Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA/
BURUH PKWT (PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU) DI PROVINSI DKI JAKARTA
Muhammad Fajri Muttaqin, Aloysius Uwiyono
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected]
Abstrak
Dalam hal Perjanjian Kerja antara Pihak Perusahaan dengan Pekerja/ Buruh seringkali ditemukan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang dilakukan oleh Perusahaan kepada calon Pekerja/ Buruh, oleh karena itu Jurnal Hukum hasil Penelitian Tesis ini mengangkat pokok permasalahan mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tentang: 1. Bagaimana
praktek pelaksanaan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada beberapa Perusahaan di Provinsi DKI Jakarta? 2. Bagaimana Pengawasan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada
beberapa Perusahaan di DKI Jakarta oleh Pegawai
Pengawas Ketenagakerjaan ?. Sebagai hasil penelitian ditemukan fakta bahwa setiap perusahaan telah melakukan pelanggaran dan penyelewengan terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
yang tidak sesuai dan sejalan dengan Peraturan Perundang
� undangan yang telah menentukan Jenis Kerja yang diperbolehkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Jangka Waktu yang diperbolehkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
serta Perjanjian Kerja
antara kedua belah pihak antara Pihak Perusahaan dengan Pekerja/ Buruh
yang dimana Perjanjian telah dibuat
dengan format dan blanko yang telah disediakan
oleh pihak Perusahaan yang diharuskan untuk ditandatangani oleh calon
Pekerja/ Buruh, sedangkan seharusnya
Perjanjian Kerja harus dibuat secara bersama antara Pihak Perusahaan
dengan calon Pekerja/ Buruh.
Kata Kunci: Perjanjian Kerja,
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Perlindungan Hukum, Perusahaan, Pekerja/ Buruh, DKI Jakarta.
Abstract
In the case of an
Employment Agreement between the Company and the Worker / Laborer, it is often
found that a Certain Time Work Agreement is carried out by the Company to
prospective Workers / Workers, therefore this thesis raises the subject matter
regarding the Specific Time Work Agreement regarding :
1. How is the practice of implementing a Certain Time Work Agreement (PKWT) in several
companies in DKI Jakarta Province? 2.
How is the Supervision of the Implementation of Certain Time Work Agreements (PKWT) in several
companies in DKI Jakarta by Manpower Supervisory Employees?. As a result of the research, it was
found that each company has committed
violations and misappropriations of certain time work agreements that are not in accordance with and in line with the laws and regulations that have determined the type
of work allowed in a certain time work agreement, as well as the Employment Agreement between the two parties
between the Company Party and the Worker / Labor where the Agreement has been made with the format and blanks that have
been provided by the Company party
which is required to be signed by the prospective Worker / Laborer, while the Employment Agreement should be made
jointly between the Company Party and the prospective Worker / Laborer.
Keywords: Employment Agreement, Specific
Time Work Agreement, Legal Protection, Company, Worker / Labor, DKI Jakarta.
Pendahuluan
Sebagaimana diketahui industrialisasi, globalisasi, reformasi, dan pasar bebas, telah membawa perubahan bagi kehidupan berbangsa di dunia ini termasuk bangsa Indonesia. Perubahan yang telah membawa dampak yang signifikan di reformasinya segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik berkaitan dengan perekonomian, politik, sosial, hak asasi manusia, hukum, pertahanan keamanan, birokrasi yang diikuti dengan pelaksanaan otonomi daerah di masing � masing kabupaten/ kota. Reformasi diawali dengan amandemen terhadap Undang � undang Dasar 1945 sampai 4 (empat) kali amandemen. Reformasi juga mengandung makna/ pengertian yaitu untuk memperbaiki kekurangan sebelumnya kemudian dijalankan kea rah perbaikan menuju ke tingkat kesempurnaan (Nusantara, 1999). Reformasi menyentuh semua lapisan kehidupan bermasyarakat, termasuk pembangunan Ketenagakerjaan.
Reformsasi di segala bidang kehidupan masyarakat dibutuhkan guna membangun tatanan Civil Society atau masyarakat madani, termasuk upaya reformasi hukum yang bakal meluangkan jalan legalitas dan pemberdayaan hukum kearah perwujudan budaya masyarakat baru itu. Hukum memang adalah bagian budaya itu sendiri (Marzuki, 2006). Mochtar Kusumaatmadja memandang bahwa hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai � nilai (Values) � sosial budaya � yang berlaku di suatu masyarakat, bahkan dapat dikatakan, hukum itu merupakan pencerminan dari nilai yang berlaku di suatu masyarakat. Baginya hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan daripada nilai � nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Mochtar Kusumaatmadja tidak melihat nilai nilai (Values) dimaksud sebagai hal yang statis tetapi dapat berubah menurut perkembangan peralihan (In Transition) masyarakat yang bersangkutan (Marzuki, 2006).
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang � undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, Makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual. Pembangunan Ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh serta pada saat yang bersamaan dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha.
Pembangunan Ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum dan sesudah masa kerja tetapi juga keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencakup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan Tenaga Kerja, dan pembinaan hubungan industrial. Dalam kenyataannya disadari bahwa masalah hubungan antara pekerja dan pengusaha bukanlah masalah yang berdiri sendiri, karena dipengaruhi dan mempengaruhi masalah-masalah lain. Sehingga hubungan perburuhan tidak hanya membahas masalah hubungan antara pekerja dan pengusaha saja, akan tetapi membahas pula masalah-masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain (Nasional, 1987).
Pembinaan hubungan industrial sebagai bagian dari pembangunan Ketenagakerjaan harus diarahkan untuk terus menerus mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan. Hubungan industrial, yang merupakan keterkaitan antara Pekerja/ Buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak.
Namun mengingat pro dan kontra mengenai PKWT antara pekerja/ buruh dengan pengusaha/ perusahaan dan pelaksanaan di lapangan masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku, diperlukan kajian yang dapat memberikan solusi terbaik dalam hubungan kerja.
Metode Penelitian
Metode penulisan
Jurnal Hukum hasil Penelitian ini ditulis melalui
metode penelitian yang sistematis,
metodologis. Metode penulisan bertujuan untuk satu atau beberapa gejala dengan menganalisa fakta untuk kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas suatu permasalahan, sehingga hasil yang didapat baik isi maupun
materinya dapat dipertanggungjawabkan kepada
pembaca. Metode penelitian yang akan digunakan penulis dalam menuliskan Jurnal
Hukum hasil Penelitian Tesis ini adalah
dengan cara penelitian kualitatif, yaitu dengan mengacu pada norma- norma hukum yang terdapat dalam peraturan
� peraturan hukum positif dan teori-teori hukum yang berkaitan dengan penulisan Jurnal
Hukum hasil Penelitian Tesis ini. Metode penelitian yang dipergunakan penulis
dalam penulisan Jurnal Hukum hasil Penelitian Tesis ini �adalah sebagai berikut :
1. Tipe Penelitian
Penelitian
ini termasuk dalam penelitian yang empiris yaitu penelitian tentang hukum di dalam pelaksanaannya
penelitian dalam Jurnal Hukum hasil Penelitian Tesis ini sendiri apabila
dikaitkan dengan tema/ konsepnya adalah bersifat normative
dalam proses, prinsip, dan prosedur yang digunakan. Namun demikian, pada dasarnya penelitian ini tidak sepenuhnya bersifat normative mengingat kasus-kasus yang akan dibahas
pada penulisan ini terjadi pada lingkup yang sebenernya.
Dengan menggunakan metode survey dengan analisis korelasional. Penelitian ini bersifat
non eksperimen dan data dijaring
dengan menggunakan kuesioner.
2.
Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggambarkan peraturan perundang � undangan yang berlaku dan dikaitkan dengan teori� teori hukum dalam praktek pelaksanaannya yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti
melalui metode ini pula, akan menguraikan
dan menggambarkan mengenai
fakta � fakta yang secara nyata terjadi sebagai
pencerminan terhadap pelaksanaan dari peraturan perundang � undangan serta
asas � asas hukum yang dikaitkan dengan
teori � teori hukum dalam praktek pelaksanaannya dalam perlindungan hukum tenaga kerja dalam perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) pada beberapa perusahaan di DKI Jakarta.
3.
Sumber Data
Mengingat penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif
maka upaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dengan melakukan kepustakaan, yaitu mengumpulkan
data sekunder baik yang bersifat
bahan hukum primer, sekunder maupun tersier seperti doktrin- doktrin
dan perundang-undangan atau kaedah hukum yang berkaitan
dengan penelitian ini.
4.
Metode/ Teknik Pengumpulan
Data
Metode ini digunakan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi penulis dengan membandingkan literature kepustakaan dengan data yang diperoleh dari penelitian. Literatur kepustakaan meliputi teori-teori para ahli dan peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan dan Cipta Kerja yang digunakan sebagai pisau analisa guna menghasilkan penyelesaian permasalahan
yang akurat dalam melakukan penelitian dan penulisan Jurnal Hukum hasil Penelitian Tesis ini.
Metode penelitian ini yaitu penelitian dilakukan dengan mengumpulkan
data langsung dari pihak yang berkompeten, untuk itu dilakukan metode wawancara dengan para pihak
yang terkait.
5. Metode Analisis
Data
Sebagai
upaya untuk dapat menjawab atau memecahkan permasalahan yang
diangkat dalam penelitian ini, dilakukan suatu analisis yang termasuk dalam analisis deskriptif kualitatif. Dimana setelah pengumpulan data dilakukan kemudian dianlisis sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Hasil dan Pembahasan
Perjanjian adalah sumber yang utama dari perikatan. Ia menimbulkan Sebagian besar dari perikatan � perikatan, yang dijadikan oleh kontraktan � kontraktan menurut maksud yang dirumuskan dan disetujuinya (Van Apeldoom, 1990).
Undang undang membagi perjanjian untuk melakukan pekerjaan, dalam tiga macam, yaitu:
a. perjanjian untuk melakukan jasa jasa tertentu
b. perjanjian kerja perburuhan dan
c. perjanjian pemborongan pekerjaan (R. Subekti, 2010)
Perjanjian sub a, Suatu pihak menghendaki dari pihak lawan nya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai sesuatu tujuan, Untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama sekali terserah kepada pihak lawan itu. Biasanya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya. Upahnya biasanya dinamakan Honorarium.
Dalam golongan sub a itu lazimnya dimasukkan antara lain: Hubungan antara seorang pria dengan seorang dokter yang diminta jasanya untuk menyembuhkan suatu penyakit, hubungan antara seorang pengacara (advocat) dengan langganannya (kliennya) yang minta diurusnya suatu perkara, Hubungan antara seorang Notaris dengan seorang yang datang kepadanya untuk dibuatkan suatu akte, dan lain lain sebagainya.
Perjanjian sub b dimasukkan perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri: adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah - perintah yang harus ditaati oleh yang lain.
Tipe perjanjian sub c dinamakan perjanjian pemborongan pekerjaan, adalah suatu perjanjian antara seorang (pihak yang memborongkan pekerjaan) dengan orang lain (pihak yang menerima pemborongan pekerjaan), di mana pihak pertama menghendaki suatu hasil pekerjaan yang di sanggupi oleh pihak lawan, atas pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan. bagaimana caranya pemborong mengerjakannya tidaklah penting bagi pihak pertama tersebut, karena yang dikehendaki adalah hasilnya, yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik, dalam suatu jangka waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
Oleh karena perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu (misalnya antara pengacara dan langganannya diatur dalam pasal-pasal mengenai perjanjian pemberian kuasa) oleh syarat-syarat yang diperjanjikan dan oleh kebiasaan.
Ketika dalam tahun 1927 diadakan suatu peraturan baru mengenai perjanjian perburuhan, sebagaimana yang termaksud dalam pasal 1601 (baru) sampai dengan pasal 1603z, peraturan baru itu tidak dinyatakan berlaku untuk orang-orang Indonesia, sehingga (dimana tadinya sudah terdapat suatu kesatuan hukum atau uniformitas) sejak itu ada dua peraturan: yang lama dan yang baru, hal mana menimbulkan adanya hubungan antar golongan (intergentil) apabila buruh dan majikan dari golongan yang berlainan. Dapat dilihat beberapa ketentuan yang bertujuan untuk mencegah pengekangan si buruh oleh pihak majikan, misalnya:
a. Tidak diperbolehkan dan batal adalah tiap janji antara si majikan atau pegawai maupun kuasanya di satu pihak dan seorang buruh di lain pihak, dengan mana si buruh ini mengikatkan dirinya untuk menggunakan upah atau lain-lain pendapatannya atau sebagian dari itu menurut suatu cara tertentu ataupun untuk membeli barang-barang keperluannya di suatu tempat atau dari seorang tertentu (pasal 1601 s). Dari ketentuan ini di kecualikan janji dalam mana si buruh mengambil bagian dalam suatu dana, asal dana ini memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang- undang. Janji yang dilarang dalam pasal 1601 s tersebut terkenal dengan nama �nering-beding�, artinya janji untuk menggunakan pendapatan (upah) menurut petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh majikan.
b. Pembatasan atas kebebasan si buruh dalam melakukan pekerjaan tertentu, setelah hubungan kerja berakhir, hanya diperbolehkan apabila dibuat secara tertulis atau dalam suatu reglemen dan dibuat oleh seorang buruh yang sudah dewasa (pasal 1601 x yang telah disebutkan di atas).
Dalam berbisnis atau bahkan dalam menjalankan rutinitas pekerjaan sehari-hari, kita sering diminta untuk membuat perjanjian. Salah satu contohnya perjanjian bisnis. Namun di Indonesia juga mengatur syarat sah suatu perjanjian, apa saja syarat sah perjanjian menurut hukum di Indonesia? Perjanjian dibuat sebagai bukti bahwa telah terjadi kesepakatan antara kita dan rekan bisnis atau pihak perusahaan. Perjanjian sering dibuat dalam kegiatan sewa-menyewa, jual beli, pinjam-meminjam, atau jenis transaksi lainnya. Perjanjian merupakan sesuatu yang lazim di dunia bisnis atau kegiatan usaha pada saat ini, terutama dalam hal perjanjian kerja antara Pekerja/ Buruh dengan Perusahaan.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian adalah perbuatan yang melibatkan satu orang atau lebih yang mengikat diri mereka dengan orang lain atau lebih. Dalam perjanjian tersebut termuat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Karena sifatnya yang mengikat, maka perjanjian bisa juga disamakan dengan Undang-undang, namun bedanya hanya dalam ruang lingkupnya saja yang dimana Undang-undang harus ditaati semua warga negara, sedangkan Perjanjian hanya ditaati oleh kedua belah pihak yang bersepakat. Selain untuk mengikat hak dan kewajiban masing-masing pihak, perjanjian juga memiliki fungsi sebagai alat bukti yang sah untuk menyelesaikan suatu sengketa. Hal ini tak dapat dipungkiri bahwa setiap hubungan bisa saja mengalami dan menimbulkan suatu perselisihan atau konflik antara kedua belah pihak yang dimana perjanjian dapat dijadikan sebagai alat bukti untuk menyelesaikan suatu perselisihan tersebut.
Dasar hukum di Indonesia telah memuat banyak hal tentang perjanjian, termasuk syarat sah perjanjian. Pengertian perjanjian itu sendiri telah tercantum dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa �Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.� Sementara untuk syarat sah perjanjian dicantumkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyebutkan kesepakatan harus memenuhi empat syarat agar dapat sah menjadi suatu perjanjian, di antaranya:
a) Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
b) Adanya kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
c) Adanya Objek;
d) Adanya suatu sebab yang halal.
Dalam praktiknya, perjanjian memiliki sejumlah syarat supaya dianggap sah secara hukum. Syarat sah perjanjian itu diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1320. Syarat-syarat sah tersebut, antara lain:
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu pokok persoalan tertentu.
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif karena berkaitan dengan para subjek yang membuat perjanjian. Sementara itu, syarat kedua dan ketiga disebut syarat objektif karena berkaitan dengan objek dalam perjanjian. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan juga pada Pasal 1 angka 14 Jo Pasal 52 ayat (1) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, definisi perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. Dalam Pasal 52 ayat 1 menyebutkan bahwa:
1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
3) Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya, bahwa pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju/sepakat, seia-sekata mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak yang membuat perjanjian haruslah cakap membuat perjanjian (tidak terganggu kejiwaan/waras) ataupun cukup umur minimal 18 Tahun (Pasal 1 angka 26 Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan). Adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dalam istilah Pasal 1320 KUH-Perdata adalah hal tertentu.
Pekerjaan yang diperjanjikan merupakan objek dari perjanjian. Objek perjanjian� �haruslah� �yang� �halal�� �yakni�� �tidak�� �boleh�� �bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua� �belah� �pihak� �dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian. Dalam dunia kerja, perusahaan dan pegawai telah menyepakati perjanjian kerja sebelumnya. Jika kita mengacu pada syarat sah perjanjian sesuai KUHPerdata, perjanjian kerja agar sah juga harus memenuhi empat syarat. Syarat pertama yang harus dipenuhi adanya kesepakatan di antara kedua pihak, yaitu pemberi kerja dan penerima kerja. Pemberi kerja sepakat membayar upah penerima kerja. Sebaliknya, penerima kerja juga sepakat memberikan tenaganya untuk pemberi kerja. Syarat kedua, usia pekerja telah memasuki usia yang mampu dan cakap melakukan perbuatan hukum. Syarat ketiga adanya pekerjaan yang dijanjikan pemberi kerja ke penerima kerja beserta dengan status pengangkatan karyawan. Syarat sah perjanjian kerja yang terakhir, pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan hukum, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Dapat ditafsirkan bahwa setiap orang dapat membuat perjanjian dengan isi apapun, ada kebebasan setiap subyek hukum untuk membuat perjanjian dengan siapapun� �yang�
�dikehendaki, dengan� �isi� �dan�� �bentuk�� �yang
dikehendaki. Menurut Treitel, sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjahdeini, freedom
of contract dipergunakan merujuk kepada dua asas umum, yaitu (Sjahdeini, 1993):
1. Asas umum yang mengemukakan bahwa hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak, asas tersebut tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Asas ini ingin menegaskan bahwa ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat.
2. Asas umum yang mengemukakan pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Dengan asas umum ini dikemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama (nominat) dan isinya menyimpang dari kontrak bernama (nominat) yang diatur oleh undang-undang yaitu Buku III KUHPerdata. Kontrak tersebut dikenal sebagai kontrak tidak bernama (Innominat) (Satrio, 1993).
Peluang untuk munculnya kontrak kontrak baru juga tidak terlepas dalam kaitannya dengan sistem terbuka
yang dianut dalam Buku III KUHPerdata sebagai hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat kontrak. Penjabaran lebih lanjut asas kebebasan
berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai
berikut (Sjahdeini, 1993):
1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian;
2. Kebebasan untuk�� memilih pihak dengan siapa��� akan membuat perjanjian;
3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang
�dibuatnya;
4. Kebebasan untuk menentukan obyek perjanjian;
5. Kebebasan untuk syarat-syarat suatu perjanjian, termasuk kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Pada praktiknya,
asas kebebasan berkontrak ini umumnya dipergunakan sebagai dasar dalam pemanfaatan kontrak baku yang mengatur transaksi konsumen dengan pelaku usaha. Dengan alasan kepraktisan dan mampu menghemat biaya serta waktu,
kontrak baku baku ini dipergunakan
secara luas pada hampir semua kegiatan bisnis diantaranya kontrak (polis) asuransi, kontrak di bidang perbankan, kontrak sewa guna usaha, kontrak jual beli rumah/apartemen dari perusahaan (real estate), kontrak
sewa menyewa Gedung perkantoran, kontrak pembuatan kartu kredit, kontrak pengiriman barang (darat, laut dan udara, dan sebagainya (Fuadi, 2001).
Apabila merujuk kepada Pasal 1320 KUHPerdata, sebenarnya terdapat beberapa persyaratan yang membatasi penerapan asas kebebasan berkontrak sesuai dengan persyaratan sahnya perjanjian (Khairandy, 2013):
1. Adanya kata sepakat para pihak;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat perjanjian;
3. Adanya obyek tertentu;
4. Adanya kausa yang tidak bertentangan dengan dengan hukum.
Dalam UU Ketenagakerjaan No.13/ 2003, terdapat 2 (dua) jenis perjanjian kerja karyawan yaitu PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan PKWTT
(Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu). Ketika perusahaan ingin merekrut dan mempekerjakan karyawan dengan status kontrak atau yang sering disebut Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, setidaknya ada beberapa peraturan yang harus ditaati oleh pihak Perusahaan sebagai pemberi kerja. Menurut Pasal 59 UU Ketenagakerjaan telah menjelaskan bahwa PKWT hanya boleh dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, seperti:
1. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
2. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
3. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
4. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Undang � undang Ketenagakerjaan juga menjelaskan dan menegaskan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, dan hanya boleh dilakukan untuk waktu tertentu yang dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perlu diketahui juga bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu memiliki jangka waktu maksimal
2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara
sifatnya adalah PKWT yang didasarkan
atas selesainya pekerjaan tertentu. PKWT dibuat untuk paling lama 3 (tiga)
tahun. Dalam hal pekerjaan tertentu
yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT. Pembaharuan dilakukan seteiah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah
berakhirnya perjanjian kerja. Selama tenggang waktu tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT,
pembaharuan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara
sifatnya yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga)
tahun. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu. Dalam hal pekerjaan
tertentu yang diperjanjikan
maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Dalam PKWT ini harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai. Apabila pekerjaan tersebut belum selesai pada waktu yang ditentukan karena kondisi tertentu, maka dapat dilakukan pembaharuan PKWT (Aruan, 2006).
Kesimpulan
Berdasarkan Uraian
penulis dalam pembahasan Jurnal Hukum Penelitian Tesis
ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1). Dalam hal Pelaksanaan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) harus ditetapkan suatu kejelasan mengenai waktu berakhir
suatu perjanjian, upah yang akan diterima oleh Pekerja/ Buruh, serta harus
diberikan Perjanjian yang terperinci mengenai Hak dan Kewajiban antara
Perusahaan (Pengusaha) dengan Pekerja/ Buruh tanpa adanya salah satu pihak yang
dirugikan dengan hal ini dapat dikatakan bahwa setiap Perjanjian Kerja yang
dilakukan harus dilandasi dengan I�tikad baik oleh kedua belah pihak agar dapat
tercapai suatu Perjanjian dengan kata sepakat. Dalam suatu Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu juga harus bersandar serta tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang
� undangan yang berlaku yang dimana Perjanjian Kerja Waktu Tertentu telah
diatur secara jelas dalam Pasal 57 Undang � undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan yang menjelaskan bahwa : 2). Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia
dan huruf latin. 3). Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan
ketentuan sebagai mana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian
kerja untuk waktu tidak tertentu. 4). Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam
bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan
penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja yang dibuat dalam
bahasa Indonesia.
Namun Undang � undang No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah dimodifikasi dengan undang � undang
yang terbaru yaitu Undang � undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja serta aturan
mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah No.
35 tahun 2021 yang dimana dalam Pasal 5 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 35
tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan
Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja yang menjelaskan:
Pasal
5
1)
PKWT berdasarkan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf a dibuat untuk pekerjaan tertentu yaitu:
a.
pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama;
b.
pekerjaan
yang bersifat musiman; atau
c.
pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan
atau penjajakan.
2)
PKWT berdasarkan
selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) huruf b dibuat untuk pekerjaan tertentu yaitu:
a.
pekerjaan
yang sekali selesai; atau
b.
pekerjaan
yang sementara sifatnya.
3)
Selain
pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), PKWT dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Pasal
7
1)
Pekerjaan
yang bersifat musiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf b merupakan pekerj aan yang pelaksanaannya tergantung pada:
a.
musim
atau cuaca; atau
b.
kondisi
tertentu.
2)
Pekerjaan
yang pelaksanaannya tergantung
pada musim atau cuaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat
dilakukan pada musim tertentu atau cuaca
tertentu.
3)
Pekerjaan
yang pelaksanaannya tergantung
pada kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pekerjaan tambahan yang dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu.
Dari beberapa ketentuan Undang - Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diubah melalui Undang - Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, salah satunya mengenai hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT diatur lebih lanjut dalam Peratura Pemerintah No.35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK). Pertama, PKWT yang dibuat berdasarkan jangka waktu. PKWT ini untuk pekerjaan yang waktu penyelesaiannya tidak terlalu lama; bersifat musiman; produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Jika PKWT akan berakhir, tapi pekerjaan belum selesai, dapat diperpanjang dengan ketentuan keseluruhan PKWT tidak boleh lebih dari 5 tahun. Dengan begitu, jangka waktu PKWT ini paling lama 5 tahun termasuk perpanjangannya. Jika dilakukan perpanjangan PKWT dihitung sebagai masa kerja buruh. Kedua, PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu. PKWT ini untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sifatnya sementara. Klausul yang dituangkan dalam PKWT ini antara lain ruang lingkup dan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai dan lamanya waktu penyelesaian pekerjaan disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan. Jika pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dari waktu yang disepakati, maka PKWT putus demi hukum saat selesainya pekerjaan. Jika pekerjaan belum selesai sesuai jangka waktu yang disepakati dalam PKWT, dapat dilakukan perpanjangan sampai pekerjaan itu selesai. Ketiga, PKWT berdasarkan pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya tidak tetap. PKWT ini untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah berdasarkan kehadiran atau kerap disebut harian. Reytman mengingatkan ada ketentuan perjanjian kerja harian yang harus dicermati yakni pekerja bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Jika buruh harian ini bekerja 21 hari atau lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian demi hukum berubah menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Aruan, Reytman. (2006). Undang � Undang Ketenagakerjaan
No. 13 Tahun 2003 Beserta Komentar Dan Penjelasannya Pasal Demi Pasal.
Bekasi : mitrasinergi bangun insan negeri.
Fuadi, Munir. (2001). Hukum kontrak:(dari sudut pandang
hukum bisnis). Google Scholar
Khairandy, Ridwan. (2013). Hukum kontrak Indonesia dalam
perspektif perbandingan. Fh Uii Press. Google Scholar
Marzuki, M. laica. (2006). Berjalan-jalan di Ranah Hukum
(Buku Kesat). Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI.
Nasional, Yayasan Tripartit. (1987). Pedoman Pelaksanaan
Hubungan Industrial Pancasila Dengan Petunjuk Operasional (Cetakan Ke).
Jakarta : Yayasan Tripartit Indonesia.
Nusantara, Pujangga. (1999). Reformasi total menuju Indonesia
baru. Lembaga Pengkajian Reformasi. Google Scholar
R. Subekti. (2010). Hukum Perjanjian. Jakarta:
Jakarta: PT Intermasa.
Satrio, Juswito. (1993). Hukum Perikatan: Perikatan Pada
Umumnya. Google Scholar
Sjahdeini, Sutan Remy. (1993). Asas Kebebasan Berkontrak Dan
Kedudukan Yang Seimbang Dari Kreditur Dan Debitur. Makalah Up Grading &
Rrefieshing Course Anggota INI. Google Scholar
Van Apeldoom, L. J. (1990). Pengantar Ilmu Hukum. Terjemahan
Oetarid Sadino, Pradnya Paramita, Jakarta. Google Scholar
Copyright
holder: Muhammad Fajri
Muttaqin, Aloysius Uwiyono
(2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |