Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 7, Juli 2022

 

PENINGKATAN PENDAYAGUNAAN TENAGA KERJA DALAM PENGAKTIFAN KLAUSUL NON-KOMPETISI DI DALAM PERJANJIAN KERJA

 

Sandy Rio Kuahaty

Fakultas Hukum Universitas Indonesia Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Klausul Non-Kompetisi adalah sebuah perjanjian yang dimana pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan yang sama ataupun jabatan yang sama di perusahaan lain yang notabene perusahaan itu merupakan kompetitor. Pencantuman klausul Non-Kompetisi bertujuan untuk melindungi rahasia dagang perusahaan akan tetapi hal tersebut dianggap bertentangan dengan Peraturan akan tetapi menurut Peneliti hal tersebut dapat diberlakukan dengan memberikan asas proporsionalitas dan asas itikad baik yang membuat ketentuan ketentuan yang logis didalam pembatas klausul Non-Kompetisi di Indonesia.

 

Kata Kunci: Rahasia Dagang, Klausul Non-Kompetisi, Perjanjian Kerja

 

Abstract

The Non-Competition Clause is an agreement whereby workers cannot do the same job or the same position in another company which incidentally is a competitor. The inclusion of the Non-Competition clause aims to protect trade secrets but it is contrary to the regulations but in the view of researcher, it can be applied by providing the principle of proportionality and as a good faith that makes logical provisions in the limit of the Non-Competition clause in Indonesia.

 

Keywords: Trade Secret, Non-Competition Clause, Employment Agreement

 

Pendahuluan

Masyarakat merupakan mahluk sosial yang selalu melakukan hubungan atau interaksi dengan sesamanya, interaksi yang masyarakat lakukan tentu tidak terlepas dari adanya sebuah perjanjian yang digunakan masyarakat untuk mengikat dirinya dalam sebuah persetujuan yang dibuat bersama. Salah satu jenis perjanjian yaitu perjanjian kerja yang mana dalam perjanjian tersebut akan menimbulkan suatu hubungan kerja. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan peranjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah (Trijono & Ketenagakerjaan, 2014). Sedangkan perjanjian/kontrak kerja menurut pasal 1 angka 14 undang-undang No.13 Tahun 2003 (�UU Ketenagakerjaan�) adalah perjanjian antara pekerja atau buruh dan pihak perusahaan atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak,kewajiban, para pihak.

Pada dasarnya hak � hak para pekerja dan pengusaha/majikan secara yuridis mempunyai kedudukan yang sama dan mendapat perlindungan yang sama, yang membedakan hanya dari segi kewajiban, wewenang, dan manajerialnya. Oleh karena itu, kedudukan pemberi kerja atau pengusaha lebih kuat dibandingkan dengan perkerja. Atas dasar itulah Undang-Undang No. 13 tahun 2003 dibentuk dan diberlakukan guna untuk melindungi hak-hak para pekerja yang terkadang semaking tidak berdaya menghadapi arus dan situasi ekonomi dewasa ini. Misalnya terkait dengan perjanjian kerja yang dilakukan antara para pekerja dan pengusaha/pemberi kerja.

Semakin pesatnya arus ekonomi dalam hal ini perdagangan bebas yang menuntut hasil yang berkualitas dari sebuah produk sehingga banyak terciptanya teknologi yang mendukung kebutuhan tersebut, seiring dengan hal itu semakin disadari betapa pentingnya perlindungan hukum dalam perjanjian kerja dalam hal ini terkait rahasia dagang. Dengan meningkatnya kemajuan di bidang ekonomi khususnya perdagangan, pelaku bisnis harus terus mencari temuan baru baik di bidang eknologi dan bisnis yang bertujuan meningkatkan keuntungan. Untuk menciptakan dan menemukan temuan baru baik berupa teknologi, formula,strategi proses produksi dan pemasaran memerlukan banyak waktu, tenaga, pikiran dan juga biaya, oleh karena itu perlu dijaga kerahasiaan informasi temuan tersebut yang disebut juga rahasia dagang. Informasi yang bersifat rahasia di dalam dunia perdagangan menjadi sangat penting terutama bagi kalangan bisnis. Banyak informasi bisnis yang sangat dibutuhkan oleh kalangan usaha yang sama dan informasi tersebut memiliki nilai komersial. Dengan demikian bagi kalangan pebisnis yang mempunyai informasi rahasia hendaknya melakukan upaya pencegahan terhadap para pesaing bisnis untuk mengetahui ataupun mengunakan informasi rahasia tersebut. Melihat kondisi tersebut maka perlu adanya perlindungan hukum bagi pelaku bisnis, industri maupun teknologi melalui Rahasia Dagang. Dengan adanya perlindungan Rahasia Dagang maka kalangan perusahaan/pebisnis memiliki perlindungan hukum atas rahasia dagang yang dimilikinya sebagai aset perusahaan.

Dipandang dari sudut pandang hukum hal ini dapat dipahami dan sangat beralasan, sebab pelanggaran terhadap rahasia dagang pada gilirannya secara ekonomis akan sangat merugikan para penemu dan pemilik hak tersebut. Rahasia dagang menjadi faktor yang esensial dalam upaya persaingan dagang yang jujur (fair competition), sekaligus merupakan komoditas yang sangat berharga dan memiliki nilai ekonomi tinggi (Ramli, 2000).

Semakin berkembangnya industri di Indonesia, maka bentuk dan isi perjanjian kerja pun mengalami perkembangan. Dalam hukum perjanjian menganut asas kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak merupakan kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausul-klausul dari perjanjian tersebut, tanpa campur tangan pihak lain (Sjahdeini, 1993). Asas kebebasan berkontrak dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagaiSalah satu dari perjanjian yang dijadikan objek penelitian adalah adanya Klausul Non-Kompetisi dalam tatanan hukum ketenagakerjaan Indonesia. Klausul Non-Kompetisi adalah sebuah perjanjian yang dimana pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan yang sama ataupun jabatan yang sama di perusahaan lain yang notabene perusahaan itu merupakan saingan dagang dari perusahaan pengusaha/majikan tersebut. Dalam hal ini pekerja atau buruh bisa saja menbatalkan perjanjian atau menolak perjanjian kerja itu, peraturan perundang � undang yang berlaku. Melihat isi Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia kemudian dikaitkan dengan pencantuman klausul non-kompetisi dalam perjanjian kerja, maka terdapat ketidaksesuaian antara das sollen dan das sein. Hal ini dikarenakan dalam undang-undang diatur mengenai hak setiap orang untuk bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Sementara itu, pencantuman klausul non-kompetisi dalam perjanjian kerja membatasi hak tersebut dengan melarang pekerja untuk bekerja di perusahaan dengan bidang yang sama setelah pemutusan hubungan kerja. Atas dasar itulah Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan judul penelitian �Kepastian Hukum Terkait Perlindungan Rahasia Dagang Melalui Klausul Non-Kompetisi Di Dalam Perjanjian Kerja�.

Di dalam penelitian ini Peneliti menggunakan Teori Perjanjian dimana Para Ahli Hukum masih menggunakan istilah-istilah yang berbeda untuk perjanjian. perbedaan pandangan mengenai definisi perjanjian timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Untuk memahami istilah mengenai perjanjian terdapat beberapa pendapat para sarjana. Adapun pendapat para sarjana tersebut antara lain yaitu :

1.     Menurut Wirdjono Prodjodikoromengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antar kedua belah pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu (Prodjodikoro, 2000).

2.     Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Maksudnya, kedua pihak tersebut sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dilaksanakan. Kesepakatan tersebut adalah untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga apabila kesepakatan itu dilanggar maka akan ada akibat hukumnya atau sanksi bagi si pelanggar (Mertokusumo, 2005).

3.     Subekti tidak membedakan pengertian perjanjian dengan persetujuan sebab menurut beliau, perjanjian dan persetujuan sama - sama mempunyai pengertian bahwa kedua belah pihak tersebut setuju untuk melakukan sesuatu yang telah di sepakati bersama, dengan begitu penggunaannya dapat saja secara bebas menggunakan perjanjian, persetujuan, kesepakatan, ataupun kontrak dalam menggambarkan hubungan hukum yang mengikat para pihak untuk melaksanakannya, atupun sebaliknya penggunaan perjanjian, persetujuan atupun kesepakatan pada hubungan yang tidak mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat (Simanjuntak, 2006).

4.     Menurut M. Yahya Harahap, perjanjian maksudnya adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara 2 (dua) orang atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi (Harahap, 1986).

Lebih lanjut dalam Penelitian ini peneliti ingin menyampaikan permasalahan hukum di dalam suatu Perjanjian Kerja dimana masih terdapat celah hukum atau kekosongan hukum yang seharusnya dapat diisi dan diatur secara jelas melalui peraturan atau perundang-undangan sehubungan klausul Non-Kompetisi yang tidak secara tegas dilarang oleh perundang-undangan untuk dicantumkan di dalam perjanjian akan tetapi klausul tersebut sangat dibutuhkan oleh Pengusaha atau Pemberi Kerja untuk melindungi Rahasia Dagang Perusahaan sehingga menurut Peneliti hal tersebut perlu diatur secara tegas melalui Peraturan ataupun Perundang-undangan.

 

Metode Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan dalam dalam penlitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam Peraturan Perundang-Undangan (law in book). Sebagai sumber datanya adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan Hukum primer, bahan Hukum sekunder (Asikin, 2003). Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dalam rangka mengkaji bahan- bahan yang bersumber dari kepustakaan, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dikaitkan dengan teori-teori hukum menyangkut permasalahan yang dihadapi untuk menggambarkan dan menganalisis fakta-fakta secara sistematis, faktual, logis dan memiliki landasan pemikiran yang jelas dasar dan sumber karya sehingga diperoleh alternatif pemecahan sesuai dengan ketentuan atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Penulisan dalam penelitian ini menggunakan metode analisis yuridis kualitatif. Yuridis, karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan yang ada sebagai norma Hukum Positif, sedangkan kualitatif adalah analisa data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi untuk mengetahui keterkaitannya dengan permasalahan pokok sehingga pada akhirnya bisa ditarik suatu kesimpulan yang objektif dimana tidak menggunakan diagram atau angka-angka.Penulisan karya ilmiah ini melihat pengaturan hukum yang berhubungan dengan hukum ketenagakerjaan, apakah aturan tersebut secara tegas mengatur mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap pekerja, sehingga tersedia perlindungan hukum yang jelas terhadap pekerja dalam membuat perjanjian kerja. Jenis pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis deskriptif.

 

Hasil Dan Pembahasan

Menurut Abdulkadir Muhammad, rumusan Pasal 1313 KUH-Perdata terkait perjanjian mengandung kelemahan karena (Kadir Muhammad, 2004):

1.     Hanya menyangkut sepihak saja.

Dapat dilihat dari rumusan �satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya�. Kata �mengikat� sifatnya sepihak, sehingga perlu dirumuskan �kedua belah pihak saling mengikatkan diri�, dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

2.     Kata �perbuatan� termasuk di dalamnya konsensus.

Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. Seharusnya digunakan kata persetujuan.

3.     Pengertian perjanjian terlalu luas

Luas lingkupnya juga mencangkup mengenai urusan janji kawin yang termasuk dalam lingkup hukum keluarga, seharusnya yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan. Perjanjian yang dimaksudkan di dalam Pasal 1313 KUH-Perdata adalah perjanijan yang berakibat di dalam lapangan harta kekayaan, sehingga perjanjian di luar lapangan hukum tersebut bukan merupakan lingkup perjanjian yang dimaksudkan.

4.     Tanpa menyebutkan tujuan.

Rumusan Pasal 1313 KUH-Perdata tidak mencantumkan tujuan dilaksanakannya suatu perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki kejelasan untuk maksud apa diadakan perjanjian.

Lebih lanjut Menurut pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan, Perjanjian Kerja adalah �Perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau Pemberi Kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban Para Pihak. Dari definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Kerja setidak-tidaknya berbicara 3 (tiga) unsur, yakni syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Jika membahas terkait perjanjiannya maka syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian harus dipenuhi sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pasal 1320 Jo. Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa Perjanjian kerja dibuat atas dasar: 1). Kesepakatan kedua belah pihak; 2). Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; 3). Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4). Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.�

Dari keterangan diatas maka dapat disimpulkan bahwa di dalam perjanjian kerja harus dipenuhinya terlebih dahulu beberapa unsur yaitu syarat sah perjanjian, syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban. Semua unsur tersebut harus dipenuhi agar terpenuhinya suatu Perjanjian Kerja. Semakin berkembangnya industri di Indonesia, maka bentuk dan isi perjanjian kerja pun mengalami perkembangan. Salah satu dari perjanjian yang dijadikan objek penelitian oleh Peneliti adalah adanya klausul Non-Kompetisi di dalam tatanan hukum ketenagakerjaan Indonesia.

Klausul Non-Kompetisi pada hakikatnya adalah klausul yang mengatur bahwa dalam kurun waktu tertentu atau periode tertentu setelah adanya pemutusan hubungan pekerjaan, pekerja menyatakan kesediannya untuk tidak bekerja dalam suatu Perusahaan yang dianggap kompetitor oleh Perusahaan di tempat si Pekerja bekerja (Black, 1979).

Dalam dunia internasional, klausul Non-Kompetisi merupakan klausul yang sering dicantumkan di dalam perjanjian kerja. Di beberapa negara misalnya Jerman, Amerika, Belanda, Spanyol dan Prancis, klausul Non-Kompetisi ditanggapi beragam. Meskipun negara-negara tersebut memperbolehkan adanya klausul tersebut, tetapi terdapat batasan-batasan yang jelas, contoh dengan adanya pembatasan tidak melebihi waktu 2 tahun, hal itu tidak pula bertentangan dengan kebutuhan atau kepentingan orang banyak, tidak boleh memberikan pembatasan yang berlebihan terhadap karyawan sehingga menghambat Pekerja mencari sumber pendapatan.

Hukum positif Indonesia telah mengatur beberapa ketentuan tentang hal-hal yang melarang klausul Non-Kompetisi, meskipun tidak eksplisit disebutkan dalam peraturan perundang-undangan, namun penjelasan atas ketentuan tersebut dapat kita lihat dalam beberapa kaidah sebagai berikut:

�       Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 28 D ayat (2):

�Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�;

�       Pasal 31 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

�Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri�; dan

�       Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

�Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil�.

Membaca kaidah yang tertuang dalam beberapa peraturan perundang-undangan di atas, klausul Non-Kompetisi sebagai klausul yang membatasi kebebasan seseorang dalam mencari pekerjaan baru ketika tengah selesai masa kerja di tempat sebelumnya, dengan demikian dianggap merupakan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU Ketenagakerjaan dan UU HAM. Dalam pembuatan perjanjian, memang dikenal adanya asas kebebabasan berkontrak (freedom of contract) yang tedapat Pasal 1338 KUHPerdata, asas tersebut menjelaskan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat perjanjian yang berisi dan macam apapun, asal tidak bertentangan dengan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. Artinya, dalam pembuatan sebuah perjanjian kerja haruslah sesuai dengan hak pekerja/buruh yang telah diatur dalam perundang-undangan (R. Subekti, 2010). Jika merujuk pada syarat sahnya suatu perjanjian menurut UU Ketenagakerjaan maka penerapan klausul Non-Kompetisi bertentangan dengan syarat ke 4 dari syarat sahnya suatu perjanjian yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (syarat objektif). Maka secara prinsip, perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif adalah batal demi hukum. Oleh karenanya peneliti dalam hal ini mengemukakan bahwa klausul Non-kompetisi sesungguhnya tidak akan melanggar ketentuan perundang-undangan selama adanya asas proporsionalitas dan asas itikad baik yang jelas dan logis terkait pencantuman klausul Non-Kompetisi tersebut, yaitu:

1.     Mencantumkan secara jelas alasan berlakunya klausul Non-Kompetisi ini dimana bukan hanya melarang Pekerja pindah tetapi juga adanya alasan Rahasia Dagang;

2.     Mencantumkan periode waktu yang logis;

3.     Mencantumkan Batasan wilayah geografis yang jelas terkait lokasi wilayah kompetitor� yang mensyaratkan pekerja tidak boleh bekerja disana;

4.     memberikan kompensasi yang sesuai bagi pekerja dalam pelaksanaan klausula tersebut.

Lebih lanjut, dengan adanya asas proporsionalitas dan asas itikad baik sebagaimana Peneliti sampaikan diatas, maka seharusnya Pemerintah dalam hal ini hadir dengan memberikan suatu kepastian hukum yang jelas dan nyata terkait klausul Non-Kompetisi dengan memberikan suatu peraturan baru sehingga dapat memberikan kepastian hukum untuk para Pemberi Kerja/Pengusaha terkait Rahasia Dagang mereka dan juga untuk Pekerja yang ingin mengundurkan diri dan ingin bekerja ke tempat lain.

Contoh kasus pertama terkait adanya pelanggaran rahasia dagang yaitu Hi Pin dihukum 1 tahun penjara karena membocorkan rahasia dagang racikan kopi. Eks karyawan pabrik kopi CV Bintang Harapan itu dikenakan UU Rahasia Dagang
Kasus bermula saat pria kelahiran 30 November 1970 bermasalah dengan majikannya. Pada November 2009, ia mendatangi mess karyawan membujuk mereka pindah pabrik. Beberapa karyawan CV Bintang Harapan terbujuk dan mereka pindah ke pabrik Hi Pin dengan bendera CV Tiga Berlian.
Nah, Hi Pin menyuruh karyawan barunya untuk membuat sistem kerja sama dengan tempat lama. Seperti penggorengan, penggilingan, saringan, hingga pengemasan. Sehingga cita rasa yang didapat bisa sama persis, baik aroma dan cita rasanya.Untuk pemasaran, jaringan distribusi juga menggunakan jejaring yang sama. Pelan-pelan, bisnis CV Bintang Harapan dan Hi Pin dilaporkan ke polisi dengan dalih mencuri rahasia dagang.

Pengadilan sampai di Pengadilan Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Menyatakan Terdakwa Hi Pin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana 'tanpa hak menggunakan rahasia dagang pihak lain'. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Hi Pin oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 tahun penjara," demikian lansir panitera MA dalam websitenya, Selasa (6/11/2018).

Untuk kasus kedua peneliti menemukan adanya kasus Pemilik Restauran Sunda di daerah Bintaro tidak memiliki kompetensi pada bidang kuliner sehingga semua racikan bumbu dipercayakan pada kepala koki (head chef). Permasalahan mulai muncul ketika rumah makan mulai ramai dan kepala koki mulai melakukan hal-hal yang menurut pemilik restoran dianggap �tidak sewajarnya�, seperti meminta kenaikan gaji, menuntut penambahan pegawai, serta meminta pergantian pegawai dengan alasan ada ketidakcocokan. Setelah memasuki satu tahun berdirinya Restauran Sunda tersebut, kepala koki kembali meminta kenaikan gaji dua kali lipat dengan alasan yang tidak masuk akal. Pada akhirnya, karena tuntutannya tidak dipenuhi, kepala koki tersebut mengundurkan diri. Pengunduran diri ini sebenarnya menimbulkan masalah baru pada Restaurant Sunda tersebut. Secara tidak langsung, kunci masakan Restauran Sunda tersebut ada pada resep yang dipegang oleh kepala koki yang keluar. Karena terjadi penurunan kualitas rasa lambat laun Restoran Sunda sepi pengunjung dan akhirnya tutup setelah bertahan selama enam bulan (Saputro, 2016). Secara tidak langsung apa dalam menciptakan rahasia dagang yaitu masakan- masakan restaurant sunda dan khususnya sambal hejo, head chef menggunakan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh pemilik restaurant.

Merujuk pada kasus diatas, sejatinya dalam praktek internasional, pemberlakuan klausul Non-Kompetisi adalah praktek umum yang diperlakukan oleh perusahaan kepada para tenaga kerjanya, dengan tujuan yang salah satunya adalah untuk melindungi rahasia dagang akan tetapi di Indonesia masih dianggap tabu padahal masih sering terjadi kasus kasus sebagaimana dijelaskan oleh penulis diatas. Pencantuman klausul Non-Kompetisi sebenarnya tidak diatur dalam undang-undang akan tetapi pencantuman klausul Non-Kompetisi dalam kontrak kerja kerap kali dilakukan oleh perusahaan khususnya perusahaan Franchise dikarenakan perusahaan takut rahasia perusahaan ataupun rahasia dagang dibocorkan oleh mantan karyawan. Meskipun tidak diatur dalam undang-undang pencantuman klausul Non-Kompetisi sering kali dianggap membatasi hak-hak seorang pekerja yang sudah dilindungi oleh konstitusi, bukan hanya itu juga dianggap bertentangan dengan hakikat UU Ketenagakerjaan dan UU HAM. Lebih lanjut, penulis berpendapat bahwa dalam KUHPerdata sendiri mengatur mengenai hal yang memiliki kemiripan dengan pengertian klausul Non-Kompetisi, yaitu suatu perjanjian yang berlaku terhadap pihaknya setelah berakhirnya suatu hubungan kerja atau dikenal dengan nama perjanjian kerja persaingan. Pengertian perjanjian kerja persaingan ini diatur dalam Pasal 1601x KUHPerdata, yang berbunyi: �Suatu perjanjian antara perusahaan dan pekerja, dengan mana pihak yang belakangan ini dibatasi dalam kekuasaannya untuk setelah berakhirnya hubungan kerja melakukan pekerjaan dengan sesuatu cara, hanyalah sah apabila janji itu dibuat dalam suatu perjanjian tertulis atau dalam suatu reglemen, dengan seorang buruh yang dewasa. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memperbolehkan penggunaan perjanjian yang berisikan pembatasan kekuasaan terhadap suatu pihak setelah berakhirnya hubungan kerja.Namun tentu saja pembatasan tersebut tetap tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya UU Ketenagakerjaan dan UU HAM. Model klausul Non-Kompetisi yang menurut peneliti terdapat asas proporsionalitas didalamnya adalah dengan memberikan ketentuan ketentuan yang logis yaitu:

1.     Mencantumkan secara jelas alasan berlakunya klausul Non-Kompetisi ini dimana bukan hanya melarang Pekerja pindah tetapi juga adanya alasan Rahasia Dagang;

2.     Mencantumkan periode waktu yang logis;

3.     Mencantumkan Batasan wilayah geografis yang jelas terkait lokasi wilayah kompetitor yang mensyaratkan pekerja tidak boleh bekerja disana;

4.     memberikan kompensasi yang sesuai bagi pekerja dalam pelaksanaan klausula tersebut.

Ketentuan ketentuan diatas ditentukan agar pekerja mengerti dan masih dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan juga agar setiap unsur di dalam sebuah perjanjian kerja yaitu syarat sah perjanjian, syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban telah terpenuhi dan tidak ada yang dilanggar.

 

Kesimpulan

Klausul Non-Kompetisi merupakan klausul yang membatasi kebebasan seseorang dalam mencari pekerjaan baru ketika tengah selesai masa kerja di tempat sebelumnya, dengan demikian senyatanya merupakan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, UU Ketenagakerjaan dan UU HAM. Akan tetapi penulis berpendapat bahwa dalam KUHPerdata sendiri mengatur mengenai hal yang memiliki kemiripan dengan pengertian klausul Non-Kompetisi, yaitu suatu perjanjian yang berlaku terhadap pihaknya setelah berakhirnya suatu hubungan kerja atau dikenal dengan nama perjanjian kerja persaingan. Pengertian perjanjian kerja persaingan ini diatur dalam Pasal 1601x KUHPerdata, yang berbunyi: �Suatu perjanjian antara perusahaan dan pekerja, dengan mana pihak yang belakangan ini dibatasi dalam kekuasaannya untuk setelah berakhirnya hubungan kerja melakukan pekerjaan dengan sesuatu cara, hanyalah sah apabila janji itu dibuat dalam suatu perjanjian tertulis atau dalam suatu reglemen, dengan seorang buruh yang dewasa. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memperbolehkan penggunaan perjanjian yang berisikan pembatasan kekuasaan terhadap suatu pihak setelah berakhirnya hubungan kerja.Namun tentu saja pembatasan tersebut tetap tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya UU Ketenagakerjaan dan UU HAM. Model klausul Non-Kompetisi yang menurut peneliti terdapat asas proporsionalitas didalamnya adalah dengan memberikan ketentuan ketentuan yang logis yaitu:

a.           Mencantumkan secara jelas alasan berlakunya klausul Non-Kompetisi ini;

b.           Mencantumkan periode waktu yang logis;

c.           Mencantumkan Batasan wilayah geografis yang jelas terkait lokasi wilayah kompetitor yang mensyaratkan pekerja tidak boleh bekerja disana;

d.           memberikan kompensasi yang sesuai bagi pekerja dalam pelaksanaan klausula tersebut.

Pencantuman klausul Non-Kompetisi sangat dibutuhkan guna mengikuti persaingan pasar Internasional yang telah menggunakan klausul tersebut untuk melindungi rahasia dagang mereka. Dalam era perdagangan bebas, ekspansi perusahaan transnasional ke setiap belahan dunia senyatanya menggiurkan bagi Indonesia selaku negara berkembang dengan harapan agar perusahaan-perusahaan berskala lintas benua tersebut melirik Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi untuk negara maju berinvestasi, menjadi tujuan bagi negara investor internasional sehingga negara tersebut dapat meningkatkan perekonomian, khususnya dalam hal ini menumbuhkan kesejahteraan bagi warga negaranya. Bahwa realita kehidupan bangsa Indonesia terkni, senyatanya negara ini memang sangat teramat membutuhkan kehadiran perusahaan transnasional untuk dapat turut serta membangun republik ini. Sehingga Indonesia perlukan meningkatkan nilai jualnya di hadapan para pemegang modal berskala international agar dapat menyandang status sebagai negara yang ramah untuk berinvestasi (ease of doing business country). Sebagai klausul umum yang berlaku secara internasional, pelarangan penggunaan klausul Non-Kompetisi di Indonesia senyatanya sangat berpotensi menarik mundur para calon perusahaaan multi transnasional yang hendak mengekspansikan bidang usahanya di Indonesia. Bukan maksud penulis untuk mengedepankan kepentingan investor berskala internasional di atas kepentingan rakat negara ini, namun dengan fakta yang ada, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia juga membutuhkan kehadiran para investor ini demi tumbuh kembang negara, yang tidak lain dan tidak bukan tentu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Ketentuan ketentuan diatas menurut hemat penulis dapat membuat klausul Non-Kompetisi ini diterapkan di dalam perjanjian kerja dan rahasia dagang Perusahaan pun dapat terlindungi dan menjadi terobosan yang dapat menarik minat para perusahaan transnasional untuk berinvestasi di negeri ini, namun dengan tetap menjunjung tinggi perlindungan dan kesejahteraan warga negara Indonesia.


 

BIBLIOGRAFI

 

Asikin, Amirudin dan H. Zainal. (2003). Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

 

Black, Henry Campbell. (1979). Black�s Law Dictionary, St. Paul Minn. West Publishing Co, 4, 1665. Google Scholar

 

Harahap, M. Yahya. (1986). Segi-segi Hukum Perjanjian, Cet. Ke-2. Bandung: Alumni. Google Scholar

 

Kadir Muhammad, Abdul. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Google Scholar

 

Mertokusumo, Sudikno. (2005). Mengenal Hukum; Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Google Scholar

 

Prodjodikoro, Wirdjono. (2000). Wirdjono Azas-AzasHukum Perjanjian. Bandung : CV. Mandar maju. Google Scholar

 

R. Subekti. (2010). Hukum Perjanjian. Jakarta: Jakarta: PT Intermasa.

 

Ramli, Ahmad M. (2000). HAKI, hak atas kepemilikan intelektual: teori dasar perlindungan rahasia dagang. Mandar Maju. Google Scholar

 

Simanjuntak, Ricardo. (2006). Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Jakarta: Kontan. Google Scholar

 

Sjahdeini, Sutan Remy. (1993). Kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit Bank di Indonesia. Institut Bankir Indonesia. Google Scholar

 

Trijono, Rachmat, & Ketenagakerjaan, Pengantar Hukum. (2014). Papas Sinar Sinanti. Jakarta. Google Scholar

 

Copyright holder:

Mardiana Ahmad, Luciana Heidee, A.Nilawati Usman, A.Wardihan Sinrang, M. Aryadi Arsyad, St. Raf�iah (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: