Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7,
No.
7,
Juli 2022
STUDI TAFSIR HERMENEUTIKA FARID ESACK TERHADAP PERJUANGAN AL-MUSTAD�AFIN (KAUM LEMAH DAN TERTINDAS)
Muhammad Abdul Rozak, Hanief Saha Ghafur
Universitas
Indonesia, Indonesia
Email:
[email protected], [email protected]
Abstrak
Islam mengajarkan pemeluknya untuk membantu kaum yang lemah. Ajaran ini sekaligus
memberikan pesan kepada setiap muslim untuk menjadi manusia yang unggul. Disisi
lain, terdapat fakta bahwa terdapat umat islam yang terlanjur berada dalam
kelompok mustad�afin, baik secara agama, ekonomi, politik, maupun sosial
budaya. Problem ini menjadi tugas umat Islam secara global untuk diatasi.
Al-Qur�an yang menjadi kitab pedoman telah menyebutkan problematika kaum mustad�afintersebut.
Meminjam teori Farid Esack tentang teologi pembebasan,� tulisan ini mengupas tentang bagaimana kaum
lemah atau bahkan tertindas, terutama yang terjadi di Indonesia dapat memperoleh
kesejahteraan dan kebebasan.
Kata Kunci: Mustad�afin, Farid
Esack, Tertindas, Tafsir
Abstract
Islam teaches its adherents to help the needy. Every Muslim is inspired by
this teaching to strive to be a better person overall. However, it is a known
truth that certain Muslims already belong to the mustad'afin group on a
religious, economic, political, and socio-cultural level. Muslims everywhere must
work to solve this issue. The guidebook, the Qur'an, mentions the issues facing
the Mustad'af people. This essay examines how the weak or even the oppressed,
particularly what is occurring in Indonesia, might achieve prosperity and
freedom by reflecting on Farid Esack's liberation theology doctrine.
Keywords: Farid Esack, Mustad'afin, Tafsir, Oppressed
Pendahuluan
Kaum yang lemah
atau dalam bahasa Arab disebut dengan al-mustad�afin
selalu menjadi topik pembahasan
baik dalam lingkup agama maupun sosial masyarakat. Hal tersebut disebabkan oleh
keinginan mendasar semua manusia untuk merasakan hidup yang sejahtera, tidak
berada di bawah aturan orang lain atau bahkan penindasan dari individu atau
kelompok lain. Al-Qur�an sebagai kitab suci umat Islam memerintahkan untuk
berzakat, berinfaq dan sedekah sebagai upaya untuk memperkuat sumberdaya kaum mustad�afindari
sisi ekonomi.
Problematika mustad�afin
di Indonesia sudah sangat populer,
sebagai contoh setiap calon pejabat pemerintah selalu menjanjikan kesejahteraan
bagi calon masyarakat yang dipimpinnya, dimana hal tersebut menjadi indikasi
bahwa sumber daya masyarakat Indonesia masih banyak yang berada pada taraf
menengah ke bawah.
Al-Qur�an yang
menjadi kitab pedoman umat Islam telah membahas persoalan mustad�afin
secara global, sehingga perlu
penafsiran yang kontemporer supaya problematika masa kini bisa teratasi. Salah
satu bentuk upaya menguraikan makna ayat-ayat al-Qur�an tersebut adalah dengan
metode hermeneutika. Terkait dengan problem mustad�afin, ada metode
hermeneutika yang sangat cocok. Hermeneutika tersebut dikenal dengan
hermeneutika pembebasan yang digagas oleh Farid Esack.
Mungkinkah teori
Esack tentang pembebasan tersebut dapat mengurai makna ayat-ayat mustad�afin
yang beragam, dan apakah teori
Esack dapat diimplementasikan dengan totalitas, mengingat latar belakang
munculnya gagasan teori tersebut dengan problem yang terjadi di Indonesia saat
ini belum tentu sama.
Al-Mustad�afin dan
Hermeneutika Farid Esack
�Metode yang penulis gunakan untuk penelitian
ini adalah
tafsir Maudui dan Hermeneutika. Tafsir Maudui sering disebut
dengan tafsir tematik. M. Quraish Sihab menyebutkan bahwa tafsir metode ini
akan lebih memungkinkan menyajikan kajian Al-Qur�an secara mendalam dan tuntas.
Karena ayat-ayat dalam Al-Qur�an dikumpulkan jadi satu untuk menganalisis tema
tema tertentu. Sementara mengenai hermeneutika, Josef Bleicher membagi dan
mengkategorikan teori hermeneutika menjadi tiga: hermeneutika sebagai
teori/metode (hermeneutical theory), hermeneutika sebagai filsafat (hermeneutical
philosophy) dan hermeneutika kritis (critical hermeneutics).
Hermeneutika adalah cara
mengupas makna isi Al-Qur�an yang berangkat dari realitas sosial untuk
dikontekstualisasikan dengan masa kini. Hermeneutika pembebasan digagas Farid
Esack, namun sebenarnya Esack lebih biasa memanggilya dengan sebutan Islam
progresif. Ini berarti Islam (baca: Al-Qur�an) selalu aktif dalam menjawab
persoalan umat dari masa ke masa. Ditandai dengan turunya Al-Qur�an yang
bersifat Tadrij atau berangsur-angsur. Farid Esack memfokuskan kajiannya
pada implikasi politis dan teologis. Hermeneutika Esack memiliki kunci yang
digunakan sebagai pembatas agar nuansa pembacaan Al-Qur�an berkarakter
pembebasan masyarakat dari ketidakadilan, perpecahan, dan eksploitasi, yaitu : taqwa
(integritas dan kesadaran akan kehadiran Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan),
al-nas (manusia), mustad�afinfi al-ard (yang tertindas di bumi), �adl
dan qisth (keadilan dan keseimbangan), serta jihad (perjuangan dan
praksis) (Esack, 2000).
Perkataan du�afadalam
kosa kata Al-Qur�an merupakan bentuk jamak dari perkataan do�if. Kata
ini berasal dari kata da�afa atau,
yad�ufu, du�fan atau da�fan. Kata da�afa, dengan berbagai
derivasinya di dalam Al-Qur�an disebutkan sebanyak 39 kali, yang secara umum
terbagi dalam dua pengertian, lemah dan berlipat ganda. Menurut Al Isfahani
perkataan du�fu merupakan lawan dari quwwah (kuat), �istilah du�fu biasanya dimaksudkan
untuk menunjukkan lemah fisik, sedangkan da�fu biasanya digunakan untuk
menunjukkan lemah akal atau pendapat (al- ra�yu) (Al Isfahani, 2010).
Sedangkan mustad�afin,
jamak dari mustad�af, adalah bentuk ism maf�ul (obyek) dari kata
dasar da�afa yang mendapat tembahan dua huruf, alif dan ta�,
menjadi istad�afa. Sementara kata istad�afa dengan kata jadianya
ditemukan di dalam Al-Qur�an sebanyak 12 kali. Secara keseluruhan kata tersebut
berarti �tertindas�,� kecuali dua ayat (QS.
An-Nisa� [4] 98 dan 127). Maka, mustad�afindapat dimaknai sebagai
orang-orang yang tertindas, yang dianggap lemah dan tidak berarti, serta yang
diperlakukan secara arogan. Mustad�afinberarti mereka yang berada dalam
status sosial �inferior�, yang rentan, tersisih atau tertindas secara
sosioekonomi (Esack, 2000).
Dengan demikian, mustad�afintidak ditujukan kepada mereka yang lemah
ekonominya kerena nasib atau bersifat alamiah, namun istilah ini yang tepat
ditujukan kepada mereka yang terlemahkan sebagai akibat dari struktur sosial
yang tidak adil atau perilaku penindasan, baik yang terjadi secara sporadis
maupun sistemik (Al-Qur�an, 2012).
Al-Qur�an juga memakai beberapa istilah lain ketika menunjuk kelas sosial yang
rendah dan miskin ini, seperti aradzil (yang tersisih), fuqara�
(fakir), dan masakin (orang miskin) (Esack, 2000).
Mengapa agama yang
digunakan sebagai alasan pembebasan dan kenapa mustad�afin perlu dibebaskan?.
Jawabanya, karena agama yang paling mudah untuk mobilisasi sosial dan penuh
emosi yang dalam, serta agama yang mempunyai ruang iman dan amal. Mereka yang
tertindas perlu dibebaskan karena iman itu sempurna jika semua orang bebas dari
lapar dan eksploitasi. Orang yang lapar dan tertindas sukar untuk mewujudkan
keimananya. Maka, tidak boleh ada yang tertindas dan menindas. Semuanya harus
dalam kondisi setara. Baru iman bisa berfungsi dengan baik.
Kaum Mustad{�afin dalam
Al-Qur�an
1. Ayat
yang menggunakan istilah Mustad{�afi<n
Dalam Al-Qur�an kata استضعف berikut kata-kata
bentukanya terulang sebanyak 13 kali dan disajikan dalam tiga shighat (bentuk
kata), yaitu shighat fi�il madi enam kali ( lima kali dalam bentuk
pasif,استضعفوا dan sekali bentuk
aktif, استضعفوني), fi�il mudari�
dua kali (sekali dalam bentuk aktif,� يستضعف
dan
sekali dalam bentuk pasif,يستضعفون
��) dan isim maf�ul (objek) lima kali (� مستضعفونsekali,� مستضعفينsekali,
المستضعفين tiga kali) (Badruzaman, 2007).
Dari 13 kata yang terbentuk dari kata استضعف ini, tidak semuanya
merujuk kepada mustad�afinsebagai sebuah term yang dipergunakan untuk
menunjukkan kelompok yang dianggap lemah dan tertindas. Dari kata itu, hanya
yang disampaikan dalam bentuk pasif (استضعفوا, يستضعفون) dan dalam bentuk isim
maf�ul (مستضعفون, مستضعفين, المستضعفين) yang merupakan
term-term yang menunjuk kelompok mustad�afin. Dengan demikian, yang
disampaikan dalam bentuk aktif (استضعفوني dan يستضعف) dengan sendirinya
tidak menunjuk kelompok tersebut, melainkan menunjuk anti-tesisnya yakni
kelompok mustad�afin (penindas) (Badruzaman, 2007).
Farid Esack menegaskan kata mustad�afinadalah
orang yang berada dalam status �inferior�, yang rentan, tersisih atau tertindas
secara sosioekonomis (Esack, 2000).
Maksudnya adalah seperti dalam kisah para nabi tadi. Mereka tidak hanya
tertindas dalam masalah ekonomi saja. Melainkan, secara gender, politik, ras,
bahkan hak yang dibatasi.
Al-Qur�an juga memakai beberapa istilah
lain ketika menunjuk kelas sosial yang rendah dan miskin ini, seperti arazil
(yang tersisih), fuqara� (fakir), dan masakin (orang miskin).
Namun, terdapat pembeda antara ketiga istilah itu. Perbedaan uta0manya dengan
istilah mustad�afin adalah
bahwa ada suatu pihak yang bertanggung jawab terhadap kondisi mereka. Seseorang
hanya menjadi mustad�af apabila itu diakibatkan oleh perilaku atas
kebijakan pihak yang berkuasa dan arogan (Esack, 2000).
Dapat diketahui juga, bahwa ketiga kata itu adalah bagian dari mustad�afin.
Menurut Al-Qur�an, hampir semua nabi,
seperti telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya, termasuk Nabi Muhammad
Saw, lahir dari latar belakang petani dan buruh. Tidak lepas pengutamaan atas
kaum tersisihpun terasa implisit dalam asal-usul mereka ini. Semua nabi
Ibrahimi berasal dari kalangan petani dan umumnya menjadi penggembala di
masa-masa awal. Satu kekecualian, Nabi Musa As, ditakdirkan menetap di Gurun
Madyan dan menjadi penggembala selama delapan hingga sepuluh tahun. Orang bisa
menganggap ini sebagai semacam proses �penyucian� dari kekuasaan, antisipasi
bagi misinya sebagai nabi Tuhan untuk membebaskan manusia (Esack, 2000).
Berangkat dari penafsiran Al-Qur�an
melalui kunci-kunci hermeneutika pembebasan, Esack berusaha mencari jalan
keluar sebagai upaya pembebasan penindasan di Afrika Selatan. Teks paling
signifikan dalam wacana Al-Qur�an tentang pembebasan di Afrika Selatan adalah QS.
Al-Qashash [8]: 4-8, yang artinya :
(4)
Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan
penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih
anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir'aun Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
(5) dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di
bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka
orang-orang yang mewarisi (bumi), (6) dan akan Kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta
tentaranya apa yang se- lalu mereka khawatirkan dari mereka itu. (7) dan Kami
ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir
terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir
dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul.
(8) Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya Dia menja- di
musuh dan Kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Ha- man beserta
tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.
Istilah mustad�afindi dalam teks
ini dirasakan berlaku bagi semua orang yang tertindas di Afrika Selatan,
terlepas dari latar belakang agamanya. Esack mengemukakan, bahwa teks yang
merujuk pada mustad�funa fi al-ardh di atas muncul di awal QS. Al-Qas{has{h
[28], surat yang pada pokoknya berkisah tentang keluarnya Bani Israil dari
Mesir (Esack, 2000). Esack menekankan bahwa mustad�afindi
ayat-ayat ini, acuan kepada Bani Israil yang ditindas oleh Fir�aun dan kelas
penguasa Mesir, mencerminkan posisi utama yang diberikan Tuhan bagi kaum
tertindas. Lebih jauh janji pembebasan tetap ada walaupun dalam ketiadaan iman
kepada Tuhan dan para nabi-Nya (Esack, 2000).
2. Ayat
�ayat yang menggunakan istilah arazil
Term yang berhubungan dengan mustad�afindalam
Al-Qur�an yang juga bisa disebut dengan sinonimnya adalah kata أراذل dan الأرذلون, yang sama sama
berasal dari kata راذل. Dalam Mu�jam
al-Maqayis fi al-Lu>ghah� kata راذل diartikan sebagai
segala sesuatu yang rendah atau hina. Muhammad Marmaduke dalam The Meaning
of Glorious Qur�an mengartikanya dengan the most abject (orang-orang yang
sangat hina). Di
dalam Al-Qur�an disebutkan yang mengandung kata ara<z>il (yang
tersisih), terdapat dalam surat berikut :
a. QS.
Hud [11]: 27 (Al-Qur�an, 2012)
�Maka berkatalah pemimpin-pemimpin
yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai)
seorang manusia (biasa) seperti Kami, dan Kami tidak melihat orang-orang yang
mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina di antara Kami yang lekas percaya
saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas Kami, bahkan
Kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta".
Surah ini dalam
mushaf terdapat diurutan ke-11. Sedangkan, berdasarkan asba<>bun nu>zul-nya
ia adalah surat ke-52, setelah surat Yunus sebelum surat Yusuf. Termasuk
golongan surat Makkiyah. Selain masalah keimanan dan hukum, isi
kandunganya juga berisi kisah-kisah. Kisah Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih,
Nabi Ibrahim, Nabi Syu�ayb, Nabi Luth dan kaum masing-masing ada dalam surat
ini (Darajat &
Badruzzaman, 2020).
Yang dimaksud الملا dalam ayat ini
adalah para pembesar dan orang-orang terkemuka dari kaum Nabi Nuh As yang kufur
kepada Allah dan menolak kenabian Nabi Nuh As. Sedangkan� أراذل� artinya adalah سفلة
من الناس (orang-orang rendah/hina). Mereka yang disebut ayat
ini adalah, seperti yang disebut oleh al-Baghawi, adalah para tukang tenun dan
pekerja atau buruh (Badruzaman, 2007).
Sikap yang dilakukan para penguasa banyak terjadi seperti merendahkan,
meremehkan, melecehkan dan menuduh berdusta kepada orang yang lemah. Sikap ini
mendorong seseorang untuk menindas pihak lain. Bahkan dapat dikatakan sikap dan
perbuatan seperti itu sendiri sudah merupakan penindasan.
Dalam sejarah para
nabi, bahwa pengikut awal para nabi kebanyakan adalah kaum miskin yang dianggap
hina, lemah dan ditindas oleh kaum yang menolak seruan para nabi. Kaum yang
menolak seruan para nabi itu kebanyakanya adalah para pemimpin masyarakat yang
merasa terancam kepentinganya oleh seruan para nabi yang mengajarkan keadilan
dan kesetaraanya.
b. QS.
Al-Hajj [22]: �5
Allah berfirman:
�Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur), Maka (ketahuilah) Sesungguhnya Kami telah menjadikan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah,
kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak
sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa
yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan
kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu
yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya Dia tidak mengetahui lagi
sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. dan kamu Lihat bumi ini kering, kemudian
apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah�.
3. Ayat-ayat
yang menggunakan istilah fuqara� (fakir)
Al-Qur�an tidak mengemukakan secara
definitif siapa yang disebut fakir demikian halnya dengan miskin. Sebagai
akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Qur�an untuk kedua
istilah itu, para pakar Islam kemudian berbeda pendapat dalam menetapkan tolok
ukur kefakiran dan kemiskinan. Al-Qur�an dan hadist, sebagaimana dikatakan M.
Quraish Shihab, tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran
kemiskinan. Namun yang jelas, dapat dikatakan yang termasuk fakir adalah
orang-orang yang tidak bisa memenuhi kebutuhan primer, tidak punya penghasilan
yang mampu menopang hdiupnya. Mereka adalah termansuk mustad{�afin, yang
mana dengan keadaan seperti itu mereka tidak bisa mengakses fasilitas
kesehatan, pendidikan, dan sebagainnya. Al-Qur�an dan hadist menjadikan setiap
orang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin yang harus diperjuangkan dan
dibantu. Dalam
Al-Qur�an dapat ditemukan ayat-ayat yang menggunakan istilah fuqara� (fakir),
seperti :
a. QS.
Al-Baqarah [2]: 271 dan 273
Allah
berfirman:
271. jika kamu Menampakkan sedekah(mu),
Maka itu adalah baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan
kepada orang-orang fakir, Maka Menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan Allah
akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan. 273. (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir
yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di
bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang Kaya karena memelihara diri
dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengatahui.
Dalam ayat ini
mengandung pengertian bahwa fakir adalah tidak adanya penghasilan.
b.
�QS. At-Taubah [9]: 60
Allah berfirman:
�� Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana�.
Dalam ayat ini dijelaskan
tentang makna fakir, yaitu kefakiran jiwa.
c. QS.
Al-Hasyr [59]: 8
Allah berfirman:
�(juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang
diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari
karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya.
mereka Itulah orang-orang yang benar.�
Dari
ayat ini, fakir diartikan sebagi penerima harta fa�y.
4. Ayat-ayat
yang menggunakan istilah masakin (orang miskin)
Ada
banyak sekali dalam ayat-ayat Al-Qur�an yang terdapat kata masakin ini, yaitu QS. Al-Baqarah [2]:
83, 177 dan 215; QS. An-Nisa� [4]: 8 dan 36; QS. Al-Maidah [59]: 5; QS. Al-Anfal [8]: 41; QS. At-Taubah [9]: 60; QS. Al-Kahfi [18]:
79; QS. An-Nur [24]: 22; QS. Al-Hasyr [59]: 7; dan
QS. Al-Maid{ah [5]: 89.
Maka,
diambil beberapa ayat saja, seperti
yang tertulis di buku karangan Farid Esack yaitu Al-Qur�an, Pluralisme dan Liberalisme.
Yaitu :
a. QS.
Al-Baqarah [2]: 83 dan 177
Allah
berfirman:
��dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum
kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta
ucapkanlah kata-kata yang baik
kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi
janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling�.
Dalam ayat ini mengindikasikan
bahwa orang miskin sebagai pihak yang harus dibantu kehidupan ekonominya.
Allah berfirman:
�bukanlah menghadapkan wajahmu ke
arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan
itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan
shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia
berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah
orang-orang yang bertakwa�.
b. QS.
An-Nisa� [4]: 8
Allah
berfirman:
�dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak
yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang baik�.
Dari segi isi kandungan,
saya menandai beberapa hal berkenaan dengan ayat diatas, yaitu : pertama,
semua ayat mendudukan orang-orang miskin sebagai obyek yang diberi atau
penerima. Kedua, sebagian diantaranya menghubungkan pemberian harta
kepada orang miskin bersifat wajib ataupun anjuran. Ketiga, berisi
petunjuk pelaksanaan ajaran syari�at yaitu infak, warisan, ghanimah, fay�,
zakat dan kifarat.
Tindakan
penentangan para nabi dalam kisah Al-Qur�an adalah perjuangan pembelaan kaum
lemah untuk penegakan prinsip keadilan Tuhan. Sebagai utusan, nabi bertugas
selain menyampaikan kebenaran atau risalah wahyu, juga diberi tugas untuk
memperhatikan orang-orang yang tersisih dan tertindas dengan memperlihatkan
karakter revolusioner. Karakter itu adalah menghancurkan sistem ekonomi yang
eksploitatif dan kepercayaan yang berdasarkan pada syirk serta takhayul.
Teologi untuk kaum tertindas,
menurut Mansour Fakih, mempunyai akar sejarah yang panjang, upaya Nabi Saw
adalah salah satu contohnya. Dalam perspektif teologi ini, Islam memang dilihat
sebagai agama �pembebasan�. Perlawanan yang dilakukan Nabi Saw oleh kaum
kapitalis Mekah sebenarnya lebih karena ketakutan mereka terhadap doktrin
egalitarianisme yang dibawa oleh Nabi Saw. persoalan yang timbul antara
Muhammad dan kaum Quraisy Mekah bukan semata-mata persoalan agama, tapi lebih
bersumber pada ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi dari doktrin Muhammad
yang melawan segala dominasi ekonomi dan monopoli harta. Karena itu, misi
Muhammad sesungguhnya adalah membebaskan masyarakat dari segala bentuk penindasan
dan ketidakadilan.
Analisis
Penafsiran Ayat dengan Hermeneutika Farid Esack
Umat Islam dituntut untuk
menegakkan keadilan sebagai basis kehidupan sosiopolitik. Penegakan itu
berpijak pada keteraturan semesta, yang menurut Al-Qur�an dilandasi dengan
keadilan dan upaya pembebasan dari segala kekacauan. Ketika berhadapan dengan gangguan
terhadap keteraturan alam ini melalui pengikisan sistematis hak asasi manusia
contohnya, maka Al-Qur�an mewajibkan kaum beriman untuk menentang sistem itu
sampai hancur dan tatanan kembali pulih ke keadaan alamiahnya. Salah satu cara
pemulihan tatanan itu adalah dengan memaknai ulang konsep mustad�afin melalui
perspektif hermeneutika pembebasan Farid Esack.
Hal paling penting dalam
gagasan hermeneutika Farid Esack adalah kunci-kunci pokok hermeneutika.
Kunci-kunci tersebut lalu digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat dalam Al-Qur�an
sehingga menjadi dalil yang mendukung gerakan pembebasan. Pembacaan ini
diharapkan dijadika sebagai solusi atau jalan gerakan pembebasan kaum mustad�afin
di Indonesia.
Kunci pokok yang terkandung
dalam hermeneutika Farid Esack adalah tauhid, taqwa, nass, mustada�fin, adl, qist dan
jihad. Namun, saya akan lebih terfokus untuk membahas satu dari tujuh kunci
itu, yaitu mustad�afin. Telah disebutkan bahwa kaum mustada�afin mempunyai
keistimewaan bahkan pembelaan dari Al-Qur�an. Mustad�afin yang dalam
Al-Qur�an berarti orang-orang yang lemah. Namun, bukan berarti mereka dapat
diperlakukan semena-mena. Al-Qur�an merinci definisinya juga sekaligus pembelaan
baginya. Esack berpendapat, penafsir perlu menempatkan diri diantara yang tertindas
maupun di dalam perjuangan mereka. Menafsirkan teks dari bawah permukaan
sejarah dengan berlandaskan gagasan tentang keutamaan posisi kaum tertindas ini
dalam pandangan Illahi dan kenabian.
Mereka
yang berjuang bagi pembebasan telah menyatakan bahwa paradigma serupa harus dimiliki oleh siapa pun yang mencoba mendekati Al-Qur�an dan yang ingin
membawa ruh dasar Al-Qur�an ke dalam kehidupan. Dalam konteks penindasan
inilah sang penafsir diseru untuk menjadi
saksi Tuhan. Komitmen kepada kemanusiaan dan solidaritas aktif dengan mustad�afin
muncul ketika membaca ulang realitas
sosial maupun teks lewat perspektif
mereka. Pembacaan ulang ini dimulai
dari keterlibatan dalam analisis sosioekonomi. Tujuan usaha ini adalah
upaya kontribusi efektif Al-Qur�an bagi perjuangan demi keadilan penduduk negeri. Suatu perjuangan yang harus diupayakan, walaupun sebagian besar partisipannya adalah penganut agama lain, karena mereka bisa juga termasuk mustad�afin.
Dalam
keadaan penindasan dan ekploitasi, setiap pertemuan antaragama yang bermakna mesti berakar dari perjuangan
masyarakat biasa. Ia tak bisa
direduksi menjadi wacana atau polemik
teologis semata. Dalam pluralitas bernegara dengan berbagai agama yang berkomitmen
pada visi masyarakat yang demokratis, nonrasialis, dan nonseksis tak punya pilihan lain kecuali berdialog satu sama lain dalam konfrontasi dengan para penguasa sewenang-wenang, yang mungkin juga terjadi di
Indonesia. Kepercayaan di antara
para kaum beragama ini hanya terwujud
bila mereka berdiri bersama derita dan perjuangan kaum miskin.
Pembelaan Islam Terhadap Kaum Al-Mustad�afin
Fakta dehumanisasi, ketidakadilan, marjinalisasi, dan
interpretasi sejarah yang hegemonik memang merupakan fenomena tidak terelakkan.
Ketika makna sejarah telah dikuasai serta dimanipulasi oleh rezim, wacana dan
otoritarianisme. Dalam situasi demikian, yang selalu dikorbankan adalah
individu-individu atau kelompok yang dipaksa agar menerima sebagai takdir dari
kehidupan yang mereka jalani. Maka, sesungguhnya yang paling berperan adalah
bagaimana cara melihat sebuah asumsi teologis ketika dihadapkan pada realitas
ketertindasan dapat memunculkan suatu upaya penegakan keadilan dan pembebasan.
Setiap Nabi dan Rasul yang di utus didunia ini, hadir
tidak hanya membawa risalah wahyu. Mereka hadir untuk salah satunya membebaskan
masyarakat dari ketertindasan sosial. Konsekuensi dari upaya pembebasan ini
adalah berhadapan dengan para penguasa yang sewenang-wenang. Ada contoh dalam
Al-Qur�an yang memperlihatkan ketegangan antara kaum lemah dan berkuasa ini.
Nabi Musa As memasuki istana Fir�aun dengan pakaian gembalanya, Yesus tampil
sebagai pembela orang-orang papa yang berjuang menentang para pendeta Yahudi
dan saudagar yang telah bersekutu dengan penakluk Roma, dan Nabi Sholeh As
memupuskan harapan orang-orang kaya dengan menolak untuk masuk ke dalam sistem
nilai mereka, Nabi Yusuf As menolak pelecehan seksual dari Zulaikha, �serta
Nabi Muhammad Saw yang rela dilempari batu oleh kaum yang menentang dakwahnya.
Berdasaran penelusuran ayat tentang mustad�afin, dengan
menggunakan beberapa kata kunci seperti mustad�afin, arazil, masakin
dan fakir, sebagaimana disebutkan dalam BAB III, dapat disimpulkan bahwa beberapa
kelompok sosial yang bisa dikategorikan sebagai mustad�afinatau
orang-orang tertindas yang perlu dibela adalah orang-orang yang tersisih dan
lemah baik dari segi politik/kekuasaan� (QS.
Hud [11]: 27) dan ekonomi (fuqara� dan masakin)� QS. Al-Baqarah [2]: 271 dan 273; QS.
An-Nisa� [4]: 8; dan QS. Al-Ma�un [107].
Di dalam Al-Qur�an, pembebasan terhadap kelompok marginal
ini lugas dinyatakan. Dalam QS. Al-Qashash [28]: 5, disebutkan bahwa kelompok mustad�afinmemiliki
peluang untuk menjadi pemimpin: �Dan Kami hendak memberi karunia kepada
orang-orang yang tertindas di bumi (mesir) itu dan hendak menjadikan mereka
pemimoin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi�, yang dalam QS.
Al-A�raf [7]: 137 disebutkan bahwa kelompok tertindas ini akan mewarisi
bumi bagian Timur dan Barat �Dan kami wariskan kepada kaum yang tertindas itu,
bumi bagian timur dan bagian baratnya,...�. Namun begitu, pembebasan ini
tentu tidak terjadi tanpa perjuangan.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nahl [16]: 41,
�Dan orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka didzalimi pasti akan� Kami berikan tempat yang baik kepada mereka
di dunia dan pahala di akhirat pasti lebih besar sekiranya mereka mengetahui�,
hijrah dalam konteks ini dapat berarti bergerak dari satu kondisi kepada
kondisi yang lainnya. Yaitu, dari kondisi tertindas menuju kepada kondisi yang
lebih baik, dimana mereka mendapatkan kedudukan layak di dalam tatanan sosial
kemasyarakat (tempat yang baik kepada mereka di dunia). Menariknya,
akhir ayat ini menyebutkan (lau kanuu ya�lamun), yang berarti bahwa
kesadaran terhadap kewajiban berhijrah (berjuang untuk pembebasan) ini menjadi
prasyarat utama bagi kondisi-kondisi yang diidam-idamkan.
Dalam ayat selanjutnya QS. An-Nahl [16]: 110, disebutkan
bahwa kelompok mustad�afinhanya akan mendapatkan hak-hak mereka setelah
mereka berjihad (bersungguh-sungguh dalam usaha). Didahulukannya berjihad dari
bersabar menunjukkan bahwa perintah untuk bergerak dan melakukan sesuatu untuk
merubah keadaan harus diutamakan. Dan perjuangan untuk merubah keadaan bukan
hanya dalam tahap teoritis tapi juga pada tahap praksis, inilah yang menjadi
penekanan dari hermeneutika pembebasan Esack.
Al-Qur�an juga menekankan pentingnya pemimpin yang adil
dan amanah, tidak melakukan penindasan, namun justru melakuan pembebasan atau
pembelaan bagi kelompok marginal. Dalam QS Al-Hajj [22]: 40-41 dijelaskan bahwa
Allah akan menolong orang-orang yang menolong agamaNya. Siapa mereka?
sebagaimana diungkap dalam ayat 41, mereka adalah orang yang memiliki kedudukan
di bumi (memiliki kekuasaan/pemimpin) namun tetap pada keimanan dengan melakukan
sholat, menunaikan zakat (pembebasan untuk kelompok miskin) dan menyuruh
berbuat ma�ruf, mencegah dari yang munkar dan menjadikan semua
urusan yang menjadi tanggungjawabnya semata-mata untuk Tuhan.�
Semangat pembebasan kaum tertindas dapat dijalankan dalam
konteks ke-Indonesia-an. Namun, solusi yang ditawarkan oleh Al-Qur�an untuk
mengurai problem kemiskinan atau krisis ekonomi tidak dapat diaplikasikan
dengan baik apabila pemerintah tidak mengambil bagian didalamnya. Masalah yang
ada dan begitu kompleks harus diselesaikan atas kerjasama semua pilar yang
menjadi penyokong negeri ini.
Kontekstualisasi Penafsiran Al-Mustad�afin Sebagai
Pencegahan Penindasan di Indonesia
Sejarah mencatat, bahwa Indonesia pernah menjadi negara
jajahan dari beberapa negara yang ingin menguasai kekayaan alam Nusantara.
Perjuangan kemerdekaan akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya bangsa
Indonesia meraih kebebasan dari penjajah atas berkat perjuangan seluruh rakyat
dan pahlawan. Maka, dengan kemerdekaan yang sudah diraih tidak boleh ada
penindasan bentuk apapun terhadap rakyat. Namun, di masa mengisi kemerdekaan
ini justru muncul persoalan baru, kebijakan ataupun keadaan negara yang masuk
dalam kategori bentuk penindasan yang baru, bahkan atas nama doktrin agama.
Istilah mustad�afin
dirasakan berlaku bagi semua orang yang tertindas, terlepas dari latar belakang
agamannya. Seperti yang terlihat dalam dua kalimat di bawah ini:
(Tugas kaum
Muslim) adalah mempersatukan kekuatan progresif di kalangan mustad{�afin �... berperan serta demi kesatuan mustad{�afin
... meneriakkan dengan lantang pada para penindas :�Jika kamu memerangi
orang-orang tertindas atau menghalangi jalan orang-orang tertindas, kami
diperintah Tuhan untuk membela diri menentang ketidakadilan dan penindasan�.
Kutipan kalimat
Esack tersebut dapat dimaknai sebagai semangat melakukan pembebasan bagi kaum
marginal dengan berlandaskan keimanan. Memang sebagaimana telah disampaikan di
muka, Islam sebenarnya hadir sebagai gerakan pembebasan. Adapun pembebasan ini
bisa dilakukan dengan dua pola sekaligus bottom-up dan top-down. Keduanya
harus bisa bersinergi untuk menciptakan tatanan sosial yang adil dan makmur,
tidak diskriminatif terhadap satu kelompok manapun. Dalam konteks Indonesia,
pembebasan ini bisa dilakuan dalam berbagai bidang baik agama, politik,
ekonomi, sosial dan budaya.
a.
Agama
Pada
realitasnya,� agama seringkali dijadikan
alat legitimasi kekerasan. Atas nama doktrin agama, kekerasan muncul oleh kaum
dominan kepada kaum marjinal di berbagai daerah. Masalah terbaru tentang RUU
sekolah minggu dan pesantren. Rancangan Undang-Undang dalam pasal 69-70,
membuat aturan bahwa sekolah minggu harus punya perizinan dan diatur oleh Kemenag.
Ini jelas negara telah masuk dalam ranah internal keagamaan. Selanjutnya,
kaderisasi terindikasi radikalisme di tingkat rohis meningkat. Direktur Wahid
Institute, Yenny Wahid mengungkapkan hasil survey pada rentang tahun 2016,
bahwa ada sekitar 58 persen anggota Rohani Islam di sekolah ingin berjihad ke
Suriah. Sekarang Kementerian Agama perlu melakukan pembinaan terhadap rohis.
Menanamkan nilai egaliter dan pentingnya Islam inklusif. Salah satunya dengan
cara, program perkemahan pelajar antar agama, dsb.
Pemikiran keagamaan
yang inklusif dan mengedepankan aspek-aspek kemanusiaan perlu terus
dikembangkan agar agama menjadi rahmat dan pembebas bagi kaum marginal.
Agama sudah seharusnya menjadi semangat pembebasan bagi kelompok lemah�yang
tertindas baik secara struktural maupun kultural.
b. Politik
Di Indonesia, masih banyak ditemukan kelompok yang
termarjinalkan karena kekerasan struktural oleh kebijakan yang diskriminatif.
Contohnya, pembatasan terhadap ekspresi keagamaan. Padahal sebagai
penyelenggara negara, pemerintah seharusnya mencerminkan sikap yang disebutkan
dalam (QS. Al-Hajj [22]: 41) tentang pemimpin harus amanah, menyuruh yang makruf� (kerukunan antar umat beragama, praktik
kemanusiaan)� dan mencegah yang munkar
(diksriminasi, dsb) melalui kebijakan. Contoh, UU perlindungan Hak-hak kelompok
marjinal perlu dikuatkan. UU yang mengeksklusi kelompok berbeda seperti
Penetapan Presiden /PNPS 1965 perlu direvisi. Karena sering ditafsirkan
diskriminatif. Seperti yang dikatakan oleh komisioner HAM, Imdadun Rahmat bahwa
masih banyak aturan yang mengekang, menindas, dan diskriminatif terhadap
kelompok minoritas agama dan kepercayaan. Perubahan UU itu perlu dilakukan agar
tidak lagi terjadi� kasus atas nama
penodaan agama, yang sebenarnya hanya untuk kepentingan politik orde baru saja.
Sehingga warga negara secara berdampingan dapat menjalankan ibadahnya dalam
kondisi yang aman.
c.
Ekonomi
Pembebasan dalam hal
ekonomi bisa dilakukan dengan meneladani sikap Muhammad kepada kelompok fakir
dan miskin. QS. Abasa [80]: 5-10 memerintahkan Muhammad untuk selalu bersama
kaum papa walaupun Ia akan memeproleh keuntungan seandainya ia mau bergabung
dengan mereka. Muhammad� sendiri adalah
proletar. Banyak ayat dalam Al-Qur�an menekankan kepada pemerataan ekonomi. QS.
Al- Ma�un [107] juga memberikan legitimasi pembebasan masalah ekonomi bagi kaum
mustad�afin. Contoh, tindakan koruptif penguasa, monopoli perdagangan
kaum bermodal. Tindakan penguasa yang bersifat rakus membuat penderitaan
terutama bagi rakyat kecil. Hingar-bingar kehidupan dan tekanan ekonomi membuat
rakyat kecil sesak bernafas di rumahnya sendiri. Bila QS. Al-Qashash [28]: 4-8
menekankan bolehnya Bani Israil membebaskan dirinya dari kedzaliman penguasa,
maka ini berarti bahwa masyarakat lain di dunia berhak membebaskan diri dari
rezim yang menindas mereka termasuk masyarakat Afrika Selatan juga Indonesia.
Jalan keluar yang
ditawarkan, terangkum dalam beberapa titik simpul sebagai berikut : pertama,
struktur sosial sebagai penyebab utama kemiskinan dan kebodohan. Bila kondisi
sosial ekonomis diperbaiki, dengan menghilangkan diskriminasi dan memberikan
peluang yang sama, maka kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah dapat segera
diminimalisir. Orang miskin pada hakikatnya tidak berbeda dengan orang kaya,
mereka hanya mempunyai posisi yang sangat tidak menguntungkan. Cara ini
ditempuh dengan penguatan pemberian modal usaha bagi kaum miskin. Pemberdayaan
mahasiswa atau lembaga pendidikan tinggi untuk terlibat langsung melihat
kondisi jalanan. Sehingga, sudut pandang mereka lebih jelas dalam menemukan
cara memberantas kebodohan, keterasingan dan pembatasan akses pendidikan.
Keterlibatan Kuliah Kerja Nyata, bisa dialihkan tidak terjun dalam komunitas
stabil namun ke komunitas fluktuatif. Dalam hal ini pemukiman kumuh, pendirian
sekolah jalanan, pembelajaran agama bagi tunasusila, dsb. Sesuai kemampuan yang
diperoleh dikampus.
Kedua, pengentasan mustad�afinsetidaknya menghajatkan
dua peranti yang satu sama lain saling mendukung dan berhubungan secara
sinergis. Dua peranti ini bersifat atas-bawah, yaitu dari atas adalah harus ada
struktur sosial-ekonomis serta kebijakan politik yang berpihak kepada kaum
lemah dan mereka yang terkungkung dalam kesulitan ekonomi. Keberpihakan
pemerintah atau penguasa aktif,� jelas
sangat mempengaruhi usaha pembebasan mustad�afin. Maka, posisi
pemerintah dan ormas Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama� menjadi sangat penting. Pengelolaan Baznas, Lazizmu dan Lazisnu berperan
aktif dalam pemberdayaan pembebasan mustada�afin. Karena, ormas ini
lebih mempunyai keterikatan dan pengorganisasian masa.
d.
Sosial
Budaya
Upaya untuk mencegah
diskriminasi dalam hal perbedaan ras dan warna kulit juga perlu dilakukan
melalui gerakan kebudayaan. Dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13 disebutkan bahwa kita
diperintahkan untuk saling kenal mengenal, penghormatan sesama kerena diciptakan
berbangsa-bangsa agar saling mengenal dan menghormati. Mengenal apapun budaya,
warna, daerah dan bahasa. Dan kita diperintahkan untuk saling menghormati
walaupun berbeda. Penghormatan atas nama kemanusiaan termasuk kepada perempuan
juga perlu ditingkatkan. Gagasan-gagasan ini dapat dilakukan melalui jalur
kultural dengan memberi ruang/melakukan event-event yang mendorong munculnya
kelompok-kelompok marginal dalam pergaulan publik. Dengan begini, solidaritas
kemanusiaan antar kelompok bisa dilakukan.�
QS. An-Nisa�[4]: 75 menyerukan pembelaan kepada kaum lemah dari semua
golongan, dengan cara yang kita bisa lakukan. Penindasan terjadi ketika dalam
suatu bangsa, orang kaya hidup mewah di atas penderitaan kaum miskin, para
budak merintih dalam belenggu tuanya, penguasa membunuh orang tak berdaya sebagai
kesenangan, para hakim memihak kaya dan memasukkan ke penjara orang kecil tak
bersalah dan berdosa. Maka Rasulullah Saw menyampaikan pesan Tuhan diatas.
Indonesia sudah punya
pilar penyangga yang sesungguhnya selaras dengan semangat keberpihakan Al-Qur�an
terhadap mustad�afin, yaitu Pancasila. Dalam kelima sila, telah menjadi
hafalan sejak sekolah dasar oleh para generasi bangsa. Namun, hal tersebut
hanya akan menjadi hafalan saja. Jika, tidak ada praksis yang menyertai itu.
Begitu pula dengan hermeneutika Esack, yang sesungguhnya lebih menitik beratkan
tindakan praksis.
Yang harus
diperjuangkan sesungguhnya adalah pembebasan kelompok tertindas/marginal dengan
menggali inspirasi dan semangat dari nilai-nilai agama. Hal ini harus menjadi
perhatian utama para penguasa di Indonesia saat ini karena pada kenyataan agama
semakin dihadapkan pada masalah-masalah yang riil. Dari sini, hermeneutika
Esack memandang peran doktrin agama harus bisa menjawab persoalan kontemporer
ini. Ada lima hal yang bisa dilakukan, yaitu: dukungan aktual dengan perlawanan
konseptual, perlawanan pasif, kontrol sosial lewat aksi penyadaran, pernyataan sikap,
dan bekerja sama yang konstruktif.
Kesimpulan
Mustad�afin menurut Farid Esack berarti mereka yang berada dalam status sosial
inferior, yang rentan, tersisih atau tertindas secara sosioekonomis. Al-Qur�an
menyebut mereka dalam karakter demikian dengan berbagai kata seperti arazil
(yang tersisih), fuqara�, dan masakin. Hermeneutika
pembebasan Farid Esack mengupayakan Mustad�afin harus dientaskan dalam
bentuk ketertindasan dalam segala hal. Jalan yang ditempuh Esack adalah membawa
agama dalam hal ini Al-Qur�an agar ditafsirkan sebagai upaya pembebasan. Dalam
konteks ke-Indonesia-an, mustad�afin adalah warga negara Indonesia yang
mengalami penindasan atau bentuk pelemahan. Maka dari itu, hermeneutika pembebasan
Farid Esack dapat menjadi jalan untuk mengupayakan pembebasan kaum mustad�afindi
Indonesia. Semangat mengamalkan nilai ajaran agama harus dibawa untuk upaya
pembebasan dalam agama, ekonomi, politik, dan sosial budaya.
BIBLIOGRAFI
Agama RI, Kementerian, Al-Qur�an
Al-Karim dan Terjemahanya, Surabaya : Halim, 2013.
Al-Isfahani, Al-Raghib, Mu�jam Mufradat
Al Fazh Al-Qur�an, Beirut : Dar al-Fikr, tt.
Al-Tabari, Muhammad bin Jarir, Jami�
al-Bayan �an Ta�wil Ayy al-Qur�an, Beirut : Dar al Fikr, 1405 H.
Al-Zamakhsyari, Mahmud, Al-Kasyasyaf
�an Haqai�iq Ghawamidh al-Tanzil wa �Uyun al-Aqawil fi Wujuh al Ta�wil,
Beirut : Dar al-Kutub al-�Ilmiyah, cet.I, 1995.
Badruzaman,
Abad, Dari Teologi Menuju Aksi (Membela yang Lemah, Menggempur Kesenjangan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Esack,� Farid, Membebaskan yang Tertindas :
Al-Qur�an, Liberalisme, Pluralisme, Bandung : Mizan Media Utama, 2000.
Esack,
Farid, The Qur�an: an User�s Guide, Oxford: One World, 2005.
Esack,
Farid, Qur�an, Liberation and Pluralisme: An Islamic Perspective of
Interreligous Solidarity against Oppression, London: One World Oxford, 1997.
Khaidir,�
Piet H, Teologi Kaum tertindas : Sajak BerIslam untuk Praksis
Keadilan Sosial, , dalam jurnal Ilmiah Bestari : Nomor 35, 2003, Malang :
Universitas Muhammadiyah Malang, 2003.
Shihab,
M. Quraish, Pesan, Kesan
dan Keserasian Al-Qur�an, Jakarta: Penerbit Lentera Hati, cet. VIII, 1998.
Subhan,
Arief, Teologi yang Membebaskan, Kritik terhadap Develomentalisme, dalam
jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur�an, no. 3, th. 1995.
Copyright holder: Muhammad Abdul Rozak, Hanief Saha Ghafur (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |