Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 8, Agustus 2022

 

KRITERIA PEMILU BERINTEGRITAS: BELAJAR DARI AUSTRALIA

 

M. Prakoso Aji

UPN “Veteran” Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Integritas sangat penting dalam pemilu untuk menumbuhkan rasa percaya kepada masyarakat bahwa lembaga penyelenggaranya memiliki kredibilitas dan integritas. Ketika lembaga penyelenggara pemilunya berintegritas, maka implementasi demokrasi akan menjadi sehat. Penulis menggunakan Australia sebagai contoh kasus karena lembaga penyelenggara pemilu di sana mampu menciptakan sebuah iklim demokrasi representatif yang jujur dan transparan. Proses administrasi pemilu di Australia dijalankan dengan banyak melibatkan sektor publik dengan tujuan menghadirkan kepercayaan pada proses elektoral yang ada. Penyelenggara pemilu di Australia pun hanya bertindak sebagai regulator, dengan tidak terlalu mengurusi permasalahan teknis pemilu. Tulisan ini ingin melihat bagaimana penyelenggara pemilu di Indonesia dapat belajar dari Australia bagaimana menciptakan pemilu yang berintegritas.

 

Kata Kunci: Integritas, Pemilu, Lembaga Penyelenggara Pemilu, dan Sektor Publik

 

Abstract

Integrity is very important in elections to foster a sense of trust in the community that the election administrator has credibility and integrity. When the election administrator has integrity, the implementation of democracy will be healthy. The author uses Australia as a case study because the Australian election administrator is able to create an honest and transparent condition of representative democracy. The electoral administration process in Australia is carried out in numerous involvement by the public sector with the aim of presenting trust in the existing electoral process. Election administrator in Australia only act as regulator, by not intervening with technical matters. This paper wants to see how election administrator in Indonesia can learn from Australia how to create elections with integrity.

 

Abstract: Integrity, Election, Election Administrator, and Public Sector

 

Pendahuluan

Seluruh rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 baru saja berakhir dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dimana menghasilkan pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode 2019-2014. Pemilu 2019 menyajikan kenangan tersendiri bagi bangsa ini karena kontestasinya yang mengundang ujian bagi suasana kebatinan bangsa. Pemilu 2019 yang lalu dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari pemilu 2014 yang menyebabkan terjadinya polarisasi di masyarakat yang begitu kuat. Pengelompokan pendukung Joko Widodo dan pendukung Prabowo Subianto direpresentasikan dengan derasnya perdebatan publik baik di kehidupan nyata maupun media sosial. Tidak jarang hal ini berdampak pada hubungan sosial antar warga negara, bahkan hubungan individu di lingkungan terkecilnya seperti keluarga. Begitu banyaknya informasi-informasi yang tidak benar semakin memperuncing polarisasi di masyarakat. Sekalipun akhirnya Prabowo Subianto bergabung dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, namun langkah-langkah evaluatif tetap perlu dilakukan agar menghasilkan pemilu yang lebih baik di masa-masa yang akan datang.

Pemilu sendiri dimaknai sebagai sebuah instrumen yang dapat menghasilkan kedaulatan rakyat dimana bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang sah, juga sebagai sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat.[1] selain itu, pemilu juga merupakan suatu lembaga, dan merupakan praktik politik yang dapat menghasilkan terbentuknya pemerintahan perwakilan. Pemilihan umum dapat dikatakan juga sebagai tempat “political market”, dimana pemilu menjadi arena individu atau masyarakat berinteraksi juga melakukan kontrak sosial dengan seluruh peserta pemilu.[2] Oleh karena adanya pemilihan umum, maka terwujudlah suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat menjamin hak masing-masing warga negara, yang bertujuan agar kreativitas individu dapat didorong untuk lebih memiliki peran dalam membangun bangsanya.[3]

Pada kehidupan berdemokrasi, pemilu merupakan proses yang substansial dalam regenerasi kepemimpinan. Hal ini disebabkan dapat menahan hadirnya pemimpin otoriter. Melalui pemilu rakyat dapat mengukur kinerja pejabat yang dipilihnya, serta memberikan hukuman jika kinerjanya buruk melalui cara yaitu tidak lagi memilihnya dalam pemilu berikutnya. Oleh karenanya, para pejabat yang duduk di tingkat eksekutif maupun legislatif dapat diseleksi dan diawasi oleh rakyatnya sendiri.[4]

Pemilu adalah akar yang penting bagi demokrasi”, menurut mantan Sekjen PBB Kofi Annan. Saat ini, proses elektoral adalah sebuah realita yang timbul hampir di semua negara yang ada di dunia. Menurut penulis, membangun proses elektoral adil, transparan, dan terpercaya adalah dasar dari upaya memperkuat demokrasi yang sehat. Namun, berangkat dari banyaknya proses elektoral yang demokratis di seluruh dunia, tantangan-tantangan dan kebutuhan-kebutuhan baru pun muncul. Untuk menjawabnya, proses elektoral harus diikat oleh dua standar dasar, yaitu kredibilitas dan integritas. Untuk menjamin dua elemen krusial ini hadir, ciri-ciri lain, seperti penghormatan terhadap aturan hukum, transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme juga penting untuk dihadirkan.

Jika sebuah pemilihan umum kurang integritas, tidak akan ada kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dan terlibat lebih lanjut dalam proses politik. Dalam kasus demikian, lembaga penyelenggara pemilu dianggap tidak akuntabel oleh masyarakat, serta hasil pemilu juga tidak transparan. Dengan demikian, masyarakat akan kehilangan kepercayaan dalam proses pemilu. Secara khusus perlu ditekankan, yaitu dengan adanya pemilu dapat meningkatkan demokrasi, pembangunan, hak asasi manusia, dan sebagainya juga sebaliknya, merusak mereka. Pemilu yang dilaksanakan secara berintegritas akan menjunjung hak asasi manusia dan nilai-nilai demokrasi, serta lebih mungkin melahirkan pejabat publik yang merepresentasikan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, pemerintahan yang demokratis menjalankan kepentingan strategis mereka dengan dengan mendukung pemilu yang berintegritas.

Tulisan ini ingin melihat bagaimana seharusnya pemilu yang berintegritas dilakukan. Apa-apa saja kriteria pemilu yang bisa dikatakan dijalankan secara berintegritas, termasuk bagaimana integritas itu sendiri diterapkan pada lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Untuk studi kasus (lesson learned), penulis mencoba memberikan informasi terkait bagaimana pemilu di Australia, dalam hal ini lembaga penyelenggara pemilunya, dalam menjalankan pemilu yang berintegritas di negara Kangguru tersebut.

Kriteria Pemilu Berintegritas

Sebelum membahas bagaimana integritas pelaksanaan pemilu di Australia, pada bagian ini penulis akan membahas kriteria-kriteria sebuah pemilu dapat dikatakan dijalankan secara berintegritas. Integritas sendiri menurut Azyumardi Azra dalam Rukmana, adalah ketundukan pada nilai-nilai moral dan etis, keutuhan karakter moral, juga kejujuran.[5] Sedangkan, integritas publik menurut Haryatmoko, adalah kualitas perilaku yang dimiliki individu mengacu pada nilai, standar, dan aturan moral yang dapat diakui oleh publik. Kecocokannya pada standar tersebut dapat menyebabkan pejabat publik meningkat kualitasnya.[6]

Adrian Gostick dan Dana Telford dalamThe Advantage of Integrity, mengartikan integritas adalah suatu ketaatan yang kuat yang terdapat dalam sebuah kode, terutama nilai moral atau artistik tertentu. Integritas pemilu menginginkan agar unsur-unsur yang ada di dalamnya, seperti penyelenggara atau peserta pemilu untuk mengikuti prinsip-prinsip moral dan etika pemilu. Dalam hal ini, integritas pemilu perlu diwujudkan yang berdasarkan pada pemikiran jika pemilu diadakan bertujuan untuk menjunjung tinggi dan menjaga dijaminnya hak asasi manusia dan nilai demokrasi. Oleh karena itu, jika pemilu diadakan dengan tidak mengidahkan prinsip integritas, akan menyebabkan potensi munculnya penyelenggara pemilu yang tidak bertanggung jawab, sehingga akan berdampak partisipasi politik yang kecil dan tidak adanya kepercayaan publik terkait proses demokrasi yang berjalan.[7]

Integritas pemilu yang tergambarkan dalam standar internasional dapat diwujudkan apabila terdapat penerapan nilai-nilai pemilu demokratis, juga terpenuhinya hak pilih maupun keseteraan politik bagi publik. Demi mewujudkan suatu pemilu yang berintegritas diperlukan Penyelenggara dan pengawasan pemilu yang berintegritas, transparan, juga akuntabel. Dalam hal ini, mengacu pada standar pemilu internasional suatu pemilu yang dianggap demokratis bersandarkan pada syarat yang ditetapkan oleh International Institute for Democracy and Electoral Asistence (IDEA) yaitu terdapat tahapan pendaftaran pemilih juga publikasi daftar pemilih yang transparan dan akurat. Dalam hal tersebut, juga memiliki jaminan perlindungan terhadap hak warga negara yang memenuhi kualifikasi didaftar melalui aturan hukum berbentuk jaminan hak pilih, pemberian suara, juga akurasi daftar pemilih. Tercapainya hak pilih warga negara yang demokratis juga berkeadilan dapat digambarkan melalui pelaksanaan pemilu yang bebas dan adil.[8]

Penyelenggara pemilu yang menjalankan kaidah-kaidah cermat, akuntabel, transparan, jujur dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dapat dikatakan sebagai penyelenggara pemilu yang berintegritas. Terwujudnya pemilu yang demokratis dapat diukur melalui peerwujudan intergritas penyelenggara pemilu. Peserta pemilu adalah elemen yang terdapat pada masyarakat dan partai politik, menurut Administrasion and Cost of Election (ACE) dalam Nurrahmawati sebagai salah satu pemantau pemilu, yang menjamin terselengaranya pemilu yang berintegritas. Prinsip-prinsip yang terdapat pada ACE yang diperlukan dalam menghasilkan pemilu yang berintegritas, adalah: menghormati prinsip-prinsip pemilu yang demokratis; perilaku etis para penyelenggara pemilu, kandidat, partai, juga seluruh peserta yang terdapat pada proses pemilu; profesionalisme serta akurasi; perlindungan terhadap lembaga penyelenggara pemilu; pengawasan dan penegakan hukum; dan transparan serta akuntabel.[9]

Selanjutnya, hal-hal yang dilakukan dalam menghasilkan pemilu yang berintegritas dicocokkan dengan situasi sosial dan politik di negara masing-masing, akan tetapi memiliki tujuan yang sama yaitu mewujudkan berjalannya pemilu yang jujur dan adil. Dalam hal ini, ada delapan kriteria pemilu berintegritas menurut rumusan Ramlan Subakti dalam Nurrahmawati, yaitu: hukum pemilu dan kepastian hukum; kesetaraan antar warga negara,  termasuk pada pemungutan serta penghitungan suara juga dalam alokasi kursi DPR/DPRD dan pembentukan daerah pemilihan; persaingan bebas juga adil; partisipasi pemilih pada pemilu; penyelenggara pemilu yang mandiri, kompeten, memiliki integritas, efisien serta memiliki kepemimpinan yang efektif; proses pemungutan serta penghitungan suara berlandaskan asas pemilu demokratik serta prinsip pemilu yang berintegritas; keadilan pemilu; hingga kekerasaan dalam proses pemilu yang tidak boleh terjadi.[10]

Belajar dari Australia

Setelah melihat kriteria pemilu yang berintegritas, pada bagian ini penulis akan mencoba memberikan penjelasan terkait bagaimana pemilu di Australia dijalankan secara berintegritas. Australia memberikan sebuah pengalaman studi kasus yang menarik tentang proses administrasi elektoral yang professional, yang dijalankan dalam sebuah negara demokrasi yang mapan dan memiliki sumber daya yang mumpuni. Lembaga penyelenggara pemilu di Australia, baik di level nasional dan sub-nasional terbukti memiliki budaya dan sejarah panjang yang tidak berpihak (non-partisan), etika kerja di sektor publik yang profesional, kompeten dalam proses penentuan daerah pemilihan (istilah bagi negara persemakmuran adalah (“boundary redistributions”), pendaftaran partai, dan pengaturan dana-dana publik. Pada tingkat nasional, Australian Electoral Commission (AEC) atau KPU-nya Australia didirikan pada tahun 1983 oleh Amandemen Undang-Undang tentang Legislasi Elektoral Persemakmuran. Dalam hal ini pemerintah Federal Australia tetap memiliki kontrol terhadap pendanaan dan masalah-masalah terkait perundang-undangan meskipun AEC bertindak sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang terpisah.[11]

Mekanisme transparansi yang lebih baik untuk memantau aliran dana-dana politik yang digunakan untuk kepentingan partai politik telah diimplementasikan di Australia terkait hal-hal pada sector penyediaan dana publik. Bantuan dana dari publik akan sangat membantu partai-partai kecil agar partai-partai kecil ini dapat mampu menunjukkan kredibilitasnya. Keran transparansi yang terbuka bagi kandidat dan partai politik yang berkontestasi dalam pemilu merupakan salah satu cara untuk memperkenalkan sistem pendanaan publik bagi negara-negara yang demokrasinya masih berada dalam tahap transisi. Hal ini juga dapat menjadi keuntungan yang dimiliki oleh negara-negara tersebut.[12]

Lembaga penyelenggara pemilu di Australia diberikan dana yang cukup agar tidak dapat dikendalikan oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Hal ini ditujukan agar terwujudnya tata Kelola pemerintahan yang baik (good governance). Memberikan akses bagi pemeriksaan oleh otoritas independen atau setidaknya komite di parlemen yang terkait masalah kepemiluan merupakan cara untuk mengurangi aspek politik dari pendanaan bagi lembaga penyelenggara pemilu. Fasilitasi forum lintas partai tetap dapat mereka lakukan walaupun komite di parlemen terdiri dari perwakilan partai politik. Dalam hal ini, proses tersebut pernah diusulkan kepada Komisi Pemilihan Umum di negara bagian Victoria.  Proses ini bertujuan untuk membuka anggaran komisi tersebut terhadap pengawasan dari pihak-pihak non-pemerintah, termasuk tujuan untuk memperkuat independensinya.[13]

Lembaga penyelenggara pemilu harus bersifat imparsial dan independen, baik dari pemerintah dan keberpihakan politik lainnya. Hal ini diperlukan untuk memastikan terselengaranya pemilu yang bebas dan adil. Untuk mencapai indepedensi tersebut, terdapat beberapa strategi. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat (AS) misalnya yang menggunakan sistem dua partainya, keseimbangan politik dicapai dengan menempatkan wakil dari dua Partai Republik dan Partai Demokrat di dalam lembaga penyelenggara pemilu. Sementara di negara lainnya, tanggung jawab untuk mengatur pemilu dapat diberikan kepada badan atau lembaga non-partisan. Berdasarkan kedua contoh kasus tersebut, struktur yang dibangun adalahpembatasan yang menguntungkan” (mutual constraint) yang bertujuan untuk membentuk struktur birokrasi yang netral. Meskipun sistem dua partai di Australia lebih mirip AS, akan tetapi permasalahan ini dapat diselesaikan dengan memberikan tanggung jawab pelaksanaan administrasi pemilu kepada lembaga non-partisan yang ditenggarai mampu mencapai kesepakatan antara dua partai yang ada (bipartisan). namun, partai yang berkuasa tetap mempertahankan kontrol terhadap aturan undang-undang kepemiluan, yang masih sangat menentukan bagaimana pemilu dilaksanakan di sana.[14]

Ketegangan antara pelaksanaan sistem elektoral yang independen dengan peserta politik yang ingin meraih hasil maksimal bagi kepentingannya di dalam sistem akan timbul dalam konteks demokrasi yang sehat. Ketegangan yang terjadi antara sistem elektoral dengan partai politik juga akan timbul, dimana keduanya berusaha menggunakan dominasinya, atau setidaknya pengaruhnya antara satu dengan lainnya. Idealnya sebuah lembagawatchdogindependen akan mengawasi tindakan dan kinerja penyelenggara pemilu untuk mencegah partai politik mendominasi sistem elektoral melalui tindakan perwakilannya di parlemen, dalam hal ini AEC dan juga peserta pemilu.[15]

Terkait tindakan dan kinerja lembaga penyelenggara pemilu, serta tanggapan pemerintah jika muncul masalah yang terkait pemilu maka memerlukan penggunaan komite pengawasan yang menghasilkan mekanisme akuntabilitas publik yang pantas. Salah satu aspek paling sukses dalam pengawasan parlemen di Australia adalah keterlibatan publik. Keterlibatan publik disini dapat dilakukan melalui dengar pendapat langsung maupun menyatakan pendapat melalui formulir (submissions). Replikasi manajemen elektoral seperti ini dapat dilakukan di negara-negara demokrasi lainnya melalui komisi-komisi di parlemen atau lembaga-lembaga independen, seperti auditor-general (pihak swasta yang melakukan audit terhadap kinerja pemerintah) atau kantor ombudsman. Penyelidikan dilakukan segera setelah pemilu selesai dilaksanakan merupakan hal yang ideal untuk konteks tersebut. Walaupun dalam hal ini, pemerintah atau parlemen tidak wajib memakai rekomendasi dari hasil penyelidikan publik tersebut, proses ini akan menciptakan opini publik yang penting terkait isu-isu pemilu yang dibahas. Proses ini juga menghadirkan tanggapan dari para pembuat kebijakan. Keterbukaan publik seperti ini akan mendorong terciptanya reformasi dan perbaikan bagi penyelenggara pemilu.[16]

Inovasi-inovasi yang sukses yang dilakukan oleh satu penyelenggara pemilu (dalam konteks penyelenggara pemilu di negara bagian) di Australia merupakan hasil dari interaksi yang sangat kuat antara lembaga penyelenggara negara di Australia. Hal ini kemudian juga diadopsi oleh penyelenggara lainnya. Bahkan, jaringan internasional yang dimiliki oleh AEC membuat pengalaman dan keahlian Australia ini menyebar, serta juga memberikan kesempatan bagi penyelenggara pemilu di negara tersebut untuk mendapatkan pengalaman dan pengetahuan tentang sistem pemilu di negara lain. Bagi negara-negara yang masih menjalani transisi demokrasi, biasanya para penyelenggara pemilunya tidak menganggap budaya pelayanan publik yang independen seperti ini sebagai karir jangka panjang. Itulah pentingnya membangun jaringan dengan penyelenggara pemilu di negara bagian atau daerah lain untuk memperkuat rasa kebersamaan dengan mereka. Selanjutnya, gagasan, inovasi, pengembangan jaringan yang bisa didapatkan akan sangat berharga. Hal ini umumnya dilakukan dengan mengamati pelaksanaan pemilu masing-masing. Selain itu, membangun jaringan regional dari para penyelenggara pemilu juga penting untuk mendukung pelaksanaan pemilu di masing-masing daerah, termasuk jika ada perubahan-perubahan aturan, mereka bisa saling berbagi informasi.[17]

Di Indonesia hal ini dilakukan oleh KPU Pusat yang memberikan informasi terhadap KPU-KPU Daerah di seluruh Indonesia terkait penyelenggaraan pemilu. Hanya saja penulis melihat bahwa cara ini kurang efektif karena sumber daya yang dimiliki KPU Pusat terbatas, serta sifatnya yang top-down dan seringkali hanya bersifat sosialisasi. Alangkah baiknya jika ada forum antar sesama penyelenggara pemilu, tidak hanya KPU, tetapi semua stake holder, termasuk aparat keamanan, yang dilakukan antar daerah di Indonesia. Forum ini tidak resmi atau dilakukan hanya berdasarkan wilayah tertentu, tetapi bisa dari mana saja seluruh Indonesia. Best practices masing-masing daerah bisa dibagi kepada daerah untuk sama-sama belajar bagaimana menyelenggarakan pemilu yang kredibel dan berintegritas.

Bagi lembaga penyelenggara pemilu di Australia pengaturan pendaftaran partai politik dan sistem pendanaannya adalah dua tanggung jawab yang dibedakan, kecuali peran operasionalnya dalam melaksanakan teknis pemilu. Pada beberapa negara yang tingkat demokrasinya sudah maju, peran sebagai regulator dan operasional akan dibagi kepada lembaga yang terpisah satu sama lain. Struktur lembaga penyelenggara pemilu ditentukan pada besarnya daerah pemilihan, jangkauan undang-undang pemilu (sebagai contoh, tidak semua negara demokrasi mengatur partai politik dan pendanaan kampanye), dan peran dari lembaga pemerintah lainnya (dalam beberapa kasus, ada beberapa petugas pemilu yang dipekerjakan sebagai pejabat pemerintah dengan tugas yang berbeda di sela-sela pemilu). Lembaga penyelenggara pemilu harus menyadari pentingnya untuk mempekerjakan petugas dengan keahlian yang sesuai dengan yang dibutuhkan. Dalam hal ini, tugas penyelenggara pemilu sebagai regulator akan sangat berbeda dengan tugas yang terkait dengan hal-hal teknis, seperti mempersiapkan logistik pemilu.[18]

Di Indonesia, komisoner KPU bertindak sebagai regulator, sekaligus operator pemilu. Penulis berpendapat komisioner seharusnya hanya bermain di ranah regulator, atau yang dikatakan pengamat politik Rocky Gerung, bahwa KPU terlau mengurusi masalah teknis, seolah-olah pemilu hanya dianggap sebagai urusan teknis.[19] Harusnya komisioner berada dalam level yang lebih tinggi, yaitu menghadirkan kepercayaan kepada publik terkait kredibilitas pemilu itu sendiri. Jika mampu, maka dengan sendirinya masyarakat akan menilai KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang memiliki integritas. Terkait teknis penyelenggaraan pemilu, sebaiknya diserahkan saja kepada Sekretariat Jenderal (Kesekretariatan) KPU. Komisioner tidak perlu lagi mengurusi masalah teknis, karena ditakutkan akan terlibat dengan politik praktis, terutama di tingkat bawah.

Terakhir untuk menutup, kredibilitas dan integritas pemilu lembaga penyelenggara pemilu di Australia memang tidak apple to apple untuk dibandingkan dengan di negara kita. Namun, setidaknya kita bisa belajar dari bagaimana mereka mempersiapkan dengan serius, sampai ke hal paling teknis, bagaimana masyarakat bisa percaya pada keabsahan hasil pemilu. Kualitas pemilu bukan saja ditentukan dengan minimnya tingkat pelanggaran atau kecurangan dalam pelaksanaannya, tetapi juga dari tingkat percaya atau tidaknya masyarakat terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Penulis masih percaya bahwa di masa depan Indonesia akan mampu menciptakan pemilu yang berintegritas. Tidak ada ruginya apabila dapat belajar dari negara lain yang sudah terlebih dahulu berhasil.

 

Metode Penelitian

 

Hasil dan Pembahasan

 

Kesimpulan

Untuk menciptakan pemilu yang dapat dipercaya oleh masyarakat, maka dua elemen dasar harus dipenuhi, yaitu kredibilitas dan integritas. Integritas penyelenggara pemilu harus mengacu pada nilai, standar, dan aturan moral yang diterima oleh publik. Menghadirkan kepercayaan masyarakat terhadap berjalannya proses eletoral yang jujur dan adil adalah tugas lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia. Harus diakui, tugas tersebut belum berjalan dengan baik. Atas dasar itulah, tulisan ini mencoba untuk memberikan penjelasan terkait bagaimana pemilu dijalankan di Australia sebagai pembanding yang positif. Selama ini mekanisme penyelenggaran proses elektoral di Australia dijalankan dengan memperhatikan aspek-aspek demokrasi, independensi, partisipasi publik, transparansi, akuntabilitas, kredibilitas, dan tentu saja integritas.

Penulis menyarankan agar para komisoner KPU di Indonesia bertindak sebagai regulator saja. Komisioner KPU harus menghadirkan kepercayaan kepada publik terkait kredibilitas pemilu itu sendiri. Kepercayaan datang dari penjelasan, dan pastinya implementasi regulasi yang jelas. Kredibilitas KPU sangat ditentukan oleh penilaian masyarakat. Untuk itu, jika komisioner KPU masih harus mengurusi masalah teknis dikhawatirkan masyarakat akan kehilangan kepercayaan dan pemilu akan kehilangan integritasnya.

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Cordenillo, Raul (ed), 2014. Improving Electoral Practices: Case Studies and Practical Approaches. Stockholm: International Institute for Democracy and Electoral Assistance.

Detik.com, 26 Maret 2019. Rocky Gerung Kritik KPU-Bawaslu: Pemilu Urusan Etis, Bukan Teknis! Diunduh pada 4 Juli 2019, dari https://news.detik.com/berita/d-4484014/rocky-gerung-kritik-kpu-bawaslu-pemilu-urusan-etis-bukan-teknis

Haryatmoko, 2011. Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham, 2015. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu Strategis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Nurrahmawati. “Integritas Penyelenggara Pemilu Dalam Perpektif Peserta Pemilu (Studi Deskriptif Komisi Independen Pemilihan Aceh Pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017)”, Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, (27-36).

Rukmana, Nana, 2013. Etika & Integritas: Solusi Persoalan Bangsa. Tangerang: Sarana Bhakti Media Publishing.

Sindonews, 15 Oktober 2018. “Integritas Pemilu”. Diunduh pada 4 Juli 2019, dari https://nasional.sindonews.com/read/1346187/18/ integritas-pemilu-1539563315

Sulastomo, 2001. Demokrasi atau Democracy. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tota Pasaribu, R. Widya Setiabudi Sumadinata, Muradi. “Pemilu Berintegritas (Studi Pada Pendaftaran Pemilih Terhadap Pengguna Surat Keterangan Domisili Dalam Pilkada Samosir Tahun 2015)”. Journal of Governance, Vol. 3, No. 2, Desember 2018, (168-183).

Tricahyono, Ibnu, 2009. Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Malang: Intrans Publishing.

 

Copyright holder:

M. Prakoso Aji (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under:

 



[1] Ibnu Tricahyono, Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Intrans Publishing, Malang, 2009, hal. 6.

[2] Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu Strategis. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hal. 50-51.

[3] Sulastomo, Demokrasi atau Democracy, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 5.

[4] Labolo dan Ilham, op.cit, hal. 52.

[5] Nana Rukmana, Etika & Integritas: Solusi Persoalan Bangsa. Sarana Bhakti Media Publishing, Tangerang, 2013, hal. 4.

[6] Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2011, hal. 72.

[7] Sindonews, 15 Oktober 2018. Integritas Pemilu. Diunduh pada 4 Juli 2019, dari https://nasional.sindonews.com/read/1346187/18/integritas-pemilu-1539563315

[8] Tota Pasaribu, R. Widya Setiabudi Sumadinata, dan Muradi. Pemilu Berintegritas (Studi Pada Pendaftaran Pemilih Terhadap Pengguna Surat Keterangan Domisili dalam Pilkada Samosir tahun 2015), Journal of Governance, Vol. 3, No. 2, Desember 2018, hal. 169.

[9] Nurrahmawati. Integritas Penyelenggara Pemilu Dalam Perpektif Peserta Pemilu (Studi Deskriptif Komisi Independen Pemilihan Aceh Pada Pilkada Gubernur/Wakil Gubernur Aceh 2017), Jurnal Politik Indonesia, Vol. 2, No. 1, Juli-September 2017, hal. 28. 

[10] Ibid, hal. 28-29.

[11] Raul Cordenillo (ed), Improving Electoral Practices: Case Studies and Practical Approaches. International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Stockholm, 2014, hal. 25-26.

[12] Ibid, hal. 41.

[13] Ibid, hal. 41-42.

[14] Ibid, hal. 31

[15] Ibid, hal. 33.

[16] Ibid, hal. 41-42

[17] Ibid, hal. 42.

[18] Ibid, hal. 42

[19] Detik.com, 26 Maret 2019. Rocky Gerung Kritik KPU-Bawaslu: Pemilu Urusan Etis, Bukan Teknis! Diunduh pada 4 Juli 2019, dari

https://news.detik.com/berita/d-4484014/rocky-gerung-kritik-kpu-bawaslu-pemilu-urusan-etis-bukan-teknis