Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 8, Agustus 2022

 

KEARIFAN LOKAL DALAM NOVEL MEMOIRS OF A GEISHA: ARTHUR GOLDEN DAN RONGGENG DUKUH PARUK: AHMAD TOHARI ANTROPOLOGI LINGUISTIK

 

Roch Widjatini, Idah Hamidah, Ashari, Zuyinatul Isro, Muammar Kadafi,

Aulia Ratna Rakhmadhani

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Kearifan lokal dalam penelitian ini dikaji menggunakan kajian feminisme pada dua novel yang berjudul Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden (1997) dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari (1982). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kearifan lokal yang ada pada kedua novel tersebut. Teori yang digunakan dalam mengkaji novel ini adalah teori antropologi linguistik. Pengkajian kedua novel menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik simak dan catat. Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan persamaan dan perbedaan kearifan lokal kedua novel tersebut yang merupakan cerminan kondisi sosial masyarakat pada novel Memoirs of Geisha dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk.

 

Kata Kunci:antropologi linguistik, kearifan lokal, memoirs of geisha, ronggeng dukuh paruk

 

Abstract

Linguistic Anthropology studies were used to examine the comparison local wisdom in the novel, Memoirs of A Geisha by Arthur Golden (1997) and Novel Ronggeng Dukuh Paruk by Ahmad Tohari (1982). The purpose of this writing is to describe local wisdom exist in both novels. The theory used in studying this novel is the theory of Linguistic Anthropology. The method used in studying both novels is a qualitative descriptive method with a strategy of the most advanced study. The data collection technique used by the author is the listening and note-taking technique. The results of this study are found similarities and differences in wisdom contained in both novels assuming that these three aspects are a reflection of the social conditions of society behind the novel Memoirs of Geisha and Novel Ronggeng Dukuh Paruk.

 

Keywords: linguistic anthropology, local wisdom, memoirs of geisha, ronggeng dukuh paruk

 

 

 

Pendahuluan

Karya sastra menurut Sapardi (1979: 1) menampilkan gambaran kehidupan sang penulis berdasarkan kenyataan yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Pesan yang menggambarkan estetika pada masing-masing karya disampaikan secara tertulis maupun lisan. Karya-karya ini menceritakan kisah dalam berbagai sudut pandang, seperti sudut pandang orang ketiga maupun orang pertama dengan plot dan melalui penggunaan berbagai perangkat sastra yang terkait dengan waktu mereka. Untuk memahami dan menikmatinya terkadang harus dilakukan analisis bagian-bagian tersebut dan relasinya satu sama lain. Karya sastra merupakan perwujudan dari fiksi yang diciptakan oleh seorang pengarang. Berdasarkan jenisnya, karya sastra terdiri atas: drama, prosa, dan puisi. Salah satu jenis karya sastra yang termasuk prosa adalah novel. Novel merupakan karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Fanananie mengutarakan (2001: 194) bahwa terdapat tiga perspektif berkaitan dengan keberadaan karya sastra. Pertama, perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra diciptakan. Kedua, perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya, yang ketiga, model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial. Berkaitan dengan hal ini, penelitian ini akan mengangkat kearifan lokal yang muncul di dalamnya untuk mencari persamaan dan perbedaannya.

Novel Memoirs of A Geisha karya Arthur Golden dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari mempunyai kemiripan pada alur ceritanya. Novel Memoirs of A Geisha merupakan novel dari gambaran sebuah kisah nyata seorang wanita yang menceritakan perjalanan seorang geisha, seorang wanita yang bersaing untuk mendapatkan pria kaya dengan mengandalkan kecantikan, kemolekan tubuhnya. Lebih dari itu seorang geisha adalah wanita yang berpendidikan tinggi. Kisah pilu seorang geisha terjadi ketika Perang Dunia II terjadi.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk merupakan novel karangan Ahmad Tohari. Beliau merupakan putra Banyumas asli melalui novelnya berhasil memperkenalkan lengger ke dunia nasional bahkan internasional, yang menceritakan kisah pilu seorang lengger bernama Srintil. Novel tersebut juga pernah divisualisasikan dalam bentuk film dan mendapat antusiasme yang besar. Sehingga mengkaji kearifan lokal dalam novel ini sangat relevan dengan penggalian kearifan lokal Banyumas.

Adapun beberapa alasan yang mendasari penulis meneliti penelitian ini adalah karena ingin mengetahui lebih lanjut mengenai novel Memoirs of A Geisha dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Salah satu media yang dapat mengungkap kejadian sehari-hari adalah munculnya novel, ditulis dengan banyak cerita, yang bernuansa romance atau konflik yang berkepanjangan,sehingga terkadang mempunyai hubungan yang erat dengan budaya. Bagi penikmat novel, cerita yang tersaji secara gamblang dijelaskan pengarang karena pengarang dapat dengan leluasa menyampaikannya. Karena itu, perwatakan setiap tokohnya pun dapat diidentifikasi dengan seksama.

Kajian Antropologi linguistik yang terpilih untuk mengkaji novel Memoirs of A Geisha dan Novel Ronggeng Dukuh Paruk dalam penelitian ini. Antropologi Linguistik yaitu ilmu yang mempelajari kebudayaan manusia secara menyeluruh. Di satu pihak manusia adalah pencipta kebudayaan, di pihak lain kebudayaan yang �menciptakan� manusia sesuai dengan lingkungannya. Maka terjalin hubungan timbal balik yang sangat erat dan padu antara manusia dan kebudayaan.

Kebudayaan dalam bahasa menduduki tempat yang unik dan terhormat. Selain sebagai unsur kebudayaan, bahasa juga berfungsi sebagai sarana terpenting dalam pewarisan, pengembangan, dan penyebarluasan kebudayaan.

 

Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk mengkaji penelitian ini yaitu menggunakan metode deskriptif kualitatif. Metode ini sering digunakan untuk menganalisis sebuah karya sastra karena dapat menjelaskan fenomena, kejadian yang terjadi bahkan terkadang dialami oleh penulis novelnya sendiri. Jenis metode deskriptif ini banyak menampilkan hasil data yang tanpa melalui proses manipulasi. Nazir (2003) mengatakan dalam bukunya metode penelitian deskriptif yaitu satu metode yang meneliti status sosial masyarakat, kondisi, pemikiran ataupun kelas peristiwa pada masa sekarang. Metode kualitatif menurut Bogdan dan Taylor dalam Meleong (2010) mengemukakan bahwa prosedur penelitian yang menghasilkan deskriptif berupa kata-kata tertulis/lisan dari orang-orang dari perilaku yang dapat diamati. Metode deskriptif kualitatif menitikberatkan pada teknik simak dan catat.

Kajian antropologi linguistik menelaah struktur dan hubungan kekeluargaan melalui istilah kekerabatan, konsep warna, pola pengasuhan anak, atau menelaah bagaimana anggota masyarakat saling berkomunikasi pada situasi tertentu seperti pada upacara adat, lalu menghubungkannya dengan konsep kebudayaannya. Melalui pendekatan antropologi linguistik menurut Duranti (2001:1) dapat dicermati apa yang dilakukan orang dengan bahasa dan ujaran-ujaran yang diproduksi; diam dan gesture dihubungkan dengan konteks pemunculannya Sementara itu, Foley (1997: 3) juga mendefenisikan linguistik antropologi sebagai subdisiplin linguistik yang berkaitan dengan tempat bahasa dalam konteks budaya maupun sosial yang memiliki peran menyokong dan menempa praktik-praktik kultural dan struktur sosial.

�Antropological linguistics views language through the prism of the core anthropological concept, culture, and such, seeks to uncover the meaning behind the use, misuse, or non-use of language, its different forms, registers and style. It is an interpretive discipline peeling away at language to find cultural understandings� (Foley, 1997:3)

 

Kajian antropologi linguistik dalam bidang interdisipliner, ada tiga yaitu studi mengenai bahasa, budaya, dan aspek lain dari kehidupan manusia, ketiga bidang tersebut dari kerangka kerja dipelajari linguistik dan antropologi. Kerangka kerja linguistik didasarkan pada kajian bahasa sedangkan antropologi didasarkan pada seluk-beluk kehidupan manusia.

Antropologi linguistik berdasarkan istilah menurut Sibarani (2004: 51), paling sedikit ada tiga relasi penting. Hubungan antara satu bahasa dengan budaya yang bersangkutan, berarti bahwa ketika kita mempelajari suatu budaya, kita juga harus mempelajari bahasanya, Karena hubungan bahasa dengan budaya secara umum yaitu setiap ada satu bahasa dalam suatu masyarakat, maka ada satu budaya dalam masyarakat itu. Bahasa mengindikasikan budaya, perbedaan bahasa berarti perbedaan budaya atau sebaliknya. Hubungan antara linguistik sebagai ilmu bahasa dengan antropologi sebagai ilmu budaya.

Antropologi linguistik mempelajari teks dan performansi tradisi lisan dalam kerangka kerja antropologi, mempelajari konteks budaya, konteks ideologi, konteks sosial, dan konteks situasi tradisi lisan dalam kerangka kerja linguistik. Di samping bertujuan menemukan formula yang dirumuskan dari struktur teks dan konteks (bentuk) tradisi lisan, antropologi linguistik menggali nilai, norma, dan kearifan lokal (isi) tradisi lisan serta berupaya merumuskan model penghidupan kembali, pengelolaan, dan proses pewarisan (revitalisasi) tradisi lisan. Nilai dan norma budaya tradisi lisan dikristalisasi dan ditemukan makna dan fungsinya. Dari makna dan fungsi bagian-bagian tradisi lisan serta makna dan fungsi keseluruhan tradisi lisan sebagai wacana yang lengkap akan dapat diungkapkan nilai dan norma sebuah tradisi lisan melalui proses interpretasi yang dikaitkan dengan konteksnya. (Sibarani 2012:305).

Nilai dan norma budaya yang masih dimanfaatkan oleh komunitas dapat diterapkan untuk menata kehidupan sosial secara arif perlu digali, dilestarikan, bahkan direvitalisasi. Antropologi linguistik berupaya menggali dan mengkaji kearifan lokal berdasarkan hubungan struktur teks, ko-teks, dan konteks dalam suatu peristiwa atau performansi tradisi lisan atau tradisi budaya. Nilai dan norma budaya yang dirumuskan dari hubungan struktur teks, ko-teks, dan konteks dalam suatu peristiwa atau performansi mengindikasikan bahwa nilai dan norma budaya tradisi lisan sebagai cerminan realitas sosial. Kearifan lokal sebagai praktik budaya merupakan cerminan realitas (Duranti, 1997:25) dan (Folley, 1997:16). Bahasa sebagai cerminan realitas sosial, dapat menggambarkan cara berpikir manusia. Wierzbicka (1992: 3) berkata bahwa �Setiap bangsa berbicara sesuai dengan cara dia berpikir dan berpikir sesuai dengan cara dia berbicara. Pikiran tidak dapat dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain karena setiap pikiran tergantung pada bahasa tempat pikiran itu diformulasikan�.

Menurut Dundes (1965:277) fungsi cerita yang bersifat umum adalah sebagai: (1) alat pendidikan, (2) peningkat perasaan solidaritas kelompok, (3) pengunggul dan pencela orang lain, (4) pelipur lara, dan (5) kritik masyarakat. Fungsi sastra lisan atau cerita di lingkungan masyarakat juga dapat dilihat sebagai berikut: pertama, berfungsi sebagai sistem proyeksi. Kedua, berfungsi untuk mengesahkan kebudayaan. Ketiga, sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial dan sebagai alat pengendali sosial. Keempat, sebagai alat pendidikan anak (Suripan Sadi Hutomo, 1991 : 67-70).

Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Menurut Suhartini (2009) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan secara arif. Keraf (2002) menambahkan bahwa semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.

Kearifan lokal adalah kebijaksanaan/pengetahuan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya.. The local wisdom is the community�s wisdom or local genius deriving from the lofty value of cultural tradition in order to manage the community�s socialorder or social life. Kearifan lokal merupakan nilai budaya lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat secara arif atau bijaksana. The local wisdom is the value of local culture having been applied towisely manage the community�s social order and social life (Sibarani, 2012:112-113).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, peneliti akan mengkaji tentang kearifan lokal yang muncul dalam kedua novel di atas untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya.

Dari beberapa penelitian tentang novel Memoir of A Geisha dan Ronggeng Dukuh Paruk yang sudah pernah dilakukan beberapa peneliti terdahulu, ternyata belum ada penelitian yang mengungkapkan bagaimana bahasa mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat pada masa itu. Oleh karena itu, penelitian ini sangat perlu dilakukan karena dalam bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan suatu bangsa mulai dari tingkah laku bahkan interaksi dengan orang lain. Nilai-nilai kearifan lokal dalam bahasa yang dapat menjadi pijakan/tuntunan dalam berperilaku, terlebih bagi generasi muda.

Berbagai penelitian tentang novel Memoirs of A Geisha dan Ronggeng Dukuh Paruk sudah pernah dilakukan di antaranyaTranslation of �Memoirs of a Geisha�: Analysis and Insights on Cultural Perspective� oleh Puteri Roslina Abdul Wahid dan Anis Shahirah Abdul Sukur (2012). Anis menjelaskan beberapa kesalahan dalam penerjemahan novel karena perbedaan kebudayaan sehingga banyak istilah yang disalahartikan. Menurutnya, banyak aspek yang harus diperhatikan ketika menerjemahkan sebuah novel, harus sangat memahami konteks dan paham dengan budaya asalnya. Penelitian yang membahas novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu �Analisa Novel Ronggeng Dukuh Paruk Dengan Menggunakan Kritik Sastra Biografi.� Peneliti sebelumnya menunjukan hubungan antara penulis novel dengan tokoh yang ada pada novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan menggunakan pendekatan kritik sastra biografi.

 

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian ini berupa analisis kearifan local beserta pembuktian potongan percakapan atau kejadian yang terdapat di dalam novel �Memoirs of A Geisha� dan �Ronggeng Dukuh Paruk�.

Seringkali geisha digambarkan sebagai wanita penghibur untuk kalangan tokoh elit yang memiliki jabatan atau golongkan sebagai masyarakat kelas atas secara ekonomi dan sosial. Namun sebenarnya berbeda jauh dari apa yang digambarkan, tercantum dalam teks Memoirs of A Geisha.

 

�pada suku kata �gei� dalam kata �geisha� berarti �seni�, jadi arti kata �geisha� yang sebenarnya adalah seniman. (Arthur, hal. 158)

 

Seorang geisha pun bukan hal yang mudah bahkan bisa terbilang cukup sulit, membutuhkan waktu lebih dari 6 tahun, geisha disebut seniman karena seorang geisha memiliki banyak keahlian di bidang seni seperti memainkan alat musik shamisen, fue, macam-macam gendang seperti tsutsumi, okawa dan taiko, kemudian mahir dalam menari dan menyanyi.

Di pendidikan seorang geisha, kompetensi seni bukanlah yang diutamakan, pada pendidikan seorang geisha ini para guru sangat menuntut tingkah laku dan sikap baik dari murid-murid mereka. Seperti yang tertulis pada novel Memoirs of A Geisha.

 

Bahkan seorang anak mungkin dimarahi habis-habisan bukan karena tidak bisa memainkan alat musiknya dengan benar atau tidak bisa menghafal syair lagu yang diajarkan, tetapi karena kukunya kotor, atau karena bersikap kurang hormat, atau yang semacam itu. (Arthur, hal. 160)

 

Yang membuat masa Pendidikan geisha sulit, bukan sekedar kesenian yang harus dipelajarinya, melainkan betapa sibuk hidupnya jadinya. Setelah melewatkan dari pagi sampai siang dengan belajar, dia masih menuntut bekerja pada sore dan malamnya, dengan sama kerasnya seperti sebelumnya. Dan tetap saja dia tidur tak lebih dari tiga sampai lima jam semalam. (Arthur, hal. 161)

 

Pada kutipan tersebut bisa dipahami bahwa menjadi seorang geisha adalah kerja keras dan bukanlah pekerjaanmenjual tubuhseperti yang orang awam pikirkan selama ini. Selain itu Geisha juga memiliki prinsip dalam hidupnya. Hal itu didukung oleh kutipan:

 

Geisha sejati tidak akan pernah mengotori reputasinya dengan membuat dirinya bisa disewa laki-laki dengan tarif per malam� (Arthur, hal. 165)

 

Kearifan lokal merupakan pemahaman sekolompok masyarakat pada lingkungan setempat yang tinggal di lingkungan tersebut mengenai cara dan praktik secara tutun-temurun.

Pada novel Memoirs of A Geisha, berempat pada sebuah daerah bernama Okiya yang merupakan latar tempat utama. Kehidupan masyarakatnya tergolong sudah maju namun masih sangat kental terhadap adat yang sudah terbentuk dari lama dan diturunkan secara turun-temurun. Salah satu kearifan lokalnya adalah mengenai kerja keras. Terbukti pada percakapan:

 

�Ini okiya,� katanya. �Tempat tinggal geisha. Kalau bekerja keras, nantinya kau bisa menjadi geisha. Tapi kau tak akan bertahan sampai minggu depan kalua kau tak mendengarkan aku baik-baik, karena Ibu dan Nenek sebentar lagi akan turun untuk melihatmu. Dan sebaiknya mereka suka melihatmu. Kau harus membungkuk sedalam mungkin dan jangan menatap mata mereka

 

Percakapan tersebut adalah percakapan antara Chiyo (nama Sayuri kecil) dan Bibi, percakapan tersebut membuktikan betapa kentalnya adat geisha yang sudah terbentuk di desa tersebut. Ibu dan nenek yang dimaksud adalah pemilik rumah di Okiya, bukanlah ibu dan nenek yang sesungguhnya. Sikap sangat menghormati kepada tuan rumah sangat ditekankan bahkan sampai harus membungkuk sedalam mungkin dan jangan menatap matanya.

Acara lelang mizuage atau keperawanan seorang geisha setelah debut, di daerah Okiya daerah Gion tempat Sayuri berada, ada kearifan lokal yang unik, yaitu memberikan ekubo berbalut kertas tak berwarna dan diikat benang kasar dan kemudian diberikan kepada calon danna yang sudah dipilih oleh kakak angkat, dalam novel The Memoirs of A Geisha adalah kakak Sayuri yaitu Mameha. Hal ini dimuat dalam teks :

Kalau geisha magang sudah bisa dipetik untuk mizuage, dia mengirimkan kota-kotak berisi ekubo ini kepada para pria yang menjadi pelanggannya. Kebanyakan geisha magang mengirimnya kepada paling tidak selusin laki-laki, mungkin malah lebih. (Arthur, hal. 269)

 

Novel Ronggeng Dukuh Paruk (RDP)

Ahmad Tohari seorang penulis asal Banyumas terinspirasi menulis sebuah novel dari sebuah desa bernama Dukuh Paruk. Di desa ini terdapat seorang wanita belia yang cantik bernama Srintil. Dia terjebak keadaan di mana dalam desa itu karena minimnya pendidikan menjadikan Srintil seorang Ronggeng. Sebutan ronggeng baginya biasa saja, dia malah merasa bangga karena baginya menjadi seorang ronggeng adalah sebuah kebanggaan.

Kearifan lokal merupakan kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Dalam Novel Ronggeng Dukuh paruk terdapat kearifan lokal antara budaya Jawa dan ajaran Islam. Ini tak lepas dari Ahmad Tohari yang hidup di lingkungan santri. Kearifan lokal yang terdapat dalam novel ini adalah adanya sikap arif bijaksana yang menilai atau menghadapi orang khilaf akan kesalahannya di mana manusia hidup sebagai wayang dalam cerita. Srintil diperjualbelikan untuk melayani nafsu-nafsu para lelaki yang haus akan tubuh indah seorang ronggeng yang cantik dengan memenangkan sayembara buka klambu. Srintil yang telah diperjualbelikan seperti barang dagangan menjadikan masyarakat Dukuh Paruk sebagai masyarakat yang terbelakang, dengan sumpah serapah cabul menjadi bagian yang sah untuk mereka.

Dibuktikan dalam teks:

 

Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul bunting! Pikirku. (Tohari: Bagian ketiga: paragraf 3)

 

Oleh caranya yang khas gaya mucikari, Nyai Kartareja dapat menenangkan Sulam dan Dower. Keduanya duduk kembali, masing-masing dengan wajah kecut. Hening. Kartareja duduk termangu. Dahinya berkerut-kerut, membuktikan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Kemudian kakek itu bangkit berdiri. Kata-katanya terdengar pelan penuh wibawa.

(Tohari: paragraf 145)

 

Terdengar suara jerit ketika Dower menutup pintu bilik yang berisi tempat tidur berkelambu itu. Sepi. Suami istri Kartareja masuk ke bilik mereka sendiri. Di sana pasangan tua itu bergurau. Sebuah ringgit emas, dua rupiah perak dan seekor kerbau sudah hampir di tangan. (Tohari: paragraph 157)

 

Kau telah memperoleh hadiah sayembara bukak-klambu. Dua rupiah perak serta kerbau itu sah menjadi milik kami. Engkau puas, bukan? (Tohari: bagian ketiga: paragraf 273)

 

Dari teks di atas bisa kita tahu bahwa serakahnya mereka untuk mendapat tubuh perawan Srintil. Tetapi ada seorang pemuda dalam novel ini yang akan menyelamatkan Srintil dan menghadapi orang-orang untuk berusaha menyadarkan akan kekeliruannya yang menganggap Srintil seperti wanita yang tidak ada nilainya sama sekali. Rasus namanya yaitu seorang pemuda yang digambarkan dalam cerita, mencoba menyelamatkan Srintil dari orang-orang yang memperjualbelikannya tanpa rasa belas kasihan sedikitpun.

 

Srintil?�tegurku dengan suara berbisik. �Jangan terkejut. Aku Rasus. (Tohari: bagian ketiga: paragraf 260)

 

�Oh!�seru Srintil tertahan. Dia cepat bangkit merangkulku sekuat tenaga.�Rasus. Dengar, mereka bertengkar di luar. Aku takut, sangat takut. Aku ingin kencing!� (Tohari: bagian ketiga: paragraf 261)

 

Sudah kencing?� (Tohari: bagian ketiga: paragraf 262)

 

Sudah. Tetapi aku takut. Rasus, kau sungguh baik. Kau ada di sini ketika aku sedang diperjualbelikan. (Tohari: bagian ketiga: paragraf 263)

 

Di warung cendol itu terbukti pengakuanku salah. Dari cara Srintil berbicara, dari caranya duduk di sampingku dan dari sorot matanya, aku tahu Srintil mencatat kejadian di belakang rumah Kartareja itu sevara khusus dalam hatinya. Maka aku terpaksa percaya akan kata-kata orang bahwa peristiwa penyerahan virginitas oleh seorang gadis tidak akan dilupakannya sepanjang usia. Juga aku tidak percaya akan kata-kata yang pernah kudengar bahwa betapapun ronggeng adalah seorang perempuan. Dia mengharapkan seorang kecintaan. Laki-laki yang datang tidak perlu mengeluarkan uang bila dia menjadi kecintaan sang ronggeng. (Tohari: bagian ketiga: paragraf 375)

 

�Eh Rasus. Mengapa kau menyebut hal-hal yang sudah lalu? Aku mengajukan permintaanku itu sekarang. Dengar Rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi seorang istri tentara; engkaulah orangnya.� (Tohari,bagian ketiga: paragraf 539)

 

Dari sinilah bisa kita tahu bahwa bagaimanapun seorang ronggeng adalah perempuan yang membutuhkan kasih sayang utuh dari seorang laki-laki yang mencintainya tanpa syarat. Srintil, ronggeng yang ingin keluar dari lubang kehinaan dan ingin menjadi istri yang bisa melahirkan seorang anak.

Berdasarkan hasil analisis novel �Memoirs of A Geisha� dengan cara menganalisis Fungsi, Nilai Budaya Dan Kearifan Lokal. Bisa disimpulkan bahwa pada era sebelum Perang Dunia II. Posisi geisha adalah sebagai profesi Wanita yang sangat terhormat serta disegani oleh masyarakat dengan Pendidikan yang lama dan tidak mudah. Geisha juga merupakan menjadi kebanggaan negara Jepang dengan mengunggulkannya sebagai sektor pariwisata di mancanegara.

 

Kesimpulan

Kearifan lokal dalam Novel Memoirs of A Geisha dan novel Ronggeng Dukuh Paruk pada novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki latar tempat di pulau Jawa dan pada novel Memoirs of A Geishadi negara Jepang. Pada novel Memoirs of A Geisha memiliki latar waktu sebelum Perang Dunia II, sedangkan novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar waktu masyarakat yang masih primitif pada era-60an. Walaupun terdapat perbedaan waktu yang cukup jauh di mana lebih lampau terjadi pada novel Memoirs of A Geisha daripada Ronggeng Dukuh Paruk namun tingkat pendidikan dan etika masyarakat masih lebih unggul pada novel Memoirs of A Geisha. Kesimpulan dari hasil analisis kedua novel yaitu kearifan lokal antara novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan Memoirs of A Geisha memiliki kesamaan yaitu Geisha dan Srintil sama-sama lahir dari keluarga yang kurang mampu, kerja keras seorang wanita yang mencapai titik pengorbanan dalam menuntaskan langkah akhir menjadi Ronggeng dan Geisha dengan menawarkan keperawanan ketika masih berumur belasan tahun di mana pada novel Ronggeng Dukuh Paruk disebutbukak klambusedangkan pada novel Memoirs of A Geisha disebutmizuagekemudian keperawanan tersebut dimenangkan oleh penawaran material yang paling tinggi. Karena dipengaruhi oleh faktor budaya dan adat setempat menjadikan cara yang dilakukan dalam menawarkan keperawanan itu berbeda. Pada novel Ronggeng Dukuh Paruk keperawanan diperebutkan dengan mengadakan sayembara. Sedangkan pada novel Memoirs of A Geisha dilakukan dengan cara memberikan sekotak ekubo berbalut kertas tak berwarna dan diikat benang kasar dan kemudian diberikan kepada calon danna yang sudah dipilih oleh sang senior atau biasa disebutkakak�.

Perbedaan lain yaitu sebelum proses seorang geisha dan ronggeng. Pada seorang geisha, sebelum memulai pendidikan terdapat paksaan untuk mengikuti pendidikan geisha karena calon geisha tersebut adalah hasil dari perdagangan manusia yang sudah dibeli dengan harga yang tinggi. Membuat calon geisha tidak memiliki pilihan selain menuruti sang �Ibu� yang sudah membelinya dan memaksa untuk mengikuti serangkaian pendidikan geisha.

 


BIBLIOGRAFI

 

A.S, Keraf. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Buku Kompas

 

Damono, Sapardi Djoko. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta: Pusat Bahasa

 

Dundes, Alan. 1965. The Studi of Folklore (Alan Dundes, ed). Englewood Cliffs. NJ Prentice Hall, Inc

 

Fananie, Zainuddin. 2001. Telaah Sastra. Surakarta:Muhammadiyah University Press

 

Golden, Arthur. 2002. Memoirs of Geisha. Jakarta: Pustaka Utama

 

Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa Timur: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia

 

Tohari, A. (2003). Ronggeng dukuh paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

 

Wierzbicka, A. and Jean, H. (1992). Cognitive linguistics research: emotions and language. New York: Mouton de Gruyter.

 

Abdul Wahid, Putri Roslina and Abdul Sukur, Anis Shahirah. 2012. Translation of �Memoirs of a Geisha�: Analysis and Insights on Cultural Perspective. International Journal of Social Science and Humanity, Vol. 2, No. 6, November 2012

 

Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.(Online). Tersedia: http://staff.uny.ac.id (19 April 2013)

 

Copyright holder:

Roch Widjatini, Idah Hamidah, Ashari, Zuyinatul Isro, Muammar Kadafi,

Aulia Ratna Rakhmadhani (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: