Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849

e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 8, Agustus 2022

 

ARAH BARU HUBUNGAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH: SENTRALISASI ATAU DESENTRALISASI

 

Alit Ayu Meinarsari, Harsanto Nursadi

Magister Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

Email[email protected]; [email protected]

 

Abstrak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) telah disahkan dan diundangkan. Kebijakan penggabungan Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) dengan Undang-Undang Pajak dan Retribusi Daerah (UU Nomor 28 Tahun 2009) merupakan pilihan pemerintah dalam memperkuat pelaksanaan otonomi daerah. dalam hal belanja, alokasi transfer ke daerah. Penataan penguatan ini juga diikuti dengan penguatan belanja daerah, dengan menetapkan batasan penggunaan belanja daerah dengan tujuan agar pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat tidak berbeda-beda, sejalan dengan semangat negara kesatuan, melalui hal tersebut. UU HKPD apakah konsep desentralisasi masih utuh atau sedang menuju sentralisasi.

 

Kata Kunci: hubungan pembiayaan pusat dan daerah; desentralisasi; desentralisasi  fiskal; pajak dan retribusi daerah; belanja daerah; pembiayaan daerah

 

Abstract

Law Number 1 of 2022 concerning the Law on Financial Relations between the Central Government and Regional Governments (UU HKPD) has been ratified and promulgated. The policy of merging the Law on Fiscal Balance between the Central Government and Regional Government (Law Number 33 of 2004) and the Law on Regional Taxes and Levies (Law Number 28 of 2009) is the government's choice in strengthening of the implementation of regional autonomy in terms of spending, allocation of transfers to regions. This strengthening arrangement is also followed by the strengthening of regional expenditures, by setting limits on the use of regional expenditures with the aim of ensuring that public services provided to the community do not vary, in line with the spirit of the unitary state, through this HKPD Law whether the concept of decentralization is still intact or is it moving towards centralization.

 

Keywords: central and regional financing relations; decentralization; fiscal decentralization; regional taxes dan levies; regional expenditure; regional financing

 

 

 

Pendahuluan

Sebagai langkah pemulihan ekonomi, anggaran tahun telah dibahas bersama dengan DPR RI sejak tanggal 20 Mei 2021, kebijakan anggaran yang disusun tahun 2022, tentunya sangat mempengaruhi alokasi anggaran bagi daerah. Sebagaimana diketahui juga bahwa sebagian besar daerah sangat bergantung pada alokasi Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), dimana bila dilihat dari prosentasenya pada pendapatan APBD hampir diatas 50 persen. Tetapi dalam proses pemulihan ekonomi tentunya pemerintah pusat tidak dapat melakukannya sendiri, diperlukan sinergi dan koordinasi bersama pemerintah daerah, keterlibatan pemerintah daerah sangat berperan dalam memastikan pertumbuhan ekonomi tercapai sesuai dengan yang diharapkan, yakni kisaran indikator ekonomi makro untuk penyusunan RAPBN 2022 diantaranya angka pertumbuhan ekonomi 5,2 sampai 5,8 persen, angka inflasi 2,0 sampai 4,0 persen, nilai tukar Rupiah pada Batasan �Rp13.900,00 sampai Rp15.000,00 per dolar Amerika, dan harga minyak mentah Indonesia pada batas US$55 sampai 65 per barel.

Perbaikan dan penguatan desentralisasi fiskal ini dilakukan melihat tantangan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang sudah dua dasawarsa lebih sejak dilaksanakannya otonomi daerah sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan Daerah. Pertama, perlunya optimalisasi pelaksanaan TKDD agar penggunaan dana dan capaiannya lebih baik dan efektif. Saat ini, 45,6% penerimaan pajak dan bukan pajak dikembalikan ke daerah melalui belanja TKDD, terus meningkat sejak 2001. Namun, masih terdapat masalah seperti hasil pembangunan daerah tidak sesuai harapan, dan pola belanja pemerintah daerah yang tidak fokus dan tidak efektif. Selain itu, Penyerapan APBD cenderung banyak untuk belanja pegawai, yang tentunya mengurangi belanja untuk kepentingan umum dan pada akhirnya mempengaruhi simpanan dana di sektor perbankan, tetap menjadi perhatian khusus. Kedua, tarif pajak daerah (local tax ratio) masih cenderung rendah dan perlu diperkuat, namun tentunya harus memperhatikan pertumbuhan bisnis lokal. Jenis pajak dan pungutan daerah (PDRD) juga harus disederhanakan agar pemungutan PDRD lebih efisien dan rasional. Ketiga, pelaksanaan pembangunan di daerah tidak diimbangi dengan pemerataan pelayanan antar daerah, terlihat pada ketimpangan layanan yang ditunjukkan pada daerah yang memiliki kinerja tinggi dan daerah yang memiliki kinerja rendah menunjukkan ketidaksetaraan dalam pencapaian layanan (Mulyono, 2021).

Permasalahan yang menjadi salah satu langkah pelaksanaan rekonstruksi dalam UU HKPD yakni permasalahan belanja daerah, berdasarkan data APBD Tahun Anggaran 2021, porsi belanja pegawai terhadap APBD secara nasional adalah 33,4%. Adapun dari 542 daerah terdapat 40% daerah yang masih memiliki porsi belanja pegawai di atas 30% (Kurnia, 2021). Selain itu juga, setidaknya baru 3 (tiga) daerah yang menganggarkan belanja modal mencapai 40%, tuntutan belanja infrastruktur dan belanja modal menjadi pengaturan mandatory spending dalam UU HKPD merupakan langkah mengurangi kesenjangan layanan infrastruktur antardaerah di Indonesia. Hal ini sejalan juga dengan belum meratanya layanan publik antar daerah yang ditunjukkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi Kota Yogyakarta (86,61) dan terendah Kab. Nduga (31,55) dengan rata-rata nasional 71,94. Selain itu juga gambaran akses air minum layak juga menunjukkan belum meratanya layanan public antar daerah di Indonesia, tertinggi Kota Magelang (100%) sedangkan terendah Kab. Lanny Jaya (1,06%) dengan rata-rata nasional 89,27%.

Salah satu langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan melakukan reformasi struktural di bidang belanja, melalui penguatan spending better dengan tujuan adanya pengawasan pengeluaran daerah agar lebih produktif, efisien dan memiliki efek pengganda yang kuat terhadap perekonomian dan meningkatkan ketentraman. Salah satu upaya tersebut adalah meningkatkan kualitas hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Rekonstruksi hubungan keuangan pusat dan daerah, perlu dilakukan mengingat angka alokasi semakin tinggi pada 2020 mencapai Rp800 T, sehingga harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan berkeadilan yang memiliki goal akhir untuk �memberikan pelayanan yang optimal di seluruh Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Di atas segalanya, hubungan keuangan pusat dan daerah perlu dikembangkan melalui: (i) membangun sistem perpajakan daerah yang mendukung kemudahan berusaha; (ii) alokasi sumber-sumber daya yang dikelola oleh pusat secara efisien; (iii) meminimalkan disparitas pendanaan vertikal dan horizontal; (iv) meningkatkan kualitas pengelolaan pengeluaran daerah, dan (v) melaksanakan sinergi dan keselarasan belanja pusat dan daerah dalam menjaga kesinambungan fiskal. Atas hal tersebut, tentunya mempengaruhi pelaksanaan hubungan keuangan pusat dan daerah yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU No. 33 Tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009).

 

Metode Penelitian

Dalam penyusunan makalah ini disusun dalam bentuk penelitian normatif, yaitu penelitian yang dirancang untuk memberikan gambaran atau mengajukan pertanyaan berdasarkan keadaan/fakta yang ada. Dalam hal ini, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, fakta-fakta tentang hubungan keuangan pusat dan daerah, yakni No. 33 Tahun 2004, kemudian dilengkapi dengan UU No. 28 Tahun 2009, analisis lebih lanjut berdasarkan rencana kebijakan yang disepakati bersama antara pemerintah dan DPR, yang bertujuan untuk mengarahkan arah baru hubungan keuangan pusat dan daerah.

 

 

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

1.   Dasar Hukum Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang tercantum dalam Pasal 18A Ayat (2) yang berbunyi:

�Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.�

Dalam menjelaskan mengenai hubungan keuangan sebagaimana mandat konstitusi tersebut, dipahami dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesuai dengan konsep otonomi daerah. Ketiga asas, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan, merupakan pedoman dalam pelaksanaan kewenangan dan keuangan bagi daerah (Sunarno, 2006).

Asas desentralisasi ini dapat dilihat sebagai hubungan hukum perdata, pelepasan beberapa hak untuk tujuan tertentu dan beberapa hak pemilik kepada penerima. Pemilik hak pemerintah berada di tangan pemerintah, dan hak pemerintah dengan objek berupa kewenangan pemerintahan diberikan kepada pemerintah daerah untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Asas dekonsentrasi adalah asas pendelegasian kekuasaan pemerintahan yang sebenarnya berada pada pemerintah pusat. Pelaksanaan asas ini meliputi penetapan strategi politik dan pelaksanaan program kegiatannya yang dilimpahkan kepada gubernur atau pejabat vertikal di daerah menurut arah kebijakan umum pemerintah pusat, sedangkan pendanaannya dilakukan oleh pemerintah pusat.

Sedangkan asas tugas pembantuan adalah tugas yang dilimpahkan dari otoritas tertinggi kepada otoritas bawahan di lapangan sesuai dengan arah kebijakan umum yang diberikan oleh otoritas yang mengeluarkan mandat dan wajib mempertanggungjawabkan tugasnya. Asas ini secara tersirat dan tersurat berarti bahwa tugas pembantuan juga dilakukan terhadap pemerintahan desa dan menjadi komitmen bersama antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Otonomi daerah merupakan bentuk respon pemerintah terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang diamanatkan oleh penyelenggara negara dan pemerintah. Ini merupakan sinyal bahwa kehidupan demokrasi telah berkembang di suatu negara, dikarenakan memahami kebutuhan masyarakat akan layanan yang lebih baik dan lebih cepat (Dewirahmadanirwati, 2018).

Desentralisasi menjadi salah satu langkah untuk pelaksanaan pembangunan di daerah, terutama daerah yang memiliki kemajemukan. Dengan perkataan lain, sebagaimana dikutip oleh Hendrikus T. Gedeona, desentralisasi dianggap sebagai syarat (persyaratan) penting bagi (negara berkembang) untuk berkembang di bidang politik, sosial dan ekonomi masyarakatnya. Hal ini disebabkan, desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan rakyat. Menurut Laporan Tahunan IRE (2001-2002), desentralisasi merupakan isu pemerintahan yang sangat penting, terutama bagi negara besar dan beragam seperti Indonesia, sehingga prinsip bahwa kekuasaan harus dibagi, harus dilakukan. Secara leksikografi desentralisasi berarti �both reversing the concentration of administration at a single center and coffering powers of local government�. Desentralisasi adalah kebalikan dari sentralisasi pemerintahan, dimana terdapat pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Gedeona, 2008).

Otonomi sendiri tidak dapat diartikan sebagai kebebasan mutlak suatu daerah, karena otonomi merupakan proses yang memberikan kesempatan bagi suatu daerah untuk berkembang sesuai dengan potensinya, maka pelaksanaan otonomi daerah harus dimaknai sebagai cara untuk mengoptimalkan seluruh potensi daerah, termasuk alam dan lingkungan, serta budaya. Keseluruhannya melalui proses yang memungkinkan daerah mengembangkan diri dan meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat (Simandjuntak, 2016). Oleh karena itu, dalam pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, diperlukan pertimbangan rasional dan praktis, dengan maksud bahwa pembagian tugas dilakukan bukan karena materi yang diatur berbeda sifat, melainkan dengan itikad bahwa masing-masing daerah lebih memahami potensinya, sehingga dapat menjalankan kepentingan negara secara lebih baik.

Menurut Terry sebagaimana dikutip oleh Wardhanu Dwi Budi dalam bukunya Principle of Management mengemukakan tentang kelebihan dari desentralisasi adalah sebagai berikut: (i) efisiensi dapat ditingkatkan selagi struktur dapat dilihat sebagai satu kesatuan; (ii) lebih berkembang generalis daripada spesialis, dan dengan demikian membuka ruang bagi manajer umum; (iii) hubungan dapat ditingkatkan, yang membawa kepada etika kerja yang baik dan koordinasi; (iv) kebiasaan dengan aspek-aspek khusus dan penting dari pekerjaan yang siap digunakan; (v) struktur organisasi terdesentralisasi memudahkan pembagian beban, ini bermanfaat untuk mempercepat proses kerja; (vi) untuk perusahaan besar dan tersebar di tempat-tempat yang berbeda, keuntungan maksimum dapat diperoleh sesuai dari kondisi masing-masing tempat kerja; (vii) dapat dilaksanakan percobaan dan dilakukan penyesuaian sebelum diimpelemtasikan kepada bagian lain yang sejenis; (viii) pembagian resiko baik ketugian, kepegawaian, dan fasilitas (Wardhanu Dwi Budi, 2012).

Konsepsi desentralisasi dan otonomi, yang dijalankan Indonesia dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia, merupakan bentuk pemberian kepercayaan Pusat kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri, yang bertujuan untuk mempercepat kesejahteraan masyarakat sesuai dengan makna pelaksanaan otonomi daerah melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan pelibatan masyarakat, dengan tetap menerapkan prinsip demokrasi, pemerataan, kesetaraan, keadilan, serta efisiensi dan efektivitas (Syueb, 2008).

Hak untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan daerah tersebut juga diikuti dengan adanya pengaturan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan �setiap pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang�. Kewenangan memungut pajak dan retribusi daerah, merupakan kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah atau potensi besar yang dimiliki daerahnya yang diatur sesuai dengan konsep otonomi daerah.

Daerah berhak menggali sumber pendapatan untuk memajukan pembangunan, pertumbuhan ekonomi, kemajuan, kemakmuran, kemandirian, dan pelayanan kepada masyarakat setempat. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sendiri, sumber keuangan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih penting daripada sumber di luar PAD, karena PAD dapat digunakan sesuai prakarsa dan keinginan daerah, sedangkan penerimaan dari pemerintah pusat (non-PAD) pengunaannya lebih mengikat (Kadarukmi, 2010).

Kewenangan memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebagaimana amanat Pasal 23A UUD 1945 telah diatur pada UU Nomor 28 Tahun 2009. Pengaturan ini juga telah mengalami perubahan dari yang sebelumnya diatur pada UU Nomor 34 Tahun 2000, dimana perbedaannya perubahan sistem pemungutan dari open list menjadi close list. Tetapi juga memberikan tambahan jenis pajak dan retribusi daerah baru seperti BPHTB, PBB-P2, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Retribusi Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Selain itu, terdapat 2 (dua) jenis retribusi tambahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012, yaitu Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing. Pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah ini sangat bergantung pada pengaturan mengenai otonomi daerah, yang mengakibatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah menjadi semata untuk keperluan APBD tanpa mempertimbangkan kebutuhan pelayanan bagi pembayar pajak (Ismail, 2018). Sejalan dengan hal tersebut, pemberian kewenangan kepada daerah dalam memungut pajak dan retribusi daerah, memliki tujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah yang tentunya mengarah pada pemberian pelayanan publik di daerah yang sama tiap-tiap daerahnya.

Oleh karena itu, dalam penyelenggaran pemerintahan daerah, setiap daerah harus menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), mengatur penerimaan dari pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dilakukan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat (Sunarno, 2006). Sumber-sumber pendapatan yang diatur dalam APBD, tentunya sangat terkait dengan hubungan keuangan pusat dan daerah, yang lebih dikenal dengan desentralisasi fiskal. Prinsip dalam desentralisasi fiskal, gubernur/bupati/walikota diberikan kewenangan atributif selaku pengelola keuangan daerah dan bertanggungjawab atas pengelolaan APBD yang bersumber dari (Tjandra, 2013):

a)  pendapatan asli daerah, yaitu

1.   hasil pajak daerah,

2.   hasil retribusi daerah,

3.   hasil perusahaan milik daeraj dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

4.   lain-lain pendapatanan asli daerah yang sah

b)  dana perimbangan;

c)  pinjaman daerah;

d)  lain-lain pendapatan daerah yang sah

Kebijakan/politik hukum di Indonesia, sebagaimana konsep negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, memiliki arti sebuah proses akumulasi politik yang menyangkut kepentingan negara buat mengatur kehidupan sosial masyarakat melalui pembentukan perundang-undangan negara (Soimin, 2010). Dasar hukum pengaturan tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal era baru, dimulai semenjak Reformasi 1998, yang salah satu tuntutannya pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota menjadi salah satu unsur reformasi. Atas dasar hal tersebut, ditetakan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Dina Amin, 2013). Kemudian dilakukan perbaikan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta pengaturan perpajakan daerah berubah menjadi UU No. 28 Tahun 2009.

2.   Perkembangan Kebijakan Pengaturan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Sebagaimana ditulis Aries Djaenuri, penjelasan Kenneth J. Davey atas hubungan keuangan pusat dan daerah terkait dengan pembagian tanggung jawab antara tingkat pemerintah dan distribusi sumber pendapatan untuk menutupi pengeluaran atas pelaksanaan tanggung jawab dengan maksud mencapai keseimbangan potensial, dengan tetap di bawah pemerintah (Djaenuri, 2012).

Hubungan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem yang mengatur bagaimana dana dibagi antar tingkat pemerintahan, serta bagaimana sumber-sumber pendanaan daerah ditemukan untuk mendukung kegiatan sektor publik (Tjandra, 2013). Ada empat kriteria yang perlu dipergunakan sebagai acuan untuk menjamin sistem hubungan antara pusat dan daerah, yakni:

1.   Sistem harus memastikan distribusi kekuasaan yang rasional antara tingkat pemerintahan dalam hal penggalian sumber-sumber pendanaan dan kewenangannya, sesuai skema umum desentralisasi.

2.   Sistem menyediakan bagian yang sesuai dari keseluruhan sumber pendanaan untuk mendanai pelaksanaan dan pengembangan daerah.

3.   Sistem tersebut sedapat mungkin harus mendistribusikan belanja publik secara merata antar daerah, atau paling tidak mengutamakan pemerataan pelayanan dasar tertentu.

4.   Pajak dan retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah sesuai dengan distribusi yang adil dari keseluruhan beban pengeluaran publik di masyarakat.

Oleh karena itu pada hakekatnya hubungan keuangan pusat dan daerah menyangkut distribusi sumber-sumber pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu pada umumnya hubungan keuangan di daerah pusat sudah selayaknya mendistribusikan kapasitas fiskal bagi pemerintah daerah.

Kriteria yang diperlukan untuk mendorong kapasitas fiskal daerah dan tidak menimbulkan gap keuangan yang tajam antara daerah yang kaya dan daerah-daerah yang miskin. Pertama, sistem tersebut harus memberikan distribusi kekuasaan yang rasional di antara level pemerintahan, baik kewenangan dalam penggalian sumber dana pemerintah dan kewenanagan dalam memanfaatkan sumber dana dimaksud sejalan dengan sistem yang dianut dalam desentralisasi. Sebagai contoh, sistem money follows function, maka semestinya sumber pendapatan yang diberikan sejalan dengan besar kewenangan pemerintahan yang menjadi urusan rumah tangga daerah. Kedua, sistem tersebut harus menyajikan suatu bagian yang cukup memadai dari sumber-sumber pendapatan, yang secara keseluruhannya untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan masyarakat, penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan yang menjadi kewenangan daerah, khususnya bagi daerah yang banyak jumlah penduduknya, miskin sumber daya alam, serta belum berkembangnya sektor perdagangan dan jasa. Ketiga, sistem harus mendistribusikan belanja pemerintah antar daerah seadil mungkin. Keempat, pajak daerah dan retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah harus konsisten dengan distribusi yang adil dari keseluruhan beban belanja di masyarakat. Pajak daerah dan retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah harus didasarkan pada asas kesanggupan membayar. Kelima, sistem tersebut formulanya tetap, dalam arti tidak cepat berubah atau berganti. Keenam, sistem ini formulanya sebaiknya transparan dan dapat diketahui dan diakses sehingga daerah dapat memperkirakan jumlah penerimaannya sendiri, termasuk di dalamnya transfer keuangan dari pemerintah pusat kepada daerah dan formulanya mudah dihitung (Djaenuri, 2012).

Hubungan keuangan pusat dan daerah ini juga tentunya mengarah pada pemberian pelayanan publik di daerah yang sama tiap-tiap daerahnya. Urusan pemerintahan yang telah diserahkan ke daerah tidak mungkin berhasil tanpa pengaturan fiskal daerah yang jelas. Desentralisasi fiskal dalam konteks Negara kesatuan adalah penyerahan kewenangan fiskal dari otoritas nasional kepada daerah otonom.

Kewenangan fiskal setidaknya mencakup kewenangan menyelenggarakan penerimaan/pajak, kebebasan menentukan anggaran, dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki kabupaten untuk mendanai pelayanan publik yang menjadi mandat daerah. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme penyaluran dana dari APBN yang relevan dengan kebijakan fiskal nasional, yaitu untuk mencapai kesinambungan fiskal dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat (Christia & Ispriyarso, 2019).

Tujuan dari desentralisasi keuangan adalah untuk memenuhi aspirasi daerah mengenai pengendalian sumber daya keuangan negara, menggalakkan tanggung jawab dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses pengembangan regional, mengurangi kesenjangan antara wilayah, memastikan pelaksanaan minimal layanan publik di masing-masing wilayah, dan akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, dan pembangunan yang dapat dicapai melalui mekanisme pasar, tetapi juga memerlukan peran pemerintah melalui kebijakan yang berkaitan dengan anggaran. Pada saat yang sama, jika lebih banyak dipelajari, kebijakan desentralisasi fiskal adalah hasil dari keputusan politik atas pelaksanaan desentralisasi atau kebijakan otonomi daerah yang diambil oleh pemerintah. Otonomi daerah tidak mungkin berhasil jika tidak sepenuhnya disokong melalui kebijakan fiskal melalui transfer ke daerah untuk mendukung (Hastuti, 2018).

Pelaksanaan otonomi daerah, tentunya diperlukan kebutuhan untuk pendanaan yang besar. Sumber pendanaan utama melalui PAD, dapat digunakan untuk membiayai investasi dan pembangunan. Namun, komponen pendanaan daerah tidak hanya PAD, terdapat juga transfer dari pemerintah pusat. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, transfer dari pusat dilakukan melalui Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang memiliki tujuan mengurangi ketidakseimbangan fiskal vertikal (antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dan membantu daerah-daerah dalam membiayai sesuai kewenangan.

Di samping itu, terdapat peraturan perundang-undangan lain yang mengatur antara lain:

1.   UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

2.   UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 1995 Tentang Cukai;

3.   UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

4.   UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa;

5.   UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;

6.   UU No. 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Diterbitkannya beberapa UU tersebut mempengaruhi konstruksi hukum terkait sumber penerimaan Daerah. Sebagai contoh, pengaturan sumber keuangan daerah yang sudah dicantumkan dalam Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2004 memerlukan penyesuaian dengan adanya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Dana Desa sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Terkait dengan pengaturan UU No. 28 Tahun 2009, masih terdapat beberapa permasalahan dan tantangan yang selama ini perlu diperbaiki. Dasar objek pajak daerah masih terbatas, meskipun telah diatur 16 jenis pajak daerah, tetapi apabila dikelompokkan hanya dikenakan atas 3 dasar, yakni konsumsi, properti, dan sumber daya alam. Pengaturan 32 jenis retribusi daerah, beberapa di antaranya adalah pungutan atas pelayanan publik yang pada dasarnya wajib diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakatnya, dan dapat menciptakan biaya ekonomi tinggi apabila tetap dipungut, diantaranya Retribusi Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pengujian Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Pemakaman dan Pengabuan Mayat, serta Retribusi Tera dan Tera Ulang.

Sebagaimana diketahui, UU No. 28 Tahun 2009 beberapa pengaturannya juga telah diuji dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang tentunya berdampak pada keberlakuan beberapa pasal, yaitu:

1.   Putusan MK No.52/PUU-IX/2011 terkait dengan objek pajak golf.

2.   Putusan MK No.46/PUU-XII/2014 terkait dengan retribusi pengendalian menara telekomunikasi berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP).

3.   Putusan MK No.15/PUU-XV/2017 terkait pajak kendaraan bermotor atas alat berat.

4.   Putusan MK No. 80/PUU-XV/2017 terkait dengan pajak penerangan jalan atas listrik yang dihasilkan sendiri.

Tumpang tindih aturan atau aturan yang saling beririsan juga menjadi permasalahan dalam implementasinya, pengaturan objek Pajak Restoran belum secara tegas mengatur batasan antara restoran yang melakukan pelayanan penyediaan makanan/minuman (objek Pajak Restoran) dengan toko yang hanya menjual makanan/minuman (objek PPN), sehingga menimbulkan misinterpretasi. Selain itu, terdapat pengaturan yang membutuhkan penegasan, pengaturan objek Pajak Hotel yang tidak tercantum dalam batang tubuh tetapi dijelaskan pada penjelasan umum juga menimbulkan kebimbangan.

3.   Arah Baru Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

Pemerintah dan DPR RI telah menetapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Melengkapi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang belum lama ini telah disahkan, bertujuan meningkatkan keuangan nasional dalam hal pendapatan, UU HKPD bertujuan untuk meningkatkan pengeluaran keuangan nasional, termasuk transfer pengeluaran ke daerah secara lebih terstruktur, terukur, transparan, akuntabel dan adil, untuk mencapai pemerataan pendapatan, dan tentunya bermanfaat bagi masyarakat. Keseluruhan ini merupakan bagian dari agenda reformasi di bidang fiskal dan struktural untuk mencapai Indonesia Maju 2045.

Dengan diundangkannya UU HKPD dimaksud, diharapkan dapat mengatasi ketimpangan permasalahan dan tumpang tindih aturan dimaksud, serta sebagai bentuk dan langkah pemerintah di masa pandemi tentunya masih sejalan dengan konsep otonomi daerah, dimana adanya pemerataan ekonomi dan pemenuhan pelayanan masyarakat di seluruh Indonesia, dan tentunya tetap memegang teguh prinsip keadilan, yang bukan diartikan besarannya sama untuk semua daerah. Arah baru penguatan hubungan keuangan pusat dan daerah tetep mendudukkan daerah sebagai subjek, daerah diberikan kewenangan mengatur tetapi tetap diberikan pilar-pilar agar tercapai kesejahteraan masyarakat atau pemerataan ekonomi. Pemerataan ekonomi adalah suatu upaya untuk memberikan kesempatan luas bagi warga negara memiliki pendapatan minimum, sandang, pangan dan papan seadil mungkin (Astuti, 2017).

Adapun pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah tergambar dari 4 (empat) pilar yang menjadi pondasi utama UU HKPD, dengan tujuan untuk memperkuat kualitas desentralisasi fiskal dengan pengalokasian sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan, yaitu: (Jeven, 2022).

1.   memperbaiki kebijakan transfer ke daerah dalam rangka mengembangkan hubungan keuangan pusat dan daerah dengan memperkecil ketimpangan vertikal dan horizontal;

2.   merancang sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien.;

3.   meningkatkan kualitas belanja daerah; dan

4.   Penyelarasan belanja pusat dan daerah untuk optimalisasi penyelenggaraan pelayanan publik dan kesinambungan fiscal

Penguatan kualitas desentralisasi fiskal dimaksud dilakukan melalui dua kebijakan besar yakni penyempurnaan fiscal resources allocation dan penguatan spending better di daerah. UU HKPD di desain untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah seperti peningkatan porsi DBH, adanya opsi DBH jenis lain, penghitungan DAU yang lebih presisi, penguatan local taxing power, serta perluasan akses pembiayaan bagi daerah. Sedangkan pada sisi spending, UU ini mendorong spending better di daerah melalui penguatan kualitas dan sinergitas pengelolaan keuangan daerah, dukungan pengembangan SDM di daerah dan dukungan penguatan kapabilitas APIP Daerah. Pengaturan spending better semata-mata dilakukan untuk membantu daerah dalam menguatkan pengelolaan keuangannya agar dapat mengakselerasi pencapaian tujuan bernegara.

Adapun materi-materi perbaikan yang tertuang dalam UU HKPD, yakni:

1.   Konsepsi pengalokasian DBH bertujuan untuk meminimalkan vertical imbalance, penguatan aspek kepastian alokasi, mendorong kinerja daerah dan memperhatikan eksternalitas kewilayahan.

2.   Pengalokasian DAU tidak hanya untuk memeratakan kemampuan keuangan namun juga memeratakan kualitas layanan publik di daerah.

3.   DAK akan difokuskan untuk pemenuhan prioritas nasional.

4.   UU HKPD tetap memberikan insentif fiskal atas capaian kinerja daerah untuk terus memotivasi daerah agar berkinerja.

5.   Perubahan kebijakan perpajakan daerah dilakukan agar dapat meningkatkan local taxing power, diantaranya melalui:

a)   Restrukturisasi dan konsolidasi jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan penyederhanaan jenis retribusi daerah (16 jenis pajak daerah menjadi 14 jenis pajak dan rasionalisasi Retribusi Daerah dari 32 jenis layanan menjadi 18 jenis layanan).

b)  Membuka adanya opsi retribusi tambahan yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, seperti retribusi pengendalian perkebunan kelapa sawit.

c)   Memperkenalkan skema Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk memberikan sumber pendapatan yang pasti bagi pemerintah kabupaten/kota tanpa membebani wajib pajak.

d)  Mendorong kemudahan berusaha dan penciptaan pekerjaan, dan pelancaran insentif untuk perusahaan mikro dan mikro.

6.   Penguatan skema alternatif pembiayaan daerah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di daerah.

Perbaikan pengaturan dalam UU HKPD ini apabila dibandingkan dengan UU No. 33 Tahun 2004, sejalan dengan empat pilar perbaikannya. Bentuk perbaikan kebijakan untuk mengurangi ketimpangan vertikal dan horisantal, melalui Redesign pengelolaan Transfer ke Daerah (TKD) untuk mengurangi ketimpangan dan mendorong perbaikan kualitas belanja, yang dilakukan perbaikan transfer ke daerah berbasis kinerja.

Pengaturan Dana Bagi Hasil (DBH) dalam UU HKPD bertujuan untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah, memberikan kepastian penyaluran kepada pemerintah daerah, meningkatkan tanggung jawab pengelolaan DBH berdasarkan prinsip penyaluran kinerja/hasil, mendukung penguatan penerimaan negara, dan efektif menangani eksternalitas Negatif ekstraksi sumber daya alam (SDA). Hal tersebut tercermin dari perubahan desain kebijakan, antara lain (i) peningkatan porsi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBH CHT) dari 2% menjadi 3%; (ii) alokasi berdasarkan realisasi penerimaan T-1; dan (iii) alokasi juga mempertimbangkan daerah pengolah.

Dana Alokasi Umum (DAU) yang didesain mengurangi ketimpangan keuangan antar daerah, dengan mengalokasikannya lebih fokus pada pelayanan publik. Yang membedakan dari pengaturan sebelumnya adalah DAU tidak bersifat "one size fit for all" tetapi dihitung dengan menggunakan pendekatan klaster serta dengan mempertimbangkan wilayah dan ekonomi.

Nomenklatur Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami perubahan karena adanya konsolidasi hibah daerah menjadi DAK, sehingga DAK terdiri dari (i) DAK fisik; (ii) DAK non fisik; dan (iii) hibah daerah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi belanja di tingkat pusat dan daerah serta untuk mengejar ketertinggalan layanan di daerah yang kurang berkembang.

Bagian dari TKD lainnya adalah Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, dan Dana Desa yang keseluruhan pengaturannya dilakukan penguatan target kinerja. Sebelumnya nomenklatur jenis belanja pusat ke daerah menggunakan istilah �TKDD�, tetapi melalui UU HKPD ini telah mengintegrasikan Dana Desa sebagai bagian dari Transfer Ke Daerah (TKD) sebagaimana tercantum dalam Pasal 106. Nomenklatur Dana Desa yang dimasukkan sebagai bagian TKD akan memberikan ruang bagi pemerintah pusat untuk memainkan semangat tata kerja desa berdasarkan kinerja. Hal ini diyakini dapat mendorong kinerja desa yang lebih fokus, terukur dan akuntabel.

Meskipun Dana Insentif Daerah tidak termasuk dalam bagian TKD dalam UU HKPD, ini tidak berarti bahwa pemerintah pusat tidak akan memberikan rangsangan fiskal kepada daerah. Rangsangan/insentif fiskal dapat diberikan dengan menggunakan undang-undang APBN, ini disebabkan oleh fakta bahwa indikator penilaian efisiensi regional memiliki sifat yang dinamis. Oleh karena itu, fleksibilitas harus digunakan dalam memberikan insentif fiskal agar kualitas kompetisi dapat terus meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pemerintah daerah sebagai peserta kompetisi.

Langkah lain untuk mengurangi ketimpangan vertikal dan horizontal adalah pemerintah daerah juga dapat membiayai utang daerah, dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal. Pengenalan skema syariah diharapkan dapat meningkatkan pemanfaatan pembiayaan daerah.

Selain itu, untuk mengurangi keterbatasan sumber-sumber pendanaan di daerah, diatur mengenai percepatan pengembangan sinergi pendanaan, yang dapat bersumber dari APBN, APBD, Belanja K/L atau BUMN dan BUMD, konsep sinergi pendanaan akan membuka ruang bagi pengembangan kerjasama antar daerah untuk mengatasi permasalahan yang semakin serius, khususnya bagi kawasan metropolitan. Pengaturan Dana Abadi Daerah dapat digunakan bagi daerah yang telah memiliki kemampuan keuangan yang sangat tinggi dan kualitas pelayanan publik yang relatif baik, pengaturan ini sebagai pilihan manfaat antar generasi, dengan jangkauan manfaat yang lebih luas dan juga dapat memberikan dukungan bagi daerah-daerah yang telah berhasil di Indonesia.

Local taxing power, dilakukan perbaikan sejalan dengan konsepsi mewujudkan kemandirian fiskal, perubahan kebijakan PDRD bertujuan untuk membantu meningkatkan pendapatan daerah dengan tetap menjaga akses masyarakat terhadap layanan dasar wajib dan kemudahan berusaha, dan tentunya tetap menciptakan iklim inovasi di daerah.

Skema Opsen PKB dan BBNKB untuk memberikan kepastian penerimaan kepada pemerintah kabupaten/kota, tanpa membebani wajib pajak, karena opsi PKB dan BBNKB menggantikan bagi hasil PKB dan BBNKB. Selain itu, melalui Opson ini, efek sinergis pungutan provinsi, kabupaten/kota akan meningkat. Isu lingkungan yang juga menjadi perhatian bersama, khususnya dampak dari emisi karbon, disiasati dengan adanya pengecualian kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan (energi non-fosil) yang tidak termasuk objek pajak kendaraan bermotor (PKB) dan BBNKB.

UU HKPD dapat meningkatkan kualitas manajemen pengeluaran daerah melalui pengaturan anggaran belanja daerah yang menjadikannya lebih efisien, berorientasi, sinergis dan berkelanjutan. Pertama, meningkatkan efisiensi belanja daerah dengan memfasilitasi dan menyederhanakan program prioritas daerah, serta mempersiapkan belanja daerah berdasarkan standar harga. Kedua, memperkuat disiplin pengeluaran daerah dan menetapkan batas-batas, yakni tidak lebih dari 30 persen untuk belanja pegawai dan setidaknya kurang dari 40 persen untuk belanja infrastruktur, dengan diberikan masa peralihan selama 5 Tahun. Ketiga, peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dan peningkatan aspek pengawasan yang dilakukan oleh BPKP.

Pengaturan terkait belanja daerah diatas, memiliki maksud mempertahankan fungsi subsidi APBD untuk pembiayaan layanan publik dan meningkatkan kesejahteraan orang. Permasalahan belanja daerah selama ini tentunya terkait dengan realisasi yang tidak dapat meningkatkan pelaksanaan pembangunan di daerah, beberapa hal yang mempengaruhi diantaranya: (i) keterlambatan dalam pelaksanaan anggaran dan kegiatan karena ketidakcocokan PBJ (ULP) di daerah, perencanaan yang tidak memadai di daerah, dan diskresi Kepala Daerah yang cenderung lebih berhati-hati dalam menjalankan perbelanjaan dan berusaha untuk mengubah komposisi dikarenakan untuk memenuhi janji politik mereka, dan (ii) hasil pencatatan pelaksanaan yang lebih rendah dari kondisi nyata.

Sebagai pilar terakhir dari UU HKPD, dirancang untuk meningkatkan penyelarasan kebijakan pusat dan daerah, sehingga sinergi langkah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan negara dapat berjalan dalam harmoni. Pelaksanaan sinergi ini akan mempromosikan pengembangan sistem informasi yang saling terhubung dan dapat mengkonsolidasikan keuangan pusat dan daerah, serta sistem pemantauan dan penilaian yang efektif. Pelaksanaan sinergi ini, tentunya untuk mengatasi permasalahan disharmoni yang terjadi, sebagai contoh yang sering menjadi rujukan Menteri Keuangan, yakni pembangunan proyek strategis Umbulan SPAM, meskipun proyek ini selesai pada tahun 2021, namun, proyek ini tidak dapat digunakan secara langsung oleh masyarakat dikarenakan terdapat masalah dalam jaringan distribusi, yang seharusnya dibangun oleh pemerintah daerah. Kebijakan harmonisasi ini dilakukan melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, penetapan kebijakan penetapan batas kumulatif defisit dan pembiayaan utang Daerah, pengendalian belanja daerah dalam kondisi darurat, dan sinergi bagan akun standar.

Konsentrasi UU HKPD yang mengedepankan transfer berbasis kinerja, perbaikan pengelolaan belanja daerah melalui disiplin yang ketat dan upaya penguatan sinergi fiskal nasional, bukanlah upaya untuk melakukan resentralisasi. Upaya perbaikan yang dilakukan dalam UU HKPD ini bertujuan untuk memperkuat kualitas desentralisasi fiskal itu sendiri serta mendukung perwujudan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan, dengan meletakkan tanggungjawab yang lebih kuat ke daerah dalam upaya memperbaiki kualitas layanan publik dan memeratakan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kerangka NKRI (Keuangan, 2021).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian dalam pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

a)   Dalam menjelaskan mengenai hubungan keuangan sebagaimana mandat konstitusi Pasal 18A Ayat (2), dipahami dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesuai dengan konsep otonomi daerah, terdapat asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan, yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kewenangan dan keuangan bagi daerah. Konsepsi desentralisasi dan otonomi, yang dijalankan Indonesia dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia, merupakan bentuk pemberian kepercayaan Pusat kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri, yang bertujuan untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dengan tetap menjalankan prinsip demokrasi, prinsip pemerataan, prinsip kesetaraan, prinsip keadilan, serta prinsip efisiensi dan efektivitas yang terkandung dalam pelaksanaan otonomi daerah.

b)  Pengaturan hubungan keuangan antara pusat dan daerah harus disusun sesuai kriteria, dimana kriteria diperlukan untuk mendorong kapasitas fiskal daerah dan tidak menimbulkan gap keuangan yang tajam antara daerah yang kaya dan daerah-daerah yang miskin. Tujuan desentralisasi adalah untuk memenuhi aspirasi daerah dalam mengelola sumber daya keuangan negara, mendorong akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan daerah, dan mengurangi ketimpangan antardaerah. Implikasi langsung dari pelaksanaan otonomi masyarakat adalah kebutuhan dana yang besar. Sumber dana utama pemerintah daerah berasal dari PAD, yang dipakai untuk membiayai belanja modal dan pembangunan. Namun dalam beberapa tahun berjalan sumber pembiayaan daerah tidak hanya berasal dari PAD saja. Pemerintah daerah juga mendapatkan bantuan transfer dana dari pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pemberian dana perimbangan ditujukan untuk mengurangi disparitas keuangan vertikal (antara pemerintah pusat dan daerah) dan membantu daerah mendanai kewenangannya.

c)   Pengaturan baru hubungan keuangan pusat dan daerah melalui UU Nomor 1 Tahun 2022 merupakan arah baru pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Masyarakat akan memperoleh perbaikan kualitas layanan dasar dan layanan umum pemerintahan yang akan semakin merata sebagaimana tujuan otonomi daereah. Terdapat perbaikan kualitas pemeliharaan lingkungan di daerah-daerah penghasil sumber daya alam dapat lebih meningkat karena ada porsi DBH yang akan dialokasikan berdasarkan kinerja pemeliharaan lingkungan. Masyarakat yang tinggal berbatasan langsung dengan daerah penghasil sumber daya alam, dapat lebih terjamin karena pemerintah daerah yang berbatasan langsung memperoleh pendanaan dari bagian Dana Bagi Hasil yang dapat dipergunakan untuk mengatasi eksternalitas negatif. Selain itu pengaturan perpajakan daerah juga merupakan komitmen pemerintah pusat mendukung kemandirian daerah dengan tetap menjaga akses layanan publik dan iklim perekonomian daerah. Dengan penguatan perbaikan belanja daerah tentunya semakin memperkuat kualitas APBD sehingga lebih efisien, efektif, fokus, akuntabel, dan sinergis, dan yang terakhir dengan pengaturan sinergi fiskal nasional masyarakat akan menikmati pembangunan daerah yang lebih terarah dan berkesinambungan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Astuti, Meti. (2017). Konsep Pemerataan Ekonomi Umar Bin Abdul Aziz (818 M-820 M). At-Tauzi� : Jurnal Ekonomi Islam, 17(2), 141�155. Google Scholar

 

Christia, Adissya Mega, & Ispriyarso, Budi. (2019). Desentralisasi Fiskal Dan Otonomi Daerah Di Indonesia. Law Reform15(1), 149. https://doi.org/10.14710/lr.v15i1.23360. Google Scholar

 

Dewirahmadanirwati. (2018). Implementation of Regional Autonomy in Realizing Good Governancein the West Sumatera Region. Jurnal JIPS (Jurnal Ilmiah Pendidikan Scholastic), 2(3), 43�50. Google Scholar

 

Dina Amin, Ika. (2013). Otonomi Daerah Untuk Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pengelolaan Keuangan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah). Jurnal Ilmiah Mahasiswa, (Vol 3, No 1 (2013): Jurnal Ilmiah Mahasiswa). Google Scholar

 

Djaenuri, Aries. (2012). Elemen-Elemen Penting Hubungan Keuangan Pusat-Daerah. Google Scholar

 

Gedeona, Hendrikus T. (2008). Kajian Perbandingan Ketidakseimbangan Fiskal Vertikal Di Indonesia Dan Jepang. Jurnal Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, (34), 167�193. Google Scholar

 

Hastuti, Proborini. (2018). Desentralisasi fiskal dan stabilitas politik dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah di indonesia. Simposium Nasional Keuangan Negara, 1(1), 784�799. Google Scholar

 

Ismail, Tjip. (2018). Potret Pajak Daerah di Indonesia (Pertama). Jakarta: Prenadamedia Group. Google Scholar

 

Jeven. (2022). Poin Penting dalam UU HKPD. Google Scholar

 

Kadarukmi, M. E. Retno. (2010). Tinjauan Yuridis Atas Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dikaitkan Dengan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Administrasi Bisnis, (Vol 6, No 2 (2010)). Google Scholar

 

Keuangan, Kementerian. (2021). Menkeu: RUU HKPD Bukan Resentralisasi tetapi Kuatkan Desentralisasi. Google Scholar

 

Kurnia. (2021). Pembatasan Belanja Pegawai Daerah. Pikiran Rakyat, p. 5. Google Scholar

 

Mulyono, Agung. (2021). RUU HKPD : Upaya Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat di Seluruh Pelosok Negeri. Https://Papuakini.Co/. Google Scholar

 

 

Simandjuntak, Reynold. (2016). Negara Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional. De Jure: Jurnal Hukum Dan Syar�iah, 7(Juni 2016), 57�67. Google Scholar

 

Soimin. (2010). Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara di Indonesia (Pertama). Yogyakarta: UII Press Yogyakarta. Google Scholar

 

Sunarno, H. Siswanto. (2006). Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia (Pertama). Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar

 

Syueb, Sudono. (2008). Dinamika Hukum Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi (Pertama; Suriansyah Murhaini, Ed.). Yogyakarta: Laksbang Mediatama. Google Scholar

 

Tjandra, W. Riawan. (2013). Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT Gramedia Widiasrana Indonesia. Google Scholar

 

Wardhanu Dwi Budi, Luqman; Santosa. (2012). Analisis Implementasi Desentralisasi Serta Dampaknya Terhadap Kemandirian Fiskal Dan Alokasi Belanja Publik (Studi Kasus pada Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2010). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, (Vol 1, No 2: Semester Genap 2012/2013). Google Scholar

 

Copyright holder:

Alit Ayu Meinarsari, Harsanto Nursadi (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: