Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 7, Juli 2022
PERBANDINGAN HUKUM TENTANG PENGATURAN MATA UANG VIRTUAL SEBAGAI ASET TERPIDANA TINDAK PIDANA
KORUPSI DI INDONESIA DAN
NEGARA CHINA�
Bagus
Nur Jakfar
Universitas Jember, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara
Negara Indonesia dengan Negara China, dimana berdasarkan perbedaan tersebut
dapat diketahui terkait hukum yang mengatur hukum uang virtual di kedua negara
tersebut. sistem peradilan pidana terdapat perbandingan hukum untuk memutahirkan
hukum yang ada di berbagai negara. Perbandingan hukum crypto di Negara Indonesia dengan
Negara China yakni penggunaan
crypto di Indonesia bukan merupakan
alat pembayaran yang sah dan belum diatur
dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dimana alat pembayaran
yang sah yakni mata uang berbentuk rupiah. Sedangkan di China crypto ini dilarang untuk digunakan sebagai alat pembayaran dikarenakan rawan terjadinya tindak kejahatan di bidang teknologi.
Kata Kunci: Negara Indonesia, Negara China, perbandingan hukum crypto
Abstract
This study aims to determine the differences between the
State of Indonesia and the State of China, where based on these differences can
be seen related to the laws governing virtual money law in the two countries.
In the criminal justice system there are comparative laws to update existing
laws in various countries. Comparison of crypto law in Indonesia and China,
namely the use of crypto in Indonesia is not a legal tender and has not been
regulated in Law No. 7 of 2011 concerning Currency, where the legal means of
payment is in the form of rupiah. While in China, crypto is prohibited from
being used as a means of payment because it is prone to crime in the technology
sector.
Keywords: Indonesia, China,
crypto law comparison
Pendahuluan
Perkembangan
zaman saat ini nampaknya sedang menuju ke arah
modernisasi. Perkembangan
yang lebih panjang selalu menghasilkan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang tampak lebih nyata.
Dengan kemajuan pesat baik teknologi
maupun bidang lainnya, pengguna teknologi mengalami peningkatan dalam kemudahan. E-commerce, atau penciptaan alat pembayaran yang cepat, aman, dan rahasia, merupakan salah satu kemajuan teknis yang sangat pesat yang telah membawa kemajuan ke seluruh bagian
kehidupan manusia. Alat pembayaran yang dulunya menggunakan uang tunai kini sudah tergabung
dengan alat pembayaran baru, khususnya alat pembayaran nontunai (non-cash based instrument) yang mulai berkembang sehingga tidak lagi paper-based melainkan menggunakan uang
virtual, selain itu banyak bermunculan aplikasi yang menjanjikan mendapatkan uang dengan cara daftar menggunakan data pribadi melalui ktp dan lain sebagainya, sehingga sering terjadi pencurian data atau cybercrime. Perkembangan
zaman yang seperti ini banyak menimbulkan permasalahan yang serius dan menuntut hukum di Indonesia untuk segera membuat
kebijakan ataupun sistem peradilan pidana untuk mengatasi
permasalahan tersebut.
Uang virtual (cryptocurrency) merupakan
suatu transaksi jual beli mata
uang elektronik dimana uang
virtual ini di Indonesia sudah
mulai terkenal dan banyak masyarakat yang mulai berinvestasi dan melakukan transaksi jual beli di uang virtual
(cryptocurrency) tersebut. Adanya
transaksi jual beli mata uang elektronik ini diperlukannya peraturan yang mengatur terkait uang virtual begitu juga terkait legalitas dan status hukum para pemilik uang virtual. Hal ini harus dilakukan untuk memastikan adanya payung hukum
yang dapat digunakan untuk merespon kegiatan mata uang virtual, baik yang digunakan sebagai tindak pidana atau tidak.
Istilah "uang virtual" mengacu
pada uang yang tidak memiliki
dasar fisik. Sejak 2012, mata uang virtual telah didefinisikan sebagai semacam mata uang yang dibuat dan diawasi oleh pengembangnya yang digunakan untuk anggota tertentu, seperti komunitas virtual.
Cryptocurrency ini adalah aset digital yang dirancang untuk berfungsi sebagai media pertukaran dengan mengenkripsi transaksi keuangan, mengendalikan pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi
transfer aset. Bitcoin adalah
salah satu aset kripto atau koin
yang umum digunakan oleh masyarakat Indonesia, dan sering digunakan sebagai alat pembayaran di dunia maya. Selanjutnya bitcoin merupakan komponen transaksi untuk kebutuhan masyarakat Indonesia, namun saat ini belum
ada undang-undang yang mengatur penggunaan bitcoin sebagai alat pembayaran,
dan masih ada kekosongan hukum.
Mata uang kripto merupakan asset digital yang dirancang
untuk bekerja sebagai media pertukaran yang mengggunakan kriptografi yang kuat dalam mengamankan
transaksi keuangan, mengontrol penciptaan unit tambahan dan memverifikasi
transfer aset. Selain itu bitcoin juga menjadi bagian transaksi dari keperluan masyarakat di Indonesia, akan tetapi sampai saat
ini belum ada hukum yang mengatur terkait penggunaan bitcoin sebagai alat pembayaran dan juga masih ada kekosongan
dari segi hukum itu sendiri.
Adanya uang virtual ini dapat dijadikan sebagai modus baru dalam tindak pidana
korupsi. Salah satu unsur dalam tindak
pidana korupsi yakni adanya kerugian
keuangan Negara maupun
Daerah, dimana kerugian
uang Negara tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang
korupsi yakni Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 terkait kebijakan bahwa keugian Negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi (Lukas, 2010).
Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penanggulangan kejahatan dalam penggunaan mata uang crypto sebagai aset dari
tindak pidana korupsi.
Pengembalian
uang atau aset dalam tindak pidana
korupsi dalam pelaksanaannya sangat sulit untuk diterapkan, karena di masa lalu, tindak pidana korupsi,
baik dalam skala kecil atau
skala besar, dilakukan dengan cara yang sangat rahasia, terselubung, serta melibatkan banyak pihak dengan solidaritas
yang kuat untuk saling melindungi ataupun menutupi perbuat. Aset atau
harta dari kekayaan pelaku tindak pidana korupsi
bahkan sudah sampai melewati lintas Negara dan baru baru ini aset
dari korupsi disimpan dengan model uang crypto
atau uang virtual yang dijadikan
sebagai modal trading, sehingga
sangat sulit bagi penegak hukum untuk
mengetahui dan merampas aset dari tindak
pidana korupsi yang berbentuk mata uang virtual atau crypto. Tindak pidana korupsi adalah salah satu tindak pidana khusus,
dimana tindak pidana korupsi ini memiliki spesifikasi
tertentu yang berbeda dengan hukum pidana
secara umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara.
Sistem peradilan pidana merupakan suatu mekanisme kerja dalam penanggulanagan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Kebijakan penanggulangan kejahatan sebagai bagian dari kebijakan
penegakan hukum harus mampu menempatkan
setiap komponen sistem hukum kearah
yang kondusif dan partisipatif
untuk menanggulangi kejahatan. Hukum pidana yang menduduki posisi sentral dalam sistem
peradilan pidana yaitu untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi dalam rangka melindungi
dan menciptakan kesejahteraan
masyarakat. Adanya hukum pidana memiliki
peran penting dalam melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hukum pidana ini dilakukan sebagai
kontrol sosial untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali kejahatan (Muhammad, 2011).
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis ingin mengkaji
lebih dalam terkait isu hukum
dan kebijakan penanggulangan
hukum terkait penyitaan aset yang berupa mata uang virtual
cryptocurrency dalam perkara
tindak korupsi.
Metode
Penelitian
Penelitian
hukum adalah kegiatan ilmiah yang mencoba mengkaji satu atau lebih
fenomena hukum tertentu dengan mempelajarinya. Ini didasarkan pada metodologi, sistematika, dan pemikiran tertentu. Metode penelitian adalah cara berpikir dan berperilaku yang dipersiapkan dengan baik untuk
melakukan dan mencapai tujuan penelitian, sehingga tidak mungkin penelitian membuat, menemukan, mengevaluasi, atau memecahkan masalah dalam suatu penelitian
tanpa mereka (Soerjono Soekanto, 2019).
Topik pemilihan metode merupakan isu utama dalam
penelitian ilmiah karena kualitas, nilai, dan validitas hasil penelitian ilmiah terutama dikendalikan oleh pemilihan metode. Yang dimaksud dengan metodologi penelitian menurut definisi para ahli di atas tentang metode
dan penelitian adalah ilmu yang menganalisis atau membahas tata cara yang digunakan dalam upaya mengidentifikasi,
mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu ilmu guna mencapai
suatu penelitian. tujuan. Dalam metode
penelitiannya terangkum sebagai berikut:
A. Metode
Pendekatan
Penelitian
yang dilakukan penulis menggunakan jenis penelitian dengan analisis isi (Content Analysis). Metode ini merupakan
teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
dan menganalisis muatan dari sebuah teks.
Teks yang dimaksud dapat berupa kata-kata, gambar, symbol,
gagasan, dan bermacam-macam
bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisi isi merupakan
metode yang lebih memahami data bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik akan tetapi sebagai
gejala simbolik untuk mengungkap makna yang terkadang dalam sebuah teks
dan memperoleh pemahaman terhadap pesan yang direpresentasikan sesuai dengan tujuannya. Metode analisis isi ini dapat
dijadikan pilihan yang tepat untuk diterapkan
pada penelitian yang terkait
dengan isu hukum terbaru (Ekomadyo, 2006).
B. Desain
Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk
menggambarkan atau mendeskripsikan tentang suatu keadaan secara
obyektif. Analisis isi merupakan teknik
penelitian yang dilakukan untuk menarik kesimpulan
dengan mengidentifikasi karakteristik atau isu isu suatu
pesan secara obyektif dan sistematik. Metode kualitatif merupakan salah satu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptf berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang serta mengamati
perilaku yang ada (Moleong, 2021).
C. Sumber
Data
Sumber
data yang digunaakan antar
lain:
Bahan
hukum primermerupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki otortitas. Bahan pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis. Bahan-bahan primer terdiri dari perundang-undangan, catatan catatan resmi dan putusan-putusan hakim. Bahan primer yang digunakan oleh penulis diantaranya yakni:
a. Kitab
UU Hukum Acara Pidana (KUHAP)
b. Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang
c. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang
d. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Tahun 2020. Putusan Nomor 624/Pid.Sus/2020/PN.
Jakarta Selatan
e. Berita tindak pidana korupsi
menggunakan aset berupa mata uang virtual
Data
sekunder merupakan data
yang berupa semua publikasi dan bukan dokumen-dokumen resmi, publikasi yang ada biasanya yakni berupa buku teks,
kamus hukum, jurnal terkait hukum dan komentar atas putusan pengadilan
serta hasil karya ilmiah atau
skripsi yang relevan dengan penelitian tersebut.
Data
tertier adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terkait data hukum primer dan sekunder, dimana diantaranya data dari media
internet yang relevan dengan
penelitian serta relevan dengan kamus hukum.
D. Metode
Pengumpulan Data
Pengumpulan
data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan
dan dokumentasi, pengumpulan
data primer dianalisis menggunakan
analisis isi yakni dengan mencatat
isi berita atau komentar yang diberikan oleh responden dari suatu acara atau produk media yang berhubungan dengan uang virtual
dan tindak pidana korupsi menggunakan uang virtual.
E. Alat
Bantu
Alat
bantu yang digunakan pada penelitian yakni matriks dari komentar
putusan pidana korupsi, berita mengenai uang virtual yang dijadikan
aset, perampasan aset uang virtual, surat kabar, internet dan media lainnya.
F. Validasi
Data
Validasi
data yang dilakukan menggunakan
analisis data hanya mennujukkan apa yang diteliti dianggap penting dan bagian mana yang dianggap tidak penting. Peneliti harus melihat dan mengamati data yang diperoleh dari berbagai media dan mengelompokkan hasil yang dianggap penting dan kurang penting. Tingkat validitas menggunakan analisis isi ditentukan
oleh penarikan kesimpulan
dan kesesuaian dengan teori yang ada. Apabila reliabilitas merujuk pada konsistensi internal
dari metode, maka validitas merujuk pada konsistensi eksternal dari keseluruhan riset atau teori yang terkait.
G. Metode
Analisis Data
Penelitian
menggunakan analisis isi melihat konsistensi
makna yang ada pada sebuah teks. Konsistensi
ini dapat dijabarkan melalui pola-pola yang terstruktur dan dapat membawa peneliti
terkait pemahaman tentang sistem nilai dibalik suatu
teks tersebut. Adapaun beberapa persyaratan dalam menggunakan metode analisis isi diantaranya
yakni, data harus objektif, sistematis, dan dapat digeneralisasikan. Data yang
objektif yakni berarti prosedur dan kriteria pemilihan data, pengkodean serta cara interpretasi harus sesuai dengan
aturan yang telah ditentukan sebelumnya. Sistematis berarti sebuah data harus dikategorikan berdasarkan dengan aturan yang konsisten. Dapat digeneralisasikan yakni berarti bahwa tiap
temuan yang diteliti harus relevan dengan
teori yang ada.
Adapun
langkah-langkah dalam meneliti dengan menggunakan metode analisis isi diantaranya
yakni:
Hasil
dan Pembahasan
Karakteristik
Aset Terpidana Korupsi Yang Berupa Mata Uang
Virtual
Pemerintah melalui
Bank Sentral memproduksi mata
uang berupa uang logam dan
uang kertas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan tidak hanya sampai pada mata uang. Bank umum kini menerbitkan giro dalam bentuk
cek, bilyet giro, dan kartu kredit berkat kemajuan
teknologi. Uang elektronik
juga telah muncul di
Indonesia, terbukti dengan diterbitkannya Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang
Uang Elektronik. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 yang mengatur tentang Mata Uang juga mengatur tentang pengaturan hukum yang berkaitan dengan uang sebagai alat pembayaran
(selanjutnya disebut Undang-Undang Mata Uang). Uang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU Mata Uang adalah uang yang dikeluarkan oleh
Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut
Rupiah dan ditegaskan dalam
Pasal 2 Undang-Undang Mata
Uang bahwa uang adalah alat pembayaran yang sah dan berlaku di Indonesia. mengakui rupiah sebagai mata uang yang berlaku di wilayahnya, demikian pula rupiah harus digunakan dalam setiap transaksi,
sesuai dengan premis yang ditetapkan dalam Pasal 21 ayat 1 UU Mata Uang. dapat menyusun dan menerbitkan peraturan yang menjadi peraturan perundang-undangan yang
memungkinkan Bank Indonesia mengenakan
sanksi administrative (C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, 2009).
Hukuman administratif adalah salah satu konsekuensi hukum dari penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran
di Indonesia. Bank Indonesia memiliki peran vital dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Salah satu
tanggung jawab Bank
Indonesia adalah menetapkan
alat pembayaran yang tersedia bagi masyarakat
umum, termasuk alat pembayaran yang bersifat elektronik.
Menurut
peraturan Bank Indonesia 18/40/PBI/2016 tentang pemrosesan transaksi pembayaran (mata uang virtual) atau uang virtual,
uang digital yang diterbitkan oleh pihak selain otoritas
moneter yang diperoleh melalui penambangan, pembelian, atau pemindahan hadiah (reward), seperti Bitcoin, BlackCoin, Dash,
Dogecoin, Litecoin, dan sebagainya. Cryptocurrency adalah jenis mata
uang alternatif yang dihasilkan
dan diperdagangkan melalui mekanisme kriptografi. Mayoritas cryptocurrency ini dibangun di atas teknologi peer-to-peer dan kriptografi
open source, dan tidak bergantung
pada otoritas pusat seperti bank sentral atau organisasi administratif lainnya. Pengenalan uang virtual ke Indonesia
telah menghasilkan adopsi yang luas sebagai alat pembayaran
di dunia maya. Cryptocurrency terdesentralisasi, yang
berarti mereka bergantung sepenuhnya pada pasar untuk sirkulasi mereka dan tidak memiliki otoritas pusat yang dapat campur tangan. Sirkulasi yang cepat dan kemunculan Cryptocurrency di seluruh
dunia berpotensi memberikan
dampak yang signifikan terhadap ekonomi global. Jika dibiarkan, dikhawatirkan harga dan peredarannya yang
sangat fluktuatif akan berdampak pada stabilitas perekonomian internasional. Hal ini mengundang berbagai tanggapan dari negara-negara di dunia. Beberapa
negara, seperti China, prihatin
dan langsung melarang peredaran Cryptocurrency untuk mencegah pencucian uang dan kejahatan lainnya. Namun, ada beberapa
pemerintah yang secara aktif mendorong penggunaan cryptocurrency. Dukungan
dapat diekspresikan dalam berbagai cara, termasuk ekspresi dukungan vokal dan nonverbal, serta kegiatan nyata. Khazakstan adalah contoh negara yang mendorong penggunaan cryptocurrency dengan membuat koinnya sendiri. Namun, ada beberapa pemerintah
yang secara aktif mendorong penggunaan
cryptocurrency. Dukungan dapat
diekspresikan dalam berbagai cara, termasuk ekspresi dukungan vokal dan nonverbal, serta kegiatan nyata. Khazakstan adalah contoh negara yang mendorong penggunaan
cryptocurrency dengan membuat
koinnya sendiri.
Penggunaan
cryptocurrency menimbulkan masalah
tidak hanya di antara negara-negara, tetapi juga
di antara lembaga-lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), yang
harus mempertimbangkan dan menanggapi situasi ini. Bitcoin adalah salah satu kripto yang paling banyak digunakan di Indonesia.
Bitcoin telah menjadi bagian dari transaksi
sehari-hari masyarakat
Indonesia. Indonesia adalah salah satu
negara di mana penggunaan cryptocurrency tidak diatur. Kurangnya
pembatasan ini tidak menghalangi Cryptocurrency untuk digunakan di Indonesia. Hal
ini tercermin dari banyaknya pengguna layanan pertukaran Bitcoin yaitu Bitcoin
Indonesia yang saat ini memiliki 250.000 anggota, naik dari 80.000 di akhir tahun 2015 dengan nilai transaksi harian Rp. 20 miliar
(thejakartapost.com). Terlepas dari
fakta tersebut, sebenarnya menurut undang-undang Pemerintah
Indonesia tidak mengakui pengguanan Cryptocurrency di Indonesia. Bank Indonesia menyatakan bahwa Bitcoin dan
virtual currency lainnya bukan
merupakan mata uang atau alat pembayaran
yang sah di Indonesia merujuk
kepada Undang-undang no. 7 tahun 2011 tentang mata uang, UU No. 23 tahun 1999, serta Undang-undang No. 6 Tahun 2009 (Bank Indonesia, 2014). Akan tetapi
bitcoin yang beredar di Indonesia masih
belum memliki hukum dan aturan dalam Undang-Undang terkait mata uang dan Bank
Indonesia.
Sesuai
dengan apa yang disampaikan Bank Indonesia dalam siaran pers 16/6/DKom terkait UU No 7 Tahun 2011, UU No
6 Tahun 2009, dan UU No 23 Tahun
1999, segala penggunaan dan
kepemilikan Bitcoin merupakan
tanggung jawab pribadi, menurut apa yang disampaikan Bank
Indonesia dalam siaran pers
16/6/DKom terkait UU No 7 Tahun 2011, UU No 6 Tahun 2009,
dan UU No 23 Tahun 1999, bitcoin dan mata uang virtual lainnya adalah bukan mata
uang atau alat pembayaran yang sah dalam Hal ini karena
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyatakan: �(1)
Mata uang Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah Rupiah; (2) Jenis
Rupiah meliputi uang kertas
dan Rupiah logam.�, (3) Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.�� Akan tetapi seiring dengan maraknya investasi dan jual beli crypto, kini Pemerintah mengeluarkan Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 Tentang ketentuan Teknis Penyelenggaraan
Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset). Pemerintah
Indonesia menyusun beberapa
aturan untuk mengakomodir kepentingan perdagangan kripto aset serta sebagai
suatu pedoman dan kejelasan bagi masyarakat terkait pengakuan Pemerintah terhadap kehadiran bitcoin dan
virtual currency yakni melalui
kebijakan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 99
Tahun 2019 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto yang pada intinya mengatur bahwa �Aset Kripto ditetapkan
sebagai komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di
Bursa Berjangka�, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 (Watung, 2020).
Badan Pengawas
Perdagangan Berjangka Komoditi mengatur pengaturan tambahan dalam peraturan Bappebti No 3 dan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019. Hal ini ditinjau dari
peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Pasar Fisik Aset Crypto di Bursa Berjangka, untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi investor
cryptocurrency, bentuk perlindungan
hukum bagi investor
cryptocurrency, semua pasar cryptocurrency harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam aturan
Bappebti dengan mengumpulkan semua dokumen yang diminta, mengutamakan prinsip manajemen bisnis yang benar, dan sebagainya, serta mengutamakan hak anggota bursa berjangka untuk memperoleh nilai yang terbuka dan menjamin konsumen tetap terlindungi agar dapat mencegah adanya money laundering
(Pencucian Uang) dan pembiayaan
terorisme serta proliferasi senjata pemusnah massal.
Biaya
modal minimal seorang pedagang
aset kripto harus Rp1.500.000.000.000,00 (satu
triliun lima ratus miliar
rupiah) dengan saldo yang harus dijaga sebagai
modal akhir minimal Rp1.200.000.000.000,00 (satu triliun dua
ratus miliar rupiah) dan minimal tiga
(tiga) staf yang tersertifikasi sebagai Profesional Keamanan Sistem Informasi (CISSP). Bappebti tidak hanya mengatur marketplace yang ingin menjadi platform
cryptocurrency di Indonesia, tetapi juga mengatur investor yang ingin membeli dan menjual
cryptocurrency, dengan syarat
investor mengutamakan uang yang akan
digunakan untuk kegiatan transaksi dengan rekening tersendiri di nama pasar. dimaksudkan untuk kepentingan Lembaga Kliring Berjangka.
�Investor dalam mata uang kripto hanya dapat menjual
Aset Kripto jika mereka memiliki
saldo pasar kripto. Jika pasar
crypto melakukan pelanggaran,
maka konsekuensi pembatalan persetujuan dapat mengharuskan pasar asset kripto mengembalikan uang atau menyerahkan Aseet kripto milik
Konsumen Aset Kripto yang dikelolanya, dan dilarang menerima Konsumen baru pada Aset kripto, sebagai
akibat dari pembatalan perjanjian. Selain aturan Bappebti,
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur bahwa �setiap pelaku usaha
yang menawarkan produk melalui sistem elektronik wajib memberikan informasi yang lengkap dan akurat terkait dengan ketentuan kontrak, produsen dan pemasok, serta produk yang ditawarkan (Puspasari, 2020).��
Berdasarkan
pembahasan diatas terdapat analisa ontologi hukum yang dijelaskan bahwa ontologi hukum merupakan penelitian tentang hakikat hukum. Adanya uang virtual
(cryptocurrency) tersebut termasuk
ke dalam bagian dari ontologi
bersahaja dimana ontologi ini merupakan
bagian yang menjelaskan tentang penyebab segala sesuatu dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Hal ini dikarenakan dengan adanya uang virtual di
Indonesia semakin banyak pemintanya sehingga menjelaskan bahwa terdapat pengaruh dan penyebab dari hadirnya
uang virtual tersebut di Indonesia. Penyebab adanya uang virtual yakni semakin banyaknya
motif baru dalam melakukan kejahatan seperti halnya yakni tindak pidana
pencucian uang. Hal ini disebabkan karena belum adanya aturan
dalam hukum yang menyatakan tindak pidana terkait uang virtual maupun modus korupsi menggunakan bitcoin atau uang
virtual (Aprita & Adhitya, 2020).
Sistem
Peradilan Pidana Dalam Penanggulangan Kebijakan Perampasan Aset Mata Uang Virtual Dari Tindak
Pidana Korupsi
Sistem
peradilan pidana merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga
seperti kepolisian, pengadilan, kejaksaan dan permasyarakatan terpidana. Sistem peradilan pidana ini merupakan
suatu sistem yang ada di dalam masyarakat
dengan tujuan untuk menanggulangi kejahatan atau mengendalikan kejahatan agar tetap berada dalam
batasan-batasan toleransi
di kalangan masyarakat (Setiadi & SH, 2017).
Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utama baik berupa hukum
pidana material maupun hukum pidana formal di dalam pelaksanaannya. Sistem peradilan pidana ini sifatnya
terlalu formal dimana dilandasi atas dasar untuk kepentingan
kepastian hukum yang mampu memberikan rasa adil kepada seluruh
masyarakat di Indonesia. Penerapan
sistem peradilan pidana ini melibatkan
manusia yang menjadi subyek sekaligus obyek, sehingga dapat dikatakan bahwa persyaratan utama dalam mengatur
sistem peradilan pidana harus bersifat
rasional, dimana sistem tersebut harus dapat memahami
dan memperhitungkan dampak
yang akan dirasakan oleh masyarakat baik yang berada dalam kerangka
sistem maupun yang berada di luar sistem (Sidik, 2005).��
Sistem
peradilan pidana memiliki 4 komponen diantaranya yakni komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan. Keempat komponen tersebut diharapkan dapat bekerja sama
dan membentuk suatu sistem peradilan pidana yang terpadu. Keempat subsistem ini merupakan satu
kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan sistem peradilan
pidana atau SPP terpadu. Sistem peradilan pidana yang sudah diatur dalam
Undang-undang hukum acara pidana tahun 1981 yang saat ini disebut
KUHAP yang merupakan sistem
peradilan pidana terpadu yang diletakkan di atas prinsip �diferenisasi
fungsional� antara aparat atau lembaga
penegak hukum sesuai dengan tahapan
proses kewenangan yang diberikan
undang-undang. Subsistem tersebu apabila salah satu sistem tidak
bekerja dengan baik maka akan
mengalami setidaknya tiga kerugian diantaranya
yakni:
1. Mengalami kendala atau kesukaran
dalam melakukan dan menilai keberhasilan suatu kegiatan yang berhubungan dengan tugas mereka bersama.
2. Kesulitan dalam memecahkan suatu masalah pokok
yang ada di setiap instansi tersebut
3. Adanya kelalaian tanggung jawab sehingga setiap instansi kurang memiliki rasa tanggung jawab terhadap tugas yang diberikan dan akan mempengaruhi sistem peradilan pidana tersebut
Upaya
dalam penanggulangan kejahatan diperlukan sinkronisasi atau keterpaduan antara penegak hukum merupakan
salah satu hal yang penting, apabila sinkronisasi ini tidak berjalan maka akan menyebabkan
kegagalan dalam pemberantasan kejahatan. Hubungan yang terpadu antara polisi, jaksa dan hakim dalam sistem peradilan pidana merupakan salah satu hal yang penting
dalam penyelesaiaan perkara pidana pada tahap pra-ajudikasi. Kewenangan penyidikan antara sub sistem dalam sistem peradilan
pidana perkara tindak pidana korupsi
setelah keluarnya Undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
dimulai dengan rumusan pasal 26 undang-undang No.31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
merumuskan : penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukkan lain dalam undang-undang ini (A, 2015).
�Tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan dari seseorang
atau kelompok dalam jabatannya yang tidak mengikuti norma-norma hukum yang ada serta mengabaikan
rasa kasih sayang dan tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat demi kepentingan diri sendiri, sehingga
merugikan banyak pihak termasuk Negara dan masyarakat. Tindak pidana korupsi ini banyak terjadi
di Indonesia, selain itu aset dari tindak
pidana korupsi saat ini banyak
yang dijadikan sebagai aset mata uang crypto agar tidak mudah di lacak oleh pihak hukum. Salah satu contoh kasus tindak
pidana korupsi yang menggunakan aset mata uang crypto sebagai salah satu hasil korupsi
mereka yakni kasus PT. Asabri yang melakukan tindak pidana pencucian uang sebagai modus baru dari korupsi yang dilakukan. Kasus tersebut merupakan kasus pencucian uang menggunakan bitcoin sebagai media
untuk mereka melakukan tindak pidana korupsi. Kerugian yang dialami oleh PT Asabri (Persero) yakni sekitar RP 23,7 Triliun, sedangkan untuk aset yang telah disita sudah terkumpul
sekitar RP 10,5 Triliun. Aset tersebut disita
dalam bentuk mata uang crypto jenis bitcoin (Putri, 2021).
Perbandingan
Hukum Crpyo Negara Indonesia dengan
Negara China
Hukum Crypto di Indonesia
Di Indonesia virtual currency atau
cryptocurrency bukan merupakan
alat pembayaran yang sah karena Bank Indonesia selaku regulator pada bulan Januari tahun 2018 melalui Peraturan Bank Indonesia
(PBI) 18/40/PBI/2016 tentang penyelenggaraan
pemprosesan transaksi pembayaran dan PBI 19/12/PBI/2017 tentang
penyelenggaraan teknologi finansial menegaskan bahwa virtual currency termasuk
bitcoin tidak diaukui sebagai alat pembayaran
yang sah, sehingga dilarang digunakan sebagai alat pembayaran
di Indonesia. Pelarangan tersebut
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No.7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan
bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh
NKRI setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran wajib menggunakan rupiah (Gunawan, 2020).
Sebenarnya
menurut undang undang Pemerintah Indonesia tidak mengakui pengguanan Cryptocurrency di Indonesia. Bank Indonesia menyatakan bahwa Bitcoin dan
virtual currency lainnya bukan
merupakan mata uang atau alat pembayaran
yang sah di Indonesia merujuk
kepada Undang-undang no. 7 tahun 2011 tentang mata uang, UU No. 23 tahun 1999, serta Undang-undang No. 6 Tahun 2009 (Bank Indonesia, 2014). Akan tetapi
bitcoin yang beredar di Indonesia masih
belum memliki hukum dan aturan dalam Undang-Undang terkait mata uang dan Bank
Indonesia.
Bank Indonesia sudah mengeluarkan pernyataan resmi terkait Bitcoin bahwa seluruh penggunaan
dan kepemilikan Bitcoin merupakan
tanggung jawab pribadi sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Bank Indonesia dalam
siaran pers 16/6/DKom terkait undang-undang No.7 Tahun 2011, undang-undang No.6 tahun 2009, dan UU No.23 tahun
1999, bahwa bitcoin dan virtual currency lainnya bukan merupakan
mata uang atau alat pembayaran yang sah di Indonesia. Hal ini dikarenakan di dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang menyebutkan bahwa: �(1) Mata Uang Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah
Rupiah, (2) Macam Rupiah terdiri
atas Rupiah kertas dan
Rupiah logam, (3) Rupiah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.�� Akan tetapi seiring dengan maraknya investasi dan jual beli crypto, kini Pemerintah mengeluarkan Peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 Tentang ketentuan Teknis Penyelenggaraan
Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset). Pemerintah
Indonesia menyusun beberapa
aturan untuk mengakomodir kepentingan perdagangan kripto aset serta sebagai
suatu pedoman dan kejelasan bagi masyarakat terkait pengakuan Pemerintah terhadap kehadiran bitcoin dan
virtual currency yakni melalui
kebijakan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 99
Tahun 2019 tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto yang pada intinya mengatur bahwa �Aset Kripto ditetapkan
sebagai komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di
Bursa Berjangka�, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 1 (Watung, 2020).
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi mengatur pengaturan tambahan dalam peraturan Bappebti No 3 dan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019. Hal ini ditinjau dari
peraturan Bappebti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Pelaksanaan Pasar Fisik Aset Crypto di Bursa Berjangka, untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan bagi investor
cryptocurrency, bentuk perlindungan
hukum bagi investor
cryptocurrency, semua pasar cryptocurrency harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam aturan
Bappebti dengan mengumpulkan semua file yang diminta, mengutamakan prinsip manajemen bisnis yang benar, dan sebagainya, serta mengutamakan hak anggota bursa berjangka untuk memperoleh nilai yang terbuka dan menjamin konsumen tetap terlindungi agar dapat mencegah adanya money laundering (Pencucian
Uang) dan pembiayaan terorisme
serta proliferasi senjata pemusnah massal
Biaya
modal minimal seorang pedagang
aset kripto harus Rp1.500.000.000.000,00 (satu
triliun lima ratus miliar
rupiah) dengan saldo yang harus dijaga sebagai
modal akhir minimal Rp1.200.000.000.000,00 (satu triliun dua
ratus miliar rupiah) dan minimal tiga
(tiga) staf yang tersertifikasi sebagai Profesional Keamanan Sistem Informasi (CISSP). Bappebti tidak hanya mengatur marketplace yang ingin menjadi platform
cryptocurrency di Indonesia, tetapi juga mengatur investor yang ingin membeli dan menjual
cryptocurrency, dengan syarat
investor mengutamakan uang yang akan
digunakan untuk kegiatan transaksi dengan rekening tersendiri di nama pasar. dimaksudkan untuk kepentingan Lembaga Kliring Berjangka.
Hukum Crypto di China
Negara China melarang
cryptocurrency sebagai alat
pembayaran, hal ini dikarenakan maraknya penggunaan virtual
currency ini rawan akan tindak kejahatan
di bidang teknologi. POBC
(People�s Bank of China) mengeluarkan pernyataan pada tanggal 5 Februari 2018 yakni POBC akan memblokir akses semua situs pertukaran virtual currency domestik
dan asing dengan great firewall of China (David Meyer, 2022).
POBC menyatakan larangan tersebut dikarenakan resiko perdagangan mata uang virtual yang masih terlalu tinggi dan larangan tersebut bertujuan untuk menghentikan ICO yang telah marak di China. Pertukaran virtual
currency dinilai illegal di China, namun sah-sah saja
apabila masyarakat China mempunyai virtual currency, yang menjadi
larangan yakni apabila lembaga keuangan menerima pembayaran dengan menggunakan mata uang virtual.
Hal ini dikarenakan pada Januari 2018 POBC memerintahkan seluruh lembaga keuangan di China untuk tidak menyediakan jasa perbankan maupun pendanaan terhadap aktivitas apapun yang berhubungan dengan mata uang virtual. Pelarangan tersebut merupakan salah satu instruksi untuk seluruh lembaga keuangan agar dapat meningkatkan pemantauan transaksi mereka terhadap transaksi yang dicuragai berhubungan dengan mata uang virtual (Glazer, 2018).
Pemerintahan China tidak memungut pajak terhadap perdagangan mata uang virtual diakrenakan pemerintah China menganggap perdagangan tersebut illegal karena resiko perdagangan
mata uang virtual masih dianggap tinggi. Pemerintah China tidak menyarankan warganya untuk tergiur dengan
perdagangan crypto karena pemerintah China menutup semua akses untuk
menukarkan mata uang
virtual ke mata uang asli negara China.
Kesimpulan
Sistem
peradilan pidana merupakan merupakan sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga seperti
kepolisian, pengadilan, kejaksaan dan permasyarakatan terpidana. Sistem peradilan pidana ini merupakan suatu
sistem yang ada di dalam masyarakat dengan tujuan untuk
menanggulangi kejahatan atau mengendalikan kejahatan agar tetap berada dalam batasan-batasan
toleransi di kalangan masyarakat. Dalam suatu sistem peradilan
pidan terdapat perbandingan
hukum untuk memutahirkan hukum yang ada di berbagai negara. Perbandingan hukum crypto di
Negara Indonesia dengan Negara China yakni penggunaan crypto di
Indonesia bukan merupakan alat pembayaran yang sah dan belum diatur
dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, dimana alat pembayaran
yang sah yakni mata uang berbentuk rupiah. Sedangkan di China crypto ini dilarang untuk digunakan sebagai alat pembayaran dikarenakan rawan terjadinya tindak kejahatan di bidang teknologi.
A, Barda Nawawi. (2015). Pembaharuan Kejaksaan
dalam Konteks Sistem peradilan pidana terpadu dalam beberapa aspek kebijakan
penegakan dan pengembangan hukum pidana. Bandung. PT. Citra Aditya Bakti.
Aprita, Serlika, & Adhitya, Rio. (2020). Filsafat
Hukum. Depok: PT. RajaGrafindo Persada. Google Scholar
C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil. (2009). Seluk
Beluk Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 (Pertama).
Jakarta: Rineka Cipta. Google Scholar
David Meyer. (2022). Hina Enlists Its �Great Firewall� to
block bitcoin websites.
Ekomadyo, Agus S. (2006). Prospek Penerapan Metode Analisis
Isi (Content Analysis) Dalam Penelitian Media Arsitektur. Jurnal Itenas,
2(10), 51�57. Google Scholar
Glazer, Phil. (2018). State of Global Cryptocurrency
Regulation (January 2018). Retrieved from https://hackernoon.com/state-of-global-cryptocurrency-regulation-january-2018-6e03dea0f036
diakses pada 18 Juni 2022 pukul 14.15
Gunawan, Hendra. (2020). BI Larang Penggunaan Bitcoin
Sebagai Alat Pembayaran di Indonesia. Retrieved from
http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/01/13/bi-larang-penggunaan-bitcoin-sebagai-alat-pembayaran-di-indonesia
diakses pada 18 Juni 2020 pukul 13.33 WIB.
Lukas, Ade Paul. (2010). Efektivitas Pidana Pembayaran Uang
Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Tindak Pidana Korupsi di
Pengadilan Negeri Purwokerto). Jurnal Dinamika Hukum, 10(2), 81�92. Google Scholar
Moleong, Lexy J. (2021). Metodologi penelitian kualitatif.
PT Remaja Rosdakarya. Google Scholar
Muhammad, Rusli. (2011). Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
UII Press, Yogyakarta. Google Scholar
Puspasari, Shabrina. (2020). Perlindungan Hukum bagi Investor
pada Transaksi Aset Kripto dalam Bursa Berjangka Komoditi. Jurist-Diction,
3(1), 303�330. Google Scholar
Putri, Novina. (2021). Saat Cuci Uang di Bitcoin jadi
Modus Korupsi Asabri. Jakarta.
Setiadi, H. Edi, & SH, M. H. (2017). Sistem Peradilan
Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum di Indonesia. Prenada Media. Google Scholar
Sidik, Sunaryo. (2005). Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana. Malang: UMM Press. Google Scholar
Soerjono Soekanto. (2019). Pengantar Penelitian Hukum.
Jakarta: UI Press. Google Scholar
Watung, Priska. (2020). Kajian Yuridis Mengenai Keberadaan
Bitcoin Dalam Lingkup Transaksi Di Indonesia Ditinjau Dari UU No. 7 Tahun 2011
Tentang Mata Uang. Lex Et Societatis, 7(10). Google Scholar
Copyright
holder: Bagus Nur Jakfar (2022) |
First
publication right: Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is
licensed under: |