Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 8, Agustus
2022
KETIMPANGAN
PENGUASAAN TANAH, KEMISKINAN, DAN STRATEGI BERTAHAN HIDUP MASYARAKAT PETANI DI
DESA LANGALESO KECAMATAN DOLO KABUPATEN SIGI
Suardin Abd.
Rasyid, Ritha Safithri Lapasere, Moh. Nutfa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tadulako Palu, Indonesia
Email: [email protected],
[email protected], [email protected]
Abstrak
Tanah sebagai sumberdaya agraria masih menjadi
tumpuan petani memperoleh nafkah keberlangsungan hidup. Namun, keterbatasan dan kehilangan akses untuk menguasai tanah menjadi penyebab
kemiskinan petani. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perubahan akses kepemilikan dan penguasaan tanah dari petani ke
pemilik modal di Desa Langaleso Kecamatan Dolo Kabupaten Sigi. Metode penelitian
kualitatif deskriptif. Data
diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam dan studi dokumen. Analisis data dilakukan secara kualitatif melalui model analisis interaktif yaitu reduksi data, display data
dan verivikasi data. Hasil penelitian
menemukan bahwa telah terjadi perubahan
status pemilikan dan penguasaan
tanah dari tangan petani ketangan
pemilik modal sehingga mengakibatkan ketimpangan struktur penguasaan tanah dan kemiskinan petani. Pemilikan dan penguasaan tanah menjadi terkonsentrasi ditangan pemilik modal seiring dengan praktik jual beli
tanah pertanian yang terus-menerus berlangsung dari waktu kewaktu.
Untuk mengatasi kesulitan hidup akibat tidak adanya
tanah yang dimiliki
strategi yang dilakukan petani
untuk bertahan hidup yaitu melalui:
(a) strategi bekerja sebagai
buruh tani dan petani penggarap, (b) strategi bekerja di luar sektor pertanian, (c) strategi mempekerjakan anggota keluarga pada pekerjaan tertentu lainnya, dan (d)
strategi penghematan atau meminimalisir pengeluaran keluarga.
Kata Kunci: Perubahan, Ketimpangan Penguasaan Tanah, Kemiskinan, Strategi Bertahan Hidup�
Abstract
Land as an agrarian resource is still
the foundation of farmers to obtain sustainable survival. However, the loss and
loss of farmers' access to land control is the cause of poverty. This study
aims to explain changes in access to land ownership and control from farmers to
capital owners in Langaleso Village, Dolo District, Sigi Regency.
Descriptive qualitative research method. Data were obtained through
observation, in-depth interviews and document studies. Data analysis was
carried out qualitatively through an interactive analysis model, namely data
reduction, data display and data verification. The results of the study found
that there had been a change in ownership status and control over land from the
hands of capital owners, resulting in the development of land ownership and
farmers' hands. Ownership and control of land belongs to the owners of capital
with the practice of buying and selling agricultural land that continues from
time to time. To overcome the difficulties of life due to the absence of land
owned by farmers, strategies are carried out by farmers to survive, namely
through: (a) strategies for working as farm laborers and sharecroppers, (b)
strategies for working outside the agricultural sector, (c) strategies for family
members in employment. certain other, (d) strategies to save or minimize family
expenses
Keywords: Change, Inequality of Land Tenure,
Poverty, Survival Strategy
������ �������������������������������������������������
Pendahuluan�� �������������������
Kemiskinan yang dialami oleh masyarakat
- khususnya masyarakat petani di pedesaan seolah menjadi masalah yang begitu sulit diatasi. Dikatakan sebagai hal yang sulit diatasi oleh karena selain Indonesia telah merdeka hampir 80 tahun lamanya juga wilayah Indonesia
dikenal memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam yang sangat besar dan melimpah namun hal itu
belum mampu mengatasi kemiskinan yang dialami masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Saat ini masih
terdapat sejumlah penduduk Indonesia menderita kemiskinan. Data Badan Pusat Statistik
(BPS 2020) menyatakan bahwa
penduduk miskin Indonesia sebesar
10,19 persen. Khususnya di
Sulawesi Tengah angka kemiskinan
penduduk di wilayan ini berdasarkan Data BPS 2020 adalah sebesar 13,06 persen. Angka kemiskinan di Sulawesi
Tengah menunjukan persentasi
yang lebih tinggi jika dibanding angka kemiskinan secara nasional.
Salah satu faktor yang menjadi penyebab kemiskinan bagi sebahagian besar petani di pedesaan adalah terbatasnya bahkan hilangnya akses petani dalam menguasai
tanah pertanian. Bagi petani tanah
mempunyai arti sangat penting
dan strategis untuk kehidupannya sebab tanah menjadi sumber
utama untuk mendapatkan nafkah bagi keberlangsungan hidupnya. �Tanah juga
secara sosial dan budaya memiliki makna simbolik bahwa orang yang memiliki tanah yang luas memiliki kedudukan yang tinggi dalam starata
sosial dimasyarakat, demikian pula sebaliknya. Itulah sebababnya ketika melihat kondisi obyektif petani bahkan masyarakt
desa pada umumnya maka dari semenjak
awal kemerdekaan para pendiri Negara ini menyatakan sebagaimana tertuang dalam pidato Dr, Muhammad Hatta menegaskan
bahwa tanah harus dipandang sebagai alat produksi
untuk kemakmuran bersama bukan untuk
kemakmuran orang perorang
yang pada akhirnya dapat mendorang terjadinya penguasaan tanah pada segelintir orang (Rasyid, 2004).
Meskipun demikian gejala
yang berkembang di pedesaan
hingga saat ini sebagaimana terlihat dalam beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa ternyata petani yang berada di pedesaan sudah cukup banyak jumlahnya
yang tidak lagi memiliki tanah dalam ukuran memadai
untuk mengembangkan usahanya disektor pertanian. Cukup banyak jumlah petani
hanya memiliki tanah dalam ukuran
yang sangat sempit dan yang yang
tidak lagi memiliki sama sekali.
Hal tersebut menunjukan bahwa telah terjadi
ketimpangan penguasaan tanah yang cukup tajam antar lapisan
sosial ekonomi dalam masyarakat pedesaan saat ini.
Ketimpangan penguasaan tanah
merupakan salah satu gambaran dari kondisi
struktur agraria sekaligus juga sebagai cermin struktur kemiskinan petani. Sebagaimana ditunjukan oleh berbagai penelitian sesungguhnya kondisi struktur agraria khususnya yang berkenaan dengan ketimpangan penguasaan tanah seperti itu sudah
berlangsung cukup lama dalam sejarah republik
ini dan samapai saat ini belum
bisa diatasi dengan baik. Wertheim (1959),
White (1976), Siahaan 1977, Sajogyo
(1977), Hart (1978) seperti diungkapkan
oleh Joan Hardjono (1990:6) bahwa
semua ahli tersebut berkesimpulan distribusi pemilikan tanah telah berlangsung
secara tidak merata. Bahwa meningkatnya
konsentrasi pemilikan tanah ditangan sejumlah kecil orang elite merupakan akibat dari pemindahan tanah dalam jumlah
yang besar kepada penduduk yang memiliki uang, yang
membeli tanah dari petani kecil
yang tertekan oleh kebutuhan
hidup atau hutang pada petani-peani kaya. Distribusi dan alokasi tanah yang tidak merata telah memicu
masalah ketimpangan di
Indonesia. Tanah yang seharusnya menjadi
modal untuk perwujudan kesejahteraan rakyat sudah terkooptasi oleh kepentingan elite ekonomi.
Ketimpangan dan dominasi pemilikan
dan penguasaan tanah yang sudah berlangsung cukup lama tersebut ternyata terus berlangsung sampai era pemerintahan saat ini. Hasil sensus pertanian pada 2013 misalnya menunjukkan bahwa 1,5 juta petani kaya (6,16 persen dari total rumah tangga petani
di Indonesia) menguasai lahan
seluas 8,63 juta hektare atau rata-rata 5,37 hektare per petani.� Dalam pada itu 14,2 juta petani
gur em (55,30 persen) yang hanya menguasai 2,67 juta hektare atau rata-rata 0,18 hektare per petani. Ketimpangan alokasi penguasaan tanah tersebut juga terjadi di sektor perkebunan sawit. Temuan dari
Auriga pada 2018 menunjukkan bahwa
72 persen dari 16,8 juta hektare total luasan tanah yang sudah ditanami sawit dikuasai oleh korporasi. Satu grup usaha bahkan menguasai
tanah sekitar 502 ribu hektare, sedangkan
petani hanya menguasai rata-rata 2,2 hektare.
(Wiko Saputra, Tempo.co,
15 April 2019).
Pemilikan tanah yang terkonsentrasi
ditangan segelintir pemilik modal yang menimbulkan ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah telah terjadi
diberbagai daerah di
Indonesia termasuk di Sulawesi tengah
khususnya di desa penelitian ini. Sekuarng-kurangnya sejak tiga dasawrsa yang lalu ketimpangan penguasan tanah sudah menggejala di Sulawesi Tengah.
Data Badan Pusat Statisk Indonesia tahun 1992 misalnya mengungkapkan, sebanyak 22.872,98
ha tanah perkebunan dikuasai oleh sejumlah 17 perusahaan perkebunan. Data tersebut menunjukan luasnya ketimpangan penguasaan tanah perkebunan antara pengusaha perkebunan dan kalangan petani. Sementara itu berdasarkan
sensus pertanian 1993(BPS
1993), di Sulawesi Tengah terdapat sejumlah 235.653 Rumah Tanggga petani (RTP)menguasai 386.093 ha lahan pertanian. Itu berarti setiap RTP rata-rata menguasai 1,63 ha lahan pertanian. Meskipun demikian melalui studi-studi mikro yang dilakukan cukup banyak pula petani gurem hanya menguasai
lahan-lahan pertanian dibawah 0,5 ha. Demikian misalnya dapat dilihat dari desa
penelitian ini.
Terjadinya perubahan status pemilikan
dan penguasaan tanah dari tangan petani
ketangan pemilik modal tidak dapat dilepasakan
dari pengaruh berberapa faktor yang bekerja dalam satu
matarantai secara simultan yakni modernisasi pertanian, meluasnya penggunaan uang dalam setiap bentuk
transaksi ekonomi, lemahnay regulasi dibidang pertanahan yang membatasi pemilikan dan penguasaan lahan di pedsaan. Atas dasar tekanan faktor-faktor disebutkan itu maka terjadilah praktek jual beli
tanah dari petani pemilik ketangan mereka yang memiliki modal sebagaimana dapat dilihat di Desa langaleso.
Praktek jual beli tanah dari tangan
petani kecil ketangan pemilik modal yang cukup pesat dan telah berlangsung cukup lama di desa ini juga karena posisi desa ini
berjarak cukup dekat dengan Kota Palu. Posisi Desa
Langaleso seperti itu menyebabkan aksesebilitas menunju desa tersebut sangat mudah. Mobilitas penduduk dari desa
ke kota cukup
tinggi dengan beragam tujuan dan keperluan. Selain itu posisi desa
ini memungkinkan juga untuk menjadi salah satu wilayah pengembangan Kota Palu maupun Kabupaten
Sigi mengingat desa ini diapit
oleh kedua wilayah tersebut.
Posisi geografis Desa langaleso seperti itu membuat
desa ini begitu terbuka dengan berbagai macam pengaruh dan anasir dari luar.
Karena itu penelitian mengenai fenomena perubahan status kepemilikan dan penguasan tanah dari petani ketangan
pemilik modal yang menyebabkan
terjadinya ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah tersebut serta kemiskinan ditimbulakannya pada petani setempat menjadi penting untuk dilakukan. �
Metode Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di Desa Langaleso Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yaitu cara kerja
penelitian yang diterapkan terhadap gejala-gejala yang sulit diukur (tidak
dapat dikuantifikasi, karena lebih bersifat
kualitatif). Metode kualitatif intinya adalah upaya interprestasi
peneliti atas data- data atau ide-ide (Bogdan dan Biklen, 1992) melalui
proses eksplanasi, melalui teknik indepth interview (wawancara mendalam).
Dalam rangka
mendapatkan kredibilitas hasil penelitian maka beberapa langkah
dilakukan mengikuti pandangan Guba dan Lincoln dalam
Denzin (2000) yakni: (1) Pengamatan
berulang, yaitu melakukan penelitian dengan mengunjungi lokasi secara bolak-
balik; (2) Triangulasi: bahwa pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, selain dengan wawancara
mendalam dengan tokoh kunci, peneliti
juga melakukan wawancara bebas dengan pemimpin
formal di kawasan setempat.
(3) Untuk mencegah kesalahan penafsiran maka setiapa data penelitian yang diperoleh akan dikonfirmasi kembali kepada berbagai sumber data yang ada dilokasi penelitian.
Penelitian ini selain berusaha untuk menelusuri faktor-faktor penyebab perubahan status kepemilikan dan penguasaan tanah dari petani
ketangan pemilik modal baik dari dalam
maupun dari luar desa, juga ingin menelusuri seperti apa kondisi
ketimpangan struktur penguasaan tanah sehingga berdampak pada terjadinya kemiskinan petani. Selain itu penelitian ini juga berusaha menemukan dan menjelaskan bagaimana cara petani setempat atau strategi apa yang mereka gunakan untuk mengatasi kesulitan hidup yang mereka alami sehingga
mereka tetap dapat bertahan hidup ditengah kondisi yang demikian itu.
I.
Analisa Teoritik
Dalam
membahas masalah pertanahan di pedesaan perlu dibedakan antara pemilikan dan penguasaan tanah karena penguasaan mencakup lebih dari sekadar pemilikan semata. Pemilikan tanah adalah penguasaan
formal atas tanah. Sedangkan penguasaan tanah adalah hak
mengusahakan tanah yang didasarkan atas pemilikan, sewa menyewa, gadai, penyakapan, Hak Guna Usaha dan ketentuan-ketentuan lainnya (Wiradi, 1984:291) Selanjutnya Smith
dan Zof (1970) mengartikan pemilikan dan penguasaan tanah (Land Tenure) sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah yakni hak-hak
untuk menggunakannya, mengolahnya, menjualnya dan menfaatkan bagian tertentu dari permukaan
tanah itu. Dari pengertian-pengertian dikemukakan
itu dapat disimpulkan bahwa penguasaan tanah memiliki pengertian lebih luas dari
pada pemilikan tanah. Dengan kata lain penguasaan tanah mencakup pula di dalamnya tentang pemilikan tanah disamping penguasaan yang didasarkan atas penyakapan, gadai, sewa menyewa, Hak
Guna Usaha dan lain-lain.
Tanah merupakan sumberdaya
agraria yang sangat penting
kedudukannya bagi petani karena tanah
merupakan sumber utama bagi petani
untuk mendapatkan nafkah hidup. Karena itu ketika peluang
petani memanfaatkan tanah terbatas dan apalagi jika hilang
sama sekali maka itu menjadi
masalah sangat krusial bagi petani. Keterbatasan
peluang petani untuk ikut memanfaatkan
tanah sebagai sumber agaria menjadi
masalah dihadapi oleh petani saat ini
disebabkan terjadinya diominasi penguasaan tanah oleh pemilik modal yang menandai ketimpangan struktur penguasan tanah antara petani
dan pihak-pihak pengguna lainnya yakni swasta
dan pemerintah.
Sitorus (2002) mengemukakan ketimpangan penguasaan tanah sebagai bagian dari sumberdaya agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana struktur akses pihak-pihak yang terkait dengan sumberdaya agraria. Dengan kata lain, hubungan sosio- agraria dapat menjelaskan
bagaimana struktur agraria suatu masyarakat.
Hubungan-hubungan yang berlangsung
antara subyek agraria dapat disebut
dengan hubungan sosio agraria yakni
hubungan antara petani, swasta dan pemerintah yang ketiganya berstatus sebagai pengguna oleh karena itu sangat berkepentingan dengan obyek agraria
berupa sumber-sumber daya agraria terutama
tanah.
Bentuk dari hubungan sosio-agraria
berpangkal pada akses pemilikan dan pemanfaatan sumber agraria.� Pemilikan dan penguasaan serta pemanfaatan sumber agraria sangat menentukan posisi sosial sesorang
atau sekolompok warga masyarakat dalam strukutur sosial ekonomi masyarakat petani di pedesaan. Demikian halnya relasi sosial
yang berlangsung antar kelompok sosial di pedesaan juga diengaruhi oleh struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Dengan demikian struktur pemilikan dan penguasaan tanah menjadi faktor sangat menentukan dalam pembentukan kelompok sosial di pedesaaan. Menurut Wiradi (1984) terdapat lima pengelompokkan penduduk desa dalam
penguasaan lahan, diantaranya: (1) Pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) Penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka
yang tidak memiliki lahan garapan tetapi
mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi
hasil; (3) Pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) Pemilik bukan penggarap; dan (5) Tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan.
Perubahan status kepemilikan dan penguasaan tanah dari petani
ke pemilik modal menjadi penyebab ketimpangan struktur penguasaan tanah sebab tanah pada akhirnya menjadi terkonsentrasi dibawah penguasaan pemilik modal baik yang berasal dari desa setempat
maupun dari luar. Perubahan status kepemilkan dan ketimpangan struktur penguasaan tanah menjadi persoalan
serius bagi petani mengingat hingga saat ini
sebahagian besar petani masih menggantungkan
hidupnya pada tanah pertanian.� Karena itu sebagaimana banyak diungkap oleh berbagai penelitian bahwa ketimpangan struktur penguasaan tanah memiliki korelasi yang sangat kuat dengan kemiskinan petani. Thorbecke
dan Pluijm (1993) menyatakan
terdapat korelasi antara standar hidup dengan luas
dan kualitas lahan yang dimiliki serta tingkat keahlian dan pendidikan anggota rumah tangga. Oleh karena itu, rumah
tangga yang tidak memiliki akses terhadap lahan dan keahlian dan pendidikan yang terbatas akan cenderung
berada dalam kemiskinan sampai mereka memperoleh bantuan dan transfer dari pihak lain.
Kemiskinan
Menurut World Bank (2003) adalah
ketidakmampuan seseorang atau keluarga dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak menurut standard masyarakatnya. Berdasarkan pengertian ini maka tingkat kemiskinan
seseorang atau suatu keluarga dapat diukur dari
kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok secara layak.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Smeru (dalam Suharto 2009, 134) menjelaskan bahwa kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang dialami seseorang apabila orang tersebut tidak mampu memenuhi
standard kebutuhan dasar
minimum, baik untuk makanan maupun kebutuhan selain makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan
diukur dari jumlah uang yang diperlukan oleh setiap orang untuk memenuhi kebutuhan makanan setara dengan 2100 kilogram kalori per hari dan kebutuhan selain makanan yang terdiri atas pakaian, pemukiman,
kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos dalam Suharto 2009, 134).
Telah
banyak penelitian yang membahas penyebab kemiskinan dan kegagalan upaya pengentasan kemiskinan. Suharto (2009, 135), misalnya,
menjelaskan bahwa kemiskinan dapat disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang menghambat seseorang dalam mengakses peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Secara umum, faktor-faktor penghambat tersebut dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Pertama, faktor internal, yaitu faktor penghambat
yang berasal dari dalam diri orang miskin yang bersangkutan, antara lain meliputi rendahnya tingkat pendidikan, adanya budaya malas, mudah pasrah pada nasib (fatalistik), dan kurangnya semangat kerja. Kemiskinan model ini sering diistilahkan
dengan kemiskinan budaya. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang bersumber dari luar kemampuan diri orang miskin. Kemiskinan tipe kedua ini
disebut dengan kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang bukan disebabkan oleh kemalasan (ketidak-mauan bekerja) dari orang miskin, tetapi karena sistem
dan struktur sosialnyalah
yang tidak mampu menyediakan peluang kerja bagi orang miskin tersebut.
Kemiskinan merupakan
faktor yang mendorong petani untuk melakukan
strategi bertahan hidup sebagaimana pendapat yang dikemukakan Baiquni (2007:221) bahwa rumah tangga
petani yang menerapkan
strategi survival pada umumnya berada
pada garis kemiskinan yang dicirikan
oleh kepemilikan lahan atau aset sumber
daya yang terbatas. Tumpuan pendapatan diandalkan pada curahan tenaga dan keterampilan yang terbatas pula. Pekerjaan atau status sosialnya relatif lebih rendah
dari pekerjaan formal. Umumnya Rumah Tangga
Petani (RTP) survival adalah
RTP yang memaksimalkan penggunaan
tenaga kemudian aset atau sumber
daya yang terbatas. Strategi
bertahan hidup petani adalah suatu
tindakan atau cara petani kecil
yang tergolong miskin untuk
tetap bisa bertahan hidup di tengah keterbatasan yang mereka miliki. Setiap keluarga petani biasanya menerapkan berbagai macam strategi untuk bertahan hidup. Menurut Suharto (2009:31) strategi bertahan
hidup dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai strategi.
Strategi bertahan hidup dapat digolongkan menjadi 3 kategori yaitu srategi aktif,
strategi pasif dan strategi jaringan.
Strategi aktif merupakan strategi bertahan hidup dengan cara memanfaatkan
segala potensi yang dimiliki. Menurut Suharto
(2009:31) strategi aktif merupakan
strategi yang dilakukan keluarga
miskin dengan cara mengoptimalkan segala potensi keluarga (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja dan melakukan apapun demi menambah penghasilannya).
Strategi aktif yang biasanya
dilakukan petani kecil adalah dengan
diversifikasi penghasilan atau mencari penghasilan
tambahan dengan cara melakukan pekerjaan sampingan. Strategi pasif merupakan strategi bertahan hidup yang dilakukan dengan cara meminimalisir pengeluaran keluarga sebagaimana pendapat Suharto
(2009:31) yang menyatakan bahwa
strategi pasif adalah
strategi bertahan hidup dengan cara mengurangi
pengeluaran keluarga (misalnya biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya). Strategi jaringan adalah strategi yang dilakukan dengan cara memanfaatkan
jaringan sosial. Menurut Kusnadi (2000:146)
strategi jaringan terjadi akibat adanya interaksi
sosial yang terjadi dalam masyarakat, jaringan sosial dapat membantu keluarga miskin ketika membutuhkan uang secara mendesak.
James C. Scott (1990) melalui teori survival mechanism menjelaskan
bagaimana petani harus dapat bertahan
hidup melalui tahun-tahun dimana hasil panen atau
sumber lainnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ada tiga cara menurut
Scott (1990) dilakukan masyarakat
miskin untuk bertahan hidup yaitu (1) mengurangi pengeluaran untuk pangan dengan
cara makan hanya sekali sehari
dan beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah; (2) menggunakan alternatif subsisten yaitu swadaya yang mencakup usaha kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang atau buruh,
dan melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan;
(3) meminta bantuan dari jaringan sosial
seperti sanak saudara, kawan-kawan sedesa, memanfaatkan hubungan dengan pelindungnya (patron).
Hasil dan Pembahasan
A. Ketimpangan Struktur Penguasaan
Tanah Di Desa Langaleso
Seperti dikemukakan sebelumnya penguasaan tanah tidak hanya mencakup
pemilikan formal atau pemilikan mutlak atas sebidang tanah
oleh seseorang tetapi juga mencakup penguasaan dalam bentuk yang lain seperti penyakapan, gadai, sewa, Hak
Guna Usaha dan lain-lain. Penguasaan tanah yang dibahas dalam penelitian ini adalah aspek
kepemilikan formal atas sebidang tanah mengingat banyaknya penduduk berstatus non-petani menguasai tanah di desa ini
dalam bentuk kepemilikan secara mutlak. Penguasaan tanah yang didominasi dan terkonsentrasi ditangan pemilik modal menunjukan terjadintya ketimpangan struktur penguasaan tanah di desa ini.
Terdapat beberapa faktor yang teridentifikasi sebagai faktor penyebab perubahan status pemilikan dan penguasaan tanah di desa penelitian yakni:
1. Modernisasi Pertanian
Pada mulanya tanah-tanah
pertanian yang umumnya berupa persawahan di desaa ini dikuasai
oleh para petani setempat dengan status hak milik mutlak. Dalam
perkembangannnya seiring dengan masuknya pengaruh modernisasi disektor pertanian dan komersialisasi serta monetisasi di desa ini terjadilah secara perlahan-perlahan perubahan status kepemilikan lahan di desa ini
dari tangan petani setempat ketangan pemilik modal.
Berdasarkan keterangan diberikan para informan bahwa modernisasi pertanian yang terus berkembang dari waktu kewaktu
merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam perubahan status penguasaan tanah dari tangan petani
ketangan pemilik modal. Modernisasi pertanian disertai inovasi-inovasi baru yang terus berkembang secara dinamis dari waktu kewaktu
telah mempersempit ruang gerak usaha
pertanian berskala kecil disebabkan tuntutan penggunaan input pertanian modern yang sulit mereka jangkau
menyebabkan mereka seringkali tidak bisa meneruskan usaha taninya.
Terkonsentrasinya tanah ditangan pemilikan modal dan petani kaya tidak
lain karena surplus yang mereka peroleh dari hasil pertanian
tersebut dinfestasikan kembali dalam bentuk
perluasan skala usaha taninya, termasuk membeli lahan-lahan pertanian baru. Sebaliknya dalam keadaan terdesak
oleh berbagai keperluan hidup petani kecil justru
sering melepas tanah miliknya baik dengan cara menjual, maupun menyewakan dan menggadaikannya.
Melihat permasalahan ketimpangan struktur penguasaan tanah tersebut dapat dikatakan bahwa modernisasi pertanian hanya dinikmati sepenuhnya oleh lapisan petani kaya dan menengah serta para pemilik modal non petani yang ikut menguasai lahan pertanian di desa bersangkutan.
Seiring dengan dinamika perkembangan modernisasi disektor pertanian, praktek penjualan
tanah juga terus berlanjut dari waktu kewaktu sehingga
tanah yang semula dikuasai oleh petani setempat lama kelamaan penguasaannya telah didominasi oleh pemilik modal terutama mereka yang berasal dari kota
dan dari luar desa lainnnya. Praktek jual beli
tanah pertanian yang terus berlanjut dari waktu kewaktu
menyebabkan ketimpngan struktur penguasaan tanah menjadi kenyataan
yang sulit dihindari.
2.
Praktik ekonomi uang
Akibat
semakin dominannya peranan uang dalam berbagai bentuk transaksi seiring dengan semakin terbukanya Desa Lalangaleso dengan dunia luar maka masyarakat
mau tidak mau harus berusaha
sedemikian rupa untuk mendapatkan uang tersebut. Berbagai cara dilakukan masyarakat untuk mendapatkan uang di Desa Lalangaleso seperti halnya di desa-desa lain bukan hanya dengan
cara bercocok tanam (bersawah, berladang, berkebun) tetapai juga kegiatan-kegiatan
lain diluar sektor petanian seperti menjual hasil-hasil pertanian kepasar-pasar tradisional, beternak unggas dan berbagai bentuk pekerjaan lain yang bisa mendatangkan uang tunai.
Menjadi
persoalan kemudian adalah tatkala uang yang mereka dapatkan dari hasil usaha
pertaniannya maupun non-pertanian tidak mampu memenuhi segala keperluan mereka terutama ketika mereka membutuhkan
uang tanai untuk menyelenggarakan pesta seperti pesta perkawinan
atau untuk keperluan membiayai sekolah anak-anaknya maka pilihan yang mereka lakukan biasanya adalah menjual lahan pertaniannya.
Inilah pula yang terjadi di
Desa Langaleso. �Saira (65 tahun) salah seorang informan menuturkan bahwa;
�banyak petani
di desa ini menjual lahan pertaniannya
ketika tidak berhasil mendapatkan uang yang cukup dari hasil
usaha taninya untuk membiayai berbagai keperluan hidup mereka terutama
ketika mereka sangat membutuhkannya untuk keperluan menikahkan anaknya, atau karena
berduka dan keperluan mendesak lainnya�
Keterangan yang diberikan oleh informan tersebut menunjukan bahwa modernisasi pertanian dan meluasnya penggunaan uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan status kepemilikan dan ketimpangan penguasaan tanah pertanian di desa.
3.
Regulasi dibidang pertanahan
Perubahan
status kepemilikan dan ketimpangan
struktur penguasaan tanah selain disebabkan
dua faktor utama yang dikemukakan di atas juga karena tidak adanya regulasi
dibidang pertanahan yang mampu membatasi luas pemilikan tanah di pedesaan. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria sesungguhnya
ada ketentuan yang terdapat pada pasal 7 yang menegaskan bahwa untuk tidak merugikan
kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Meskipun begitu dalam prakteknya aturan tersebut tidak diindahkan karena tidak ada
aturan-aturan operasional
yang menterjemahkan dan mengatur
secara detail ketentuan pasal 7 UUPA 196-0 tersebut.
Itulah
sebabnya praktek jual beli tanah
terus berlangsung dari waktu kewaktu
diberbagai temapat termasuk di desa penelitian ini sampai pada akhirnya banyak petani yang tidak memiliki tanah. Tidak adanya
aturan pembatasan luas lahan dimiliki
oleh seseorang serta aturan yang melarang penduduk desa menjual
tanahnya melebihi separuh dari luas
lahan dimilikinya menyebabkan orang bisa memiliki lahan berapapun luasnya sejauh yang bersangkutan mampu membelinya. Itulah sebabnya sampai saat ini
menurut Alman (48 tahun):
�Ada
sejumlah orang yang berasal
dari luar desa memiliki lahan
di Desa Langaleso dengan ukuran bervariasi
antara 5,0 � 10,0 ha. Mereka
tidak memprolehnya sekaligus tetapi membelinya secara bertahap dari petani
sebab petani biasanya tidak langsung menjual semua lahan yang dimilkinya sekaligus�.
Luasnya
lahan dimiliki oleh para pemilik modal yang berstus non petani dan kebanyakan berasal dari lua
desa dan yang dimiliki oleh
lapisan petani kaya dan petani menengah setempat yang jumlah hanya beberapa gelintir orang menunjukan betapa tajamnya ketimpangan penguasan tanah tersebut. Dari keterangan yang diperoleh melalui berbagai sumber termasuk dari Kantor Desa setempat bahwa luas lahan persawahan
di Desa Langaleso berkisar 370 ha dan lahan perkebunan (kelapa dan Coklat) kurang lebih 150 ha melebihi separuh dikuasai oleh para pemilik modal dan sisanya dimiliki oleh petani setempat dengan distribusi yang tidak merata pula.�
Perubahan struktur penguasaan tanah di Desa Langaleso
dapat dilihat dari beberapa aspek;
(Pertama) adalah peralihan status kepemilikan dari petani lokal
ketangan orang lain yang memiliki
modal. (Kedua) terjadinya ketimpangan penguasaan dari semula tanah-tanah
pertanian tersebut tersebar kepemilikannya dikalangan petani kemudian menjadi terkonsentrasi dibawah penguasaan beberapa gelintir orang.
Ketika tanah kepemilikannya
masih tersebar dikalangan petani walau ada perbedaan
luas yang dimiliki
masing-masing Rumah Tangga Petani (RPT) tapi perbedaan itu tidak
terlalu mencolok karena selisihnya kecil. Berbeda halnya ketika tanah
mulai terkonsentrasi ditangan pemilik orang-orang bermodal kondisi ketimpangannya sangat melebar dan
mencolok. Sebagaimana dikemukakan oleh Saira (65 Tahun) bahwa:
�Kurang lebih 20 tahun
yang lalu boleh dikatakan petani di desa ini semuanya
masih memiliki tanah pertanian berupa lahan persawahan
dengan ukuran berfariasi antara 1 sampai 3 ha. Pada sekitar tahun 1999 perubahan penguasaan lahan mulai terjadi saat
beberapa orang dari luar desa mulai
membeli tanah sawah milik penduduk setempat�. Senada dengan keterangan diberikan Saira tersebut, Imran (62 tahun) salah seorang informan penelitian ini juga menyatakan bahwa;
�Memang sejak kedatangan orang-orang dari luar membeli tanah
persawahan di desa kami ini lambat laun
terjadi penyusutan luas lahan lahan
persawahan dimiliki petani sampai pada akhirnya banyak petani yang hanya memiliki lahan dalam ukuran sangat sempit dan yang tidak lagi memiliki sama
sekali�.
Banyak orang yang memiliki uang tertarik membeli tanah sawah di Desa Langaleso karena desa ini cukup
dekat jaraknya dengan Kota Palu. Menurut informasi didapatkan dari beberapa informan bahwa orang-orang yang sebahagian
besar berasal dari luar desa
membeli tanah di Desa Langaleso adalah untuk tujuan
investasi dengan harapan dalam jangka
waktu tertntu suatu saat tanah
yang mereka beli dapat memberikan keuntungan besar bagi mereka. Seperti
dituturkan informan bernama Karama (70 tahun) bahwa;
�Ada diantara pembeli
bermaksud untuk menjual kembali tanah tersebut saat harga melambung
tinggi tapi ada juga untuk tujuan pengembangan bisnis perumahan sebab tidak mustahil
suatu saat ketika jumlah penduduk
semakin pesat pembangunan perumahan dipastikan akan mengambil lokasi dipinggiran-pinggiran kota termasuk di Desa langaleso. Selain itu ada juga diantara
mereka membeli tanah untuk menyewakannya
kepada orang lain�
Gencarnya pembelian tanah dilakukan oleh mereka yang memiliki banyak uang selama ini menyebabkan
terjadinya peralihan hak kepemilikan tanah dari sebahgian
besar petani ketangan non-petani. Menariknya adalah tanah-tanah yang dibeli orang-orang
dari luar desa tersebut dikerjakan
lagi oleh petani pemilik-pemilik tanah sebelumnya dengan berbagai macam cara; ada dengan
bagi hasil, ada dengan sistem
upahan dan ada dengan cara menyewa.
Mengapa mereka harus mengerjakan kembali tanah milik
mereka yang sudah dijual, itu karena
mereka tidak punya lahan lagi untuk
dikerjakan.� Muradi (40 tahun) seorang informan menceritakan:
�Saya semula mempunyai
lahan sebagai warisan dari orang tua dengan luas
0,5 ha tapi tanah itu sudah saya
jual sejak beberap waktu yang lalu sehingga saat
ini saya tidak lagi memiliki
lahan sama sekali. Tapi saya
butuh pekerjaan untuk menafkahi keluarga saya sehingga
saya terpaksa mengerjakan kembali tanah yang saya sudah jual tersebut
dengan cara bagi hasil�.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh
para informan tersebut telah diketahui bahwa sejak beberapa
tahun yang lalu secara berangsur-angsur telah terjadi penyusutan
tanah yang dimiliki oleh petani sampai pada akhirnya sebahagian besar petani tidak
lagi memiliki tanah dan yang memiliki namun hanya berukuran
sempit. Praktek jual beli tanah
yang terus berlangsung di desa ini meyebabkan
terkonsentrasinya tanah ditangan pemilik modal. Oleh karena itu saat
ini di desa penelitian ini telah terjadi ketimpangan
pemilikan tanah yang cukup tajam antara
petani setempat dengan mereka yang kebanyakan bukan petani yang mendominasi pemilikan tanah dalam jumlah yang cukup luas. Dengan
demikian perubahan status kepemilikan tanah dari tangan petani
ketangan pemilik modal merupakan sebuah bentuk perubahan struktur agrarian di desa tersebut sekaligus menjadi penyebab kemiskinan petani.
B. Kemiskinan
dan Strategi Bertahan Hidup
Petani
Kemiskinan
petani di Desa Langaleso tergambar dari sempitnya lahan pertanian dimiliki petani bahkan tidak sedikit
petani di desa tersebut tidak lagi memiliki lahan
petanian. Menurut Karama
(70 tahun);
�Sebahagian besar petani di desa ini tidak lagi
memiliki lahan petanian sementara sebahagian kecil lainnya memiliki lahan pertanian dalam ukuran yang sangat sempit antara 0,25 -0,50 ha. Mereka yang tidak lagi memiliki lahan
bekerja sebagai buruh atau menggarap
lahan milikorang lain dengan sistem sewa
dan bagi hasil�.
Sempitnya
lahan yang mereka miliki menyebabkan petani sulit memperoleh
penghasilan yang cukup untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Dengan lahan yang terbatas luasnya dimiliki sebagian petani dan sebahagian lainnya bekerja dilahan milik orang lain baik sebagai buruh, menyewa ataupun bagi hasil karena
tidak lagi memiliki lahan sendiri menyebabkan penghasilan mereka sangat tidak memadai memenuhi
berbagai kebutuhan hidup.
Keterangan
yang diberikan oleh para informan
bahwa penghasilan mereka dari bekerja
sebagai petani dilahan yang sangat sempit atau menyewa lahan
orang lain berkisar antara
Rp,5.000.000 � Rp,7,500.000 setiap musim. Ini berarti
penghasilan rata-rata mereka
setiap bulan adalah antara Rp, 1.250.000 � 1,875,000
karena dalam setiap musim tanam
sejak penyiapan lahan untuk ditanaman
sampai pemanenan dan pasca panen baik
untuk padi maupun palawija berlangsung selama 4 bulan lamanya.
Merujuk
pada konsep kemiskinan yang
dikemukakan oleh Worl Bank maupun beberapa ahli seperti dikemukakan
sebelumnya bahwa pendapatan diperoleh petani demikian itu tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan pokok secara layak. Karena itu petani di Desa
Langaleso sebahagian besar termasuk kategori petani miskin. Hilangnya sumber pendapatan
dari sektor pertanian pada petani yang tidak lagi memiliki
lahan dan menurunnya pendapatan yang didapat oleh petani yang masih memiliki lahan berukuran sempit memaksa mereka untuk mencari cara
dan upaya agar kehidupan mereka tetap bertahan
dan berlangsung. Berbagai
strategi dialakuakn petani untuk mempertahankan kelangsungan hidup keluarga meliputi:
1. Strategi
bekerja sebagai buruh tani dan petani penggarap
Terhadap
petani yang tidak lagi memiliki lahan
beberapa diantara mereka ada yang menjadi buruh tani.� Anggota keluarga yang bekerja sebagai buruh tani
umumnya adalah Kepala Rumah Tangga
atau Suami. Oleh karena pendapatan yang diperoleh dari bekerja sebagai buruh tani sangat minim atau tidak memadai
untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga maka
biasanya isteri/ibu melakukan pula pekerjaan yang lain seperti membuat dan menjual kue tutur Arlin
(70 tahun). Selain ada bekerja sebagai
buruh tani lainnya ada menggarap
lahan orang lain dengan cara menyewa dan bagi hasil.
2. Strategi
bekerja di luar sektor pertanian
Meskipun
peluang untuk bekerja disektor pertanian masih ada dengan cara
menjadi buruh tani atau menyewa
lahan milik orang lain, atu dengan cara
bagi hasil namun pendapatan yang diperoleh sangat minim mengingat penghasilan dari pekerjaan tersebut harus diberikan juga kepemilik lahan sesuai dengan ketentuan
yang disepakati. Demikian halnya penghasilan yang didapat dari bekerja
sebagai buruh tani. Sebagaimana di ungkapkan oleh Alman (36 tahan) bahwa�.
�Sebenarnya masih ada kesempatan menggarap tanah walau tidak punya lahan lagi dengan
bekeja sebagai buruh tani, bisa
juga menyewa lahan orang
lain, atau menggarap lahan orang dengan sistem bagi hasil.
Tapi hasil didapat dari pekerjaan-pekerjaan
itu sangan kecil sangat tidak mencukupi memenuhi kebuhtuhan rumah tangga sehari-hari. Itulah sebabnya banyak petani yang kehilangan lahan pertaniannya memilih bekerja diluar sektor pertanian. Seperti saya ini
menjadi pedaagang sapi�
Disebabkan
penghasilan yang mereka dapatkan baik sebagai
buruh tani maupun menggarap lahan milik orang lain sangat
minim mendorong mereka mencoba mencari pekerjaan lain di luar sektor pertanian jika ada peluang
untuk itu. Itulah sebabnya sebagaimana teramatai dalam penelitian serta berdasarkan infomasi dari informan
banyak petani yang kehilangan tanahnya bekerja diluar sektor pertanian � seperti tukang dan buruh bangunan, memelihara ternak (sapai, kambing atau unggas), menjual
sayur-sayuran dan sebagainya.
3. Strategi
mempekerjakan anggota keluarga pada pekerjaan tertentu lainnya
Menyadari
penghasilan sangat tidak memadai dari bekerja
sebagai buruh tani atau petani
penggarap ada beberapa diantara petani mencoba melakukan pekerjaan lain dengan melibatkan isteri.� Arlan (30 tahun) misalnya selain ia bekerja sebagai
buruh tani, isterinya juga menjual sayur-sasyuran dipasar. Demikian pula dengan Tamrin (56 tahun) selain bekerja sebagai buruh bangunan
ia juga memelihara beberapa ekor sapi.
Walaupun
pekerjaan Kepala Keluarga bekerja sebagai buruh tani,
petani penggarap, pertukangan, pedagang sapi, peternak atau pemelihara sapi, namun sesungguhnya
ada pekarjaan lain yang diusahakan oleh umumnya para isteri dari masing rumah tangga bersangkutan.
Sebagai ilustrasi yang bisa dikemukakan adalah Saira yang bekerja sebagai penjual nasi kuning namun suaminya bekerja sebagai penjual sayur-sayuran di pasar
dan sekaligus juga sebagai buruh tani.
Jadi
untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh setiap rumah tangga petani
menurut para informan penelitian ini, masyarakat petani yang tidak lagi memiliki
lahan atau mereka berlahan sempit mencari berbagai cara untuk
bisa mendapatkan uang dengan harapan dapat memenuhi segala keperluan hidup rumah tangga
mereka agar tetap bisa bertahahn hidup. Tamrin (56 tahun) mengungkapkan;
�Setelah tanah semuanya
terjual saya dan petani-petani lain yang kehilangan
tanahnya berusaha untuk mencari pekerjaan
lain untuk mendapatkan uang
buat kperluan hidup sehari. Saya memilih untuk memelihara
sapi selain saya juga bekerja sebagai buruh bangunan,
sebab bila tidak begitu bagaimana
kami bisa hidup�
Itulah
sebabnya setelah banyak petani menjual
tanahnya mereka kemudian menjadi kehilangan sumber penghasilan dari sektor pertanian. Maka agar tetap survive atau bisa tetap
bertahan hidup mereka kemudian masing-masing mencari pekerjaan lain. Oleh karena itu pekerjaan yang dilakukan oleh petani yang kehilangan tanah miliknya tersebut menjadi berfariasi.
4.
Strategi
Meminimalisir Pengeluaran Keluarga
Strategi
meminimalisir pengeluaran keluarga merupakan salah satu cara masyarakat
miskin untuk bertahan hidup. Pekerjaan sebagai petani kecil penggarap lahan milik orang lain atau buruh tani
yang dilakukan masyarakat petani miskin setempat membuat pendapatan mereka relative kecl dan tidak menentu. Strategi meminimalisir pengeluaran rumah tangga biasanya
juga disebut strategi pasif
yang dilakukan oleh sebagian
keluarga di Desa Langaleso. �
Strategi
ini adalah cara menerapkan hidup hemat khususnya
pada keluarga yang pekerjaannya
hanya sebagai petani kecil dan buruh tani. Sikap
hemat yang dilakuakn keluarga petani adalah membiasakan keluarga untuk mengurangi pengeluaran kebutuhan dapur karena tidak menentunya
pendapatan yang didapatkan dari hasil pekerjaan
sebagai buruh tani, petani penggarap
atau pekerjaan/usaha kecil lainnya
membuat mereka harus menerapkan pola hidup hemat.
Mereka mengurangi pengeluaran kebutuhan dapur dan makan dengan lauk yang sederhana. Seperti yang diungkapkan Saira (65 tahun): �karena tidak menentu uang di dapat dari hasil
jual nasikuning dan sayur-sayuran maka pengeluaran untuk kebutuhan rumah tangga harus di hemat, belanja yang penting-penting saja�. Masyarakat
melakukan penghematan dengan memprioritaskan kebutuhan pokok mereka saja seperti
beras yang setiap hari mereka konsumsi
karena penghasilan yang diperoleh tidak bisa memenuhi semua
kebutuahan rumah tangga. �������������������������������
Kesimpulan
Telah terjadi perubahan struktur penguasaan tanah di Desa Langaleso dari semula tanah
tersebar secara merata dikalangan petani menjadi terkonsentrasi ditangan pemilik modal dan petani kaya. Dominasi penguasaan tanah oleh pemilik modal berdampak pada ketimpngan struktur penguasaan tanah di desa ini.
Ketimpangan struktur penguasaan tanah menimbulkan kemiskinan petani karena petani
tidak bisa lagi memanfaatkan tanah secara leluasa
sebagai sumber mendaptkan nafkah disebabkan penguasaan tanah telah terkonsentrasi
ditangan pemilik modal seiring dengan praktek jual beli
tanah dari waktu kewaktu. Dalam kondisi kemiskinan
yang demikian itu berbagai strategi dilakukan petani untuk mempertahankan
kelangsungan hidup keluarga meliputi: (1) strategi bekerja sebagai buruh tanai dan petani penggarap; (2) strategi bekerja di luar sektor pertanian; (3) strategi mempekerjakan anggota keluarga pada pekerjaan tertentu lainnya; dan (4) strategi
penghematan atau meminimalisir pengeluaran keluarga.
BIBLIOGRAFI
Abd, Rasyid, Suardin,
2004, Penguasaan Tanah Perkebunan dan Perlawanan Petani Pada dua Desa di Sulawesi Tengah, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin,
Makassar
Adly WS. 2009. Perubahan Struktur Agraria dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS). [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2020. Jumlah dan
persentase penduduk miskin,
garis kemiskinan, indeks kedalaman kemiskinan, dan indeks keparahan kemiskinan menurut provinsi.
Harjono, Joan
(1990); Tanah, Pekerjaan
dan Nafkah di Pedesaan Jawa, Gajah Mada University
Press, Jogyakarta.
Sapatri, 1987,
Penguasaan tanah, Struktur Sosial Ekonomi, dan Pedesaan Jawa, Beberapa Masalah, dalam Mulyana W, Kusuma, Et, all,
(ed), 1987, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia
di Indonesia 1984 -1985, YLBHI, Jakarta.
Scott,
James, (1990). Perlawanan Kaum Tani,
LP3ES, Jakarta.
Sihaloho M. 2004. Konversi Lahan Pertanian
dan Perubahan Struktur Agraria. [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Sitorus MTF. 2002. Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar et al. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga.
Sitorus MTF, Dharmawan
AH, Fadjar U, dan Sihaloho
M. 2008. Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani.
Soehoed AR.2004. Proyek pantura transformasi
dari ibukota propinsi ke ibukota
negara: persiapan-persiapan bagi
suatu proyek multifungsi. Jakarta (ID): Djambatan.
Smith,
T. Lynn and Zof Paul E, 1970, Principles of Inductive Rural Sociology, F.A, Devis Company, Philadelpia, USA
Sugihardjo
(2012). Strategi Bertahan dan Strategi Adaptasi Petani Terhadap Dunia Luar. Jakarta
Sitorus MTF. 2002. Lingkup Agraria dalam Endang Suhendar
et al. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung: Akatiga.
Sitorus MTF, Dharmawan AH, Fadjar U, dan Sihaloho M. 2008. Perubahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Petani.
Soetrisno, R. (2001), Pemberdayaan masyarakat: upaya pembebasan kemiskinan, Yogyakarta: Kanisius.
Supriadi. 2007. Hukum agraria. Jakarta (ID): Sinar Grafika. Suryo D. 2009. Transformasi masyarakat Indonesia
dalam historografi Indonesi modern. Yogyakarta (ID): SPTN Press.
Suharto, Edi (2009), Membangun masyarakat memberdayakan rakyat: kajian strategis pembangunan kesejahteraan sosial & pekerjaan sosial, Bandung: PT Refika Aditama.
Sumodiningrat, Gunawan
(1999), Pemberdayaan masyarakat
dan JPS, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Supriatna, Tjahya
(2000), Strategi pembangunan dan kemiskinan,
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Todaro, M. & Smith,
S.C. (2003), Pembangunan ekonomi dunia ketiga, Edisi Kedelapan,
Jakarta: Erlangga.
Thorbecke, E. and T.V.D Pluijm.
1993. Rural Indonesia: Socioeconomic Development in a Changing Environment.
IFAD. New York University Press. New York.
Wiradi G. 1984. Pola Penguasaan tanah dan reforma agraria. Dalam Tjondronegoro SMP dan Wiradi G, editor. Seri Pembangunan Pedesaan:
Dua Abad Penguasaan Tanah
(Pola Penguasaan Tanah Pertanian
di Jawa dari Masa ke Masa). Jakarta (ID): PT. Gramedia.
World Bank (1990), A
world bank country study: Indonesia, strategy for a sustained reduction in
poverty, Washington D.C
Suardin Abd. Rasyid, Ritha
Safithri Lapasere, Moh. Nutfa (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |