Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849
�e-ISSN : 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022
PENGENTASAN PATRONASE KEMISKINAN NELAYAN
PUNGGAWA- SAWI �
Bambang Arwanto
Universitas Kutai Kartanegara, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Berbagai kebijakan anti kemiskinan terus diagendakan dari
yang bersifat derma sampai yang bersifat pemberdayaan dalam upaya meningkatkan
produktivitas masyarakat miskin. Namun kebijakan anti kemiskinan yang
menghabiskan dana publik dalam jumlah besar Ternyata tidak efektif, dikarenakan
kebijakan tersebut belum mampu meningkatkan kemampuan masyarakat miskin dan
keterlibatan mereka dalam proses pembangunan. Penelitian ini ditujukan untuk
memberikan suatu model analisis untuk meningkatkan produktivitas masyarakat
miskin dengan suatu keniscayaan bahwa kemiskinan pedesaan merupakan suatu yang
unik dan spesifik dan tidak dapat diseragamkan pengentasannya, dengan melakukan
pendekatan terhadap kelompok nelayan miskin (sawi) yang mengalami patronisasi
kemiskinan oleh nelayan kaya� (punggawa). Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus, kebijakan
apa yang paling efektif dilakukan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat nelayan
miskin� yang mengalami patronisasi
kemiskinan punggawa-sawi, pengumpulan data terhadap unit analisis dilakukan
dengan menggunakan metode PRA (Participatory
Rural Appraisal) untuk menggali permasalahan yang dikembangkan dalam
penelitian secara partisipatif, dimana peneliti hanya berperan sebagai
fasilitator sedangkan kelompok-kelompok nelayan berperan aktif dalam
menganalisa dan mengkaji permasalahan yang mereka alami sendiri dalam diskusi
terfokus ditengah aktivitas mereka sehari-hari. Hasil penelitian mengkonfirmasi kebijakan yang perlu
dilaksanakan dalam upaya meningkatkan produktivitas s masyarakat nelayan miskin
Desa Amborawang Laut dapat dilakukan melalui kebijakan bantuan permodalan,
pembentukan jaringan pemasaran hasil perikanan, serta peningkatan penerapan
teknologi penangkapan dan pengolahan hasil perikanan sebagai alternatif
kebijakan yang terpilih untuk direkomendasikan.
Kata kunci: Pengentasan,
Kemiskinan, Nelayan, Punggawa-sawi,
Patronisasi
Abstract
Various anti-poverty policies continue to be on the
agenda, from charitable to empowering ones in an effort to increase the
productivity of the poor. However, anti-poverty policies that appear in public
funds are ineffective, because these policies have not been able to increase
the capacity of the poor and their involvement in the process. This study aims
to provide an analytical model to increase the productivity of the poor with a
necessity that a rural area is unique and specific and cannot be uniformly
reduced by taking an approach to groups of poor fishermen (sawi)
who experience poverty patronization by rich fishermen (punggawa). ) ). The research uses a case study approach, what
policies are most carried out to increase the productivity of poor fishing
communities who experience patronization of punggawa-sawi
poverty, data collection on the unit of analysis is carried out using the PRA
(Participatory Rural Appraisal) method to explore problems developed in
participatory research, where the researcher only acts as a facilitator while
the fishing groups play an active role in analyzing and reviewing the problems
they experience themselves in focused discussions in the midst of their daily
activities. The results of policy research that need to be carried out in an
effort to increase the productivity of the poor fishing communities of Amborawang Laut Village can be
carried out through capital assistance policies, the establishment of a
marketing network for fishery products, as well as increasing the application
of technology and processing of fishery products as an alternative that is
chosen to be recommended.
Keywords: Alleviation, Poverty,
Fishermen, Punggawa-sawi, Patronization
Pendahuluan
Ketidakmampuan memahami kemiskinan sebagai suatu
gejala yang unik dan berbeda disetiap tempat, mengakibatkan pendekatan
sentralistik digunakan dalam pengagendaan setiap kebijakan yang secara langsung
ataupun tidak langsung ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, bias pendekatan
ini mengakibatkan ketimpangan sosial, ketimpangan regional, ketimpangan
pembangunan kota dengan desa, serta semakin besarnya ketergantungan masyarakat
dalam pembangunan (Suwandi, 1998:12).
Kegagalan pendekatan sentralisasi mengakibatkan
meningkatnya perhatian pada pendekatan desentraliasi dalam pembangunan dan pentingnya pembangunan sosial
yang menekankan pada arti penting pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan,
sejalan dengan pemikiran tersebut maka politik desentralisasi mulai digulirkan
kembali dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 22 Tahun 1999 serta Undang
Undang No 23� Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Reposisi hubungan pemerintah pusat dan daerah tersebut
memberikan makna yang lebih luas bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan
sentral dalam pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
berdasarkan kemampuan dan kebutuhan masyarakat sendiri.
Momen penguatan
otonomi daerah ini disambut oleh masyarakat Kabupaten Kutai Kartanegara dengan
antusias, mengingat ironi yang telah lebih tiga dasawarsa terjadi sebagai daerah
yang kaya sumber daya alam namun juga memeliki �desa yang dihuni oleh penduduk miskin
terisolir dan terpencil di sepanjang anak Sungai Mahakam, tepi hutan, dan
daerah pantai dengan kondisi infrastuktur yang sangat memprihatinkan, jauh dari
aksebilitas pasar, komunikasi dan perkembangan teknologi, dimana mereka
mencukupi kebutuhan dengan berladang secara berpindah, mengumpulkan hasil hutan
dan berburu. Sulitnya komunikasi menjadikan desa desa terpencil di Kabupaten
Kutai ini jauh dari peradaban sehingga bisa digolongkan sebagai masyarakat
miskin terasing (Syaukani,2000:86).
Kondisi tersebut
tidak hanya diakibatkan oleh timpangnya perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah pada masa lalu, namun juga karena luas Kabupaten Kutai yang memiliki
kondisi geografis yang sulit dalam orbitasi sungai, pegunungan, hutan dan
pantai �yang merupakan kendala bagi
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara efektif.
Guna mempercepat laju
pertumbuhan daerah sejalan dengan aspirasi masyarakat yang berkembang maka
dengan memperhatikan perkembangan jumlah penduduk, luas wilayah, potensi
ekonomi, dan meningkatnya beban tugas serta volume kerja di bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan melalui Undang-Undang No.47 Tahun
1999 Kabupaten Kutai dimekarkan menjadi 3 Kabupaten dan 1 kota yaitu: Kabupaten
Kutai Kertanegara, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat serta Kota
Bontang.
Setelah pemekaran
tersebut konsentrasi penyebaran penduduk miskin hampir separuh berada di Kabupaten
Kutai Kertanegara (45,31%), kemudian hampir seperempatnya berada di Kabupaten
Kutai Timur (24,00 %) sedangkan di Kutai Barat berkisar 15,13 % dan Kota
Bontang sebesar 15,56 % , Sedangkan konsentrasi jumlah rumah tangga miskin di
Kabupaten Kutai� pasca pemekaran
terbanyak berada di Kabupaten Kutai Kertanegara sebesar 45,25 %, selanjutnya
Kutai Timur sebesar 24,64 %, sisanya masing- masing di Kutai Barat sebesar
17,25 % dan Kota Bontang sebesar 12,86%.
Pasca pemekaran
Kabupaten Kutai menjadi 3 kabupaten dan 1 kota, Kabupaten Kutai Kertanegara
memiliki masalah yang paling serius mengenai kemiskinan masyarakatnya
dibandingkan dengan daerah lainnya, Karena jumlah penduduk miskin hampir
separuhnya berdomisili di Kabupaten Kutai Kertanegara yang tersebar pada 18
kecamatan. Jumlah penduduk miskin Kabupaten Kutai Kertanegara �pasca pemekaran adalah 54.499 jiwa dari total
jumlah penduduk sebesar 463.440 jiwa atau berkisar 11,76 % dari total jumlah
penduduk, persebaran penduduk miskin tersebut terkonsentrasi pada daerah
pedesaan sebesar 95,6 % dan pada daerah perkotaan hanya sebesar 4,4 %. Terkonsentrainya
penduduk miskin di pendesaan Kabupaten Kutai Kartanegara erat kaitannya dengan
kesenjangan pembangunan antara kota dan desa (Syaukani, 2000:102-102), sehingga
mengakibatkan minimnya infrasturktur, komunikasi, teknologi, serta jangkauan
pasar, pendidikan, kesehatan, penerangan, air bersih di pedesaan sebagai dasar
bagi pengembangan wilayah. Akibat minimnya potensi dan fasilitas desa,
fasilitas perumahan, serta fasilitas lingkungan, banyak desa-desa di Kabupaten
Kutai Kertanegara berada dalam kategori desa miskin, adapun jumlah desa miskin
di Kabupaten Kutai Kertanegara pasca pemekaran mencapai 51,6% dari keseluruhan
jumlah desa yang ada.
Mengingat
karakteristik desa-desa Kabupaten Kutai Kertanegara Pasca Pemerkaran wilayah sangat
beragam dan umumnya separuh desa (51,6 %) yang berkategori miskin tersebar pada
berbagai kondisi geografis dan orbitasi yang sukar dijangkau, seperti pada
daerah sepanjang anak sungai Mahakam, Danau Jempang, Semayang dan Melintang,
hutan serta pantai yang berbatasan dengan Selat Makassar. Keadaan demikian
tentunya menunjukan bahwa masalah yang dihadapi setiap desa serta indikasi
program yang diberikan tidaklah akan sama karena tipe dan tingkat kemajuan desa
yang jelas berbeda.
Untuk mengetahui
kelompok mayarakat pedesaan yang rentan terhadap proses kemiskinan, tipe serta
proses yang menciptakan kelompok miskin tersebut dapat dilakukan dengan cara
memetakan kelompok fungsional pedesaan yang memiliki tingkat vulnerabilitas
yang tinggi terhadap berbagai intervensi dan perubahan kebijakan yang merupakan
kelompok miskin spesifik (Jazairy, 1992:45-51), kelompok funsional ini dipilih
karena merupakan kelompok yang paling mungkin dimodifikasi melalui berbagai
alternatif kebijakan untuk dapat meningkatkan produktivitas mereka agar dapat
keluar dari kemiskinan, mereka adalah kelompok nelayan yaitu keluarga yang
pendapatannya tergantung dari aktivitasnya mencari ikan, kelompok petani baik
yang memiliki lahan sempit (0,5-3 Ha) maupun petani tanpa tanah (penggarap),
dan kelompok masyarakat suku terasing yang merupakan kelompok suku asli dimana
mereka hidup berdasarkan adat komunitas, jauh dari sentuhan modernitas, dan
memiliki status linguistik yang rendah.
Adapun Konsentrasi
kelompok fungsional nelayan dapat dilihat pada kecamatan pantai di Kabupaten
Kutai Kertanegara dengan orbitasi Selat Makassar yang pada umumnya terletak
pada bagian Timur Kabupaten Kutai Kertanegara yaitu Kecamatan Samboja, Muara
Jawa, Muara Badak, Anggana, dan Marang Kayu, Kelompok Nelayan miskin merupakan
nelayan yang mengalami patronisasi kemiskinan dari kelompok nelayan kaya
(punggawa).
Penelitian ini akan memberikan rumusan
kebijakan dalam upaya meningkatkan produktivitas masyarakat miskin pedesaan
melalui pendekatan kelompok miskin spesifik pedesaan nelayan yang mengalami patronisasi
kemiskinan, dengan asumsi bahwa situasi kemiskinan pedesaan tidaklah sama, baik
kelompok yang tercipta oleh proses kemiskinan, tipe, maupun proses yang membuat
kelompok masyarakat nelayan �tersebut
menjadi potensial untuk miskin, sehingga program anti kemiskinan yang diberikan
tidaklah harus seragam baik dalam jumlah maupun dalam perlakuannnya.
Metode Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, pendekatan yang
digunakan adalah studi kasus (case study) dengan menggunakan metode PRA (Participatory
Rural Appraisal). Dalam hal ini studi kasusnya adalah pencarian masalah (problem
structuring) terhadap sumber dan proses yang melatarbelakangi kemiskinan
masyarakat nelayan, serta kebijakan yang perlu dikakukan untuk mengatasi
masalah tersebut.
Lokasi
penelitian dilakukan di Kabupaten Kutai Kertanegara, Propinsi Kalimantan Timur,
yang dijadikan objek penelitian adalah proses pembuatan alternatif kebijakan
dalam upaya peningkatan produktivitas masyarakat nelayan miskin di Kabupaten
Kutai Kertanegara. Unit analisis penelitian ini berada pada level organisasi
yaitu desa, penentuan unit analisis dilakukan secara sengaja sesuai tujuan
penelitian (purposive), yaitu desa-desa miskin menurut klasifikasi desa
miskin yang didekati berdasarkan kelompok fungsional masyarakat yang rentan
terhadap proses kemiskinan yaitu kelompok nelayan, sehingga dipilih unit
analisis desa nelayan miskin yaitu Desa Amborawang Laut, Kecamatan Samboja.
����������� Dalam
upaya menghimpun data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini peneliti
menggunakan metode yang disebut Chambers (1996:5) sebagai Participatory
Rural Appraisal (PRA) untuk pengumpulan data� primer pada unit analisis desa Amborawang
Laut, melalui observasi langsung turun ke desa dan wawancara dengan sumber
informasi terpilih yang relevan dengan penelitian.
Teknik evaluasi
alternatif� kebijakan yang digunakan
untuk memilih alternatif kebijakan adalah penggabungan Franklin method yaitu suatu Teknik memilih atau membandingkan
alternatif yang terbaik dengan cara menginventarisir alasan-alasan positif
maupun negatif atau konsekuensi masing masing alternatif kebijakan dan
equivalent alternatif method yang merupakan metode seleksi alternatif kebijakan
berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan dan menganggap sama (equivalent)
terhadap semua kriteria atau rasionalitas standar (Stokey dan Zeckauser dalam
Effendi, 2000). Metode ini digunakan untuk melihat seberapa jauh trade off yang terjadi pada alternatif
kebijakan yang akan diseleksi bila kriteria disamakan, kemudian dilakukan
skoring terhadap alternatif melalui dua cara; pertama, menginventarisir
alasan-alasan positif dan konsekuensi masing-masing alternatif kebijakan,
sehingga akan diperoleh salah satu alternatif kebijakan dengan alasan dan
konsekuensi yang paling baik, kedua, seleksi alternatif kebijakan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan, kemudian dilakukan skoring, alternatif
kebijakan yang memiliki skor tertinggi akan direkomendasikan sebagai alternatif
Kebijakan terpilih.
Dalam teknik evaluasi
alternatif kebijakan equivalent
alternative method, skor yang
digunakan untuk penilaian masing-masing alternatif kebijakan adalah sebagai
berikut : Nilai Skor 1� = Tidak dapat
diterapkan, Nilai Skor 2 = Kurang Efektif,�
Nilai Skor 3 = Cukup Efektif, Nilai Skor 4 = Sangat Efektif.
Hasil dan Pembahasan
Situasi
Kemiskinan Desa Ambarawang Laut
Desa Ambarawang Laut
merupakan unit analisis yang diambil sebagai contoh desa nelayan miskin di
Kabupaten Kutai Kertanegara. Luas wilayah desa ini �3.600 Ha dengan orbitasi
selat Makassar dan ketinggian dari permukaan laut mencapai 500 m dengan curah
hujan rata-rata 600-700 mm. Jarak Desa Amborawang Laut dari pusat Kecamatan
Samboja adalah 34 km dengan kondisi jalan yang buruk (13 km), tidak ada sarana
transportasi umum menuju desa ini. Situasi kemiskinan pedesaan Amborawang laut
merupakan situasi kemiskinan tipikal desa nelayan yang dapat digambarkan dengan
kondisi perumahan yang buruk dengan bahan yang bermutu rendah, terbatasnya �sarana umum mandi, cuci, kakus (MCK) sendiri,
tidak memiliki fasilitas kesehatan seperti Puskesmas atau Puskesmas Pembantu,
tidak ada fasilitas air bersih, tidak memiliki sarana komunikasi, tidak
memiliki sarana penerangan umum (listrik), �listrik yang dimiliki warga adalah listrik diesel
sebanyak 3 buah dalam jangkauan terbatas.
Penghidupan
warga Desa Amborawang Laut pada umumnya tergantung pada sektor kelautan sesuai
potensi wilayahnya, namun arah kebijakan pengembangan potensi desa ini dalam
data profil Dinas Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Kutai Kertanegara
diarahkan pada pengembangan perladangan, sehingga proyek masuk desa banyak
merupakan proyek pertanian bukan proyek perikanan. Penduduk desa seluruhnya
berjumlah 1.045 jiwa (217 KK) bermata pencaharian sebagai nelayan (melaut) dan
juga memiliki usaha purna waktu berkebun Pisang dan Kelapa, sedangkan menanam
padi umumnya tidak berhasil mengingat tanah desa yang berpasir dan kondisi air
yang asin.
Untuk
memperjelas situasi kemiskinan Desa Amborawang Laut berikut ini ditampilkan
karakteristik kemiskinan Desa Amborawang Laut :
Tabel 1
Karakteristik kemiskinan Desa Amborawang Laut
No |
Variabel |
Keadaan |
1 |
Klasifikasi desa |
Swadaya |
2 |
Jalan utama desa |
Jalan Tanah Urukan (���+13 km) |
3 |
Potensi penduduk desa |
Sektor primer , Nelayan |
4 |
Jarak desa ke kecamatan |
34 km |
5 |
Fasilitas pendidikan |
SD (1 buah) |
6 |
Fasilias Kesehatan |
Tidak ada |
7 |
Tenaga kesahatan yang tinggal didesa |
Tidak ada |
8 |
Saana komunikasi |
Tidak ada |
9 |
Pasar desa |
Tidak ada |
10 |
Kepadatan penduduk |
29 jiwa/km2 |
11 |
Sumber air bersih |
Tidak ada |
12 |
Jembatan |
Tidak ada |
13 |
Penerangan |
Diesel swasta dengan jangkauan terbatas |
14 |
Angkutan penduduk |
Tidak ada angkutan reguler |
Sumber :
Analisis Data Primer
Seperti
yang dikatakan oleh Chambers (1983) bahwa kaum miskin pedesaan umumnya
mengalami Intergrated Poverty
(kemiskinan terpadu) dari ketidakberuntungan yang terkait antara satu dengan
yang lainnya, ketidakberuntungan tersebut dapat digambarkan pada situasi
pedesaan yang secara geografis terasing, tidak memiliki akses terhadap sumber
informasi dan sarana angkutan umum reguler yang jelas menyulitkan hasil
pemasaran tangkapan mereka.
Dimensi
ketidakberuntungan selanjutnya tergambar pada situasi ketidakberdayaan
menghadapi hubungan eksploitasi punggawa-sawi (Patron Client), karena dari 217
KK nelayan 13,5 % diantaranya adalah nelayan kaya (28 KK) sisanya sebanyak 179
KK adalah nelayan miskin (nelayan kecil dan buruh nelayan). Hubungan patron-client ini dimulai sejak tahun
1970-an dengan luncuran kredit motorisasi modernisasi alat tangkap yang lebih
banyak diakses oleh nelayan kaya karena faktor relasi dan informasi.
Ketidakberdayaan
nelayan kecil (sawi) dalam eksploitasi punggawa membawa ketidakberuntungan
berupa kerentanan, terutama terjadi pada musim angin (September-Desember) yang
merupakan musim-musim kemiskinan nelayan karena umumnya mereka tidak melaut. �Pada masa paceklik ini mereka menjual aset
yang mereka miliki atau berhutang kepada punggawa untuk kebutuhan hidup mereka
selama masa paceklik, akumulasi hutang ini merupakan alat bagi punggawa untuk
memobilisasi dana dan tenaga dalam kehidupan nelayan miskin.
Tipe
kemiskinan Desa Amborawang Laut merupakan Interstitial
Poverty (kemiskinan ditengah kemakmuran), karena berada disekitar PT Ekspan
Indonesia yang merupakan kontraktor Pertamina milik Canada yang beroperasi di
Kecamatan Samboja dan lepas pantai yang kaya akan sumur minyak, dimana
kemiskinan Desa Amborawang laut tercipta karena komplikasi deprivasi materiil dan alienasi.
Sumber
dan proses kemiskinan masyarakat nelayan Desa Ambarawang Laut
Situasi
problematis yang dihadapi oleh masyarakat nelayan miskin Desa Amborawang Laut
tersebut diakibatkan oleh meta problem yaitu rendahnya pendapatan nelayan kecil
dan buruh nelayan (sawi) Rendahnya pendapatan nelayan miskin ini bersumber pada
substantive problem yaitu rendahnya
hasil tangkapan ikan/produksi ikan nelayan miskin Desa Amborawang Laut, hasil
tangkapan ikan nelayan miskin amat rendah, karena hasil tersebut harus
didistribusikan dengan 179 kepala keluarga nelayan miskin dengan total
tangkapan per tahun hanya 0,22 Ton atau 0,018 Ton per kepala keluarga tiap
bulannya, yang merupakan angka yang sangat rendah jika dibandingkan dengan
distribusi hasil tangkapan nelayan kaya yang berjumlah 28 kepala keluarga
dengan rata-rata hasil tangkapan 5,56 Ton/Tahun per kepala keluarga atau 0,46
Ton/bulan per kepela keluarga.
Melalui
identifikasi penelitian dapat diketahui bahwa penyebab masalah� dari rendahnya hasil tangkapan produksi ikan
nelayan miskin tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bias Pengembangan Potensi
Desa Amborawang laut
Menurut data profil desa
yang diolah Dinas Pemberdayaan Mayarakat
Desa (PMD) Kabupaten Kutai Kertanegara arah pengembangan Desa Amborawang Laut adalah: perladangan. walaupun
pada kenyataannya Amborawang
Laut merupakan desa nelayan yang potensial, bias pengembangan potensi desa ini
membuat bias tipe desa yang seharusnya merupakan desa bertipe nelayan menjadi desa dengan
tipe perladangan, adapun arah pengembangan
Desa Amborawang Laut menurut Dinas PMD Kabupaten
Kutai Kertanegara sebagai berikut:
Tabel 2
���������
Tingkat dan Arah Potensi Pengembangan Desa Amborawang Laut
No |
Tipe Pembangunan |
Potensi Pembangunan |
1 |
Perladangan |
65% |
2 |
Persawahan |
32% |
3 |
Pertenakan |
37% |
4 |
Perkebunan |
50% |
5 |
Nelayan |
41% |
6 |
Kerajinan |
24% |
7 |
Industri |
16% |
8 |
Pertambagan |
23% |
9 |
Perdaganagan |
29% |
Sumber : Analisis
Data Primer
Dengan bias arah pengembangan potensi desa yang
ditetapkan oleh Dinas PMD Kabupaten Kutai Kertanegara tersebut, maka proyek
yang masuk Desa Amborawang Laut umumnya merupakan proyek pertanian bukan proyek
yang menunjang sektor perikanan, sehingga merupakan proyek yang sangat tidak
relevan dengan keadaan desa yang merupakan desa pantai, seperti projek
persiapan lahan berpengairan, pengembangan irigasi desa dan optimalisasi lahan
pertamian.
2.
Rendahnya Akses Permodalan Bagi Nelayan Miskin
Dari diskusi terfokus
yang dilakukan terhadap nelayan dengan menggunakan Metode PRA (Baiquni,1999) terungkap bahwa akses modal yang pernah diberikan pemerintah hanya dinikmati oleh punggawa saja, hal ini
disebabkan relasi dan informasi yang dimiliki punggawa (nelayan kaya) lebih luas, adapun
jenis bantuan modal yang mengalami disorientasi terhadap nelayan kaya tersebut adalah sebagai berikut :
Tabel 3
No |
Jenis Batuan |
Tahun |
Instansi |
Penerima |
1 |
Kredit Motorisasi / Moderisasi Alat Tangkap |
1974/1975 |
Dinas perikanan samarinda (sewaktu samboja masih merupakan wilayah kota samarinda) |
20 KK nelayan punggawa |
2 |
Inpres Desa Tertinggal |
1993/1994 |
Dinas PMD Kabupaten Kutai |
10 Pokmas bentukan punggawa |
Disorientasi Pemberian Permodalan Nelayan
Amborawang Laut
Sumber :
Analisis data Primer
Selain mendapat fasilitas kredit dari sumber
tersebut, punggawa juga mendapat bantuan peralatan tangkap, dan motor serta
dana siap pakai �dari PT. Surya Indah
Perkasa dengan imbalan pasar perikanan yang monopolistik, sedangkan akses
fasilitas peralatan dan kredit ini tidak dimiliki oleh nelayan miskin (Sawi).
3.
Rendahnya Teknologi Penangkapan dan Pengolahan hasil.
Kelompok nelayan miskin mengalami kesulitan
untuk berusaha mandiri, karena teknologi penangkapan ikan yang mereka miliki
masih terbatas pada area pantai dan tidak efektif, sedangkan alat tangkap
efektif hanya dimiliki oleh punggawa seperti pada tabel dibawah ini
Tabel 4
Teknologi Perikanan Nelayan Desa Amborawang Laut
No |
Jenis Teknologi |
Kepemilikan |
|
Nelayan Miskin (Sawi) |
Nelayan Kaya (Punggawa) |
||
1 |
Penangkapan a.
Perahu tanpa motor b.
Perahu motor tempel Dongfeng
12 PK c.
Perahu motol tempel Dongfeng 13 pk d.
Kapal motor 6 GT e.
Kapal motor 10 GT f.
Bangan g.
Jaring Insang Hanyut h.
Bubu i.
Jaring Insang Tetap j.
Jala k.
Pancing |
86 bh - - - - - 87 bh 200 bh 56 bh 25 bh 547 bh |
105 bh 64 bh 60 bh 18 bh 10 bh 143 bh 247 bh 865 bh 277 bh 290 bh 1264 bh |
2 |
Penyimpanan a.
Pendinginan (es) b.
Cold room |
- - |
44 bh - |
3 |
Pengolahan hasil tangakapan a.
Pengasinan b.
Pengasapan c.
Tepung ikan d.
Terasi udang e.
Kerupuk ikan f.
Terasi udang g.
Amplang ikan h.
Abon ikan i.
Fillet j.
Ikan presto |
Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan |
Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan Tidak ditemukan |
Sumber
:� Analisis Data Primer.
Teknologi
pengolahan hasil perikanan yang merupakan cara-cara atau keterampilan yang
berkaitan dengan bidang industri dengan tujuan peningkatan produktivitas
pengolahan hasil perikanan, sangat rendah penerapannya di Desa Amborawang Laut
Teknologi pengolahan hasil dalam bentuk sederhana misalnya pengeringan ikan,
pengasapan, pembuatan tepung ikan, kerupuk ikan, terasi, ikan presto, abon ikan
tidak ditemukan, karena PT Surya Alam Perkasa tidak menginginkan pemasaran ikan
dalam bentuk hasil pengolahan, sementara alternatif untuk pasar lain tidak ada,
hal ini sangat disayangkan mengingat curah hujan Desa Amborawang Laut yang
rendah (600-700mm/th) sangat mendukung untuk penerapan teknologi pengolahan
ikan secara tepat guna terutama untuk pengasinan, pengeringan, kerupuk ikan,
tepung ikan, dan amplang ikan.
4. Rendahnya Akses Terhadap Jaringan
Pemasaran.
Nelayan
miskin Desa Amborawang Laut sangat intens dikontrol oleh pasar monopolistik,
pada dasaranya mereka mengalami 2 kali proses eksploitasi oleh pasar yaitu oleh
Punggawa dan PT Surya Alam Perkasa, dalam hal ini terlihat jelas adanya
kegagalan pasar. Pola patronase punggawa-sawi
telah mengikat nelayan miskin secara permanen dan turun-temurun,
ketidakberdayaan mereka terhadap kontrol pasar dikarenakan tidak adanya suatau
kelembagaan yang dapat mewakili mereka untuk mengambil posisi tawar terhadap
kontrol pasar yang intens.
Tidak
adanya kelompok-kelompok nelayan ataupun koperasi nelayan yang menyelenggarakan
kelompok usaha bersama perikanan, sejak dari proses penagkapan, pelelangan,
pemasaran dan pengolahan hasil perikanan non ekonomis, membuat mereka tidak �mampu membuka jaringan terhadap pasar, walupun
sebenarnya banyak perusahaan yang bergerak disektor perikanan dalam skala usaha
ekspor. Adapun beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya akses terhadap multi chanel marketing adalah sebagai
berikut
Tabel 5
Faktor Penyebab Rendahnya Akses Pasar Nelayan Desa
Amborawang Laut
No |
Sarana Pendukung Pasar |
Jumlah / Kondisi |
1 |
Sarana / Prasarana a.
Jalanan Umum Desa b.
Pelabuhan perikanan (Pusat Pendaratan Ikan / PPI) |
+ 3 km rusak dari pusat
kecamatan samboja (jalan tanah) Tidak ada |
2 |
Kelembagaan a.
Kelompok tani b.
Tempat pelelangan ikan ��(TPI) c.
Koperasi nelayan |
Tidak ada Tidak ada Tidak ada |
Sumber : Alat
Analisis Data Primer
Faktor-faktor
yang telah diidentifikasi tersebut merupakan penyebab rendahnya produktivitas
masyarakat nelayan miskin, faktor tersebut juga merupakan sumber kemiskinan
masyarakat nelayan, Proses-proses yang melestarikan kemiskinan nelayan kecil
Desa Amborawang laut selain bias kebijakan dalam pengembangan potensi desa nelayan
menjadi desa perladangan, juga karena proses kemiskinan yang dominan dari
hubungan patronisasi punggawa-sawi.
Hubungan
patron-client punggawa-sawi
menghasilkan pembagian hasil tangkapan yang amat timpang, karena nelayan kaya
(Punggawa) sebagai pemilik modal dan peralatan membagi hasil operasi
penangkapan dengan persentasi punggawa-sawi sebesar 80: 20, begitu pula aturan
yang ditetapkan oleh punggawa kepada kelompok nelayan kecil (Palis, 1992, kapal
motor < 10 GT adalah nelayan kecil) sebagai kompensasi sewa kapal motor
bermesin 12 PK dan fasilitas alat tangkap, dengan sistem tersebut rata-rata
nelayan dan buruh nelayan memiliki penghasilan rata-rata perbulan sebesar Rp
180.000, s.d Rp.200.000,- atau rata-rata Rp.6.000,- sd. Rp.6.600,- per hari,
hasil tangkapan yang dikumpulkan oleh punggawa tersebut kemudian di jual kepada
satu-satunya pelaku pasar di Desa Amborawang Laut yaitu PT Surya Indah Perkasa,
yang rutin membeli hasil tangkapan nelayan setiap hari atau paling lama dua
hari sekali untuk dipasarkan ke Balikpapan yang hanya ditempuh dengan
perjalanan laut selama 3 jam PT. Surya Indah Perkasa juga merupakan penyandang
dana bagi para punggawa, menyediakan berbagai fasilitas mesin dan alat tangkap
dengan konpensasi monopoli hasil tangkapan nelayan, namun dana, fasilitas mesin
dan alat tangkap tersebut tidak diberikan oleh pihak perusahaan kepada nelayan
kecil (sawi).
Umumnya
nelayan punggawa memiliki resistensi yang besar terhadap setiap inovasi baru
yang dianggap dapat mengancam hubungan patronisasi yang selama ini tebina,
seperti pemberdayaan nelayan lewat kelompok kelompok nelayan, pembentukan TPI
(tempat pelelangan ikan), koperasi nelayan dan sebagainya, bahkan punggawa
tidak akan merespon pendanaan bagi nelayan kecil yang akan membuka peluang
usaha purna waktu seperti menjadi petani tambak, sehingga tambak seluas 50 Ha
yang mulai dicoba untuk dibuka oleh beberapa nelayan kecil menjadi terbengkalai.
Program
Pemerintah Dalam Menanggulangi Kemiskinan Masyarakat Nelayan Desa Ambarawang
Laut dan
Kelemahannya
Dengan
pengembangan potensi desa menjadi desa perladangan (tabel 2), maka
program-program yang turun untuk desa nelayan Amborawang Laut adalah program-program
pertanian seperti Persiapan Lahan Berpengairan pada tahun 1996/1997 yang dilaksanakan
oleh Dinas Pekerjaan Umum, Pengembangan Irigasi Desa yang dilaksanakan pada
tahun 1996/1997 oleh Dinas Pekerjaan Umum serta Optimalisasi Lahan yang
dilaksanakan oleh Dinas Pertanian tahun 1997/1998.
Program
�yang diluncurkan �kepada masyarakat nelayan Desa Amborawang Laut
sangat tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan masyarakat, sehingga
mengakibatkan potensi kelautan tidak dapat berkembang, pengembangan program
pertanian pada desa nelayan dengan kondisi tanah berpasir dan air yang asin
(paya) sangat tidak memungkinkan, sehingga program-program yang diluncurkan
tidak efesien, dan juga tidak akan mampu memblock-up
masyarakat nelayan untuk keluar dari patronisasi kemiskinan punggawa-sawi.
Situasi problematis yang dihadapi oleh masyarakat nelayan miskin diakibatkan oleh meta problem yaitu
rendahnya pendapatan nelayan sawi, rendahnya pendapatan
nelayan sawi ini disebabkan oleh
Substantive Problem yaitu rendahnya hasil tangkapan ikan, selanjutnya akan diidentifikasi sebab yang dapat ditindak lanjuti atau actionable cause.
Problem Structuring Dengan Teknik Hirarki Untuk Alternatif Kebijakan
Untuk tujuan tersebut maka dilakukan
spesifikasi permasalahan dari substansive problem yaitu
rendahnya kemampuan tangkapan ikan nelayan sawi menjadi formal problem yang juga merupakan
tujuan kebijakan (goal
policy), dengan melakukan
teknik hirarki pencairan masalah dalam bentuk struktur
diagram masalah:
Gambar 1
Struktur Diagram Masalah Desa Amborawang Laut
Sumber :
Analisis Data Primer
Setelah dilakukan spesifikasi permasalahan maka kemudian dilakukan
analisis mengenai kondisi yang diinginkan dalam analisis tujuan, analisis tujuan dilakukan dengan cara membalik
kondisi yang ada pada permasalahan melalui pengujian hubungan sebab-akibat diantaranya secara logis, seperti
diagram analisis tujuan di bawah ini
����
Gambar 2
Struktur
Diagram Tujuan
Sumber : Analisis Data Primer
Dari diagram analisis
tujuan tersebut, dapat dijelaskan bagaimana hubungan logis pencapaian peningkatan kemampuan produksi ikan/tangkapan ikan masyarakat nelayan miskin yang dicapai melalui tujuan kebijakan peningkatan akses terhadap modal, teknologi serta jaringan pemasaran dalam upaya merentas patronisasi punggawa-sawi yang telah lama memiskinkan nelayan Desa Amborawang
Laut.
Dengan demikian akan diramalkan masa depan kebijakan untuk menentukan alternatif kebijakan dari sebab yang dapat ditindaklanjuti tersebut (actionable causes), adapun
metode yang digunakan untuk peramalan adalah metode projection
forecasting sehingga dari
identifikasi actionable causes tersebut diusulkan alternatif kebijakan sebagai berikut :
1.
Bantuan permodalan nelayan
2.
Penerapan teknologi bagi nelayan
3.
Pembentukan jaringan pasar perikanan
Hasil
Analisis Alternatif Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Desa Amborawang Laut
Kesemua alternatif �kebijakan tersebut mungkin dapat dilaksanakan
dalam waktu yang sama, tapi mengingat
keterbatasan sumber daya maka sangat mungkin untuk tidak
dilaksanakan seluruhnya, sehingga diperlukan suatu usaha untuk
memilih dan mengevaluasi alternatif kebijakan mana yang sebagai alternatif kebijakan yang direkomendasikan. Tentunya altenatif kebijakan tersebut tepat dalam mencapai
tujuan yang diharapkan, untuk itu alternatif
kebijakan diatas akan diseleksi dengan menggunakan metode dan kriteria seleksi alternatif kebijakan franklin method dan equivalent alternatif method.
Sedangkan untuk rekapitulasi penilaian/skoring alternatif kebijakan yang diajukan untuk meningkatkan produksi ikan/tangkapan ikan nelayan Miskin Desa Amborawang Laut, dapat dilihat pada tabel skor berikut
ini :
Tabel 6
Rekapitulasi Skor Alternatif Kebijakan Peningkatan Produksi
Ikan/Tangkapan Ikan Nelayan Miskin Desa Amborawang Laut
Alternatif Kebijakan |
Kriteria/Skor |
|||||||
Teknis |
� Ekonomis |
Hukum |
Sosial |
Administrasi |
Politik |
Total |
|
|
1.
Bantuan permodalan bagi nelayan |
3 |
3 |
4 |
4 |
3 |
4 |
21 |
|
2.
Penerapan teknologi nagi nelayan � |
4 |
4 |
4 |
3 |
3 |
4 |
22 |
|
3.
Pembentukan jaringan pasar perikanan |
3 |
4 |
4 |
2 |
2 |
4 |
19 |
|
Sumber:
Analisis Data Primer.
Berdasarkan
skoring tersebut dapat dihasilkan rangking kebijakan alternatif sebagai berikut
ini:
a)
Rangking I adalah alternatif kebijakan peningkatan penerapan teknologi bagi nelayan dengan jumlah total skor dari seluruh kriteria
sebesar 22 atau memiliki pertimbangan bobot kriteria sebesar 3,7 (bobot kriteria mendekati skor 4) yang berarti sangat efektif untuk diterapakan.
b)
Rangking II adalah alternatif kebijakan bantuan permodalan bagi nelayan dengan
jumlah total skor dari seluruh kriteria
sebesar 21 atau memiliki pertimbangan bobot kriteria sebesar 3,5 yang berarti efektif untuk diterapkan.
c)
Rangking III adalah alternatif kebijakan pembentukan jaringan pasar perikanan tahun dengan jumlah total skor dari seluruh
kriteria sebesar 19 atau memiliki bobot
kriteria sebesar 3,1 yang berarti cukup efektif
untuk diterapkan
Penjelasan
diatas �tersebut menkonfirmasikan bahwa
alternatif kebijakan yang direkomendasikan merupakan langkah sinergis sebagai
respon terhadap kompleksitas permasalahan desa nelayan miskin, respon tersebut
untuk menjawab permasalahan sesuai dengan karakteristik desa yang lokal spesifik,� Untuk menunjukan variatifnya kemiskinan
pedesaan di Kabupaten Kutai Kertanegara, maka berikut ini akan disarikan
variasi yang ditemukan dalam kasus kemiskinan Amborawang Laut pada tabel 7
berikut ini:
Tabel 7
Variasi Kasus
Kemiskinan Masyarakat Nelayan Desa Ambarawang Laut
�No |
Variabel |
Desa |
Ambarawang Laut |
||
1 |
2 |
3 |
1 |
Kelompok miskin spesifik |
Nelayan |
2 |
Tipe Kemiskinan |
Intersitisial Poverty |
3 |
Proses Kemiskinan |
Patronisasi Kemiskinan Punggawa-Sawi |
4 |
Sumber kemiskinan (masalah pokok kemiskinan) |
Rendahnya hasil tangkapan ikan kecil nelayan sawi (5,6ton/tahun/KK) |
5 |
Penyebab kemiskinan pedesaan (masalah formal) |
1.
Rendahnya askes terhadap permodalan.� Pada saat ini ada beberapa
nelayan yang mengolah tambak produktif seluas + 50 ha dengan keperluan dana sebesar dana +
Rp 20-30 juta, namun terbengkalai karena ketiadaan akses pendanaan 2.
Rendahnya teknologi penangkapan dan pengolahan ikan 3.
Rendahnya askes terhadap jaringan pemasaran karena burukunya sarana jalan desa (+ 13 km) tidak ada PPI, kelompok nelayan dan koperasi nelayan serta TPI |
6 |
Respon pemerintah (kebijakan status quo) |
Pengembangan desa nelayan menjadi desa perladangan |
7 |
Alternatif kebijakan |
1. Bantuan permodalan bagi nelayan dengan sasaran kebijakan pengadaan program bantuan permodalan dan pembentukan Lembaga kredit pendesaan 2. Penerapan teknologi bagi nelayan dengan sasaran kebijakan peningkatan penyuluhan partisipatif program motorisasi
alat tangkap serta penerapan teknologi pengolahan hasil perikanan 3. Pembentukan jaringan pasar perikanan dengan sasaran kebijakan perbaikan sarana jalan desa + 13 km pembentukan
kelompok dan koperasi nelayan, pembentukan PPI dan TPI |
Sumber: Analisis data primer
Kesimpulan
Berdasarkan hasil
analisis terhadap permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat nelayan miskin (sawi) Desa Ambarawang Laut dengan
pendekatan analisis kebijakan publik, maka dapat disimpulkan
hal hal sebagai
berikut:
1. Masyarakat miskin pedesaan nelayan Desa Ambarawang Laut Kabupaten Kutai
Kertanegara merupakan masyarakat miskin yang mengalami
berbagai dimensi kemiskinan baik dimensi property (kemiskinan
kebendaan), physical weakness (rasio ketergantungan akibat kelemahan fisik), Powerlesness (ketidakberdayaan dalam menghadapi pelaku ekonomi besar), Isolasi (secara geografis) dan vulnerability (kerentanan
menghadapi berbagai perubahan alam, sosial, ekonomi dan politik/kebijakan). Tipe kemiskinan masyarakat nelayan Desa Ambarawang Laut merupakan kemiskinan
dengan tipe interstisial poperty
atau kantong kantong kemiskinan yang berada disekitar pelaku ekonomi besar (perusahaan besar).
2.
Kemiskinan masyarakat pedesaan Kabupaten Kutai Kertanegara bersumber pada produktivitas mereka yang rendah, rendahnya produktivitas masyarakat pedesaan tersebut ditandai dengan rendahnya rendahnya hasil tangkapan ikan untuk masyarakat nelayan, rendahnya produktivitas masyarakat pedesaan ini dikarenakan rendahnya akses mereka terhadap sumber daya produktif
seperti, tanah, air, kesempatan kerja, modal/kapital, teknologi, kebijakan yang berpihak, pemasaran, pendidikan, pelatihan, serta daya dukung lingkungan
yang berkelanjutan.
3.
Proses-proses kemiskinan yang menyebabkan kemiskinan masyarakat pedesaan nelayan umumnya didominasi oleh proses patronisasi
kemiskinan punggawa-sawi, patronasiasi
kemiskinan ini mengakibatkan rendahnya askes nelayan miskin (sawi) terhadap permodalan, rendahnya akses terhadap teknologi penangkapan dan pengolahan ikan, serta rendahnya askes terhadap jaringan pemasaran.
4.
Program-program pemerintah yang turun sebagai respon
pemerintah terhadap kemiskinan masyarakat desa nelayan tidak relevan, karena tidak menjawab permasalahan lokal spesifik yang dihadapi oleh masyarakat nelayan. Program yang turun juga banyak memiliki kelemahan, selain teramat birokratis dan prosedural umumnya juga tidak toleran terhadap
variabilitas yang ada pada masyarakat pedesaan.
5.
Adapun alternatif kebijakan yang direkomendasikan
untuk pengentasan kemiskinan masyarakat nelayanan Desa Amborawang Laut adalah bantuan permodalan bagi nelayan dengan sasaran kebijakan pengadaan program bantuan permodalan dan pembentukan Lembaga kredit pendesaan; penerapan teknologi bagi nelayan dengan
sasaran kebijakan peningkatan penyuluhan
partisipatif
program motorisasi alat tangkap serta penerapan teknologi pengolahan hasil perikanan serta pembentukan jaringan pasar perikanan dengan sasaran kebijakan perbaikan sarana jalan desa + 13 km pembentukan kelompok dan koperasi nelayan, serta pembentukan �Tempat Pelelangan Ikan
(TPI).
6.
Untuk mengentaskan kemiskinan pedesaan perlu diupayakan peningkatan produktivitas masyarakat miskin melalui berbagai kebijakan yang pada dasarnya memudahkan akses mereka terhadap
sumber daya produktif. Peningkatan produktivitas dengan memberikan akses mereka terhadap berbagai sumber daya produktif tersebut, merupakan kunci dari keberhasilan
berbagai program yang ditujukan
untuk mengentaskan kemiskinan pedesaan.
BIBLIOGRAFI
Baiquni M, Participatori
Rural Appraisal Metode dan Teknik Partisipatif
Dalam Pengembangan Perdesaan-Petani Adalah Penentu Kebijakan, Makalah Program Pelatihan TMPP
MAP UGM, Yogyakarta, 1999.
BPS, Penduduk Miskin dan Desa Tertinggal 1993: Metodologi dan Analisis, Jakarta, 1994.
Chambers, Robert, Rural
Development Putting The Last First, Logman Inc, 1983
Chambers, Robert, Participatory
Rural Apraisal; Memahami Desa Secara Partisipatif
Kanisius, Yogyakarta, 1992
Dunn, William,N, Pengantar
Analisis Kebijakan Publik,
Gadjah Mada University Press, yogyakarta,
1994
Dye,R, Thomas, Undestanding Public Policy. Prentice hall,Inc, Englewood. Cliffs, New Jersey, 1972.
Effendi, Sofian, Analisis Kebijakan Publik,
Modul Kuliah MAP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999
Effendi, Sofian, Implementasi dan Evaluasi
Kebijakan Publik, Modul Kuliah MAP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000
Jazairy, Idris, dkk,
The State Of World Rural Proverty
An Inquiry Into Its Causes And Concequences, New York
University Press, NY, 1992
Nasikun, Isu
dan Kebijakan Penanggulangan
Kemiskinan, Modul Kuliah
MAP UGM, Yogyakarta, 2000.
Suwandi, Made, Penguatan
Otonomi Daerah Dan Penghapusan
Kemiskinan di Indonesia, Jurnal
Pembangunan Daerah, Depdagri, Jakarta, 1998.
Syaukani, HR, Pokok-Pokok
Pikiran Pemberdayaan
Masyarakat, Lembaga Studi Pembangunan
Kalimantan Timur, Tenggarong, 2000.
Koran:
� Kompas, Edisi 11 September 2000.
� Kompas, Edisi 19 Oktober 2000.
Copyright holder: Bambang Arwanto (2022) |
First
publication right: Jurnal Ilmiah Indonesia: Syntax
Literate |
This article is
licensed under: |