Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 7, Juli 2022

 

KOMUNIKASI RITUAL PADA TRADISI SEDEKAH BUMI DUSUN KEDUNG BAKUNG, CILACAP, JAWA TENGAH

 

Anggita Putri Permatasari, Aprilianti Pratiwi

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, Indonesia

Email: [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Banyaknya tradisi yang tidak dapat dilaksanakan selama masa pandemi saat ini, mengancam eksistensi dari salah satu aspek budaya lokal di Indonesia. Namun, Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap masih tetap dilakukan di tengah pandemi covid-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi komunikasi verbal dan nonverbal pada komunikasi ritual masyarakat setempat dalam Tradisi Sedekah Bumi berdasarkan Teori Interaksi Simbolik oleh Mead. Metode penelitian yang dipilih adalah metode kualitatif dengan paradigma interpretatif serta dalam memperoleh data-data yang dibutuhkan peneliti melakukan wawancara bersama informan terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi verbal yang digunakan masyarakat Kedung Bakung dalam tradisi Sedekah Bumi yaitu secara lisan dengan menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Sementara, komunikasi nonverbal masyarakat setempat pada tradisi Sedekah Bumi menggunakan simbol atau isyarat tertentu. Simbol tersebut berupa menyajikan suguhan untuk dimakan bersama dan suguhan khusus sebagai wujud persembahan kepada leluhur terdahulu.

 

Kata Kunci: komunikasi nonverbal, komunikasi ritual, komunikasi verbal, teori interaksi simbolik, sedekah bumi

 

Abstract

There are many traditions that cannot be carried out during this pandemic, which threatens the existence of one of Indonesia�s local cultural aspects. However, the Sedekah Bumi Tradition in Kedung Bakung Village, Kedungreja District, Cilacap Regency is still being carried out in the midst of the COVID-19 pandemic. The purpose of this study is to identify the verbal and nonverbal communication that is used for the ritual communication of the local community in the Sedekah Bumi based on Mead's Symbolic Interaction Theory. This research uses qualitative methods with an interpretive paradigm. To obtain the data, the researcher conducts interviews with selected informants. The results show that the Kedung Bakung community in the Sedekah Bumi tradition is using Javanese and Indonesian languages for their verbal communication. Meanwhile, the local community in the Sedekah Bumi tradition uses certain symbols or signs for their non-verbal communication. The symbol is in the form of presenting treats to be eaten together and special treats as a form of offering to previous ancestors.

 

Keywords: nonverbal communication, ritual communication, symbolic interaction theory, sedekah bumi, verbal communication

 

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki keberagaman budaya. Mulai dari suku bangsa, adat istiadat, bahasa, dan tradisi. Berdasarkan data (KJRI FRANKFURT, 2016) Indonesia menjadi kepulauan terbesar di dunia dengan memiliki lebih dari 17.000 pulau, dimana hanya sekitar 7.000 pulau yang berpenghuni. Kepulauan Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke dengan 5 pulau besar di dalamnya yaitu Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera dan Irian serta terdiri atas lebih dari 300 suku bangsa. Masing-masing suku bangsa di Indonesia memiliki ciri khas budaya tersendiri yang tercermin dari pola dan gaya hidup masyarakat setempat. Adanya keberagaman ini tidak membuat bangsa Indonesia terpecah belah, namun hal ini menjadi bukti dari wujud rasa persatuan dan kesatuan negara Indonesia sesuai dengan semboyan negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang memiliki makna berbeda-beda namun tetap satu juga.

Budaya menjadi pola perilaku dan kepercayaan yang dipelajari serta disebarluaskan oleh kelompok sosial, etnis, ataupun usia tertentu. Hal ini dapat digambarkan sebagai keseluruhan kompleks dari kepercayaan kolektif individu dengan tahap kehidupan terstruktur. Kebudayaan pun memiliki sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi serta hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol tersebut dapat dilakukan (Nindatu, 2018). Liliweri (2002) menyatakan bahwa kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok individu dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar, semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Salah satu bentuk budaya turun-temurun yang tetap dilestarikan sampai saat ini yakni tradisi. Tradisi adalah suatu aktivitas turun-temurun dari para leluhur yang biasanya dilaksanakan oleh warga masyarakat dengan melakukan semacam ritual, sebagaimana dikutip dari Kendah (2017).

Tepat pada awal tahun 2020 wabah global coronaviruses mulai masuk ke Indonesia dengan menjalar lintas benua. Coronaviruses merupakan sebuah virus yang berasal dari kota Hubei, Wuhan, Tiongkok, sebagaimana dikutip dari World Health Organization (2020). Wabah ini sudah membunuh jutaan jiwa masyarakat Indonesia yang terinfeksi dan ditetapkan sebagai pandemi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh pemerintah di tahun 2021 jumlah kasus covid-19 mencapai 3.409.658, angka ini diakumulasikan sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020, sebagaimana dikutip dari Sari (2021). Dalam menekan laju penularan Covid-19, pemerintah menghimbau masyarakat untuk menerapkan physical distancing. Himbauan ini diperkuat oleh gugus tugas penanganan covid-19, bahwa setiap individu diminta untuk selalu menjaga kebersihan, mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak aman 1-2 meter dengan individu lainnya. Pernyataan ini dikutip dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2021).

Munculnya pandemi covid-19 menimbulkan dampak pada berbagai sektor kehidupan, salah satunya pada sektor kebudayaan. Dengan himbauan yang diberlakukan oleh pemerintah mengenai physical distancing ini sangat berpengaruh terhadap hampir seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia. Perubahan tatanan kehidupan setiap individu dalam membatasi aktivitas di luar rumah membuat banyak tradisi budaya di Indonesia tidak dapat dilaksanakan. Adapun tradisi-tradisi yang tidak dilakukan selama masa pandemi ini, seperti (1) Tradisi Bakar Batu di lembah Baliem (2) Tradisi Abdau di Desa Tulehu (3) Grebeg Maulud di Keraton Yogyakarta, sebagaimana dikutip dari Kompas.com (2021). Ketiga tradisi ini mengalah untuk tidak dilaksanakan karena mengikuti aturan yang telah diterapkan oleh pemerintah guna untuk menekan laju penularan covid-19. Namun, masih terdapat tradisi budaya yang tetap dilaksanakan walaupun di masa pandemi saat ini, salah satunya tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung, Desa Kedungreja, Kab. Cilacap, Jawa Tengah.

Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan dengan Bapak Wasito, tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung merupakan tradisi turun temurun adat Jawa yang sudah dilakukan oleh masyarakat setempat dari zaman nenek moyang terdahulu. Tradisi ini melambangkan wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah diberikan nikmat dan rezeki melimpah berupa hasil bumi. Sedekah Bumi dilaksanakan sekali dalam setahun pada bulan Suro (sebutan bulan Muharram dalam bahasa Jawa) tepatnya di tanggal 1 Muharram atau hari-hari keramat dalam hitungan kalender Jawa, seperti jum�at kliwon, selasa kliwon, dan senin kliwon. Prosesi sedekah bumi diawali dengan mengumpulkan makanan yang telah dibawa oleh setiap warga Dusun Kedung Bakung. Masing-masing warga membawa jenis makanan berbeda sesuai dengan pembagian jatah yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, warga juga menyiapkan suguhan yang diperlukan untuk sesajen sebagai persembahan dalam tradisi sedekah bumi. Suguhan tersebut terdiri dari 21 macam suguhan yang berupa makanan dan benda khusus didalamnya. Sesajen menjadi hal utama dalam tradisi ini yang nantinya akan ditaruh pada makam keramat sesuai dengan kesepakatan bersama. Sehabis ibadah sholat magrib, makanan yang telah terkumpul di doakan terlebih dahulu sebelum dimakan bersama oleh warga setempat. Kemudian, acara dilanjutkan dengan mengirim doa kepada leluhur melalui tahlilan. Dalam prosesinya tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung melibatkan warga satu dusun yang terdiri dari beberapa Rukun Tetangga didalamnya.

Sejatinya, sedekah bumi merupakan tradisi turun temurun yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku Jawa dari zaman nenek moyang sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang telah diberikan. Menurut Wibowo et al sebagaimana dikutip dari Slamet et al (2015) Sedekah bumi adalah suatu bentuk dari kearifan lokal yang berbentuk upacara adat atau tradisi sebagai wujud komunikasi antara manusia dengan alam semesta. Tradisi sedekah bumi mempunyai makna vertikal dan horizontal bagi masyarakat Jawa ini ternyata masih cukup kuat berakar dilaksanakan secara konsisten oleh sebagian besar masyarakat Jawa Zabda et al (2007). Bagi masyarakat suku jawa, tradisi ini sudah menjadi sebuah rutinitas yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Hal ini diperkuat dalam penelitian Novianti (2012) menuliskan bahwa tradisi sedekah bumi dilaksanakan dalam rentang waktu satu tahun sekali, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga keselarasan hubungan antara manusia dengan leluhurnya ataupun dengan alam.

Terdapat sejumlah penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai sedekah bumi di berbagai daerah berbeda di Indonesia. Penelitian pertama dilakukan oleh Wahyu (2016) menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan tradisi Sedekah Bumi Lengenanan jatuh pada bulan Legena atau Dzulkaidah dalam kalender hijriah. Tradisi ini dilaksanakan satu kali dalam setahun. Kemudian, makna simbolik yang tertuang dalam tradisi Sedekah Bumi Lengenanan yaitu berupa wujud rasa syukur kepada Allah SWT dan memohon agar diberikan hal-hal baik untuk masyarakat Desa Kalirejo, mulai dari keselamatan, rezeki melimpah, tolak bala dan lain-lain.

Kemudian, penelitian kedua ditulis oleh Kiftiyah et al (2020) menyatakan bahwa tradisi Sedekah Bumi di Desa Tegalarum sudah dilaksanakan secara turun-temurun dari zaman nenek moyang terdahulu sehingga warga setempat hanya meneruskan tradisi yang sudah ada. Pelaksanaan sedekah bumi pada zaman dahulu hanya berupa selamatan dan menonton pertunjukan wayang, namun saat ini bertambah dengan adanya arak-arakan gunungan dari hasil panen masyarakat setempat.

Adapun, penelitian ketiga yang dilakukan oleh Syam (2016) menunjukkan bahwa komunikasi verbal yang dilakukan oleh Masyarakat Nelayan yakni menggunakan bahasa lisan serta komunikasi verbal dalam pesta laut nandran yaitu berupa doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT. Sedangkan, komunikasi nonverbal yang dilakukan masyarakat nelayan melalui simbol-simbol yang terdiri dari membuang kepala kerbau, saling memperebutkan makanan dan minuman serta saling menyiram replika perahu berisi sesajen.

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan, kebaruan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat dari perpaduan teori dan konsep yang digunakan yaitu teori interaksionisme simbolik dengan konsep komunikasi ritual, komunikasi verbal dan non verbal. Pada penelitian Kiftiyah et al (2020), mereka tidak menggunakan teori interaksionisme simbolik, namun lebih menekankan pada kajian indigenous psikologi dalam melihat perilaku masyarakat desa Tegalarum Mranggen, Demak. Penelitian selanjutnya oleh Wahyu (2016) memiliki objek penelitian yang sama yakni Sedekah Bumi. Namun, penelitian Wahyu menggunakan teori simbolisme dari Dan Sperber serta konsep upacara keagamaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Hal ini menunjukkan bahwa teori dan konsep tersebut berbeda dengan penelitian yang saya lakukan. Sejauh ini, penelitian yang menggunkan teori interaksionisme simbolik dengan konsep verbal dan non verbal yaitu penelitian oleh Syam (2016) yang meneliti perilaku komunikasi ritual masyarakat nelayan pada tradisi pesta laut. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan menawarkan perpaduan teori intraksionisme simbolik dengan konsep komunikasi ritual, komunikasi verbal dan nonverbal dalam melihat bagaimana komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan masyarakat Dusun Kedung bakung pada tradisi Sedekah Bumi berdasarkan teori interaksi simbolik? Ritual ini pun menjadi salah satu ritual yang tetap dilaksanakan pada saat pandemi Covid-19.

Komunikasi ritual dalam tradisi sedekah bumi dapat dilihat dari prosesi mendoakan makanan, menaruh sesaji/sesajen makam keramat, dan mengirim doa melalui tahlilan. Senft & Basso (2009) mendefinisikan komunikasi ritual sebagai tindakan atau usaha untuk melibatkan pengetahuan tentang budaya lokal dalam interaksi manusia. Dalam proses komunikasi ritual selalu memunculkan pemaknaan dari lambang-lambang tertentu yang menandakan terjadinya proses komunikasi ritual, pernyataan ini dikutip dari Susanti (2015). James W Carey dalam karyanya yang berjudul Communication as Culture: Essays on Media and Society menjelaskan bahwa ritual dalam perspektif komunikasi sangat erat kaitannya dengan kegiatan berbagi, partisipasi, asosiasi, persekutuan, dan kepemilikan keyakinan yang sama. Adanya, kepemilikan keyakinan yang sama membuat setiap individu yang berpartisipasi dalam proses komunikasi ritual akan memiliki rasa tanggungjawab dan kepedulian yang tinggi terhadap keluarga, masyarakat, suku, ideologi bahkan agama yang dianutnya.

Penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik. Teori interaksi simbolik digunakan untuk mengkaji makna-makna yang terdapat di dalam tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung berdasarkan dengan simbol-simbol yang ada. Adler & Rodman (2006) mengemukakan bahwa tanpa adanya makna yang sama maka komunikasi akan sulit untuk berlangsung dengan baik. Peneliti melihat bahwa dalam tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung terdapat simbol atau lambang yang memiliki makna dalam proses interaksi antar manusia dengan tuhan, leluhur, dan sesama individu lainnya. Dalam teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi yang dilakukan oleh manusia menggunakan simbol-simbol tertentu. Karim et al (2020) menjelaskan bahwa manusia berkomunikasi menggunakan simbol-simbol untuk dapat merepresentasikan apa yang mereka maksudkan.

 

Metode Penelitian

Pada penelitian ini menggunakan paradigma interpretif untuk melihat fenomena dari komunikasi verbal dan nonverbal pada komunikasi ritual masyarakat setempat dalam tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung. Paradigma interpretatif berangkat dari upaya untuk mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti. Neuman (2000) mendefinisikan paradigma interpretatif sebagai sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail dengan langsung mengobservasi. Kemudian, peneliti memilih menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan dan menginterpretasikan komunikasi verbal dan nonverbal pada komunikasi ritual masyarakat setempat dalam tradisi Sedekah Bumi. Hal ini diteliti di dalam masyarakat Dusun Kedung Bakung yang datanya peneliti dapatkan dari kata-kata hasil wawancara bersama informan penelitian.

Peneliti menggunakan metode wawancara dalam memperoleh data-data yang dibutuhkan. Wawancara dilakukan secara termediasi dengan berdialog serta tanya jawab bersama beberapa informan yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan secara tatap muka pada hari Senin, 10 Januari 2022 di Dusun Kedung Bakung. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sugiyono (2012) menjelaskan bahwa pertimbangan tertentu ini, seperti informan tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti. Kriteria informan yang dipilih oleh peneliti adalah tokoh adat masyarakat, panitia penyelenggara Tradisi Sedekah Bumi dan peserta Tradisi Sedekah Bumi.

 

Table 1

Informan Penelitian

No

Nama

Keterangan

1

Suhedin

Tokoh Adat Masyarakat

2

Wasito

Panitia Pelaksana Tradisi Sedekah Bumi

3

Sugiyanto

Panitia Pelaksana Tradisi Sedekah Bumi

4

Ade Setiawan

Peserta Tradisi Sedekah Bumi

 

Hasil dan Pembahasan

 

�

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Sumber: olahan peneliti (2022)

 

Proses Komunikasi Ritual Sedekah Bumi

Komunikasi ritual sebagai tindakan atau usaha untuk melibatkan pengetahuan tentang budaya lokal dalam interaksi manusia diyakini masih ada hingga saat ini. Salah satu bentuk dari komunikasi ritual yaitu pada perayaan tradisi sedekah bumi yang dilaksanakan oleh masyarakat Dusun Kedung Bakung, Desa Kedungreja, Kabupaten Cilacap. Tradisi Sedekah Bumi ini mulai dilaksanakan pada tahun 1950 di zaman pemerintahan Sastro selaku Kepala Desa Kedungreja dan Suparta selaku Kepala Dusun Kedung Bakung. Sedekah Bumi merupakan sebuah tradisi turun temurun yang masih dilestarikan oleh masyarakat Dusun Kedung Bakung dari zaman nenek moyang sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang telah diberikan dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penangkal hal-hal yang tidak diinginkan.

Masyarakat Dusun Kedung Bakung tetap mempertahankan tradisi Sedekah Bumi hingga saat ini dengan berlandaskan kepercayaan adat Jawa yang mereka pegang secara teguh, hal ini memunculkan pandangan dari masyarakat luar terhadap Tradisi Sedekah Bumi. Wasito selaku panitia pelaksana menuturkan bahwa:

�Orang di Dusun sebelah bilang ke Mamang kalau beliau kagum melihat masyarakat Dusun Kedung Bakung masih menjaga tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh leluhur terdahulu, padahal kan zaman sudah modern� (kutipan wawancara dengan Wasito).

Sehubung dengan pendapat diatas, Wasito menegaskan bahwa masyarakat Kedung Bakung merasa memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tradisi ini dikarenakan sedekah bumi merupakan salah satu budaya adat Jawa yang sudah dilakukan turun-temurun dari zaman dahulu. Maka dari itu, masyarakat setempat bertanggung jawab untuk menjaga dan mempertahankan budaya yang mereka miliki agar tidak hilang tergerus oleh zaman. Sedekah Bumi dilaksanakan sekali dalam setahun pada bulan Suro (sebutan bulan Muharram dalam bahasa Jawa) tepatnya di tanggal 1 Muharram atau hari-hari keramat dalam hitungan kalender Jawa, seperti jum�at kliwon, selasa kliwon, dan senin kliwon.

Prosesi sedekah bumi diawali dengan mengumpulkan makanan yang telah dibawa oleh setiap warga Dusun Kedung Bakung. Masing-masing warga membawa jenis makanan berbeda sesuai dengan pembagian jatah yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, warga juga menyiapkan suguhan yang diperlukan untuk sesajen sebagai persembahan kepada leluhur dalam tradisi sedekah bumi. Sesajen tersebut terdiri dari 21 macam suguhan yang berupa makanan dan benda khusus didalamnya. Sesajen menjadi hal utama dalam tradisi ini yang nantinya akan ditaruh pada makam keramat sesuai dengan kesepakatan bersama. Sehabis ibadah sholat maghrib, makanan yang telah terkumpul di doakan terlebih dahulu sebelum dimakan bersama oleh warga setempat. Kemudian, acara dilanjutkan dengan mengirim doa kepada leluhur melalui tahlilan. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, Suhedin selaku tokoh adat masyarakat menuturkan perihal rangkaian acara dari perayaan tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung sebagai berikut:

�Tradisi Sedekah Bumi dilakukan setelah ba�da maghrib dirumah salah satu masyarakat setempat. Prosesinya itu diawali dengan sambutan dari Kepala Dusun, tokoh adat masyarakat, dan panitia pelaksana. Kemudian, dilanjutkan dengan Kabul doa oleh sesepuh. Maksudnya, Kabul doa oleh sesepuh adalah mengaminkan doa yang telah dipanjatkan bersama Kiayi sebelumnya. Setelah itu, acara ditutup dengan melakukan tahlilan bersama yang ditujukan kepada leluhur terdahulu� (Kutipan wawancara dengan Suhedin).

Adapun, beberapa perubahan yang terjadi selama masa pandemi saat ini dalam perayaan Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung. Pertama, terdapat pembatasan partisipan dikarenakan mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah terkait larangan adanya kerumunan dalam setiap aktivitas. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengurangan partisipan yang ikut serta dalam melaksanakan tradisi Sedekah Bumi. Kedua, masyarakat tidak melakukan makan bersama di tempat acara terlaksana seperti dahulu, melainkan makanan yang telah didoakan dibawa pulang ke rumah masing-masing untuk mencegah terjadinya kerumunanPelaksanaan tradisi sedekah bumi di masa pandemi ini menerapkan protokol kesehatan yang ketat dengan memakai masker, menjaga jarak aman dan menghindari kerumunan yang ada. Seperti halnya diungkapkan Sugiyanto, selaku panitia pelaksana menegaskan terkait pelaksanaan Sedekah Bumi di tengah Covid-19:

�Di masa pandemi saat ini tradisi sedekah bumi tetap dijalankan, namun ada pembatasan partisipan yang biasanya bisa mencapai 100 orang lebih kalau sekarang ya paling setengahnya karena kita juga kan mengikuti aturan pemerintah, yang diutamakan untuk mengikuti tradisi ini ya yang pasti itu sesepuh, kiayi, dan perwakilan dari setiap RT. Pada pelaksanaannya pun diwajibkan memakai masker dan tidak dilakukan makan bersama ditempat, jadi makanan dibawa pulang kerumah masing-masing. Bagi masyarakat yang tidak bisa hadir ditempat pelaksanaan, maka makanan tersebut akan diantar kerumahnya oleh panitia� (kutipan wawancara dengan Sugiyanto).

Makna Komponen Tradisi Sedekah Bumi

Pada pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung, masyarakat menyiapkan beberapa komponen yang diperlukan dalam prosesi acara Sedekah Bumi yaitu suguhan yang akan dimakan bersama-sama dan suguhan yang dipersembahkan untuk leluhur terdahulu. Berikut jenis - jenis suguhan pada tradisi Sedekah Bumi, sebagai berikut:

Suguhan yang disajikan untuk dimakan bersama-sama antara lain tumpeng kuat, tumpeng isi dan ingkung (sebutan untuk ayam utuh yang dihidangkan dalam bahasa jawa). Setiap jenis makanan di atas memiliki makna atau arti yang berbeda, seperti: Pertama, tumpeng kuat memiliki arti sebagai bentuk perlindungan dan kekuatan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada masyarakat Dusun Kedung Bakung. Kedua, tumbeng isi melambangkan simbol hasil bumi yang berada di darat seperti umbi-umbian. Ketiga, Ingkung (ayam utuh yang dihidangkan) memiliki arti sebagai ketakwaan masyarakat Dusun Kedung Bakung kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Suguhan untuk leluhur antara lain bubur putih, bubur merah, nasi kepok, telur, kelapa muda hijau, air putih, kopi, air teh, rucuan (air manis yang berisi pisang rajab atau ambon), bunga tujuh rupa, nasi putih lima kepal, sayur mayur, ketupat selamet dan ketupat kepel. Setiap jenis suguhan diatas memiliki makna yang berbeda seperti: Pertama bubur putih serta bubur merah melambangkan keyakinan adanya Adam dan Hawa sebagai manusia. Putih berarti laki-laki dan merah perempuan. Kedua, nasi kepok dan telur memiliki arti sebagai bentuk sebuah keyakinan bahwa adanya manusia di muka bumi ini. Ketiga, kelapa muda hijau melambangkan seluruh bagian tubuh manusia. Keempat, Air putih, kopi, air teh, rucuan melambangakan sifat-sifat dari manusia yang didalamnya terdapat aliran hitam, merah, dan putih. Kelima, Bunga tujuh rupa memiliki arti sebagai bentuk kasih sayang Tuhan Yang Maha Esa dan pribadi diri yang harum seperti bunga. Keenam, nasi putih lima kepal ditambah sayur mayur melambangkan panca indera manusia yang terdiri dari indera penglihat, pendengar, peraba, pencium, dan pengecap. Ketujuh, ketupat selamet dan ketupat kepel memiliki arti sebagai bentuk dari rasa bersatu dan kokoh masyarakat Dusun Kedung Bakung.

Komunikasi verbal masyarakat Kedung Bakung pada Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung

Pada tahap ini peneliti melihat bahwa komunikasi verbal yang terjalin pada masyarakat Dusun Kedung Bakung dalam Tradisi Sedekah Bumi yaitu menggunakan bahasa lisan. Masyarakat setempat memilih bahasa Jawa dan Indonesia sebagai bahasa yang dipakai dalam prosesi perayaan Tradisi Sedekah Bumi. Hal ini dilakukan guna menciptakan pemaknaan yang sama oleh setiap individu dan meminimalisir pergeresan makna yang mungkin akan terjadi dikarenakan perbedaan latar belakang budaya yang ada. Komunikasi verbal yang terjadi dapat dilihat dari proses perencanaan dan pelaksanaan tradisi ini. Pada proses perencanaan masyarakat Dusun Kedung Bakung melakukan musyawarah bersama untuk menentukan hari dan tempat pelaksanaan serta kebutuhan-kebutuhan yang harus disiapkan dalam perayaan tradisi Sedekah Bumi. Sugiyanto selaku panitia pelaksana menuturkan bahwa:

�Jauh-jauh hari sebelum bulan Sura tuh kita ngadain musyawarah dulu. Musyawarah biasanya dilakukan dirumah masyarakat setempat sesuai dengan keputusan bersama. Nah, hal yang dimusyawarahkan itu terkait tanggal, tempat, dan keperluan apa saja yang harus disiapkan dalam perayaan Sedekah Bumi. Saat itu juga kita ngebentuk panitia pelaksanaan untuk mengatur segala urusan terkait perayaan Sedekah Bumi agar berjalan dengan lancar� (kutipan wawancara dengan Sugiyanto).

Setelah terbentuknya panitia, maka divisi humas menyebarkan informasi seputar pelaksanaan Sedekah Bumi kepada seluruh masyarakat Dusun Kedung Bakung melalui mulut ke mulut. Pada hari pelaksanaan acara setiap warga membawa jenis makanan yang berbeda sesuai dengan kesepakatan bersama yang sebelumnya telah dibicarakan. Komunikasi verbal juga diperlihatkan pada saat Kiayi mendoakan suguhan yang telah terkumpul sebelum dimakan bersama dan diaminkan oleh sesepuh setempat. Hal ini biasa disebut oleh masyarakat Kedung Bakung sebagai prosesi kabul doa. Kemudian, acara ditutup dengan mengirim doa kepada leluhur terdahulu melalui tahlilan.

Pada prosesi perayaan Sedekah Bumi tidak ada syarat dan ketentuan khusus untuk bisa berpartisipasi didalamnya, semua individu boleh terlibat dalam memeriahkan acara ini serta tidak mewajibkan seluruh masyarakat untuk percaya akan tradisi ini. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Ade Setiawan selaku peserta tradisi Sedekah Bumi, ia menyatakan bahwa:

�Pada pelaksanaan Sedekah Bumi di sini sama sekali tidak memaksa siapapun untuk ikut serta didalamnya, jadi bagi orang yang percaya pasti ikut berpartisipasi, begitupun sebaliknya bagi orang yang tidak percaya ya tidak dipaksa untuk ikut serta dalam perayaan Sedekah Bumi dan selama saya mengikuti tradisi ini tidak terdapat persyaratan khusus untuk bisa ikut merayakannya� (kutipan wwawancara dengan Ade Setiawan).

Komunikasi nonverbal masyarakat Kedung Bakung pada Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung

Pada tahap ini peneliti melihat bahwa komunikasi yang terjalin pada masyarakat Dusun Kedung Bakung dalam Tradisi Sedekah Bumi tidak hanya berupa komunikasi verbal saja, melainkan terjadi komunikasi nonverbal juga di dalamnya. Komunikasi nonverbal diperlihatkan oleh masyarakat setempat pada saat menyajikan suguhan yang nantinya akan dimakan bersama dalam perayaan Sedekah Bumi. Suguhan tersebut berupa tumpeng kuat, tumpeng isi dan ingkung (sebutan untuk ayam utuh yang dihidangkan dalam Bahasa Jawa). Sugiyanto selaku panitia pelaksana menjelaskan bahwa:

�Setiap orang membawa makanan sesuai dengan pembagian jatah yang telah disepakati sebelumnya, makanan tersebut nantinya akan dikumpulkan terlebih dahulu sebelum didoakan� (kutipan wawancara dengan Sugiyanto).

Selain itu, adapula suguhan khusus yang dipersiapkan sebagai bentuk persembahan terhadap leluhur terdahulu atau sering disebut juga sebagai sesajen. Suguhan tersebut berisi bubur merah, nasi kepok, telur, kelapa muda hijau, air putih, kopi, air teh, rucuan (air manis yang berisi pisang rajab atau ambon), bunga tujuh rupa, nasi putih lima kepal, sayur mayur, ketupat selamet dan ketupat kepel. Sesajen tersebut nantinya akan diletakkan pada salah satu makam keramat sesuai dengan keputusan bersama, hal ini dilakukan dengan mengikuti adat dari leluhur dan naluri keyakinan yang ada serta masyarakat setempat percaya sesajen dapat menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan leluhur terdahulu. Setiap jenis suguhan memiliki arti dan makna tersendiri yang diyakini oleh masyarakat Dusun Kedung Bakung, baik itu suguhan yang akan dimakan bersama ataupun persembahan untuk leluhur. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Suhedin selaku tokoh adat masyarakat setempat, beliau menyatakan bahwa:

�Masing-masing jenis suguhan memiliki arti tersendiri yang kami yakini dengan mengikuti adat dari leluhur dan naluri keyakinan yang ada serta masyarakat Kedung Bakung percaya bahwa sesajen dapat menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan leluhur terdahulu dan sebagai media untuk menolak bala� (kutipan wawancara dengan Suhedin).

 

Pembahasan

Sesuai dengan pemikiran George Herbert Mead terkait konsep interaksi simbolik, pembentukan makna atas simbol-simbol berupa komunikasi verbal dan nonverbal pada komunikasi ritual masyarakat Kedung Bakung dalam Tradisi Sedekah Bumi terdapat pada konsep self, mind, dan society.� Mead dalam West & Turner (2008), menggemukakan mengenai konsep diri (self) setiap individu dipengaruhi oleh particular others dan generalized other. Particular other (orang lain secara khusus) mengacu pada individu dalam masyarakat yang signifikan, seperti anggota keluarga, teman, rekan kerja, dan pengawas. Sementara, generalized other (orang lain secara umum) merujuk pada sudut pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya secara keseluruhan yang terbentuk melalui interaksi sosial. Mead juga menyebut dalam konsep self, seseorang dapat melihat cermin diri sendiri (looking-glass self) atau dapat diartikan sebagai kemampuan memandang diri sendiri dalam perspektif orang lain. Pernyataan tersebut sesuai dengan konsep diri (self) pada masyarakat Dusun Kedung Bakung dalam menilai sudut pandang ataupun pendapat orang lain terhadap Tradisi Sedekah Bumi.

Adanya kesan toleransi yang tinggi antar sesama individu ketika menggabungkan bahasa Jawa dan Indonesia dalam pelaksanaan Sedekah Bumi, memperkuat nilai-nilai positif yang tersirat di dalam tradisi ini terhadap masyarakat setempat. Adapun, munculnya sudut pandang dari masyarakat luar terhadap tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung yang menyatakan rasa kagum karena masyarakat Kedung Bakung masih menjaga budaya nenek moyang hingga saat ini sehingga tidak tergerus oleh zaman. Sudut pandang tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat setempat dengan berpegang teguh kepada tanggung jawab yang ada untuk terus mempertahankan dan mewariskan budaya ini kepada generasi-generasi selanjutnya.

Tujuan yang serupa juga dilakukan oleh masyarakat di Manggarai Timur dalam melakukan ritual Mbasa Wini. Walaupun ritual tersebut menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda dengan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat setempat, namun memiliki tujuan yang mulia. Perbedaan bahasa yang digunakan ritual Mbasa Wini diantaranya terdapat pada pemilihan kata yang digunakan, ciri puitik dan penggunaan paralelisme (Sumitri dan Arka 2019). Penggunaan bahasa yang berbeda ini dilakukan oleh masyarakat setempat lebih diakibatkan oleh tiga hal, yaitu adanya kekuasaan, pewarisan dan kepunahan bahasa.

Adapun, penelitian Syam (2016) menunjukkan bahwa komunikasi verbal yang dilakukan oleh Masyarakat Nelayan adalah bahasa lisan serta komunikasi verbal dalam pesta laut Nandran berupa doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dikatakan bahwa komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat nelayan sama dengan masyarakat Kedung Bakung, dalam hal penggunaan bahasa lisan serta adanya doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Mead menyatakan dalam buku berjudul Introducing Communication Theory bahwa salah satu kegiatan paling penting yang masing-masing individu capai melalui sebuah pemikiran (mind) adalah pengambilan peran (role taking) atau dapat diartikan juga sebagai kemampuan simbolis dalam menempatkan diri sendiri dalam pemikiran orang lain. Pengambilan peran bagi masyarakat Kedung Bakung dapat terjalin melalui perspektif dari setiap individu yang terlibat. Sebagaimana dapat dilihat pada komunikasi ritual masyarakat Kedung Bakung dalam menggunkan simbol-simbol ketika berinteraksi pada saat prosesi Sedekah Bumi, sehingga membentuk makna yang sama. Penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat Kedung Bakung dalam prosesi Sedekah Bumi memperlihatkan bahwa adanya komunikasi verbal yang diterjalin yaitu berupa bahasa daerah. Namun, tidak hanya bahasa Jawa yang digunakan melainkan bahasa Indonesia pun turut dipakai ketika berkomunikasi didalamnya. Hal ini dilakukan untuk menciptakan pemaknaan yang sama oleh setiap individu agar tidak terjadi pergeseran makna yang dikarenakan oleh perbedaan latar belakang budaya. Sesuai dengan pernyataan yang dikemukakkan oleh Maghfira & Mahadian (2018) bahwa interaksi menggunakan sebuah bahasa dapat menciptakan simbol-simbol berupa verbal dan nonverbal, hal ini disusun kedalam pola-pola untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan yang dimiliki bersama.

Masyarakat setempat juga memperlihatkan sifat-sifat kekeluargaan dalam mendapatkan tujuan yang sama. Hal tersebut didapati pada saat menyajikan suguhan-suguhan dalam pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi. Suguhan tersebut terdiri dari suguhan yang akan dimakan bersama dan suguhan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur atau biasa disebut dengan sesajen. Mereka meyakini bahwa jika memakan suguhan ini akan membawa keberkahan bagi masyarakat Kedung Bakung serta sesajen yang disiapkan dapat menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan leluhur yang sudah tiada. Perilaku simbolik tersebut menunjukkan bahwa telah terjadinya komunikasi nonverbal oleh masyarakat Kedung Bakung dalam Tradisi Sedekah Bumi. Simbol nonverbal ini sudah dipercayai secara turun-temurun dari zaman nenek moyang terdahulu.

Mead dalam Littlejohn & Foss (2009) menjelaskan mengenai konsep society merupakan sebuah hubungan sosial yang diciptakan, dikonstruksikan, dibangun oleh masing-masing individu di tengah masyarakat serta setiap individu tersebut terlibat di dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, sehingga membentuk proses pengambilan peran di tengah masyarakat. Pernyataan yang dituturkan Mead, sesuai dengan proses pengambilan peran oleh Masyarakat Kedung Bakung dalam membangun hubungan melalui komunikasi ritual pada Tradisi Sedekah Bumi. Adanya tradisi ini memperkuat kerukunan dan sifat gotong royong antar sesama individu melalui interaksi yang terjadi. Interaksi terbangun dari proses perencanaan dan pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi. Hal tersebut dapat dilihat pada saat penyelenggaraan musyawarah bersama hingga kerjasama masyarakat setempat dalam mempersiapkan seluruh keperluan yang dibutuhkan pada Tradisi Sedekah Bumi secara bahu membahu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wahyu (2016) menunjukkan bahwa tradisi Sedekah Bumi Legenanan dilaksanakan sekali dalam setahun yaitu pada bulan Legena atau Dzulkaidah dalam kalender hijriah. Kemudian, makna simbolik yang tertuang dalam tradisi ini yaitu berupa rasa syukur kepada Allah SWT dan memohon agar diberikan hal-hal baik untuk masyarakat Desa Kalirejo, mulai dari keselamatan, rezeki melimpah, tolak bala dan lain-lain. Sesuai dengan hasil temuan pada penelitian Wahyu, dapat dikatakan terdapat perbedaan waktu pelaksanaan antara sedekah bumi di Legenanan dengan sedekah bumi di Kedung Bakung. Pada Dusun Kedung Bakung Tradisi Sedekah Bumi diselenggarakan sekali dalam satu tahun pada bulan Muharram. Namun, makna simbolik yang tertuang yaitu rasa syukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa kesehatan, rezeki yang melimpah, dan perlindungan untuk masyarakat Dusun Kedung Bakung ini memiliki makna simbolik yang sama dengan hasil temuan pada penelitian Wahyu.

Komunikasi nonverbal yang dilakukan masyarakat nelayan yaitu melalui simbol-simbol berupa membuang kepala kerbau, saling memperebutkan makanan dan minuman serta saling menyiram replika perahu yang berisi sesajen (Syam 2016). Sedangkan, dalam tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung tidak ada prosesi membuang kepala kerbau dan menyiram replika perahu. Maka dari itu, prosesi yang ada berupa menyajikan suguhan untuk dimakan bersama dan suguhan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur terdahulu.

Simbol non verbal juga terdapat pada ritual Meron yang dilakukan masyarakat Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa tengah. Simbol-simbol tersebut yaitu ancak bertingkat, lambang masjid, ayam jago atau ingkung dan rengginang atau kerupuk ampyang (Rahmawati et al 2019). Simbol-simbol non verbal yang terdapat pada ritual Meron berkaitan dengan nilai-nilai agama Islam, hal ini selaras dengan tujuan diadakannya ritual yakni untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad S.A.W. (Atabik 2020). Ingkung yang biasa ditemukan dalam tradisi Jawa, juga terdapat pada ritual Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung. Bedanya, jika ingkung dalam ritual Meron merupakan lambang cinta kasih dan pengorbanan (Rahmawati et al 2019; Atabik 2020), sedangkan pada ritual Sedekah Bumi, ingkung merupakan lambang ketakwaan masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Perayaan Tradisi Sedekah Bumi sejatinya mengandung makna simbolik di dalam setiap rangkaian acaranya yaitu berupa komunikasi verbal dan nonverbal berdasarkan hasil kesepakatan bersama masyarakat Kedung Bakung. Hal ini selaras dengan pernyataan dari Fatonah (2018) bahwa interaksi simbolik dapat memahami individu berdasarkan pandangan subjek itu sendiri. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa subjeklah yang menentukan kondisi serta lingkungan mereka berdasarkan simbol-simbol yang dimilikinya dan mereka sendirilah yang menjelaskan serta menentukan perilaku bukan orang lain diluarnya.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung merupakan sebuah tradisi turun-temurun yang telah diwariskan oleh nenek moyang terdahulu dari generasi ke generasi sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang telah diberikan serta diyakini oleh masyarakat setempat sebagai penangkal hal-hal yang tidak diinginkan. Sedekah Bumi diselenggarakan sekali dalam setahun pada bulan Suro (sebutan bulan Muharram dalam bahasa Jawa) tepatnya di tanggal 1 Muharram atau hari-hari keramat dalam hitungan kalender Jawa, seperti Jum�at Kliwon, Selasa Kliwon, dan Senin Kliwon. Prosesi Sedekah Bumi terdiri dari empat rangkaian acara yaitu pertama, sambutan dari pihak - pihak terkait; kedua, kabul doa oleh sesepuh; ketiga, makan bersama; dan keempat, diakhiri dengan tahlilan. Dalam Tradisi ini terdapat komponen-komponen yang harus disiapkan oleh masyarakat setempat, seperti suguhan untuk dimakan bersama dan suguhan sebagai wujud persembahan terhadap leluhur. Setiap komponen suguhan tersebut memiliki arti dan makna tersendiri yang diyakini oleh masyarakat setempat.

Kemudian, komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat Dusun Kedung Bakung pada Tradisi Sedekah Bumi yaitu menggunakan bahasa lisan. Bahasa yang dipilih oleh masyarakat setempat yakni bahasa Jawa dan Indonesia. Hal ini dilakukan guna menghasilkan pemaknaan yang sama antar setiap individu dan meminimalisir terjadinya pergeseran makna akibat dari perbedaan latar belakang budaya yang ada. Selain itu, komunikasi verbal lainnya dapat dilihat pada saat masyarakat setempat memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa selama berlangsungnya acara.

Sementara, komunikasi nonverbal yang terjadi pada masyarakat Kedung Bakung yaitu melalui interkasi dengan menggunakan simbol atau isyarat tertentu yang dipercayai oleh masyarakat setempat dari zaman nenek moyang terdahulu. Simbol-simbol tersebut berupa menghidangkan suguhan yang akan dimakan bersama dan suguhan khusus atau sesajen sebagai bentuk persembahan terhadap leluhur terdahulu. Sesajen ini nantinya akan ditaruh pada makam keramat sesuai dengan kesempakatan bersama.

Sejatinya komunikasi ritual merupakan kegiatan yang dapat mengeratkan kekerabatan diantara masyarakat dalam suatu budaya. Komunikasi ritual juga dilakukan untuk meneransfer nilai-nilai budaya, serta simbol-simbol berupa bahasa verbal dan non verbal agar tidak luntur oleh perubahan zaman. Sudah selayaknya pemerintah daerah ikut serta dalam melestarikan ritual budaya dan mengajak masyarakatnya, terutama kaum muda, untuk terus mempraktikannya dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang terjadi saat ini.

 

 


 

�BIBLIOGRAFI

 

Adler, R. B., & Rodman, G. (2006). Understanding Human Communication (Edisi 9). New York: Oxford University Press.

 

Atabik, A. (2020). Interaksionisme simbolik ritual Meron di Indonesia dan relevansinya dalam Al Quran. Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 8(1): 1-24. DOI: 10.21043/fikrah.v8i1.7216

 

Fatonah, F. (2018). Pemaknaan Jimat Sebagai Simbol Religi Bagi Mahasiswa Jepang. Jurnal Komunikasi Global, 7(1), 53�67. https://doi.org/10.24815/jkg.v7i1.10500

 

Karim, A. A. (2020). Makna Upacara Adat Sedekah Bumi Di Kelurahan Made Kecamatan Sambikerep Surabaya. 37�38.

 

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2021, Febuari 01). 5 M Dimasa Pandemi Covid 19 Di Indonesia. Retrieved November 29, 2021, from Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: http://www.padk.kemkes.go.id/article/read/2021/02/01/46/5-m-dimasa-pandemi-covid-19-di-indonesia.html

 

Kendah. (2017). Aktivitas tradisi hajat bumi di desa wanakerta kabupaten subang tahun 2013-2015. Skripsi, 2017.

 

Kiftiyah, Lifiana, Pinihanti, S. (2020). Penanaman Rasa Syukur Melalui Tradisi Sedekah Bumi Di Desa Tegalarum, Demak : Kajian Indigenous Psikologi. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 22(1), 105. https://doi.org/10.26623/jdsb.v22i2.2909

 

KJRI FRANKFURT. (2016). Sekilas Tentang Indonesia. Retrieved November 29, 2021, from KJRI FRANKFURT: https://www.indonesia-frankfurt.de/pendidikan-budaya/sekilas-tentang-budaya-indonesia/

 

Kompas.com. (2021, Maret 02). Setahun Corona di Indonesia, Ini Sederet Tradisi yang Harus �Mengalah� terhadap Pandemi. Retrieved November 20, 2021, from Kompas.com: https://regional.kompas.com/read/2021/03/02/082059278/setahun-corona-di-indonesia-ini-sederet-tradisi-yang-harus-mengalah?page=all

 

Liliweri, A. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. Yogyakarta: PT Lukis Pelangi.

 

Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Teori Komunikasi. Salemba Humanika.

 

Maghfira, T. A., & Mahadian, A. B. (2018). Interaksi Simbolik Pengajar dan Siswa di Komunitas Matahari Kecil. Jurnal Komunikasi Global, 7(1), 87�104.

 

Manafe, Y. D. (2011). Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah. Jurnal Komunikasi, 287-298.

 

Mead, G. H. (1934). Mind, Self and Society. Chicago: University of Chicago Press.

 

Neuman, W. L. (2000). Social Research Methods : Qualitative and Quantitative, . Boston: Allyn and Bacon.

 

Nindatu, P. I. (2018). Sasadu Sebagai Simbol, Identitas Budaya dan Perekat Suku Sahu Di Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara. Ekspresi Dan Persepsi : Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(01), 1�16. https://doi.org/10.33822/jep.v1i01.437

 

Novianti, W. (2012). Makna Tradisi Sedekah Bumi Bagi Masyarakat Di Desa Lahar Pati. Jurnal Sosiologi, 2-16.

 

Nurudin. (2016). Ilmu Komunikasi Ilmiah dan Populer. Jakarta: Rajawali Pers.

 

Ronald, A. B., Rodman, G., & Pre, A. d. (2006). Understanding Human Communication. New York: Oxford University Press.

 

Sari, H. P. (2021, Juli 31). UPDATE: Tambah 37.284, Kasus Covid-19 di Indonesia Capai 3.409.658. Retrieved November 29, 2021, from Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2021/07/31/16354971/update-tambah-37284-kasus-covid-19-di-indonesia-capai-3409658

 

Senft, G., & Basso, B. F. (2009). Ritual Communication. New York: Berg.

 

Slamet, Ernawati, J., & Nugroho, A. M. (2015). Pemanfaatan ruang telaga pada tradisi sedekah bumi desa cerme kidul, kecamatan cerme, kabupaten gresik. 13(1), 47�55.

 

Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta.

 

Sumitri, NW., & Arka, IW. (2019). Kekuatan dan kekuasaan (dalam) bahasa dalam perspektif etnolinguistik: Dinamika tradisi ritual etnik Rongga di Manggarai Timur. Jurnal Mozaik Humaniora, Vol 19(2): 205-215. DOI: ��HYPERLINK "http://dx.doi.org/10.20473/mozaik.v19i2.12369" 10.20473/mozaik.v19i2.12369

 

Susanti, E. (2015). Komunikasi Ritual Tujuh Bulanan (Studi Etnografi Komunikasi Bagi Etnis Jawa Di Desa Pengarungan Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu Selatan). Jom FISIP, 2(2), 1�13.

 

Syam, T. (2016). Perilaku Komunikasi ritual Masyarakat Nelayan pada Tradisi Pesta Laut Nadran di Pelabuhan Karangantu. Skripsi.

 

Wahyu, R. (2016). Makna simbolik tradisi sedekah bumi legenanan pada masyarakat desa kalirejo kecamatan talun kabupaten pekalongan skripsi.

 

World Health Organization. (2020, Maret 11). WHO Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-19. Retrieved November 10, 2021, from World Health Organization: https://www.who.int/

 

Zabda, Syahrir, S., Setyadi, & Bambang, Y. (2007). Dan Dampaknya Bagi Masyarakat Percepcion and Participation in the Tradition of Masked Puppet Performance in Sedekah Bumi Ritual At Soneyan Village and Its Effect on the Society. 8(2), 110�121.

 

Copyright holder:

Anggita Putri Permatasari, Aprilianti Pratiwi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: