Syntax Literate: Jurnal
Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 eISSN: 2548-1398
Vol.
7,
No.
8,
Agustus 2022
KOMUNIKASI
KRISIS KEMENKES RI SELAMA MASA PANDEMI
Salsabila Ulie Mizana Hadori
Institute
Communication and Business LSPR Jakarta, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Selama masa pandemi Covid-19, banyak informasi yang simpang-siur; mulai dari bagaimana
proses penyebaran virus, keraguan
akan adanya Covid-19, hingga kandungan vaksin yang diklaim beberapa orang meragukan dan tidak bisa digunakan
untuk manusia. Munculnya informasi tidak benar dan hoaks berimbas langsung pada Kemenkes RI sebagai salah satu lembaga kesehatan di Indonesia,
dan juga program vaksinasi yang tengah
dilakukan saat ini. Isu-isu negatif
dan hoaks ini membuat masyarakat menjadi takut dan kehilangan kepercayaan terhadap lembaga berwenang. Akibatnya, program vaksinasi Covid-19 menjadi terhambat, dan persebarannya tidak merata di seluruh daerah. Teori yang dipakai ialah Teori Komunikasi
Krisis Situasional. Dalam melawan hoaks
dan informasi bohong, Kemenkes RI menggunakan situs dan
akun Instagram resminya.
Kata
Kunci: komunikasi krisis, covid-19, Kemenkes RI, vaksin
Abstract
During the
Covid-19 pandemic, there are a lot of misinformation about the virus; such as how
the virus is transmitted, doubts towards Covid-19, to the substances inside the
vaccine which is claimed harmful by some people. Hoaxes and misinformation have
negative impact towards Indonesia�s Health Ministry (Kemenkes
RI), as a health organization in Indonesia, and also to the vaccination
program. Negative issues and hoaxes made people scared and lost their trust to
the health organizations and other parties responsible of the vaccine. The
vaccination program is disrupted, and not distributed as well as it�s targeted.
The theory used is Situational Crisis Communication Theory. On battling hoaxes
and misinformation, Kemenkes RI use their official
accounts; either website or Instagram platform.
Keywords:
crisis
communication, covid-19, Kemenkes RI, vaccine
Pendahuluan
Pandemi
yang melanda sejak awal 2020 mengubah rutinitas dan cara hidup masyarakat di seluruh dunia. Saat pandemi resmi dinyatakan
masuk ke Indonesia pada Maret 2020, banyak kantor dan lembaga pendidikan mengalihkan seluruh kegiatannya menjadi daring (online). Dengan
mudahnya proses penularan
virus Covid-19, mengalihkan kegiatan
dan meminimalisir aktivitas
di luar rumah menjadi salah satu cara yang ampuh untuk memutus rantai
penyebaran virus mematikan tersebut.
Memasuki bulan Juli 2021, pemerintah kemudian memberlakukan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM) Darurat pada sejumlah
wilayah di Indonesia. Ada sekitar 15 kabupaten dan kota yang diwajibkan untuk menerapkan peraturan tersebut. Dengan adanya kebijakan baru tersebut, hampir seluruh kegiatan seperti di sektor usaha maupun
pendidikan harus dilakukan dari rumah atau work from home (WFH).
Walau begitu, hingga saat ini masih
belum ada obat yang dapat mengobati atau menyembuhkan seseorang yang sudah terpapar virus Covid-19. Selain melakukan isolasi mandiri dan pengobatan intensif, cara lain yang dapat dilakukan hanyalah berupa pencegahan, bukan pengobatan, antara lain seperti mengatur pola makan,
mengatur pola tidur yang cukup dan juga vaksinasi. Hingga saat ini, di Indonesia sudah ada beberapa
jenis vaksin yang dipakai secara massal.
Hasil survei dari Puspoll Indonesia menunjukkan bahwa 56,8 persen responden takut dengan efek
samping vaksin, dan 30,5 persen lainnya ragu dengan keefektifan vaksin. Sisanya menyatakan takut jika vaksin tidak
halal, dan tidak tahu-menahu
tentang vaksin. Banyaknya beredar berita hoaks juga kerap kali membuat masyarakat menjadi takut dan ragu-ragu untuk menerima vaksin.
Lembaga-lembaga kesehatan dan media massa di
Indonesia bertugas untuk meminimalisir tersebarnya berita hoaks dan memberi edukasi kepada masyarakat tentang manfaat vaksin untuk memperkuat
daya tahan tubuh selama masa pandemi ini. Melalui
platform Instagram dan Twitter, akun resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes
RI) secara rutin memberikan update perkembangan
terkait virus dan vaksin di
Indonesia. Dengan mudahnya akses sosial media saat ini, informasi
yang diberikan oleh lembaga
kesehatan ini lebih mudah sampai
ke masyarakat. Melalui Instagram, informasi dan berita disajikan dalam bentuk infografis
yang menarik dan mudah dibaca.
Dalam komunikasi, ada sebuah strategi PR yang berubah seiring dengan majunya teknologi komunikasi, yaitu komunikasi krisis. Argenti (2009, h. 259) menjelaskan
ada tiga hal yang terjadi saat krisis ini,
yaitu adanya elemen dengan sifat
tidak terduga, informasi yang tidak lengkap dan cepatnya dinamika sebuah kejadian. Secara ringkas, Fearn-Banks (2011, h. 2)
mendefinisikan komunikasi krisis sebagai sebuah dialog yang terjadi di antara sebuah perusahaan
dengan pihak publik selama dan setelah terjadinya sebuah krisis. Kemudian G. Harisson dalam Kriyantono (2015, h. 202) mengatakan bahwa PR dalam keadaan krisis
menyediakan pesan-pesan
yang penting dan relevan dengan situasi tersebut, dan menyediakan saluran komunikasi. Hal ini disebut dengan
komunikasi krisis.
Berbagai jenis berita bohong
atau hoaks yang beredar di internet juga harus diatasi dengan cepat sebelum menyebar
lebih luas dan menambah keraguan serta ketakutan masyarakat terhadap pandemi. Media penyebaran hoaks pun tidak terbatas di media seperti
WhatsApp saja; namun juga
pada media sosial seperti
Twitter, Instagram dan TikTok. Hoaks ini dapat diakses
dengan mudah oleh siapapun yang memiliki akses internet.
Sosialisasi
yang baik dari pihak-pihak berwenang dapat menambah pengetahuan masyarakat, dalam hal ini
khususnya terkait Covid-19.
Salah satu misinformasi
yang berbahaya terkait vaksin ialah pendapat
bahwa seseorang yang sudah vaksin otomatis
kebal dengan virus. Kemenkes pada situs resminya menjelaskan, vaksin bekerja dengan cara membentuk kekebalan spesifik tubuh namun tetap
disertai dengan kepatuhan terhadap protokol kesehatan (prokes) yang berlaku, yaitu 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga
jarak).
Tidak hanya melalui sosial
media, Kemenkes menyediakan
berbagai penjelasan yang ringkas dan mudah dipahami melalui situs resminya. Hal ini menjadi salah satu upaya untuk mengedukasi
dan mengambil kembali kepercayaan rakyat terhadap vaksin, agar dapat menekan angka
kematian dan jumlah orang tertular virus Covid-19 di Indonesia. Hingga
saat ini, jumlah orang terinfeksi masih cukup tinggi,
sementara tenaga kesehatan dan rumah sakit sudah mulai
melebihi kapasitas awalnya.
Ada banyak hal yang bisa menjadi
pemicu naiknya kembali angka korban terinfeksi Covid-19, salah satunya
adalah berita bohong atau hoaks.
Musisi asal Bali, Jerinx (vokalis Superman is Dead) melalui
akun sosial medianya mengatakan bahwa Covid-19 sebenarnya tidak ada. Walaupun
menuai kecaman, masih ada dukungan
masyarakat yang disuarakan
dan merasa setuju dengan pernyataan tersebut.
Dengan tidak adanya obat
untuk virus mematikan ini, vaksin menjadi
salah satu jalan yang efektif untuk mengurangi
dan memutus rantai persebaran Covid-19. Di Indonesia, vaksin
bukanlah merupakan hal yang baru. Vaksin pertama yang diberikan di Indonesia adalah vaksin imunisasi penyakit cacar pada tahun 1956. Dengan ratanya jumlah penyebaran vaksin ini, akhirnya penyakit
cacar dapat dimusnahkan sehingga pelaksanaan imunisasi tersebut diberhentikan. Hal yang sama juga berlaku pada vaksinasi Covid-19. Maka dari itu, perlu
ada pemahaman yang baik dari masyarakat
agar jumlah vaksin yang diberikan merata. Berita hoaks dan lainnya harus ditanggulangi
dengan cepat, sehingga pemahaman dan persepsi masyarakat terhadap vaksinasi dan upaya penanggulangan Covid-19 baik.
Melalui penelitian ini, penulis ingin meninjau
lebih lanjut praktik komunikasi krisis yang dilakukan oleh Kemenkes RI selama masa pandemi, khususnya dalam menanggapi perspektif negatif dan salah yang
terbentuk di masyarakat terhadap vaksinasi dan upaya penanggulangan pandemi Covid-19. Sebelum melakukan penelitian, penulis juga menemukan beberapa penelitian serupa seputar komunikasi krisis selama masa pandemi. Berikut ini merupakan
penelitian-penelitian� serupa
yang sudah dilakukan sebelumnya, dengan topik komunikasi krisis selama masa pandemi:
1. Komunikasi Krisis Pemerintah Indonesia dalam Penanganan Covid-19.
Muhammad Saiful Aziz, Moddie Alvianto
Wicaksono. Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas
Gajah Mada. Departemen Ilmmu Komunikasi, Universitas
Pembangunan Negeri Veteran Jakarta.
2. Komunikasi Krisis dalam New Normal.
Irene Silviani, Inggrit Febriani Pardede, David Cardona Sembiring. Universitas Darma
Agung, Medan.
3. Kegiatan Komunikasi Krisis Pemerintah di Masa Pandemi
Covid-19. Maharani Imran. Universitas Persada
Indonesia YAI.
Pada ketiga penelitian ini, komunikasi krisis ditinjau dari pihak
pemerintah sedangkan pada penelitian ini, penulis ingin melihat
praktik komunikasi krisis dari pihak
Kemenkes sebagai lembaga kesehatan di Indonesia, dalam menghadapi perspektif negatif masyarakat terkait vaksinasi dan upaya penanggulangan Covid-19 di Indonesia.
Penelitian ini juga ingin melihat cara Kemenkes
mensosialisasikan manfaat vaksin dan sosialisasi prokes, khususnya di tengah pandemi; di mana berita bohong atau
hoaks dan informasi yang misleading
banyak tersebar dan berpotensi menakuti masyarakat, menimbulkan keraguan dan ketidakpatuhan terhadap prokes.
Metode Penelitian
Pada penelitian ini, penulis memakai
pendekatan ilmiah kualitatif deskriptif. Metode ini bertujuan
untuk mengeksplor dan memaparkan fakta. Creswell (2016,
h. 4) mendefinisikan penelitian
kualitatif sebagai sekumpulan metode yang digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna, yang dianggap berasal dari masalah
sosial ataupun kemanusiaan.
����������� Menurut Moleong (2002, h. 3), penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang kemudian menghasilkan data deskriptif, berupa tulisan atau lisan, dan berasal dari orang ataupun perilaku yang dapat diamati. Dengan metode ini,
sumber data yang akan digunakan memiliki karakteristik alami atau natural dan dipaparkan secara deskriptif. Penelitian deskriptis bermaksud untuk memaparkan dan menggambarkan keadaan sesungguhnya dari objek penelitian.
Data yang terkumpul bukan
data berupa angka, melainkan naskah hasil wawancara, catatan, dokumen pribadi dan data lainnya.
����������� Nasution
(2003, h. 24) mengemukakan penelitian
deskriptif sebagai suatu penelitian yang ingin menghasilkan deskripsi gambaran jelas tentang situasi
sosial tertentu. Penelitian deskriptif ingin menghasilkan interpretasi data tentang objek yang bersifat apa adanya; tanpa
manipulasi. Laporan terkait objek yang diteliti sesuai dengan keadaan saat itu, natural atau alamiah. Tujuannya
adalah untuk memaparkan fenomena atau permasalahan yang sedang diteliti oleh penulis.
����������� Untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan, penulis mengumpulkan data dari berbagai sumber yang tersedia. Sumber data primer yang
akan penulis gunakan ialah akun
resmi Instagram dan Twitter milik
Kemenkes RI kemudian, sumber data lain berupa berita atau publikasi
dari pihak lain di luar Kemenkes RI kemudian untuk memperkaya hasil penelitian, penulis juga melakukan studi pustaka. Melalui metode ini, penulis
mengumpulkan data berupa dokuman, foto, gambar ataupun data elektronik yang dapat melengkapi penelitian ini. Sugiyono (2005, h. 83) menyebutkan bahwa sebuah penelitian akan menjadi lebih
kredibel, jika didukung dengan foto ataupun karya
tulis akademik yang telah ada sebelumnya.
����������� Studi pustaka dapat mempengaruhi
kredibilitas penelitian, sehingga penulis berharap referensi yang digunakan pada penelitian ini dapat melengkapi
dan memperkaya penelitian secara keseluruhan. Penulis menggunakan buku dan jurnal terdahulu, untuk dijadikan referensi penelitian ini dan sebagai pelengkap hasil penelitian.
Hasil
dan Pembahasan
Melihat kembali penjabaran terkait komunikasi krisis, krisis yang ingin dikaji pada penelitian ini ialah kurangnya sosialisasi dan pengendalian hoaks seputar pandemi
Covid-19. Hoaks yang beredar
khususnya terkait dengan program vaksinasi, yang ditargetkan pemerintah Indonesia untuk seluruh penduduk
dengan usia 18 tahun ke atas.
����������� Ada banyak
kasus berita hoaks terkait program vaksinasi di Indonesia. Salah satunya
adalah kasus yang terjadi pada 2 Februari 2021. Ada
sejumlah penduduk di daerah Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur yang bersembunyi
di hutan karena takut akan divaksin.
Kapolres Alor, AKP Agustinus Christmas kemudian menjelaskan bahwa warga takut setelah
mendapatkan informasi salah
tentang vaksinasi Covid-19
di media sosial.
����������� Bahkan setelah mendapatkan penjelasan dari pihak berwenang, beberapa warga tetap memilih untuk
bersembunyi di hutan karena tidak ingin
divaksin. Sementara,
program vaksin ditargetkan untuk semua penduduk
Indonesia dan tidak akan efektif bila tidak
tersebar secara merata. Pada tahap ini, peran lembaga
dan pihak berwenang sangat penting agar masyarakat tetap tenang dan tidak takut dengan
vaksin.
����������� Penulis memilih satu kasus
berita hoaks atau misinformasi vaksin untuk dianalisis
pada penelitian ini. Salah satu hoaks yang sempat viral adalah pernyataan bahwa vaksin yang diedarkan di dunia mengandung microchip. Hoaks
ini sudah beredar sejak akhir
Desember 2020, awalnya mulai di Amerika Serikat. Dilansir CNBC Indonesia, penyebar
isu hoaks ini ingin mempertanyakan
motif Bill Gates dalam menyumbangkan
dana ratusan juta dolar AS untuk bantuan Covid-19.
����������� Sedangkan
di Indonesia, isu ini akhirnya juga mulai tersebar di masyarakat. Seorang pengguna media sosial mengunggah video, menunjukkan bahwa koin logam bisa
menempel pada lengan tempat disuntik vaksin. Melalui video tersebut, ia ingin
memberi bukti bahwa vaksin yang diberikan pada masyarakat mengandung microchip.
����������� Isu kemudian berkembang menjadi krisis; dibuktikan dengan banyaknya jumlah masyarakat yang takut untuk menerima vaksin. Hal ini menghambat jalannya program vaksinasi dan target pemerataan vaksin. Lembaga berwenang, Kemenkes RI kemudian memberikan banyak penjelasan dan perkembangan mengenai hoaks-hoaks yang beredar tersebut.
����������� Ada tiga tahapan komunikasi krisis yang dilakukan oleh sebuah lembaga dalam menghadapi krisis. Kemenkes RI sebaga lembaga kesehatan di Indonesia bertanggung
jawab untuk terus menginformasikan perkembangan tentang pandemi kepada masyarakat, dan menghilangkan berita hoaks serta
misinformasi.
1. Tahap pra-krisis.
Pada tahap ini, Kemenkes RI melihat isu yang sudah tersebat dan melakukan tindak preventif atau pencegahan untuk melawan hoaks. Isu yang mengatakan bahwa vaksin mengandung
microchip disebarkan oleh seseorang
melalui media sosial. Isu lain yang muncul seiringnya ialah vaksin dikatakan tidak halal dan tidak baik bagi manusia.
Melalui akun Instagram resmi, Kemenkes RI mengunggah infografis dan ilustrasi berisi informasi tentang program vaksinasi, untuk menghindari misinformasi.
Gambar 1
Ilustrasi Himbauan Vaksin Kemenkes RI
Sumber: Instagram resmi Kemenkes RI/@kemenkes_ri,
30 Januari 2021. (https://www.instagram.com/p/CKp_yR9BI5W/)
�����������
Dengan Kemenkes RI menjelaskan tentang pentingnya vaksin dengan menggunakan
sebuah komik ilustrasi dan dialog berisi informasi yang benar terkait pemberian vaksin kepada masyarakat.
Pada akhir ilustrasi, Kemenkes RI juga memberikan sebuah nomor kontak
yang bisa dihubungi untuk pertanyaan seputar Covid-19 dan vaksin.
Gambar 2
Infografis Kandungan Vaksin
Sumber: Instagram resmi Kemenkes RI/@kemenkes_RI. 5
Desember 2020. (https://www.instagram.com/p/CIaeHbvBcU_/)
�����������
Pada bulan Desember lalu, Kemenkes RI juga turut mengunggah informasi terkait kandungan vaksin akibat munculnya
rumor atau isu yang mengatakan bahwa vaksin mengandung microchip.
Melalui infografis ini, Kemenkes RI menjabarkan isi kandungan pada vaksin yang akan diberikan pada masyarakat.
Gambar 3
Ilustrasi Vaksin Halal
Sumber: Instagram resmi Kemenkes RI/@kemenkes_RI.
12 Januari 2021. (https://www.instagram.com/p/CJ8jyokhv2y/)
�����������
Kemenkes
RI juga mengunggah infografis
terkait jaminan kehalalan vaksin yang masuk ke Indonesia, pada tanggal 12 Januari 2021 lalu. Melalui unggahan
ini, Kemenkes RI menginformasikan masyarakat bahwa vaksin yang akan dipakai saat
itu, vaksin Sinovac, telah ditetapkan halal oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI).
Unggahan-unggahan ini merupakan salah satu tindak preventif
dalam menghadapi isu-isu dan misinformasi yang mulai beredar di masyarakat. Sepanjang pandemi, akun resmi
Kemenkes RI banyak membagikan perkembangan terbaru tentang virus Covid-19
dan berjalannya program vaksinasi.
2. Tahap Krisis.
Pada tahap ini, isu sudah
berkembang menjadi krisis dan mulai dipercayai oleh masyarakat sebagai hal yang benar. Sebuah video hoaks beredar mengklaim
bahwa vaksin benar mengandung microchip,
dibuktikan dengan koin logam yang menempel pada kulit seseorang; tepatnya di bagian bekas injeksi
vaksin. Dengan mudahnya akses ke akun resmi
Instagram maupun Twitter Kemenkes
RI, beberapa orang mulai menyuarakan keraguannya terhadap program vaksinasi, serta ketidakpercayaan kepada Kemenkes RI sebagai lembaga kesehatan di Indonesia. Kemudian
juga terjadi penurunan jumlah orang yang divaksin, akibat takut dan sudah terpapar dengan misinformasi.
3. Tahap Pasca-krisis.
�������� Setelah terjadi krisis, Kemenkes RI kemudian mulai memperbaiki persepsi masyarakat terkait program vaksinasi Covid-19, melihat pentingnya vaksin saat ini untuk
menekan angka korban terinfeksi. Sesuai dengan strategi komunikasi yang dipaparkan Kriyantono; harus ada tim
komunikasi dan lembaga juga
menghubungi pihak media massa untuk amplifikasi
informasi yang benar.
Gambar 4
Rilis Kemenkes RI
Sumber: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/berita-utama/20210528/1137831/hoax-vaksin-covid-19-mengandung-mikrocip-magnetis/
Melalui rilis, diketahui bahwa informasi ini disebarkan oleh pihak Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI.
Pada rilis, dijelaskan bahwa pernyataan tentang kandungan microchip yang
ada pada vaksin adalah berita bohong
hoaks. Narasumber yang digunakan untuk melengkapi berita ialah Ketua Indonesia Technical
Advisory Group on Immunization (ITAGI) Prof. Dr. dr. Sri Rezeki
Hadinegoro dan Juru Bicara (Jubir) Vaksinasi Covid-19 Kemenkes dr.
Siti Nadia Tarmidzi.
Pada
awal rilis, dijelaskan bahwa ada narasi beredar
di masyarakat yang menyatakan
bahwa ada sebuah kandungan microchip magnet
di dalam vaksin Covid-19. Berita hoaks ini
disebarkan melalui media sosial, dan pihak Kemenkes RI berharap agar masyarakat tidak terpengaruh dengan hal tersebut. Dijelaskan
juga isi unggahan video
yang beredar; yaitu seseorang yang meletakkan koin pecahan Rp 1.000 pada lengan bekas injeksi
vaksin.
Koin
yang menempel pada tangan, menurut pembuat hoaks, adalah bukti
nyata tentang kandungan microchip di vaksin.
Kemudian, ketua ITAGI Prof.
Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro
menjelaskan mengapa berita ini adalah
berita bohong. Ia mengatakan, bahwa sebuah lubang
jarum suntik terlalu kecil untuk
dilewati kandungan partikel magnet. Ia juga memaparkan isi vaksin secara ringkas;
bahwa vaksin berisi protein, garam, lipid dan pelarut,
sehingga tidak mengandung logam.
Kemudian Jubir Vaksinasi Covid-19 Kemenkes, dr. Siti Nadia Tarmidzi
juga turut menjelaskan secara ringkas isi dari vaksin
yang akan digunakan selama program vaksinasi di
Indonesia. Ia meneegaskan bahwa vaksin berisi
bahan aktif dan non-aktif yaitu antigen dan zat untuk menstabilkan
vaksin agar kualitasnya tetap baik sampai
disuntikkan ke tubuh seseorang. Jumlah vaksin yang disuntikkan juga sedikit, yaitu 0,5 cc.
Sebagai penutup, ia menerangkan
bahwa fenomena yang disebarkan pembuat hoaks melalui video bisa dijelaskan secara logis; yaitu
koin menempel pada permukaan kulit yang lembab akibat keringat.
Selain itu, uang logam pecahan seribu
rupiah tersebut terbuat dari bahan nikel
yang tidak bisa menempel dengan daya magnet.
Pada
bagian akhir rilis, Kemenkes RI juga memberikan kontak hotline
yang bisa dihubungi masyarakat serta e-mail resmi Kemenkes RI. Selain press release, media massa
kemudian juga banyak yang mulai memberitakan klarifikasi dari pihak Kemenkes RI. Berita-berita ini membantah hoaks dan misinformasi yang sudah disebarkan sebelumnya, mengamplifikasi informasi yang benar sehingga dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi.
Gambar 5
Media Massa dan Isu Kandungan Vaksin
Sumber: Google
Berbagai
media massa kemudian membagikan berita yang serupa terkait hoaks vaksin Covid-19 yang mengandung microchip. Pada situs Kompas.com, isi rilis Kemenkes
RI tersebut disebarluaskan lagi dan dirangkai menjadi sebuah berita baru yang ringkas. Hal serupa juga dilakukan oleh media Okezone dan
Suara.com. Pada badan berita, rilis
Kemenkes RI juga dijadikan
salah satu acuan informasi atau pelengkap terkait hoaks vaksin.
Media
massa lainnya juga menambahkan sumber-sumber kredibel lainnya untuk melawan hoaks
vaksin tersebut. Beberapa mengutip langsung dari situs informasi Covid-19 di Indonesia (covid19.go.id) dan menambahkan referensi dari media asing. Dengan mengumpulkan fakta dari berbagai
sumber, media massa memiliki satu persepsi
dengan Kemenkes RI; yaitu isu vaksin
mengandung microchip adalah
sebuah hoaks yang harus dihindari oleh masyarakat. Pernyataan ini didukung dengan
pendapat para ahli dan juru bicara vaksin.
Tabel 1
Ringkasan Strategi Komunikasi Krisis Kemenkes RI
Tahap Krisis |
Strategi
Komunikasi Krisis |
Pra-krisis |
1.
Signal
detection. Mendeteksi adanya isu-isu yang dapat menjadi krisis. Dalam kasus ini,
isu yang muncul adalah pernyataan bahwa vaksin Covid-19 mengandung microchip; dibuktikan
dengan menempelnya logam pada kulit bekas injeksi vaksin. 2.
Prevention. Tindakan pencegahan
yang dilakukan oleh Kemenkes
RI ialah unggahan berupa himbauan kepada masyarakat untuk tidak takut
dengan vaksin, dan taat mengikuti program vaksinasi untuk mewujudkan herd immunity. |
Krisis |
Krisis terjadi
ketika sekelompok masyarakat menerima isu dan mulai mempercayainya sebagai hal yang benar terjadi. |
Pasca-krisis |
Penyebaran informasi
yang benar dan sesuai, membantah berita hoaks yang sebelumnya sudah beredar di masyarakat. Mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat terhadap program vaksinasi Covid-19 di Indonesia. |
Setelah krisis tentang vaksin mereda, Kemenkes RI masih terus mengunggah informasi berupa rilis dan infografis menarik melalui akun-akun resminya. Selain menggunakan infografis, Kemenkes RI juga menggunakan salah satu platform
yang cukup digemari milenial saat ini,
yaitu TikTok, sebagai media
komunikasi untuk memperbaiki persepsi masyarakat terkait vaksinasi.
Melalui penelusuran yang penulis lakukan, Kemenkes RI melakukan strategi komunikasi krisis sesuai dengan
teori Krisis Komunikasi Situasional yang penulis gunakan sebagai acuan penelitian.
Selain mengeluarkan rilis sebagai respon
atas hoaks tersebut, Kemenkes RI juga menyediakan kontak untuk masyarakat bertanya seputar pandemi dan program vaksinasi. Informasi-informasi yang diberikan
dapat diakses melalui situs resmi Kemenkes RI ataupun pada akun Instagram resmi Kemenkes RI. Pada Instagram, Kemenkes
RI secara berkala mengunggah berita perkembangan terkini.
Kesimpulan
Penelitian
yang telah penulis lakukan ingin melihat
tiga tahapan strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh lembaga kesehatan Kemenkes RI, dalam menangani krisis terkait program vaksinasi di Indonesia. Krisis diawali dengan isu yang beredar pada Desember 2020. Ada pernyataan dan
unggahan video pada media sosial
yang mengatakan bahwa vaksin yang digunakan untuk melawan Covid-19 mengandung magnet.
����������� Unggahan
video tersebut memperlihatkan
seseorang yang menempelkan koin ke bagian
tangan, tepatnya bagian bekas injeksi
vaksin. Koin yang menempel kemudian dijadikan bahan bukti bahwa
ada kandungan magnet yang bisa menahan uang logam.Video ini
kemudian viral, dan menjadi
sesuatu yang membuat masyarakat ragu dan takut untuk disuntik vaksin.
����������� Salah satu
imbas negatif yang nyata akibat viralnya
berita-berita hoaks adalah ketakutan masyarakat terhadap vaksin yang terjadi di daerah Nusa Tenggara Timur. Sekelompok
warga menolak vaksin karena takut
setelah membaca informasi misleading tentang
vaksin dari media sosial. Bahkan setelah mendapatkan penjelasan dari pihak berwenang, beberapa di antaranya sudah terlanjur takut dan tidak mau mendapatkan vaksin. Dengan naiknya jumlah orang yang tidak mau divaksin,
Kemenkes RI kemudian melakukan upaya untuk meluruskan segala misinformasi yang sudah tersebar di kalangan publik.
����������� Melalui
situs resminya, Kemenkes RI
mengeluarkan sebuah press
release yang memberikan penjelasan
logis dibalik video hoaks yang beredar di media sosial. Setelah itu, berbagai media massa juga turut memberitakan topik yang sama; beberapa di antaranya memakai rilis dari Kemenkes
RI sebagai pelengkap. Selain menggunakan rilis dari Kemenkes
RI, media massa juga menambahkan
informasi dari sumber-sumber lain dan pihak berwenang yang kompeten pada bidangnya untuk memberikan pernyataan dan klarifikasi tentang hoaks yang tengah beredar di masyarakat saat itu.
����������� Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengumpulkan
data dari situs resmi dan akun Instagram resmi milik Kemenkes RI. Untuk memperkaya penelitian, penulis juga melakukan studi pustaka dan menambah referensi pelengkap. Data yang ditemukan kemudian dianalisis dengan menggunakan Teori Komunikasi Krisis Situasional.
����������� Ada beberapa
hal yang tidak bisa dicapai oleh penulis melalui penelitian ini, yaitu pendapat langsung dari pihak
Kemenkes RI. Wawancara dengan Kemenkes RI dapat melengkapi penelitian ini, khususnya untuk melihat langsung persepsi dan praktik strategi komunikasi krisis yang dilakukan Kemenkes RI dalam menangani krisis terkait program vaksinasi; misalnya bagaimana Kemenkes RI berkomunikasi dengan pihak media massa untuk turut melakukan
amplifikasi informasi yang benar dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga kesehatan. Selain itu, tidak diketahui
bagaimana jalannya konferensi pers terkait krisis tersebut, khususnya selama masa pandemi ini.
����������� Untuk penelitian serupa di masa depan, penulis menyarankan adanya wawancara untuk mengetahui secara langsung persepsi sebuah lembaga dalam menangani krisis. Melalui wawancara, dapat diketahui lebih detail strategi penanganan krisis yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Khususnya sosialisasi secara internal untuk menyamakan persepsi dan informasi yang akan dibagikan ke luar untuk
meluruskan misinformasi, serta proses komunikasi lembaga dengan media massa untuk memberitakan
informasi serupa.
BIBLIOGRAFI
Argenti, Paul A. 2009. Corporate
Communication (Komunikasi Korporat).
New York: McGraw-Hill Book Company
Creswell, John W.
2016. Research Design: Pendekatan Metode
Kualitatif, Kuantitatif dan
Campuran. Edisi Keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Coombs, W.T.
(2010). Parameters for Crisis Communication. In W.T. Coombs & S.J. Holladay�� (Eds.), The Handbook of Crisis Communication.
West Sussex: Wiley-Blackwell.
Fearn-Banks, Kathleen.
2011. Crisis Communications: A Casebook Approach Fourth Edition.���� New York dan London: Routledge.
Harrison, G. 2005.
Communication Strategies as a Basis for Crisis Management Including Use��� of the Internet as a Delivery Platform.
Dissertation. Georgia: Georgia State University.
Kriyantono, Rachmat. 2012. Public Relations & Crisis Management:
Pendekatan Critical����������� Public
Relations Etnografi Kritis
& Kualitatif. Jakarta: Kencana
� 2015. Public
Relations Issue & Crisis Management, Pendekatan
Critical Public Relations,����� Etnografi Kritis dan Kualitatif. Jakarta: Kencana,
Prenada Media Group.
Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif.
Bandung: Tarsito.
Prayudi. 2008. Manajemen Isu Pendekatan Public Relations. Yogyakarta: Pustaka Adipura.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta.
Copyright
holder: Salsabila Ulie Mizana Hadori
(2022) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is
licensed under: |