Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 9, September 2022
Agnes Vianti, Pujiyanto
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Di RS Hermina Jatinegara (RSH
JTN) persentase tindakan SC pada persalinan adalah sebesar 75% dari total
kelahiran hidup di tahun 2020. SC sendiri selalu menempati urutan teratas jenis
tindakan terbanyak yang dilakukan di RSH JTN sejak 2013 sampai 2020. Pada tahun
2021 jumlah tindakan SC pasien BPJS di RSH JTN adalah 512 tindakan dari total
1.191 tindakan SC dengan total biaya RS sebesar Rp. 7.622.743.465 sementara
tarif INA CBGs yang bisa diklaim adalah Rp. 2.953.697.700 sehingga terdapat
selisih negatif sebesar Rp. 4.669.045.765. Penelitian ini dibuat dengan tujuan
untuk mengetahui berapa sebenarnya biaya tindakan SC pada pasien BPJS yang
dilakukan dengan penerapan clinical pathway untuk memahami pentingnya clinical
pathway dalam kendali mutu dan kendali biaya. Metode penelitian ini adalah
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menampilkan bahwa biaya tindakan SC
pasien BPJS dengan penerapan clinical pathway ternyata lebih rendah
daripada tanpa clinical pathway . Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penerapan clinical pathway pada tindakan SC memang dapat
mengendalikan biaya tanpa mengurangi mutu layanan di RS.
Kata Kunci
: sectio caesarean, clinical
pathway , INA CBG, selisih coding
Abstract
At
Hermina Jatinegara Hospital (RSH JTN) the percentage of SC is 75% of the total
live births in 2020. SC itself has always topped the list of the most types of
actions performed at RSH JTN from 2013 to 2020. In 2020, the number of SC of
BPJS patients at RSH JTN was 512 of 1.191 SC in total with a total cost of Rp.
7.622.743.465 while the INACBGs rate that can be claimed is Rp. 2.953.697.700
so that there is a negative difference of Rp. 4.669.045.765. This study was
made with the aim of knowing how much actually SC cost of BPJS patients with
the implementation of clinical pathway to understand the importance of clinical
pathway for quality control and cost control. This research method is
qualitative descriptive. The results showed that the
cost of SC of BPJS patients with the application of clinical pathway turned out
to be lower than without clinical pathway. Thus it can be concluded that the
application of clinical pathway to SC actions can indeed control costs without
compromising the quality of service in hospitals.
Keywords :
sectio caesarean, clinical pathway, INA CBG, coding difference
Pendahuluan
Pada tahun 2021
dari 154 negara yang mewakili 94,5% kelahiran hidup di dunia, 21,1% diantaranya
dilakukan dengan sectio caesarean (SC). Di Indonesia persalinan yang dilakukan
dengan cara sectio caesarian (SC) juga memiliki persentase yang cukup besar
(Betran et al., 2021). Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Nasional menampilkan data di tahun 2018
sebesar 17,6% dari 78.736 persalinan dilakukan dengan cara SC. Jumlah ini
mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2013 yaitu hanya sebesar
9,8%. Menurut Riskesdas juga di DKI Jakarta terdapat peningkatan proporsi
tindakan SC yaitu dari 17,6% di tahun 2013 menjadi 31,1% di tahun 2018 (Manoppo, 2022).
RS Hermina
Jatinegara (RSH JTN) adalah sebuah RS swasta tipe B yang berlokasi di Jakarta
Timur. Di RSH JTN, jumlah tindakan SC selalu menempati urutan teratas jenis
tindakan terbanyak yang dilakukan di RSH JTN sejak 2013 sampai 2020.
Pada tahun 2020 jumlah tindakan SC
adalah sebanyak 1.299 dari 1.791 kelahiran hidup atau sebesar 75%. Dari 1.299
tindakan tersebut 530 di antaranya adalah pasien JKN. Total biaya RS untuk
Tindakan SC pasien JKN adalah sebesar Rp7.983.821.070 dengan tarif INA CBG yang
bisa diklaim sebesar Rp3.237.411.600 sehingga selisih negatif yang terjadi
adalah sebesar Rp4.746.409.470 untuk seluruh pasien sebesar Rp.� 8.955.489 per pasien.
Sementara di
tahun 2021 jumlah tindakan SC pada persalinan adalah sebanyak 1.191 dari 1.557
kelahiran hidup atau sebesar 76,49%. Secara persentase memang meningkat namun
dari segi jumlah terdapat penurunan dibanding tahun 2020. Dari 1.191 tindakan SC
tersebut 512 di antaranya adalah pasien JKN. Total biaya RS untuk Tindakan SC
pasien JKN adalah sebesar Rp7.622.743.465 dengan tarif INA CBG yang bisa
diklaim sebesar Rp2.953.697.700 sehingga selisih negatif yang terjadi
adalah sebesar Rp4.669.045.765 untuk seluruh pasien sebesar Rp9.119.230 per
pasien.
Dari tahun 2020 ke 2021 terdapat
peningkatan biaya RS untuk tindakan SC sementara tidak ada perubahan tarif� INA CBG yang bisa diklaim. Hal ini membuat RS
mengalami kerugian yang meningkat. RS telah mengeluarkan
biaya seperti pembayaran honor dokter, pembelian obat dan BMHP juga pembayaran
untuk pemeriksaan penunjang laboratorium. Kerugian RS ini selain membuat
kinerja RS menjadi buruk, juga akan menjadi masalah cash flow.
Clinical
pathway untuk tindakan SC di RSH JTN dibuat pada tahun 2016 dan
disahkan penggunaannya pada tahun 2017 dengan Keputusan Direktur nomor
1032/KEP-DIR/RSHJTN/III/2017. Dengan dibuatnya clinical pathway tersebut, diharapkan tindakan SC yang dilakukan di
RSH JTN dapat berpedoman terhadap clinical
pathway termasuk didalamnya jenis pemeriksaan penunjang, pemilihan jenis
obat baik selama operasi maupun sesudah operasi, konsultasi kepada dokter
spesialis yang diperlukan dan perkiraan lama rawat.
Dari hasil audit clinical pathway di RSH JTN yang dilakukan secara kuantitatif
menunjukkan data bahwa penerapan clinical
pathway untuk tindakan SC di tahun 2020 adalah 79% dan di tahun 2021 adalah
86%. Peningkatan kepatuhan penerapan clinical
pathway seharusnya dapat membantu terkendalinya biaya RS. Namun demikian
ternyata selisih antara biaya RS dengan tarif INA CBG per tindakan
SC justru semakin meningkat di tahun 2021. Hal ini yang menjadi latar belakang
penulis untuk mengangkat masalah ini.
Sectio Caesaria
Secara harfiah, sectio caesarea sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua kata yang
mana kata utama yakni �caedare� yang
bermakna membedah. Pengertian sectio
caesarea ini sendiri adalah sebuah jenis pertolongan operasi persalinan.
Dijelaskan bahwa tindakan ini bertujuan untuk menyelamatkan ibu maupun bayi
dengan cara melakukan operasi persalinan atau bahasa awamnya pembedahan. Faktor
yang cukup ditakutkan dalam operasi persalinan ini adalah adanya bahaya infeksi
setelah operasi persalinan sehingga perawatan setelah operasi adalah salah satu
hal yang memerlukan perhatian lebih mendalam untuk menurunkan angka kesakitan
dan kematian ibu dan neonatus (Apriliani, 2015).
Sectio
caesarea merupakan tindakan medis yang diperlukan untuk membantu
persalinan yang tidak bisa dilakukan secara normal akibat masalah kesehatan ibu
atau kondisi janin. Tindakan ini diartikan sebagai pembedahan untuk melahirkan
janin dengan membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu
histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim. Namun demikian, tindakan sectio caesarea tidak lagi dilakukan
semata-mata karena pertimbangan medis, tetapi juga termasuk permintaan pasien
sendiri atau saran dokter yang menangani. Sectio
caesarea memang memungkinkan seorang wanita yang akan bersalin untuk
merekayasa hari persalinan sesuai keinginan. Bedah caesar kadang dilakukan karena adanya kepercayaan yang berkembang
di masyarakat yang mengaitkan waktu kelahiran dengan peruntungan nasib anak
dengan harapan apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam tertentu akan
memperoleh rezeki dan kehidupan yang lebih baik (Rosellah, 2013).
Sectio
caesarea merupakan teknik pengeluaran janin melalui insisi dinding
abdomen (laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Persalinan dengan sectio caesarea memiliki risiko kematian
25 kali lebih besar dan risiko infeksi 80 kali lebih tinggi jika dibandingkan
dengan persalinan normal (Rahim & Hengky, 2020).
Clinical Pathway
Clinical
pathway (CP) adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang
merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar
pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan tenaga
kesehatan lainnya seperti standar asuhan gizi dan standar asuhan
kefarmasian yang
berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur dan dalam jangka waktu tertentu
selama pasien dirawat di rumah sakit (Kirana Pritasari, Kirana Pritasari, Gustina, &
Gustina, 2014). Clinical pathway merupakan rencana
multidisiplin yang memerlukan praktik kolaborasi dengan pendekatan tim melalui
kegiatan hari demi hari, berfokus pada pasien, dengan kegiatan yang sistematis
dan memasukkan standar outcome (Palimbo, 2021).
Clinical pathway adalah
sebuah rencana penatalaksanaan pasien yang bersifat multidisiplin, yang berisi
detail langkah-langkah penanganan seorang pasien mulai dari saat masuk rumah
sakit sampai dengan keluar (Meo, 2015). Clinical pathway juga disebut-sebut
harus menjadi salah satu komponen dari DRG-casemix yang mana sangat berkaitan erat dalam segi pembiayaan dan
peningkatan mutu pelayanan. Disebutkan bahwa terdapat 2 hal yang paling
mendasar dari suatu clinical pathway, yaitu
tipe pelayanan yang diberikan dan kerangka waktu pelayanan tersebut diberikan.
Oleh sebab itu, dalam penyusunan format clinical
pathway ini harus mencakup kedua komponen dasar tersebut dan harus sesuai
dan mencakup keseluruhan definisi yang disebutkan di atas. Hal ini disebabkan
oleh karena clinical pathway nantinya
harus mampu menyajikan suatu alur pelayanan klinik sejak pasien masuk sampai
keluar rumah sakit.
Manfaat penting
penyelenggaraan clinical pathway adalah
mutu pelayanan kesehatan menjadi lebih baik, adanya kepastian rencana untuk
tata laksana pasien, mengurangi length of
stay pasien dan mengontrol biaya bila diterapkan dengan baik (Paat, Kristanto, & Kalalo, 2017). Clinical pathway juga dapat mengurangi
variasi, meningkatkan kualitas pelayanan dan memaksimalkan outcomes pada
kelompok pasien tertentu (Sativa, Sjaaf, & Wibowo, 2022). Namun demikian implementasi clinical pathway tetap membutuhkan
pendekatan yang cukup hati-hati untuk memahami penghalang struktural dan masalah
khusus yang dialami staf klinik (Thursky et
al., 2018). Penerapan clinical pathway merupakan sebuah
pendekatan yang dapat digunakan dalam rasionalisasi biaya tanpa mengurangi
mutu. Dengan demikian, sesungguhnya pegimplementasian clinical pathway erat kaitannya dengan clinical governance, dimana yang sangat diutamakan adalah menjaga
mutu pelayanan namun dengan memberikan estimasi biaya yang terjangkau tanpa
merugikan pihak pemberi jasa pelayanan.
Tarif dan Biaya
Rumah Sakit
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 85
tahun 2015 tentang Pola Tarif Nasional Rumah Sakit menyebutkan bahwa tarif
rumah sakit
adalah imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas jasa
dari kegiatan pelayanan maupun non pelayanan yang diberikan kepada pengguna
jasa. Tarif rumah sakit untuk
kegiatan pelayanan diperhitungkan berdasarkan komponen jasa sarana dan jasa
pelayanan pada rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat. Komponen jasa sarana
merupakan imbalan yang diterima oleh rumah sakit atas
pemakaian akomodasi, bahan non medis, obat- obatan, bahan/alat kesehatan habis
pakai yang digunakan langsung dalam rangka pelayanan medis dan pelayanan penunjang medis. Komponen
jasa pelayanan merupakan imbalan yang diterima oleh pemberi pelayanan atas jasa
yang diberikan kepada pasien dalam rangka pelayanan medis, pelayanan penunjang medis dan/atau
pelayanan lainnya. Jasa pelayanan terdiri atas jasa tenaga kesehatan dan jasa
tenaga lainnya.
Tarif Indonesian-Case Based Groups
yang selanjutnya disebut Tarif INA-CBG�s adalah besaran pembayaran klaim oleh
BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket
layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur.
Tarif INA-CBG�s yang lebih kecil daripada tarif RS menyebabkan terjadinya
selisih negatif. Penerapan clinical
pathway dapat menurunkan lama hari rawat sehingga kualitas pelayanan
semakin membaik (Damara, Sari, & Sari, 2022). Lama rawat
bisa dipersingkat dengan cara mengembangkan clinical
pathway yang
di dalamnya mengikutsertakan
perawatan medis sehingga dapat
digunakan� sebagai upaya untuk
menghindari komplikasi.
Penelitian sebelumnya tentang clinical pathway telah menguji
efektifitas suatu clinical pathway dalam
memperbaiki proses dan luaran pasien yaitu dengan memperpendek hari rawatan dan
menurunkan biaya rumah sakit atau unit cost, sehingga dapat memperbaiki proses
pelayanan. Implementasi
clinical pathway dapat menurunkan
lama rawat inap pasien di rumah sakit pada pasien Acute coronary syndrome (Pahriyani, Andayani, & Pramantara, 2014). Penelitian lain juga menyatakan
terdapat penurunan average length of stay
setelah implementasi clinical pathway dan
outcomes antara sebelum dan setelah
implementasi clinical pathway mengalami
perubahan yang lebih baik pada pasien DHF. (Fadilah, 2017). Lama hari
perawatan pasien stroke Hemoragik adalah ideal pada kelompok yang mendapat
intervensi nursing Clinical Pathway (Jayanti
& Hariyati, 2020). Pasien stroke
Iskemik Akut membuktikan bahwa kepatuhan pengisian formulir clinical pathway oleh dokter dan case
manager yang mencapai 80% serta sinergi seluruh manajemen RS dan tim multi
disiplin menjadi kunci keberhasilan dan penerapan Clinical Pathway (Sumarni & Yulastri, 2019).
Metode Penelitian
Penelitian ini
dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Data primer didapatkan dari
hasil wawancara mendalam dengan dokter spesialis obsgin, dokter spesialis
anestesi, dokter ruangan, Kepala Perawatan
Kamar Operasi,
Kepala Instalasi Farmasi dan Manajer Marketing (Fikriya, Sriatmi, & Jati, 2016). Data sekunder terkait rincian biaya
didapatkan dari berkas rekam medis, data keuangan dan data casemix. Sampel
diambil dari total semua tindakan dengan teknik purposive sampling sehingga
menghasilkan sampel sebanyak 504 tindakan untuk tahun
2020 dan 397 tindakan untuk
tahun 2021. Kriteria inklusi yang dipakai adalah
pasien� SC, jaminan BPJS Kesehatan dengan
deskripsi INA CBGS : Operasi Pembedahan Caesar (Ringan),� tanpa penyakit penyerta, telah
dilakukan penerapan
Clinical Pathway dalam tata laksananya.
Kriteria eksklusi adalah pasien mengalami penyulit dalam perjalanannya, ada
permintaan obat dan BMHP yang dibutuhkan karena perjalanan penyakit namun tidak
sesuai dengan formularium nasional.
Hasil dan Pembahasan
Terdapat penurunan
jumlah tindakan SC di tahun 2021 namun justru didapatkan peningkatan
selisih negatif antara tarif RS dan coding per pasien yaitu dari Rp8.955.489� di tahun 2020
menjadi Rp9.119.230 di tahun 2021 atau terdapat kenaikan sekitar 1,8%
Rincian item
yang menjadi pembentuk biaya RS untuk tiap tindakan SC yang digunakan dalam
proses penagihan melalui sistem e-klaim adalah : prosedur bedah (termasuk
didalamnya honor dokter operator, dokter asisten operator, dokter anestesi dan sewa
kamar OK), Sewa Kamar, Obat (termasuk BMH, APD dan sewa alkes), dan Pemeriksaan Laboratorium (termasuk kebutuhan darah). Berikut disampaikan beberapa data yang
diperoleh :
Tabel 1
Distribusi Pasien
|
2020 |
2021 |
||
Distribusi Umur (tahun) |
|
% |
|
% |
17-26 |
98 |
19,37% |
91 |
22,92% |
27-36 |
332 |
65,61% |
260 |
65,49% |
37-46 |
75 |
25,60% |
45 |
19,91% |
47-56 |
1 |
1,92% |
1 |
4,00% |
Total |
506 |
|
397 |
|
|
|
|
|
|
Distribusi Kelas Perawatan |
|
|
|
|
Kelas 1 |
293 |
57,91% |
226 |
56,93% |
Kelas 2 |
52 |
10,28% |
25 |
6,30% |
Kelas 3 |
161 |
31,82% |
146 |
36,78% |
Total |
506 |
|
397 |
|
|
|
|
|
|
Length
of Stay Rawat Inap (hari) |
|
|
|
|
2 |
0 |
0% |
5 |
1,26% |
3 |
250 |
49,41% |
223 |
56,17% |
4 |
246 |
48,62% |
163 |
41,06% |
5 |
10 |
1,98% |
6 |
1,51% |
Total |
506 |
|
397 |
|
Tabel 4
Data Tarif
RS untuk tindakan SC per kelas
|
2020 |
2021 |
||||||||
Tarif RS |
Kelas 1 |
Kelas 2 |
Kelas 3 |
Kelas 1 |
% |
Kelas 2 |
% |
Kelas 3 |
% |
|
|
Min |
11.896.228 |
6.956.675 |
4.803.097 |
13.010.652 |
9,37% |
10.505.861 |
51,02% |
7.755.009 |
61,46% |
|
Max |
43.060.742 |
20.324.368 |
17.968.176 |
49.679.918 |
15,37% |
23.571.450 |
15,98% |
19.439.390 |
8,19% |
|
Rerata |
16.227.591 |
13.043.364 |
10.420.671 |
17.314.093 |
6,70% |
13.648.067 |
4,64% |
11.930.197 |
14,49% |
Honor Dokter |
3.062.140 |
2.594.676 |
1.998.978 |
3.062.140 |
Tetap |
2.594.676 |
Tetap |
1.998.978 |
Tetap |
|
Sewa OK |
5.313.000 |
4.251.000 |
3.189.000 |
5.579.000 |
5% |
4.464.000 |
5% |
3.348.000 |
5% |
|
Sewa Kamar |
876.000 |
526.000 |
219.000 |
920.000 |
5% |
552.000 |
5% |
230.000 |
5% |
|
Obat |
� |
� |
� |
|
|
|
|
|
|
|
|
Min |
1.030.415 |
1.526.491 |
1.485.631 |
1.780.094 |
72,76% |
1.101.047 |
-27,87% |
494.942 |
66,68% |
|
Max |
13.760.425 |
9.373.092 |
10.413.514 |
13.220.128 |
-3,93% |
8.239.959 |
-12,09% |
9.043.117 |
-13,16% |
|
Rerata |
4.990.706 |
4.347.271 |
3.301.920 |
6.192.405 |
24,08% |
5.104.883 |
17,43% |
3.345.729 |
1,33% |
Laboratorium |
� |
� |
� |
|
|
|
|
|
|
|
|
Min |
65.400 |
65.400 |
65.400 |
142.000 |
17,13% |
142.000 |
17,13% |
142.000 |
17,13% |
|
Max |
5.603.745 |
2.346.000 |
5.419.000 |
5.910.000 |
5,47% |
2.111.000 |
-10,02% |
2.626.800 |
47,25% |
|
Rerata |
643.293 |
486.143 |
567.569 |
639.689 |
-0,56% |
588.600 |
21,07% |
692.481 |
7% |
Dari data di atas
didapatkan gambaran usia untuk pasien
SC dengan proporsi terbesar ada pada kelompok usia 27-36 tahun baik di tahun
2020 maupun 2021. Kelas perawatan
yang paling banyak diambil
oleh pasien adalah kelas 1. Terdapat sedikit perubahan proporsi jumlah peserta di tahun 2021 yaitu adanya penurunan
di kelas 2 (dari 10,28% menjadi 6,3%) dan peningkatan jumlah peserta kelas 3 (dari 31,82% menjadi 36,78%), sementara length
of stay perawatan selama 2 hari mengambil proporsi terbesar di tahun 2020 dan 2021 (Meliala, 2021).
Terdapat kenaikan
total tarif RS rata � rata sebesar
8% untuk semua kelas. Dalam tarif
tersebut persentase kenaikan terbesar adalah pada komponen tarif laboratorium yaitu sebesar 37%, namun nominalnya paling kecil diantara pembentuk tarif lainnya. Obat mengalami
kenaikan sebesar 16% dan dengan nominal yang cukup besar maka total tarif RS pun pada akhirnya menjadi semakin besar. Yang menjadi perhatian di sini adalah bahwa besaran
tarif untuk sewa OK, sewa kamar
dan honor dokter yang sejalan
dengan kelas perawatan. Semakin tinggi kelas perawatan
maka tarif akan semakin mahal. Sementara besar kecilnya harga obat dan laboratorium ternyata tidak selalu sejalan dengan naiknya kelas perawatan. Dari data juga ditemukan bahwa besar honor dokter tahun 2020 dan 2021 adalah sama nilainya per kali Tindakan.
Untuk tarif
INA CBGS Operasi Pembedahan
Caesar (Ringan) adalah sama untuk tahun
2020 dan 2021 yaitu Rp6.981.500 untuk
kelas 1, Rp5.984.100 untuk kelas 2dam Rp4.986.800 untuk kelas 3.
Pembahasan
Dari hasil
wawancara didapatkan bahwa peningkatan biaya disebabkan oleh adanya peningkatan
tarif RS sebesar 5 % untuk sewa kamar operasi dan kamar perawatan. Terdapat pula peningkatan biaya obat
yang bersumber dari kenaikan harga jual obat - obatan dan BMHP termasuk adanya perubahan dari segi jenis dan jumlah yang digunakan untuk pasien SC walaupun telah
diupayakan tata laksana sesuai dengan clinical pathway. Informasi yang didapatkan
dari dokter operator menyebutkan bahwa
sebenarnya memang pada awalnya sudah berniat
menerapkan clinical pathway untuk
kasus - kasus yang tanpa penyulit, namun dalam perjalanannya beberapa kali
terjadi perburukan kondisi pasien sehingga membutuhkan tambahan terapi misalnya
perdarahan yang lebih banyak dari perkiraan sehingga harus mendapatkan
transfusi darah. Atau dalam proses penjahitan lapisan perut ternyata benang
yang sudah diperhitungkan sebelumnya ternyata tidak mencukupi sehingga harus
ditambah. Ada pula kejadian dimana pasien merasa sangat kesakitan pasca operasi
sehingga harus mendapatkan tambahan terapi analgetik intra vena. Di clinical pathway memang sudah disebutkan
jenis obat yang akan digunakan namun memang tidak
disampaikan alternatif jenis obat yang lain sehingga bila didapatkan
kasus spesifik seperti yang disampaikan di atas DPJP bisa langsung meresepkan obat lain yang mungkin harganya jauh lebih
mahal dibandingkan dengan obat yang tercantum pada Clinical
Pathway.
Tarif pemeriksaan
laboratorium mengalami kenaikan sebesar 37%.. Sementara Kepala
Instalasi Laboratorium menginformasikan bahwa kenaikan tarif tahunan untuk pemeriksaan
laboratorium adalah sebesar 8% sehingga perlu dilakukan analisa lebih lanjut
faktor apa sebenarnya yang menyebabkan kenaikan biaya laboratorium tersebut. Dari data
juga diketahui bahwa besaran biaya farmasi
dan laboratorium tidak selalu sebanding dengan kenaikan kelas perawatan. Hal ini adalah karena
di RS Hermina Jatinegara memang
tidak membedakan harga obat dan tarif pemeriksaan penunjang untuk semua kelas perawatan
sehingga besar kecilnya biaya sebagian besar tergantung dari perjalanan klinis pasien dan tata laksana yang diberikan oleh DPJP.
Tidak didapatkan
perubahan besaran jasa
tindakan dokter operator dan dokter asisten karena RS menetapkan
bahwa besaran jasa medis adalah
proporsional dengan nilai coding INA CBGs sehingga dengan tidak berubahnya
nilai coding maka jasa medis juga tidak akan berubah.
Beberapa kasus
tidak terduga yang
disebutkan sebelumnya tersebut pada akhirnya akan menambah besar biaya untuk tindakan SC. Sementara berapapun biaya
yang dikeluarkan tentu tidak akan mengubah nilai
coding INA CBGs menjadi lebih
tinggi �kecuali dapat meningkatkan severity level yang
justru menjadi kriteria eksklusi dari penelitian ini.
Kesimpulan
Clinical
pathway pada pasien SC
dengan kasus tanpa penyulit lain sangat diperlukan untuk mengendalikan biaya
tanpa mengurangi mutu pelayanan terhadap pasien. Clinical pathway memang tidak serta merta
dapat mengurangi biaya bila dihadapkan dengan masalah peningkatan tarif RS baik sewa
kamar maupun harga obat dan tarif laboratorium namun
setidaknya dapat memperkirakan kisaran biaya yang dibutuhkan. Penggunaan clinical pathway untuk tindakan SC yang
sudah dipatuhi oleh para DPJP cukup banyak membantu untuk menekan biaya, namun saat ini
tetap tidak dapat mengejar selisih akibat kenaikan tarif tahunan RS karena
tarif INA CBGs yang digunakan untuk melakukan klaim pembiayaan pasien JKN
belum pernah berubah sejak ditetapkan pertama kali.Terkait penyulit
yang mungkin terjadi selama masih bisa diketahui dan dicegah sebelumnya tentu
akan lebih baik. Seperti pemantauan Hb selama hamil sehingga saat SC tidak
terjadi penurunan Hb yang cukup drastis sehingga membutuhkan tambahan transfusi
darah. Pada akhirnya clinical pathway memang
tetap dibutuhkan untuk menjamin pengendalian mutu dan biaya namun
akan lebih bermanfaat bila RS membuat suatu pedoman� yang lebih spesifik dalam menyebutkan� alternatif jenis obat dan BMHP yang dibutuhkan
yang bila dinilai dari nominal harganya� dapat mengakomodasi kendali biaya untuk Tindakan SC.
Apriliani, Rizky Ayu. (2015). Pengaruh Yoga
Prenatal terhadap kecemasan sesaat dalam menghadapi persalinan pada
primigravida trimester III Digalenia Mom and Baby Center Kota Bandung.
Fakultas Psikologi (UNISBA).
Damara,
A.Yoghi, Sari, Fitri Eka, & Sari, Nurhalina. (2022). Perbedaan Tarif Rumah
Sakit Dan Tarif Ina-Bg�s Di Rsud Ryacudu Kotabumi Tahun 2020. Indonesian
Journal of Health and Medical, 2(3), 322�332.
Fikriya,
Khasna, Sriatmi, Ayun, & Jati, Sutopo Patria. (2016). Analisis Persetujuan
Tindakan Kedokteran (Informed Consent) Dalam Rangka Persiapan Akreditasirumah
Sakitdi Instalasi Bedah Sentral Rsud Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat (Undip), 4(1), 44�54.
Jayanti,
Lia Dwi, & Hariyati, Rr Tutik Sri. (2020). Development of Management
Information Systems with Integrated Clinical Pathway on the Quality of Nursing
Services. Jendela Nursing Journal, 4(1), 13�19.
Kirana
Pritasari, MQIH, Kirana Pritasari, MQIH, Gustina, Eni, & Gustina, Eni.
(2014). Kurikulum dan Modul Pendukung Pedoman Penanganan Kasus Rujukan
Kelainan Tumbuh Kembang Balita. Kementrian kesehatan RI.
Manoppo,
Jeanette. (2022). Buku Ajar Gangguan Fungsional Gastrointestinal Pada Anak.
Nas Media Pustaka.
Meliala, Palmy
Rawinda. (2021). Perbandingan Algoritma Machine Learning Untuk
Survivabilitas Dan Biaya Pengobatan Pasien Kanker Paru-Paru Di Taiwan.
Meo, Maria
Yulita. (2015). Pengembangan sistem informasi manajemen keperawatan dengan
integrated clinical pathway untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Jurnal
Manajemen Keperawatan, 3(1), 48�55.
Paat,
Cicilia, Kristanto, Erwin, & Kalalo, Flora P. (2017). Analisis Pelaksanaan
Clinical Pathway di RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal Biomedik: JBM,
9(1).
Pahriyani,
Ani, Andayani, Tri Murti, & Pramantara, I.Dewa Putu. (2014). Pengaruh
implementasi clinical pathway terhadap luaran klinik dan ekonomik pasien acute
coronary syndrome. Jurnal Manajemen dan Pelayanan Farmasi (Journal of
Management and Pharmacy Practice), 4(3), 146�150.
Palimbo,
Adriana. (2021). Model Kombinasi Continuity Of Care Dan Interprofessional
Collaboration Pada Pelayanan Kesehatan Ibu Di Kabupaten Banjar= Combination
Model of Continuity of Care and Interprofessional Collaboration in Maternal
Health Services in Banjar District. Universitas Hasanuddin.
Rahim,
Iradhatullah, & Hengky, Henni Kumaladewi. (2020). Karakteristik Ibu
Bersalin dengan Sectio Caesarea di Rumah Sakit Umum Daerah Andi Makkasau
Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia Dan Kesehatan, 3(2), 257�264.
Rosellah,
Rosellah. (2013). Distribusi Kejadian Seksio Sesarea di Rumah Sakit Khusus
Daerah Ibu dan Anak (RSKDIA) Siti Fatimah Makassar Periode Mei Tahun 2013.
Dibimbing oleh Risnah dan Rosdianah. Univeritas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Sativa,
Vanda, Sjaaf, Amal Chalik, & Wibowo, Adik. (2022). Strategi Implementasi
Clinical Pathway Terhadap Mutu Pelayanan Obstetri di Rumah Sakit pada Masa
Pandemi Covid-19: Systematic Review. Media Publikasi Promosi Kesehatan
Indonesia (MPPKI), 5(3), 248�256.
Sumarni,
Tintin, & Yulastri, Yulastri. (2019). Clinical Pathway dalam Pelayanan
Sectio Caesar. NERS Jurnal Keperawatan, 15(1), 54�59.
Copyright holder: Agnes Vianti, Pujiyanto (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |