Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 8, Agustus 2022
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA TERHADAP PEKERJA YANG
DIKATEGORIKAN SEBAGAI ORANG HILANG
Gama Ramadhan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
�Bahwa pengusaha maupun keluarga pekerja membutuhkan kepastian mengenai status hubungan kerja dari Pekerja
yang dikategorikan sebagai
orang hilang, namun disisi lain ketentuan ketenagakerjaan yang ada (kaedah heteronom) tidak mengatur mengenai status hubungan kerja terhadap Pekerja yang dikategorikan sebagai orang hilang. Oleh karena itu, guna
mencegah munculnya perselisihan, Pengusaha dan Pekerja perlu mengatur
mengenai Pemutusan Hubungan Kerja karena pekerja dikategorikan sebagai orang hilang di dalam kaedah otonom yaitu
Perjanjan Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama�.
Kata Kunci : Hubungan Kerja, Pekerja, Orang Hilang
Abstract
"That
employers and workers' families need certainty regarding the employment relationship
status of Workers who are categorized as missing persons, but on the other hand
the existing employment provisions (heteronomous rules) do not regulate the
status of employment relationships for Workers who are categorized as missing
persons. Therefore, in order to prevent disputes from arising, Employers and
Workers need to regulate Termination of Employment because workers are
categorized as missing persons under the autonomous method, namely Employment
Agreements, Company Regulations, or Collective Labor
Agreements�.
Keywords:
Employment Relationship, Worker, Missing Person
Pendahuluan
Dalam hukum, perkataan orang (persoon)
berarti pembawa hak atau subyek di dalam hukum. Berlakunya seseorang sebagai
pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada saat ia
meninggal.�� Kedudukan manusia sebagai
subjek hukum akan berakhir saat meninggal dunia, dimana hak dan kewajiban yang
dimiliki orang tersebut berakhir dan beralih kepada ahli warisnya. Meninggalnya
seseorang lazimnya dengan mudah dapat ditentukan dan dapat dibuktikan dengan
akta kematian, namun adakalanya kematian seseorang itu sulit untuk ditentukan.
Ada suatu keadaan, dimana kadang sulit untuk memastikan tentang masih hidup
atau sudah matinya seseorang, yakni dalam hal seseorang tidak diketahui
keberadaannya atau dalam keadaan tidak hadir. Keadaan
seseorang yang tidak diketahui keberadaannya atau hilang, akan memunculkan
permasalahan mengenai kedudukannya sebagai subjek hukum serta kaitannya dengan
kepentingan hukum orang lain, misalnya dengan keluarga yang ditinggalkan atau
pihak lain yang mempunyai perikatan hukum dengan orang yang hilang tersebut.
Salah satu bentuk perikatan hukum yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu
hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja.
Dengan diadakannya perjanjian kerja maka
terjalin hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja yang
bersangkutan, dan selanjutnya akan berlaku ketentuan tentang hukum perburuhan
antara lain mengenai syarat-syarat kerja, jaminan sosial, kesehatan dan
keselamatan kerja, penyelesaian perselisihan dan pemutusan hubungan kerja.� Berdasarkan Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut �UU 13/2003�),
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah.� Adapun 3 (tiga) unsur hubungan
kerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pekerjaan
(arbeid), yaitu prestasi yang harus dilakukan oleh pihak penerima kerja.
2. Perintah
(in dienst/ gezag verhouding), yaitu dengan adanya unsur di bawah perintah
menjadikan pihak penerima kerja sangat tergantung pada perintah/instruksi
/petunjuk dari pihak pemberi� kerja.
Terdapat hubungan subordinasi (hubungan diperatas) dimana penerima kerja berada
di bawah perintah pemberi kerja.
3. Adanya
upah tertentu (loon), yaitu imbalan atas pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja
sebagai penerima kerja.�
Dalam hubungan kerja, hak dan kewajiban
para pihak saling bertimbal balik, hal-hal yang menjadi hak pekerja merupakan
kewajiban pengusaha untuk memenuhi, sebaliknya hal-hal yang menjadi hak
pengusaha merupakan kewajiban dari pekerja.
Di dalam menjalankan hubungan kerja
antara pekerja dengan pengusaha terkadang muncul persoalan kompleks yang perlu
mendapatkan penyelesaian secara hukum, salah satunya yaitu mengenai terjadinya
peristiwa dimana pekerja dikategorikan sebagai orang hilang. Peristiwa tersebut
dapat terjadi baik pada saat pekerja tersebut sedang melakukan pekerjaan atau
terjadi pada saat pekerja tidak melakukan pekerjaan (diluar watu kerja).
Terdapat beberapa contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia terkait pekerja
yang dikategorikan sebagai orang hilang antara lain sebagai berikut:
1. Terjadinya
peristiwa dimana seorang Anak Buah Kapal (ABK) yang sedang bertugas, hilang
dari atas kapal di perairan Pontianak.
2. Terdapat
pekerja dari salah satu perusahaan telekomunikasi yang dinyatakan hilang namun
kemudian ditemukan sebagai korban pembunuhan dan dalam keadaan meninggal dunia.
3. Terdapat
seorang pekerja dari Perusahaan BUMN yang hilang dan sempat dinyatakan
meninggal dunia, namun muncul kembali dan memuntut hak-haknya kepada perusahaan
melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Adapun kasus ini mempunyai registrasi
perkara dengan nomor 298/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bdg.����
Definisi �orang hilang� sendiri tidak
dikenal dalam ketentuan di bidang ketenagakerjaan. Mengacu pada Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), �hilang� dapat didefinisikan sebagai berikut:
1. Tidak
ada lagi, lenyap, tidak kelihatan. Seseorang itu tiba-tiba tidak ada lagi tanpa
sebab jelas atau tidak terlihat lagi dari pandangan
2. Tidak
dikenang lagi, tidak diingat lagi, lenyap. Seseorang dikatakan mempunyai
ketenaran tetapi tidak diketahui kabarnya begitu saja karena suatu kejadian
3. Tidak
ada, tidak kedengaran lagi. Seseorang yang sering memperhatikan dirinya
dilingkungan sekitar, suatu saat tidak lagi terdengar kabarnya dikarenakan
sesuatu hal terjadi padanya, sehingga orang disekitarnya yang sering mendengar
pembicaraannya tidak lagi mendengarnya.�
Untuk mengetahui definisi �hilang�
secara hukum, kita dapat melihat pada ketentuan Pasal 244 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil
(selanjutnya disebut �PP 11/2017�), dimana definisi �hilang� diatur sebagai
berikut:
�Seorang PNS
dinyatakan hilang diluar kemampuan dan kemauan PNS yang bersangkutan apabila:
a. Tidak
diketahui keberadaanya; dan
b. Tidak
diketahui masih hidup atau telah meninggal dunia�
Sedangkan di dalam regulasi
ketenagakerjaan tidak ditemukan definisi maupun pengaturan mengenai
pekerja/orang hilang. Namun demikian terjadinya peristiwa dimana pekerja
dikategorikan sebagai orang hilang akan memunculkan persoalan hukum tersendiri.
Dengan hilang atau tidak hadirnya pekerja di tempat kerja, pengusaha tidak bisa
lagi mendapatkan prestasi berupa pekerjaan. Hal ini tentu saja akan
berimplikasi terhadap kelangsungan hubungan kerja antara pekerja dengan
pengusaha. Di sisi lain regulasi ketenagakerjaan di Indonesia tidak mengenal
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena Pekerja dikategorikan sebagai orang
hilang. Ketiadaan aturan hukum ini dapat memunculkan ketidakpastian hukum serta
konflik/perselisihan yang berujung pada penyelesaian perselisihan di Pengadilan
Hubungan Industrial melalui pengajuan gugatan. Pengusaha maupun keluarga
pekerja membutuhkan kepastian mengenai status hubungan kerja dari Pekerja yang
dikategorikan sebagai orang hilang, namun disisi lain ketentuan ketenagakerjaan
yang ada (kaedah heteronom) tidak mengatur mengenai status hubungan kerja
terhadap Pekerja yang dikategorikan sebagai orang hilang.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 15 UU 13/2003,
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) didefinisikan sebagai pengakhiran hubungan kerja
karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/ buruh dengan pengusaha.�
Sedangkan definisi perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (selanjutnya disebut �UU 2/2004�)
adalah� perselisihan yang timbul karena
tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang
dilakukan oleh salah satu pihak.� Salah
satu contoh perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja di Pengadilan Hubungan
Industrial terkait pekerja hilang yaitu perkara yang diadili di Pengadilan
Hubungan Industrial Bandung dengan putusan nomor .298/Pdt.Sus-PHI/2019/PN.Bdg
Metode Penelitian
Bahwa penulisan
yang akan dilakukan menggunakan metode doktrinal/Yuridis Normatif dimana akan dilakukan dengan meneliti bahan pustaka dan bahan sekunder yang bersifat hukum. Oleh karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat melalui studi dokumen.��� Dalam rangka menjawab permasalahan di dalam penulisan ini, digunakan beberapa referensi buku atau bentuk tertulis
lainnya sebagai sumber penulisan. Penulisan ini juga menggunakan pendekatan hukum normatif dengan menarik asas-asas hukum. Hal ini sesuai dengan
konsep Doktrinal/Yuridis Normatif yang berdasarkan pada �Law as it is written in the books and law
as it is decided by judge through judicial process�. Adapun Sifat penelitian yang dilakukan adalah bersifat penelitian preskriptif, yaitu suatu penelitian
yang bertujuan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.
Berkaitan dengan
data yang digunakan, bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini meliputi bahan
hukum primer, sekunder, dan
tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat karena dikeluarkan oleh Lembaga negara atau
pemerintah dan berbentuk perundang-undangan, Selanjutnya, bahan hukum sekunder
yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan atau keterangan mengenai bahan hukum pimer berupa
buku-buku yang ditulis oleh
para sarjana hukum, literatur hasil penelitian yang telah dipublikasikan, jurnal hukum, artikel, makalah, situs internet dan lain sebagainya.
Adapun bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder. Adapun bahan-bahan
hukum tersier didapat dari Kamus Hukum, Kamus
Bahasa Indonesia, Kamus Bahasa Inggris dan lain sebagainya.
Hasil dan Pembahasan
1. Status Hubungan Kerja
Antara Pengusaha Dengan Pekerja Yang Dikategorikan Sebagai Orang Hilang.
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang
terjadi setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 UU 13/2003
disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan,
upah, dan perintah. Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan
pekerja/buruh.� Dari pengertian ini
jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta
setelah adanya perjanjian kerja (arbeidsoveenkomst) antara pekerja dengan
pengusaha. Sebagai sumber terciptanya hubungan kerja, perjanjian kerja yang
dalam bahasa belanda disebut arbeidsoveenkomst, mempunyai beberapa pengertian.
Pasal 1601a KUH Perdata memberikan pengertian sebagai berikut:
�Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (buruh),
mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah yang lain, si majikan untuk suatu
waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah�
Sesuai dengan definisi ini, terlihat bahwa ciri khas perjanjian kerja
adalah �di bawah perintah pihak lain�. Di bawah perintah ini menunjukan bahwa
hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan
(subordinasi). Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial-ekonomi
memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi
mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu.
Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara perjanjian kerja dengan perjanjian
lainnya.�� Di dalam Pasal 1 angka 14, UU
13/2003 memberikan definisi perjanjian kerja sebagai berikut:
�Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban
kedua belah pihak��
Berdasarkan definisi di atas, terlihat bahwa definisi perjanjian kerja
menurut UU 13/2003 ����sifatnya lebih
umum, karena menunjuk pada hubungan antara pekerja dan pengusaha yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. �
Di dalam menjalankan hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha
terkadang muncul persoalan kompleks yang perlu mendapatkan penyelesaian secara
hukum, salah satunya yaitu mengenai terjadinya peristiwa dimana pekerja
dikategorikan sebagai orang hilang. Peristiwa tersebut dapat terjadi baik pada
saat pekerja tersebut sedang melakukan pekerjaan atau terjadi pada saat pekerja
tidak melakukan pekerjaan (diluar watu kerja). Sehubungan dengan hal tersebut,
Di dalam hukum perdata dikenal istilah keadaan tidak hadir (Afwezigheid), yaitu
suatu keadaan dimana seseorang tidak diketahui keberadaannya, seseorang yang
tidak diketahui adanya dan tempat tinggalnya. Lembaga ini diperlukan karena ada
kemungkinan bahwa seseorang, karena suatu keadaan, tidak diketahui keberadaannya.
Pasal 463 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata telah mengatur sebagai berikut:
�Jika terjadi, seorang telah meninggalkan tempat tinggalnya, dengan
tidak memberi kuasa kepada seorang wakil, guna mewakili dirinya dan mengurus
harta kekayaannya, pun tidak mengatur urusan-urusan dan kepentingan-kepentingan
itu, ataupun, jika pemberian kuasa kepada wakilnya tidak berlaku lagi, maka
jika ada alasan-alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta
kekayaan itu, atau guna mengadakan seorang wakil baginya, atas permintaan
mereka yang berkepentingan, atau atas tuntutan Jawatan Kejaksaan, harus
memerintahkan kepada Balai Harta Peninggalan, supaya mengurus seluruh atau
sebagian harta kekayaan dan kepentingan-kepentingan itu, pula supaya membela
hak-hak si yang tak hadir dan mewakili dirinya.
Kesemuanya itu dengan tidak mengurangi ketentuan istimewa menurut
Undang-undang dalam hal adanya kepailitan. Sekiranya harta kekayaan dan
kepentingan-kepentingan si yang tak hadir itu tidak banyak, maka, atas permintaan
atau tuntutan seperti di atas, ataupun dengan menyimpang dari permintaan atau
tuntutan itu karena jabatan, Pengadilan Negeri, baik dengan penetapan seperti
yang termaksud dalam ayat kesatu, baik dengan penetapan lebih lanjut yang
kemudian masih juga kiranya akan diambilnya, berkuasa pula memerintahkan
pengurusan harta kekayaan dan perwakilan kepentingan-kepentingan itu kepada
seorang atau lebih dari pada keluarga sedarah atau semenda si yang tak hadir,
yang ditunjuk oleh pengadilan, atau kepada isteri atau suaminya dengan
kewajiban satu-satunya adalah, apabila si yang tak hadir itu pulang kembali,
keluarga, isteri atau suami, tadi harus mengembalikan kepadanya harta kekayaan
itu atau harganya setelah dikurangi dengan segala hutang yang sementara itu telah
dilunasinya, dan tanpa hasil-hasil atau pendapatannya��
Bahwa, Regulasi ketenagakerjaan di Indonesia (kaedah heteronom) yang ada
tidak mengenal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena Pekerja dikategorikan
sebagai orang hilang. Ketiadaan aturan hukum ini dapat memunculkan
ketidakpastian hukum serta konflik/perselisihan yang berujung pada penyelesaian
perselisihan di Pengadilan Hubungan Industrial melalui pengajuan gugatan
seperti dalam perkara 298/Pdt.Sus-PHI/2019/PN Bdg di atas. Bagaimanakah seharusnya
status hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang dikategorikan
sebagai orang hilang?
Di dalam Pasal 1 angka 15 UU 13/2003 disebutkan bahwa hubungan kerja
adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian
kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Tidak adanya lagi
unsur �pekerjaan� dan �perintah� dalam kasus pekerja dikategorikan sebagai
orang hilang akan memunculkan permasalahan mengenai eksistensi hubungan kerja
yang masih dapat dipertahankan atau tidak. Berdasarkan ilmu hukum dogmatik
melalui intepretasi terhadap Pasal 1 angka 15 UU 13/2003, maka seharusnya
hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang dikategorikan sebagai orang
hilang berakhir karena tidak adanya lagi unsur �pekerjaan� dan �perintah�.
Dalam konteks pekerja hilang, dibutuhkan kepastian hukum mengenai status
hubungan kerja dari Pekerja yang dikategorikan sebagai orang hilang, sebab
dalam kondisi ini pekerja tidak dapat bekerja dan pengusaha tidak mendapatkan
prestasi pekerjaan dari Pekerja. Kepastian hukum yang dimaksud yaitu
berakhirnya status hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja dalam rangka
menjaga keseimbangan hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha agar
senantiasa harmonis dalam menjaga ketenangan kerja serta kelangsungan usaha.
Ketidakjelasan status hubungan kerja tentu saja dapat mengganggu ketenangan
bekerja di lingkungan kerja.
Oleh karena secara regulasi ketenagakerjaan tidak mengenal pengakhiran
hubungan kerja karena pekerja dikategorikan sebagai orang hilang, maka
sebaiknya pihak pengusaha dan pekerja membuat aturan tersendiri di dalam kaedah
otonom. Hal ini sejalan dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 61 huruf e
UU 13/ 2003 sebagaimana telah diubah oleh UU 11/2020 sebagai berikut:
�Perjanjian kerja berakhir apabila:
e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja��
Berdasarkan ketentuan tersebut, Pengusaha dan Pekerja dapat mengatur
mengenai pengakhiran hubungan kerja karena pekerja dikategorikan sebagai orang
hilang di dalam kaedah otonom, sehingga tercipta suatu norma hukum yang bisa
diterapkan secara konsisten dan efektif guna mewujudkan kepastian hukum di lingkungan
kerja
2.�� Pemutusan Hubungan Kerja Antara Pengusaha Dengan Pekerja Yang
Dikategorikan Sebagai Orang Hilang.
Bahwa, berdasarkan Pasal 1 ayat (25) UU No. 13 Tahun 2003, Pemutusan
hubungan kerja didefinisikan sebagai:
�Pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha��
Adapun secara detail, jenis-jenis Pemutusan Hubungan Kerja telah diatur
secara detail di dalam Pasal 36 PP Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan
Hubungan Kerja (�PP 35/2021�). Namun, dari jenis� Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut tidak
dikenal adanya jenis PHK karena pekerja dikategorikan sebagai orang hilang,
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diperlukan pendekatan ketiga
terkait alasan PHK yaitu melalui kesepakan antara Pengusaha dan Pekerja untuk
mengatur tentang pemutusan hubungan kerja karena pekerja dinyatakan sebagai
orang hilang di dalam kaedah otonom dalam bentuk Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, maupun Perjanjian kerja Bersama Terkait penyusunan mekanisme PHK
karena pekerja dinyatakan sebagai orang hilang di dalam kaedah otonom,
Pengusaha dan Pekerja dapat melakukan comparative study terhadap peraturan di
bidang hukum administrasi kepegawaian yang berlaku bagi Aparatur Sipik Negara
(ASN).
Di dalam PP 11/2017 yang mengatur mengenai manajemen PNS, terdapat
ketentuan mengenai peberhentian ASN karena hilang. Ketentuan tersebut diatur di
dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 246 PP 11/2017 sebagai berikut:
Pasal 244
1)
���Seorang PNS dinyatakan hilang di luar
kemampuan dan kemauan PNS yang ����bersangkutan
apabila:
a.
Tidak
diketahui keberadaannya; dan
b.
Tidak
diketahui masih hidup atau telah meninggal dunia.
2)
PNS yang
hilang sebagaimana ayat (1) dianggap telah meninggal dunia dan dapat
diberhentikan dengan hormat sebagai PNS pada akhir bulan ke-12 (dua belas)
sejak dinyatakan hilang.
3)
Pernytaaan
hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat oleh PPK atau pejabat lain
yang ditunjuk berdasarkan surat keterangan atau berita acara pemeriksaan dari
pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia
4)
Janda/duda
atau anak PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan hak kepegawaian
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 245
1)
Dalam
hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud dalam pasal 244 ayat (1) ditemukan
kembali dan masih hidup, dapat diangkat kembali sebagai PNS sepanjang yang
bersangkutan bekum mencapai batas usia pensiun.
2)
Pengangkatan
kembali sebagai PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah PNS
yang bersangkutan diperiksa oleh PPK dan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia
3)
Dalam
hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbukti
hilang karena kemauan dan kemampuan yang bersangkutan, PNS yang bersangkutan
dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 246
1)
Dalam
hal PNS yang hilang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 ayat (1) ditemukan
kembali dan telah mencapai Batas Usia Pensiun, PNS yang bersangkutan
diberhentikan dengan hormat dan diberikan hak kepegawaian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
2)
Pemberhentian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dilakukan pemeriksaan oleh PPK dan pihak
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3)
Dalam
hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terbukti
hilang karena kemauan dan kemampuan yang bersangkutan, PNS yang bersangkutan
wajib mengembalikan hak kepegawaian yang telah diterima oleh janda/duda atau
anaknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.�
Ketentuan di atas dapat
diadopsi kedalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja
Bersama dengan melakukan penyesuaian sesuai dengan kondisi serta keadaan di
tempat kerja masing-masing perusahaan.
Terkait dengan permasalahan
tentang bagaimana seharusnya proses pemutusan hubungan kerja antara pengusaha
dengan pekerja yang dikategorikan sebagai orang hilang, maka dibutuhkan
kepastian hukum mengenai penentuan jenis/alasan PHK apa yang akan digunakan
oleh perusahaan untuk mengakhiri hubungan kerja. Kepastian mengenai
jenis/alasan PHK ini bertujuan untuk mencegah ketidakadilan serta terjadinya
sengketa antara perusahaan dengan keluarga pekerja atau pekerja itu sendiri
apabila dikemudian hari ternyata yang bersangkutan diketahui masih hidup atau
muncul kembali. Selain itu kepastian mengenai jenis/alasan PHK juga sangat
berpengaruh terhadap nominal kompensasi PHK yang diterima pekerja dan/atau
keluarganya. Adapun solusi terbaik dari permasalahan ini yaitu melalui
pembuatan kaedah otonom dengan mengadopsi ketentuan orang hilang bagi PNS/ASN
sebagaimana diatur di dalam PP 11/2017, dimana PHK terhadap pekerja hilang
nantinya dapat menjadi jenis PHK tersendiri diluar jenis PHK yang sudah diatur
dalam kaedah heteronom.
3. Hak Bagi
Pekerja/ Keluarga Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Karena Pekerja Dikategorikan Sebagai Orang Hilang.
Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, maka Pemutusan
Hubungan Kerja akan memunculkan hak-hak buruh seperti
uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja (uang jasa), serta uang penggantian hak. Pasal 40 ayat
(1) PP 35/2021, mengatur sebagai
berikut:
�Dalam hal
terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon, dan/atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima��
Sebagaimana penjelasan
pada poin sebelumnya, dimana regulasi ketenagakerjaan tidak mengenal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena pekerja dikategorikan sebagai orang hilang, maka diperlukan
formulasi hak ketenagakerjaan terkait PHK tersebut. Sesuai dengan usulan pada bab sebelumnya, solusi terbaik dari permasalahan ini yaitu melalui
pembuatan kaedah otonom dengan mengadopsi
ketentuan orang hilang bagi PNS/ASN sebagaimana diatur di dalam PP 11/2017, dimana PHK terhadap pekerja hilang nantinya dapat menjadi jenis PHK tersendiri diluar jenis PHK yang sudah diatur dalam kaedah
heteronom. Setelah kaedah otonom yang mengatur alasan PHK karena pekerja hilang terbentuk, hal selanjutnya yang perlu diatur adalah
mengenai formula perhitungan
kompensai PHK yang akan dibayarkan kepada pekerja/keluarganya.
Sebagai perbandingan,
apabila kita mengacu pada Pasal 244 ayat (2) PP 11/2017, terdapat ketentuan pemberhentian ASN yang hilang sebagai berikut:
1) PNS yang hilang sebagaimana ayat (1) dianggap telah meninggal dunia dan dapat diberhentikan dengan hormat sebagai
PNS pada akhir bulan ke-12
(dua belas) sejak dinyatakan hilang.�
Bahwa janda/duda atau anak
dari ASN yang hilang tersebut tetap mendapatkan hak kepegawaian berupa gaji pokok, tunjangan
keluarga, tunjangan pangan dan tunjangan jabatan jabatan sampai dengan akhir
bulan ke 12, dimana setelah terbit pemberhentian dengan hormat, janda/duda atau
anak dari ASN yang hilang berhak mendapatkan
jaminan pensiun dan jaminan hari tua.
Pengaturan mengenai
formula perhitungan kompensai
PHK dapat diatur secara teknis di dalam kaedah otonom
dalam bentuk Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Apabila akan diatur
di dalam PKB, maka issue ini perlu dirundingakan
oleh perusahaan dan serikat
pekerja. Oleh karena hilangnya seseorang merupakan suatu keadaan di luar kemauan serta tidak
adanya unsur kesalahan dari pihak pekerja, maka perhitungan hak pesangon (kompensasi
PHK) dapat diusulkan setara dengan pesangon
bagi pekerja yang PHK karena pensiun, sakit, atau meninggal
dunia. Faktor pengali pada
PHK karena pensiun dan sakit adalah 2 (dua) kali ketentuan pasal 40 ayat (2) PP 35/2021, sedangkan untuk PHK karena pensiun, nominal pengali pesangon adalah 1.75 (satu koma tujuh puluh
lima) kali dari ketentuan pasal 40 ayat (2) PP 35/2021. Bahkan apabila hilangnya pekerja tersebut terjadi pada saat yang berangkutan melakukan pekerjaan, maka dapat dipertimbangkan
untuk pemberian pesangon dengan nominal yang lebih besar lagi.
Bahwa setelah
ketentuan mengenai PHK karena Pekerja hilang beserta perhitungan kompensasi PHK diatur di dalam kaedah otonom (Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama), selanjutnya bagaimana dengan mekanisme perusahaan menyerahkan kompensasi PHK tersebut? Sehubungan dengan hal tersebut,
perusahaan perlu meminta keluarga pekerja memproses dan menyerahkan Penetapan dari Pengadilan Negeri, yang menetapkan jika anggota keluarga tersebut yang diberikan amanah untuk mengurus
harta kekayaan dari pekerja yang hilang (termasuk juga pengurusan kompensasi PHK). Hal ini diperlukan untuk mencegah munculnya tuntutan oleh kepada perusahaan apabila dikemudian hari ternyata pekerja
muncul kembali dan menanyakan hak yang belum pernah ia
terima.� Dengan adanya penetapan
oleh pengadilan tersebut, maka si pengurus
berkewajiban menyerahkan kembali harta kekayaan
dari orang yang hilang tersebut apabila sewaktu-waktu muncul kembali
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan
di atas, dari hasil penulisan yang berjudul �Pemutusan Hubungan Kerja Terhadap
Pekerja Yang Dikategorikan Sebagai Orang Hilang� dapat diambil beberapa
simpulan sebagai berikut:
1. Dalam
konteks pekerja hilang, dibutuhkan kepastian hukum mengenai status hubungan
kerja dari Pekerja yang dikategorikan sebagai orang hilang, sebab dalam kondisi
ini pekerja tidak dapat bekerja dan pengusaha tidak mendapatkan prestasi
pekerjaan dari Pekerja. Kepastian hukum yang dimaksud yaitu berakhirnya status
hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja dalam rangka menjaga
keseimbangan hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha agar senantiasa
harmonis dalam menjaga ketenangan kerja serta kelangsungan usaha.
2. Setelah
adanya kepastian hukum mengenai berakhirnya status hubungan kerja dari Pekerja
yang dikategorikan sebagai orang hilang, maka selanjutnya dibutuhkan kepastian
hukum mengenai penentuan jenis/alasan PHK apa yang akan digunakan oleh
perusahaan untuk mengakhiri hubungan kerja. Kepastian mengenai jenis/alasan PHK
ini bertujuan untuk mencegah ketidakadilan serta terjadinya sengketa antara
perusahaan dengan keluarga pekerja atau pekerja itu sendiri apabila dikemudian
hari ternyata yang bersangkutan diketahui masih hidup atau muncul kembali.
Selain itu kepastian mengenai jenis/alasan PHK juga sangat berpengaruh terhadap
nominal kompensasi PHK yang diterima pekerja dan/atau keluarganya. Adapun
solusi terbaik dari permasalahan ini yaitu melalui pembuatan kaedah otonom
dengan mengadopsi ketentuan orang hilang bagi PNS/ASN sebagaimana diatur di
dalam PP 11/2017, dimana PHK terhadap pekerja hilang nantinya dapat menjadi
jenis PHK tersendiri diluar jenis PHK yang sudah diatur dalam kaedah heteronom.
3. Setelah
adanya kepastian hukum mengenai jenis PHK yang akan digunakan oleh perusahaan,
hal selanjutnya yang perlu diatur guna terciptanya kepastian hukum yaitu
penentuan formula perhitungan kompensai PHK yang dapat diatur secara teknis di
dalam kaedah otonom dalam bentuk Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian
Kerja Bersama (PKB). Oleh karena hilangnya seseorang merupakan suatu keadaan di
luar kemauan serta tidak adanya unsur kesalahan dari pihak pekerja, maka
perhitungan hak pesangon (kompensasi PHK) dapat diusulkan setara dengan
pesangon bagi pekerja yang PHK karena pensiun, sakit, atau meninggal dunia.
Faktor pengali pada PHK karena pensiun dan sakit adalah 2 (dua) kali ketentuan
pasal 40 ayat (2) PP 35/2021, sedangkan untuk PHK karena pensiun, nominal
pengali pesangon adalah 1.75 (satu koma tujuh puluh lima) kali dari ketentuan
pasal 40 ayat (2) PP 35/2021. Bahkan apabila hilangnya pekerja tersebut terjadi
pada saat yang berangkutan melakukan pekerjaan, maka dapat dipertimbangkan
untuk pemberian pesangon dengan nominal yang lebih besar lagi.
BIBLIOGRAFI
Subekti. (2005). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Internusa.
Darmabrata, Wahyono. (2004). Hukum Perdata Asas-asas Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Gitamajaya.
Uwiyono, Aloysius. (2014). Asas-Asas Hukum Perburuhan. Depok: PT Raja Grafindo
Indonesia.
Mamuji, Sri. (2005). Metode
Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Husni, Lalu. (2020). Pengantar Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Pustaka yang berupa
jurnal ilmiah
Canggayuda, Joel.
(2015). Analisis Yuridis Kedudukan Orang hilang Dalam Hukum Kewarisan Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Privat Law 07,137.
Peraturan-Peraturan
Subekti R, Tjitrosudibio. (2004). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Jakarta: Pradya Paramitha.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Ketenagakerjaan, UU No.13 Tahun 2003, LN No.39 Tahun 1999, TLN. No 4279.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No.2 Tahun 2004, LN No.6 Tahun 2004, TLN. No 4356.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Cipta Kerja, UU No.11 Tahun 2020, LN No.245 Tahun 2020, TLN. No
Indonesia. Peraturan Pemerintah Manajemen Pegawai Negeri Sipil, PP No.11 Tahun 2017, LN No.63 Tahun 2017, TLN. No 6037.
� Indonesia. Peraturan Pemerintah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja, PP No.45 Tahun 2021, LN No.6 Tahun 2021, TLN. No 6647.
Website
Ramadhan,�Satu ABK TB Pungut
Hilang di Muara Jungkat, Basarnas Pontianak Kerahkan Kapal
Penyelamat,�https://basarnas.go.id/artikel/diduga-terjatuh-di-muara-jungkat-satu-abk-mt-pungut-hilang-basarnas-pontianak-kerahkan-kapal-penyelamat,
diakses tanggal 16 Februari 2022.
Salmah Muslimah, �Punya
Posisi Strategis, Rian dicari XL Sampai ke Brebes Saat Hilang,�
�https://news.detik.com/berita/d-2984999/punya-posisi-strategis-rian-dicari-xl-sampai-ke-brebes-saat-hilang,
diakses tanggal 16 Februari 2022.
Putusan Pengadilan
Pengadilan Hubungan Industrial Bandung.
Putusan Nomor.298/Pdt.Sus PHI/2019/PN.Bdg.
Rohmawati, L. (2019). Pengaruh Pengawas dan
Direksi Wanita Terhadap Risiko Bank Dengan Kekuasaan CEO Sebagai Variabel
Pemoderasi (Studi Bank Umum Indonesia). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah
Indonesia, 4(9), 26�42.
Ayoib, C. A., & Nosakhare, P. O.
(2015). Directors culture and environmental disclosure practice of companies in
Malaysia. International Journal of Business Technopreneurship, 5(1),
99�114.
Wang, Ning Tao, Huang, Yi Shin, Lin, Meng
Hsien, Huang, Bryan, Perng, Chin Lin, & Lin, Han Chieh. (2016). Chronic
hepatitis B infection and risk of antituberculosis drug-induced liver injury:
Systematic review and meta-analysis. Journal of the Chinese Medical
Association, 79(7), 368�374
Pustaka yang berupa Prosiding
Seminar:
Roeva, O. (2012). Real-World Applications of
Genetic Algorithm. In International
Conference on Chemical and Material Engineering. Semarang, Indonesia:
Department of Chemical Engineering, Diponegoro
University
Pustaka yang berupa disertasi/thesis/skripsi:
Hermanto, B. (2012). Pengaruh Prestasi Trainin, Motivasi Dan Masa
Kerja Teknisi Terhadap Produktivitas Teknisi Di Bengkel Nissan Yogyakarta,
Solo, dan Semarang. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta.
Pustaka yang berupa patent:
Primack, H.S. (1983). Method of Stabilizing Polyvalent Metal Solutions. US Patent No. 4,373,104.
������������������������������������������������
Copyright holder: Gama Ramadhan (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |