu kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar rahim ibunya. Istilah aborsi berasal dari Bahasa Latin abortus yang artinya kelahiran sebelum waktunya. Sinonim dengan itu kita mengenal istilah kelahiran prematur atau miskraam dalam Bahasa Belanda yang artinya keguguran. Terjadinya aborsi bisa secara alami dan tidak sengaja, bisa juga karena disengaja dengan menggunakan obat-obatan dan cara-cara medis tertentu.

Peristilahan aborsi sesungguhnya tidak ditemukan pengutipannya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalam KUHP hanya dikenal istilah pengguguran kandungan. Abortus bukan istilah baru di muka bumi, termasuk Indonesia. Keguguran kandungan dan pengguguran kandungan telah dikenal sejak jaman kuno dan telah terjadi pada hampir semua kebudayaan bangsa. Sedangkan dari segi psikiatri menurut Soewadi (Soewadi, 2005), aborsi berdasarkan indikasi medis atau aborsi terapeutik dapat dilakukan jika kehamilan yang mengakibatkan resiko bagi kehidupan perempuan hamil, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental, adanya resiko keutuhan fisik bayi yang akan dilahirkan (pertimbangan eugenik), dan perkosaan dan incest (pertimbangan yuridis).

4.     Jenis-Jenis Aborsi

Musa Perdanakusuma mengelompokkan abortus menjadi dua jenis. Menurutnya dikenal dengan dua jenis abortus, yaitu Abortus Spontaneous dan Abortus Provocatus.

a.      Abortus Spontaneous, yaitu abortus yang terjadi dengan sendirinya, bukan perbuatan manusia. Beberapa jenis abortus spontan telah diketahui penyebabnya. Banyak wanita yang mengalami keguguran kandungan akibat berbagai penyakit yang dideritanya seperti sipilis, malaria, atau infeksi yang disertai dengan demam tinggi. Penyakit penyakit tersebut dapat menyebabkan embrio (calon janin) dalam rahim ibu hamil tidak dapat bertahan untuk terus-menerus tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Embrio keluar dengan sendirinya tanpa menyebabkan rasa sakit pada sang ibu hamil. Pada masyarakat Jawa keguguran seperti ini sering disebut keluron atau miskram, yang hanya dapat terjadi pada usia kandungan yang masih sangat muda, sehingga biasanya yang keluar dari rahim baru berbentuk segumpal darah dan belum berbentuk janin (fetus).18

Aborsi ini dibedakan menjadi beberapa bagian; Secara klinis di bidang medis dikenal istilah-istilah abortus sebagai berikut :19

1)     Abortus Imminens, atau keguguran yang mengancam. Pasien pada umumnya dirawat untuk menyelamatkan kehamilannya walaupun tidak selalu berhasil.

2)     Abortus Insipiens, atau keguguran berlangsung atau dalam proses keguguran tidak dapat dicegah lagi

3)     Abortus Incomplete, atau keguguran tidak lengkap. Sebagian buah kehamilan telah dilahirkan tetapi sebagian lagi belum, biasanya ari-ari masih tertinggal dalam rahim.

4)     Abortus Complete, atau keguguran lengkap. Apabila seluruh buah kehamilan telah dilahirkan secara lengkap.

5)     Missed Abortion, atau keguguran tertunda, ialah keadaan dimana janin telah mati di dalam rahim sebelum minggu ke-22 kemudian tertahan di dalam selama 2 bulan atau lebih.

6)     Abortus Habitualis, atau keguguran berulang ialah abortus yang telah berulang dan terjadi tiga kali berturut-turut.

b.     Abortus Provocatus, yaitu abortus yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkannya, meliputi:

1)     Abortus Provocatus Medicinalis/Therapeuticus Yaitu pengguguran kandungan (aborsi) yang dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan medis. Contohnya adalah aborsi karena adanya indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga akan menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan.

2)     Abortus Provocatus Criminalis, Yaitu pengguguran kandungan (aborsi) yang dilakukan dengan sengaja dengan melanggar berbagai ketentuan hukum yang berlaku. Contohnya aborsi karena kehamilan akibat perkosaan, kehamilan akibat hubungan kelamin di luar ikatan perkawinan, alasan sosio ekonomis, anak sudah banyak, belum mampu mempunyai anak, dan lain-lain Abortus provocatus therapeuticus/medicinalis dilakukan secara legal oleh dokter sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional medis, dan diselenggarakan di fasilitas pelayanan kesehatan resmi yang ditetapkan oleh Pemerintah. Abortus provocatus therapeuticus/medicinalis ini disebut dengan aborsi aman (safe abortion). Sedangkan abortus provocatus criminalis adalah pengguguran kandungan tanpa pembenaran alasan medis dan dilarang oleh hukum. Abortus provocatus criminalis dilakukan secara ilegal oleh ibu hamil sendiri atau meminta bantuan orang lain, yang dilakukan tidak sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional medis, dan dilakukan di tempat praktik aborsi ilegal. Abortus provocatus criminalis ini disebut dengan aborsi tidak aman (unsafe abortion).

Pada dasarnya abortus provocatus merupakan aborsi yang dilakukan dengan unsur kesengajaan. Artinya, suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan agar kandungan lahir sebelum tiba waktunya. Menurut kebiasaan, bayi dalam kandungan seorang wanita hamil akan lahir setelah jangka waktu 9 bulan 10 hari. Hanya dalan hal tertentu saja seorang bayi dalam kandungan dapat lahir pada saat usia kandungan baru mencapai 7 atau 8 bulan. Perbuatan aborsi biasanya dilakukan sebelum kandungan berusia 7 bulan. Menurut pengertian kedokteran yang dikemukakan oleh Lilien Eka Chandra, aborsi (baik keguguran maupun pengguguran kandungan) berarti terhentinya kehamilan yang terjadi di antara saat tertanamnya sel telur yang telah dibuahi (blastosit) di rahim sampai kehamilan 28 minggu. Batas 28 minggu dihitung sejak haid terakhir itu diambil karena sebelum 28 minggu, janin belum dapat hidup di luar rahim.

5.     Analisis Hukum

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) mengenal perbuatan abortus provocatus criminalis, yaitu aborsi yang memiliki sifat kriminal, dan tidak mengenal perbuatan abortus provocatus terapheuticus, yaitu aborsi yang tidak ada sifat kriminalnya. Ketentuan dalam pasal-pasal KUHPidana sangat jelas tidak memberikan peluang dilakukan aborsi, jika ketentuan pasal tersebut dilakukan secara mutlak dan tidak ada alasan apapun yang dapat diterima. Segala bentuk tindakan aborsi dilarang bagi wanita, tanpa memberikan alternatif untuk menyediakan teknologi kesehatan reproduksi yang aman serta dapat mengurangi resiko kematian wanita hamil. Resiko kematian tersebut dapat disebabkan oleh adanya risiko penyakit yang berat yang membahayakan jiwa wanita hamil tersebut. Konsekuensinya petugas medis khususnya Dokter, bidan, dan petugas lainnya dianggap sebagai pelanggar hukum ketika mereka melakukan tindakan aborsi dengan tujuan menyelematkan jiwa. Oleh karena itu perlu diundangkan peraturan yang lebih efektif dan mampu memberikan solusi yang tepat bagi masyarakat serta dapat memberikan peluang bagi petugas medis untuk melakukan aborsi dengan ketentuan dan batasan yang telah ditentukan dengan baik. 1 Dalam Undang-undang Hukum Pidana di Indonesia, aborsi dikategorikan sebagai tindakan kriminal. Yang menerima hukuman adalah; Ibu yang melakukan aborsi; Dokter, bidan, atau dukun yang membantu melakukan aborsi. Orang-orang yang mendukung terlaksanakan aborsi.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perbuatan aborsi itu dilarang, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 75 sampai dengan Pasal 77 namun pengecualian (legalisasi) terhadap tindak pidana tersebut. Sebelum dilakukan revisi terhadap undang-undang kesehatan masih banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan termasuk tenaga medis yang membantu melakukan aborsi tersebut. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi terhadap korban perkosaan. Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu, karena itu pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yaitu keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang dinilai melegalkan aborsi bersyarat bagi Perempuan hamil dengan kedaruratan medis; Perempuan hamil akibat perkosaan. Pasal 194 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut dapat menjerat pihak dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melakukan aborsi ilegal, maupun pihak perempuan yang dengan sengaja melakukannya. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku dipidana dengan pidana penjara 10 (sepuluh) tahun palin lama dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh juta tupiah). Sebagimana dijelaskan pada Pasal 4 ayat (1) sampai dengan (3) Peraturan Menteri Kesehatan (PERMENKES) Nomor 290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, apabila ibu yang akan di aborsi dalam keadaan darurat maka dokter boleh melakukan tindakan tanpa seijin ibu atau keluarga untuk menyelamatkan jiwanya, maka tindakan dokter tersebut tidak dapat dipidana. Namun, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 72 juga memuat ketentuan mengenai jaminan bagi setiap orang untuk melakukan reproduksi. Namun dalam hal ini Aborsi merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat dihindari bagi wanita yang tidak menginginkan kehamilannya karena adanya beberapa alasan tertentu. Tetapi jenis aborsi yang dapat dilakukan adalah dengan ada indikasi medis dan apabila kehamilan itu benar-benar mengancam hidup sang ibu. Dalam kasus ini, aborsi dapat dibenarkan berdasarkan prinsip legalimate defense (pembelaan diri yang sah).

Dalam hukum pidana Indonesia, istilah aborsi dikenal dengan tindak pidana �pengguguran kandungan�. Secara umum pembahasan mengenai aborsi terdapat dalam Pasal 299, 346, 347, 348, dan 349 KUHPidana. Pasal-pasal ini secara jelas dan tegas mengatur larangan melakukan aborsi dengan alasan apapun, termasuk aborsi karena alasan darurat (terpaksa) yaitu sebagai akibat perkosaan, baik larangan terhadap pelaku maupun yang membantu melakukan aborsi. Bahkan ahli medis akan mendapatkan hukuman yang dilipat gandakan jika membantu melakukan aborsi. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal perbuatan abortus provocatus criminalis, yaitu aborsi yang memiliki sifat kriminal, dan tidak mengenal perbuatan abortus provocatus terapheuticus, yaitu aborsi yang tidak ada sifat kriminalnya. Ketentuan dalam pasal-pasal KUHPidana sangat jelas memberikan peluang dilakukan aborsi, jika ketentuan pasal tersebut dilakukan.

Dalam KUHPidana tersebut larangan aborsi dan ibu pelaku aborsi dapat dikenakan sanksi pidana. Ketentuan ini terasa memberatkan terutama bagi tim medis yang melaksanakan aborsi dengan alasan medis, ketika diundangkan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang juga mengatur tindak pidana aborsi, pasal-pasal tentang aborsi dalam KUHPidana masih berlaku.

Pada penelitian ini, kasus yang diangkat terkait Aborsi adalah Putusan Nomor 1106/Pid.Sus/2018/PN.Plg dengan terdakwa Dr.Wim Ghazali Bin H. Wahni. Didalam persidangan, Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, serta peraturan perundang-undang lain yang bersangkutan. Majelis Hakim menyatakan Terdakwa Dr. Wim Ghazali Bin H. Wahni Warak tersebut, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana �Pencobaan melakukan aborsi�; dan oleh karena itu dikenai pidana penjara selama: 4 (empat) tahun, dan menjatuhkan pidana tambahan berupa Mencabut izin praktik terdakwa sebagai dokter sebagaimana izin praktik nomor : 456/IPD/845/DPMPTSPPKK/2017, tentang izin praktik dokter dan dokter gigi atas nama dr. Wim Ghazali yang ditandatangani dan dikeluarkan oleh Atas Nama Walikota Palembang Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Pidana Tambahan pasal 10 hurup b KUHPidana). Adapun unsur-unsur pidana yang terkandung dalam Pasal 77A UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 53 ayat (1) KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, antara lain:

1)     Unsur �Setiap Orang�. Bahwa yang dimaksud dengan �setiap orang �dalam hal ini disamakan dengan �Barang siapa�, yaitu pelaku atau subyek hukum pidana pendukung hak dan kewajiban yang mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya sebagaiamana didakwakan kepadanya. Terdakwa sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum tersebut diatas, hal ini baru dapat diketahui setelah Majelis Hakim mempertimbangkan unsur-unsur yang lainnya.

2)     Mencoba melakukan kejahatan Dengan sengaja melakukan aborsi terhadap Anak yang masih dalam kandungan dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

6.     Sanksi Kode Etik

Sanksi Kode Etik yang diterima kepada terdakwa Kode Etik Kedokteran Indonesia mengemukakan betapa luhurnya pekerjaan profesi dokter. Meskipun dalam melaksanakan pekerjaan memperoleh imbalan, tapi berbeda dengan usaha penjual jasa lainnya. Pekerjaan profesi dokter tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi, tetapi lebih mengutamakan kepentingan pasien didasari sikap perikemanusiaan. Dalam Kode Etik Kedokteran, tertulis penjelasan pasal-pasal yang memberi penekanan pada 64 kewajiban dokter dan larangan bagi dokter yang harus dipahami dan dipergunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan keprofesiannya. Etik profesi kedokteran merupakan seperangkat perilaku dokter dalam hubungannya dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat dan mitra kerja. Rumusan perilaku dokter sebagai anggota profesi disusun oleh organisasi profesi bersama pemerintah menjadi satu kode etik profesi yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Kode Etik Kedokteran terdiri dari:� Kewajiban umum, kewajiban dokter terhadap pasien, kewajiban dokter terhadap teman sejawat, kewajiban dokter terhadap diri sendiri, kewajiban umum:� Pasal 1 Setiap dokter harus menjujung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. Pasal 2. Seorang dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan profesional secara indipenden, dan mempertahankan perlkau dalam ukuran yang tinggi. Pasal 3. Dalam melakukan pekerjaan kedokteran, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Pasal 4. Seorang dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien / keluarganya dan hanya diberikan untuk kebaikan pasien tersebut. Dalam kasus dr. Wim Ghazali di jatuhkan pidana tambahan berupa Mencabut izin praktik terdakwa sebagai dokter sebagaimana izin praktik nomor: 456/IPD/845/DPMPTSPPKK/2017, tentang izin praktik dokter dan dokter gigi atas nama dr. Wim Ghazal.

 

Kesimpulan

Berdasarkan dengan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik 2 (dua) kesimpulan sesuai dengan rumusan masalah, yakni sebagai berikut; 1). Penerapan tindakan aborsi secara ilegal di Indonesia yang dilakukan secara tidak diizinkan seperti menggugurkan/mematikan kandungnya dengan sengaja maupun dibantu dengan orang lain atau dokter akan dikenai sanksi secara tegas dan melarang tindakan aborsi atau praktik aborsi dilakukan, dan untuk tindakan legal aborsi provokatus/buatan legal yaitu aborsi buatan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kesehatan dapat dilakukan namun memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku dan hanya untuk alasan medis dan korban perkosaan. Tindakan aborsi yang dilegalkan yaitu perempuan yang hamil dengan kedaruratan medis dan perempuan yang hamil akibat perkosaan. 2). Maraknya kasus-kasus pelanggaran disiplin kedokteran yang dilakukan oleh dokter, disebabkan karena kurangnya kedisiplinan berprofesi dan pemahaman mengenai Kode Etik kedokteran menjadi faktor penyebab terjadinya pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter dalam praktik kedokterannya. Dalam penangan kasus yang dilakukan oleh dokter, MKEK dan MKDKI sangat berperan dalam penegakan setiap kasus yang dilakukan dokter. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran Indonesia (MKEK IDI) adalah lembaga yang mengeluarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).

 


BIBLIOGRAFI

 

Hamdani, Njowito. (1992). Ilmu kedokteran kehakiman. PT Gramedia Pustaka Utama. Google Scholar

 

Langie, Yuke Novia. (2014). Tinjauan Yuridis Atas Aborsi Di Indonesia (Studi Kasus di Kota Manado). Lex Et Societatis, 2(2). Google Scholar

 

Napitupulu, Annette Anasthasia, & Mulyadi, Mahmud. (2013). Pembaharuan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Di Indonesia. Jurnal Mahupiki, 1(1). Google Scholar

 

Soewadi, H. (2005). Aborsi Legal di Indonesia Perspektif Psikiatri. Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional �Aborsi Legal Di Indonesia Perspektif Hukum Pidana, Medis, Psikiatri & Sosial Serta Opini Publik Yang Berkembang Dalam Masyarakat,� Yogyakarta, Bagian Hukum Pidana, FH-UAJY, 24. Google Scholar

 

Suryono Ekotama, Dkk. (2001). Abortus Provokatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana. Makalah. Yogyakarta.

 

Wibowo, Noroyono. (1997). Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi Prematur untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Google Scholar

 

Copyright holder:

Slamet Pribadi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: