Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022
KOMUNIKASI RITUAL PADA TRADISI SEDEKAH
BUMI DUSUN KEDUNG BAKUNG, CILACAP, JAWA TENGAH
Anggita Putri Permatasari,
Aprilianti Pratiwi
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas
Pancasila, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Banyaknya tradisi yang tidak dapat dilaksanakan selama masa pandemi saat ini, mengancam
eksistensi dari salah satu aspek budaya
lokal di Indonesia. Namun, Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung, Kecamatan Kedungreja, Kabupaten Cilacap masih tetap
dilakukan di tengah pandemi covid-19. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengindentifikasi komunikasi verbal dan nonverbal pada komunikasi
ritual masyarakat setempat dalam Tradisi Sedekah
Bumi berdasarkan Teori Interaksi Simbolik oleh Mead. Metode penelitian yang dipilih adalah metode kualitatif
dengan paradigma interpretatif serta dalam memperoleh data-data yang dibutuhkan peneliti melakukan wawancara bersama informan terpilih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi verbal yang digunakan masyarakat Kedung Bakung dalam tradisi
Sedekah Bumi yaitu secara lisan
dengan menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia. Sementara, komunikasi nonverbal masyarakat setempat pada tradisi Sedekah Bumi menggunakan simbol atau isyarat
tertentu. Simbol tersebut berupa menyajikan suguhan untuk dimakan bersama
dan suguhan khusus sebagai wujud persembahan
kepada leluhur terdahulu.
Kata Kunci: komunikasi
nonverbal, komunikasi ritual, komunikasi
verbal, teori interaksi simbolik, sedekah bumi
Abstract
There are many traditions that cannot be
carried out during this pandemic, which threatens the existence of one of
Indonesia�s local cultural aspects. However, the Sedekah
Bumi Tradition in Kedung Bakung Village, Kedungreja
District, Cilacap Regency is still being carried out
in the midst of the COVID-19 pandemic. The purpose of this study is to identify
the verbal and nonverbal communication that is used for the ritual
communication of the local community in the Sedekah Bumi based on Mead's Symbolic Interaction Theory. This
research uses qualitative methods with an interpretive paradigm. To obtain the
data, the researcher conducts interviews with selected informants. The results
show that the Kedung Bakung
community in the Sedekah Bumi
tradition is using Javanese and Indonesian languages for their verbal
communication. Meanwhile, the local community in the Sedekah
Bumi tradition uses certain symbols or signs for
their non-verbal communication. The symbol is in the form of presenting treats
to be eaten together and special treats as a form of offering to previous
ancestors.
Keywords: nonverbal communication, ritual
communication, symbolic interaction theory, sedekah bumi, verbal communication
Pendahuluan
Indonesia merupakan
negara kepulauan yang memiliki
keberagaman budaya. Mulai dari suku
bangsa, adat istiadat, bahasa, dan tradisi. Berdasarkan data (KJRI FRANKFURT, 2016) Indonesia menjadi kepulauan terbesar di dunia dengan memiliki lebih dari 17.000 pulau, dimana hanya sekitar
7.000 pulau yang berpenghuni.
Kepulauan Indonesia terbentang
dari Sabang hingga Merauke dengan 5 pulau besar di dalamnya yaitu Kalimantan,
Sulawesi, Jawa, Sumatera dan Irian serta terdiri atas
lebih dari 300 suku bangsa. Masing-masing suku
bangsa di Indonesia memiliki
ciri khas budaya tersendiri yang tercermin dari pola dan gaya hidup
masyarakat setempat. Adanya keberagaman ini tidak membuat
bangsa Indonesia terpecah belah, namun hal
ini menjadi bukti dari wujud
rasa persatuan dan kesatuan
negara Indonesia sesuai dengan
semboyan negara yaitu Bhinneka Tunggal Ika, yang memiliki makna berbeda-beda namun tetap satu juga.
Budaya menjadi pola perilaku
dan kepercayaan yang dipelajari serta disebarluaskan oleh kelompok sosial, etnis, ataupun usia tertentu. Hal ini dapat digambarkan sebagai keseluruhan
kompleks dari kepercayaan kolektif individu dengan tahap kehidupan terstruktur. Kebudayaan
pun memiliki sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi serta hanya dengan
komunikasi maka pertukaran simbol tersebut dapat dilakukan (Nindatu, 2018). Liliweri (2002)
menyatakan bahwa kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok individu dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar,
semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi
ke generasi berikutnya. Salah satu bentuk budaya turun-temurun
yang tetap dilestarikan sampai saat ini
yakni tradisi. Tradisi adalah suatu aktivitas turun-temurun dari para leluhur yang biasanya dilaksanakan oleh warga masyarakat dengan melakukan semacam ritual, sebagaimana dikutip dari Kendah (2017).
Tepat
pada awal tahun 2020 wabah global coronaviruses
mulai masuk ke Indonesia dengan menjalar lintas benua. Coronaviruses
merupakan sebuah virus yang
berasal dari kota Hubei, Wuhan, Tiongkok, sebagaimana
dikutip dari World Health Organization (2020). Wabah ini sudah membunuh
jutaan jiwa masyarakat Indonesia yang terinfeksi
dan ditetapkan sebagai pandemi. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh pemerintah di tahun 2021 jumlah kasus covid-19 mencapai 3.409.658,
angka ini diakumulasikan sejak kasus pertama diumumkan
pada 2 Maret 2020, sebagaimana
dikutip dari Sari (2021). Dalam menekan
laju penularan Covid-19, pemerintah menghimbau masyarakat untuk menerapkan physical
distancing. Himbauan ini
diperkuat oleh gugus tugas penanganan covid-19, bahwa setiap individu
diminta untuk selalu menjaga kebersihan, mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak aman
1-2 meter dengan individu lainnya. Pernyataan ini dikutip dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2021).
Munculnya
pandemi covid-19 menimbulkan
dampak pada berbagai sektor kehidupan, salah satunya pada sektor kebudayaan. Dengan himbauan yang diberlakukan oleh pemerintah mengenai physical distancing ini
sangat berpengaruh terhadap
hampir seluruh kebudayaan yang ada di Indonesia.
Perubahan tatanan kehidupan setiap individu dalam membatasi aktivitas di luar rumah membuat
banyak tradisi budaya di Indonesia tidak dapat dilaksanakan. Adapun tradisi-tradisi yang tidak dilakukan selama masa pandemi ini, seperti
(1) Tradisi Bakar Batu di lembah
Baliem (2) Tradisi Abdau di Desa Tulehu
(3) Grebeg Maulud di Keraton Yogyakarta, sebagaimana dikutip dari Kompas.com (2021). Ketiga tradisi ini mengalah
untuk tidak dilaksanakan karena mengikuti aturan yang telah diterapkan oleh pemerintah guna untuk menekan laju
penularan covid-19. Namun, masih terdapat tradisi budaya yang tetap dilaksanakan walaupun di masa pandemi saat ini,
salah satunya tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung, Desa Kedungreja, Kab. Cilacap, Jawa
Tengah.
Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan dengan Bapak Wasito, tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung merupakan
tradisi turun temurun adat Jawa
yang sudah dilakukan oleh masyarakat setempat dari zaman nenek moyang terdahulu. Tradisi ini melambangkan
wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
telah diberikan nikmat dan rezeki melimpah berupa hasil bumi. Sedekah
Bumi dilaksanakan sekali dalam setahun
pada bulan Suro (sebutan bulan Muharram dalam bahasa Jawa)
tepatnya di tanggal 1 Muharram
atau hari-hari keramat dalam hitungan
kalender Jawa, seperti jum�at kliwon, selasa kliwon, dan senin kliwon. Prosesi sedekah bumi diawali
dengan mengumpulkan makanan yang telah dibawa oleh setiap warga Dusun Kedung Bakung. Masing-masing warga membawa jenis makanan
berbeda sesuai dengan pembagian jatah yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, warga
juga menyiapkan suguhan
yang diperlukan untuk sesajen sebagai persembahan dalam tradisi sedekah bumi. Suguhan tersebut
terdiri dari 21 macam suguhan yang berupa makanan dan benda khusus didalamnya.
Sesajen menjadi hal utama dalam
tradisi ini yang nantinya akan ditaruh
pada makam keramat sesuai dengan kesepakatan
bersama. Sehabis ibadah sholat magrib, makanan yang telah terkumpul di doakan terlebih dahulu sebelum dimakan bersama oleh warga setempat. Kemudian, acara dilanjutkan dengan mengirim doa kepada
leluhur melalui tahlilan. Dalam prosesinya tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung melibatkan
warga satu dusun yang terdiri dari beberapa Rukun
Tetangga didalamnya.
Sejatinya,
sedekah bumi merupakan tradisi turun temurun yang masih dilestarikan oleh masyarakat suku Jawa dari zaman nenek moyang sebagai
wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
nikmat yang telah diberikan. Menurut Wibowo et al sebagaimana
dikutip dari Slamet
et al (2015) Sedekah bumi adalah suatu bentuk
dari kearifan lokal yang berbentuk upacara adat atau
tradisi sebagai wujud komunikasi antara manusia dengan alam semesta.
Tradisi sedekah bumi mempunyai makna vertikal dan horizontal bagi masyarakat Jawa ini ternyata
masih cukup kuat berakar dilaksanakan
secara konsisten oleh sebagian besar masyarakat Jawa Zabda
et al (2007). Bagi masyarakat
suku jawa, tradisi ini sudah
menjadi sebuah rutinitas yang dilakukan setiap satu tahun
sekali. Hal ini diperkuat dalam penelitian Novianti (2012) menuliskan bahwa tradisi sedekah bumi dilaksanakan dalam rentang waktu
satu tahun sekali, hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk menjaga
keselarasan hubungan antara manusia dengan leluhurnya ataupun dengan alam.
Terdapat sejumlah penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai sedekah bumi di berbagai daerah berbeda di Indonesia. Penelitian pertama dilakukan oleh Wahyu
(2016) menunjukkan
bahwa waktu pelaksanaan tradisi Sedekah Bumi Lengenanan
jatuh pada bulan Legena atau Dzulkaidah
dalam kalender hijriah. Tradisi ini dilaksanakan satu kali dalam setahun. Kemudian, makna simbolik yang tertuang dalam tradisi Sedekah Bumi Lengenanan yaitu berupa wujud
rasa syukur kepada Allah
SWT dan memohon agar diberikan
hal-hal baik untuk masyarakat Desa Kalirejo, mulai dari keselamatan,
rezeki melimpah, tolak bala dan lain-lain.
Kemudian, penelitian
kedua ditulis oleh Kiftiyah
et al (2020) menyatakan
bahwa tradisi Sedekah Bumi di Desa Tegalarum sudah dilaksanakan secara turun-temurun dari zaman nenek moyang terdahulu sehingga warga setempat hanya meneruskan tradisi yang sudah ada. Pelaksanaan
sedekah bumi pada zaman dahulu hanya berupa
selamatan dan menonton pertunjukan wayang, namun saat ini
bertambah dengan adanya arak-arakan gunungan dari hasil
panen masyarakat setempat.
Adapun, penelitian
ketiga yang dilakukan oleh Syam
(2016) menunjukkan
bahwa komunikasi verbal
yang dilakukan oleh Masyarakat Nelayan
yakni menggunakan bahasa lisan serta
komunikasi verbal dalam pesta laut nandran
yaitu berupa doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT. Sedangkan, komunikasi nonverbal yang dilakukan
masyarakat nelayan melalui simbol-simbol yang terdiri dari membuang
kepala kerbau, saling memperebutkan makanan dan minuman serta saling menyiram
replika perahu berisi sesajen.
Berdasarkan telaah
yang telah dilakukan, kebaruan dalam penelitian ini dengan penelitian sebelumnya dapat dilihat dari perpaduan
teori dan konsep yang digunakan yaitu teori interaksionisme simbolik dengan konsep komunikasi ritual, komunikasi verbal dan non verbal.
Pada penelitian Kiftiyah et
al (2020), mereka tidak menggunakan teori interaksionisme simbolik, namun lebih menekankan
pada kajian indigenous
psikologi dalam melihat perilaku masyarakat desa
Tegalarum Mranggen, Demak. Penelitian selanjutnya
oleh Wahyu (2016) memiliki objek
penelitian yang sama yakni Sedekah Bumi.
Namun, penelitian Wahyu menggunakan teori simbolisme dari Dan Sperber serta konsep upacara
keagamaan yang dikemukakan
oleh Koentjaraningrat. Hal ini
menunjukkan bahwa teori dan konsep tersebut berbeda dengan penelitian yang saya lakukan. Sejauh
ini, penelitian yang menggunkan teori interaksionisme simbolik dengan konsep verbal dan non verbal yaitu penelitian oleh Syam (2016) yang meneliti perilaku komunikasi ritual masyarakat nelayan pada tradisi pesta laut. Oleh karena itu, penelitian
ini dilakukan dengan menawarkan perpaduan teori intraksionisme simbolik dengan konsep komunikasi
ritual, komunikasi verbal dan nonverbal dalam melihat bagaimana
komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan masyarakat Dusun Kedung bakung pada tradisi Sedekah Bumi berdasarkan teori interaksi simbolik? Ritual ini pun menjadi salah satu ritual yang tetap dilaksanakan pada saat pandemi Covid-19.
Komunikasi ritual dalam
tradisi sedekah bumi dapat dilihat
dari prosesi mendoakan makanan, menaruh sesaji/sesajen makam keramat,
dan mengirim doa melalui tahlilan. Senft
& Basso (2009) mendefinisikan
komunikasi ritual sebagai tindakan atau usaha
untuk melibatkan pengetahuan tentang budaya lokal dalam
interaksi manusia. Dalam proses komunikasi ritual selalu memunculkan pemaknaan dari lambang-lambang tertentu yang menandakan terjadinya proses komunikasi ritual, pernyataan ini dikutip dari
Susanti (2015).
James W Carey dalam karyanya
yang berjudul Communication
as Culture: Essays on Media and Society menjelaskan
bahwa ritual dalam perspektif komunikasi sangat erat kaitannya dengan kegiatan berbagi, partisipasi, asosiasi, persekutuan, dan kepemilikan keyakinan yang sama. Adanya, kepemilikan
keyakinan yang sama membuat setiap individu yang berpartisipasi dalam proses komunikasi ritual akan memiliki rasa tanggungjawab dan kepedulian yang
tinggi terhadap keluarga, masyarakat, suku, ideologi bahkan agama yang dianutnya.
Penelitian ini menggunakan teori interaksi simbolik. Teori interaksi simbolik digunakan untuk mengkaji makna-makna yang terdapat di dalam tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung berdasarkan dengan simbol-simbol yang ada. Adler & Rodman (2006) mengemukakan bahwa tanpa adanya
makna yang sama maka komunikasi akan sulit untuk
berlangsung dengan baik. Peneliti melihat bahwa dalam
tradisi sedekah bumi di Dusun Kedung Bakung terdapat simbol atau lambang
yang memiliki makna dalam proses interaksi antar manusia dengan
tuhan, leluhur, dan sesama individu lainnya. Dalam teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi yang dilakukan oleh manusia menggunakan simbol-simbol tertentu. Karim et al (2020) menjelaskan bahwa manusia berkomunikasi menggunakan simbol-simbol untuk dapat merepresentasikan
apa yang mereka maksudkan.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan paradigma interpretif untuk melihat fenomena dari komunikasi verbal dan
nonverbal pada komunikasi ritual masyarakat
setempat dalam tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung. Paradigma interpretatif berangkat dari upaya untuk
mencari penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya
yang didasarkan pada perspektif
dan pengalaman orang yang diteliti.
Neuman (2000) mendefinisikan
paradigma interpretatif sebagai sebuah sistem sosial yang memaknai perilaku secara detail dengan langsung mengobservasi. Kemudian, peneliti memilih menggunakan pendekatan kualitatif karena penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan dan menginterpretasikan komunikasi verbal dan nonverbal pada komunikasi ritual masyarakat setempat dalam tradisi Sedekah Bumi. Hal ini diteliti di dalam masyarakat Dusun Kedung Bakung yang datanya peneliti dapatkan dari kata-kata hasil wawancara bersama informan penelitian.
Peneliti menggunakan metode
wawancara dalam memperoleh data-data yang dibutuhkan.
Wawancara dilakukan secara termediasi dengan berdialog serta tanya jawab
bersama beberapa informan yang telah ditentukan sebelumnya. Wawancara ini dilakukan
secara tatap muka pada hari Senin, 10 Januari 2022 di Dusun Kedung Bakung. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sugiyono (2012) menjelaskan bahwa pertimbangan tertentu ini, seperti
informan tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan atau
mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan
peneliti menjelajahi obyek atau situasi
sosial yang diteliti. Kriteria informan yang dipilih oleh peneliti adalah tokoh adat
masyarakat, panitia penyelenggara Tradisi Sedekah Bumi dan peserta Tradisi Sedekah Bumi.
Table 1
Informan
Penelitian
No |
Nama |
Keterangan |
1 |
Suhedin |
Tokoh Adat Masyarakat |
2 |
Wasito |
Panitia Pelaksana Tradisi
Sedekah Bumi |
3 |
Sugiyanto |
Panitia Pelaksana Tradisi
Sedekah Bumi |
4 |
Ade
Setiawan |
Peserta Tradisi Sedekah
Bumi |
Hasil dan Pembahasan
�
Gambar 1. Kerangka
Pemikiran Penelitian
Sumber: olahan peneliti (2022)
Proses Komunikasi Ritual Sedekah
Bumi
Komunikasi
ritual sebagai tindakan atau usaha untuk
melibatkan pengetahuan tentang budaya lokal dalam interaksi
manusia diyakini masih ada hingga
saat ini. Salah satu bentuk dari
komunikasi ritual yaitu
pada perayaan tradisi sedekah bumi yang dilaksanakan oleh masyarakat
Dusun Kedung Bakung, Desa Kedungreja, Kabupaten Cilacap. Tradisi Sedekah Bumi ini mulai
dilaksanakan pada tahun
1950 di zaman pemerintahan Sastro
selaku Kepala Desa Kedungreja dan Suparta selaku Kepala Dusun Kedung Bakung. Sedekah Bumi merupakan sebuah tradisi
turun temurun yang masih dilestarikan oleh masyarakat Dusun Kedung Bakung dari zaman nenek moyang sebagai
wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
nikmat yang telah diberikan dan dipercaya oleh masyarakat setempat sebagai penangkal hal-hal yang tidak diinginkan.
Masyarakat Dusun Kedung Bakung tetap mempertahankan
tradisi Sedekah Bumi hingga saat
ini dengan berlandaskan kepercayaan adat Jawa yang mereka pegang secara
teguh, hal ini memunculkan
pandangan dari masyarakat luar terhadap Tradisi Sedekah Bumi. Wasito selaku panitia pelaksana menuturkan bahwa:
�Orang di Dusun sebelah bilang ke Mamang kalau
beliau kagum melihat masyarakat Dusun Kedung Bakung masih
menjaga tradisi turun-temurun yang diwariskan
oleh leluhur terdahulu, padahal kan zaman sudah modern� (kutipan wawancara dengan Wasito).
Sehubung
dengan pendapat diatas, Wasito menegaskan bahwa masyarakat Kedung Bakung merasa memiliki
tanggung jawab untuk melaksanakan tradisi ini dikarenakan
sedekah bumi merupakan salah satu budaya adat Jawa
yang sudah dilakukan turun-temurun dari zaman dahulu. Maka dari
itu, masyarakat setempat bertanggung jawab untuk menjaga
dan mempertahankan budaya
yang mereka miliki agar tidak hilang tergerus
oleh zaman. Sedekah Bumi dilaksanakan
sekali dalam setahun pada bulan Suro (sebutan bulan
Muharram dalam bahasa Jawa) tepatnya
di tanggal 1 Muharram atau hari-hari keramat dalam hitungan kalender Jawa, seperti jum�at kliwon, selasa kliwon, dan senin kliwon.
Prosesi
sedekah bumi diawali dengan mengumpulkan makanan yang telah dibawa oleh setiap warga Dusun Kedung Bakung. Masing-masing warga membawa jenis
makanan berbeda sesuai dengan pembagian
jatah yang telah ditentukan sebelumnya. Selain itu, warga
juga menyiapkan suguhan
yang diperlukan untuk sesajen sebagai persembahan kepada leluhur dalam tradisi
sedekah bumi. Sesajen tersebut terdiri dari 21 macam suguhan yang berupa makanan dan benda khusus didalamnya.
Sesajen menjadi hal utama dalam
tradisi ini yang nantinya akan ditaruh
pada makam keramat sesuai dengan kesepakatan
bersama. Sehabis ibadah sholat maghrib, makanan yang telah terkumpul di doakan terlebih dahulu sebelum dimakan bersama oleh warga setempat. Kemudian, acara dilanjutkan dengan mengirim doa kepada leluhur
melalui tahlilan. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, Suhedin selaku tokoh adat masyarakat
menuturkan perihal rangkaian acara dari perayaan tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung sebagai
berikut:
�Tradisi
Sedekah Bumi dilakukan setelah ba�da maghrib dirumah salah satu masyarakat setempat. Prosesinya itu diawali dengan
sambutan dari Kepala Dusun, tokoh adat masyarakat, dan panitia pelaksana. Kemudian, dilanjutkan dengan Kabul doa oleh sesepuh. Maksudnya, Kabul doa oleh sesepuh adalah mengaminkan doa yang telah dipanjatkan bersama Kiayi sebelumnya. Setelah itu, acara ditutup dengan melakukan tahlilan bersama yang ditujukan kepada leluhur terdahulu� (Kutipan wawancara dengan Suhedin).
Adapun, beberapa perubahan yang terjadi selama masa pandemi saat ini dalam
perayaan Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung. Pertama, terdapat pembatasan partisipan dikarenakan mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah terkait larangan adanya kerumunan dalam setiap aktivitas.
Hal ini mengakibatkan terjadinya pengurangan partisipan yang ikut serta dalam melaksanakan
tradisi Sedekah Bumi. Kedua, masyarakat
tidak melakukan makan bersama di tempat acara terlaksana seperti dahulu, melainkan makanan yang telah didoakan dibawa pulang ke
rumah masing-masing untuk mencegah terjadinya kerumunan. Pelaksanaan tradisi sedekah bumi di masa pandemi ini menerapkan protokol kesehatan yang ketat dengan memakai
masker, menjaga jarak aman dan menghindari kerumunan yang ada. Seperti halnya diungkapkan Sugiyanto, selaku panitia pelaksana menegaskan terkait pelaksanaan Sedekah Bumi di tengah Covid-19:
�Di masa pandemi saat ini tradisi
sedekah bumi tetap dijalankan, namun ada pembatasan
partisipan yang biasanya bisa mencapai 100 orang lebih kalau sekarang
ya paling setengahnya karena kita juga kan mengikuti aturan
pemerintah, yang diutamakan
untuk mengikuti tradisi ini ya
yang pasti itu sesepuh, kiayi, dan perwakilan dari setiap RT. Pada pelaksanaannya
pun diwajibkan memakai
masker dan tidak dilakukan makan bersama ditempat,
jadi makanan dibawa pulang kerumah
masing-masing. Bagi masyarakat
yang tidak bisa hadir ditempat pelaksanaan, maka makanan tersebut akan diantar kerumahnya
oleh panitia� (kutipan wawancara dengan Sugiyanto).
Makna
Komponen Tradisi Sedekah Bumi
Pada pelaksanaan
Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung, masyarakat menyiapkan beberapa komponen yang diperlukan dalam prosesi acara Sedekah Bumi yaitu
suguhan yang akan dimakan bersama-sama dan suguhan yang dipersembahkan untuk leluhur terdahulu.
Berikut jenis - jenis suguhan pada tradisi Sedekah Bumi, sebagai berikut:
Suguhan yang disajikan
untuk dimakan bersama-sama antara lain tumpeng kuat, tumpeng
isi dan ingkung (sebutan untuk ayam
utuh yang dihidangkan dalam bahasa jawa).
Setiap jenis makanan di atas memiliki makna atau arti yang berbeda, seperti: Pertama, tumpeng kuat memiliki arti sebagai bentuk perlindungan dan kekuatan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada
masyarakat Dusun Kedung Bakung. Kedua,
tumbeng isi melambangkan simbol
hasil bumi yang berada di darat seperti umbi-umbian. Ketiga, Ingkung (ayam utuh
yang dihidangkan) memiliki
arti sebagai ketakwaan masyarakat Dusun Kedung Bakung kepada Tuhan
Yang Maha Esa.
Suguhan untuk
leluhur antara lain bubur putih, bubur merah,
nasi kepok, telur, kelapa muda hijau,
air putih, kopi, air teh, rucuan (air manis yang berisi pisang rajab atau ambon), bunga
tujuh rupa, nasi putih lima kepal, sayur mayur, ketupat selamet dan ketupat kepel. Setiap jenis suguhan
diatas memiliki makna yang berbeda seperti: Pertama bubur putih serta bubur merah
melambangkan keyakinan adanya Adam dan Hawa sebagai manusia. Putih berarti laki-laki
dan merah perempuan.
Kedua, nasi kepok dan telur memiliki arti sebagai bentuk sebuah keyakinan bahwa adanya manusia
di muka bumi ini. Ketiga,
kelapa muda hijau melambangkan seluruh bagian tubuh manusia.
Keempat, Air putih, kopi, air teh, rucuan melambangakan
sifat-sifat dari manusia yang didalamnya terdapat aliran hitam, merah, dan putih. Kelima,
Bunga
tujuh rupa memiliki arti sebagai bentuk kasih sayang
Tuhan Yang Maha Esa dan pribadi diri yang harum seperti bunga.
Keenam, nasi putih lima kepal ditambah sayur mayur melambangkan
panca indera manusia yang terdiri dari indera penglihat,
pendengar, peraba, pencium, dan pengecap.
Ketujuh, ketupat selamet dan
ketupat kepel memiliki arti
sebagai bentuk dari rasa bersatu dan kokoh masyarakat Dusun Kedung Bakung.
Komunikasi verbal masyarakat Kedung Bakung pada Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung
Pada tahap ini peneliti melihat
bahwa komunikasi verbal
yang terjalin pada masyarakat
Dusun Kedung Bakung dalam Tradisi Sedekah
Bumi yaitu menggunakan bahasa lisan. Masyarakat setempat memilih bahasa Jawa dan Indonesia sebagai bahasa yang dipakai dalam prosesi perayaan
Tradisi Sedekah Bumi. Hal ini dilakukan
guna menciptakan pemaknaan yang sama oleh setiap individu dan meminimalisir pergeresan makna yang mungkin akan terjadi dikarenakan
perbedaan latar belakang budaya yang ada. Komunikasi verbal yang terjadi dapat dilihat
dari proses perencanaan dan
pelaksanaan tradisi ini. Pada proses perencanaan masyarakat Dusun Kedung Bakung melakukan musyawarah bersama untuk menentukan hari dan tempat pelaksanaan serta kebutuhan-kebutuhan yang harus disiapkan dalam perayaan tradisi Sedekah Bumi. Sugiyanto
selaku panitia pelaksana menuturkan bahwa:
�Jauh-jauh hari sebelum
bulan Sura tuh kita ngadain musyawarah
dulu. Musyawarah biasanya dilakukan dirumah masyarakat setempat sesuai dengan keputusan bersama. Nah, hal yang dimusyawarahkan itu terkait tanggal, tempat, dan keperluan apa saja yang harus
disiapkan dalam perayaan Sedekah Bumi. Saat itu
juga kita ngebentuk panitia pelaksanaan untuk mengatur segala urusan terkait
perayaan Sedekah Bumi agar berjalan dengan lancar� (kutipan wawancara dengan Sugiyanto).
Setelah terbentuknya panitia,
maka divisi humas menyebarkan
informasi seputar pelaksanaan Sedekah Bumi kepada seluruh
masyarakat Dusun Kedung Bakung melalui mulut ke mulut.
Pada hari pelaksanaan acara
setiap warga membawa jenis makanan
yang berbeda sesuai dengan kesepakatan bersama yang sebelumnya telah dibicarakan. Komunikasi verbal juga diperlihatkan
pada saat Kiayi mendoakan suguhan yang telah terkumpul sebelum dimakan bersama dan diaminkan oleh sesepuh setempat. Hal ini biasa disebut
oleh masyarakat Kedung Bakung sebagai prosesi kabul doa.
Kemudian, acara ditutup dengan mengirim doa kepada leluhur
terdahulu melalui tahlilan.
Pada prosesi perayaan Sedekah Bumi tidak ada
syarat dan ketentuan khusus untuk bisa
berpartisipasi didalamnya, semua individu boleh terlibat dalam memeriahkan acara ini serta tidak
mewajibkan seluruh masyarakat untuk percaya akan tradisi
ini. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Ade Setiawan selaku peserta tradisi Sedekah Bumi, ia
menyatakan bahwa:
�Pada
pelaksanaan Sedekah Bumi di sini sama
sekali tidak memaksa siapapun untuk ikut serta
didalamnya, jadi bagi orang yang percaya pasti ikut berpartisipasi,
begitupun sebaliknya bagi orang yang tidak percaya ya tidak
dipaksa untuk ikut serta dalam
perayaan Sedekah Bumi dan selama saya mengikuti tradisi ini tidak
terdapat persyaratan khusus untuk bisa
ikut merayakannya� (kutipan wwawancara dengan Ade Setiawan).
Komunikasi nonverbal masyarakat Kedung Bakung pada Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung
Pada
tahap ini peneliti melihat bahwa komunikasi yang terjalin pada masyarakat Dusun Kedung Bakung dalam
Tradisi Sedekah Bumi tidak hanya
berupa komunikasi verbal saja, melainkan terjadi komunikasi nonverbal juga
di dalamnya. Komunikasi
nonverbal diperlihatkan oleh masyarakat
setempat pada saat menyajikan suguhan yang nantinya akan dimakan
bersama dalam perayaan Sedekah Bumi. Suguhan tersebut
berupa tumpeng kuat, tumpeng isi dan ingkung (sebutan untuk ayam utuh
yang dihidangkan dalam
Bahasa Jawa). Sugiyanto selaku panitia pelaksana menjelaskan bahwa:
�Setiap orang membawa makanan sesuai dengan pembagian
jatah yang telah disepakati sebelumnya, makanan tersebut nantinya akan dikumpulkan
terlebih dahulu sebelum didoakan� (kutipan wawancara dengan Sugiyanto).
Selain
itu, adapula suguhan khusus yang dipersiapkan sebagai bentuk persembahan terhadap leluhur terdahulu atau sering disebut juga sebagai sesajen. Suguhan tersebut berisi bubur merah,
nasi kepok, telur, kelapa muda hijau,
air putih, kopi, air teh, rucuan (air manis yang berisi pisang rajab atau ambon), bunga
tujuh rupa, nasi putih lima kepal, sayur mayur, ketupat selamet dan ketupat kepel. Sesajen tersebut nantinya akan diletakkan
pada salah satu makam keramat sesuai dengan keputusan bersama, hal ini
dilakukan dengan mengikuti adat dari leluhur dan naluri keyakinan yang ada serta masyarakat
setempat percaya sesajen dapat menjadi
sarana untuk berkomunikasi dengan leluhur terdahulu. Setiap jenis suguhan
memiliki arti dan makna tersendiri yang diyakini oleh masyarakat Dusun Kedung Bakung, baik itu
suguhan yang akan dimakan bersama ataupun persembahan untuk leluhur. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Suhedin selaku tokoh adat masyarakat
setempat, beliau menyatakan bahwa:
�Masing-masing jenis suguhan memiliki arti tersendiri yang kami yakini dengan mengikuti adat dari leluhur
dan naluri keyakinan yang ada serta masyarakat
Kedung Bakung percaya bahwa sesajen
dapat menjadi sarana untuk berkomunikasi
dengan leluhur terdahulu dan sebagai media untuk menolak bala�
(kutipan wawancara dengan Suhedin).
Pembahasan
Sesuai
dengan pemikiran George
Herbert Mead terkait konsep
interaksi simbolik, pembentukan makna atas simbol-simbol berupa komunikasi verbal dan
nonverbal pada komunikasi ritual masyarakat
Kedung Bakung dalam Tradisi Sedekah
Bumi terdapat pada konsep self, mind, dan society.� Mead dalam West & Turner (2008),
menggemukakan mengenai konsep diri (self) setiap individu
dipengaruhi oleh particular
others dan generalized other.
Particular other (orang lain secara khusus) mengacu pada individu dalam masyarakat yang signifikan, seperti anggota keluarga, teman, rekan kerja,
dan pengawas. Sementara, generalized other (orang lain secara umum) merujuk
pada sudut pandang dari sebuah kelompok
sosial atau budaya secara keseluruhan
yang terbentuk melalui interaksi sosial. Mead juga menyebut dalam konsep self, seseorang dapat melihat cermin diri sendiri (looking-glass self) atau
dapat diartikan sebagai kemampuan memandang diri sendiri dalam perspektif
orang lain. Pernyataan tersebut
sesuai dengan konsep diri (self) pada masyarakat Dusun Kedung Bakung dalam
menilai sudut pandang ataupun pendapat orang lain terhadap Tradisi Sedekah Bumi.
Adanya
kesan toleransi yang tinggi antar sesama
individu ketika menggabungkan bahasa Jawa dan Indonesia dalam pelaksanaan Sedekah Bumi, memperkuat nilai-nilai positif yang tersirat di dalam tradisi ini terhadap
masyarakat setempat.
Adapun, munculnya sudut pandang dari masyarakat
luar terhadap tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung yang menyatakan rasa kagum karena masyarakat
Kedung Bakung masih menjaga budaya
nenek moyang hingga saat ini
sehingga tidak tergerus oleh zaman. Sudut pandang tersebut diterima dengan baik oleh masyarakat setempat dengan berpegang teguh kepada tanggung jawab yang ada untuk terus mempertahankan
dan mewariskan budaya ini kepada generasi-generasi
selanjutnya.
Tujuan
yang serupa juga dilakukan
oleh masyarakat di Manggarai
Timur dalam melakukan
ritual Mbasa Wini. Walaupun ritual tersebut menggunakan bahasa yang sama sekali berbeda
dengan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat setempat, namun memiliki tujuan yang mulia. Perbedaan bahasa yang digunakan ritual Mbasa Wini diantaranya terdapat pada pemilihan kata yang
digunakan, ciri puitik dan penggunaan paralelisme (Sumitri dan Arka 2019). Penggunaan bahasa yang berbeda ini dilakukan oleh masyarakat setempat lebih diakibatkan oleh tiga hal, yaitu
adanya kekuasaan, pewarisan dan kepunahan bahasa.
Adapun, penelitian
Syam
(2016) menunjukkan
bahwa komunikasi verbal yang
dilakukan oleh Masyarakat Nelayan
adalah bahasa lisan serta komunikasi
verbal dalam pesta laut Nandran berupa
doa-doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dikatakan bahwa komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat nelayan sama dengan
masyarakat Kedung Bakung, dalam hal
penggunaan bahasa lisan serta adanya
doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Mead menyatakan dalam buku berjudul
Introducing Communication Theory bahwa salah satu kegiatan paling penting yang
masing-masing individu capai
melalui sebuah pemikiran (mind) adalah pengambilan peran (role taking)
atau dapat diartikan juga sebagai kemampuan simbolis dalam menempatkan diri sendiri dalam
pemikiran orang lain. Pengambilan
peran bagi masyarakat Kedung Bakung dapat terjalin
melalui perspektif dari setiap individu
yang terlibat. Sebagaimana dapat dilihat pada komunikasi ritual masyarakat Kedung Bakung dalam
menggunkan simbol-simbol ketika berinteraksi pada saat prosesi Sedekah
Bumi, sehingga membentuk makna yang sama. Penggunaan bahasa Jawa oleh masyarakat Kedung Bakung dalam prosesi
Sedekah Bumi memperlihatkan bahwa adanya komunikasi verbal yang diterjalin yaitu berupa bahasa daerah.
Namun, tidak hanya bahasa Jawa
yang digunakan melainkan bahasa Indonesia pun turut dipakai ketika berkomunikasi didalamnya. Hal ini dilakukan untuk
menciptakan pemaknaan yang sama oleh setiap individu agar tidak terjadi pergeseran makna yang dikarenakan oleh perbedaan latar belakang budaya. Sesuai dengan pernyataan
yang dikemukakkan oleh Maghfira & Mahadian (2018) bahwa interaksi menggunakan sebuah bahasa dapat menciptakan
simbol-simbol berupa verbal
dan nonverbal, hal ini disusun kedalam pola-pola untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan yang dimiliki bersama.
Masyarakat setempat juga memperlihatkan sifat-sifat kekeluargaan dalam mendapatkan tujuan yang sama. Hal tersebut didapati pada saat menyajikan suguhan-suguhan dalam pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi. Suguhan tersebut
terdiri dari suguhan yang akan dimakan bersama dan suguhan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur atau biasa disebut
dengan sesajen. Mereka meyakini bahwa jika memakan
suguhan ini akan membawa keberkahan
bagi masyarakat Kedung Bakung serta
sesajen yang disiapkan dapat menjadi sarana
untuk berkomunikasi dengan leluhur yang sudah tiada. Perilaku
simbolik tersebut menunjukkan bahwa telah terjadinya komunikasi nonverbal oleh masyarakat
Kedung Bakung dalam Tradisi Sedekah
Bumi. Simbol nonverbal ini sudah dipercayai
secara turun-temurun dari zaman nenek moyang terdahulu.
Mead dalam Littlejohn & Foss (2009) menjelaskan mengenai konsep society merupakan sebuah hubungan sosial yang diciptakan, dikonstruksikan, dibangun oleh masing-masing individu
di tengah masyarakat serta setiap individu
tersebut terlibat di dalam perilaku yang mereka pilih secara
aktif dan sukarela, sehingga membentuk proses pengambilan peran di tengah masyarakat. Pernyataan yang dituturkan Mead, sesuai dengan proses pengambilan peran oleh Masyarakat
Kedung Bakung dalam membangun hubungan melalui komunikasi ritual pada Tradisi Sedekah Bumi. Adanya
tradisi ini memperkuat kerukunan dan sifat gotong royong antar sesama individu melalui interaksi yang terjadi. Interaksi terbangun dari proses perencanaan dan pelaksanaan Tradisi Sedekah Bumi. Hal tersebut dapat dilihat pada saat penyelenggaraan musyawarah bersama hingga kerjasama masyarakat setempat dalam mempersiapkan seluruh keperluan yang dibutuhkan pada Tradisi Sedekah Bumi secara
bahu membahu.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan
oleh Wahyu (2016) menunjukkan
bahwa tradisi Sedekah Bumi Legenanan
dilaksanakan sekali dalam setahun yaitu
pada bulan Legena atau Dzulkaidah dalam kalender hijriah. Kemudian, makna simbolik yang tertuang dalam tradisi ini yaitu
berupa rasa syukur kepada Allah SWT dan memohon agar
diberikan hal-hal baik untuk masyarakat
Desa Kalirejo, mulai dari keselamatan,
rezeki melimpah, tolak bala dan lain-lain. Sesuai dengan hasil
temuan pada penelitian
Wahyu, dapat dikatakan terdapat perbedaan waktu pelaksanaan antara sedekah bumi di Legenanan dengan sedekah bumi di Kedung Bakung. Pada Dusun Kedung Bakung Tradisi Sedekah Bumi diselenggarakan
sekali dalam satu tahun pada bulan Muharram. Namun, makna simbolik yang tertuang yaitu rasa syukur atas nikmat
yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa berupa kesehatan,
rezeki yang melimpah, dan perlindungan untuk masyarakat Dusun Kedung Bakung ini memiliki
makna simbolik yang sama dengan hasil
temuan pada penelitian
Wahyu.
Komunikasi nonverbal yang dilakukan
masyarakat nelayan yaitu melalui simbol-simbol
berupa membuang kepala kerbau, saling memperebutkan makanan dan minuman serta saling menyiram
replika perahu yang berisi sesajen (Syam
2016). Sedangkan,
dalam tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung tidak
ada prosesi membuang kepala kerbau dan menyiram replika perahu. Maka dari itu,
prosesi yang ada berupa menyajikan suguhan untuk dimakan
bersama dan suguhan sebagai bentuk persembahan kepada leluhur terdahulu.
Simbol non verbal
juga terdapat pada ritual Meron yang dilakukan masyarakat Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa tengah.
Simbol-simbol tersebut yaitu ancak bertingkat,
lambang masjid, ayam jago atau ingkung
dan rengginang atau kerupuk ampyang (Rahmawati et al 2019). Simbol-simbol
non verbal yang terdapat
pada ritual Meron berkaitan dengan
nilai-nilai agama Islam, hal
ini selaras dengan tujuan diadakannya
ritual yakni untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad
S.A.W. (Atabik 2020). Ingkung
yang biasa ditemukan dalam tradisi Jawa,
juga terdapat pada ritual Sedekah
Bumi di Dusun Kedung Bakung. Bedanya, jika ingkung dalam
ritual Meron merupakan lambang
cinta kasih dan pengorbanan (Rahmawati et al
2019; Atabik 2020), sedangkan
pada ritual Sedekah Bumi, ingkung merupakan lambang ketakwaan masyarakat kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Perayaan Tradisi Sedekah Bumi sejatinya
mengandung makna simbolik di dalam setiap rangkaian acaranya yaitu berupa komunikasi verbal dan
nonverbal berdasarkan hasil
kesepakatan bersama masyarakat Kedung Bakung. Hal ini selaras dengan pernyataan dari Fatonah
(2018) bahwa interaksi simbolik dapat memahami individu berdasarkan pandangan subjek itu sendiri. Pernyataan
tersebut menunjukkan bahwa subjeklah
yang menentukan kondisi serta lingkungan mereka berdasarkan simbol-simbol yang dimilikinya dan
mereka sendirilah yang menjelaskan serta menentukan perilaku bukan orang lain diluarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan
bahwa Tradisi Sedekah Bumi di Dusun Kedung Bakung merupakan
sebuah tradisi turun-temurun yang telah diwariskan oleh nenek moyang terdahulu dari generasi ke
generasi sebagai
wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
nikmat yang telah diberikan serta diyakini oleh masyarakat setempat sebagai penangkal hal-hal yang tidak diinginkan. Sedekah Bumi diselenggarakan sekali dalam setahun
pada bulan Suro (sebutan bulan Muharram dalam bahasa Jawa)
tepatnya
di tanggal 1 Muharram atau hari-hari keramat dalam hitungan kalender Jawa, seperti Jum�at Kliwon, Selasa Kliwon, dan Senin Kliwon. Prosesi Sedekah Bumi terdiri
dari empat rangkaian acara yaitu pertama, sambutan dari pihak - pihak
terkait; kedua, kabul doa oleh sesepuh; ketiga, makan bersama; dan keempat, diakhiri dengan tahlilan. Dalam Tradisi ini
terdapat komponen-komponen
yang harus disiapkan oleh masyarakat setempat, seperti suguhan untuk dimakan bersama
dan suguhan sebagai wujud persembahan terhadap leluhur. Setiap komponen suguhan tersebut memiliki arti dan makna tersendiri yang diyakini oleh masyarakat setempat.
Kemudian,
komunikasi verbal yang digunakan
oleh masyarakat Dusun Kedung
Bakung pada Tradisi Sedekah Bumi yaitu
menggunakan bahasa lisan. Bahasa yang dipilih oleh masyarakat setempat yakni bahasa Jawa
dan Indonesia. Hal ini dilakukan
guna menghasilkan pemaknaan yang sama antar setiap individu
dan meminimalisir terjadinya
pergeseran makna akibat dari perbedaan
latar belakang budaya yang ada. Selain itu, komunikasi
verbal lainnya dapat dilihat pada saat masyarakat setempat memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa selama
berlangsungnya acara.
Sementara,
komunikasi nonverbal yang terjadi
pada masyarakat Kedung Bakung yaitu melalui
interkasi dengan menggunakan simbol atau isyarat tertentu
yang dipercayai oleh masyarakat
setempat dari zaman nenek moyang terdahulu.
Simbol-simbol tersebut berupa menghidangkan suguhan yang akan dimakan bersama dan suguhan khusus atau sesajen sebagai
bentuk persembahan terhadap leluhur terdahulu. Sesajen ini nantinya akan
ditaruh pada makam keramat sesuai dengan kesempakatan bersama.
Sejatinya komunikasi
ritual merupakan kegiatan yang
dapat mengeratkan kekerabatan diantara masyarakat dalam suatu budaya. Komunikasi
ritual juga dilakukan untuk
meneransfer nilai-nilai budaya, serta simbol-simbol
berupa bahasa verbal dan non verbal agar tidak luntur oleh perubahan zaman. Sudah selayaknya pemerintah daerah ikut serta dalam
melestarikan ritual budaya
dan mengajak masyarakatnya,
terutama kaum muda, untuk terus
mempraktikannya dengan menyesuaikan situasi dan kondisi yang terjadi saat ini.
Adler, R. B., & Rodman,
G. (2006). Understanding Human Communication (Edisi 9). New York: Oxford
University Press.
Atabik,
A. (2020). Interaksionisme simbolik
ritual Meron di Indonesia dan relevansinya dalam Al Quran. Fikrah:
Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Vol. 8(1): 1-24. DOI: 10.21043/fikrah.v8i1.7216
Fatonah, F. (2018). Pemaknaan Jimat Sebagai Simbol Religi
Bagi Mahasiswa Jepang. Jurnal Komunikasi Global, 7(1), 53�67. https://doi.org/10.24815/jkg.v7i1.10500
Karim, A. A. (2020). Makna Upacara Adat Sedekah Bumi Di
Kelurahan Made Kecamatan Sambikerep Surabaya. 37�38.
Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. (2021, Febuari 01). 5 M Dimasa Pandemi Covid 19 Di
Indonesia. Retrieved November 29, 2021, from Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia: http://www.padk.kemkes.go.id/article/read/2021/02/01/46/5-m-dimasa-pandemi-covid-19-di-indonesia.html
Kendah. (2017). Aktivitas tradisi hajat bumi di desa
wanakerta kabupaten subang tahun 2013-2015. Skripsi, 2017.
Kiftiyah, Lifiana, Pinihanti, S. (2020). Penanaman Rasa Syukur
Melalui Tradisi Sedekah Bumi Di Desa Tegalarum, Demak : Kajian Indigenous
Psikologi. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 22(1), 105.
https://doi.org/10.26623/jdsb.v22i2.2909
KJRI FRANKFURT. (2016). Sekilas
Tentang Indonesia. Retrieved November 29, 2021, from KJRI FRANKFURT:
https://www.indonesia-frankfurt.de/pendidikan-budaya/sekilas-tentang-budaya-indonesia/
Kompas.com. (2021, Maret
02). Setahun Corona di Indonesia, Ini Sederet Tradisi yang Harus �Mengalah�
terhadap Pandemi. Retrieved November 20, 2021, from Kompas.com: https://regional.kompas.com/read/2021/03/02/082059278/setahun-corona-di-indonesia-ini-sederet-tradisi-yang-harus-mengalah?page=all
Liliweri, A. (2002). Makna
Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. Yogyakarta: PT Lukis Pelangi.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Teori
Komunikasi. Salemba Humanika.
Maghfira, T. A., & Mahadian, A. B. (2018). Interaksi
Simbolik Pengajar dan Siswa di Komunitas Matahari Kecil. Jurnal Komunikasi
Global, 7(1), 87�104.
Manafe, Y. D. (2011).
Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah. Jurnal Komunikasi,
287-298.
Mead, G. H. (1934). Mind,
Self and Society. Chicago: University of Chicago Press.
Neuman, W. L. (2000). Social
Research Methods : Qualitative and Quantitative, . Boston: Allyn and Bacon.
Nindatu, P. I. (2018). Sasadu Sebagai Simbol, Identitas
Budaya dan Perekat Suku Sahu Di Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku
Utara. Ekspresi Dan Persepsi : Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(01),
1�16. https://doi.org/10.33822/jep.v1i01.437
Novianti, W. (2012).
Makna Tradisi Sedekah Bumi Bagi Masyarakat Di Desa Lahar Pati. Jurnal Sosiologi,
2-16.
Nurudin. (2016). Ilmu
Komunikasi Ilmiah dan Populer. Jakarta: Rajawali Pers.
Ronald, A. B., Rodman,
G., & Pre, A. d. (2006). Understanding Human Communication. New
York: Oxford University Press.
Sari, H. P. (2021, Juli
31). UPDATE: Tambah 37.284, Kasus Covid-19 di Indonesia Capai 3.409.658.
Retrieved November 29, 2021, from Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2021/07/31/16354971/update-tambah-37284-kasus-covid-19-di-indonesia-capai-3409658
Senft, G., & Basso,
B. F. (2009). Ritual Communication. New York: Berg.
Slamet, Ernawati, J., & Nugroho, A. M. (2015). Pemanfaatan
ruang telaga pada tradisi sedekah bumi desa cerme kidul, kecamatan cerme,
kabupaten gresik. 13(1), 47�55.
Sugiyono. (2012). Memahami Penelitian Kualitatif.
Alfabeta.
Sumitri, NW., & Arka, IW. (2019). Kekuatan dan kekuasaan
(dalam) bahasa dalam perspektif etnolinguistik: Dinamika tradisi ritual etnik
Rongga di Manggarai Timur. Jurnal Mozaik Humaniora, Vol 19(2): 205-215.
DOI: ��HYPERLINK
"http://dx.doi.org/10.20473/mozaik.v19i2.12369" 10.20473/mozaik.v19i2.12369
Susanti, E. (2015). Komunikasi Ritual Tujuh Bulanan (Studi
Etnografi Komunikasi Bagi Etnis Jawa Di Desa Pengarungan Kecamatan Torgamba Kabupaten
Labuhanbatu Selatan). Jom FISIP, 2(2), 1�13.
Syam, T. (2016). Perilaku Komunikasi ritual Masyarakat
Nelayan pada Tradisi Pesta Laut Nadran di Pelabuhan Karangantu. Skripsi.
Wahyu, R. (2016). Makna simbolik tradisi sedekah bumi
legenanan pada masyarakat desa kalirejo kecamatan talun kabupaten pekalongan
skripsi.
World Health Organization. (2020, Maret 11). WHO
Director-General's opening remarks at the media briefing on COVID-19.
Retrieved November 10, 2021, from World Health Organization: https://www.who.int/
Zabda, Syahrir, S., Setyadi, & Bambang, Y. (2007). Dan
Dampaknya Bagi Masyarakat Percepcion and Participation in the Tradition of
Masked Puppet Performance in Sedekah Bumi Ritual At Soneyan Village and Its
Effect on the Society. 8(2), 110�121.
Copyright
holder: Anggita
Putri Permatasari, Aprilianti
Pratiwi (2022) |
First
publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |