Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 8, Agustus 2022
NORMALISASI
HUBUNGAN NEGARA-NEGARA ARAB DENGAN ISRAEL: IMPLIKASI DAN DINAMIKA DARI PERJANJIAN ABRAHAM
Adhyaksa Krisdananjaya, Muhamad Syauqillah
Kajian Wilayah Timur Tengah, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
[email protected]
Abstrak
Pada tulisan singkat
ini, penulis menguraikan mengenai normalisasi hubungan empat negara Arab dengan
Israel yang dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perdamaian di Palestina.
Penulis menggunakan konsep hubungan, beberapa konsep geopolitik, dan
interdependensi kompleks untuk menganalisa dinamika pasca Perjanjian Abraham,
dan implikasinya terhadap kawasan Timur Tengah. Dengan metode kualitatif,
penulis mendapat kesimpulan: pertama adalah konflik Israel-Palestina akan terus
terjadi; kedua adalah normalisasi hubungan ini bisa menjadi langkah awal bagi
pan-Arabisme baru; ketiga adalah kepentingan tetap menjadi motivasi utama dalam
perjanjian ini
Kata kunci: Normalisasi, Israel, Perjanjian
Abraham, Amerika Serikat, kepentingan.
Abstract
In this short article, the author describes the normalization of
relations between four Arab countries with Israel which is considered a
betrayal of peace efforts for Palestine. The author uses the concept of
relationship, several geopolitical concepts, and complex interdependencies to
analyze the dynamics after the Abraham Accords, and its implications for the
Middle East region. Using the qualitative method, the writer concludes: first,
the Israeli-Palestinian conflict will continue to occur; second is that
normalizing this relationship could be the first step for a new pan-Arabism
movement; third is national interests remains the main motivation in this
agreement
Keywords: Normalization, Israel, Abraham Accords, United States of America,
interests
Pendahuluan
Relasi adalah interaksi yang melibatkan banyak pihak, dalam
hal ini aktor
adalah negara-bangsa dan konsep relasi adalah
tripartit. Kerjasama, persaingan,
dan konflik. Konflik di
Timur Tengah, khususnya antara
Israel dan Palestina, terus
menjadi tema yang berulang dalam dunia politik internasional (Hutagalung, n.d.). Hal ini
terjadi karena sulitnya mencapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
Kesulitan-kesulitan ini disebabkan oleh skala keuntungan dan sejarah konflik yang panjang. Namun, kepentingan juga dapat dilihat dari
dinamika dan kerjasama yang
terjalin dengan
negara-negara terkait.
Secara historis, konflik antara Israel dan Palestina dipicu oleh keyakinan agama Yahudi yang kemudian menjadi ideologi politik Zionisme pada abad ke-19.
Diaspora Yahudi percaya bahwa dia harus
kembali ke tanah perjanjian karena dia telah
menderita sejauh ini. Namun, orang-orang Palestina telah lama tinggal di tanah yang mereka anggap Tanah Perjanjian, dan kedatangan
orang-orang Yahudi mengurangi
wilayah Palestina. Gelombang
migrasi pertama terjadi antara tahun 1882 dan 1903, dengan
25.000 orang Yahudi tiba di
Palestina. Sementara itu, migrasi gelombang
kedua terjadi antara tahun 1904 hingga 1914, menambah 30.000
orang (Kumoro, 2009).
Pada 1948, Israel dinyatakan sebagai negara Yahudi pertama setelah 2000 tahun. Pembentukkan negara Israel
tertuang di resolusi PBB
181 tahun 1947 yang membagi
wilayah Palestina dengan pembagian sebesar 56,5% wilayah sebagai negara Yahudi dan 43% untuk wilayah negara Arab, Yerusalem
ditetapkan sebagai teritori internasional yang juga diatur oleh Komite Khusus PBB untuk Palestina (UNSCOP) (Tambunan
& Th, 2019). Setelah
Israel dinyatakan sebagai
negara, banyak terjadi konflik yang terjadi di kawasan Timur Tengah seperti konflik antara Israel dengan Yordania, Irak, Suriah, Mesir,
dan Lebanon atau yang lebih
dikenal dengan sebutan perang Arab-Israel (Wirajaya,
2020). Pada tahun
1967, Israel mendapatkan kendali
atas Jalur Gaza setelah berperang selama enam hari atau
dikenal dengan �six days of
war�, sebelumnya Jalur Gaza dikuasai
oleh Mesir (Israel, n.d.).
Atas dasar historis
yang panjang ditambah dengan munculnya konflik antara Israel dan Palestina, sebagian besar negara Arab memilih untuk tidak membuka
hubungan resmi bahkan tidak mengakui
keberadaan negara Israel. Namun
dinamika hubungan
negara-negara di kawasan Timur Tengah sedikit demi sedikit berubah saat presiden
Amerika Serikat Donald Trump mengatakan
bahwa Amerika akan memindahkan kedutaan besar AS di Tel Aviv ke Yerusalem. Peristiwa ini seolah-olah memberikan pintu baru bagi jalannya
konstelasi politik di kawasan Timur Tengah. Israel mulai
berani dalam mendekati negara-negara yang tidak
membuka hubungan resmi dengan mereka.
Negara-negara Islam di Timur Tengah satu per satu mendekati oleh Tel Aviv dan sampai sekarang setidaknya terdapat empat negara yang pada akhirnya melakukan normalisasi dengan Israel. Negara-negara tersebut
adalah Uni Emirat Arab
(UEA), Sudan, Maroko, dan Bahrain (Alhusna,
2019). Hal ini
menimbulkan banyak sekali respon dari
berbagai kalangan, ditambah dengan segala perjanjian normalisasi hubungan ini ditengahi oleh Amerika Serikat yang sudah pasti memiliki kepentingan di kawasan tersebut. Namun pada tulisan singkat ini, penulis
akan fokus kepada dampaknya secara geopolitik, walaupun fenomena ini masih relatif
baru, namun penulis mencoba untuk memahami implikasi-implikasi geopolitik setelah adanya fenomena ini.
Dalam jurnal dan artikel sebelumnya, Anwar Muasher misalnya, mengatakan bahwa masing-masing
negara mendapatkan keutungan
atas kesepakatan yang dibuat oleh keempat negara dengan AS untuk menormalisasikan hubungan mereka dengan Israel. Dalam artikel tersebut,
ia mengatakan bahwa kesepakatan tersebut tidak ada relevansi antara
dengan usaha perdamaian Israel dengan Palestina dan juga tidak menunjukkan adanya usaha untuk mencapai
tahap tersebut. Langkah ini dianggap sebagai
kemunduran bagi upaya solusi dua
negara karena alasan yang cukup konstruktif. Perjanjian normalisasi menurutnya menggambarkan bahwa komunitas international berkontribusi atas adanya delusi atau
imajinasi bahwa perdamaian dapat tercapai tanpa adanya perdamaian antara penjajah dan yang dijajah (Putri, 2020).
Pada dasarnya, setiap
interaksi yang dilakukan oleh semua aktor baik individu maupun negara merupakan
suatu hubungan (relations) antara dua pihak atau lebih. Secara umum terdapat
tiga konsep mengenai hubungan, pertama adalah kompetisi, yang kedua adalah
kerjasama, dan yang terakhir adalah konflik. Kompetisi merupakan suatu hubungan
yang digambarkan sebagai beberapa pihak yang berlomba-lomba untuk mencapai
suatu tujuan dan biasanya konotasinya positif, sifat dari kompetisi pun beragam
salah satunya adalah ajang untuk saling adu kekuatan. Sedangkan konflik
merupakan cara yang digunakan oleh beberapa pihak untuk mencapai tujuan
tertentu dengan memunculkan adanya tanda-tanda saling tidak suka atau bahkan
bereskalasi menjadi kekerasan. Lalu kerjasama adalah interaksi antar beberapa
pihak, tetapi dilakukan tanpa kekerasan untuk menyelesaikan suatu masalah yang
dihadapi bersama (Coleman, 2015).
�� Lalu untuk melihat kasus ini secara geopolitik, maka harus
diketahui prinsip-prinsip dari konsep geopolitik itu sendiri. Terdapat beberapa
fokus dalam konsep geopolitik, Michael Klare fokus pada permintaan,
ketersediaan, dan karakteristik sumber daya dari setiap daerah untuk
menjelaskan konflik antar negara. Sedangkan Robert Kaplan berpendapat bahwa
kita harus mempelajari faktor eksternal atau lingkungan luar yang dihadapi oleh
setiap negara saat menentukan strateginya sendiri. Tetapi secara umum terdapat
tiga prinsip dalam menjelaskan geopolitik, pertama adalah kondisi geografis
tidak boleh dilihat sebagai takdir yang tidak dapat diubah. Mereka merupakan
sekumpulan peluang dan kendala bagi masing-masing pemegang teritori. Kedua,
pola umum dan proses jangka panjang dapat dengan tepat dijelaskan oleh kondisi
geografis, tetapi memahami fenomena spesifik yang terjadi dalam hubungan
internasional memerlukan pertimbangan faktor non-geografis lainnya. Terakhir
adalah, kita tetap harus melihat proses dan kepentingnnya, sehingga dapat
terlihat kausalitasnya (Scholvin, 2016).
�� Penjelasan diatas dapat memberikan gambaran mengenai tujuan dan
implikasi-implikasi yang terjadi secara geopolitik. Terdapat banyak aktor yang
terlibat karena sebuah kerjasama atau hubungan antara dua negara dapat
mempengaruhi dinamika politik di suatu kawasan. Sehingga terdapat hubungan lain
selain ketiga konsep yang sudah disebutkan sebelumnya, yaitu interdependensi
atau saling ketergantungan. Keohane dan Nye mencanangkan konsep complex interdependence
yang mengacu pada tiga dimesi, pertama adalah kebijakan luar negeri di era
saling ketergantungan ini berbeda karena berbagai saluran yang menghubungkan
masyarakat, sehingga aktor tidak hanya dua saja, tetapi bisa berlapis, mulai
dari mulai karakteristik individu, sampai kelompok kepentingan seperti partai
politik. Konsep saling ketergantungan kompleks ini juga menjelaskan bahwa akan
terjadi kerjasama yang mendalam dari lapisan terluar hingga lapisan terdalam,
sehingga kerjasama dan ketergantungan akan terasa dari lapisan negara hingga
lapisan individu, dari yang sifatnya rumit seperti militer, intelejen, dan
diplomasi tingkat tinggi, hingga hal-hal yang sederhana sekalipun seperti
pertukaran informasi dari individu kepada individu lain yang sifatnya internasional
atau lintas batas. Sehingga yang terlihat dan yang terjadi adalah walaupun
permainan negara dalam kasus ini cukup kuat, namun pengaruh-pengaruh lapisan
politik yang lain juga menjadi faktor-faktor yang menjadi kerjasama. Misalnya,
perjanjian ini sepanjang dinamikanya membentuk nota kesepahaman dalam bidang
teknologi yang meliputi pengairan, sistem agraria dan investasi-investasi
kepada perusahaan teknologi baru. Tidak hanya dalam pada level bisnis,
perjanjian ini pada akhirnya dapat memunculkan suatu kesepakatan perdagangan
bebas. Contohnya seperti kebijakan luar negeri yang berbeda antara presiden
Amerika Serikat dari partai Republik dan Demokrat (Walker, 2013).
Dalam kasus ini, saling ketergantugan yang kompleks akan terlihat dari
aspek-aspek dan perkembangan kerjasama yang sudah terjadi, dan dinamika yang
terjadi sejak ditandatanginya perjanjian Abraham dari keempat negara ini.
�� Karakteristik kedua adalah adanya interstate agenda. Isu-isu yang
muncul ada banyak dan tidak dapat dilihat berdasarkan struktur hirarki yang
jelas. Saat ini, suatu permasalan tidak hanya dibedakan menjadi high politics
dan low politics, semua itu saling beririsan. Kebijakan luar negeri tidak hanya
dari kementerian luar negeri karena terdapat ketergantungan yang luar biasa
kepada negara lain pada permasalahan tertentu. Ketiga adalah semakin
berkurangnya keterlibatan militer dalam suatu interaksi antar negara (Walker, 2013).
Dalam kasus ini sangat terlihat, bahwa kesepakatan ini dibentuk untuk
mengurangi adanya penggunaan kekuatan militer di daerah West Bank. Walaupun
tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa perjanjian ini pada akhirnya
digunakan untuk menjustifikasi atau bahkan akan menunjukkan �pertemanan baru�
terhadap kekuatan wilayah dari suatu negara. Sehingga dengan adanya penjelasan
mengenai complex interdependence, maka diharapkan akan mempermudah pembaca
ataupun� penulis untuk lebih leluasa
memahami tingkatan analisis dari kasus yang akan dibahas pada tulisan ini
Metode Penelitian
Metode dalam penelitian
ini adalah metode kualitatif dengan cara menguraikan berbagai jawaban atas
permasalahan yang ditunjukkan dalam penelitian ini. Metode kualitatif adalah
metode yang menggunakan observasi untuk mengumpukan data dan sumber yang sifatnya
deskriptif. Teori dan konsep menjadi landasan bagi metode ini, sehingga tidak
bisa diukur secara angka atau dengan jumlah yang mutlak (Berg & Lune, 2012).
Penelitian kualitatif juga memiliki pendekatan dengan interpretasi, yang
melihat adanya pengaruh dan relevansi terhadap sosial, politik, dan budaya (Creswell, 2014)
Hasil dan Pembahasan
Empat Negara Arab
dengan Israel
�� Kesepakatan antara Uni Emirat Arab dengan
Israel secara resmi disebut dengan Perjanjian Abraham yang difasilitasi oleh
presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 15 Agustus 2020. Mereka menjadi
negara Arab ketiga yang mengakui adanya Israel setelah Mesir dan Yordania.
Pembukaan hubungan secara resmi yang dimaksud adalah sebagaimana kedua negara
mempunyai hubungan pada umumnya, seperti membuka kedutaan di masing-masing
negara hingga aspek pariwisata dan hubungan-hubungan lainnya (Nguyen, Gan, Ranjan, & Jones, 2020).
Banyak pendapat yang meyakini bahwa perjanjian ini merupakan langkah Israel
untuk malakukan penetrasi secara ekonomi di kawasan Arab. Negara-negara di
kawasan Teluk Arab merupakan anggota dari Dewan Kerjasama Teluk (GCC), yang
beranggotakan Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Qatar, Oman, dan Uni Emirat Arab.
Organisasi yang didirikan pada tahun 1981 ini memiliki pendapatan rata-rata per
kapita setidaknya sebesar 34.265 dolar AS atau berada di nomor 25 dunia.
Sedangkan Uni Emirat Arab memiliki pendapatan per kapita sebanyak 41.476 dolar
AS atau berada di posisi 19 dunia dengan Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai
432.612 miliar dolar AS. Posisi ini membuat mereka berada pada urutan kedua
ekonomi terbesar di kawasan Arab setelah Arab Saudi (Rahman, 2020).
�������� Kesepakatan ini menimbulkan berbagai
macam reaksi dari berbagai negara. Uni Emirat Arab melalui duta besarnya yang
berada di Washington mengatakan bahwa kesepakatan ini dapat menghentikan
kekerasan dan aneksasi, sehingga terdapat kemungkinan adanya dinamika dan
kesempatan baru (Nichols & Kohn, 2020).
Adapun pemerintah Oman yang mendukung kesepakatan tersebut dan mengatakan bahwa
hubungan ini dapat berkontribusi dalam memberikan perdamaian yang komprehensif
serta berkelanjutan (Botvinik-Nezer et al., 2020).
Arab Saudi melalui menteri luar negerinya mengatakan bahwa kesepakatan ini bisa
saja berdampak positif, tetapi Arab Saudi tetap tidak akan menormalisasi
hubungan mereka dengan Israel sampai terdapat persetujuan untuk perdamaian
Israel dan Palestina (Alhusna, 2019).
�������� Namun perlu diketahui juga, bahwa
negara-negara Arab sudah memiliki proyeksi mengenai kedamaian untuk negara
Palestina dan mengakui keberadaan negara Israel secara bersamaan. Basis dari
rencana tersebut memang sudah ada di dalam perjanjian Oslo pada tahun 1993.
Perjanjian tersebut tidak secara eksplisit mengakui hak-hak Yahudi, tetapi
memungkinkan Israel untuk menafsirkan kesepakatan itu dengan menyatakan bahwa
orang-orang Arab dan Yahudi adalah keturunan dari nenek moyang yang sama, yaitu
Abraham (Ibrahim). Penafsiran tersebut menjadi kunci bagi perjanjian Abraham
yang pada akhirnya membuat Uni Emirat Arab berupaya untuk memproyeksikan
dirinya sebagai pemimpin dialog antar-agama dan manjadi contoh mengenai
interpretasi Islam yang moderat, upaya ini merupakan pilar kampanye kekuatan
lunak (soft power) yang didanai oleh negara. Uni Emirat Arab memiliki citra
sebagai negara yang memiliki kemampuan kuat secara militer, punya visi yang
jauh untuk memproyeksikan masa depan, toleransi agama yang baik, dan cerdas
secara teknologi, sehingga negara ini dianggap sebagai negara terdepan dalam
proses globalisasi kawasan Teluk dan Timur Tengah (Dorsey & Topol, 2020)
Perkembangan dan Dinamika
Pada tanggal 31 Mei 2022, Uni
Emirat Arab dan Israel menyepakati adanya free trade agreement atau perdagangan
bebas. Persetujuan ini merupakan kesepakatan pertama antara Israel dengan
negara Arab sejak didirikannya negara tersebut. Majalah Time menyebutkan bahwa
dengan adanya kesepakatan ini, diperkirakan sebanyak 1000 perusahaan Israel
akan membuka kantornya di Dubai, setidaknya hingga akhir tahun 2022. Hubungan
antara Abu Dhabi dan Tel Aviv memiliki dinamika yang cukup unik sejak
ditandatanginya perjanjian Abraham, karena tiga hari sebelum penandatanganan
kesepakatan ini pihak Uni Emirat Arab mengutuk keras tindakan Israel karena
menyerang masjid Al-Aqsa. Walaupun hubungan resmi sudah berjalan selama dua
tahun, tetapi perdagangan bebas baru saja diresmikan sehingga belum bisa atau
sulit untuk melihat indikasi ekonomi perdagangan dari kedua negara tersebut.
Beberapa narasumber yang diberitakan oleh majalah Time seperti Hasan al-Hasan
dari IISS dan Elham Fakhro dari Universitas Exeter menyebutkan bahwa
kesepakatan perdagangan bebas dengan isu konflik Israel-Palestina merupakan hal
yang tidak memiliki keterkaitan (Misrawi, 2009).
�� Berbeda dengan Uni Emirat Arab, Bahrain
cenderung melakukan kerjasama keamanan antar dua negara atau bilateral. Setelah
disepakatinya perjanjian Abraham, Bahrain dan Israel secara terbuka mengatakan
bahwa terjalin kerjasama antara intelejen Bahrain dengan Mossad. Tidak hanya
itu, kerjasama industri pertahanan sedikit demi sedikit akan mulai dilakukan,
seperti yang tertuang dalam memorandum yang sudah ditandatangani oleh Manama
dan Tel Aviv. Relasi ini merupakan langkah awal pembentukkan kekuatan untuk
melawan Iran sebagai �musuh� bersama kawasan, terutama bagi negara-negara Arab (Rohmah, 2018)
�� Terlepas dari kabar mengenai kerjasama
internasional, Bahrain di sisi lain juga masih bergumul pada
permasalahan-permasalahan yang mendasar. Isu sekterianisme dan diskriminasi
yang dilakukan oleh pihak keluarga kerajaan Al-Khalifa yang merupakan penganut
Islam Sunni, kerap kali melakukan tindakan-tindakan diskriminasi terhadap
kelompok-kelompok Syiah di kawasan Bahrain. Pada laporan penelitian yang
dilakukan oleh Armed Conflict Location and Event Data Project pada tahun 2021,
mengatakan bahwa tindakan diskriminasi tersebut dirasakan pada berbagai aspek,
seperti diskriminasi dalam sistem kepegawaian, kebebasan berekspresi, dan
terbatasnya hak-hak politik. Bahkan dalam laporan ini, Amnesty International
menyebutkan bahwa pihak pemerintah Bahrain menolak untuk memberikan akses
kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan (penjara) kepada mereka yang Syiah.
Mereka (Syiah) sebagai mayoritas dianggap sebagai ancaman bagi pemerintahan
Bahrain karena keluarga kerajaan yang menganut Sunni memiliki �ketakutan�
tersendiri terhadap mereka. Perayaan hari Ashura yang dianggap sangat penting
bagi masyarakat Syiah secara teknis dilarang untuk diselenggarakan, pihak
kepolisian kerap melakukan tindak �pelecehan� atas perayaan ini, walaupun
laporan pada tahun 2019 mengatakan bahwa ada sedikit perkembangan yang lebih
positif karena polisi dilarang untuk menggunakan gas air mata. Pandemi COVID-19
semakin memberikan legitimasi dan justifikasi bagi pemerintah Bahrain untuk
semakin membatasi ruang ekspresi beragama, yang ditargetkan khusus bagi warga
Syiah (Yunanto, Damayanti, & Novitasari, 2017).
�� Sedangkan Maroko pada tahun akhir November
tahun 2021 mulai bekerjasama pada bidang pertahanan yang diklaim sebagai nota
kesepahaman bersama pertama antara Israel dengan negara Arab. Dengan adanya
nota kesepahaman, maka militer dari Maroko dan Israel memiliki komunikasi jalur
depan atau resmi, yang selama ini selalu berkomunikasi secara jalur belakang
atau tidak resmi. Lalu kerjasama komunikasi intelejen juga menjadi lebih formal
dan tidak harus melalui kantor representatif seperti melalui jalur tidak resmi.
Industri pertahanan, pengadaan alat-alat tempur dan pertahanan, serta latihan
bersama juga menjadi poin agenda dalam nota kesepahaman tersebut. Pertemuan
kooperatif ini tidak hanya melulu mengenai peresmian kerjasama yang formal,
tetapi juga sebagai unjuk gigi bagi Maroko untuk �pamer� kepada Aljazair bahwa
Rabat memiliki teman baru dengan kekuatan �segar� bagi kawasan Timur Tengah,
khususnya bagi dunia Arab dan kawasan Afrika Utara (Rimapradesi & Sahide, 2021).
Maroko secara de facto mengontrol sebanyak 80% dari gurun Sahara, hal ini
semakin diperkuat legitimasinya secara internasional saat Amerika Serikat
mengeluarkan peta baru, menunjukkan batas-batas wilayah yang memperluas daerah
kekuasaan dan batasan negara Maroko meliputi gurun Sahara Barat yang selama ini
menjadi sengketa antara Aljazair dengan Maroko. Hal ini sebelumnya juga sudah
menyulitkan Maroko, karena pihak Polisario menginginkan Republik Demokratik Arab
Sahrawi yang merdeka sepenuhnya, dengan pemerintahan sendiri, dan tidak di
bawah kontrol Aljazair maupun pada kondisi berkonflik dengan Maroko.
Kemerdekaan negara Arab Sahrawi sudah menjadi tujuan para militan Polisario
yang membuat mereka harus berkonflik atau berperang selama 15 tahun, hingga
pada tahun 1991 terjadi kesepakatan untuk gencatan senjata (Alfiani, n.d.).
�� Tidak hanya pada bidang pertahanan, kerjasama
teknologi antara Israel dan Maroko juga sudah mulai dijalankan. Investasi bagi
startup yang berada di Maroko sudah banyak menjalin hubungan. Bahkan para
pelaku bisnis dari Israel menandatangani nota kesepahaman dengan berbagai
sektor di pemerintahan Maroko untuk mencari peluang-peluang pengembangan
teknologi pada sektor agrikultur dan teknologi pengairan, logistik, hingga
pengembangan sumber daya manusia untuk mereformasi sistem digital yang ada di
Maroko. Hubungan yang mesra pada sektor teknologi ini disebut sebagai
�innovation diplomacy� atau diplomasi inovasi untuk memperkuat komunikasi yang
dapat menjadi pilar bagi diplomasi bilateral kedua negara (Yusa, 2022).
�� Secara politis, Maroko mencoba untuk
meyakinkan Gedung Putih bahwa mereka dapat menjadi mediator antara Israel dan
Palestina. Pendekatan ini terus dilakukan agar Presiden Joe Biden akan tetap
melanjutkan keputusan dari pendahulunya yaitu Donald Trump, untuk tetap
memberikan legitimasi Sahara Barat kepada pemerintah Maroko. Selain itu,
perkembangan publik dalam merespon perjanjian Abraham ini terbagi menjadi tiga
kategori. Pertama, kelompok yang dengan keras menolak segala bentuk dari
perjanjian normalisasi, dan mereka yang menolak ini mayoritas berasal dari
kelompok Islamis serta kelompok-kelompok dari golongan berhaluan kiri. Kedua,
adalah kelompok yang ragu-ragu atau skeptis. Mereka adalah kelompok yang
memiliki simpati yang besar terhadap warga Palestina dan skeptis terhadap
perjanjian Abraham atau normalisasi ini, tetapi di sisi lain mereka ingin
melihat, mengamati, serta memberi kesempatan bagi perjanjian ini untuk mencapai
hasil yang diharapkan oleh sebagian besar golongan. Ketiga, adalah kelompok
yang antusias untuk melihat perjanjian ini berhasil seutuhnya. Pihak dari Rabat
mengharapkan adanya transfer teknologi dari Israel ke Maroko yang diharapkan
dapat memberi pemasukan pajak dengan adanya investasi yang datang dari kedua
negara, baik dari Israel maupun Maroko (Rizal, n.d.).
�� Perjanjian Abraham yang terjadi antara Israel
dan Sudan baru terjadi pada Januari 2021. Terlihat dengan situasi Sudan dari
beberapa tahun terakhir, dapat dikatakan bahwa kerjasama yang paling utama
adalah keamanan. Pemimpin Sudan saat ini, yaitu Jenderal Abdel Fattah al-Burhan
yang mengambil alih kekuasaan atau kudeta pada Oktober hingga November 2021
mengatakan bahwa hubungan antara Khartoum dengan Tel Aviv sangat penting.
Alasan internasionalisme menjadi legitimasi dalam terciptanya hubungan formal
ini, sang Jenderal mengatakan bahwa hubungan luar negeri Sudan harus mulai
berintegrasi dengan komunitas internasional. Hubungan resmi ini dianggap dapat
membantu Sudan dalam membantu mengungkap para pelaku tindak terorisme, yang
mana Abdel Fattah al-Burhan menganggap bahwa dengan adanya keamanan di kawasan
Sudan, maka secara tidak langsung pihak Khartoum telah turut menjaga stabilitas
keamanan regional yang dimulai dari stabilitas keamanan nasional dari dalam
wilayah Sudan. Sedangkan hubungan antara Sudan dan Amerika Serikat juga diklaim
akan semakin membaik dengan ditandatanginya perjanjian Abraham ini. Gedung Putih
berencana akan menghapus Sudan dari daftar pusat terorisme, sehingga Sudan
tidak akan menjadi target serangan dari Amerika Serikat. Selain itu, Israel
juga akan memperuas relasinya dengan negara-negara kawasan Afrika Utara. Tetapi
dengan adanya pemerintahan baru yang militeristik, hubungan antara Sudan dengan
Israel tidak disambut baik oleh publik domestik Sudan. Perjanjian Abraham
dianggap memperluas jarak antara pemerintah yang sangat militeristik dengan
masyarakat sipil Sudan, hal ini terjadi karena kebijakan luar negeri Sudan yang
dianggap terlalu berpusat di isu-isu keamanan yang tradisional (Arif, 2015).
�� Sudan yang secara geografis berada di
pinggiran dunia Arab membuatnya tidak cukup aktif dalam mengaitkan mereka ke
konstelasi politik dunia Arab pada umumnya. Konsekuensi geografis inilah yang
membuat mereka seolah-olah jauh dari tindak-tanduk politik Timur Tengah.
Kedekatan emosional yang cukup jauh juga diakibatkan karena mereka mempunyai
masalah sendiri yang cukup rumit. Kondisi domestik yang cukup rumit ini membuat
Sudan lebih banyak fokus kepada kebijakan luar negeri ke arah utara seperti
Mesir, Ethiopia, Chad, Libya, Republik Afrika Tengah, Eritrea, dan tidak
terkecuali Sudan Selatan. Menurut Global Security, Sudan di dunia Arab dianggap
sebagai negara yang cukup terisolasi atau �bandel�. Orang-orang Sudan sangat
dihormati di luar negeri, mereka sangat mandiri, menghargai otoritas, dan
memiliki kepribadian yang kuat, tetapi di dalam negeri mereka sulit untuk
mengurusi urusan mereka sendiri. Oleh karena itu, negara-negara Arab dan
kawasan sekitarnya mengharapkan adanya kestabilan yang cukup kuat di dalam
Sudan, karena mereka dapat menjadi jembatan antara negara-negara Afrika dengan
dunia Arab.� Selain itu, dengan adanya
perjanjian ini, maka diharapkan akan terjadi reformasi politik yang cukup
fundamental di pemerintahan Sudan, tetapi Sudan juga menginginkan adanya
keuntungan secara keamanan atau bahkan materil untuk dapat melanjutkan
kekuasaan militernya, walaupun pihak Gedung Putih selalu dalam posisi yang
dianggap menguntungkan bagi kepentingan nasionalnya sendiri. Terlebih dengan
adanya ketidakstabilan ekonomi pasca pecahnya negara Sudan menjadi dua yang
sekarang menjadi negara merdeka bernama
Sudan Selatan (FIKRI, 2018)
Kesimpulan
Pencapaian kepentingan nasional yang berhasil. Implikasi ini sudah
terlihat tanda-tandanya dan setidaknya dapat terlihat bahwa komunikasi akan
terus berlanjut. Keempat kesepakatan yang tercantum dalam satu perjanjian ini
pada akhirnya tidak jauh dari apa yang setiap negara butuhkan dan apa yang
menjadi tujuan dari masing-masing negara seperti Amerika Serikat, Israel, Uni
Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Adanya kepentingan ekonomi, politik,
dan keamanan pada akhirnya menjadi faktor yang paling jelas terlihat. Seperti
di Uni Emirat Arab, mereka dengan cepat sudah mencapai kesepakatan perdagangan
bebas, tanpa mepedulikan adanya opini publik terutama dari golongan Muslim yang
dengan keras tidak menyetujui adanya perjanjian ini. Sedangkan Bahrain yang
masih fokus dengan isu sekterianisme di dalam negerinya sendiri sejauh ini
banyak melakukan kerjasama yang berpusat pada sektor keamanan, baik secara
industri, militer, maupun intelejen. Maroko yang kerjasamanya sudah sedikit
lebih dalam pada sektor investasi teknologi, di sisi lain mereka juga berusaha
untuk tetap mendekati Washington agar mereka dapat terus menguasai atau
setidaknya memiliki legitimasi dan justifikasi untuk menguasai kawasan Sahara
Barat yang selama ini menjadi ketegangan antara Maroko dengan Aljazair. Sudan
yang menyetujui perjanjian ini berusaha untuk keluar dari penjara geografis
mereka untuk bisa bergaul dengan komunitas internasional. Sedangkan Amerika
Serikat yang selama ini menjadi fasilitator bagi kelima negara ini, pada
akhirnya juga menjadi penjamin dan pemberi kepastian politik bagi keempat
negara Arab untuk dapat terus memberikan pengaruhnya di kawasan Timur Tengah
dan juga daerah Afrika Utara. Lalu Israel juga terus berupaya untuk meperluas
jaringannya di negara-negara Islam karena diharapkan dapat memberikan perubahan
pada konflik mereka dengan Palestina
Alfiani, Arum Suci. (n.d.). Analisa
Keputusan Maroko Untuk Kembali Bergabung Dalam Keanggotaan Uni Afrika Tahun
2016. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah.
Alhusna, Fahma Safin. (2019). Kepentingan
Arab Saudi terhadap Israel dalam pembangunan jalur Kereta Api Israel-Arab Saudi
pada Tahun 2018. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Arif, Muhammad QobidlAinul. (2015). Politik
Islamophobia Eropa: Menguak Eksistensi Sentimen Anti-Islam dalam Isu
Keanggotaan Turki. Deepublish.
Berg, Bruce L., & Lune, Howard. (2012).
Qualitative research methods for the social sciences 8th Ed. Pearson
Education, Inc., United States.
Botvinik-Nezer, Rotem, Holzmeister, Felix,
Camerer, Colin F., Dreber, Anna, Huber, Juergen, Johannesson, Magnus, Kirchler,
Michael, Iwanir, Roni, Mumford, Jeanette A., & Adcock, R. Alison. (2020).
Variability in the analysis of a single neuroimaging dataset by many teams. Nature,
582(7810), 84�88.
Coleman, Peter T. (2015). Morton
Deutsch: A pioneer in developing peace psychology. Springer.
Creswell, John W. (2014). A concise
introduction to mixed methods research. SAGE publications.
Dorsey, E. Ray, & Topol, Eric J.
(2020). Telemedicine 2020 and the next decade. The Lancet, 395(10227),
859.
FIKRI, OKSA MUBASARUL. (2018). Kritik
Edward Said Terhadap Orientalisme (Studi Pustaka). Universitas Islam
Negeri" Sultan Maulana Hasanuddin" BANTEN.
Hutagalung, Irfan. (n.d.). Kepentingan
Indonesia Dalam Pembentukan Mekanisme Undenpendent Permanent Human Rights
Commission (IPHRC) Organisasi Kerjasama Islam (Oki) Tahun 2011. Jakarta:
Fakultas ilmu Social Dan Ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah.
Israel, Pengangkut Cairan Nasional. (n.d.).
Perang Enam Hari.
Kumoro, Bawono. (2009). Hamas, Ikon
Perlawanan Islam Terhadap Zionisme Israel. Mizan Pustaka.
Misrawi, Zuhairi. (2009). Mekkah: kota
suci, kekuasaan, dan teladan Ibrahim. Penerbit Buku Kompas.
Nguyen, Thi Ngoc Tho, Gan, Woon Seng,
Ranjan, Rishabh, & Jones, Douglas L. (2020). Robust source counting and DOA
estimation using spatial pseudo-spectrum and convolutional neural network. IEEE/ACM
Transactions on Audio, Speech, and Language Processing, 28,
2626�2637.
Nichols, Edward G., & Kohn, Anna.
(2020). UAE: Brief Review of Education in the United Arabic Emirates. Mathematics
And Its Teaching In The Muslim World, 265�275.
Putri, Gustri Eni. (2020). Implikasi
Perjanjian Damai Terhadap Aksi Intifadah Hamas. Politea: Jurnal Pemikiran
Politik Islam, 3(2).
Rahman, Fazlur. (2020). Islam.
University of Chicago Press.
Rimapradesi, Yulia, & Sahide, Ahmad.
(2021). Kepentingan Negara-Negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan dan
Maroko) Melakukan Normalisasi Hubungan dengan Israel. Mandala: Jurnal Ilmu
Hubungan Internasional, 4(1).
Rizal, Khairul. (n.d.). Politik luar
negeri Mesir setelah revolusi 2011: studi hubungan bilateral Mesir-Israel Tahun
2011-2013.
Rohmah, Nurul. (2018). Keputusan Chili
Dalam Memberi Pengakuan Status Kedaulatan Palestina Pada Tahun 2011.
Universitas Brawijaya.
Scholvin, S�ren. (2016). The Geopolitics
of Regional Power: Geography, Economics and Politics in Southern Africa.
Routledge.
Tambunan, Pdt Dr Elia, & Th, S. (2019).
Islamisme: Satu Plot dari Mesir, Pakistan dan Indonesia. Almuqsith
Pustaka.
Walker, Ian D. (2013). Continuous backbone
�continuum� robot manipulators. International Scholarly Research Notices,
2013.
Wirajaya, Armando Christofel. (2020).
Penyelesaian Sengketa Palestina dan Israel Menurut Hukum Internasional (Study
Kasus Perampasan Wilayah Palestina di Israel). Lex Et Societatis, 8(4).
Yunanto, Sri, Damayanti, Angel, &
Novitasari, Indah. (2017). Ancaman dan strategi penanggulangan terorisme di
dunia dan Indonesia. IPSS.
Yusa, Muchammad Yustian. (2022). Islam
dan Kapitalisme: Studi Kasus Qatar Indosat Ooredoo. Penerbit A-Empat.
Copyright holder: Adhyaksa Krisdananjaya,
Muhamad Syauqillah (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |