Vol. 7, No. 7, Juli 2022
KOLABORASI INTERPROFESI PADA
PROGRAM PTM (PENYAKIT TIDAK MENULAR) DI PELAYANAN
KESEHATAN PRIMER
Nindya Rahmanida, Adang Bachtiar
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk membahas mengenai kolaborasi interprofesi pada program PTM (Penyakit Tidak Menular) beserta faktor-faktor yang mempengaruhi kolaborasi interprofesi pada program PTM. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang terbagi menjadi data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kolaborasi Interprofesi Pada Posbindu PTM Puskesmas dilakukan oleh Pemegang Program P2PTM. Petugas Puskesmas lainnya hanya dlibatkan dalam menentukan jadwal pelaksanaan kegiatan agar tidak berbenturan dengan jadwal kegiatan Puskesmas lainnya. Perencanaan dilakukan secara tertulis dengan format perencanaan dari Bendahara Puskesmas. Namun perencanaan ini hanya terkait kegiatan pembinaan dan pelayanan Posbindu PTM. Faktor-faktor yang mempengaruhi kolaborasi interprofesi pada program PTM yaitu kerja sama, komunikasi, etika, dan peran profesi.
Kata kunci: Kolaborasi Interprofesi, Program PTM (Penyakit Tidak Menular), Pelayanan Kesehatan Primer
Abstract
This
study aims to discuss interprofessional collaboration in the PTM program
(Non-Communicable Diseases) and the factors that influence interprofessional
collaboration in the PTM program. The research method used in this study is a qualitative descriptive
method. The type of data used in this research is qualitative data, which is
divided into primary data and secondary data. The results showed that the
Interprofessional Collaboration at Posbindu PTM Puskesmas itself was carried out
by the P2PTM Program Holder. Other Puskesmas officers are only involved in
determining the schedule for implementing activities so that they do not
conflict with the schedule of other Puskesmas activities. Planning is done in
writing with a planning format from the Treasurer of the Health Center.
However, this plan is only related to the development activities and services
of PTM Posbindu.
Keywords: Interprofessional
Collaboration, Ptm Program (Non-Communicable Diseases), Primary Health Care
Pendahuluan
Saat ini salah satu masalah kesehatan yaitu terjadinya pergeseran dari penyakit karena infeksi ke penyakit tidak menular (PTM). Hal ini didukung oleh laporan dari NCD sebanyak 60 penyakit tidak menular menjadi penyebab kematian semua usia, 4% dan 29% meninggal sebelum usia 70% pada negara berkembang juga negara maju. Berdasarkan kemenkes tahun 2013 Indonesia berada di angka 71% untuk penyakit tidak menular seperti penyakit stroke sebanyak 12,1 per 1000, cidera 8,2%, diabetes mellitus 6,9%,paru obstruktif 3,7%, jantung coroner 1,5%, kanker 1,4% per 1000,gagal jantung 0,3%, dan gagal ginjal 0,2% menyebabkan peningkatan kematian karena PTM (Kementrian, 2013)
Angka kesakitan, kematian dan aspek PTM tersebut yang melatarbelakangi Pemerintah Indonesia dalam membentuk Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) yang sesuai pada arahan WHO tahun 2010, Permenkes RI No.71 tahun 2015 dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 mengenai Kesehatan pasal 158 ayat 1 dalam menanggulangi penyakit tidak menular. (Ulfah, n.d.)
Berdasarkan teori dari Lawrence Green dan Andersen rendahnya angka pemanfaatan Posbindu oleh masyarakat karena pengaruh tiga faktor tingkah laku yaitu faktor predisposisi seperti pendidikan dan pekerjaan. (Supriyatna, Pertiwiwati, & Setiawan, 2020b)Menurut Fuadah dan Rahayu dalam penelitiannya tentang Pemanfaatan Posbindu PTM pada penderita hipertensi disebutkan bahwa faktor penyebab tidak hadirnya penderita hipertensi ke Posbindu PTM adalah pekerjaan, selain itu rendahnya tingkat pendidikan membuat penderita tidak mengerti tentang Posbindu PTM.(Supriyatna, Pertiwiwati, & Setiawan, 2020a)
Pada faktor penguat dipengaruhi oleh dukungan keluarga, dukungan petugas kesehatan, dukungan kader posbindu, dukungan teman sebaya. Menurut Nasution, dkk dukungan petugas kesehatan yaitu memberikan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat juga memberi motivasi kepada sasaran PTM untuk melakukan hidup yang sehat.(Hanum & Nurhayati, 2019) Sedangkan menurut Wahyuni dukungan teman sebaya itu bisa dilihat dari ajakan tetangga atau sesama lansia yang mengajak responden untuk berkunjung ke Posbindu.(Wahyuni, 2017)
�Kesehatan merupakan salah satu hak asasi manusia yang diwujudkan dalam Pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care) yang salah satunya adalah puskesmas. Puskesmas merupakan bentuk pelayanan multidisiplin dimana dilaksanakan oleh berbagai bidang profesi tenaga kesehatan yang dapat berpotensi menimbulkan konflik interprofesional dan pelayanan yang semakin lambat. Untuk mewujudkan pelayanan kesehatan dengan kualitas baik dan optimal, maka perlu terselenggaranya praktik kolaborasi interprofesi diantara tenaga kesehatan. (Kusuma, Herawati, Setiasih, & Yulia, 2021) Menurut World Heath Organization, praktik kolaborasi interprofesi terjadi saat tenaga kesehatan dari berbagai latar belakang profesi bekerja sama bersama pasien, keluarga pasien, perawat dan masyarakat dalam pemberian pelayanan kesehatan kualitas terbaik di seluruh rangkaian perawatan. (Marina, 2019)
Praktik kolaborasi belum secara optimal dilakukan karena terbentur berbagai kendala dalam pelaksanaannya, kendala tersebut dipengaruhi oleh ketidakseimbangan otoritas, keterbatasan pemahaman tentang peran masing-masing profesi dalam suatu tim, tanggung jawab dan gesekan batas antarprofesi ketika memberikan perawatan kepada pasien. Selain itu, adanya anggapan bahwa dokter merupakan pemimpin sekaligus pemberi keputusan, sedangkan tenaga medis lain hanyalah pelaksana membuat pelaksanaan praktik kolaborasi interprofesio masih terbatas. Nguyen menyebutkan bahwa dokter memiliki keraguan terhadap kompetensi tenaga kesehatan lain dalam memberikan perawatan pasien, dimana menimbulkan suatu kekhawatiran dokter terkait masalah kerahasiaan pasien saat berbagi informasi bersama-sama. (Mandias et al., 2021) Persepsi tersebut secara tidak langsung semakin membatasi komunikasi antar profesi dan menghambat praktik kolaborasi tersebut. Perbedaan persepsi terkait hambatan yang dirasakan saat melakukan praktik kolaborasi interprofesional, diketahui perawat lebih merasakan kendala tersebut karena terkendala hierarki dan sosial budaya dari dominasi kewenangan salah satu profesi dalam tim kesehatan.
Kendala-kendala tersebut didukung pula dengan adanya komunikasi yang kurang baik antar tenaga kesehatan. Komunikasi menjadi salah satu kompetensi dalam menjalankan praktik kolaborasi interprofesi, dimana tenaga kesehatan dituntut untuk dapat berkomunikasi dengan pasien, keluarga pasien, komunitas dan profesional kesehatan lain dengan cara responsif dan bertanggung jawab. Komunikasi efektif sangat berpengaruh dalam praktik kolaborasi interprofesi untuk memberikan sisi positif dan keuntungan dalam pelayanan pasien diantaranya meningkatkan kepuasan pasien dalam hasil perawatannya, meminimalisir terjadinya medication error, menurunkan angka kematian dan komplikasi, hingga dapat menekan biaya perwatan yang dikeluarkan pasien (Hadi, 2016). Selain itu, penggunaan staf menjadi lebih efisien dan menjadikan lingkungan kerja lebih nyaman. Hal tersebut dimaknai sebagai salah satu upaya yang dapat meningkatkan kualitas layanan yang diberikan dan menjadi salah satu strategi efektif dalam pelayanan kesehatan. Berdasarkan fakta yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kolaborasi interprofesi di pelayanan kesehatan primer.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yang dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder. Sumber data diperoleh melalui teknik penelitian kepustakaan (library study) yang mengacu pada sumber yang tersedia baik online maupun offline seperti: jurnal ilmiah, buku dan berita yang bersumber dari sumber terpercaya. Sumber-sumber ini dikumpulkan berdasarkan diskusi dan dihubungkan dari satu informasi ke informasi lainnya. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara dan penelitian. Data ini dianalisis dan kemudian ditarik kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
Kemampuan untuk bekerja dengan profesional dari disiplin lain untuk memberikan kolaboratif, patient centred care dianggap sebagai elemen penting dari praktek profesional yang membutuhkan spesifik perangkat kompetensi. The American Nurses Association menggambarkan komunikasi efektif sebagai standar praktik keperawatan profesional. Kompetensi profesi dalam praktek keperawatan tidak hanya psikomotor dan keterampilan diagnostik klinis, tetapi juga kemampuan dalam keterampilan interpersonal dan komunikasi. Perawat terdaftar diharapkan untuk berkomunikasi dalam berbagai format dan di semua bidang praktek (Asyifa Permana Sari Tarigan, n.d.). Kolaborasi antara penyedia layanan kesehatan yang diperlukan dalam pengaturan perawatan kesehatan apapun, karena tidak ada profesi tunggal yang dapat memenuhi kebutuhan semua pasien. Akibatnya, kualitas layanan yang baik tergantung pada profesional yang bekerja sama dalam tim interprofessional. komunikasi yang efektif antara profesional kesehatan juga penting untuk memberikan pengobatan yang efisien dan pasien-berorientasi komprehensif .Selain itu, ada semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa komunikasi yang buruk antara professional kesehatan merugikan pasien (Purba, 2019). Keterampilan komunikasi yang penting lain yang disebutkan adalah kemampuan untuk menyesuaikan bahasa untuk target klien. Sementara peran pemahaman dan komunikasi yang efektif jelas muncul sebagai kompetensi yang dominan untuk praktek kolaboratif yang efektif akan meningkatkan kualitas (Panjaitan, 2019).
Komunikasi yang efektif, bertanggungjawab dan saling menghargai perawat-dokter mampu memberikan kontribusi yang terbaik dalam hubungan kerjasama. Komunikasi yang efektif antara perawat-dokter mampu menumbuhkan kepercayaan antara profesi tersebut (Oktaviani, n.d.). Untuk itu, perlu adanya komunikasi yang efektif dalam paktik kolaborasi interprofesi guna meningkatkan kualitas pelayan dan keselamatan pasien.
Penyakit Tidak Menular (PTM) adalah penyakit atau kondisi medis yang tidak dapat ditularkan dari satu individu ke individu lainnya. Mayoritas PTM terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Berdasarkan data WHO, PTM merupakan penyebab dari 68% kematian di dunia pada tahun 2012. Diprediksi, PTM akan terus meningkat. PTM merupakan tantangan dalam dunia kesehatan (Adhania, Wiwaha, & Fianza, 2018).
Program pegendalian PTM secara global mengacu pada Global Action Plan for the Prevention and Control of Noncommunicable Disease dari WHO. Sedangkan, untuk acuan dalam proses implementasinya, WHO telah merancang Package of Essential Noncommunicable (PEN) Disease Interventions for Primary Health Care in Low-Resource Settings, dimana PEN bertumpu pada layanan kesehatan tingkat pertama serta mempertimbangkan fakta bahwa mayoritas PTM terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah yang memiliki keterbatasan masing- (WHO, 2012)
Di Indonesia sendiri, Kementerian
Kesehatan RI telah merancang
�Pedoman Teknis Penyelenggaraan
Pengendalian Penyakit Tidak Menular di Puskesmas�, yang dirancang mengikuti arahan dari panduan WHO. Layanan kesehatan primer berperan penting dalam menguatkan usaha pengendalian PTM secara komperhensif, meliputi aspek preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif.
Program kesehatan pemerintah
seperti Program Pengelolaan
Penyakit Kronis (Prolanis) yang diselenggarakan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan (BPJS). Prolanis ditujukan
untuk peserta BPJS, bertujuan untuk menangani penyakit kronis dan meningkatkan kualitas hidup pasien penyakit kronis. Selain itu, puskesmas juga dibantu oleh fasilitas kesehatan lain seperti Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) PTM, yang berperan dalam pendeteksian dini dan monitoring PTM, beserta faktor risikonya.
Pelayanan kesehatan primer (Primary Health Care) merupakan langkah awal yang sangat penting dalam meningkatkan kesehatan masyarakat. Dengan pemberian pelayanan kesehatan dasar secara cepat dan tepat, diharapkan masyarakat dapat terhindar dari penyakit tidak menular melalui PTM yang diselenggarakan di puskesmas. Puskesmas merupakan pusat kesehatan masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan pusat pelayanan kesehatan strata yang meliputi pelayanan kesehatan perorangan dan masyarakat.
Kolaborasi Interprofesi pada Posbindu PTM Puskesmas dilakukan oleh Pemegang Program P2PTM. Petugas Puskesmas lainnya hanya dlibatkan dalam menentukan jadwal pelaksanaan kegiatan agar tidak berbenturan dengan jadwal kegiatan Puskesmas lainnya. Perencanaan dilakukan secara tertulis dengan format perencanaan dari Bendahara Puskesmas. Namun perencanaan ini hanya terkait kegiatan pembinaan dan pelayanan Posbindu PTM. Sedangkan perencanaan program Posbindu PTM secara keseluruhan belum dilakukan secara tertulis. Tidak ada dokumen khusus untuk perencanaan program Posbindu PTM melainkan dijadikan satu file dalam Rencana Pelaksanaan Kegiatan (RPK) Puskesmas. Pembuatan RPK tersebut dilakukan setiap akhir tahun sekitar Bulan Oktober sampai November kemudian diserahkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Pati untuk dicek dan disetujui. Tujuan dari penyelenggaraan Posbindu PTM adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam melakukan pencegahan dan deteksi dini faktor risiko PTM.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kolaborasi interprofesi pada program PTM yakni;
a.
Kerja sama
Pada dasarnya, kerjasama antarprofesi sebagai suatu kegiatan yang didasarkan pada sejumlah dimensi pokok agar dapat berjalan dengan baik. Kerjasama (teamwork) yang melibatkan dua atau lebih profesi memiliki kompleksitas yang besar dalam penerapannya. Menurut Reeves (2010), dimensi kunci dalam kerjasama antar profesi meliputi beberapa hal:
1)
Menetapkan tujuan
tim yang jelas. Hal ini sangat diharapkan karena bertujuan untuk mencegah terjadinya multi-persepsi, tumpang-tindih pemahaman, dan tujuan pencapaian.
2)
Memiliki suatu ciri atau identitas
tim bersama. Konteks ini merupakan
salah satu kunci dimensi yang menunjukkan bahwa tim tersebut
menunjukkan identitas dari peleburan berbagai profesi. Kegiatan tim dan performan tim yang ditunjukkan merupakan suatu ciri dari
tim tersebut dan bukan merupakan ciri suatu profesi.
3)
Memiliki komitmen tim bersama. Komitmen
merupakan suatu realisasi dari rencana tim untuk
mencapai tujuan kelompok. Dalam kerjasama antarprofesi, komitmen yang dibangun adalah merupakan hasil kesepakatan kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan kelompok dengan mempertimbangkan juga peran dan tanggungjawab profesi.
4)
Peran yang jelas pada setiap
profesi. Tidak dapat dipungkiri ataupun dihindari bahwa menyatukan berbagai profesi yang
masing-masing memiliki tugas
dan tanggung-jawab yang berbeda
akan menghasilkan tumpang tindih peran dan tugas dari masing-masing profesi. Dengan melalui kesepakatan dalam kelompok, perlu ditetapkan peran dan tugas masing-masing profesi yang jelas dalam kerjasama
antarprofesi ini.
5)
Adanya konsep saling ketergantungan (interdependece). Interdependence dalam
konteks kerjasama antarprofesi merupakan suatu strategi untuk mengurangi atau menghilangkan dominan antar profesi. Konsep ini dikembangkan
untuk menunjukkan bahwa dalam penyelesaian
suatu masalah kesehatan atau penanganan pasien diperlukan sikap saling ketergantungan antar satu sama
lain sehingga keputusan medis yang diambil merupakan suatu kesepakatan yang ditujukan untuk menghasilkan outcome atau kesembuhan pasien yang maksimal.
b.
Komunikasi
Menurut Potter dan Perry (2005) keefektifan komunikasi interprofesi dipengaruhi oleh:
1)
Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal
yang telah terjadi. Persepsi terbentuk atas apa yang diharapkan
dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar profesi yang berinteraksi akan menimbulkan kendala dalam komunikasi.
2)
Lingkungan yang nyaman
membuat seseorang cenderung dapat berkomunikasi denga baik. Kebisingan dan kurangnya kebebasan seseorang dapat membuat kebingungan,
ketegangan atau ketidaknyamanan.
3)
Pengetahuan yaitu
suatu wawasan akan suatu hal.
Komunikasi interprofesi dapat menjadi sulit
ketika lawan bicara kita memiliki
tingkat pengetahuan yang berbeda. Keadaan seperti ini akan
menimbulkan feedback negatif,
yaitu pesan menjadi tidak jelas
jika kata-kata yang digunakan
tidak dikenal oleh pendengar.
4)
�Upaya
meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi. Menurut Wagner (2011), IPE merupakan
langkah yang penting untuk dilakukan karena melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan komunikasi interprofesi pada situasi yang tidak membahayakan pasien tetapi tetap mencerminkan
situasi yang mendekati situasi nyata. Kebutuhan akan strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi interprofesi berkembang. Oleh karena itu, pendidik
diharapkan mampu mengembangkan metode dan strategi
pembelajaran yang menggabungkan
kemampuan komunikasi dan budaya pasien serta
keterampilan teknis sejak tahap akademik
(Mitchell, 2010). Salah satu model IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulasi IPE tersebut, mahasiswa dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang lain.
c.
Etika
Prinsip Dasar Etika Profesi adalah yang mendasari pelaksanaan Etika Profesi, yaitu:
1)
Prinsip Tanggung
Jawab
Tiap-tiap professional itu harus bertanggungjawab
terhadap pelaksanaan pekerjaan dan juga terhadap hasilnya. Selain itu, professional juga bertanggungjawab
atas dampak yang mungkin terjadi dari profesinya bagi kehidupan orang lain atau juga masyarakat umum.
2)
Prinsip Keadilan
Tiap-tiap professional itu dituntut untuk
mengedepankan keadilan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam hal tersebut, keadilan
itu harus diberikan kepada siapa saja yang berhak.
3)
Prinsip Otonomi
Tiap-tiap professional itu mempunyai wewenang
serta juga kebebasan dalam menjalankan pekerjaan sesuai dengan profesinya. Artinya seorang professional tersebut berhak untuk dapat melakukan
atau tidak melakukan sesuai dengan mempertimbangkan kode etik.
4)
Prinsip Integritas
Moral
Integritas moral ini
merupakan kualita kejujuran serta prinsip moral dalam diri seseorang yang dilakukan dengan secara konsisten dalam menjalankan profesionya. Artinya seorang professional tersebut harus memiliki komitmen pribadi untuk dapat menjaga
kepentingan profesi, dirinya, serta juga masyarakat.
Menurut Damastuti
(2007), terdapat tiga prinsip yang harus dipegang dalam etika profesi, diantaranya adalah :
1)
Tanggung Jawab
Maksud tanggung
jawab disini adalah tanggung jawab pelaksanaan (by function) serta juga tanggung jawab dampak (by profession).
2)
Kebebasan
Maksud kebebasan
disini adalah untuk dapat mengembangkan
profesi itu dalam batas-batas aturan yang berlaku didalam sebuah profesi.
3)
Keadilan
Prinsip keadilan
ingin membangun satu kondisi yang tidak memihak manaun
yang memungkinkan untuk ditunggangi pihak-pihak yang berkepentingan.
d.
Peran profesi����
1) Mengkomunikasikan peran dan tanggung jawab profesi secara jelas kepada pasien, keluarga dan profesional lainnya
2) Mengenali keterbatasan profesi dalam keterampilan, pengetahuan dan kemampuan
3) Melibatkan profesi kesehatan yang beragam dalam melengkapi keahlian profesional, serta sumber daya terkait, untuk mengembangkan strategi agar memenuhi kebutuhan pasien
4) Menjelaskan peran dan tanggung jawab penyedia layanan lain dan bagaimana tim bekerjasama untuk memberikan pelayanan.
5) Menggunakan lingkup pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang tersedia dari profesi kesehatan untuk memberikan pelayanan yang aman, tepat waktu, efisien, efektif dan adil.
6) Berkomunikasi dengan anggota tim untuk mengklarifikasi tanggung jawab setiap anggota dalam melaksanakan komponen dari rencana pelayanan atau intervensi kesehatan
7) Menjalin hubungan ketergantungan dengan profesi lain untuk meningkatkan pelayanan pasien dan pembelajaran lanjut
8) Terlibat dalam pengembangan profesional dan interprofesi berkelanjutan untuk meningkatkan kinerja tim
Menggunakan kemampuan yang unik dan saling melengkapi dari semua anggota tim untuk mengoptimalkan pelayanan pasien.
Kesimpulan
Kolaborasi interprofesi merupakan merupakan strategi untuk mencapai kualitas hasil yang dinginkan secara efektif dan efisien dalam pelayanan kesehatan. Komunikasi dalam kolaborasi merupakan unsur penting untuk meningkatkan kualitas perawatan dan keselamatan pasien. Penyakit tidak menular (PTM) adalah penyakit atau kondisi medis yang tidak dapat ditularkan dari satu individu ke individu lainnya. Mayoritas PTM terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Berdasarkan data WHO, PTM merupakan penyebab dari 68% kematian di dunia pada tahun 2012. Kolaborasi Interprofesi Pada Posbindu PTM Puskesmas� sendiri dilakukan oleh Pemegang Program P2PTM. Petugas Puskesmas lainnya hanya dlibatkan dalam menentukan jadwal pelaksanaan kegiatan agar tidak berbenturan dengan jadwal kegiatan Puskesmas lainnya. Perencanaan dilakukan secara tertulis dengan format perencanaan dari Bendahara Puskesmas. Namun perencanaan ini hanya terkait kegiatan pembinaan dan pelayanan Posbindu PTM. Faktor-faktor yang mempengaruhi kolaborasi interprofesi pada program PTM yaitu kerja sama, komunikasi, etika, dan peran profesi.
BIBLIOGRAFI
Adhania, Cindy Cahya, Wiwaha, Guswan, & Fianza, Pandji
Irani. (2018). Prevalensi Penyakit Tidak Menular Pada Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama Di Kota Bandung Tahun 2013-2015. Jurnal Sistem Kesehatan,
3(4), 204�211. Https://Doi.Org/10.24198/Jsk.V3i4.18499
Asyifa Permana Sari Tarigan. (N.D.). Meningkatkan
Keselamatan Pasien Dengan Interprofesional Collaboratin.
Hadi, Irwan. (2016). Buku Ajar Manajemen
Keselamatan Pasien. Deepublish.
Hanum, Sri Handayani, & Nurhayati, Darubekti.
(2019). Pendampingan Pengembangan Program Untuk Meningkatkan Kehadiran Pada Posyandu
Lansia Di Desa Kungkai, Kabupaten Seluma, Propinsi Bengkulu.
Kementrian, Kesehatan. (2013). Presentase Pengidap
Penyakit Tidak Menular Di Indonesia.
Kusuma, Meradiana Widya, Herawati, Fauna, Setiasih, Setiasih,
& Yulia, Rika. (2021). Persepsi Tenaga Kesehatan Dalam Praktik Kolaborasi
Interprofesional Di Rumah Sakit Di Banyuwangi. Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia, 20(2), 106�113.
Mandias, Reagen Jimmy, Simbolon, Sedia, Manalu, Novita
Verayanti, Elon, Yunus, Jainurakhma, Janes, Suwarto, Tri, Latipah, Siti, Amir, Nurhidayah,
& Boyoh, Debilly Yuan. (2021). Keselamatan Pasien Dan Keselamatan
Kesehatan Kerja Dalam Keperawatan. Yayasan Kita Menulis.
Marina, Monika Naulia. (2019). Meningkatkan
Interprofessional Collaboration Terhadap Keselamatan Pasien.
Oktaviani, Riska Dwinki. (N.D.). Hubungan Mitra
Perawat Dengan Petugas Di Rumah Sakit Untuk Memaksimalkan Keselamatan Pasien.
Panjaitan, Charolina. (2019). "Kolaborasi
Dokter Dan Perawat Dalam Keselamatan Pasien Di Rumah Sakit ".
Purba, Nur Afrina Sahira. (2019). Mewujudkan
Kualitas Pelayanan Kesehatan Yang Efeektif Melalui Strategi Kolaborasi
Interprofesional.
Supriyatna, Eka, Pertiwiwati, Endang, & Setiawan, Herry.
(2020a). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posbindu Ptm Oleh
Masyarakat Di Wilayah Kerja Puskesmas Martapura 2. J Publ Kesehat Masy
Indones, 7(1), 1.
Supriyatna, Eka, Pertiwiwati, Endang, & Setiawan, Herry.
(2020b). Program Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular Di Puskesmas
Martapura. Jurnal Publikasi Kesehatan Masyarakat Indonesia, 7(1),
1�8.
Ulfah, Nabilah. (N.D.). Motivasi Pasien Penderita
Hipertensi Yang Berobat Di Puskesmas Pisangan Dalam Pengendalian Hipertensi.
2018. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta-FK.
Wahyuni, Desy Nur. (2017). Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kunjungan Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Pada Lansia Di Wilayah Kerja
Puskesmas Ciputat Tahun 2017. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Fakultas
Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan, 2017.
WHO. (2012). No Title. Global Action Plan For The Prevention
And Control Of Noncommunicable Disease.
Copyright holder: Nindya
Rahmanida, Adang Bachtiar (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |