aSyntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022
STRUKTUR SOSIAL
MASYARAKAT PESISIR (KAJIAN TENTANG PELAPISAN SOSIAL MASYARAKAT DI DESA CIKOANG KABUPATEN TAKALAR)
Sadriani Ilyas, Tahir Kasnawi,
Sakaria
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Struktur sosial masyarakat pesisir umumnya dibangun atas relasi Patron (pemodal)-klien
(buruh). Pada masyarakat pesisir yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan. Pola
patron klien dikenal dengan istilah lokal �punggawa-sawi�.
Sebutan ini mengakar kuat pada budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang dikenal
sebagai pelaut. Namun pelapisan sosial Punggawa-Sawi
justru tidak ditemukan pada masyarakat pesisir di Desa
Cikoang Kabupaten Takalar. Tujuan penelitian ini untuk melihat pelapisan
sosial pada masyarakat pesisir di Desa Cikoang Kabupaten Takalar. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus dengan tujuan
untuk menganalisa secara komparasi pelapisan sosial masyarakat pesisir di Desa
Cikoang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sektor kerja utama masyarakat pesisir
di Desa Cikoang adalah pelaut dan petani. Masyarakat yang berprofesi sebagai
nelayan dikenal sebagai nelayan mandiri. Profesi nelayan hanya dijadikan
sebagai pekerjaan sampingan bagi masyarakat pesisir di Desa Cikoang. Mata
pencarian utama mereka adalah petani seperti petani sawah, jagung, kacang dan
petani garam. Terkait pelapisan sosial masyarakat pesisir di Desa Cikoang tidak
dilihat dari relasi antara Punggawa dan
Sawi berdasarkan ikatan ekonomi, melainkan
secara garis keturunan. Masyarakat yang berasal dari keturunan Sayyid menempati kelas sosial paling
tinggi, yang terdiri atas Sayyid Opu
(Karaeng Opua), Sayyid Karaeng, Sayyid
Massang dan Sayyid biasa
berdasarkan sistem pelapisan sosialnya. Status sosial tingkat kedua berasal
dari kalangan Karaeng, dan tingkat
ketiga adalah Jawi atau masyarakat
biasa yang berada pada posisi terendah dalam sistem pelapisan sosial masyarakat
pesisir di Desa Cikoang.
Kata Kunci: Pelapisan Sosial, Masyarakat Pesisir.
Abstract
The social structure of coastal communities is generally
built on Patron (financier)-client (labor) relations. In coastal communities
inhabiting the South Sulawesi region. The client patron pattern is known by the
local term "mustard-courtier". This designation is deeply rooted in
the culture of the people of South Sulawesi who are known as sailors. However, punggawa-Sawi social layering is not found in coastal
communities in Cikoang Village, Takalar
Regency. The purpose of this study was to see social layering in coastal
communities in Cikoang Village, Takalar
Regency. This research uses qualitative methods through a case study approach
with the aim of comparatively analyzing the social layering of coastal
communities in Cikoang Village. The results of this
study show that the main work sectors of coastal communities in Cikoang Village are seafarers and farmers. People who work
as fishermen are known as independent fishermen. The fishing profession is only
used as a side job for coastal communities in Cikoang
Village. Their main livelihoods are farmers such as paddy farmers, corn, beans
and salt farmers. Related to the social layering of coastal communities in Cikoang Village is not seen from the relationship between Punggawa and Sawi based on
economic ties, but in lineage. People of Sayyid descent occupy the highest social
class, consisting of Sayyid Opu (Karaeng
Opua), Sayyid Karaeng, Sayyid Massang
and ordinary Sayyid based on their social layering system. The second level of
social status comes from the Karaeng circle, and the
third level is Jawi or ordinary people who are in the
lowest position in the social layering system of coastal communities in Cikoang Village.
Keywords: Social Layering, Coastal Communities.
Pendahuluan
Struktur sosial masyarakat pedesaan pada dasarnya bersifat sederhana karena mayoritas
masyarakatnya memiliki mata pencaharian yang sama atau seragam. Aktivitas
masyarakat hanya sebatas persoalan cara mempertahankan hidup (Jamaluddin,
2015). Berbeda dengan masyarakat pedesaan yang bermukim di daerah pesisir
pantai, struktur sosial masyarakatnya justru dibangun dengan faktor-faktor yang
sangat kompleks. Terkait karakteristik sosialnya, Septiana (2018) mengatakan
bahwa masyarakat pesisir bersifat heterogen, mempunyai etos kerja yang tinggi,
solidaritas yang kuat dan terbuka serta interaksi sosial yang mendalam. Selain
itu mereka juga memiliki sistem budayanya sendiri yang berbeda dengan
masyarakat pada umumnya.
Masyarakat
pesisir, khususnya kaum nelayan menggantungkan kehidupan mereka pada hasil
laut, baik dengan cara penangkapan maupun budidaya (Imron, 2003). Ferina (2021)
& Kamal, et. al, (2021) menjelaskan bahwa nelayan bukanlah entitas tunggal
melainkan terdiri dari beberapa kelompok. Diantaranya terdapat nelayan juragan
(patron) yang dikenal sebagai pemilik modal atau penyedia kapital (sosial dan
ekonomi), nelayan mandiri merupakan nelayan yang memiliki alat tangkap dan
mengoprasikan sendiri tanpa melibatkan orang lain, serta buruh nelayan (klien)
yang bekerja pada patron dengan
memakai atribut hubungan norma sosial dan kesepakatan kerja.
Ciri
umum pada pelapisan sosial masyarakat pesisir dapat ditemukan dalam ikatan
patron-klien yang kuat (Satria,
2015). Kuatnya ikatan patron klien tersebut merupakan bagian dari konsekuensi
atas kegiatan penangkapan ikan yang penuh dengan resiko dan ketidakpastian.
Menurut Scott (1991) relasi antara patron dan klien sulit untuk
dikategorisasikan, sebab �klien� adalah orangnya patron, yang menyediakan
tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron apapun bentuknya. Hal ini
kemudian dipertegas oleh Kusnadi (2009) yang menyatakan bahwa hubungan antara
patron dan klien ini terjadi secara tidak seimbang, karena klien terlebih
dahulu memiliki utang budi kepada patron sejak saat mereka pertama kali
diterima untuk bekerja. Artinya, patron sebagai penguasa sumber daya modal atas
klien. Kekuasaan itulah yang menyebabkan terjalinnya ikatan antar keduanya.
Fenomena
patron klien dapat ditemukan pada masyarakat pesisir yang mendiami wilayah
Sulawesi Selatan. Pola patron klien dengan istilah lokal �punggawa-sawi� cenderung mengikat nelayan buruh secara permanen
dan diwariskan secara turun-temurun. Hubungan antara punggawa dan sawi menurut
Mustafa dan Arief (2017) terikat dalam bentuk kepercayaan serta aturan yang
berlaku dalam komunitasnya, kemudian berkembang menjadi suatu pranata sosial
dalam kehidupan masyarakat pesisir. Hubungan tersebut dibangun atas dasar
kepercayaan dan kesepakatan dalam bentuk lisan. Di Kabupaten Barru, Nassa
(2021) menemukan relasi antara punggawa
dan sawi berdasarkan mekanisme kerja
dan sistem bagi hasil kelompok nelayan Bagang Rambo. Di tempat lain Kamal et.
al (2021) berdasarkan hasil penelitiannya menemukan relasi kuasa antara punggawa dan sawi dalam arena politik. Dalam hal ini punggawa memiliki wewenang untuk mempengaruhi sawi dalam pilihan politiknya di kecamatan Kajuara Kabupaten Bone.
Umumnya
pelapisan sosial pada masyarakat pesisir khususnya di Sulawesi Selatan dapat
dilihat dari relasi antara punggawa dan sawi. Akan tetapi, hal yang berbeda
justru terjadi pada masyarakat pesisir yang mendiami Desa Cikoang, Kabupaten
Takalar. �Hubungan antara punggawa-sawi tidak terlihat di desa ini. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk mengkaji pelapisan sosial masyarakat pesisir di Desa Cikoang, Kecamatan
Mangarabombang, Kabupaten Takalar.
Metode Penelitian
Artikel
ini merupakan hasil penelitian lapangan yang dilakukan selama satu bulan di
Desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar pada bulan November
2021. Desa ini dipilih karena berada di pesisir pantai. Penelitian ini
menggunkan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus dengan tujuan untuk
menganalisa secara komparasi pelapisan sosial masyarakat pesisir di Desa
Cikoang. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Creswell (2013) bahwa proses
penelitian kualitatif melibatkan upaya-upaya penting, yang meliputi pengajuan
pertanyaan dan prosedur pengumpulan data secara spesifik dari subyek
penelitian, menganalisis data secara induktif dimulai dari tema khusus ke tema
umum dan menafsirkan makna data.
Menurut
Maleong (2014) sumber data terdiri dari kata-kata dan tindakan. Secara garis
besar data tersebut terbagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer dalam penelitian
ini adalah data yang diperoleh secara langsung di lokasi penelitian melalui observasi, wawancara mendalam (indepth
interview) dan dokumentasi terhadap informan penelitian di Desa Cikoang. Sedangkan
data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung melalui
referensi terkait tentang masyarakat nelayan khususnya di Desa Cikoang.
Informan dalam penelitian ini sebanyak 5 orang yang terdiri dari 1 orang perangkat Adat, 2 orang yang berprofesi
sebagai nelayan sekaligus petani dan 2 orang
masyarakat yang bergelar sayyid.
Hasil Dan Pembahasan
Sektor Kerja Utama Masyarakat
Pesisir Desa Cikoang
Desa Cikoang terletak di daerah pesisir
pantai Mangarabombang, bagian Selatan Kabupaten Takalar. Desa Cikoang yang
berada di daratan rendah dengan kondisi tanah yang tidak terlalu tandus,
menjadikan sektor pertanian sebagai sumber mata pencarian utama bagi mayoritas masyarakatnya. Sumber mata pencarian lain yang tidak kalah
penting dari petani adalah nelayan. Desa ini memiliki keunikan tersendiri dari
masyarakat pesisir pada umumnya, khususnya yang berada di Sulawesi selatan.
Jika pelapisan sosial masyarakat pesisir identik dengan relasi antara punggawa dan sawi, masyarakat pesisir di Desa Cikoang justru tidak mengenal
relasi tersebut. Hal ini disebkan karena masyarakat pesisir yang berprofesi
sebagai nelayan di Desa Cikoang adalah nelayan mandiri, mereka tidak bergantung
pada orang lain. Selain nelayan mandiri masyarakat pesisir yang mendiami Desa
Cikoang juga berprofesi sebagai petani dan mayoritas diantara mereka memiliki
lahan pertanian yang subur, sehingga mereka tidak mengalami keterikan dalam hal
pemenuhan ekonomi kepada pihak pemilik modal (juragan).
a. Pelaut
Terletak di daerah
pesisir pantai Mangarabombang menjadikan nelayan sebagai salah satu profesi bagi mayoritas
masyarakat yang mendiami Desa Cikoang. Nelayan di Desa Cikoang dikenal sebagai
nelayan mandiri karena memiliki alat tangkapnya sendiri dan mengoprasikannya
tanpa melibatkan orang lain. Mereka memiliki perahu sendiri untuk menangkap ikan
dengan cara memancing dan menjala, jarak yang mereka tempuh juga tidak terlalu
jauh. Mencari nafkah menggunakan perahu lepa-lepa untuk menangkap ikan jarak
pendek, menjadi ciri khas bagi masyarakat nelayan di Desa Cikoang, parahu
tersebut dilengkapi motor tempel dengan ukuran panjang body kapal sekitar 500
sampai 900 cm, lebar 40 sampai 80 cm, dan kedalaman 30 sampai 55 cm. Perahu ini
umumnya mampu menampung satu sampai dua orang. Kekuatan mesin pada perahu ini
juga tidak terlalu besar. Daya jangkau perahu ini hanya berkisar satu mill dari bibir pantai
dengan waktu pengoprasian sekitar 5 sampai 6
jam perharinya.�
Nelayan
di Desa Cikoang melaut
setelah sholat subuh dan mereka akan kembali ketika hari menjelang siang
sebelum waktu Dzuhur. Keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan ikan,
memberikan dampak terhadap penghasilan nelayan di Desa Cikoang. Kondisi ini
kemudian diperparah dengan faktor alamiah seperti fluktuasi musim ikan yang
tidak menentu dan ombak besar setinggi 2 meter yang
sewaktu-waktu dapat mengancam nyawa mereka. Meskipun hidup di daerah pesisir
pantai, profesi nelayan bukan sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat di
Desa Cikoang. Mereka melaut hanya
untuk konsumsi pribadi. Jika memungkinkan hasil tangkapan tersebut akan
dijajakan kepada tetangga dan keluarga.�
Mereka menjadikan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan utama. Hal
ini sesuai dengan pernyataan salah satu Informan:
�Di sini itu lebih
banyak petani sekaligus nelayan. Tapi nelayan pancing
yang pake kapal kecil lepa-lepa
namanya. Tidak bermalam kalau pergi melaut, paling setengah hari. Subuh-subuh
na pergi sebelum dzuhur na pulang, ikan untuk dimakanji yang pergi di tangkap.
Itupun kadang-kadang juga tidak pergi, kalau lagi malas atau ada kerjaan lain
dan masih adaji ikan yang bisa dimakan. Kalau banyak-banyak lagi hasil
tangkapan biasa di jual ke tetangga-tetangga atau keluarga yang tidak sempat
melaut, tapi lebih sering di simpan untuk dimakan lagi besok untuk jaga-jaga
karena biasa tinggi ombak, bahaya kalau melaut orang. (Wawancara dengan S,
tanggal 27 November 2021).
b. Petani
Umumnya masyarakat
Desa Cikoang bekerja dalam dua sektor yaitu sebagai petani sekaligus nelayan.
Bagi masyarakat Desa Cikoang sektor pertanian dijadikan sebagai sumber
pencarian utama. Hal ini dilakukan bagi mereka yang memiliki tanah pribadi yang
mereka garap sendiri. Mayoritas masyarakatnya memiliki lahan persawahan, yang
umumnya mereka panen dua sampai tiga kali dalam satu tahun. Saluran irigasi
menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan petani padi di Desa cikoang. Jika
saluran irigasinya mengalirkan air dengan baik ke sawah-sawah para petani, maka
mereka dapat memanen padi 3 kali dalam satu tahun. Selain menggarap lahan
persawahan para petani di Desa Cikoang juga menanam tanaman jangka pendek
seperti jagung dan kacang. Dan sebagian masyarakat yang lain lebih memilih
menjadi petani garam. Hal ini sesuai
dengan salah satu pernyataan informan:
�Pekerjaan
masyarakat di sini
campur-campur. Ada nelayan, ada petani sawah, petani jagung, sama petani garam.
Biasanya petani di sini kalau sudah panen padi, itu lahannya ditanami dulu
kacang atau tanaman jangka pendek lainnya, setelah itu ditanami lagi kembali
padi kalau sudah memungkinkan� (Wawancara dengan P, tanggal 27 November 2021).
Pelapisan Sosial
Masyarakat Pesisir di Desa Cikoang
Menurut
Mustari (2018) Pelapisan
sosial masyarakat pesisir di Desa Cikoang berdasarkan garis keturunan.
Pelapisan sosial ini dibagi menjadi tiga bagian diantaranya:
a.
Sayyid
1) Sayyid Opu
(Karaeng Opua)
Sayyid
Opu adalah Sayyid yang menempati posisi tertinggi diantara para Sayyid dalam pelapisan sosial masyarakat di Desa Cikoang. Sayyid Opu biasa pula di
sebut Karaeng Opua apabila terpilih sebagai
pemimpin kaum Sayyid. Gelar Opu diperoleh dari garis keturunan Ibu
yang berdarah Buton dan gelar Karaeng di
peroleh dari garis keturunan Jafar
Sadik setelah diangkat menjadi Karaeng.
2) Sayyid Karaeng
Sayyid
Karaeng adalah Sayyid yang memiliki pertalian darah dengan bangsawan Makassar.
Gelar Karaeng diperoleh dari garis
keturunan Ibu sebagai bangsawan Makassar dan garis keturunan ayah sebagai Sayyid. Artinya keturunan Sayyid menikah dengan putri keturunan Karaeng Opua.
3)
Sayyid
Massang
Sayyid
Massang adalah Sayyid
yang masih terhitung sebagai kerabat Karaeng
Opua. Sayyid Massang biasa dipanggil dengan sebutan Tuan. Mereka masih satu
keturunan dengan Jafar Sadik. Sayyid
Massang adalah golongan Sayyid yang
tidak pernah menduduki satu jabatan.
4) Sayyid Biasa
Sayyid
biasa merupakan Sayyid yang memiliki garis keturunan dari Sayyid Massang. Sayyid
biasa seperti orang kebanyakan yang tidak memegang peranan. Mereka telah
memiliki percampuran darah dengan masyarakat biasa. Sayyid biasa tidak hanya
hidup di Cikoang tetapi mereka sudah hidup menyatu dengan anggota masyarakat di luar Cikoang.
b.
Karaeng
Karaeng
berasal dari bangsawan Makassar. Di Desa Cikoang juga terdapat kelompok
Karaeng. Dimana kelompok Karaeng yang ada di Desa Cikoang bermula dari Karaeng
Cikondong sebagai keturunan Raja Binamu
Jeneponto.
c.
Jawi
Jawi
merupakan sebutuan untuk masyarakat biasa. Mereka tidak tergolong dalam
kelompok Sayyid maupun Karaeng.
Kelompok ini berasal dari pegawai Karaeng Cikondong yang kemudian berkembang
karena banyaknya orang-orang yang datang ke Cikoang kemudian menetap di daerah
tersebut. Kelompok masyarakat ini biasa disebut sebagai orang Makassar atau Jawi.
�Di
sini itu orang yang paling
di hormati dari keturunan Sayyid, terus
ada karaeng baru jawi. Sayyid itu terbagi-bagi lagi Nak, ada Sayyid Opu, Sayyid Karaeng, Sayyid Massang, sama Sayyid biasa. Ini bisa dilihat dari
garis perkawinannya� (Wawancara dengan P, tanggal 27
November 2021).
Meskipun pelapisan sosial masyarakat pesisir di Desa Cikoang berdasarkan garis
keturunan. Akan tetapi ada beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab status sosial
seseorang berubah. Salah satu diantaranya adalah perkawinan. Golongan Sayyid sangat tidak
mengizinkan keturunan mereka menikah dengan masyarakat biasa. Jika hal
tersebut tetap dilakukan maka dianggap sebagai sebuah pelanggaran aturan adat.
Apabila yang melanggar aturan tersebut adalah perempuan dari
keturunan Sayyid
maka secara otomatis akan dihapus dari garis
keturunannya. Sebaliknya jika perempuan biasa menikah dengan
laki-laki keturunan Sayyid, maka secara otomatis akan menjadi keturunan
Sayyid.
�Kamu yang perempuan misalnya keturunan Sayyid
terus menikah dengan laki-laki biasa, pasti akan dihapus dari garis
keturunanmu. Beda dengan laki-laki Sayyid
bisa menikah dengan perempuan biasa dan istrinya nanti akan berubah juga jadi Sayyid. (Wawancara, dengan R tanggal 27 November 2021)�. Hal senada
juga diungkapkan oleh (PA tanggal 27 November 2021)
yang mengatakan bahwa:
�Kami
punya anak itu menikah
dengan dosennya, terpaksa kita buang. Karena dia menikah bukan
dari kalangan Sayyid�.
Selain
garis keturunan dan gelar
Sayyid sebagai penanda status sosial masyarakat pesisir di Desa Cikoang, juga
terdapat simbol-simbol yang melekat pada masyarakat tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari jumlah tumbasila rumah
mereka, semakin banyak jumlah tumbasila sebuah
rumah maka semakin tinggi pula status sosial penghuni rumah tersebut.
�Kalau kita mau
lihat rumahnya Sayyid
yang mana, rumahnya Karaeng yang mana,
lihat saja jumlah tumba sila rumahnya. Kalau lima tingkat berarti rumahnya pemimpin adat, kalau tiga
itu rumahnya Sayyid dan Karaeng. Kalau dua atau satu itu rumahnya orang biasa. Tapi ada
juga masyarakat biasa yang anggap dirinya sebagai Karaeng makanya dia buat juga
tiga tingkat tumbasila rumahnya (Wawancara dengan R tanggal
27 November 2021)�. Serupa dengan
apa yang katakan oleh (AP tanggal 27 November 2021).
�Sebenarnya Sayyid dan
Karaeng
tidak mempermasalahkanji, apakah kita ini orang biasa mau buat rumah yang tiga
tingkat tumbasilnya. Tapi kita juga sebagai masyarakat biasa mengerti dan tetap
menghargai adat yang selama ini kita jaga. Saya juga sebenarnya bisaji buat
rumah begitu, tapi untuk apa, karena saya ini bukan Sayyid bukan juga Karaeng�.�
������������������������������������������
Kesimpulan
Pelapisan
sosial masyarakat pesisir di Desa Cikoang tidak dilihat berdasarkan relasi
antara Punggawa dan Sawi melainkan garis keturunan.
Keturunan yang bergelar Sayyid menempati kelas sosial paling tinggi di desa
Cikoang. Sayyid kemudian di bagi
menjadi empat tingkatan diantaranya Sayyid
Opu, Sayyid Kareang, Sayyid Massang
dan Sayyid Biasa. Kelas sosial
tingkat kedua di tempati oleh Karaeng yang berasal dari bangsawan
Makassar.� Ketiga adalah Jawi atau masyarakat biasa yang menepati
kelas sosial paling rendah dalam pelapisan sosial masyarakat pesisir di
Cikoang.
BIBLIOGRAFI
Creswell,
J. W. (2013). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed
(Edisis Ketiga).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dalvi,
M. M. & Andi, A. A. (2017). Kajian Struktur Sosial Nelayan Ikan Terbang di Kabupaten Takalar (Studi Kasus Desa
Bonto Marannu Kecamatan Galesong Selatan). Jurnal Perikanan dan Kelautan. 7 (1): 71-81.
Ferina, N. N.
D. A. (2021). Strategi Adaptasi Nelayan
dii Kenjeren, Kecamatan Sukolilo Larangan, Kabupaten Surabaya, Provinsi Jawa Timur dalam Menghadapi Ekologinya. Jurnal Indonesia Sosial Teknologi. 2 (1): 115-127.
Imron, M.
(2003). Pengembangan Ekonomi Nelayan
dan Sistem Sosial Budaya. Jakarta: PT. Gramedia.
Kamal,
A. et. al. (2021). Relasi Punggawa
Sawi dalam Arena Politik: Studi Pada Komunitas Pedagang Antar Pulau di Desa Tarasu Kecamatan
Kajuara Kabupaten Bone. Jurnal Sosio Sains.
7 (1): 72-82.
Kusnadi.
(2002). Nelayan: Strategi Adaptasi
dan Jaringan Sosial.
Bandung: HUP.
Nasrullah
Jamaluddin, Ardon. 2015. Sosiologi
Perdesaan. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nassa, M. K.
J. & Andi, A. (2021). Sistem Bagi
Hasil Punggawa-Sawi Pada Nelayan
Bagang Rambo (NBR) Di Kelurahan
Sumpang Binangae Kabupaten Barru. Jurnal Maqrizi. 1 (2): 49-54.
Maleong, L. J.
(2014). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Mustari. 2018.
Masyarakat dan Sayyid dalam Pemilihan
Kepala Desa di Desa Cikoang Kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Takalar. Makassar: Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Satria,
Arif. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Scott,
J. C. (1991) Social Networking Analysis. London: Sage Publication.
Septiana, S.
(2018). Sistem Sosial Budaya Pantai: Mata Pencaharian Nelayan dan Pengolahan Ikan di Kelurahan Panggung, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal. Jurnal Sabda.
13 (1).�
Copyright
holder: Sadriani Ilyas, Tahir Kasnawi, Sakaria (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |