Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022
IMPLEMENTASI� PENGAJUAAN SAKSI TAMBAHAN (YANG TIDAK TERCANTUM DALAM SURAT PELIMPAHAN PERKARA)
Tuangkus Harianja, Jenriswandi Damanik
Sekolah Pascasarjana
Universitas Simalungun dan Fakultas
Hukum Universitas Simalungun, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Dalam suatu peristiwa pidana, seseorang yang mendengar,
melihat atau mengalami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya
itu disebut dengan saksi. Selanjutnya seorang saksi akan memberikan
keterangannya di sidang pengadilan dan selanjutnya disebut dengan keterangan
saksi. Menurut KUHAP, hakim ketua sidang tidak hanya wajib mendengar keterangan
saksi yang tercantum dalam surat pelimpahan berkara tetapi juga wajib
mendengarkan keterangan saksi yang diajukan baik oleh penuntut umum maupun
terdakwa selama berlangsungnya pemeriksaan sidang pengadilan atau sebelum
putusan dijatuhkan. Dari pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan sebagai
berikut: (i) Pemanggilan terhadap
saksi tambahan (yang tidak tercantum dalam surat pelimpahan perkara) baik yang
diajukan oleh penuntut umum dan atau terdakwa selama sidang berlangsung atau sebelum putusan
dijatuhkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Pasal
146 ayat (2) KUHAP, yaitu dilakukan oleh penuntut umum dengan menyampaikan
surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan
memuat keterangan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus diterima oleh yang
bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai; (ii) Tujuan
penuntut umum untuk mengajukan saksi tambahan adalah untuk membuktikan
kebenaran dari tindak pidana yang telah ia dakwakan kepada terdakwa (saksi de
charge), sedangka tujuan terdakwa/penasihat hukumnya mengajukan saksi a
decharge adalah untuk melemahkan keterangan saksi-saksi yang memberatkan
terdakwa; dan (iii) Kewenangan menilai keterangan saksi baik yang diajukan
penuntut umum ataupun terdakwa (saksi tambahan) ada pada pengumpul fakta� (judex facti ) yaitu hakim, dan hakim
memiliki kebebasan untuk menerima ataupun menolak kebenaran dari keterangan
saksi baik yang memberatkan maupun meringankan terdakwa.
Kata
Kunci: Hak Penuntut Umum/Terdakwa, Saksi Tambahan, Pelimpahan Perkara
Pendahuluan
Terbukti atau tidaknya kesalahan
terdakwa sebagaimana yang didakwa penuntut umum sangat bergantung kepada hasil
pembuktian di pengadilan. Tujuan pembuktian adalah mencari dan menetapkan
kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam suatu perkara, jadi bukan untuk
mencari-cari kesalahan terdakwa.
Pembuktian harus dilaksanakan
untuk mencegah jangan sampai menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak
bersalah. Pembuktian saja tidak cukup karena hal itu harus disertai pula dengan
suatu keyakinan hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP,
mengatur bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh� keyakinan�
bahwa� suatu� tindak pidana benar-benar terjadi dan� bahwa�
terdakwalah� yang� bersalah�
melakukannya.
Upaya mendapatkan kebenaran dari
maksud tersebut di atas, perlu diuji dengan alat-alat bukti sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP. Salah satu alat bukti tersebut adalah
keterangan saksi yang diberikan oleh seseorang yang melihat, mendengar atau
mengalami sendiri suatu peristiwa pidana dengan menyebutkan alasan dari
pengetahuannya tersebut.� Keberadaan alat
bukti ini pada umumnya ada dalam setiap perkara pidana yang terjadi dan lazim
menjadi andalan bagi penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Di dalam Pasal 160 ayat (1) huruf
c KUHAP disebutkan: Dalam hal ada saksi yang menguntungkan maupun
memberatkan� terdakwa yang tercantum
dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang dimintakan oleh terdakwa atau
penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi
tersebut.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengimplementasikan pengajuan saksi tambahan yang tidak tercantum dalam surat pelimpahan perkara, sehingga keputusan yang diambil dapat lebih berkeadilan.
Metode Penelitian����
Metode penulisan ini membutuhkan
data untuk digunakan sebagai sumber untuk�
menjawab atau membahas masalah yang perlu dikaji. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian juridis normative atau
penelitian kepustakaan yaitu mengumpulkan data dengan menelaah bahan-bahan
hukum berupa buku-buku kepustakaan dan perundang-undangan dan
jurnal-jurnal ilmiah bereputasi yang
relevan dengan judul yang telah dipilih dan permasalahan yang telah dirumuskan
terlebih dahulu.
Hasil dan Pembahasan
1. Pelaksanaan
Pemanggilan Saksi Tambahan yang Diajukan Oleh Penuntut Umum Dan Atau Terdakwa
Pasal
160 ayat (1) KUHAP, membebankan
kewajiban hukum kepada hakim ketua sidang untuk mendengar
keterangan saksi. Pemeriksaan dan pendengaran keterangan saksi dalam persidangan meliputi seluruh saksi yang tercantum dalam surat atau
berkas pelimpahan perkara. Dengan demikian setiap saksi yang telah diperiksa oleh penyidik dan saksi itu tercantum
dalam pelimpahan berkas perkara, wajib didengar keterangannya dalam pemeriksaan sidang pengadilan dengan tidak mempersoalkan apakah saksi tersebut
merupakan saksi yang memberatkan terdakwa ataupun saksi yang meringankan terdakwa.
Akan
tetapi di dalam Pasal 160 ayat (1) huruf c lebih lanjut
ditegaskan saksi yang diperiksa tidak terbatas terhadap saksi-saksi yang telah tercantum dalam pelimpahan berkas perkara yang telah diperiksa dan diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum, akan tetapi meliputi
seluruh saksi yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa atau penasihat
hukum yang tidak tercantum dalam pelimpahan berkas perkara. Hakim ketua sidang tidak dapat
menolak saksi-saksi tambahan yang diajukan baik oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa atau penasihat
hukum.
Dari
ketentuan yang mewajibkan
hakim ketua sidang mendengar keterangan saksi yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa ini sebagaimana
diatur 160 ayat 1 huruf c KUHAP, dapat dimengerti bahwa ketentuan ini mengandung
kebaikan dan kelemahan.
Adapun kebaikannya adalah bahwa ketentuan ini memberi kesempatan
yang seluas-luasnya kepada penuntut umum untuk
membuktikan kesalahan terdakwa Sebaliknya memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada terdakwa untuk mengajukan saksi-saksi yang mungkin dapat membebaskannya
atau meringankannya dari dakwaan penuntut
umum.
Di
sisi lain kelemahannya dapat dilihat dalam
kaitannya dengan kelancaran pemeriksaan perkara itu sendiri.
Dengan pengajuan saksi tambahan yang sifatnya meringankan bagi terdakwa kemungkinan
waktu persidangan akan bertambah panjang. Apalagi jika hak mengajukan
saksi yang meringankan ini dengan sengaja
dipergunakan terdakwa sebagai sarana memperlambat jalannya pengambilan putusan dalam perkara yang bersangkutan.
Akan
tetapi sepanjang penggunaan hak itu masih wajar,
hakim ketua sidang harus benar-benar mematuhi kewajiban tersebut sebagai seorang pengayom yang bijaksana. Hakim harus bertindak bijaksana untuk menempatkan kewajiban dan hak itu dalam suatu
keseimbangan yang proporsional
atas landasan kepentingan kelancaran pemeriksaan perkara itu sendiri pada satu pihak dan kepentingan pembelaan terdakwa pada pihak lain.
Pengajukan saksi-saksi tambahan sebagaimana halnya dengan saksi yang meringankan (a decharge)
dan saksi yang memberatkan
(de charge) dalam pembahasan
skripsi ini, perlu pula diketahui batas tenggang waktu mengajukan saksi tersebut oleh penuntut umum atau
terdakwa atau penasihat hukumnya. Batas waktu pengajuan saksi-saksi dimaksud adalah terbatas yaitu sebelum hakim ketua sidang menjatuhkan
putusan atas perkara yang bersangkutan.
Dalam hal ini berarti
undang-undang memberi hak kepada mereka
(penuntut umum atau terdakwa atau
penasihat hukum) untuk mengajukan saksi tambahan selama proses persidangan masih berlangsung. Hak mengajukan saksi tambahan tertutup apabila hakim ketua sidang telah
menjatuhkan putusan, jadi bukan setelah
pemeriksaan perkara selesai. Dengan demikian walaupun penuntut umum telah
membacakan tuntutan atau requisitoir, hal itu belum
menutup kemungkinan bagi terdakwa atau
penasihat umum untuk mengajukan saksi yang meringankan atau menguntungkan.
Permintaan untuk mengajukan saksi baik oleh penuntut umum ataupun
terdakwa harus ditujukan kepada hakim ketua siding, sehingga hakim ketua sidanglah yang berwenang memutuskan apakah permintaan dari terdakwa, dari penasihat hukum atau dari
penuntut umum itu dapat dikabulkan
atau tidak. Adapun mengenai siapa yang harus melakukan pemanggilan terhadap para saksi dan dengan cara bagaimana panggilan itu harus
dilakukan ternyata tidak ada peraturan
dan penjelasannya dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Namun adalah tidak wajar
apabila dibuat perbedaan antara panggilan terhadap para saksi yang tercantum dalam surat pelimpahan
perkara dengan panggilan terhadap para saksi yang diminta oleh terdakwa/penasihat hukum atau oleh penuntut umum selama
sidang berlangsung atau sebelum dijatuhkannya
putusan, sebab sesuai dengan ketentuan
Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP, semua saksi tersebut wajib didengar keterangannya oleh hakim ketua sidang.
Dengan demikian pemanggilan terhadap para saksi baik yang diminta oleh terdakwa/penasihat hukum atau penuntut
umum sebelum putusan dijatuhkan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang telah diatur dalam Pasal 146 ayat (2) KUHAP. Pemanggilan itu dilakukan oleh penuntut umum dengan
menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat: (i) tanggal, hari
serta jam sidang, dan; (ii)
keterangan untuk perkara apa saksi
dipanggil.
Surat
panggilan tersebut harus sudah diterima
oleh saksi yang bersangkutan
selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dimulai yakni setelah hakim ketua sidang mengabulkan permintaan dari terdakwa/penasihat hukum atau dari
penuntut umum untuk memanggil orang-orang tertentu untuk didengar keterangannya baik sebagai saksi
a decharge maupun sebagai saksi de charge,
dan setelah penuntut umum mendapat perintah
dari hakim ketua sidang untuk memanggil
orang-orang yang bersangkutan
2. Tujuan
Penuntut Umum Dan Atau Terdakwa Mengajuan
Saksi Tambahan���������
Sesuai dengan ketentuan KUHAP, bahwa penuntut umum adalah pihak
yang bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya untuk
membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa dalam surat dakwaan, yaitu �surat atau
akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan
penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan
bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan�. Dengan demikian kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa ada pada penuntut umum. Salah satu upaya penuntut
umum untuk mengajukan bukti tentang kesalahan terdakwa adalah dengan mengajukan saksi yang memberatkan (de
charge).
Sebaliknya terdakwa atau penasihat
hukum mempunyai hak untuk melemahkan
atau melumpuhkan pembuktian yang diajukan oleh penuntut umum dengan
cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Misalnya dengan (i) mengadakan
sangkalan atau bantahan yang beralasan atas dakwaan penuntut
umum, atau; (ii) dengan alibi atau dengan; dan (iii) mengajukan saksi yang meringankan atau saksi a decharge.
Terdakwa berhak untuk mengusahakan
dan mengajukan saksi dan/atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya. Saksi yang diajukan oelh seorang terdakwa,
yang diharapkan dapat memberfikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya atau saksi
a de charge, sebagai lawan
dari saksi a charge,
yakni saksi yang diajukan oleh penuntut umum, yang keterangannya memberatkan terdakwa.
Berdasarkan Pasal 65 KUHAP tersangka dan terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan
bagi dirinya. Ini berarti sudah
sejak diperiksa oleh penyidik, seorang tersangka itu berhak
mengajukan saksi-saksi guna memberikan keterangan yang menguntungkan. Pemeriksaan terhadap saksi-saksi seperti itu atau keterangan-keterangan
yang meringankan tersangka dari saksi-saksi a de charge,
oleh penyidik harus dituangkan dalam suatu berita acara pemeriksaan saksi, yang bersama-sama dengan berita-berita lainnya kemudian harus diserahkan kepada penuntut umum, untuk dijadikan bahan pertimbangan apakah ia akan
melimpahkan perkaranya ke pengadilan atau
akan menurut perkara tersebut demi hukum.
Kesaksian a
de charge seperti itu seringkali diperlukan dalam pemeriksaan oleh penyidik, apabila seseorang tersangka telah mengemukakan alibi, yaitu bahwa ia
berada di lain tempat pada saat tindak pidana
yang disangkakan terhadap dirinya itu terjadi,
atau bahwa ia benar-benar tidak pernah berada
di tempat kejadian, baik sebelumnya, selama, atau sesudah
tindak pidana yang bersangkutan terjadi. Keterangan saksi yang menguatkan alibi tersangka seperti itu juga harus dibuat dalam
sebuah berita acara, dan tidak cukup apabila
hanya diketahui oleh penyidik.
Berkenaan dengan adanya hak
untuk mengajukan saksi atau ahli
yang oleh undang-undang telah
diberikan kepada tersangka atau terdakwa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasa 65 KUHAP di atas, para pemeriksa di semua tingkat pemeriksaan wajib menanyakan kepada tersangka atau terdakwa, yaitu apabila ia
akan mengajukan saksi-saksi atau sdaksi ahli yang dapat memberikan keterangan yang sifatnya menguntungkan bagi dirinya.
Apabila seorang tersangka atau terdakwa mengajukan
nama seseorang atau beberapa orang saksi a de charge atau seorang atau beberapa
saksi ahli, yaitu menurut pendapatnya
akan dapat memberikan keterangan-keterangan yang
sifatnya meringankan bagi dirinya, tidak
dengan sendirinya pemeriksa selalu harus mengabulkan setiap permintaan unuk memanggil semua saksi a de charge
yang disebutkan oleh tersangka
atau terdakwa, apabila pemeriksa yakin bahwa saksi-saksi
tersebut tidak akan dapat memberikan
keterangannya yang secara langsung ada hubungannya
dengan tidak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada tersangka atau terdakwa karena
hal tersebut hanya akan menghambat
jalannya pemeriksaan dan bertentangan dengan prinsip pemeriksaan yang cepat, sederhana dan murah, sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentuk KUHAP.
Dalam hal saksi yang menguntungkan tersangka tidak diajukannya pada saat pemeriksaan di tingkat penyidikan maka ia masih
dapat mengajukannya selama pemeriksaan di sidang pengadilan masih berlangsung atau sebelum putusan
pengadilan dijatuhkan. Inilah yang disebutkan saksi tambahan yang tidak tercantum dalam surat pelimpahan
perkara. Berdasarkan Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP bahwa saksi yang diajukan dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat
hukum atau penuntut umum selama
berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya
putusan, wajib didengarkan oleh hakim ketua sidang.
Kewajiban
hakim untuk menanggapi hak terdakwa mengajukan
saksi yang meringankan sebagaimana dijelaskan di atas adalah merupakan
cermin jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia
yang diatur dalam KUHAP
demi mengangkat dan menempatkan
derajat tersangka atau terdakwa dalam
suatu kedudukan sebagai mahluk manusia yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh.
Tersangka atau terdakwa harus
diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusian, yang membawa suatu konsekwensi
bahwa dalam pelaksanaan penegakkan hukum terhadap mereka, hak-hak asasi utama yang telah diatur oleh undang-undang tidak boleh dilanggar, sebagaimana halnya untuk mengajukan saksi yang meringankan bagi dirinya.
Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian. Oleh sebab itu adalah hal
yang layak jika ia mengajukan saksi
yang menguntungkan dirinya dengan tujuan untuk
melemahkan/melumpuhkan pembuktian penuntut umum atas kesalahan
yang didakwa kepadanya ataupun untuk melakukan
pembelaan atas dakwaan penuntut umum.
Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP ini dikatakan bahwa
ketentuan ini adalah penjelasan dari asas praduga
tidak bersalah. Yang dimaksud dengan asas praduga tidak
bersalah ataupun yang dalam bahasa Inggris
juga disebut sebagai asas presumption of innocence itu
merupakan suatu asas dalam hukum
acara pidana, yang pada dasarnya
ingin mengatakan bahwa seorang terdakwa
itu harus dipandang sebagai tidak bersalah, sebelum kesalahannya itu dinyatakan sebagai terbukti oleh pengadilan, dan putusan kekuatan hukum yang tetap.
Dengan dicantumkannya ketentuan mengenai tidak dibebankannya tersangka atau terdakwa dengan
kewajiban untuk membuktikan sesuatu dalam proses pemeriksaan perkara pidana, maka kini tidak
perlu lagi dipermasalahkan tentang siapa yang sebenarnya mempunyai beban untuk membuktikan tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan kepada tersangka atau terdakwa.
Pada
dasarnya siapa yang menyangka atau siapa yang mendakwa seseorang telah melakukan tindak pidana, maka ialah
yang harus membuktikan kebenaran dari sangkaan atau dakwaannya.
Dalam hal ini adalah penuntut
umum yang harus berupaya untuk membuktikan kesalahan terdakwa termasuk dengan mengajukan saksi-saksi yang memberatkan terdakwa.
3. Kewenangan
Menilai Keterangan Saksi Tambahan Yang Diajukan Oleh Penuntut Umum Dan Atau Terdakwa
Sebagaimana dijelaskan bahwa kepada penuntut umum, undang-undang telah membebankan kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Berdasarkan hal tersebut dalam
praktek di persidangan sering terlihat penuntut umum mengajukan
pertanyaan yang seolah-olah
menyerang kepada semua saksi untuk
membuktikan kebenaran dari tindak pidana
yang telah ia dakwakan kepada terdakwa. Sebaliknya penasihat hukum mengajukan pertanyaan secara bertubi-tubi kepada saksi-saksi a charge
untuk melemahkan keterangan mereka yang memberatkan terdakwa. Semuanya itu merupakan
hal yang wajar asal mereka menyadari
bahwa yang berwenang menilai apakah suatu dakwaan itu
terbukti atau tidak, atau apakah
suatu keterangan saksi itu berharga
atau tidak adalah judex facti atau penemu fakta
yaitu hakim, jadi bukan penuntut umum atau penasihat
hukum.
Semua pembelaan yang dilakukan dengan cara membentak-bentak
para saksi a charge di sidang
pengadilan dengan maksud melemahkan keterangan yang telah diberikan di depan sidang pengadilan, ataupun untuk menyerang
kewibawaan saksi dengan tujuan untuk
melemahkan mental saksi bukanlah pembelaan yang dikehendaki oleh KUHAP. Hal ini membuat para saksi menjadi tidak bebas
untuk memberikan keterangan kepada pengadilan bukan saja disebabkan karena cara mengajukan
pertanyaan oleh pembela melainkan juga karena pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan oleh pembela. Bagaimana pun cara pembela/penasihat hukum untuk melemahkan
keterangan saksi de charge
semua penilaian terhadap keterangan saksi itu sepenuhnya
diserahkan kepada hakim sebagai penemu fakta.
Mengadili adalah pergulatan kemanusiaan. Itulah tugas hakim yang jika dijalankan dengan penuh pengabdian yang tulus. Dalam misi
menegakan hukum demi keadilan memang sangat sulit dan penuh tantangan tapi sangat mulia. Keadilan yang diperjuangkan adalah keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Seorang
hakim tidak boleh hanya bersandar pada undang-undang semata, tetapi juga harus sesuai dengan hati
nuraninya yang tulus. Demikian halnya dengan melakukan pemeriksaan terhadap saksi yang diajukan oleh penuntut umum atau
terdakwa/penasihat hukum, hakim harus cerdas, serta arif
bijaksana sehingga dapat menghasilkan keputusan yang tepat, adil dan bermanfaat sebagai perwujudan dari kebenaran materiil.
Dalam hal penilaian terhadap
keterangan saksi yang meringankan atau memberatkan terdakwa ini, ketentuan yang harus menjadi pedoman
adalah ketentuan yang diatur dalam Pasal
183 KUHAP yang berbunyi: Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang,
kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa dalam pembuktian
kesalahan terdakwa harus ada sekurang-kurangnya
dua alat bukti sah dan atas
dasar sekurang-kurangnya dua alat bukti
ini timbul keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Hal ini mengandung pengertian bahwa dengan adanya keyakinan
hakim berarti hakim bebas untuk menentukan berdasarkan hati nuraninya untuk dapat menerima kebenaran ataupun mengenyampingkan keterangan saksi baik yang meringankan maupun memberatkan bagi terdakwa tersebut.
Dengan demikian tidak berarti bahwa dengan
kehadiran saksi yang meringankan yang diajukan oleh terdakwa ataupun saksi yang memberatkan yang diajukan oleh penuntut umum di persidangan, hakim menjadi terikat untuk mendasarkan keputusannya kepada kebenaran keterangan saksi tersebut tanpa mempertimbangkannya ataupun menyesuaikannya dengan alat-alat bukti lain maupun segala fakta hukum
yang terungkap di persidangan
sehingga menimbulkan keyakinan hakim untuk memberikan suatu keputusan yang tepat dan adil bagi semua
pihak. Dengan demikian hukum dapat ditegakan dan masyarakat benar-benar merasakan adanya kepastian hukum.
Kesimpulan
Pemanggilan
terhadap saksi tambahan (yang tidak tercantum dalam surat pelimpahan perkara) baik yang diajukan oleh penuntut umum dan atau terdakwa
selama sidang berlangsung atau sebelum putusan dijatuhkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang telah diatur dalam Pasal 146 ayat (2) KUHAP, yaitu dilakukan oleh penuntut umum dengan menyampaikan
surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan memuat keterangan untuk perkara apa ia
dipanggil yang harus diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang
dimulai.
Tujuan penuntut umum untuk
mengajukan saksi tambahan (yang tidak tercantum dalam surat pelimpahan perkara) adalah untuk membuktikan kebenaran dari tindak pidana yang telah ia dakwakan
kepada terdakwa (saksi de charge), sedangka
tujuan terdakwa/penasihat hukumnya mengajukan saksi a decharge adalah untuk melemahkan keterangan saksi-saksi yang memberatkan terdakwa.
Kewenangan
menilai keterangan saksi baik yang diajukan penuntut umum ataupun terdakwa
(saksi tambahan) ada pada pengumpul fakta (judex facti) yaitu hakim, dan hakim memiliki kebebasan untuk menerima ataupun menolak kebenaran dari keterangan saksi baik yang memberatkan maupun meringankan terdakwa.
BIBLIOGRAFI
Andi Hamzah, Surat
Dakwaan, Alumni, Bandung, 1987
........................, Hukum Acara Pidana Di
Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Pedoman
Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Yayasan Pengayoman,
Jakarta, Tanpa Tahun.
Kurnianingsih, M. dan Priyangga, T,. Implementasi Hak Terdakwa untuk Menghadirkan Alat Bukti Berupa Saksi
Dan Ahli Yang Meringankan Dalam Perkara Penodaan Agama Islam, Verstek,
4(1), 2021.
Lestari, T. Y. dan Juwita, J., Penerapan Saksi Hukum terhadap Seseorang yang Kedapatan Menjadi Veteran
Palsu Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 2012 tentang Veteran, Syntax
Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(4), pp. 4763�4781, 2022.
Machmud, S, Analisis
Yuridis Penerapan Pasal 229 KUHAP Tentang Penggantian Biaya Terhadap Saksi Yang
Hadir dalam Tingkat Pemeriksaan Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Nomor.
28/Pid. Sus-TPK/2016/PN. PBR. Universitas Islam Riau, 2018.
M. Yahya Harahap,�
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pustaka
Kartini Penerbit Buku Bermutu, Bandung, 1985.
Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung,
2001.
Ninorey, I. Penggunaan
Alat Bukti Keterangan Saksi A Charge Dalam Pembuktian Tindak Pidana Penipuan
Tenaga Kerja, Verstek, 5(3), 2018.
Rondonuwu, O. G. (2013) �Hak dan Kewajiban yang Mengikat
terhadap Saksi di dalam Praktik Persidangan Pidana�, Lex Crimen, 1(4),
2018
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan
Hukum Pidana dan Yurisprudensi, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Rondonuwu, O. G., Hak
dan Kewajiban yang Mengikat terhadap Saksi di dalam Praktik Persidangan Pidana,
Lex Crimen, 1(4), 2013.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Di
Indonesia, Sumur, Bandung, 1981.
Wulandani, M. T. W., Implementasi
hak terdakwa untuk menghadirkan saksi yang meringankan atau a de charge dalam
persidangan dan kekuatannya sebagai alat bukti dalam perkara terorisme (studi
kasus dalam putusan nomor: 1783/Pid. B/2004/PN. Jak. Sel). UNS (Sebelas
Maret University), 2011.
Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan
Saksi dan Korban dan perubahannya dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun
2014
Van Christian, B, Tinjauan
Terhadap Pelaksanaan Pasal 65 KUHAP tentang Hak Tersangka atau Terdakwa untuk
Menghadirkan Saksi yang Menguntungkan (Saksi/Saksi Ahli) di Semua Tingkat
Pemeriksaan. UAJY. 2016
Copyright holder: Tuangkus Harianja, Jenriswandi
Damanik (2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |