Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

GAMBARAN BIAYA SECTIO CAESAREAN DENGAN CLINICAL PATHWAY PADA PASIEN JKN RS HERMINA JATINEGARA TAHUN 2021

 

Agnes Vianti, Pujiyanto

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Di RS Hermina Jatinegara (RSH JTN) persentase tindakan SC pada persalinan adalah sebesar 75% dari total kelahiran hidup di tahun 2020. SC sendiri selalu menempati urutan teratas jenis tindakan terbanyak yang dilakukan di RSH JTN sejak 2013 sampai 2020. Pada tahun 2021 jumlah tindakan SC pasien BPJS di RSH JTN adalah 512 tindakan dari total 1.191 tindakan SC dengan total biaya RS sebesar Rp. 7.622.743.465 sementara tarif INA CBGs yang bisa diklaim adalah Rp. 2.953.697.700 sehingga terdapat selisih negatif sebesar Rp. 4.669.045.765. Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui berapa sebenarnya biaya tindakan SC pada pasien BPJS yang dilakukan dengan penerapan clinical pathway untuk memahami pentingnya clinical pathway dalam kendali mutu dan kendali biaya. Metode penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menampilkan bahwa biaya tindakan SC pasien BPJS dengan penerapan clinical pathway ternyata lebih rendah daripada tanpa clinical pathway . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan clinical pathway pada tindakan SC memang dapat mengendalikan biaya tanpa mengurangi mutu layanan di RS.

 

Kata Kunci : sectio caesarean, clinical pathway , INA CBG, selisih coding

 

Abstract

At Hermina Jatinegara Hospital (RSH JTN) the percentage of SC is 75% of the total live births in 2020. SC itself has always topped the list of the most types of actions performed at RSH JTN from 2013 to 2020. In 2020, the number of SC of BPJS patients at RSH JTN was 512 of 1.191 SC in total with a total cost of Rp. 7.622.743.465 while the INACBGs rate that can be claimed is Rp. 2.953.697.700 so that there is a negative difference of Rp. 4.669.045.765. This study was made with the aim of knowing how much actually SC cost of BPJS patients with the implementation of clinical pathway to understand the importance of clinical pathway for quality control and cost control. This research method is qualitative descriptive. The results showed that the cost of SC of BPJS patients with the application of clinical pathway turned out to be lower than without clinical pathway. Thus it can be concluded that the application of clinical pathway to SC actions can indeed control costs without compromising the quality of service in hospitals.

 

Keywords : sectio caesarean, clinical pathway, INA CBG, coding difference

 

Pendahuluan

Pada tahun 2021 dari 154 negara yang mewakili 94,5% kelahiran hidup di dunia, 21,1% diantaranya dilakukan dengan sectio caesarean (SC). Di Indonesia persalinan yang dilakukan dengan cara sectio caesarian (SC) juga memiliki persentase yang cukup besar (Betran et al., 2021). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Nasional menampilkan data di tahun 2018 sebesar 17,6% dari 78.736 persalinan dilakukan dengan cara SC. Jumlah ini mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2013 yaitu hanya sebesar 9,8%. Menurut Riskesdas juga di DKI Jakarta terdapat peningkatan proporsi tindakan SC yaitu dari 17,6% di tahun 2013 menjadi 31,1% di tahun 2018 (Manoppo, 2022).

RS Hermina Jatinegara (RSH JTN) adalah sebuah RS swasta tipe B yang berlokasi di Jakarta Timur. Di RSH JTN, jumlah tindakan SC selalu menempati urutan teratas jenis tindakan terbanyak yang dilakukan di RSH JTN sejak 2013 sampai 2020.

Pada tahun 2020 jumlah tindakan SC adalah sebanyak 1.299 dari 1.791 kelahiran hidup atau sebesar 75%. Dari 1.299 tindakan tersebut 530 di antaranya adalah pasien JKN. Total biaya RS untuk Tindakan SC pasien JKN adalah sebesar Rp7.983.821.070 dengan tarif INA CBG yang bisa diklaim sebesar Rp3.237.411.600 sehingga selisih negatif yang terjadi adalah sebesar Rp4.746.409.470 untuk seluruh pasien sebesar Rp.8.955.489 per pasien.

Sementara di tahun 2021 jumlah tindakan SC pada persalinan adalah sebanyak 1.191 dari 1.557 kelahiran hidup atau sebesar 76,49%. Secara persentase memang meningkat namun dari segi jumlah terdapat penurunan dibanding tahun 2020. Dari 1.191 tindakan SC tersebut 512 di antaranya adalah pasien JKN. Total biaya RS untuk Tindakan SC pasien JKN adalah sebesar Rp7.622.743.465 dengan tarif INA CBG yang bisa diklaim sebesar Rp2.953.697.700 sehingga selisih negatif yang terjadi adalah sebesar Rp4.669.045.765 untuk seluruh pasien sebesar Rp9.119.230 per pasien.

Dari tahun 2020 ke 2021 terdapat peningkatan biaya RS untuk tindakan SC sementara tidak ada perubahan tarifINA CBG yang bisa diklaim. Hal ini membuat RS mengalami kerugian yang meningkat. RS telah mengeluarkan biaya seperti pembayaran honor dokter, pembelian obat dan BMHP juga pembayaran untuk pemeriksaan penunjang laboratorium. Kerugian RS ini selain membuat kinerja RS menjadi buruk, juga akan menjadi masalah cash flow.

Clinical pathway untuk tindakan SC di RSH JTN dibuat pada tahun 2016 dan disahkan penggunaannya pada tahun 2017 dengan Keputusan Direktur nomor 1032/KEP-DIR/RSHJTN/III/2017. Dengan dibuatnya clinical pathway tersebut, diharapkan tindakan SC yang dilakukan di RSH JTN dapat berpedoman terhadap clinical pathway termasuk didalamnya jenis pemeriksaan penunjang, pemilihan jenis obat baik selama operasi maupun sesudah operasi, konsultasi kepada dokter spesialis yang diperlukan dan perkiraan lama rawat.

Dari hasil audit clinical pathway di RSH JTN yang dilakukan secara kuantitatif menunjukkan data bahwa penerapan clinical pathway untuk tindakan SC di tahun 2020 adalah 79% dan di tahun 2021 adalah 86%. Peningkatan kepatuhan penerapan clinical pathway seharusnya dapat membantu terkendalinya biaya RS. Namun demikian ternyata selisih antara biaya RS dengan tarif INA CBG per tindakan SC justru semakin meningkat di tahun 2021. Hal ini yang menjadi latar belakang penulis untuk mengangkat masalah ini.

 

Sectio Caesaria

Secara harfiah, sectio caesarea sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua kata yang mana kata utama yakni �caedare� yang bermakna membedah. Pengertian sectio caesarea ini sendiri adalah sebuah jenis pertolongan operasi persalinan. Dijelaskan bahwa tindakan ini bertujuan untuk menyelamatkan ibu maupun bayi dengan cara melakukan operasi persalinan atau bahasa awamnya pembedahan. Faktor yang cukup ditakutkan dalam operasi persalinan ini adalah adanya bahaya infeksi setelah operasi persalinan sehingga perawatan setelah operasi adalah salah satu hal yang memerlukan perhatian lebih mendalam untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan neonatus (Apriliani, 2015).

Sectio caesarea merupakan tindakan medis yang diperlukan untuk membantu persalinan yang tidak bisa dilakukan secara normal akibat masalah kesehatan ibu atau kondisi janin. Tindakan ini diartikan sebagai pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Namun demikian, tindakan sectio caesarea tidak lagi dilakukan semata-mata karena pertimbangan medis, tetapi juga termasuk permintaan pasien sendiri atau saran dokter yang menangani. Sectio caesarea memang memungkinkan seorang wanita yang akan bersalin untuk merekayasa hari persalinan sesuai keinginan. Bedah caesar kadang dilakukan karena adanya kepercayaan yang berkembang di masyarakat yang mengaitkan waktu kelahiran dengan peruntungan nasib anak dengan harapan apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam tertentu akan memperoleh rezeki dan kehidupan yang lebih baik (Rosellah, 2013).

Sectio caesarea merupakan teknik pengeluaran janin melalui insisi dinding abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Persalinan dengan sectio caesarea memiliki risiko kematian 25 kali lebih besar dan risiko infeksi 80 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan persalinan normal (Rahim & Hengky, 2020).

 

Clinical Pathway

Clinical pathway (CP) adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya seperti standar asuhan gizi dan standar asuhan kefarmasian yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur dan dalam jangka waktu tertentu selama pasien dirawat di rumah sakit (Kirana Pritasari, Kirana Pritasari, Gustina, & Gustina, 2014). Clinical pathway merupakan rencana multidisiplin yang memerlukan praktik kolaborasi dengan pendekatan tim melalui kegiatan hari demi hari, berfokus pada pasien, dengan kegiatan yang sistematis dan memasukkan standar outcome (Palimbo, 2021).

Clinical pathway adalah sebuah rencana penatalaksanaan pasien yang bersifat multidisiplin, yang berisi detail langkah-langkah penanganan seorang pasien mulai dari saat masuk rumah sakit sampai dengan keluar (Meo, 2015). Clinical pathway juga disebut-sebut harus menjadi salah satu komponen dari DRG-casemix yang mana sangat berkaitan erat dalam segi pembiayaan dan peningkatan mutu pelayanan. Disebutkan bahwa terdapat 2 hal yang paling mendasar dari suatu clinical pathway, yaitu tipe pelayanan yang diberikan dan kerangka waktu pelayanan tersebut diberikan. Oleh sebab itu, dalam penyusunan format clinical pathway ini harus mencakup kedua komponen dasar tersebut dan harus sesuai dan mencakup keseluruhan definisi yang disebutkan di atas. Hal ini disebabkan oleh karena clinical pathway nantinya harus mampu menyajikan suatu alur pelayanan klinik sejak pasien masuk sampai keluar rumah sakit.

Manfaat penting penyelenggaraan clinical pathway adalah mutu pelayanan kesehatan menjadi lebih baik, adanya kepastian rencana untuk tata laksana pasien, mengurangi length of stay pasien dan mengontrol biaya bila diterapkan dengan baik (Paat, Kristanto, & Kalalo, 2017). Clinical pathway juga dapat mengurangi variasi, meningkatkan kualitas pelayanan dan memaksimalkan outcomes pada kelompok pasien tertentu (Sativa, Sjaaf, & Wibowo, 2022). Namun demikian implementasi clinical pathway tetap membutuhkan pendekatan yang cukup hati-hati untuk memahami penghalang struktural dan masalah khusus yang dialami staf klinik (Thursky et al., 2018). Penerapan clinical pathway merupakan sebuah pendekatan yang dapat digunakan dalam rasionalisasi biaya tanpa mengurangi mutu. Dengan demikian, sesungguhnya pegimplementasian clinical pathway erat kaitannya dengan clinical governance, dimana yang sangat diutamakan adalah menjaga mutu pelayanan namun dengan memberikan estimasi biaya yang terjangkau tanpa merugikan pihak pemberi jasa pelayanan.

 

Tarif dan Biaya Rumah Sakit

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 85 tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit menyebutkan bahwa tarif rumah sakit adalah imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas jasa dari kegiatan pelayanan maupun non pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa. Tarif rumah sakit untuk kegiatan pelayanan diperhitungkan berdasarkan komponen jasa sarana dan jasa pelayanan pada rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat. Komponen jasa sarana merupakan imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas pemakaian akomodasi, bahan non medis, obat- obatan, bahan/alat kesehatan habis pakai yang digunakan langsung dalam rangka pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Komponen jasa pelayanan merupakan imbalan yang diterima oleh pemberi pelayanan atas jasa yang diberikan kepada pasien dalam rangka pelayanan medis, pelayanan penunjang medis dan/atau pelayanan lainnya. Jasa pelayanan terdiri atas jasa tenaga kesehatan dan jasa tenaga lainnya.

Tarif Indonesian-Case Based Groups yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG�s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Tarif INA-CBG�s yang lebih kecil daripada tarif RS menyebabkan terjadinya selisih negatif. Penerapan clinical pathway dapat menurunkan lama hari rawat sehingga kualitas pelayanan semakin membaik (Damara, Sari, & Sari, 2022). Lama rawat bisa dipersingkat dengan cara mengembangkan clinical pathway yang di dalamnya mengikutsertakan perawatan medis sehingga dapat digunakansebagai upaya untuk menghindari komplikasi.

Penelitian sebelumnya tentang clinical pathway telah menguji efektifitas suatu clinical pathway dalam memperbaiki proses dan luaran pasien yaitu dengan memperpendek hari rawatan dan menurunkan biaya rumah sakit atau unit cost, sehingga dapat memperbaiki proses pelayanan. Implementasi clinical pathway dapat menurunkan lama rawat inap pasien di rumah sakit pada pasien Acute coronary syndrome (Pahriyani, Andayani, & Pramantara, 2014). Penelitian lain juga menyatakan terdapat penurunan average length of stay setelah implementasi clinical pathway dan outcomes antara sebelum dan setelah implementasi clinical pathway mengalami perubahan yang lebih baik pada pasien DHF. (Fadilah, 2017). Lama hari perawatan pasien stroke Hemoragik adalah ideal pada kelompok yang mendapat intervensi nursing Clinical Pathway (Jayanti & Hariyati, 2020). Pasien stroke Iskemik Akut membuktikan bahwa kepatuhan pengisian formulir clinical pathway oleh dokter dan case manager yang mencapai 80% serta sinergi seluruh manajemen RS dan tim multi disiplin menjadi kunci keberhasilan dan penerapan Clinical Pathway (Sumarni & Yulastri, 2019).

 

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Data primer didapatkan dari hasil wawancara mendalam dengan dokter spesialis obsgin, dokter spesialis anestesi, dokter ruangan, Kepala Perawatan Kamar Operasi, Kepala Instalasi Farmasi dan Manajer Marketing (Fikriya, Sriatmi, & Jati, 2016). Data sekunder terkait rincian biaya didapatkan dari berkas rekam medis, data keuangan dan data casemix. Sampel diambil dari total semua tindakan dengan teknik purposive sampling sehingga menghasilkan sampel sebanyak 504 tindakan untuk tahun 2020 dan 397 tindakan untuk tahun 2021. Kriteria inklusi yang dipakai adalah pasienSC, jaminan BPJS Kesehatan dengan deskripsi INA CBGS : Operasi Pembedahan Caesar (Ringan),tanpa penyakit penyerta, telah dilakukan penerapan Clinical Pathway dalam tata laksananya. Kriteria eksklusi adalah pasien mengalami penyulit dalam perjalanannya, ada permintaan obat dan BMHP yang dibutuhkan karena perjalanan penyakit namun tidak sesuai dengan formularium nasional.

 

 

 

 

Hasil dan Pembahasan

Terdapat penurunan jumlah tindakan SC di tahun 2021 namun justru didapatkan peningkatan selisih negatif antara tarif RS dan coding per pasien yaitu dari Rp8.955.489di tahun 2020 menjadi Rp9.119.230 di tahun 2021 atau terdapat kenaikan sekitar 1,8%

Rincian item yang menjadi pembentuk biaya RS untuk tiap tindakan SC yang digunakan dalam proses penagihan melalui sistem e-klaim adalah : prosedur bedah (termasuk didalamnya honor dokter operator, dokter asisten operator, dokter anestesi dan sewa kamar OK), Sewa Kamar, Obat (termasuk BMH, APD dan sewa alkes), dan Pemeriksaan Laboratorium (termasuk kebutuhan darah). Berikut disampaikan beberapa data yang diperoleh :

Tabel 1

Distribusi Pasien

 

2020

2021

Distribusi Umur (tahun)

 

%

 

%

17-26

98

19,37%

91

22,92%

27-36

332

65,61%

260

65,49%

37-46

75

25,60%

45

19,91%

47-56

1

1,92%

1

4,00%

Total

506

 

397

 

 

 

 

 

 

Distribusi Kelas Perawatan

 

 

 

 

Kelas 1

293

57,91%

226

56,93%

Kelas 2

52

10,28%

25

6,30%

Kelas 3

161

31,82%

146

36,78%

Total

506

 

397

 

 

 

 

 

 

Length of Stay Rawat Inap (hari)

 

 

 

 

2

0

0%

5

1,26%

3

250

49,41%

223

56,17%

4

246

48,62%

163

41,06%

5

10

1,98%

6

1,51%

Total

506

 

397

 

 

Tabel 4

Data Tarif RS untuk tindakan SC per kelas

 

2020

2021

Tarif RS

Kelas 1

Kelas 2

Kelas 3

Kelas 1

%

Kelas 2

%

Kelas 3

%

 

Min

11.896.228

6.956.675

4.803.097

13.010.652

9,37%

10.505.861

51,02%

7.755.009

61,46%

 

Max

43.060.742

20.324.368

17.968.176

49.679.918

15,37%

23.571.450

15,98%

19.439.390

8,19%

 

Rerata

16.227.591

13.043.364

10.420.671

17.314.093

6,70%

13.648.067

4,64%

11.930.197

14,49%

Honor Dokter

3.062.140

2.594.676

1.998.978

3.062.140

Tetap

2.594.676

Tetap

1.998.978

Tetap

Sewa OK

5.313.000

4.251.000

3.189.000

5.579.000

5%

4.464.000

5%

3.348.000

5%

Sewa Kamar

876.000

526.000

219.000

920.000

5%

552.000

5%

230.000

5%

Obat

 

 

 

 

 

 

 

Min

1.030.415

1.526.491

1.485.631

1.780.094

72,76%

1.101.047

-27,87%

494.942

66,68%

 

Max

13.760.425

9.373.092

10.413.514

13.220.128

-3,93%

8.239.959

-12,09%

9.043.117

-13,16%

 

Rerata

4.990.706

4.347.271

3.301.920

6.192.405

24,08%

5.104.883

17,43%

3.345.729

1,33%

Laboratorium

 

 

 

 

 

 

 

Min

65.400

65.400

65.400

142.000

17,13%

142.000

17,13%

142.000

17,13%

 

Max

5.603.745

2.346.000

5.419.000

5.910.000

5,47%

2.111.000

-10,02%

2.626.800

47,25%

 

Rerata

643.293

486.143

567.569

639.689

-0,56%

588.600

21,07%

692.481

7%

 

Dari data di atas didapatkan gambaran usia untuk pasien SC dengan proporsi terbesar ada pada kelompok usia 27-36 tahun baik di tahun 2020 maupun 2021. Kelas perawatan yang paling banyak diambil oleh pasien adalah kelas 1. Terdapat sedikit perubahan proporsi jumlah peserta di tahun 2021 yaitu adanya penurunan di kelas 2 (dari 10,28% menjadi 6,3%) dan peningkatan jumlah peserta kelas 3 (dari 31,82% menjadi 36,78%), sementara length of stay perawatan selama 2 hari mengambil proporsi terbesar di tahun 2020 dan 2021 (Meliala, 2021).

Terdapat kenaikan total tarif RS rata � rata sebesar 8% untuk semua kelas. Dalam tarif tersebut persentase kenaikan terbesar adalah pada komponen tarif laboratorium yaitu sebesar 37%, namun nominalnya paling kecil diantara pembentuk tarif lainnya. Obat mengalami kenaikan sebesar 16% dan dengan nominal yang cukup besar maka total tarif RS pun pada akhirnya menjadi semakin besar. Yang menjadi perhatian di sini adalah bahwa besaran tarif untuk sewa OK, sewa kamar dan honor dokter yang sejalan dengan kelas perawatan. Semakin tinggi kelas perawatan maka tarif akan semakin mahal. Sementara besar kecilnya harga obat dan laboratorium ternyata tidak selalu sejalan dengan naiknya kelas perawatan. Dari data juga ditemukan bahwa besar honor dokter tahun 2020 dan 2021 adalah sama nilainya per kali Tindakan.

Untuk tarif INA CBGS Operasi Pembedahan Caesar (Ringan) adalah sama untuk tahun 2020 dan 2021 yaitu Rp6.981.500 untuk kelas 1, Rp5.984.100 untuk kelas 2dam Rp4.986.800 untuk kelas 3.

 

Pembahasan

Dari hasil wawancara didapatkan bahwa peningkatan biaya disebabkan oleh adanya peningkatan tarif RS sebesar 5 % untuk sewa kamar operasi dan kamar perawatan. Terdapat pula peningkatan biaya obat yang bersumber dari kenaikan harga jual obat - obatan dan BMHP termasuk adanya perubahan dari segi jenis dan jumlah yang digunakan untuk pasien SC walaupun telah diupayakan tata laksana sesuai dengan clinical pathway. Informasi yang didapatkan dari dokter operator menyebutkan bahwa sebenarnya memang pada awalnya sudah berniat menerapkan clinical pathway untuk kasus - kasus yang tanpa penyulit, namun dalam perjalanannya beberapa kali terjadi perburukan kondisi pasien sehingga membutuhkan tambahan terapi misalnya perdarahan yang lebih banyak dari perkiraan sehingga harus mendapatkan transfusi darah. Atau dalam proses penjahitan lapisan perut ternyata benang yang sudah diperhitungkan sebelumnya ternyata tidak mencukupi sehingga harus ditambah. Ada pula kejadian dimana pasien merasa sangat kesakitan pasca operasi sehingga harus mendapatkan tambahan terapi analgetik intra vena. Di clinical pathway memang sudah disebutkan jenis obat yang akan digunakan namun memang tidak disampaikan alternatif jenis obat yang lain sehingga bila didapatkan kasus spesifik seperti yang disampaikan di atas DPJP bisa langsung meresepkan obat lain yang mungkin harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan obat yang tercantum pada Clinical Pathway.

Tarif pemeriksaan laboratorium mengalami kenaikan sebesar 37%.. Sementara Kepala Instalasi Laboratorium menginformasikan bahwa kenaikan tarif tahunan untuk pemeriksaan laboratorium adalah sebesar 8% sehingga perlu dilakukan analisa lebih lanjut faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kenaikan biaya laboratorium tersebut. Dari data juga diketahui bahwa besaran biaya farmasi dan laboratorium tidak selalu sebanding dengan kenaikan kelas perawatan. Hal ini adalah karena di RS Hermina Jatinegara memang tidak membedakan harga obat dan tarif pemeriksaan penunjang untuk semua kelas perawatan sehingga besar kecilnya biaya sebagian besar tergantung dari perjalanan klinis pasien dan tata laksana yang diberikan oleh DPJP.

Tidak didapatkan perubahan besaran jasa tindakan dokter operator dan dokter asisten karena RS menetapkan bahwa besaran jasa medis adalah proporsional dengan nilai coding INA CBGs sehingga dengan tidak berubahnya nilai coding maka jasa medis juga tidak akan berubah.

Beberapa kasus tidak terduga yang disebutkan sebelumnya tersebut pada akhirnya akan menambah besar biaya untuk tindakan SC. Sementara berapapun biaya yang dikeluarkan tentu tidak akan mengubah nilai coding INA CBGs menjadi lebih tinggi kecuali dapat meningkatkan severity level yang justru menjadi kriteria eksklusi dari penelitian ini.

 

Kesimpulan

Clinical pathway pada pasien SC dengan kasus tanpa penyulit lain sangat diperlukan untuk mengendalikan biaya tanpa mengurangi mutu pelayanan terhadap pasien. Clinical pathway memang tidak serta merta dapat mengurangi biaya bila dihadapkan dengan masalah peningkatan tarif RS baik sewa kamar maupun harga obat dan tarif laboratorium namun setidaknya dapat memperkirakan kisaran biaya yang dibutuhkan. Penggunaan clinical pathway untuk tindakan SC yang sudah dipatuhi oleh para DPJP cukup banyak membantu untuk menekan biaya, namun saat ini tetap tidak dapat mengejar selisih akibat kenaikan tarif tahunan RS karena tarif INA CBGs yang digunakan untuk melakukan klaim pembiayaan pasien JKN belum pernah berubah sejak ditetapkan pertama kali.Terkait penyulit yang mungkin terjadi selama masih bisa diketahui dan dicegah sebelumnya tentu akan lebih baik. Seperti pemantauan Hb selama hamil sehingga saat SC tidak terjadi penurunan Hb yang cukup drastis sehingga membutuhkan tambahan transfusi darah. Pada akhirnya clinical pathway memang tetap dibutuhkan untuk menjamin pengendalian mutu dan biaya namun akan lebih bermanfaat bila RS membuat suatu pedomanyang lebih spesifik dalam menyebutkanalternatif jenis obat dan BMHP yang dibutuhkan yang bila dinilai dari nominal harganyadapat mengakomodasi kendali biaya untuk Tindakan SC.

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Apriliani, Rizky Ayu. (2015). Pengaruh Yoga Prenatal terhadap kecemasan sesaat dalam menghadapi persalinan pada primigravida trimester III Digalenia Mom and Baby Center Kota Bandung. Fakultas Psikologi (UNISBA).

Damara, A.Yoghi, Sari, Fitri Eka, & Sari, Nurhalina. (2022). Perbedaan Tarif Rumah Sakit Dan Tarif Ina-Bg�s Di Rsud Ryacudu Kotabumi Tahun 2020. Indonesian Journal of Health and Medical, 2(3), 322�332.

Fikriya, Khasna, Sriatmi, Ayun, & Jati, Sutopo Patria. (2016). Analisis Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Dalam Rangka Persiapan Akreditasirumah Sakitdi Instalasi Bedah Sentral Rsud Kota Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 4(1), 44�54.

Jayanti, Lia Dwi, & Hariyati, Rr Tutik Sri. (2020). Development of Management Information Systems with Integrated Clinical Pathway on the Quality of Nursing Services. Jendela Nursing Journal, 4(1), 13�19.

Kirana Pritasari, MQIH, Kirana Pritasari, MQIH, Gustina, Eni, & Gustina, Eni. (2014). Kurikulum dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan Kelainan Tumbuh Kembang Balita. Kementrian kesehatan RI.

Manoppo, Jeanette. (2022). Buku Ajar Gangguan Fungsional Gastrointestinal Pada Anak. Nas Media Pustaka.

Meliala, Palmy Rawinda. (2021). Perbandingan Algoritma Machine Learning Untuk Survivabilitas Dan Biaya Pengobatan Pasien Kanker Paru-Paru Di Taiwan.

Meo, Maria Yulita. (2015). Pengembangan sistem informasi manajemen keperawatan dengan integrated clinical pathway untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Jurnal Manajemen Keperawatan, 3(1), 48�55.

Paat, Cicilia, Kristanto, Erwin, & Kalalo, Flora P. (2017). Analisis Pelaksanaan Clinical Pathway di RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal Biomedik: JBM, 9(1).

Pahriyani, Ani, Andayani, Tri Murti, & Pramantara, I.Dewa Putu. (2014). Pengaruh implementasi clinical pathway terhadap luaran klinik dan ekonomik pasien acute coronary syndrome. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi (Journal of Management and Pharmacy Practice), 4(3), 146�150.

Palimbo, Adriana. (2021). Model Kombinasi Continuity Of Care Dan Interprofessional Collaboration Pada Pelayanan Kesehatan Ibu Di Kabupaten Banjar= Combination Model of Continuity of Care and Interprofessional Collaboration in Maternal Health Services in Banjar District. Universitas Hasanuddin.

Rahim, Iradhatullah, & Hengky, Henni Kumaladewi. (2020). Karakteristik Ibu Bersalin dengan Sectio Caesarea di Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan, 3(2), 257�264.

Rosellah, Rosellah. (2013). Distribusi Kejadian Seksio Sesarea di Rumah Sakit Khusus Daerah Ibu dan Anak (RSKDIA) Siti Fatimah Makassar Periode Mei Tahun 2013. Dibimbing oleh Risnah dan Rosdianah. Univeritas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Sativa, Vanda, Sjaaf, Amal Chalik, & Wibowo, Adik. (2022). Strategi Implementasi Clinical Pathway Terhadap Mutu Pelayanan Obstetri di Rumah Sakit pada Masa Pandemi Covid-19: Systematic Review. Media Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia (MPPKI), 5(3), 248�256.

Sumarni, Tintin, & Yulastri, Yulastri. (2019). Clinical Pathway dalam Pelayanan Sectio Caesar. NERS Jurnal Keperawatan, 15(1), 54�59.

 

Copyright holder:

Agnes Vianti, Pujiyanto (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: