Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 8, Agustus 2022
BENTUK
KETIDAKADILAN GENDER DALAM TRILOGI NOVEL Y.B. MANGUNWIJAYA (ANALISIS WACANA
KRITIS SARA MILLS)
Diaul Khaerah, Sitti Aida Azis, Abd. Rahman Rahim
Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar,
Indonesia
Email:
[email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk
menguraikan bentuk ketidakadilan gender dalam novel Rara
Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri
karya Y.B. Mangunwijaya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini menggunakan kajian analisis wacana kritis Sara Mills. Data diperoleh
melalui data tulis. Teknik analisis data yang digunakan yakni membaca, mengumpulkan data, menelaah data,
dan menarik kesimpulan.
Data dalam penelitian ini dianalisis dengan mendeskripsikan bentuk ketidakadilan gender yaitu marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan,
dan beban ganda. Hasil analisis novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri karya Y.B. Mangunwijaya menemukan yaitu marginalisasi, subordinasi,
stereotype, kekerasan, dan beban
ganda yang ditinjau pada posisi subjek objek.
Pengarang menggunakan kata ganti kita, kau, dan nama tokoh sehingga
pembaca mensejajarkan dirinya dengan karakter utama tersebut di dalam teks.
Kata Kunci: ketidakadilan
gender, Novel Y.B. Mangunwijaya
Abstract
This study aims to describe the forms of gender inequality in the novels
Rara Mendut, Genduk Duku and Lusi Lindri
by Y.B. Mangunwijaya. This study used qualitative
research methods. This study uses a critical discourse analysis study of Sara
Mills. Data obtained through written data. The data analysis technique used is
reading, collecting data, analyzing data, and drawing conclusions. The data in
the burden of this study were analyzed by describing the forms of gender inequality,
namely marginalization, subordination, stereotypes, violence, and double. The
results of the analysis of the novels Rara Mendut, Genduk Duku and Lusi Lindri by Y.B. Mangunwijaya found that there are marginalization, subordination,
stereotypes, violence, and double burden which are reviewed on the position of
the object subject. The author uses the pronouns we, you, and the name of the
character so that the reader aligns himself with the main character in the
text.
Keywords:
gender injustice, Y.B. Novel Mangunwijaya
Pendahuluan
Gender dari hakikatnya adalah output pemikiran insan yang mempunyai perkiraan dasar bahwa wanita dengan
pria tidak selaras pada hal peran, perilaku, mental, dan karakter secara emosional. Perempuan tak jarang diasosiasikan sebagai makhluk yang lemah, berfikir dari emosional, dan bersikap kurang logis, selagi itu
pria diasumsikan menjadi makhluk yang bertenaga dan berkuasa, lebih cerdas dan hebat. Konsep gender ini lahir dari
dampak sosial budaya masyarakat.
Pengertian
mengenai gender tercatat tidak sama dengan
seks. Seks ataupun yang lebih dikenal serupa jenis kelamin melihat
disparitas wanita dan pria memandang secara fisik atau
biologis, yang sudah dipunyai insan semenjak lahir yang tidak mampu diganti
atau telah merupakan kodratnya. Perempuan dikodratkan untuk melahirkan, sebagai akibatnya mempunyai Rahim, sedangkan pria mereproduksi sperma buat membuahi sel
telur.
Konsepsi
gender yang bukan dalam tempatnya tersebut, menurut perjalanannya melahirkan ketidakadilan gender yang
dicermati berdasarkan sudut pandang perempuan.
Fakih berkata bahwa sentral pengikut ilmu sosial permasalahan
menggunakan analisis gender
buat memeriksa bentuk ketidakadilan struktural dan sistem yang adalah impak berdasarkan
gender itu sendiri. Wujud ketidakadilan gender yang dimaksud terdiri berdasarkan marjinalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan
dan kerja ganda.
Masalah
gender bukan saja di dunia nyata dipersoalkan, tetapi pada sastra khususnya
novel. Persoalan gender membuat
semakin memikat untuk diangkat dalam cerita novel. Gender pada novel
terkadang mengisahkan kedudukan perempuan yang selalu dibawah kedudukan laki-laki. Hal ini membuat daya
pikat untuk para pembaca yang menikmatkan novel
yang mengisahkan masalah
gender (Tri Budi Astuti, Lulus Irawati 2021:66�67).
Karya
sastra sudah tak asing lagi buat
aktivitas manusia. Hal ini diperoleh dari
karya-karya yang dilahirkan
seperti puisi, prosa, dan drama. Karya sastra dilahirkan atas asas pengalaman jiwa pengarang berupa perihal umum yang menarik sampai-sampai timbul inspirasi khayalan yang dituangkan pada bentuk goresan pena dan karya sastra. Sastra senantiasa menghadirkan citra hayati dan aktivitas itu sendiri, yang merupakan bukti sosial. Dalam hal
ini, kehidupan tersebut tentu berisi interaksi antar warga dengan
orang seorang, antarmanusia,
insan dengan tuhannya, dan antar insiden yang terjadi pada batin seseorang.
Karya
sastra untuk membicarakan pikiran mengenai sesuatu yang terdapat pada realitas yang ditemui oleh sang pengarang. Pengetahuan ini adalah argumen
seorang atau pengarang dalam melahirkan sebuah karya. Al-Ma�ruf menelaah karya sastra akan menolong pembaca
memahami makna yang termaktub pada pengalaman-pengalaman
pengarang yang diilhamkan melalui para tokoh imajinatifnya, dan menunjukkan cara-cara menekuni sepenuh jenis tindakan
sosial kemasyarakatan (Heny Roulina Sitepu, T. Silvana Sinar 2019:132).
Novel yang mengurai tentang gender adalah Novel Rara Mendut (selanjutnya disingkat RM),
Novel Genduk Duku (selanjutnya disingkat GD), dan
Novel Lusi Lindri (selanjutnya disingkat LL). Ketiga novel ini adalah trilogi yang ditulis oleh Y.B. Mangunwijaya.
Di dalam novel tersebut
Y.B. Mangunwijaya berusaha untuk menceritakan tentang penindasan yang terjadi atas seseorang
wanita yang bekerja menjadi seseorang dayang istana. Aktivitas yang benar-benar rumit wajib menangani
kemarahan penguasa akibat diduga membantu
puannya meronta. Dialah Duku, wanita
yang hidup dalam buruan, yang separuh usianya dimata-matai telik sandi kerajaan
dan separuhnya lagi diabdikan bagi kerajaan. Menjadi tawanan dan abdi sesungguhnya dua hal yang berlainan namun mempunyai jaminan yang setara yakni kepala di potong. Diburu oleh sang prajurit Wiraguna lantaran sudah menolong puannya membangkang titah panglima, dan menjadi abdi setelah bersetuju
dengan Wiraguna lantaran bantuannya mengamankan selir muda Tumenggung. Cerita yang terjadi dirunut berdasarkan pemerintahan Susuhunan Hanyakrakusuma dan awal dari pemerintahan Putra Mahkota.
Usaha untuk
menyempurnakan sebuah penelitian tentu dibutuhkan teori analisis wacana kritis yang sesuai dengan fokus permasalahan
yang diangkat. Dari permasalahan
tersebut tentunya teori analisis wacana kritis yang tepat yang berkaitan dengan persoalan bentuk gender adalah teori Sara Miils. Sara Mills
menoreh teori tentang artikel yang memfokuskan perhatiannya pada artikel perihal feminisme. Dengan cara apa wanita
ditampilkan pada teks, baik pada novel, gambar, foto, maupun pada berita. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Sara Mills kerap jua diklaim menjadi
perspektif feminis. Ketertarikan berdasarkan perspektif artikel feminis ini adalah
menunjukkan bagaimana teks bisa menampilkan
perempuan. Perempuan cenderung
ditampilkan pada teks sebagai pihak yang salah, Marjinal dibandingkan dengan pihak laki-laki.
Dengan begitu, teori Sara Mills ini akan memandang visualisasi wanita pada teks novel.
Peneliti-peneliti
yang pernah melaksanakan penelitian yang sama atau hampir sama
dengan peneliti, dapat dilihat Pertama,
Astuti (2018) dalam penelitiannya terhadap �Ketidakadilan Gender Terhadap
Tokoh Perempuan dalam Novel
Genduk Karya Sundari Mardjuki: Kajian Kritik Sastra Feminisme� menurutnya bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan yang ada dalam novel Genduk, yaitu: Marginalisasi, masalah Yung yang diusir dari keluarga
besar dan tidak mendapat warisan dari ayahnya. Subordinasi,
ketika derajat Genduk direndahkan oleh Kaduk dengan memegang
tubuh tanpa kerelaan. Stereotipe, Yung pada saat harus mendengar
omongan masyarakat, suaminya tidak pernah pulang dan tidak ada kabar.
Kekerasan seksual, yaitu saat Genduk
menemui Kaduk di Tuksari, lalu Kaduk
meremas buah dadanya dengan keras. Beban kerja, ketika Yung harus bekerja di rumah dan mencari nafkah. Penyebab ketidakadilan gender
pada tokoh Genduk yang mengalami ketidakadilan dari Kaduk memegang
atau melecehkan Genduk. Sedangkan tokoh Yung penyebab ketidakadilan yaitu dari ayahnya, karena
termarginalkan dengan tidak mendapatkan warisan lading tembakau, maupun emas permata,
dan Yung pergi hanya membawa buntalan yang berisi beberapa helai baju.
Selanjutnya,
yang dilakukan oleh Dewi (2019) yang berjudul �Ketidakadilan Gender
dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari� ditemukan bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan gender dalam novel
RDP seperti kekerasan seksual, eksploitasi perempuan, dan pertahanan sistem kapitalisme. Kekerasan seksual terjadi karena ada sistem kuasa
dan dikuasai yaitu Srintil selaku anak kecil dimanfaatkan
oleh keluarga Kertaraja selaku orang dewasa. Eksploitasi perempuan juga langgeng karena ada unsur kekerabatan
atau hubungan keluarga yang erat antara yang menguasai dan dikuasai. Terakhir, sistem kapitalisme yang terus berjalan di masyarakat, Srintil diperjual belikan �disayembarakan� keperawanannya
demi sejumlah emas. Ketiga faktor tesebut
yang menjadi bagian penting terjadinya ketidakadilan gender dalam novel
Ronggeng Dukuh Paruk (RDP) karya Ahmad Tohari.
Berdasarkan
penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa belum ada
yang meneliti mengenai bentuk ketidakadilan gender yang ditinjau dari posisi
subjek-objek dan posisi pembaca dalam novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri
karya Y.B. Mangunwijaya.
Sehingga penelitian ini penting untuk
dilakukan, mengingat bentuk ketidakadilan gender pada dasarnya membutuhkan upaya refleksi agar mencapai kesetaraan, agar generasi muda memahami
bahwa mereka harus memiliki kesempatan yang sama dengan memberdayakan potensi yang ada dan mengasah toleran terhadap perbedaan.
Metode
Penelitian
Metode penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Fokus penelitian ini adalah mengkaji bentuk ketidakadilan gender dalam novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri karya Y.B. Mangunwijaya ditinjau dari posisi
subjek-objek dan posisi pembaca. Data dalam penelitian ini kata, frasa, klausa, ungkapan, dan kalimat dalam Trilogi Novel karya Y.B. Mangunwijaya yang memuat bentuk ketidakadilan
gender menggunakan metode dokumentasi dengan teknik pustaka, teknik simak, dan teknik catat. Teknik analisis data menggunakan empat langkah kegiatan,
yaitu membaca, mengumpulkan data, menelaah data,
dan menarik kesimpulan.
Hasil
Penelitian dan Pembahasan
Hasil analisis dalam penelitian ini terdapat dua
bagian yaitu (1) bentuk ketidakadilan gender dalam Trilogi Novel karya Y.B. Mangunwijaya ditinjau dari posisi
subjek-objek. (2) bentuk ketidakadilan gender dalam Trilogi Novel karya
Y.B. Mangunwijaya ditinjau dari posisi pembaca.
1) Bentuk
Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Karya
Y.B. Mangunwijaya Ditinjau dari Posisi Subjek-Objek
Dari hasil pembacaan terhadap novel Rara Mendut, Genduk Duku dan Lusi Lindri
ditemukan bahwa bentuk ketidakadilan gendernya yakni marginalisasi, subordinasi,
stereotype, kekerasan, dan beban
ganda.
a) Marginalisasi
Marginalisasi
adalah bentuk ketidakadilan gender yang berupa pemiskinan masyarakat, penggusuran, bencana alam, dan proses eksploitasi.
Adapun data yang ditemukan berdasarkan
hal tersebut yaitu:
�.
Asuhlah putri duyung dari Telukcikal
ini, dan nanti selaku kidung syukur
atas kejayaan medan laga akan
kunikmati Rara Mendut selaku mahkota dari sikap dan perjuanganku demi wilayah Pati yang saya
junjung sebagai wilayah yang merdeka.
(Rara Mendut, 19)
Berdasarkan
data tersebut, Ni Semangka memiliki perenungan batin dan dia mengingat
pesan Adipati Pragola, untuk membesarkan Mendut dengan baik agar dia dapat menikmatinya
sebagai hadiah kemenangan atas kerajaan musuh. Menurut uraian tersebut, posisi subjek ditempati oleh Ni Semangka, karena dialah yang menceritakan hal tersebut dan posisi objek adalah
Adipati Pragola, yang pernyataannya diwakili oleh ingatan Ni Semangka. Dalam bentuk ketidakadilan
gender, bentuk marginalisasi
perempuan dapat dilihat pada kalimat ini. Terbukti dengan
menjadikan perempuan sebagai hadiah kemenangan dan perwujudan kekuatan mengalahkan bangsa musuh. Pemarginalan
ini lebih terkhusus kepada penguasaan atau eksploitasi sebagai pembuktian bahwa perempuan tidak lain hanya digunakan sebagai penghibur. Hal ini tercermin pada klausa �akan kunikmati Rara Mendut selaku mahkota dari sikap dan perjuanganku�, kata �kunikmati�
merujuk pada penguasaan dan
marginalisasi.�
�. Dan kini pasti giliran
Genduk Dukulah, yang akan dijadikan tumbal malu sang Penguasa yang naik pitam merasa dikalahkan perempuan, paling tidak digerogoti kewibawaannya.(Genduk Duku,
2-3)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa setelah pembunuhan tragis Rara Mendut. Genduk Duku memulai
pelariannya dengan menunggang kuda ditemani oleh dua orang pelayan Prana Citra. Duku menangis, takut akan kemarahan Wiraguna. Berdasarkan uraian tersebut, pelaku pada posisi subjek adalah Genduk
Duku, dan pelaku pada posisi objek adalah
Tumenggung Wiraguna. Fragmen cerita Genduk Duku dalam
Kutipan Data 15 menjelaskan
bahwa dilihat dari status aktor sebagai subjek dan objek, terlihat jelas bahwa tokoh
subjek yakni Genduk Duku termarginalkan
oleh peran objek. Meskipun tidak ada ide untuk mengekspresikan
karakter subjek secara langsung, kekuatannya dapat dirasakan. Inilah yang membuat Duku gelisah,
selalu dalam keadaan ketakutan. . Klausa �tumbal malu sang Penguasa� menunjukkan bahwa karakter Wiraguna memiliki kekuasaan atas Genduk Duku, sehingga
bentuk marginalisasi terhadap Duku dalam
hal eksploitasi tidak dapat dihindari.
� tetapi bukankah semua wanita milik
Raja? (Lusi Lindri, 247)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Lusi tidak dapat
melakukan apa-apa selain diam, karena Lusi tidak mengetahui
bahwa tempat mandi pribadi Raja itu ternyata digunakan untuk sebagian para Trinisat Kenya yang diundang dengan maksud harus
mandi bersama dengan raja
di tempat kamar mandi pribadi Raja, karena semua wanita adalah
milik Raja. Berdasarkan penjabaran tersebut, posisi subjek adalah
Lusi Lindri, karena dialah yang menceritakan hal tersebut, sedangkan posisi objek adalah
Trinisat Kenya dan Nyai Pinundhi. Ditinjau dari bentuk ketidakadilan
gender, terbukti bahwa terdapat bentuk pemarginalan terhadap perempuan dalam hal penguasaan atau eksploitasi. Sebagai pembuktian pada klausa �semua wanita adalah milik
raja�.
b) Subordinasi
Subordinasi,
yaitu bentuk ketidakadilan dalam hal memperlakukan perempuan sebagai pihak yang tidak penting, berpikir tidak rasional, emosional, dan tidak dapat memimpin serta seringkali tidak memperoleh kesempatan yang sama dengan pria. Kisah
dalam novel ini menempatkan perempuan pada posisi yang tak berdaya. Adapun data yang ditemukan
berdasarkan hal tersebut yaitu:
�Dari
mana kau? Semalam suntuk kucari. Dari mana?�
�Ya, dari laut
tentu saja, Bi.�
�Aaah lagi. Laut
itu dunia lelaki. Perempuan
di darat tempatnya.� (Rara Mendut, 8)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa dalam novel ini, tokoh Mendut sedang
dicari oleh bibinya yang baru saja kembali
dari laut. Sesuai deskripsi, posisi subjek adalah
Mendut dan bibinya. Keduanya masing-masing memiliki kesempatan dalam memunculkan diri dalam cerita. Namun,
jika ditinjau dari konteks cerita,
Bibi bereaksi keras terhadap keponakannya Mendut, yang sedang melaut bersama pamannya. Hal ini menempatkan Mendut pada posisi tersurbodinasi. Terlihat ketika bibinya mengetahui hal tersebut, dia
langsung marah, dan akhirnya mengeluarkan suara �aaah lagi. Laut itu
dunia laki-laki. Perempuan di darat
tempatnya� kalimat ini menunjukkan bahwa Bibi Mendut berpendapat bahwa perempuan tidak cocok untuk melaut
dan menganggap bahwa perempuan hanya bekerja di sektor domestik dan bukan di sektor publik. Jadi pada dasarnya perempuan dianggap kurang mampu melakukan hal yang laki-laki lakukan.
�
Genduk Duku mengambil oper tugas-tugas di dapur, sehingga Slamet dan Pestih dapat mencurahkan
waktu penuh untuk mencari nafkah
dan memperbaiki gubuk yang mereka huni. (Genduk
Duku, 43)
Selain
bekerja di dapur seperti layaknya perempuan, amat pagi-pagi bangun, memasak air panas sambil membakar ketela dan sedikit menimba air di perigi, Genduk Duku kemudian
masih memperoleh tambahan nafkah dari tetangga dekat,
hanya lewat tiga rumah, dengan
berburuh memandikan dan membersihkan kuda-kuda muatan pedagang batu bata. (Genduk Duku,
44)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa sejak konvoi yang membawa muatan tahanan Belanda ke Mataram meninggalkan Genduk Duku dan Slamet, Duku dan Slamet tinggal bersama Pestih di gubuk yang sangat sederhana. Slamet dan Pestih bekerja setiap hari mencari nafkah
dan memperbaiki gubuk, kecuali Duku yang melakukan semua pekerjaan, berburu, memandikan dan membersihkan kuda-kuda yang diangkut oleh tukang batu setiap pagi. Dari uraian teori Sara Mills, aktor yang berperan sebagai subjek adalah Genduk
Duku karena dialah yang menggambarkan kehidupannya setelah ditinggal Taji dan posisi objek adalah
Slamet karena disini dia diceritakan
sebagai pencari nafkah rakyat. Dari sisi subjek dan objek, Duku yang menduduki posisi subjek diidentifikasi mengalami ketidaksetaraan gender dalam bentuk subordinasi.
Hal ini terbukti pada kalimat �Duku mengambil oper tugas-tugas di dapur dan Genduk Duku kemudian
masih memperoleh tambahan nafkah dari tetangga dekat,
hanya lewat tiga rumah, dengan
berburuh memandikan dan membersihkan kuda-kuda muatan pedagang batu bata�. Dilihat dari paragraf yang dicetak miring, penggunaan kata �mengambil oper tugas dapur� pada Data 16 berarti bahwa Duku
hanya dianggap kompeten untuk pekerjaan rumah tangga, sedangkan memandikan kuda tetangga yang membawa batu bata pada Data 17 hanya dapat dilihat sebagai
penghasilan tambahan. Tentu saja hal
ini menempatkan Duku pada posisi yang diremehkan dan tidak diperhitungkan.
�
Kata kuasa sebenarnya tidak terdapat pada wanita kaum kecil.
(Lusi Lindri 319)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa meskipun wanita miskin atau kaum kecil
itu perkasa, memiliki kekuatan dan merupakan wanita luar biasa, mereka
pun tidak dapat menjadi penguasa atau pemimpin. Berdasarkan penjabaran, posisi subjek adalah
Wibisana atau sebagai orang yang menceritakan hal tersebut, sedangkan
posisi objek adalah ibu Wibisana
dan Lusi Lindri. Ditinjau dari bentuk
ketidakadilan gender, bentuk
subordinasi yang terjadi dalam kutipan data 24 adalah peremehan terhadap perempuan serta tidak dapat
memimpin.
c) Stereotype
Perilaku
stereotip termasuk dalam satu bentuk
ketidakadilan gender yang bentuknya
berupa pemberian label terhadap perempuan, baik label yang berasal dari kebiasaannya maupun label yang berasal dari masyarakat. Label perempuan berorientasi pada pelayanan suami, pendidikan perempuan dinomor duakan, aturan pemerintah dan kebudayaan kultur, dan kebiasaan masyarakat yang tidak berpihak pada perempuan. Adapun
data yang ditemukan berdasarkan
hal tersebut yaitu:
�.
�Harimau betina dia,� kata Ni Sekar kepadanya. �Dari lading-ladang ilalang
timur laut sana. Harus dijinakkan dulu dia, sebelum
dihadapkan ke gandhok Adipati.� Lalu tertawalah Ni Sekar, �Kupilih kau, karena harimau tidak makan
semangka.� (Rara Mendut,
14)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Ni Sekar sedang menjelaskan
kepada Ni Semangka bahwa Mendut adalah
seorang wanita seperti harimau yang harus dididik sebelum
menjadi istri Adipati Pragola. Sesuai deskripsi, Ni Sekar menduduki posisi subjek, karena Ni Sekar-lah yang menceritakan kisah Mendut yang seorang putri nelayan yang akan diserahkan kepada Ni Semangka untuk di didik dan menjadi selir Adipati.
Posisi objek itu sendiri ditempati
oleh Mendut karena dialah yang diceritakan Ni Sekar kepada Ni Semangka. Mendut yang dikenal dengan sapaan "Harimau Betina", tak sempat mempresentasikan idenya dalam kutipan
Data 07. Ditinjau dari posisi subjek-objek, perilaku subjek memunculkan stereotip terhadap objeknya. Terbukti pada frasa �Harimau betina dia.� Ungkapan Harimau betina disini, seakan memberikan label galak, garang, kejam, dan liar kepada Mendut yang berposisi sebagai objek. Pelabelan ini termasuk
perilaku ketidakadilan
gender yang memberikan standar
khusus kepada seorang wanita yang dinilai cocok untuk
bersanding dengan seorang Adipati.
�.
Tumenggung Wiraguna, hanya mampu memberi
isyarat saja kepada istri Arumardi,
untuk membahasakan apa yang telah ia sadari. Berterima
kasih atas jasa menyelamatkan si gadis piaraannya, Tejarukmi. (Genduk Duku, 123)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Duku dipanggil oleh komandan Wiraguna untuk berterima kasih kepadanya karena telah menyelamatkan
gadis peliharaan atau selir Wiraguna, Tejarukmi. Sesuai deskripsi, posisi subjek adalah Arumardi,
yang berbicara kepada Duku atas nama
suaminya, sedangkan Tejarukmi sendiri adalah objek yang dibicarakan putri Arumaldi dan Duku. Berdasarkan posisi subjek-objek, dapat disimpulkan bahwa Tejarukmi diperlakukan tidak adil oleh penguasa. Penguasa yang dimaksud adalah putra mahkota dan Wiraguna sendiri. Pangeran telah berusaha untuk menculik Tejarukmi, dan Wiraguna membawanya sebagai selir ketika
dia masih sangat muda dan mengurungnya seperti binatang. Terbukti pada kutipan, Tejarukmi disebut si gadis piaraannya. Gadis piaraan bermakna gadis yang dilabel sebagai hewan peliharaan dan diperlakukan seperti hewan yang disimpan di penangkaran untuk hiburan.
�.�Ya begitulah,
Puanku Ratu Ibu. Anak Harimau
dia�� (Lusi Lindri, 3)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Nyai Pinundhi menjelaskan
kepada Puanku Ratu Ibu, bahwa Lindri ini
adalah perempuan yang layaknya anak harimau.
Berdasarkan penjabaran, Nyai Pinundhi menempati
posisi subjek, karena Nyai Pinundhi
lah yang bercerita mengenai Lindri kepada Puanku Ratu Ibu, sedangkan posisi objek ditempati oleh Lindri karena dialah
yang diceritakan Nyai Pinundhi kepada Puanku Ratu Ibu. Ditinjau dari posisi subjek-objek,
perilaku subjek memunculkan stereotip terhadap objeknya. Terbukti pada frasa Anak Harimau dia. Ungkapan Harimau seakan memberikan label galak, garang, kejam, dan liar kepada Lindri yang berposisi sebagai objek.
d) Kekerasan
Bentuk
ketidakadilan gender yang terdapat
pada kekerasan, yaitu berupa kekerasan fisik dan prikologis. Kekerasan seringkali disebabkan oleh anggapan gender, dalam hal ini
ketidaksetaraan kekuatan
yang ada dalam masyarakat. Misalnya pertama perkosaan, termasuk dalam perkawinan, kedua penyiksaan mengarah ke organ kelamin. Profesi pelacur, pemukulan serangan fisik, KDRT, kekerasan terhadap anak, pornografi, sterilisasi perempuan, kekerasan terselubung, kekerasan verbal. Adapun
data yang ditemukan berdasarkan
hal tersebut yaitu:
�. Tetapi setelah melihat semua di luar dan membaringkan diri di atas tikar
dalam cikarnya, mata memandang ke atap tanpa melihat
apa-apa, sedangkan hati masih berkumandang
gelak dagelan para lelaki tadi, �Wiraguna
mboyong Den-Ayu Siwa Truna digigit yuyu!�
Barulah Mendut sadar, betapa kejam
sebetulnya lagu-lagu ejekan itu. Barangkali
tak tersengaja merendahkan para wanita boyongan akan tetapi
nyatanya seperti tergigitlah hati Mendut oleh semacam Yuyu-Kangkang yang selama ini ingin memperkosanya.
(Rara Mendut, 59)
�. Diterangi sebuah lampu blencong di belakang kelir, muncullah pada layar siluet Rara Mendut yang genit memukau. Bayangan Mendut melenggak-lenggok mengambil sebatang rokok, lalu bergaya dimasukkan
ke dalam mulut. Pada saat rokok itu masuk
ke mulut, semua berteriak serentak, �Aduh, Biyuuuung! Mati aku! Tobat-tobat, Mbokne.� Disertai siulan-siulan mesum, yang memang sepantasnya membuat para alim
ulama sedih merana. Tetapi maafkanlah para lelaki itu, sebab
memang cara Mendut memasukkan batang rokok sambil
menggayakan lekuk lenggangnya yang alamiah menggiurkan itu, nalar sekali, menimbulkan
jerit tanggapan, �Mana tahaaaan!� (Rara Mendut, 190)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Mendut berpikir dua kali tentang apa yang dia lakukan,
dan dia kembali mengingat seruan siulan mesum oleh para pembelinya di pasar. Berdasarkan kedua kutipan tersebut,
pelaku pada posisi subjek adalah Mendut,
dan posisi objek adalah Wiraguna dan para pembeli di pasar. Para pembeli
yang pada kutipan Data 10, meneriaki
Mendut dengan candaan �Wiraguna mboyong Den-Ayu Siwa Truna digigit yuyu!�,
artinya pasti buruk dan bisa disebut nasib Mendut,
seperti Kelenting yang dianiaya Yuyu Kangkang.
Lelucon ini sungguh membuat hati Mendut sangat sedih. Hal ini diperparah dengan siulan dan teriakan cabul yang terdapat dalam kutipan Data 11, yaitu �Aduh, Biyuuung!
Mati aku! Tobat-tobat, Mbokne.� Ketika Rara merokok sesuka hati, mereka
berteriak. Tentu saja, dilihat dari
penampilannya, Raralah yang
salah karena dia berlenggak lenggok erotis, tapi pada dasarnya semua itu dilakukan untuk
bisa mendapatkan keuntungan dari membayar pajak yang diberikan Wiraguna. Dalam kasus ini,
Rara dianiaya secara verbal
dan psikologis, yang dapat mengguncang jiwa Rara.
Para
teliksandi memang bekerja cepat. Secepat kuda terbang, berita telah disampaikan
kepada Panglima Besar di Wiragunan. Sepasukan algojo langsung diperintahkan menyambar di Jagabaya. Sebelum matahari meraih tiga perempat
busur ke puncaknya, pembantaian telah tuntas. Semua
penjaga, lengkap dengan istri-istri dan anak-anak mereka telah dihabisi, menebus dengan darah dan nyawa pelalaian tugas negara. Tetapi para tawanan Holan mereka bawa
ke Mataram. Tiba-tiba sepi mengerikan seluruh Jagabaya. Tak ada
teriakan, taka da tangis, tak
ada komando-komando dan bising maki-makian. Sepi yang mencekam menghentikan napas, seolah-olah ada naga hitam lewat
dan dunia berhenti bernyawa.
Penduduk serba diam melarungkan mayat-mayat di muara dan satu per satu mengungsi ke hulu Sungai Bagawanta. Bagi mereka taka da pilihan lain. Mencari tempat
baru untuk penghasilan nafkah, agak menjauh dari
tempat siang yang menjadi angker itu. (Genduk Duku,
148-149)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Wiraguna memerintahkan algojonya untuk menghancurkan Jagabaya karena gagal melindungi
para tahanan Holan yang melarikan diri, tetapi pada akhirnya mereka gagal karena
kapalnya karam dan kelebihan muatan. Jadi semua penjaga dipenggal,
bersama dengan istri dan anak-anak mereka. Sesuai deskripsi cerita, posisi subjek diperankan
oleh Wiraguna yang memerintahkan
algojo, sedangkan objeknya adalah semua pengawal beserta istri dan anak-anaknya. Mereka dikatakan telah dibunuh dan mayat mereka dibuang ke laut. Hal ini
dapat dilihat pada kalimat �Semua penjaga, lengkap dengan istri-istri dan anak-anak mereka telah dihabisi, menebus dengan darah dan nyawa pelalaian tugas Negara�. Berdasarkan perlakuan subjek, diceritakan kisah duka dan trauma masyarakat desa tersebut, sehingga kalimat ini, selain
hilangnya nyawa, juga menangkap titik ketidakadilan gender dalam klasifikasi kekerasan fisik.
Bisikan
seperti itu sangat mengejutkan Lusi, karena nasib menjadi
selir Raja sungguh amat merana. Kesepian
dan perasaan para selir selalu terundung ketakutan, mungkin sewaktu-waktu mereka akan terkena hukuman
cekik atau gantung. (Lusi Lindri, 84)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Lusi merasa kaget
karena ternyata nasib menjadi para selir Raja itu sangat merana, kesepian, selalu terundung ketakutan, dan bahkan sewaktu-waktu dapat terkena hukuman mati dengan cara
di cekik atau digantung. Berdasarkan penjabaran, aktor yang menempati posisi subjek adalah Lusi,
sedangkan yang menempati posisi objek adalah
para selir. Para selir yang
diceritakan disini mengalami bentuk ketidakadilan gender dalam hal kekerasan verbal dan psikologis yang menyebabkan jiwa para selir terguncang. Terbukti pada kalimat �nasib menjadi selir Raja sungguh amat merana.
Kesepian dan perasaan para selir selalu terundung
ketakutan, mungkin sewaktu-waktu mereka akan terkena hukuman
cekik atau gantung�.
e) Beban
ganda
Anggapan
bahwa pekerjaan domestik adalah pekerjaan perempuan dengan alasan bahwa
perempuan memiliki sifat pemelihara dan rajin, namun tidak
cocok untuk menjadi kepala rumah tangga. Selain
mengerjakan pekerjaan domestik, perempuan juga berproduksi sehingga muncullah beban kerja atau beban
ganda yang harus dipikul perempuan. Adapun data
yang ditemukan berdasarkan hal tersebut yaitu:
�. Seorang janda petani
sederhana dengan anak tujuh, kan
harus ditolong. (Rara Mendut, 6)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa Kakek Siwa adalah
paman Mendut dan ingin membantu ibu Mendut yang telah lama ditinggalkan oleh suaminya dan harus membesarkan tujuh anak termasuk Mendut.
Maka saudara ibu Mendut berinisiatif
menerima Mendut sebagai anaknya. Menurut uraian tersebut, aktor pada posisi subjek adalah
Kakek Siwa, dan objeknya adalah Ibu Mendut, yang harus mengerjakan dua pekerjaan sekaligus, yaitu bekerja di sektor domestik dan publik. Hal ini terlihat dari kutipan
�Seorang janda petani sederhana dengan anak tujuh�.
Bekerja mencari nafkah dengan menjadi
petani menggantikan suaminya dan mengurus anak adalah dua
pekerjaan yang dapat membuat perempuan merasa tertekan dan memikul beban ganda
dan pada dasarnya menempatkan
perempuan pada posisi yang tidak adil.
Selain
bekerja di dapur seperti layaknya perempuan, amat pagi-pagi bangun, memasak air panas sambil membakar ketela dan sedikit menimba air di perigi, Genduk Duku kemudian
masih memperoleh tambahan nafkah dari tetangga dekat,
hanya lewat tiga rumah, dengan
berburuh memandikan dan membersihkan kuda-kuda muatan pedagang batu bata. (Genduk Duku,
44)
Sedikit
demi sedikit Slamet dapat membuat sebuah
gubuk sendiri untuk pangkalan mencari nafkah sehari-hari. Sedangkan Genduk Duku? Apa
lagi, selain mencoba keuntungan dalam wilayah yang sangat ia kenal; menjadi blantik jaran. Ini berhasil. Segera
Duku terkenal sebagai pengenal kuda, ahli dalam
ngelmu katuranggan, suatu seni yang tidak sembarang orang bisa. (Genduk Duku,
67)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa setelah tim pengawal
yang mengawal para tahanan Holan ke Mataram
melakukan pengabaian. Duku yang sakit, ditemani Slamet, tinggal di rumah Pestih, tahanan Horan yang paham senjata api.
Dalam keadaan terabaikan, Pestih yang memiliki anak memaksa
Duku melakukan dua pekerjaan sekaligus,
yaitu mengurus rumah, menjadi blantik jaran, dan memandikan kuda. Dari uraian yang dikutip, lokasi subjek dan objek dapat diidentifikasi.
Posisi subjek relatif terhadap pengarang yang menceritakan objek yang diperankan oleh Slamet dan Duku. Duku sendiri tanpa
sadar telah mengalami bentuk ketidakadilan gender dalam hal jumlah pekerjaan
yang dilakukannya atau beban ganda, yang dikerjakannya, yakni sektor domestik dan sektor publik, seperti yang terdapat pada kutipan Data 11 �Memasak air
dan membakar ketela, menimba air di perigi� bahkan masih harus
�Berburu memandikan kuda�. Selain itu Duku juga harus
menjadi Blantik jaran.
�.
Tidak hanya mengasihi, melahirkan, mengemban, dan menyusui, menyuapi anak kecil
dengan nasi gurih, tetapi juga tugas ahli membatik kerukunan,
mencegah persengketaan dan perpecahan. (Lusi Lindri, 67)
Berdasarkan
data tersebut, bahwa ketika Lusi sudah
tua, Lusi akan menjadi seperti
Kanjeng Ratu Ibu, yang selain
menjadi seorang Ibu dan pengatur rumah tangga, dia juga harus ahli dalam
membatik kerukunan, bahkan mencegah persengketaan dan perpecahan. Berdasarkan penjabaran, posisi subjek ditempati
oleh Kanjeng Ratu Ibu yang melakoni
dua pekerjaan sekaligus yakni sektor domestik dan publik, sedangkan posisi objek adalah
Lusi. Hal ini terbukti pada potongan kutipan �Tidak hanya mengasihi, melahirkan, mengemban, dan menyusui, menyuapi anak kecil dengan
nasi gurih, tetapi juga tugas ahli membatik
kerukunan, mencegah persengketaan dan perpecahan�.
Bekerja sebagai seorang Ibu, pengatur rumah tangga, bahkan
ahli membatik dan mencegah persengketaan dan perpecahan adalah dua pekerjaan yang dapat membuat perempuan
merasa tertekan dan memiliki beban ganda dan pada dasarnya menempatkan perempuan pada posisi yang tidak adil.
2) Bentuk
Ketidakadilan Gender dalam Trilogi Novel Karya
Y.B. Mangunwijaya Ditinjau dari Posisi Pembaca
Pada
Novel Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri posisi pembaca
diceritakan dalam sudut pandang orang ketiga yang menceritakan kisah hidup tokoh
utama yaitu Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Maka, pembaca
akan mensejajarkan dirinya dengan karakter utama tersebut di dalam teks. Diawali oleh penggambaran tokoh Rara Mendut, budak rampasan
dari Pati yang dipaksa menjadi selir Wiraguna
hingga nyawanya berakhir dikeris Wiraguna. Tokoh Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang sangat sering mengalami bentuk ketidakadilan gender baik marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja atau
beban ganda. Walaupun tak dapat
dipungkiri bukan hanya Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri saja
yang mengalami ketidakadilan,
namun sebagian besar perempuan dalam novel tersebut turut mengalaminya, seperti pada kutipan pada novel
Rara Mendut �Mengapa kau
diam�? Nyai Ajeng bertanya asal bertanya
saja, sebab memang ditubruk dari sisi mana pun, suaminya harfiah sudah berjanji tadi itu. �Kau
tidak mau melayani Tuanmu. Apa Tumenggung Wiraguna kau anggap terlalu tua? Katakan
terus terang.� Mendut tidak segera
menjawab. Menduk �Itu alasanmu?� (Rara Mendut, 140)
Lirih
Mendut menjawab, �Mendut hanya anak
laut dari pantai.� (Rara Mendut, 140)
Berdasarkan
kutipan, dapat dijelaskan bahwa saat Rara Mendut diberikan pertanyaan dan bentakan karena dirinya menolak diperistri Tumenggung Wiraguna, hal tersebut
turut dirasakan oleh pembaca, seakan-akan kejadian tersebut terjadi secara langsung menimpa pembacanya. Dengan diberikan pertanyaan yang telah jelas jawabannya
namun karena takut dan serba tertekan akhirnya hanya pernyataan datar saja yang menjadi perwakilan yakni �Mendut hanya anak laut
dari pantai�, sebuah pernyataan yang sarat makna jika
kita benar-benar mencerna baik-baik, Y.B. Mangunwijaya ingin mensyaratkan bahwa karakter Mendut ini adalah jiwa-jiwa
yang bebas seperti ombak di pantai yang berbuih dan membuncah sesuka hati, dan bukanlah sosok yang dapat dengan mudah
dicekoki segala aturan adat istiadat
istana yang serba manut. Teknik penceritaan demikian menghanyutkan pembaca akan alur
cerita, dan inilah yang dimaksud Mills sebagai mensejajarkan diri dengan karakter dalam novel. Pemarginalisasian
Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri dalam hal
penguasaan dan eksploitasi tampak pada kutipan data (01, 02,
05, dan 06).
Salah
satu pembaca novel Rara Mendut ini, menyatakan
bahwa �Jika perempuan lain
merasa terhormat didekati Wiraguna, Rara Mendut �berbeda�, ia menganggap Wiraguna
lebih cocok jadi Bapaknya. Karena Mendut tidak dibutakan
oleh harta dan jabatan. Di usia yang labil saat itu, wajar.
Mendut masih ingin mencari jati
diri. Dan hebatnya dia bertanggung jawab dan berani menanggung resikonya. Meski pada akhirnya harus kalah tapi
ia tidak menyesal�.
Senada
dengan yang diasumsikan
oleh salah satu pembaca
novel Rara Mendut, ditinjau
dari kata ganti yang digunakan Mangunwijaya benar-benar mengantarkan pembacanya turut merasakan emosi dan alur cerita, dengan
menggunakan kata ganti kau
dan nama pemerannya yaitu Mendut pada potongan kutipan Mendut hanya anak laut dari
pantai yang sama artinya dengan kata Saya atau aku. Pernyataan salah satu pembaca novel Rara Mendut ini, menyatakan keberpihakannya kepada Mendut yang memuji kelihaian Mangunwijaya dalam memunculkan sosok Mendut sebagai
seorang yang pemberani. Walaupun dalam novel dikisahkan bahwa tokoh perempuan yang tertindas, namun dalam ketertindasan tersebut tersimpan jiwa-jiwa ingin bebas dan ingin memunculkan diri senafas dengan perjuangan feminisme liberal dan eksistensialis.
Pada
novel Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri posisi pembaca
diceritakan dalam sudut pandang orang ketiga yang menceritakan kisah hidup tokoh
utama yaitu Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri. Maka pembaca
akan mensejajarkan dirinya dengan karakter utama tersebut di dalam teks. Dari 39 Data, penggunaan sapaan dalam percakapan
yang dinarasikan oleh pengarang
melalui aktor yang berposisi subjek dan objek, menggunakan kata ganti kita, kau, dan nama tokoh yang sama maknanya dengan
saya atau aku. Selain itu,
sebagai pembaca novel Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri diyakini bahwa melalui penggunaan
sapaan yang akrab, benar-benar membuat pembacanya turut merasakan emosi dan mengikuti alur cerita.
Pada
dasarnya novel Rara Mendut,
Genduk Duku, dan Lusi Lindri mengajak
pembaca untuk mengenali berbagai karakter perempuan, mengenal intrik penindasan yang terjadi zaman lampau hingga dapat
menemukan benang merah titipan pesan
Romo Mangun kepada pembaca mengenai dominasi dan penjajahan kaum patriarki yang tak jauh berbeda dulu
dan sekarang. Praktek kolonial dan feodal zaman dahulu sesungguhnya masih terjadi hingga
saat ini dalam bentuk modernism. Jika dahulu perempuan dilecehkan secara verbal, saat ini dalam
dunia maya, jika kita mengetik kata kunci tertentu mengenai perempuan, maka muncullah berbagai gaya dan jenis, baik ditinjau dari
pekerjaan, kebiasaan maupun agama. Hal ini berdampak pada perempuan yang tentunya mengalami marginalisasi, subordinasi, stereotip, kekerasan, dan beban kerja atau
beban ganda. Bentuk ketidakadilan gender ini memunculkan riak-riak perlawanan yang sebenarnya terselubung dalam setiap penolakan
yang diberikan oleh setiap karakter yang diciptakan Mangunwijaya. Perempuan cantik, mandiri, gigih berusaha, dan bertanggungjawab adalah ciri dari
perempuan yang menuntut kebebasan dan pengakuan diri, dalam seri
novel ini, unsur feminisme sangat kental yakni liberalism dan eksistensialisme.
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil analisis terhadap Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya Y.B. Mangunwijaya dengan menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis Sara Mills dibantu dengan pendekatan ketidakadilan gender, dapat ditarik simpulan bahwa: 1). Bentuk ketidakadilan gender dalam novel ditinjau dari posisi
subjek-objek, memunculkan bahwa karakter perempuan dalam novel, baik tokoh utama
seperti Rara Mendut, Genduk Duku, Lusi
Lindri, dan tokoh pendukung yang masing-masing secara
bergilir berposisi sebagai aktor yang bercerita maupun yang diceritakan, semua mengalami bentuk ketidakadilan gender, berupa a) Marginalisasi dalam hal pengambilan perempuan sebagai selir, penikmatan perawan sebagai perwujudan kemenangan melawan musuh, pemaksaan pelayanan kamar, pemiskinan dan eksploitasi. b) Subordinasi dalam hal tindakan
pembatasan perempuan hanya boleh bekerja
dalam sektor domestik, peremehan perempuan dan hilangnya penghargaan pada perempuan selalu dihadapkan pada hukum kerajaan dalam hal ini
penilaian lelaki terhadap perempuan disandarkan pada kecantikan, kesuburan, kemampuan melahirkan anak lelaki, dan perempuan yang tidak dapat memimpin.
c) Stereotip dalam hal melalui sebutan
yang mengarah kepada sebutan binatang yang liar, dan sebutan gadis piaraan. d) Kekerasan dalam hal kekerasan fisik,
psikis dan verbal. e) beban
ganda dalam hal sektor domestik
dan publik. 2). Selanjutnya
ketidakadilan gender dalam
Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya
Y.B. Mangunwijaya ditinjau dari posisi pembaca.
Para pembaca novel berdasarkan
hasil pencermatan penggunaan sapaan dan diskusi mengenai respon pembaca Novel Trilogi Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri karya
Y.B. Mangunwijaya maka ditemukan bahwa, para pembaca mensejajarkan dirinya dengan karakter utama tersebut di dalam teks. Dari 39 data, penggunaan sapaan dalam percakapan
yang dinarasikan oleh pengarang
melalui aktor yang berposisi subjek-objek, menggunakan kata ganti kita, kau, dan nama tokoh yang sama maknanya dengan saya atau aku.
Sesuai dengan respon pembaca yang sepakat dengan cara Mangunwijaya memberikan penokohan pada setiap karakternya yang secara tersurat, memposisikan aktornya sebagai perempuan yang menjadi subjek maupun objek yang ditindas dan diperlakukan tidak adil, namun
pada dasarnya menitipkan pesan perlawanan dan kebebasan. Hal ini terbukti dengan karakter tokoh utama perempuan dalam novel, masing-masing memiliki
misi yang satu yakni berusaha menolak untuk tunduk
dan patuh pada patriarki.
Andi Anugrah Batari Fatimah, Syamsudduha, Usman. 2021. �Analisis
Wacana Kritis Novel Genduk Duku Karya Y . B Mangunwijaya Dan Relevansinya
Dengan Pembelajaran Literasi Sastra Berbasis Gender Di SMA.� 7(2):453�62. Google Scholar
Andi Batara Indra, Sabaruddin, Fajrul Ilmy Darussalam, M.
Ilham, &. Agustan. 2021. �Dekonstruksi Kuasa Patriarki Novel Rara Mendut
Karya Y.B Mangunwijaya Perspektif Feminisme Eksistensialis.� 1:24�32. doi:
10.24014/gjbs.v1i1.12872. Google Scholar
Dewi, Puspita. 2019. �Ketidakadilan Gender Dalam Novel
Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari.� 5(2):100�109.
Google Scholar
Estuning Dewi Hapsari, Dwi Rohman Soleh. 2018. �Nilai Sosial
Budaya Dan Nasionalisme Dalam Novel Burung-Burung Manyar Karya Yb.
Mangunwijaya.� Widyabastra : Jurnal Ilmiah Pembelajaran Bahasa Dan
Sastra Indonesia 6(1):1�15. Google Scholar
Hastuti, Winda Puji. 2019. �Ketidakadilan Gender Dalam Novel
Kartini Karya Abidah El Khaleqy: Kajian Sastra Feminis Dan Relevansinya Sebagai
Bahan Ajar Sastra Di SMP.� Google Scholar
Heny Roulina Sitepu, T. Silvana Sinar, Irawaty Kahar. 2019.
�Ideologi Gender Kebahasaan Pada Novel Karya Sastra Pengarang Perempuan.� Google Scholar
Mardhiyyah, Rodhiyatan. 2020. �Kajian Feminis Novel Lusi
Lindri Karya Y.B Mangunwijaya.� SELL Journal 5(1):55.
Maria Botifar, Heny Feminisme. 2021. �Refleksi Ketidakadilan
Gender Dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban : Perspektif Gender Dan
Feminisme.� 3. Google Scholar
Muhammad Noor Ahsin, Eko Widianto. 2020. �Representasi
Ketidakadilan Gender Dalam Kumpulan Cerpen Janji Sri (Analisis Wacana Kritis
Sara Mills).� 432�40.
Nurwahidah, Kembong Daeng, Andiagussalin Aj. 2021. �Relasi
Tanda Pada Karakter Tokoh Dalam Novel Rara Mendut Karya Y.B Mangunwijaya Dan
Kontribusinya Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah Menengah Atas.�
7(3):740�46. Google Scholar
Prihatini, Sukmawati Dewi. 2019. �Analisis Feminis Cerita
Pendek Baru Menjadi Ibu Karya Amanatia Junda.�
Puji Astuti, Widyatmike Gede Mulawarman, Alfian Rokhmansyah.
2018. �Ketidakadilan Gender Terhadap Tokoh Perempuan Dalam Novel Genduk Karya
Sundari Mardjuki: Kajian Kritik Sastra Feminisme.� 2(2):105�14. Google Scholar
Rahmawati, Arizqa. 2018. �Ketidakadilan Gender Dalam Film
Kartini (Analisis Semiotika Menurut Roland Barthes).�
Sari, Atika Setia. 2017. �Penggambaran Perempuan Dalam Iklan
Produk Kebutuhan Rumah Tangga Di Televisi (Kajian Analisis Wacana Kritis Model
Sara Mills).� Google Scholar
Suciati, Sri. 2018. �Pidato Kampanye Politikus Perempuan
Indonesia : Analisis Wacana Kritis Fairclough.�
Sugiyono, Prof. Dr. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif Dan R&D.
Tri Budi Astuti, Lulus Irawati, Dwi Rohman Soleh. 2021.
�Ketidakadilan Gender Dan Nilai Pendidikan Karakter Dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban Karya Abidah El Khalieqy.� (1):65�79. Google Scholar
Uljannah, Ummamah Nisa. 2017. �Gerakan Perlawanan Perempuan
Dalam Novel (Analisis Wacana Kritis Sara Mills Dalam Novel Maryam Karya Okky Madasari).�
Bachelor�s Thesis 210. Google Scholar
Viora, Dwi. 2018. �Gender Dan Feminisme Dalam Surat Kabar
Harian Pekanbaru Metro Expres (MX): Kajian Analisis Wacana Kritis Perspektif
Sara Mills.� 3(2). Google Scholar
Wardani, Aida Nur Amalia Kurnia. 2020. �Isu Diskriminasi Dan
Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Perspektif Feminisme (Studi Analisis Wacana
Kritis Sara Mills Pada Novel This Is Why I Need You Karya Brian Khrisna).� Kekuatan
Hukum Lembaga Jaminan Fidusia Sebagai Hak Kebendaan 21(2). Google Scholar
Copyright holder: Diaul Khaerah, Sitti Aida Azis, Abd. Rahman
Rahim (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |