Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 8, Agustus 2022
ARAH BARU HUBUNGAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT DAN
PEMERINTAHAN DAERAH: SENTRALISASI ATAU DESENTRALISASI
Alit
Ayu Meinarsari, Harsanto Nursadi
Magister Hukum Keuangan Publik Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2022 tentang Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (UU HKPD) telah disahkan dan diundangkan. Kebijakan
penggabungan Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (UU Nomor 33 Tahun 2004) dengan Undang-Undang Pajak dan
Retribusi Daerah (UU Nomor 28 Tahun 2009) merupakan pilihan pemerintah dalam
memperkuat pelaksanaan otonomi daerah. dalam hal belanja, alokasi transfer ke
daerah. Penataan penguatan ini juga diikuti dengan penguatan belanja daerah,
dengan menetapkan batasan penggunaan belanja daerah dengan tujuan agar
pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat tidak berbeda-beda, sejalan
dengan semangat negara kesatuan, melalui hal tersebut. UU HKPD apakah konsep
desentralisasi masih utuh atau sedang menuju sentralisasi.
Kata Kunci: hubungan pembiayaan pusat dan daerah; desentralisasi; desentralisasi
fiskal; pajak dan retribusi
daerah; belanja daerah; pembiayaan daerah
Abstract
Law Number 1 of 2022 concerning the Law on Financial
Relations between the Central Government and Regional Governments (UU HKPD) has
been ratified and promulgated. The policy of merging the Law on Fiscal Balance
between the Central Government and Regional Government (Law Number 33 of 2004)
and the Law on Regional Taxes and Levies (Law Number 28 of 2009) is the
government's choice in strengthening of the implementation of regional autonomy
in terms of spending, allocation of transfers to regions. This strengthening
arrangement is also followed by the strengthening of regional expenditures, by
setting limits on the use of regional expenditures with the aim of ensuring
that public services provided to the community do not vary, in line with the
spirit of the unitary state, through this HKPD Law whether the concept of
decentralization is still intact or is it moving towards centralization.
Keywords: central and regional financing relations; decentralization; fiscal
decentralization; regional taxes dan levies; regional expenditure; regional
financing
Pendahuluan
Sebagai langkah
pemulihan ekonomi, anggaran tahun telah dibahas bersama
dengan DPR RI sejak tanggal 20 Mei 2021, kebijakan
anggaran yang disusun tahun 2022, tentunya sangat mempengaruhi alokasi anggaran
bagi daerah. Sebagaimana diketahui juga bahwa sebagian besar daerah sangat bergantung
pada alokasi Transfer
ke Daerah dan Dana Desa (TKDD),
dimana bila dilihat dari prosentasenya pada pendapatan APBD hampir
diatas 50 persen. Tetapi dalam proses pemulihan ekonomi tentunya pemerintah
pusat tidak dapat melakukannya sendiri, diperlukan sinergi dan koordinasi
bersama pemerintah daerah, keterlibatan pemerintah daerah sangat berperan dalam
memastikan pertumbuhan ekonomi tercapai sesuai dengan yang diharapkan, yakni
kisaran indikator ekonomi makro untuk penyusunan RAPBN 2022 diantaranya angka
pertumbuhan ekonomi 5,2 sampai 5,8 persen, angka inflasi 2,0 sampai 4,0
persen, nilai
tukar Rupiah
pada Batasan �Rp13.900,00 sampai
Rp15.000,00 per dolar Amerika, dan harga minyak mentah Indonesia pada batas US$55 sampai 65 per
barel.
Perbaikan dan
penguatan desentralisasi fiskal ini dilakukan melihat tantangan pelaksanaan
desentralisasi fiskal yang sudah dua dasawarsa lebih sejak dilaksanakannya otonomi
daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Dan Daerah. Pertama,
perlunya optimalisasi pelaksanaan TKDD agar penggunaan dana dan capaiannya
lebih baik dan efektif. Saat ini, 45,6% penerimaan pajak dan bukan pajak
dikembalikan ke daerah melalui belanja TKDD, terus meningkat sejak 2001. Namun,
masih terdapat masalah seperti hasil pembangunan daerah tidak sesuai harapan,
dan pola belanja pemerintah daerah yang tidak fokus dan tidak efektif. Selain
itu, Penyerapan APBD cenderung banyak untuk belanja pegawai, yang tentunya
mengurangi belanja untuk kepentingan umum dan pada akhirnya mempengaruhi
simpanan dana di sektor perbankan, tetap menjadi perhatian khusus. Kedua, tarif
pajak daerah (local tax ratio) masih
cenderung rendah dan perlu diperkuat, namun tentunya harus
memperhatikan pertumbuhan bisnis lokal. Jenis pajak dan pungutan daerah (PDRD)
juga harus disederhanakan agar pemungutan PDRD lebih efisien dan rasional. Ketiga, pelaksanaan pembangunan
di daerah tidak diimbangi dengan pemerataan
pelayanan antar daerah, terlihat pada ketimpangan
layanan yang ditunjukkan
pada daerah yang memiliki kinerja
tinggi dan daerah yang memiliki kinerja rendah
menunjukkan ketidaksetaraan dalam pencapaian layanan (Mulyono, 2021).
Permasalahan
yang menjadi salah satu langkah pelaksanaan rekonstruksi dalam UU HKPD yakni
permasalahan belanja daerah, berdasarkan data APBD Tahun Anggaran 2021, porsi
belanja pegawai terhadap APBD secara nasional adalah 33,4%. Adapun dari 542
daerah terdapat 40% daerah yang masih memiliki porsi belanja pegawai di atas 30% (Kurnia, 2021). Selain itu
juga, setidaknya baru 3 (tiga) daerah yang menganggarkan belanja modal mencapai
40%, tuntutan belanja infrastruktur dan belanja modal menjadi pengaturan
mandatory spending dalam UU HKPD merupakan langkah mengurangi kesenjangan
layanan infrastruktur antardaerah di Indonesia. Hal ini sejalan juga dengan
belum meratanya layanan publik antar daerah yang ditunjukkan dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi Kota Yogyakarta (86,61) dan terendah Kab.
Nduga (31,55) dengan rata-rata nasional 71,94. Selain itu juga gambaran akses
air minum layak juga menunjukkan belum meratanya layanan public antar daerah di
Indonesia, tertinggi Kota Magelang (100%) sedangkan terendah Kab. Lanny Jaya
(1,06%) dengan rata-rata nasional 89,27%.
Salah satu
langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan melakukan
reformasi struktural di bidang belanja, melalui penguatan spending better dengan tujuan adanya pengawasan pengeluaran daerah agar
lebih produktif, efisien dan memiliki efek pengganda yang kuat terhadap
perekonomian dan meningkatkan ketentraman. Salah satu upaya
tersebut adalah meningkatkan kualitas hubungan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah. Rekonstruksi
hubungan keuangan pusat dan daerah, perlu dilakukan mengingat angka alokasi
semakin tinggi pada 2020 mencapai Rp800 T, sehingga harus dikelola secara
transparan, akuntabel, dan berkeadilan yang memiliki goal akhir untuk �memberikan pelayanan yang optimal di seluruh
Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Di atas
segalanya, hubungan keuangan pusat dan daerah perlu dikembangkan melalui: (i) membangun sistem
perpajakan daerah yang mendukung kemudahan berusaha; (ii) alokasi sumber-sumber daya yang dikelola
oleh pusat secara efisien; (iii) meminimalkan
disparitas pendanaan vertikal dan horizontal; (iv) meningkatkan
kualitas pengelolaan pengeluaran daerah, dan (v) melaksanakan sinergi dan
keselarasan belanja pusat dan daerah dalam menjaga kesinambungan fiskal. Atas hal
tersebut, tentunya mempengaruhi pelaksanaan hubungan keuangan pusat dan daerah
yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU No. 33
Tahun 2004) dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009).
Metode Penelitian
Dalam penyusunan
makalah ini disusun dalam bentuk penelitian normatif, yaitu penelitian yang
dirancang untuk memberikan gambaran atau mengajukan pertanyaan berdasarkan
keadaan/fakta yang ada. Dalam hal ini, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, fakta-fakta tentang hubungan keuangan pusat
dan daerah, yakni No. 33 Tahun 2004, kemudian dilengkapi dengan UU No. 28 Tahun
2009, analisis lebih lanjut berdasarkan rencana kebijakan yang disepakati
bersama antara pemerintah dan DPR, yang bertujuan untuk mengarahkan arah baru
hubungan keuangan pusat dan daerah.
Hasil dan Pembahasan
1.
Dasar
Hukum Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Sebagaimana
amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang tercantum dalam
Pasal 18A Ayat (2) yang berbunyi:
�Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya
antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara
adil dan selaras berdasarkan undang-undang.�
Dalam
menjelaskan mengenai hubungan keuangan sebagaimana mandat konstitusi tersebut,
dipahami dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesuai dengan konsep otonomi
daerah. Ketiga
asas, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas tugas pembantuan,
merupakan pedoman dalam pelaksanaan kewenangan dan keuangan bagi daerah (Sunarno, 2006).
Asas
desentralisasi ini dapat dilihat sebagai hubungan hukum perdata, pelepasan
beberapa hak untuk tujuan tertentu dan beberapa hak pemilik kepada penerima.
Pemilik hak pemerintah berada di tangan pemerintah, dan hak pemerintah dengan
objek berupa kewenangan pemerintahan diberikan kepada pemerintah daerah
untuk kepentingan
penyelenggaraan pemerintahan yang berbentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Asas
dekonsentrasi adalah asas pendelegasian kekuasaan pemerintahan yang sebenarnya
berada pada pemerintah pusat. Pelaksanaan asas ini
meliputi penetapan strategi politik dan pelaksanaan program kegiatannya yang
dilimpahkan kepada gubernur atau pejabat vertikal di daerah menurut arah
kebijakan umum pemerintah pusat, sedangkan pendanaannya
dilakukan oleh pemerintah pusat.
Sedangkan
asas tugas pembantuan adalah tugas yang dilimpahkan dari otoritas tertinggi
kepada otoritas bawahan di lapangan sesuai dengan arah kebijakan umum yang
diberikan oleh otoritas yang mengeluarkan mandat dan wajib
mempertanggungjawabkan tugasnya. Asas ini secara
tersirat dan tersurat berarti bahwa tugas pembantuan juga dilakukan terhadap
pemerintahan desa
dan menjadi komitmen bersama antara pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
Otonomi
daerah merupakan bentuk respon pemerintah terhadap berbagai tuntutan masyarakat
yang diamanatkan oleh penyelenggara negara dan pemerintah. Ini merupakan sinyal
bahwa kehidupan demokrasi telah berkembang di suatu negara, dikarenakan memahami
kebutuhan masyarakat akan layanan yang lebih baik dan lebih cepat (Dewirahmadanirwati, 2018).
Desentralisasi
menjadi salah satu langkah untuk pelaksanaan pembangunan di daerah, terutama daerah yang memiliki kemajemukan. Dengan
perkataan lain, sebagaimana dikutip oleh Hendrikus T. Gedeona, desentralisasi
dianggap sebagai syarat (persyaratan) penting bagi (negara berkembang) untuk
berkembang di bidang politik, sosial dan ekonomi masyarakatnya. Hal ini
disebabkan, desentralisasi dapat memindahkan
proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan
rakyat. Menurut Laporan Tahunan IRE (2001-2002), desentralisasi merupakan isu
pemerintahan yang sangat penting, terutama bagi
negara besar dan beragam seperti Indonesia, sehingga prinsip
bahwa kekuasaan harus dibagi, harus dilakukan. Secara
leksikografi desentralisasi berarti �both
reversing the concentration of administration at a single center and coffering
powers of local government�. Desentralisasi adalah kebalikan dari
sentralisasi pemerintahan, dimana terdapat
pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (Gedeona, 2008).
Otonomi sendiri
tidak dapat diartikan sebagai kebebasan mutlak suatu daerah, karena otonomi
merupakan proses yang memberikan kesempatan bagi suatu daerah untuk berkembang
sesuai dengan potensinya, maka pelaksanaan otonomi
daerah harus dimaknai sebagai cara untuk
mengoptimalkan seluruh potensi daerah, termasuk alam dan lingkungan, serta budaya. Keseluruhannya
melalui proses yang memungkinkan daerah mengembangkan diri dan meningkatkan
taraf hidup masyarakat setempat (Simandjuntak, 2016). Oleh karena
itu, dalam pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah,
diperlukan pertimbangan rasional dan praktis, dengan maksud bahwa pembagian
tugas dilakukan bukan karena materi yang diatur berbeda sifat, melainkan dengan
itikad bahwa masing-masing daerah lebih memahami potensinya, sehingga
dapat menjalankan
kepentingan negara secara lebih baik.
Menurut
Terry sebagaimana dikutip oleh Wardhanu Dwi Budi dalam bukunya Principle of Management mengemukakan
tentang kelebihan dari desentralisasi adalah sebagai berikut: (i) efisiensi
dapat ditingkatkan selagi struktur dapat dilihat sebagai satu kesatuan; (ii)
lebih berkembang generalis daripada spesialis, dan dengan demikian membuka
ruang bagi manajer umum; (iii) hubungan dapat ditingkatkan, yang membawa kepada
etika kerja yang baik dan koordinasi; (iv) kebiasaan dengan aspek-aspek khusus
dan penting dari pekerjaan yang siap digunakan; (v) struktur organisasi
terdesentralisasi memudahkan pembagian beban, ini
bermanfaat untuk mempercepat proses kerja; (vi) untuk perusahaan besar dan
tersebar di tempat-tempat yang berbeda, keuntungan maksimum dapat diperoleh sesuai dari kondisi masing-masing tempat kerja; (vii)
dapat dilaksanakan percobaan dan dilakukan penyesuaian sebelum diimpelemtasikan kepada bagian lain yang sejenis; (viii) pembagian resiko
baik ketugian, kepegawaian, dan fasilitas (Wardhanu Dwi Budi, 2012).
Konsepsi
desentralisasi dan otonomi, yang dijalankan Indonesia dalam kerangka negara
kesatuan republik Indonesia, merupakan bentuk pemberian kepercayaan Pusat
kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri, yang bertujuan untuk
mempercepat kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
makna pelaksanaan otonomi daerah melalui
peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan pelibatan masyarakat, dengan tetap
menerapkan prinsip demokrasi, pemerataan, kesetaraan, keadilan, serta efisiensi
dan efektivitas (Syueb, 2008).
Hak
untuk mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan daerah tersebut juga diikuti
dengan adanya pengaturan dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 mengamanatkan �setiap pajak dan pungutan lain yang memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang�. Kewenangan memungut pajak dan
retribusi daerah, merupakan kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk
menggali sumber-sumber penerimaan daerah atau potensi besar yang dimiliki
daerahnya yang diatur sesuai dengan konsep otonomi daerah.
Daerah berhak
menggali sumber pendapatan untuk memajukan pembangunan, pertumbuhan ekonomi,
kemajuan, kemakmuran, kemandirian, dan pelayanan kepada masyarakat setempat.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sendiri, sumber keuangan dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih penting daripada sumber di luar PAD, karena
PAD dapat digunakan sesuai prakarsa dan keinginan daerah,
sedangkan penerimaan dari pemerintah pusat (non-PAD) pengunaannya lebih mengikat (Kadarukmi, 2010).
Kewenangan
memungut Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sebagaimana amanat Pasal 23A
UUD 1945 telah diatur pada UU Nomor 28 Tahun 2009. Pengaturan ini
juga telah mengalami perubahan dari yang sebelumnya diatur pada UU Nomor 34
Tahun 2000, dimana perbedaannya perubahan sistem pemungutan dari
open list menjadi close list. Tetapi juga memberikan tambahan
jenis pajak dan retribusi daerah baru seperti BPHTB, PBB-P2, Pajak Air Tanah,
Pajak Sarang Burung Walet, Retribusi Tera Ulang, Retribusi Pelayanan
Pendidikan, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan. Selain itu, terdapat 2 (dua)
jenis retribusi tambahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun
2012, yaitu Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin
Mempekerjakan Tenaga Asing. Pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi
daerah ini sangat bergantung pada pengaturan mengenai otonomi daerah, yang
mengakibatkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah menjadi semata untuk
keperluan APBD tanpa mempertimbangkan kebutuhan pelayanan bagi pembayar pajak (Ismail, 2018).
Sejalan dengan hal tersebut, pemberian kewenangan kepada daerah dalam memungut
pajak dan retribusi daerah, memliki tujuan untuk meningkatkan kemandirian
fiskal daerah yang tentunya mengarah pada pemberian pelayanan publik di daerah
yang sama tiap-tiap daerahnya.
Oleh
karena itu, dalam penyelenggaran pemerintahan daerah, setiap daerah harus
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), mengatur penerimaan
dari pendapatan, belanja dan pembiayaan yang dilakukan dengan tujuan peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Sunarno, 2006). Sumber-sumber
pendapatan yang diatur dalam APBD, tentunya sangat terkait dengan hubungan
keuangan pusat dan daerah, yang lebih dikenal dengan desentralisasi fiskal.
Prinsip dalam desentralisasi fiskal, gubernur/bupati/walikota diberikan
kewenangan atributif selaku pengelola keuangan daerah dan bertanggungjawab atas
pengelolaan APBD yang bersumber dari (Tjandra, 2013):
a) pendapatan
asli daerah, yaitu
1. hasil
pajak daerah,
2. hasil
retribusi daerah,
3. hasil
perusahaan milik daeraj dan pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
4. lain-lain
pendapatanan asli daerah yang sah
b) dana
perimbangan;
c) pinjaman
daerah;
d) lain-lain
pendapatan daerah yang sah
Kebijakan/politik
hukum di Indonesia, sebagaimana konsep negara hukum yang tertuang dalam Pasal 1
ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, memiliki arti sebuah proses akumulasi
politik yang menyangkut kepentingan negara buat mengatur
kehidupan sosial masyarakat melalui pembentukan perundang-undangan
negara (Soimin, 2010). Dasar
hukum pengaturan tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi fiskal era
baru, dimulai semenjak Reformasi 1998, yang salah satu tuntutannya
pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota menjadi salah satu
unsur reformasi. Atas dasar hal tersebut, ditetakan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Dina Amin, 2013). Kemudian
dilakukan perbaikan menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, serta pengaturan perpajakan daerah
berubah menjadi UU No. 28 Tahun 2009.
2.
Perkembangan
Kebijakan Pengaturan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Sebagaimana
ditulis Aries Djaenuri, penjelasan Kenneth J. Davey atas hubungan keuangan
pusat dan daerah terkait dengan pembagian tanggung jawab antara tingkat
pemerintah dan distribusi sumber pendapatan untuk menutupi pengeluaran atas pelaksanaan
tanggung jawab dengan maksud mencapai
keseimbangan potensial, dengan tetap
di bawah pemerintah (Djaenuri, 2012).
Hubungan
fiskal antara pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu sistem
yang mengatur bagaimana dana dibagi antar tingkat pemerintahan, serta bagaimana
sumber-sumber pendanaan daerah ditemukan untuk mendukung kegiatan sektor publik (Tjandra, 2013). Ada
empat kriteria yang perlu dipergunakan sebagai acuan untuk menjamin sistem
hubungan antara pusat dan daerah, yakni:
1. Sistem
harus memastikan distribusi kekuasaan yang rasional antara tingkat pemerintahan
dalam hal penggalian sumber-sumber pendanaan dan kewenangannya, sesuai skema
umum desentralisasi.
2. Sistem
menyediakan bagian yang sesuai dari keseluruhan sumber pendanaan untuk mendanai
pelaksanaan dan pengembangan daerah.
3. Sistem
tersebut sedapat mungkin harus mendistribusikan belanja publik secara merata
antar daerah, atau paling tidak mengutamakan pemerataan pelayanan dasar
tertentu.
4. Pajak
dan retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah sesuai dengan distribusi
yang adil dari keseluruhan beban pengeluaran publik di masyarakat.
Oleh
karena itu pada hakekatnya hubungan keuangan pusat dan daerah menyangkut
distribusi sumber-sumber pendanaan antara pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu
pada umumnya hubungan keuangan di daerah pusat sudah selayaknya mendistribusikan kapasitas
fiskal bagi pemerintah daerah.
Kriteria
yang diperlukan untuk mendorong kapasitas fiskal daerah dan tidak menimbulkan
gap keuangan yang tajam antara daerah yang kaya dan daerah-daerah yang miskin. Pertama,
sistem tersebut harus memberikan distribusi kekuasaan yang rasional di antara
level pemerintahan, baik kewenangan dalam penggalian sumber dana pemerintah dan
kewenanagan dalam memanfaatkan sumber dana dimaksud sejalan dengan sistem yang
dianut dalam desentralisasi. Sebagai contoh, sistem money follows function, maka semestinya sumber pendapatan yang
diberikan sejalan dengan besar kewenangan pemerintahan yang menjadi urusan
rumah tangga daerah. Kedua, sistem tersebut harus menyajikan suatu bagian yang
cukup memadai dari sumber-sumber pendapatan, yang secara keseluruhannya untuk
membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan masyarakat,
penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan yang menjadi kewenangan daerah,
khususnya bagi daerah yang banyak jumlah penduduknya, miskin sumber daya alam,
serta belum berkembangnya sektor perdagangan dan jasa. Ketiga, sistem harus
mendistribusikan belanja pemerintah antar daerah seadil mungkin. Keempat, pajak
daerah dan
retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah harus konsisten dengan
distribusi yang adil dari keseluruhan beban belanja di masyarakat. Pajak daerah
dan retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah harus didasarkan pada asas
kesanggupan membayar. Kelima, sistem tersebut formulanya tetap, dalam arti
tidak cepat berubah atau berganti. Keenam, sistem ini formulanya sebaiknya
transparan dan dapat diketahui dan diakses sehingga daerah dapat memperkirakan
jumlah penerimaannya sendiri, termasuk di dalamnya transfer keuangan dari
pemerintah pusat kepada daerah dan formulanya mudah dihitung (Djaenuri, 2012).
Hubungan
keuangan pusat dan daerah ini juga tentunya mengarah pada pemberian pelayanan
publik di daerah yang sama tiap-tiap daerahnya. Urusan pemerintahan yang telah
diserahkan ke daerah tidak mungkin berhasil tanpa pengaturan fiskal daerah yang
jelas. Desentralisasi fiskal dalam konteks Negara kesatuan adalah penyerahan
kewenangan fiskal dari otoritas nasional kepada daerah otonom.
Kewenangan
fiskal setidaknya mencakup kewenangan menyelenggarakan penerimaan/pajak,
kebebasan menentukan anggaran, dan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki
kabupaten untuk mendanai pelayanan publik yang menjadi mandat daerah.
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme penyaluran dana dari APBN
yang relevan dengan kebijakan fiskal nasional, yaitu untuk mencapai
kesinambungan fiskal dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat (Christia & Ispriyarso, 2019).
Tujuan dari desentralisasi keuangan adalah untuk memenuhi
aspirasi daerah mengenai pengendalian sumber daya
keuangan negara, menggalakkan tanggung jawab dan transparansi pemerintah daerah, meningkatkan keterlibatan masyarakat
dalam proses pengembangan regional, mengurangi kesenjangan antara wilayah, memastikan pelaksanaan
minimal layanan publik di masing-masing wilayah, dan akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, dan pembangunan yang dapat
dicapai melalui mekanisme pasar, tetapi juga memerlukan peran pemerintah
melalui kebijakan yang berkaitan dengan anggaran. Pada saat yang sama, jika
lebih banyak dipelajari, kebijakan desentralisasi fiskal adalah hasil dari keputusan politik atas pelaksanaan desentralisasi atau kebijakan otonomi daerah yang diambil oleh pemerintah. Otonomi daerah tidak mungkin berhasil jika tidak
sepenuhnya disokong melalui kebijakan fiskal melalui
transfer ke
daerah untuk
mendukung (Hastuti, 2018).
Pelaksanaan otonomi
daerah, tentunya diperlukan
kebutuhan untuk pendanaan yang besar. Sumber pendanaan utama
melalui PAD, dapat digunakan untuk
membiayai investasi dan pembangunan. Namun, komponen pendanaan daerah tidak hanya PAD, terdapat juga transfer dari pemerintah pusat. Berdasarkan UU No. 33 Tahun
2004,
transfer dari pusat dilakukan melalui Dana Perimbangan yang terdiri dari
Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang memiliki
tujuan mengurangi ketidakseimbangan fiskal
vertikal (antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dan membantu
daerah-daerah dalam membiayai sesuai kewenangan.
Di samping
itu, terdapat peraturan perundang-undangan lain
yang mengatur antara lain:
1. UU No.
18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
2. UU No.
39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No.11 Tahun 1995 Tentang Cukai;
3. UU No.
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
4. UU No. 6
Tahun 2014 tentang Desa;
5. UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
6. UU No. 2
Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Diterbitkannya
beberapa UU tersebut mempengaruhi konstruksi hukum terkait sumber penerimaan
Daerah. Sebagai contoh, pengaturan sumber keuangan daerah yang sudah
dicantumkan dalam Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2004 memerlukan penyesuaian dengan
adanya Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau, Dana Otonomi Khusus, dan Dana
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Dana Desa sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Terkait
dengan pengaturan UU No. 28 Tahun 2009, masih terdapat beberapa
permasalahan dan tantangan yang selama ini perlu diperbaiki. Dasar objek pajak
daerah masih terbatas, meskipun telah diatur 16 jenis pajak daerah, tetapi
apabila dikelompokkan hanya dikenakan atas 3 dasar, yakni
konsumsi, properti, dan sumber daya alam. Pengaturan 32
jenis retribusi daerah, beberapa di antaranya adalah pungutan atas
pelayanan publik yang pada dasarnya wajib diberikan oleh pemerintah daerah
kepada masyarakatnya, dan dapat menciptakan
biaya ekonomi tinggi apabila tetap dipungut, diantaranya Retribusi Biaya Cetak KTP dan Akta
Catatan Sipil, Retribusi Pengujian Alat Pemadam Kebakaran, Retribusi Pemakaman
dan Pengabuan Mayat, serta Retribusi Tera
dan Tera Ulang.
Sebagaimana
diketahui, UU No. 28 Tahun 2009 beberapa pengaturannya juga telah diuji dan
diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), yang tentunya berdampak pada keberlakuan
beberapa pasal, yaitu:
1. Putusan
MK No.52/PUU-IX/2011 terkait dengan objek pajak golf.
2. Putusan
MK No.46/PUU-XII/2014 terkait dengan retribusi pengendalian menara
telekomunikasi berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP).
3. Putusan
MK No.15/PUU-XV/2017 terkait pajak kendaraan bermotor atas alat berat.
4. Putusan
MK No. 80/PUU-XV/2017 terkait dengan pajak penerangan jalan atas listrik yang
dihasilkan sendiri.
Tumpang tindih
aturan atau aturan yang saling beririsan juga menjadi permasalahan dalam implementasinya, pengaturan objek Pajak Restoran
belum secara tegas mengatur batasan antara restoran yang melakukan pelayanan
penyediaan makanan/minuman (objek Pajak Restoran) dengan toko yang hanya
menjual makanan/minuman (objek PPN), sehingga menimbulkan misinterpretasi. Selain
itu, terdapat pengaturan yang membutuhkan penegasan, pengaturan objek Pajak Hotel yang tidak
tercantum dalam batang tubuh tetapi
dijelaskan pada penjelasan umum juga menimbulkan kebimbangan.
3.
Arah
Baru Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Pemerintah dan DPR RI telah menetapkan Rancangan Undang-Undang
tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Melengkapi Undang-Undang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan yang belum lama ini telah disahkan, bertujuan
meningkatkan keuangan nasional dalam hal pendapatan, UU HKPD
bertujuan untuk meningkatkan pengeluaran keuangan nasional, termasuk transfer
pengeluaran ke daerah secara lebih terstruktur,
terukur, transparan, akuntabel dan adil, untuk mencapai pemerataan pendapatan, dan tentunya
bermanfaat bagi masyarakat. Keseluruhan ini
merupakan bagian dari agenda reformasi di bidang
fiskal dan struktural untuk mencapai Indonesia Maju 2045.
Dengan
diundangkannya UU HKPD dimaksud, diharapkan dapat mengatasi ketimpangan
permasalahan dan tumpang tindih aturan dimaksud, serta sebagai bentuk dan
langkah pemerintah di masa pandemi tentunya masih sejalan dengan konsep otonomi
daerah, dimana adanya pemerataan ekonomi dan pemenuhan pelayanan masyarakat di
seluruh Indonesia, dan tentunya tetap memegang teguh prinsip keadilan, yang
bukan diartikan besarannya sama untuk semua daerah. Arah baru penguatan
hubungan keuangan pusat dan daerah tetep mendudukkan daerah sebagai subjek, daerah
diberikan kewenangan mengatur tetapi tetap diberikan pilar-pilar agar tercapai
kesejahteraan masyarakat atau pemerataan ekonomi. Pemerataan ekonomi adalah
suatu upaya untuk
memberikan kesempatan luas bagi warga negara memiliki pendapatan minimum,
sandang, pangan dan papan seadil mungkin (Astuti, 2017).
Adapun
pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
tergambar dari 4 (empat) pilar yang menjadi pondasi utama UU HKPD, dengan
tujuan untuk memperkuat kualitas desentralisasi fiskal dengan pengalokasian
sumber daya nasional yang efektif dan efisien melalui Hubungan Keuangan Pusat
dan Daerah yang transparan, akuntabel dan berkeadilan, yaitu: (Jeven,
2022).
1. memperbaiki
kebijakan transfer ke daerah dalam rangka mengembangkan hubungan keuangan pusat
dan daerah dengan memperkecil ketimpangan vertikal dan horizontal;
2. merancang
sistem pajak daerah yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien.;
3. meningkatkan
kualitas belanja daerah; dan
4. Penyelarasan
belanja pusat dan daerah untuk optimalisasi penyelenggaraan pelayanan publik
dan kesinambungan fiscal
Penguatan
kualitas desentralisasi fiskal dimaksud dilakukan melalui dua kebijakan besar
yakni penyempurnaan fiscal resources
allocation dan penguatan spending
better di daerah. UU HKPD di desain untuk meningkatkan kapasitas fiskal
daerah seperti peningkatan porsi DBH, adanya opsi DBH jenis lain, penghitungan
DAU yang lebih presisi, penguatan local
taxing power, serta perluasan akses pembiayaan bagi daerah. Sedangkan pada
sisi spending, UU ini mendorong spending better di daerah melalui
penguatan kualitas dan sinergitas pengelolaan keuangan daerah, dukungan
pengembangan SDM di daerah dan dukungan penguatan kapabilitas APIP Daerah.
Pengaturan spending better
semata-mata dilakukan untuk membantu daerah dalam menguatkan pengelolaan
keuangannya agar dapat mengakselerasi pencapaian tujuan bernegara.
Adapun
materi-materi perbaikan yang tertuang dalam UU HKPD, yakni:
1. Konsepsi
pengalokasian DBH bertujuan untuk meminimalkan vertical imbalance, penguatan aspek kepastian alokasi, mendorong
kinerja daerah dan memperhatikan eksternalitas kewilayahan.
2. Pengalokasian
DAU tidak hanya untuk memeratakan kemampuan keuangan namun juga memeratakan
kualitas layanan publik di daerah.
3. DAK akan
difokuskan untuk pemenuhan prioritas nasional.
4. UU HKPD
tetap memberikan insentif fiskal atas capaian kinerja daerah untuk terus
memotivasi daerah agar berkinerja.
5. Perubahan
kebijakan perpajakan daerah dilakukan agar dapat meningkatkan local taxing power, diantaranya melalui:
a) Restrukturisasi
dan konsolidasi jenis pajak daerah dan retribusi daerah dan penyederhanaan
jenis retribusi daerah (16 jenis pajak daerah menjadi 14 jenis pajak dan
rasionalisasi Retribusi Daerah dari 32 jenis layanan menjadi 18 jenis layanan).
b) Membuka
adanya opsi retribusi tambahan yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah, seperti retribusi pengendalian perkebunan kelapa sawit.
c) Memperkenalkan
skema Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk memberikan sumber pendapatan yang pasti
bagi pemerintah kabupaten/kota tanpa membebani wajib pajak.
d) Mendorong
kemudahan berusaha dan penciptaan pekerjaan, dan pelancaran insentif untuk
perusahaan mikro dan mikro.
6. Penguatan
skema alternatif pembiayaan daerah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur
di daerah.
Perbaikan
pengaturan dalam UU HKPD ini apabila dibandingkan dengan UU No. 33 Tahun 2004,
sejalan dengan empat pilar perbaikannya. Bentuk perbaikan kebijakan untuk
mengurangi ketimpangan vertikal dan horisantal, melalui Redesign pengelolaan
Transfer ke Daerah (TKD) untuk mengurangi ketimpangan dan mendorong perbaikan
kualitas belanja, yang dilakukan perbaikan transfer ke daerah berbasis kinerja.
Pengaturan
Dana Bagi Hasil (DBH) dalam UU HKPD bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
fiskal daerah, memberikan kepastian penyaluran kepada pemerintah daerah,
meningkatkan tanggung jawab pengelolaan DBH berdasarkan prinsip penyaluran
kinerja/hasil, mendukung penguatan penerimaan negara, dan efektif menangani
eksternalitas Negatif ekstraksi sumber daya alam (SDA). Hal tersebut
tercermin dari perubahan desain kebijakan, antara lain (i)
peningkatan porsi Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBH CHT) dari 2% menjadi 3%;
(ii) alokasi berdasarkan realisasi penerimaan T-1; dan (iii) alokasi
juga mempertimbangkan daerah pengolah.
Dana
Alokasi Umum (DAU) yang didesain mengurangi ketimpangan keuangan antar daerah,
dengan mengalokasikannya lebih fokus pada pelayanan publik. Yang membedakan
dari pengaturan sebelumnya adalah DAU tidak
bersifat "one size fit for all"
tetapi dihitung dengan menggunakan pendekatan klaster serta dengan
mempertimbangkan wilayah dan ekonomi.
Nomenklatur
Dana Alokasi Khusus (DAK) juga mengalami perubahan karena adanya konsolidasi
hibah daerah menjadi DAK, sehingga DAK terdiri dari (i) DAK fisik; (ii) DAK non
fisik; dan (iii) hibah daerah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi
belanja di tingkat pusat dan daerah serta untuk mengejar
ketertinggalan layanan di daerah yang kurang berkembang.
Bagian
dari TKD lainnya adalah Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, dan Dana
Desa yang keseluruhan pengaturannya dilakukan penguatan target kinerja. Sebelumnya
nomenklatur jenis belanja pusat ke daerah menggunakan istilah �TKDD�, tetapi
melalui UU HKPD ini telah mengintegrasikan Dana Desa sebagai bagian dari
Transfer Ke Daerah (TKD) sebagaimana tercantum dalam Pasal 106. Nomenklatur
Dana Desa yang dimasukkan sebagai bagian TKD akan memberikan
ruang bagi pemerintah pusat untuk memainkan semangat tata kerja desa berdasarkan kinerja. Hal ini diyakini
dapat mendorong kinerja desa yang lebih fokus, terukur dan akuntabel.
Meskipun
Dana Insentif Daerah tidak termasuk dalam bagian TKD dalam UU HKPD, ini tidak
berarti bahwa pemerintah pusat tidak akan memberikan rangsangan fiskal kepada daerah. Rangsangan/insentif fiskal
dapat diberikan dengan menggunakan undang-undang APBN, ini disebabkan oleh
fakta bahwa indikator penilaian efisiensi regional memiliki sifat yang dinamis.
Oleh karena itu, fleksibilitas harus digunakan dalam memberikan insentif fiskal
agar kualitas kompetisi dapat terus meningkat, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kualitas pemerintah daerah
sebagai peserta kompetisi.
Langkah
lain untuk mengurangi ketimpangan vertikal dan horizontal adalah pemerintah
daerah juga dapat membiayai utang daerah, dengan tetap mengedepankan prinsip
kehati-hatian dan kesinambungan fiskal. Pengenalan skema syariah diharapkan
dapat meningkatkan pemanfaatan pembiayaan daerah.
Selain itu,
untuk mengurangi keterbatasan sumber-sumber pendanaan di daerah, diatur mengenai percepatan
pengembangan sinergi pendanaan, yang dapat bersumber dari APBN, APBD, Belanja
K/L atau BUMN dan BUMD, konsep sinergi pendanaan akan membuka ruang bagi
pengembangan kerjasama antar daerah untuk mengatasi permasalahan yang semakin
serius, khususnya bagi kawasan
metropolitan. Pengaturan Dana Abadi Daerah dapat
digunakan bagi daerah yang telah
memiliki kemampuan keuangan yang sangat tinggi
dan kualitas pelayanan publik yang relatif baik, pengaturan
ini sebagai pilihan
manfaat antar generasi, dengan jangkauan manfaat yang lebih luas dan juga dapat memberikan dukungan bagi daerah-daerah
yang telah berhasil di
Indonesia.
Local taxing power,
dilakukan perbaikan sejalan dengan konsepsi mewujudkan kemandirian fiskal,
perubahan kebijakan PDRD bertujuan untuk membantu meningkatkan pendapatan
daerah dengan tetap menjaga akses masyarakat terhadap layanan dasar wajib dan
kemudahan berusaha, dan tentunya tetap menciptakan iklim inovasi di daerah.
Skema Opsen PKB
dan BBNKB untuk memberikan kepastian penerimaan kepada pemerintah
kabupaten/kota, tanpa membebani wajib pajak, karena opsi PKB dan BBNKB
menggantikan bagi hasil PKB dan BBNKB. Selain itu, melalui Opson ini, efek
sinergis pungutan provinsi, kabupaten/kota akan meningkat. Isu lingkungan yang juga menjadi
perhatian bersama, khususnya dampak dari emisi karbon, disiasati dengan adanya pengecualian
kendaraan bermotor berbasis energi terbarukan (energi non-fosil) yang tidak termasuk objek pajak
kendaraan bermotor (PKB) dan BBNKB.
UU HKPD
dapat meningkatkan kualitas manajemen pengeluaran daerah
melalui pengaturan anggaran belanja daerah yang menjadikannya lebih efisien, berorientasi,
sinergis dan berkelanjutan. Pertama, meningkatkan efisiensi belanja daerah dengan
memfasilitasi dan menyederhanakan program
prioritas daerah, serta mempersiapkan belanja daerah
berdasarkan standar harga. Kedua,
memperkuat disiplin pengeluaran daerah dan
menetapkan batas-batas, yakni tidak
lebih dari 30 persen untuk belanja
pegawai dan setidaknya kurang dari 40 persen untuk belanja infrastruktur, dengan diberikan masa peralihan selama 5 Tahun. Ketiga, peningkatan kualitas sumber
daya manusia untuk pengelolaan keuangan di pemerintah daerah dan
peningkatan aspek pengawasan yang dilakukan oleh BPKP.
Pengaturan terkait
belanja daerah diatas, memiliki maksud mempertahankan fungsi subsidi APBD untuk
pembiayaan layanan publik dan meningkatkan kesejahteraan orang. Permasalahan belanja
daerah selama ini tentunya terkait
dengan realisasi yang tidak dapat meningkatkan
pelaksanaan pembangunan di daerah, beberapa hal yang mempengaruhi diantaranya: (i)
keterlambatan dalam pelaksanaan anggaran dan kegiatan karena
ketidakcocokan PBJ (ULP) di daerah, perencanaan yang tidak memadai di daerah,
dan diskresi Kepala Daerah yang cenderung
lebih berhati-hati dalam menjalankan perbelanjaan dan berusaha untuk mengubah
komposisi dikarenakan untuk memenuhi janji
politik mereka, dan (ii) hasil pencatatan
pelaksanaan yang lebih rendah dari kondisi nyata.
Sebagai pilar
terakhir dari UU HKPD, dirancang untuk
meningkatkan penyelarasan kebijakan pusat dan daerah,
sehingga sinergi langkah antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
mencapai tujuan negara dapat berjalan dalam harmoni. Pelaksanaan sinergi ini
akan mempromosikan pengembangan sistem informasi yang saling terhubung
dan dapat
mengkonsolidasikan keuangan pusat dan daerah, serta
sistem pemantauan dan penilaian yang efektif. Pelaksanaan sinergi
ini, tentunya untuk mengatasi permasalahan disharmoni yang terjadi, sebagai contoh yang sering menjadi
rujukan Menteri Keuangan, yakni pembangunan
proyek strategis Umbulan SPAM, meskipun proyek ini selesai pada tahun 2021,
namun, proyek ini tidak dapat digunakan secara langsung oleh masyarakat dikarenakan terdapat masalah dalam
jaringan distribusi, yang seharusnya dibangun
oleh pemerintah daerah. Kebijakan harmonisasi ini
dilakukan melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, penetapan
kebijakan penetapan batas kumulatif defisit dan pembiayaan utang Daerah,
pengendalian belanja daerah dalam kondisi darurat, dan sinergi bagan akun
standar.
Konsentrasi
UU HKPD yang mengedepankan transfer berbasis kinerja, perbaikan pengelolaan
belanja daerah melalui disiplin yang ketat dan upaya penguatan sinergi fiskal
nasional, bukanlah upaya untuk melakukan resentralisasi. Upaya perbaikan yang
dilakukan dalam UU HKPD ini bertujuan untuk memperkuat kualitas desentralisasi
fiskal itu sendiri serta mendukung perwujudan pertumbuhan perekonomian yang
berkelanjutan, dengan meletakkan tanggungjawab yang lebih kuat ke daerah dalam
upaya memperbaiki kualitas layanan publik dan memeratakan serta meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam kerangka NKRI (Keuangan, 2021).
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian dalam pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
a) Dalam
menjelaskan mengenai hubungan keuangan sebagaimana mandat konstitusi Pasal 18A
Ayat (2), dipahami dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesuai dengan
konsep otonomi daerah, terdapat asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan
asas tugas pembantuan, yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kewenangan dan
keuangan bagi daerah. Konsepsi desentralisasi dan otonomi, yang dijalankan
Indonesia dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia, merupakan bentuk
pemberian kepercayaan Pusat kepada Daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya
sendiri, yang bertujuan untuk mempercepat pencapaian kesejahteraan masyarakat
melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dengan
tetap menjalankan prinsip demokrasi, prinsip pemerataan, prinsip kesetaraan,
prinsip keadilan, serta prinsip efisiensi dan efektivitas yang terkandung dalam
pelaksanaan otonomi daerah.
b) Pengaturan
hubungan keuangan antara pusat dan daerah harus disusun sesuai kriteria, dimana
kriteria diperlukan untuk mendorong kapasitas fiskal daerah dan tidak
menimbulkan gap keuangan yang tajam antara daerah yang kaya dan daerah-daerah
yang miskin. Tujuan desentralisasi adalah untuk memenuhi aspirasi daerah dalam
mengelola sumber daya keuangan negara, mendorong akuntabilitas dan transparansi
pemerintah daerah, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan
daerah, dan mengurangi ketimpangan antardaerah. Implikasi langsung dari
pelaksanaan otonomi masyarakat adalah kebutuhan dana yang besar. Sumber dana
utama pemerintah daerah berasal dari PAD, yang dipakai untuk membiayai belanja
modal dan pembangunan. Namun dalam beberapa tahun berjalan sumber pembiayaan
daerah tidak hanya berasal dari PAD saja. Pemerintah daerah juga mendapatkan
bantuan transfer dana dari pemerintah pusat berupa Dana Perimbangan.
Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil
(DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Pemberian dana
perimbangan ditujukan untuk mengurangi disparitas keuangan vertikal (antara
pemerintah pusat dan daerah) dan membantu daerah mendanai kewenangannya.
c) Pengaturan
baru hubungan keuangan pusat dan daerah melalui UU Nomor 1 Tahun 2022 merupakan
arah baru pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Masyarakat akan memperoleh
perbaikan kualitas layanan dasar dan layanan umum pemerintahan yang akan
semakin merata sebagaimana tujuan otonomi daereah. Terdapat perbaikan kualitas
pemeliharaan lingkungan di daerah-daerah penghasil sumber daya alam dapat lebih
meningkat karena ada porsi DBH yang akan dialokasikan berdasarkan kinerja
pemeliharaan lingkungan. Masyarakat yang tinggal berbatasan langsung dengan
daerah penghasil sumber daya alam, dapat lebih terjamin karena pemerintah
daerah yang berbatasan langsung memperoleh pendanaan dari bagian Dana Bagi
Hasil yang dapat dipergunakan untuk mengatasi eksternalitas negatif. Selain itu
pengaturan perpajakan daerah juga merupakan komitmen pemerintah pusat mendukung
kemandirian daerah dengan tetap menjaga akses layanan publik dan iklim perekonomian
daerah. Dengan penguatan perbaikan belanja daerah tentunya semakin memperkuat
kualitas APBD sehingga lebih efisien, efektif, fokus, akuntabel, dan sinergis,
dan yang terakhir dengan pengaturan sinergi fiskal nasional masyarakat akan
menikmati pembangunan daerah yang lebih terarah dan berkesinambungan.
Astuti, Meti. (2017). Konsep Pemerataan Ekonomi Umar
Bin Abdul Aziz (818 M-820 M). At-Tauzi� : Jurnal Ekonomi Islam, 17(2),
141�155. Google Scholar
Christia, Adissya Mega, & Ispriyarso,
Budi. (2019). Desentralisasi Fiskal Dan Otonomi
Daerah Di Indonesia. Law Reform, 15(1), 149.
https://doi.org/10.14710/lr.v15i1.23360. Google Scholar
Dewirahmadanirwati. (2018). Implementation
of Regional Autonomy in Realizing Good Governancein the West Sumatera Region. Jurnal
JIPS (Jurnal Ilmiah Pendidikan Scholastic), 2(3), 43�50. Google Scholar
Dina Amin, Ika. (2013). Otonomi Daerah
Untuk Penguatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pengelolaan Keuangan dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah). Jurnal Ilmiah Mahasiswa, (Vol 3, No 1
(2013): Jurnal Ilmiah Mahasiswa). Google Scholar
Djaenuri, Aries. (2012). Elemen-Elemen
Penting Hubungan Keuangan Pusat-Daerah. Google Scholar
Gedeona, Hendrikus T. (2008). Kajian
Perbandingan Ketidakseimbangan Fiskal Vertikal Di Indonesia Dan Jepang. Jurnal
Ilmu Administrasi: Media Pengembangan Ilmu Dan Praktek Administrasi, (34),
167�193. Google Scholar
Hastuti, Proborini. (2018). Desentralisasi
fiskal dan stabilitas politik dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah di
indonesia. Simposium Nasional Keuangan Negara, 1(1), 784�799. Google Scholar
Ismail, Tjip. (2018). Potret Pajak
Daerah di Indonesia (Pertama). Jakarta: Prenadamedia Group. Google Scholar
Jeven. (2022). Poin Penting dalam UU HKPD. Google Scholar
Kadarukmi, M. E. Retno. (2010). Tinjauan
Yuridis Atas Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dikaitkan Dengan Pelaksanaan
Otonomi Daerah. Jurnal Administrasi Bisnis, (Vol 6, No 2 (2010)). Google Scholar
Keuangan, Kementerian. (2021). Menkeu: RUU
HKPD Bukan Resentralisasi tetapi Kuatkan Desentralisasi. Google Scholar
Kurnia. (2021). Pembatasan Belanja Pegawai
Daerah. Pikiran Rakyat, p. 5. Google Scholar
Mulyono, Agung. (2021). RUU HKPD :
Upaya Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat di Seluruh Pelosok Negeri. Https://Papuakini.Co/.
Google Scholar
Simandjuntak, Reynold. (2016). Negara
Kesatuan Republik Indonesia Perspektif Yuridis Konstitusional. De Jure:
Jurnal Hukum Dan Syar�iah, 7(Juni 2016), 57�67. Google Scholar
Soimin. (2010). Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Negara di Indonesia (Pertama). Yogyakarta: UII Press
Yogyakarta. Google Scholar
Sunarno, H. Siswanto. (2006). Hukum
Pemerintahan Daerah di Indonesia (Pertama). Jakarta: Sinar Grafika. Google Scholar
Syueb, Sudono. (2008). Dinamika Hukum
Pemerintahan Daerah Sejak Kemerdekaan Sampai Era Reformasi (Pertama;
Suriansyah Murhaini, Ed.). Yogyakarta: Laksbang Mediatama. Google Scholar
Tjandra, W. Riawan. (2013). Hukum
Keuangan Negara. Jakarta: PT Gramedia Widiasrana Indonesia. Google Scholar
Wardhanu Dwi Budi, Luqman; Santosa. (2012).
Analisis Implementasi Desentralisasi Serta Dampaknya Terhadap Kemandirian
Fiskal Dan Alokasi Belanja Publik (Studi Kasus pada Kabupaten/Kota di Jawa
Barat 2010). Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB, (Vol 1, No 2: Semester Genap
2012/2013). Google Scholar
Copyright holder: Alit Ayu Meinarsari, Harsanto
Nursadi (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |