Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849
e-ISSN:
2548-1398
Vol.
7, No. 8, Agustus 2022
URGENSI REGULASI FINTECH P2P LENDING UNTUK MENDORONG
IKLUSI KEUANGAN DI INDONESIA
Sandra
Angela Jeane Ester Berman
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Merebaknya bisnis
Financial Technology (Fintech) menimbulkan suatu isu baru
mengenai posisi Fintech dalam sistem keuangan.
Salah satu pertanyaan terbesar adalah perihal keberadaan Fintech sebagai sebuah pengganti atau justru menjadi pendukung dari lembaga keuangan formal yang telah ada. Pertanyaan
ini timbul karena model bisnisnya yang menyerupai model bisnis lembaga keuangan formal yang telah ada, khususnya
perbankan. Penelitian ini akan berfokus
kepada peran Fintech dalam inklusi keuangan
Indonesia serta urgensi pembentukan regulasi Fintech
Peer-to-Peer Lending (P2P). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Fintech P2P
Lending dapat menjadi solusi bagi inklusi
keuangan perekonomian
Indonesia, namun perkembangan
ini terkendala banyaknya Fintech P2P Lending illegal. Tidak
adanya payung hukum, kewenangan pengawasan Fintech di Indonesia masih
bersifat sub sectoral dan tidak
adanya sanksi pidana bagi pelaku
Fintech P2P Lending illegal merupakan hal yang perlu segera diatasi. Untuk dapat memiliki
level playing field yang sama dengan
Lembaga keuangan formal lainnya,
perlu dibentuk regulasi setingkat undang-undang yang mengatur mengenai Fintech P2P Lending.
Kata Kunci: fintech; peer-to-peer
lending; inklusi keuangan; payung hukum
Abstract
The spread of the Financial Technology (Fintech) business raises a new
issue regarding the position of Fintech in the financial system. One of the
biggest questions is about the existence of Fintech as a substitute or even a
supporter of the existing formal financial institutions. This question arises
because its business model resembles the business model of existing formal
financial institutions, especially banking. This research will focus on the
role of Fintech in Indonesia's financial inclusion and the urgency of
establishing Fintech Peer-to-Peer Lending (P2P) regulations. The results show
that Fintech P2P Lending can be a solution for financial inclusion in the
Indonesian economy, but this development is hampered by the number of illegal
Fintech P2P Lending. The absence of a legal umbrella, the authority of Fintech
supervision in Indonesia is still sub-sectoral and the absence of criminal
sanctions for illegal P2P Lending Fintech actors is something that needs to be
addressed immediately. To be able to have the same level playing field as other
formal financial institutions, it is necessary to set up a law-level regulation
that regulates Fintech P2P Lending.
Keywords: fintech; peer-to-peer
lending; financial inclusion; legal protection
Pendahuluan
Financial technology atau Fintech sudah tidak asing dan dikenal luas oleh masyarakat. Keberadaan Fintech
di Indonesia mendapat sambutan
yang positif dari pemerintah, BI juga telah membentuk Bank Indonesia Fintech Office yang berfungsi sebagai media untuk assessment, mitigasi risiko, dan evaluasi atas model bisnis dan produk/layanan dari Fintech, serta inisiator riset terkait kegiatan layanan keuangan berbasis teknologi ((BI),
2016). OJK juga menyatakan beberapa rencana yang akan dilakukan dalam waktu dekat untuk
mendukung berkembangnya industri Fintech di Indonesia ((OJK),
2016).
Kehadiran Fintech berfungsi sebagai enabler dalam transaksi keuangan serta memperkuat ekosistem keuangan. Perlu digarisbawahi bahwa Fintech
tidak berfungsi untuk menggantikan peran institusi keuangan yang telah ada sebelumnya, namun sebagai pelengkap.
Fintech mendukung peran
bank atau lembaga keuangan dalam memberikan jasa keuangan kepada nasabah, seperti membantu nasabah dalam mengurangi biaya operasional dan mengambil keputusan keuangan. Selain itu, Fintech juga merupakan
salah satu sarana untuk meningkatkan pemasaran suatu produk di tengah industri keuangan, mengingat pemasaran produk secara online semakin diminati oleh public dalam beberapa tahun belakangan ini.
Salah satu bentuk Fintech yang umum
di temui adalah peer to
peer lending atau yang biasa
disingkat dengan P2P
Lending. Pada Fintech dengan model P2P
Lending, pihak pemberi pinjaman memperoleh reward berupa bunga layaknya
pinjaman pada bank. Dengan
kata lain, P2P Lending memiliki pola pembiayaan debt-based.
Meskipun sama-sama menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali, terdapat perbedaan mendasar antara keduanya. Bank merupakan lembaga keuangan yang tunduk pada peraturan di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (UU Perbankan), sedangkan P2P Lending tunduk
pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK) No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Regulasi P2P
Lending yang bersifat sub-sektoral
mengakibatkan perbedaan level
playing field antara P2P Lending dengan lembaga keuangan konvensional.
Dalam membuat
karya ilmiah ini, Penulis sebelumnya
telah meninjau beberapa karya ilmiah lain yang memiliki kemiripan dengan topik yang diangkat. Adapun karya ilmiah yang memiliki kemiripan topik dengan milik
Penulis, diantaranya �Tantangan Hukum Peer to Peer Lending dalam Mendorong Pertmbuhan Industri Financial
Technology� yang dibuat oleh Rokhmatun
Hanifah, Gadang Prayoga, Ruhil Anadiah Sabrina, Dona Budi Kharisma.
Pembahasan pada karya ilmiah ini lebih
berfokus kepada problematika seperti batasan maksimum pinjaman, suku bunga yang tidak diatur, mekanisme penagihan yang tidak beretika melalui sosial media hingga pencurian dan penyalahgunaan data
pribadi (Hanifah,
Prayoga, Sabrina, & Kharisma, 2021). Selanjutnya, karya
ilmiah kedua berjudul �Aspek Hukum Peer to
Peer Lending (Identifikasi Permasalahan
Hukum dan Mekanisme Penyelesaian)�
yang dibuat oleh Windy Sonya Novita dan Moch. Najib Imanullah (Novita
& Imanullah, 2020). Pembahasan
pada karya ilmiah ini berfokus pada risiko tarif bunga
yang tinggi yang mengakibatkan
banyak Penerima Pinjaman yang gagal bayar serta cara
penagihan pinjaman yang tidak patut. Terdapat
perbedaan fokus penelitian antara kedua karya ilmiah
di atas dengan karya ilmiah yang dibuat oleh penulis walaupun terdapat adanya kesamaan topik. Dalam karya
ilmiah ini, Penulis berfokus pada urgensi pembentukan regulasi P2P Lending dalam
rangka mendorong inklusi keuangan di Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian
hukum yang digunakan dalam makalah ini
berupa metode penelitian yuridis-normatif (Soekanto,
2006) Penelitian
hukum normatif mencakup penelitian terhadap asas hukum,
sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier
(yang juga dinamakan bahan hukum penunjang) (Soekanto,
1985). Bahan
hukum tersebut yang akan digunakan dalam mengkaji rumusan permasalahan.
Bahan hukum
primer berupa perundang-undangan
(Mahmud
Marzuki, 2005), Adapun bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan
Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK)
No.18/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Bahan hukum sekunder
makalah ini adalah bahan hukum
yang dijadikan sumber rujukan yang kedua setelah bahan hukum
primer seperti buku-buku hukum yang berkaitan dengan kajian ini
termasuk jurnal hukum nasional, jurnal hukum internasional,
makalah hukum dan kamus hukum. Bahan
hukum tersier adalah bahan hukum
yang sifatnya sebagai penunjang. Bahan hukum tersier yang banyak digunakan dalam makalah ini
adalah teori-teori terkait financial technology, P2P Lending, dan inklusi keuangan.
Hasil dan Pembahasan
1.
Posisi Fintech Dalam Sistem Keuangan
di Indonesia
Perkembangan teknologi
dan tuntutan pasar ekonomi mendorong lahirnya Fintech.
Proses pembayaran, transfer, jual
beli, hingga pembiayaan semakin mudah diakses, praktis, aman, modern, serta efisien dengan
adanya Fintech. Kini
kegiatan transaksi dapat dilakukan secara elektronik melalui tablet atau perangkat genggam lainnya. Sejak kemunculannya di Indonesia, Fintech telah menjalankan beberapa bidang usaha industri keuangan yang dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) bidang, yakni:
a) Deposit, Lending, Capital
Raising
Pada intinya
perusahaan Fintech menjadi
perantara atau marketplace antara investor dengan penerima dana dalam sebuah praktik pembiayaan, pada praktiknya di
Indonesia terdapat dua pola skema pembiayaan
pada kategori ini, yang dapat dibagi menjadi
2 (dua):
1. Peer-to-Peer
Lending (P2P Lending)
Pada model bisnis ini, perusahaan
Fintech menyelenggarakan jasa
sebagai perantara antara peminjam dan pemberi pinjaman. Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016
entang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi mengartikan
Peer-to-Peer Lending sebagai penyelenggaraan
layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan
perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.
2.
Crowdfunding
Perbedaan crowdfunding dengan
pola P2P Lending terletak
pada sifatnya yaitu donation-based.
Perusahaan Fintech yang bergerak di bidang usaha crowdfunding menjalankan usaha sebagai marketplace bagi pencari dana untuk dapat mengumpulkan uang sebagai modal menjalankan usaha atau untuk
kebutuhan social.
b) Payments,
Clearing, and Settlements
Pada kategori bidang usaha ini,
FSB membatasi ruang lingkupnya menjadi 2 (dua) yaitu mobile payment
dan web payment.
1.
Mobile Payment
Mobile
payment adalah
cara untuk melakukan pembayaran dengan menggunakan perangkat seperti telepon genggam dengan cara mentransfer
dana dari individu ke individu lainnya,
individu kepada badan hukum, begitu pula sebaliknya (Broom, 2015). Mobile payment sebelumnya
telah dikenal juga dalam produk perbankan
yang disebut mobile banking. Mobile banking atau disingkat M-banking merupakan alternatif dari transaksi melalui ATM atau teller.
2.
Web Payment
Web Payment merupakan pola dimana jasa
pembayaran dilakukan melalui situs di Internet secara
online. Rekening yang digunakan
dapat merupakan rekening bank milik pengguna jasa maupun
rekening milik pengguna jasa di akun Fintech itu sendiri. Pelaku usaha Fintech Indonesia di bidang
ini mayoritas menjalankan sub-bidang usaha sebagai penyedia
jasa Internet Payment Gateway (IPG) dan dompet elektronik (e-wallet).
c) Investment and Risk
Managements
Perusahaan Fintech di kategori
ini menyediakan jasa manajemen investasi bagi pada penggunanya, dimana secara garis besar dapat dibagi menjadi
3 (tiga) bidang usaha yaitu Robo Advisor,
Insurance, dan e-Trading.
1.
Robo Advisor
Robo
advisor merupakan
jasa yang menyediakan jasa berupa perangkat
lunak (robot) yang melakukan
perhitungan serta analisis secara matematis berkaitan dengan peluang investasi di pasar.
2. Insurance
Pada model usaha ini, perusahaan
Fintech berperan dengan
menyediakan jasa di Usaha Perasuransian. Yang pertama, adalah penyediaan jasa sebagai pialang
asuransi berbasis teknologi dimana konsumen dapat mencari perusahaan asuransi yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan, dengan cara melalui perhitungan
premi yang harus dibayarkan dengan hal-hal yang ditanggung oleh asuransi berikut syarat dan ketentuan lainnya yang seluruhnya dilakukan oleh perusahaan Fintech.
Kedua, perusahaan Fintech
yang menyediakan jasa layanan agen asuransi.
3. e-Trading
Perusahaan Fintech
yang bergerak di bidang ini memberikan jasa untuk mengelola
investasi penggunanya seperti perusahaan manajemen investasi konvensional. Selain itu perusahaan Fintech memberikan informasi berupa data dan analisis dari instrumen pasar modal yang diperjualbelikan.
d) Market Provisioning
Jasa keuangan
dari pelaku usaha Fintech yang ditempatkan
pada kategori keempat ini adalah portal perbandingan finansial dan/atau asuransi.
Model bisnis
Fintech yang condong mereplikasi
model bisnis lembaga keuangan formal, khususnya perbankan, (Bank
Indonesia, 2016) menimbulkan
pertanyaan besar mengenai posisi Fintech dalam sistem keuangan.
Pertanyaan besar yang muncul berikutnya adalah perihal keberadaan Fintech yang menjadi
sebuah pengganti atau justru menjadi
pendukung dari lembaga keuangan formal yang telah ada (disrupter vs
enabler). Hasil diskusi Kemenkominfo
dengan para pelaku perbankan dan perusahaan Fintech
yang dilaksanakan pada 10 Mei 2016 menyatakan bahwa perbankan memandang bahwa Fintech perlu diatur agar memiliki level
playing field yang setara dengan
bank, sementara itu pelaku Fintech juga menyatakan
pernyataan serupa agar diatur secara khusus
guna membangun kepercayaan konsumen. Adapun secara rinci poin-poin
hasil Focus Group Discussion (FGD) tersebut adalah sebagai berikut:
a. �Bank yang bergerak
di bidang micro lending cenderung
keberatan dengan keberadaan Fintech karena berpotensi mereput segmen pasar; besarnya potensi sunk cost;
b. Bank yang bergerak di bidang corporate
lending cenderung kooperatif
dengan keberadaan Fintech;
c. �Hasil survey menunjukkan
bahwa seluruh responden (bank) beranggapan bahwa Fintech perlu diregulasi agar memiliki level
playing field yang sama;
d. Di sisi
lain, para Pelaku Industri Fintech
juga ingin diregulasi oleh otoritas berwenang guna membangun trust di masyarakat.
2.
Perkembangan Fintech P2P Lending
dalam Inklusi Keuangan
Tingkat unbanked di
Indonesia sangat tinggi dibandingkan
dengan tingkat kepemilikan alat komunikasi seperti smartphone
(Kementrian
Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, 2022). Indonesia hanya memiliki 36% pemilik akun bank, 27% yang memiliki simpanan formal, dan 13% yang memiliki
pinjaman formal pada tahun
2014 (Bank,
2022). Hal ini
yang membuat financial technology (Fintech)
ini muncul sebagai suatu solusi.
Tidak seperti lembaga keuangan konvensional yang membutuhkan kantor secara fisik,
menggunakan sistem face
to face yang yang berbasis
dokumen fisik, Fintech
dapat menjangkau masyarakat sampai ke wilayah kepulauan dan perbatasan tanpa membutuhkan kantor fisik dan seluruh kegiatan dilakukan melalui smartphone atau komputer secara paperless.
Hal ini
merupakan suatu revolusi dalam industri keuangan dimana banyaknya ragam bentuk dari
teknologi keuangan ini diantaranya adalah sebagai bentuk pembiayaan, alat pembayaran, P2P Lending,
bahkan dapat digunakan sebagai pembanding untuk dalam kemampuan bank. Hingga Oktober 2020, akumulasi penyaluran pinjaman Fintech P2P Lending telah
mencapai Rp137,66 triliun, dengan outstanding Rp13,24 triliun
dan penyaluran pinjaman baru Rp56,16 triliun (Rahardyan,
2022). Terdapat
155 perusahaan Fintech P2P Lending yang terdaftar atau memiliki izin beroperasi
dari OJK ((OJK),
2020).
Fintech P2P Lending merupakan
sebuah inovasi dibidang keuangan yang memanfaatkan teknologi informasi berbasis internet yang dapat memperluas akses masyarakat ke pada pembiayaan, baik sebagai pemberi
pinjaman maupun sebagai penerima pinjaman. Selain sebagai layanan pembiayaan alternatif, Fintech
P2P Lending juga menggunakan dan mengembangkan credit scoring yang inovatif berbasis teknologi informasi sebagai alat bantu memilih calon penerima
pinjaman, seperti big
data analytic, aggregator, robo advisor, atau blockchain. Selama ini usaha UMKM dan masyarakat pada umumnya hanya dapat memperoleh
pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional seperti bank. Namun persyaratan untuk mendapatkan pinjaman di bank sangat ketat sehingga sering kali usaha UMKM dan masyarakat yang
pada dasarnya layak mendapatkan pembiayaan berakhir ditolak permohonannya karena tidak dapat memenuhi
persyaratan yang ditetapkan.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh Fintech
P2P Lending, dapat menjadikan
Fintech P2P Lending sebagai solusi bagi inklusi
keuangan perekonomian
Indonesia.
3.
Urgensi Regulasi
Fintech P2P Lending di Indonesia
Kendatipun belum
diatur secara khusus, namun kegiatan
usaha Fintech dapat dikategorikan ke dalam framework pengaturan,
perizinan, dan pengawasan
yang sudah ada saat ini. Pada bidang Payments, Clearing, and Settlements, framework
peraturan yang sudah mengikat kepada Fintech antara lain adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Regulatory Framework Fintech di Bidang
Payment, Clearing, and Settlements
Instrumen |
Infrastruktur |
Kelembagaan |
Peraturan |
Uang Elektronik Dompet Elektronik Cryptocurrency Payment
Gateway Pengiriman Uang |
Internet/
Mobile Based |
Perlu Izin BI |
PBI Uang Elektronik PBI PPTP UU Transfer Dana |
Sumber
: Departemen Kebijakan
dan Pengawasan Sistem Pembayara, Bank Indonesia
Pemerintah Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada 28 Desember 2016, dimana Peraturan OJK tersebut dibentuk sebagai dasar untuk dapat
mengembangkan industri keuangan yang diharapkan akan mendorong tumbuhnya alternatif pembiayaan bagi masyarakat dan hal ini dalam segi
pembiayaan hanya sebagian kecil dalam bagian pelaksanaan
di dalam keuangan inklusif. Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Visi Ekonomi Digital Pemerintah
Indonesia dalam E-Government dan E-Commerce
melalui mekanisme Fintech
masih memiliki kekurangan dalam segi regulasi yang perlu diatur sehingga
hal ini perlu
dimaksimalkan maupun disesuaikan sejumlah regulasi dengan keperluan masa kini agar dapat mendukung kinerja dari Fintech tersebut.
Undang-Undang Perbankan
yang ada saat ini belum memiliki
pengaturan mengenai layanan akses keuangan
digital, sehingga diperlukan
pembaharuan di dalam peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan sektor perbankan dan lembaga keuangan nonperbankan lainnya. Perlunya pembaharuan dalam instrumen hukum tersebut juga harus mengatur performa dari suatu
lembaga keuangan baik yang berada di sektor perbankan dan sektor non-perbankan. Ketentuan yang perlu diatur tentunya ditujukan agar fungsi intermediasi yang dilakukan lembaga keuangan tersebut berjalan dengan lancar. Lancar tidaknya cash flow maupun alokasi kredit tergantung dari efisiensi monitoring bank tersebut dan pengembangan atas kemuktahiran atau inovasi dari
produk finansial (Boot
& Thakor, 1997).
Peran serta
bank sebagai lembaga yang menjalankan fungsi intermediasi di masyarakat beserta Bank Indonesia sebagai bank
sentral dalam hal menjaga stabilitas
moneter dan arus nilai tukar mata
uang rupiah terhadap mata
uang asing merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari sistem keuangan.
Sistem Perbankan yang merupakan bagian dari sistem keuangan
dan sistem moneter juga menjadi tolak ukur
dari kestabilan perekonomian yang di suatu negara
serta maju mundur suatu negara, untuk itu diperlukan
sikap kehati-hatian dalam menjaga sistem
perbankan (Zaini
& SH, 2012). Peran serta perekonomian di sektor riil dan kesehatan sektor perbankan juga menjadi salah satu faktor pendorong
tersebut untuk dapat membantu pembangunan perekonomian.
Dengan adanya
pengawasan terhadap industri perbankan, maka kemungkinan untuk bank menjadi tidak sehat maka
akan kecil sehingga akan memperkecil
kemungkinan untuk berdampak sistemik dan mempengaruhi sektor jasa keuangan dan perekonomian secara luas. Akan tetapi, hingga saat ini
belum ada regulasi yang jelas mengenai Fintech di Indonesia. Sebagai
lembaga jasa keuangan lainnya yang juga memegang peranan dalam pembangunan perekonomian di Indonesia diperlukan
adanya regulasi setara undang-undang yang mengatur mengenai Fintech sehingga tercapai kesamaan level playing field antara
lembaga keuangan konvensional dengan Fintech.
Di Indonesia, regulasi Fintech P2P Lending mengacu
pada Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan (POJK) No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK)
No.18/2017 tentang Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi Pada Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melihat adanya urgensi dibentuknya payung hukum bagi
Fintech P2P Lending melihat semakin menjamurnya pengguna layanan Fintech P2P
Lending. Selain itu, sebagai perusahaan yang memberikan perlayanan jasa keuangan, Fintech P2P
Lending masuk dalam lingkup kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Perusahaan Fintech P2P
Lending dinyatakan sebagai
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya
yang badan hukumnya berbentuk
Perseroan Terbatas (PT) atau
Koperasi. POJK No.77/POJK.01/2016 secara
tegas membatasi kegiatan usaha Fintech P2P
Lending menyediakan, mengelola,
dan mengoperasikan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjaman
kepada pihak Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak
Pemberi Pinjaman. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan Fintech
P2P Lending dapat bekerja
sama dengan penyelenggara layanan jasa keuangan berbasis
teknologi informasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Perusahaan Fintech P2P
Lending diwajibkan untuk
mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada OJK sebelum memulai kegiatan usaha. Dengan demikian OJK hanya berhak melakukan
pengawasan terhadap perusahaan Fintech P2P Lending yang telah terdaftar. Hal ini menunjukkan adanya kekosongan hukum yang berpotensi merugikan masyarakat terkait oknum perusahaan
Fintech P2P Lending illegal, di mana tidak ada aturan hukum
yang jelas mengenai sanksi yang dapat dikenakan dan perlindungan bagi nasabah yang menjadi korban. Untuk itu diperlukan regulasi setingkat undang-undang untuk mengawasi layanan Fintech P2P
Lending untuk mengatur penanganan yang terkait dengan penyalagunaan dan menjamin kepastian hukum bagi para pihak yakni konsumen
dan pelaku usaha Fintech
P2P Lending itu sendiri.
Fintech P2P Lending illegal merupakan salah satu kasus yang marak terjadi seiring dengan semakin berkembangnya perusahaan P2P
Lending. Tercatat pada September 2020, Satgas Waspada Investasi kembali menemukan 126 Fintech P2P Lending illegal (Idhom,
2022). Temuan
ini menambah catatan panjang Fintech ilegal yang telah ditangani Satgas Waspada Investasi sejak tahun 2018. Sejauh ini regulasi
terkait Fintech hanya
diatur dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK), Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan peraturan
turunannya yang berbentuk
Surat Edaran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (SEPOJK)
dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Namun peraturan-peraturan ini masih berupa
beleid yang tidak setara dengan undang-undang,
sehingga tidak dapat memberikan sanksi pidana khususnya
untuk Fintech P2P Lending illegal. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi Fintech P2P Lending illegal adalah dengan melakukan
pemblokiran melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Sampai saat
ini belum ada undang-undang yang secara tegas mengatur
mengenai Fintech. Regulasi
yang jelas mengani Fintech
P2P Lending menjadi suatu
hal yang urgen, mengingat Fintech memegang
peranan yang cukup besar bagi pertumbuhan
ekonomi dan inklusi keuangan di Indonesia. Dengan adanya undang-undang yang mengatur menganai Fintech maka akan tercapai
keseimbangan level
playing field dengan lembaga
keuangan konvensional seperti perbankan yang akan meningkatkan trust dari masyarakat terhadap perusahaan Fintech.
Kesimpulan
Perkembangan pesat
industri Fintech di Indonesia disertai juga dengan maraknya entitas Fintech
illegal. Namun, perkembangan
industri Fintech ini
tidak diimbangi dengan pembentukan regulasi sebagai payung hukum. Regulasi
terkait Fintech hanya
diatur dalam bentuk POJK, PBI dan peraturan turunannya. Kewenangan pengawasan Fintech di Indonesia masih
bersifat sub sectoral, di mana Fintech yag terkait sistem
pembayaran berada dalam pengawasan BI sedangkan Fintech yang tidak
terkait sistem pembayaran berada dalam pengawasan OJK. Pengenaan sanksi berupa pencabutan izin usaha dipandang
kurang memberikan efek jera bagi
entitas Fintech illegal. Perlu
dibentuk regulasi setingkat undang-undang yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap
penyalahgunaan pelayanan Fintech.
Melalui pembentukan
regulasi mengenai Fintech,
diharapkan dapat tercapai kepastian hukum dan perlindungan baik bagi nasabah
maupun pelaku usaha Fintech. Sehingga pertumbuhan Fintech semakin
sehat dan dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Regulasi
mengenai Fintech yang bersifat
sub-sektoral tidak dapat memberikan payung hukum bagi
layanan Fintech di Indonesia, mengingat terdapat beragamnya produk Fintech
yang ada, dimana produk-produk tersebut saling beririsan satu dengan yang lainnya. Untuk itu terdapat urgensi
pembentukan regulasi setingkat undang-undang yang mengatur mengenai Fintech P2P
Lending di Indonesia. Alangkah baiknya regulasi tersebut mengatur mengenai mekanisme Fintech
P2P Lending dan sanksi yang tegas terhadap entitas Fintech P2P Lending illegal. Selain itu perlu
diatur juga mengenai penetapan bunga pinjaman, jangka waktu peminjaman dan sanksi pidana terhadap
pelanggaran Fintech P2P Lending untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak.
(BI), Bank Indonesia. (2016). Siaran Pers
BI: Gubernur BI Resmikan Bank Indonesia Fintech Office (disampaikan pada siaran
pers no 18/92/DKom pada tanggal 14 November 2016)�. Retrieved from www.bi.go.id website:
https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/siaran-pers
(OJK), Otoritas Jasa Keuangan. (2016).
�Siaran Pers OJK Siapkan Aturan Pengembangan Financial Technology (disampaikan
pada Siaran Pers Nomor: 99 SP/DKNS/OJK/10/2016, Jakarta, 6 Oktober 2016).�
Retrieved from www.ojk.go.id website:
https://www.ojk.go.id/Pages/PageNotFoundError.aspx?requestUrl=http://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/siaran-pers/Documents/Pages/Siaran-Pers OJK-Siapkan-Aturan-Pengembangan-Financial-Technology/SIARAN-PERS-FINTECH.pdf
(OJK), Otoritas Jasa Keuangan. (2020).
�Statistik Fintech Lending Periode Oktober 2020.� Retrieved from https://www.ojk.go.id website:
https://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/data-dan-statistik/Fintech/Pages/Statistik-Fintech-Lending-Periode-Oktober-2020.aspx
Bank, The World. (2022). �Financial
Inclusion Data / Global Findex, Indonesia,.� Retrieved from http://datatopics.worldbank.org:
http://datatopics.worldbank.org/financialinclusion/country/indonesia
Boot, Arnoud W. A., & Thakor, Anjan V.
(1997). Financial system architecture. The Review of Financial Studies, 10(3),
693�733.
Broom, Dominic. (2015). Innovation in
payments: The future is fintech. BNY Mellon.
Hanifah, Rokhmatun, Prayoga, Gadang,
Sabrina, Ruhil Anadiah, & Kharisma, Dona Budi. (2021). Tantangan Hukum Peer
To Peer Lending dalam Mendorong Pertumbuhan Industri Financial Technology. Pandecta
Research Law Journal, 16(2), 195�205.
Idhom, Addi M. (2022). �Data Fintech Ilegal
Terbaru Temuan Satgas-OJK: Update 25 Sept 2020.�
Indonesia, Bank. (2016). Financial
Technology (FinTech)�Analisa Peluang Indonesia dalam Era Ekonomi Digital dari
Aspek Infrastruktur, Teknologi, SDM, dan Regulasi Penyelenggara dan Pendukung
Jasa Sistem Pembayaran. Temu Ilmiah Nasional Peneliti, 1�31.
Indonesia, Kementrian Komunikasi dan
Informatika Republik. (2022). �Indonesia Raksasa Teknologi Asia.� Retrieved
from https://www.kominfo.go.id website: https://www.kominfo.go.id/content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologidigital-asia/0/sorotan_media
Mahmud Marzuki, Peter. (2005). Penelitian
hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media, 55.
Novita, Windy Sonya, & Imanullah, Moch
Najib. (2020). Aspek Hukum Peer to Peer Lending (Identifikasi Permasalahan
Hukum dan Mekanisme Penyelesaian). Jurnal Privat Law, 8(1),
151�157.
Rahardyan, Aziz. (2022). �Ini 7 Poin
Regulasi Baru Buat Fintech P2P Lending,.� Retrieved from Finansial Bisnis.com
website: Ini 7 Poin Regulasi Baru Buat Fintech P2P Lending - Finansial
Bisnis.com
Soekanto, Soerjono. (1985). Teori yang
murni tentang hukum. Alumni.
Soekanto, Soerjono. (2006). Pengantar
penelitian hukum. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Zaini, Zulfi Diane, & SH, M. H. (2012).
Implementasi Hukum Pembangunan Dalam Sistem Perbankan Di Indonesia. Hukum
Perbankan Dan Kebanksentralan, 43.
Copyright holder: Sandra Angela Jeane Ester Berman (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |