Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 eISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 8, Agustus 2022

 

IMPLEMENTASI DIPLOMASI LINGKUNGAN INDONESIA DALAM PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI, RIAU

 

Verdinand Robertua, Riskey Oktavian, Lubendik Sigalingging

Universitas Kristen Indonesia, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan telah mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang berpengaruh pada kerusakan alam dan resiko bagi kehidupan manusia, seperti kerusakan ekosistem, emisi karbon, masalah kesehatan, sosial dan kerugian ekonomi. Kondisi dapatmemicu perubahan iklim yang sangat drastis. Melihat kondisi geografis, Indonesia adalah salah satu negara yang rentan akan perubahan iklim. Komitmen pemerintah Indonesia di dunia internasional menjadi suatu hal yang harus dikaji lebih dalam mengingat hal ini menjadi bagian dari kepentingan nasional Indonesia. Diplomasi lingkungan Indonesia menjadi dipertanyakan efektivitasnya melihat implementasi perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) di Indonesia. Peran pemerintah kabupaten dan kota menjadi sentral dalam implementasi Perjanjian Paris dan TPB dan perlu diteliti lebih dalam. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber kunci, masih banyaknya retorika dan realita yang terjadi dari tingkatan instansi yang sifatnya top-down. Masih banyaknya ketidaksinambungan kebijakan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang mengakibatkan restorasi dan penanggulangan kebakaran gambut tidak berkelanjutan. Dengan menggunakan tipologi fragmentasi Biermann, peneliti mengidentifikasi fragmentasi kerjasama yang belum mampu menghadapi ancaman perubahan iklim. Pemerintah kabupaten Kepulauan Meranti tidak dilibatkan secara optimal dalam perencanaan tata ruang dan tata lahan serta prioritas lokal. Bukan hanya itu dengan tipologi Ibon juga peneliti melihat peranan tingkatan pemerintah dengan permasalahan Meranti ini. Berbekal hasil wawancara tersebut, penelitian ini merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia secara serius mengejar fragmentasi sinergi dengan melibatkan pemerintah kabupaten dan kota dalam implementasi Perjanjian Paris dan TPB.

 

Kata Kunci: Perjanjian Paris, Diplomasi Lingkungan Indonesia, Restorasi Gambut, Fragmentasi, Kerjasama

 

Abstract

In Indonesia, forest and land fires have resulted in changes to the environment that affect the destruction of nature and risks to human life, such as ecosystem damage, carbon emissions, health, social and economic losses. Conditions can trigger very drastic climate change. Looking at geographical conditions, Indonesia is one of the countries that is vulnerable to climate change. The Indonesian government's commitment to the international world is something that must be studied more deeply considering that this is part of Indonesia's national interest. Indonesia's environmental diplomacy has become questionable in its effectiveness in seeing the implementation of the Paris agreement and the Sustainable Development Goals (SDGs) in Indonesia. The role of district and municipal governments is central in the implementation of the Paris Agreement and the SDGs and needs to be examined more deeply. Based on the results of interviews with key sources, there is still a lot of rhetoric and reality that occurs from the level of agencies that are top-down in nature. There are still many policy inconsistencies from the central government to local governments that result in unsustainable peat fire restoration and mitigation. Using Biermann's typology of fragmentation, researchers identified fragmentation of cooperation that has not been able to deal with the threat of climate change. The Meranti Islands district government is not optimally involved in spatial planning and land planning as well as local priorities. Not only that, with the Ibon typology, researchers also see the role of the government level with this Meranti problem. Armed with the results of the interview, this study recommends that the Government of Indonesia seriously pursue synergy fragmentation by involving district and city governments in the implementation of the Paris Agreement and the SDGs.

 

Keywords:Paris Agreement, Indonesia's Environmental Diplomacy, PeatLand Restoration, Fragmentation, Cooperation

 

Pendahuluan

Implementasi diplomasi lingkungan Indonesia masih menjadi kajian yang belum diteliti secara intensif. Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki lahan gambut terbesar di dunia setelah Rusia, Kongo dan Kanada (Robertua, Politik Lingkungan Indonesia 2020). Adanya lahan gambut yang luas di Indonesia tentu memberikan banyak manfaat, diantaranya mampu menyimpan dan mensuplai air, memberikan kayu dan non kayu sebagai hasil hutan, mencegah kekeringan menyimpan dan memberikan sumbangan sebesar 30 persen karbondioksida kepada dunia, hingga sebagai tempat bagi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia, baik flora maupun fauna yang langka maupun hampir punah. Namun, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau telah mengakibatkan perubahan lingkungan yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan resiko bagi kehidupan manusia, seperti kerusakan ekosistem, emisi karbon, masalah kesehatan, sosial dan kerugian ekonomi.

Permasalahan kebakaran hutan dan ekosistem gambut yang terdegradasi disebabkan oleh tata kelola yang lemah dimana jaringan patronase terjadi di setiap sektor sosial, politik dan ekonomi. Para elit ekonomi ini bekerja sama dengan para elit lainnya terutama dalam bidang sosial-politik dan para pihak penegak hukum yang dijadikan sebagai klien. Adanya kerja sama antar elite ini dapat disebut sebagai patronase politik yang tentunya sejalan dengan permasalahan lingkungan terkhusus deforestasi hutan maupun ekosistem gambut yang kemudian diubah menjadi lahan lain seperti pembangunan perumahan ataupun kawasan industri. Seringkali para elit yang terlibat mengabaikan kondisi lingkungan demi mencapai kepentingan bisnis dan usaha mereka demi mendapatkan keuntungan dalam kegiatan perekonomian.

Ekosistemgambut adalah contoh penting dari perlindungan lingkungan. Gambut tercipta dari dekomposisi kayu danbahan organik lainnya. Gambut dapat menahan lebih banyak karbon dan air daripada tanah biasa, tetapi gambut yang dikeringkan lebih rentan terhadap kebakaran. Memiliki gambut memiliki dampak positif dan negatif. Gambut yang ditinggikan membantu penduduk setempat menghemat air. Hal ini juga digunakan oleh manusia untuk pertanian dan budidaya seperti nanas, kakao, kopi dan beras. Selain itu, dampak negatif yang ditimbulkan oleh kebakaran gambut dapat mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, mulai dari gangguan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, hambatan lalu lintas, kerusakan ekosistem, berkurangnya wisatawan, implikasi politik dan ekonomi, serta masalah kesehatan. Namun, gambut telah terdegradasi secara signifikan oleh perluasanperumahan, industri kelapa sawit, dan industri berbasis kayu (Robertua 2020).

Kebakaran hutan dan lahan di Riau sudah berlangsung sejak tahun 1998 hingga 2015 yang sudah memasuki status darurat asap. Dalam menghadapi permasalahan ini, sikap lengah yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Riau menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah ini terjadi secara terus menerus (Meiwanda 2016). Upaya sistem dan proses penanggulangan kebakaran belum optimal dan terjadi berulang-ulang kali. Kemampuan pemerintah Provinsi Riau dalam membuat kebijakan pengendalian sangat dituntut dalam mengendalikan hal ini. Pemerintah pusat maupun daerah dituntut untuk memiliki kemampuan atau kapabilitas sebagai bentuk dari kewajiban yang harus dimiliki oleh instansi pemerintahan dalam menghadapi serta menjawab semua tantangan dan permasalahan yang terjadi sesuai dengan dinamika serta perubahan yang terjadi secara berkala.

Kebakaran hutan tahun 2015 di Provinsi Riau telah menghancurkan jutaan hektar lahan gambut. Pada bulan Oktober 2015, Presiden Joko Widodo mengunjungi Kalimantan Selatan untuk melakukan survei pengawasan kebakaran yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (SAR), Tentara Nasional IndonesiaRepublik Indonesia dan kepolisian (Guardian, 2015). Jokowi mencermati bahwa permasalahan degradasigambut di Riau disebabkan banyaknya kanal yang mengeringkan lahan gambut akibat perkebunan kelapa sawit dan menjadi hotspot kebakaran hutan di Indonesia. Transformasi fungsi hutan gambut dapat mengurangi bahkan menghilangkan fungsi gambut sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati, selain mengurangi fungsi gambut sebagai penyerap karbon dan fasilitas penyimpanan air.

Ekosistem gambut di Kepulauan Meranti telah mengalami masalah yang serius akibat eksploitasi industri terhadap sumber daya alam terutama di bidang pulp and paper dan perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan ekosistem gambut secara eksploitatif telah dilegitimasi oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya sektor kehutanan dan pertanahan yang memberi insentif kebijakan kepada kelompok bisnis padat modal tersebut melalui pemberian konsesi-konsensi skala besar. Tata kelola berbasis konsensi ini menimbulkan dampak sosial yang mengakibatkan munculnya konflik antara masyarakat lokal dengan pemilik konsensi dan pemerintah pusat maupun daerah. Kehidupan masyarakat lokal di Kepulauan Meranti sangat bergantung pada ekosistem gambut. Namun, hal ini menjadi renggang akibat dampak dari eksploitasi yang menyebabkan kerusakan ekosistem gambut. Secara sosial-ekonomi, hal ini sangat berpengaruh terhadap penghasilan masyarakat di Kepulauan Meranti yang melahirkan kemiskinan dan kerentanan sosial-ekonomi lainnya.

Deforestasi hutan dan lahan yang berlangsung terus menerus menunjukan bahwa ketidakmampuan Pemerintah Provinsi Riau dalam mengendalikan deforestasi serta kebakaran hutan yang dapat dilihat berdasarkan adanya kabut asap yang melewati batas negara. Oleh karena itu,diperlukan sebuah komitmen dan kedisplinan dalam menunjukan kapabilitas yang baik dalam mengendalikan penyebab kabut asap. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Otonomi Daerah menjelaskan bahwa instansi pemerintahan merupakan suatu instansi yang memberikan pelayanan jasa yang diberikan secara umum kepada publik dengan cara memberikan kepuasan kepada masyarakat. Pernyataan ini berkaitan dengan penelitian kami yang bertujuan untuk memberikan analisa terkait upaya yang dilakukan pemerintah dan respon masyarakat terhadap restorasi penanggulangan gambut.

Selain, penelitian ini juga akan memberikan kajian mendalam tentang kebijakan yang mengatur pengelolaan ekosistem gambut dalam menghadapi persoalan-persoalan terkait kerusakan ekosistem gambut, seperti kebijakan yang tercantum dalam NDC (Nationally Determined Contribution) yang merupakan dokumen berisi komitmen negara-negara atas aksi penyelamatan iklim melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dikomunikasikan kepada dunia pada tahun 2015 melalui Perjanjian Paris (Paris Aggrement) lalu sebagai bentuk diplomasi lingkungan Indonesia yang bersifat outside-in.

Oleh karena itu, peneliti mengharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi maupun rekomendasi kepada pemerintah Indonesia sebagai pembuat dan pemangku kebijakan dan masyarakat Kabupaten Meranti dalam merespons perkembangan restorasi lahan gambut. Penelitian ini disusun dengan menggunakan indikator kinerja utama penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Kristen Indonesia (Fisipol UKI) di mana di dalamnya dosen melibatkan mahasiswa untuk menjadi asisten peneliti sebagaimana diarahkan oleh Kemenristekdikti (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi).

 

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Menurut Sugiyono (2005), sifat filsafat post-positivisme adalah landasan dalam metode penelitian kualitatif. Landasan ini digunakan oleh peneliti dalam pengambilan dan pengumpulan sampel data hingga analisis data. Dalam analisis data peneliti menganalisis secara induktif maupun kualitatif untuk memperkuat hasil analisis yang lebih mendalam. Peneliti menggunakan teknik-teknik tersebut untuk dijadikan sebagai instrumen kunci untuk menunjang keberlangsungan penelitian. Peneliti fokus pada kondisi ilmiah yang merupakan objek dalam bereksperimen.

Dalam hal ini peneliti menfokuskan penelitiannya dalam menganalisa kebijakan-kebijakan terkait restorasi, penanganan serta penanggulangan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat dengan menggunakan konsep diplomasi lingkungan Indonesia yang terfokus pada permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Indonesia. Peneliti juga menggunakan jenis kualitatif tipe deskriptif analitik. Menurut Sugiono, metode deskriptif adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau juga memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya dengan memusatkan penelitian kepada masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.

Studi kasus adalah rangkaian kegiatan akademik yang dilakukan secara rinci dan rinci tentang suatu program, peristiwa, atau kegiatan pada tingkat individu, sekelompok orang, lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan yang terperinci tentang peristiwa tersebut. Biasanya, peristiwa yang dipilih adalah peristiwa aktualyang sedang berlangsung, bukan peristiwa yang terjadi. Louis Smith, Stake, menjelaskan "a bounded system", kasusyang dimaksudkan sebagaisistem yang tidak independen. Suatu penelitian tidak bisa didukung oleh satu kasus saja, maka dari itu kami memakai metode studi kasus dalam kualitatif karena banyak kasus yang mendukung dari kasus utama yang kami angkat sebagai penelitian. Suatu penelitian tidak bisa didukung oleh satu kasus saja, maka dari itu kami memakai metode studi kasus dalam kualitatif karena banyak kasus yang mendukung dari kasus utama yang kami angkat sebagai penelitian.

Sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah sumber data primer dan data sekunder. Data sekunder berasal dari buku dan majalah atau sumber ilmiah, arsip berupa dokumen pribadi atau juga dokumen resmi. Peneliti akan menggunakan sumber data dari bahan bacaan seperti jurnal ilmiah, buku, serta informasi dari media massa di internet. Bahan bacaan yang digunakan oleh peneliti adalah bacaan yang bertemakan dan berhubungan dengan politik dan diplomasi lingkungan Indonesia dalam studi kasus kebakaran hutan dan lahan.

Untuk metode studi kasus dalam kualitatif, penelitian ini akan memperoleh data dengan menggunakan beberapa teknik seperti observasi lapangan, wawancara secara mendalam dengan masyarakat maupun pemegang kepentingan hingga diskusi kelompok secara terarah yang dilakukan secara berkala. Peneliti mencari informan kunci yang akan diwawancarai dan diobservasi melalui focus group discussion, diantaranya adalah pejabat pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan perwakilan komunitas akademik.

Informan kunci pertama dalam focus group discussion adalah staff pemerintahan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau yaitu Dr. Prayoto, S.Hut, MT yang menjabat sebagai bagian dari Seksi Restorasi Gambut, Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Teknik pengumpulan data meliputi dua teknik yaituwawancara dan teknik pengumpulan datayang kemudian di analisis dari berbagai sumber terpercaya, baik dari penelitian yang telah dilakukan oleh staff dinas lingkungan hidup dan kehutanan Riau maupun sumber-sumber lain berupa laporan, berita maupun gambar atauapun grafikyang dapat digunakan untuk melengkapai metode wawancara.

Informan kunci kedua yang diwawancarai berasal dari lembaga swadaya masyarakat yaitu Pantau Gambut yang diwakili oleh Romes Irawan Putra S.H, M.H sebagai manajer keterlibatan dan penjangkauan PantauGambut dan Agiel Prakoso S. Hut. sebagai manajer riset di Pantau Gambut. Pantau Gambut adalah suatu lembaga non-profit yang menggunakan media sosial untuk memberikan informasi, pengetahuan dan pembelajarab terkait kegiatan dalam perlindungan ekosistem gambut serta mengawal implementasi komitmen pemerintah, pelaku ekonomi bisnis, organisasi masyarakat sipil dalam upaya perlindungan ekosistem gambut di Indonesia.

Peneliti juga mengadakan diskusi terbatas dengan perwakilan dari komunitas akademik yaitu Theresia Kurniaty S.Hum, M.Sos yang dilibatkan dalam focus group discussion dengan Dr. Prayoto, S.Hut, MT untuk memperkuat dan mempertajam analisis data yang telah dikumpulkan. Selain itu, peneliti juga menggunakan tinjauan literatur dan peraturan pemerintah yang terkait dengan upaya restorasi lingkungan, moratorium lahan gambut, restorasi gambut, kebakaran hutan dan perjanjian lingkungan internasional akan diadakan.

 

Sumber data

Teknik Pengumpulan Data

Aspek data

Primer

Diskusi Terbatas

Focus Group Discussion denganStaff Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau

1. Data terkait dampak kasus kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kepulauan Meranti

2. Data terkait kebijakan yang ditetapkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

3. Data jumlah kerugian ekonomi pada sektor-sektor terkait dan hubungan antar negara tetangga.

Primer

Wawancara

Diskusi dengan lembaga swadaya masyarakat : Pantau Gambut

1. Perdebatan terkait cakupan dan dimensi konsep diplomasi lingkungan Indonesia.

2. Peran negara di dalam mengkaji kebijakan tentang restorasi lahan gambut Riau.

Sekunder

Dokumentasi

Penelaahan dan pencatatan isi media massa online di internet tentang kasus kebakaran hutan dan lahan di Riau serta peraturan terkait kebijakan yang ditetapkan pemerintah.

Data terkait kasus pelanggaran lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat dan keterikatan denganbantuan sosial yang terjadi di daerah tersebut.

Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

 

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai macam sumber. Sumber-sumber tersebut meliputi ahli-ahli yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, dokumen maupun laporan dari media massa serta jurnal yang terpublikasi secara resmi baik dari pemerintah maupun non-pemerintah. Sumber-sumber yang sudah dikumpulkan akan peneliti bandingkan satu sama lain untuk menemukan sumber yang aktual dan konkrit sehingga dapat digunakan sebagai data dalam penelitian.

Analisis data dalam penelitian dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Pertama, reduksi data yaitu dengan adanya proses analisis data yang dilakukan untuk mereduksi dan kemudian merangkum keseluruhan penelitian. Hal ini berguna untuk memudahkan pemahaman data menjadi sebuah acuan yang lebih rinci. Kedua, penyajian data dilakukan dalam bentuk laporan sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh. Ketiga, verifikasi adalah pemberian makna terhadap penelitian yang dilakukan atau dianalisis.

Proses ini diawali dengan penataan data lapangan, dan mereduksi hingga menjadi unifikasi dalam bentuk kategorisasi data. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan cara reduksi data. Peneliti akan mengumpulkan data-data yang diperoleh dan merangkumnya sesuai dengan relevansinya pada penelitian ini. Hal ini peneliti lakukan untuk mencari data yang sepadan dan berkaitan agar dapat dikategorikan dalam satu jenis yang sama.

 

Hasil dan Pembahasan

Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Isu Perubahan Iklim

Menurut David Easton, kebijakan adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah atau pemimpin kelompok/organisasi sebagai kekuasaan untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi masyarakat atau anggota kelompok (Nadel 1975). Dari pengertian yang diuraikan oleh David Easton ini semakin jelas menggambarkan situasi dimana kebijakan dalam struktur organisasi menjadi sangat penting sehingga kemauan, dan paham yang ingin disampaikan oleh kelompok tersebut dapat dipahami dan dimengerti oleh pihak lainnya. Kebijakan yang dapat dikatakan bijak adalah suatu kebijakan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada setiap pihak dan dapat menyesuaikan dengan kondisi realita dalam lapangan. Dengan hal ini menunjukkan bahwa kebijakan yang bijaksana merupakan suatu kebijakan yang dapat tepat sasaran dan sesuai dengan realita sehingga dalam pengaplikasiannya, kebijakan tersebut dapat searah dengan apa yang diharapkan dan kondisi yang terjadi di lapangan. 

Kebijakan menjadi suatu modal yang penting dalam suatu perubahan ide maupun gagasan menjadi suatu tindakan. Melihat kondisi yang terjadi di Kepulauan Meranti, Riau terkait restorasi tanah gambut akibat kebakaran hutan, ini menjadi suatu hal yang tentunya tidak terlepas dari kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu melawan perubahan iklim. Indonesia telah menyadari bahwa Indonesia termasuk negara yang rentan akan perubahan iklim. Kondisi seperti ini menjadi faktor yang mendorong Indonesia untuk meratifikasi Perjanjian Paris yang dibuktikan dengan disahkannya UU No. 16 Tahun 2016 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017. Dengan diratifikasinya kedua perjanjian ini menunjukan bentuk komitmen Indonesia kepada dunia internasional bahwa Indonesia turut aktif berkontribusi mencapai tujuan yang telah disepakati. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tidak terlepas dari adanya kepentingan luar negeri Indonesia. Hal ini tidak terlepas bahwa Indonesia telah menjadi salah satu negara penghasil emisi karbon terbesar ke-4 pada tahun 2015, sudah saatnya Indonesia mengubah citranya di mata dunia bahwa Indonesia mampu menjadi solusi atas perubahan iklim, karena negara-negara dunia menyadari bahwa hutan sebagai kunci dalam perubahan iklim.

Kini sudah saatnya Indonesia menunjukan eksistensinya di mata dunia bahwa Indonesia adalah negara berkembang yang berani mewujudkan aksi global yang tentunya akan menjadi langkah awal bagi Indonesia untuk menjadi negara maju apabila Indonesia mampu mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) yang telah dibentuk oleh pemerintah Indonesia sendiri. Nationally Determined Contribution atau NDC sendiri merupakan suatu kebijakan pasti yang telah dirumuskan oleh pemerintah Indonesia dalam mengatasi polusi udara akibat kebakaran hutan maupun lahan di Indonesia. Kewajiban negara berkembang dalam aksi perubahan iklim disesuaikan dengan kemampuan nasional dan adanya dukungan pendanaan dari negara maju (Kementerian BUMN Indonesia 2017). Dengan demikian, dengan adanya kepentingan nasional dalam kebijakan luar negeri Indonesia dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau dalam pembangunan berkelanjutan yang tentunya dapat memicu adanya investasi rendah karbon agar terciptanya keseimbangan dan keadilan antar negara berkembang dan negara maju. 

Hadirnya kebijakan luar negeri akan permasalahan asap udara di Indonesia ini menjadi suatu jawaban dari permasalahan yang dapat memberikan citra buruk kepada Indonesia. Negara tetangga Indonesia seperti Malaysia dan Singapura yang sering �mengeluh� terhadap asap polusi kebakaran lahan maupun hutan yang dapat mempengaruhi kualitas udara di negara mereka. Keluhan ini jelas bukanlah suatu keluhan yang hanya disampaikan person by person saja namun keluhan ini dituangkan dan disuarakan pada publik internasional yang artinya seluruh masyarakat Internasional dapat mengetahui dan mendengar �keluhan� yang dirasakan oleh negara tetangga Indonesia itu sendiri. Citra dan labelling menjadi salah satu hal yang dipertaruhkan oleh Indonesia dalam usaha yang dilakukan oleh negara tetangganya itu. Ancaman ini jelas menjadikan suatu cambukan keras bagi pemerintah Indonesia untuk lebih serius dan memperhatikan lagi bagaimana kebijakan luar negeri Indonesia dapat secara tuntas menyelesaikan permasalahan asap akibat pembakaran tersebut.

Kepentingan nasional Indonesia tidak akan tercapai tanpa adanya keselarasan kebijakan nasional dengan pemerintah daerah. Indonesia telah mewujudkan kebijakan luar negeri dalam bentuk kerja sama internasional dalam investasi pendanaan, namun yang menjadi tugas terbesar Indonesia adalah bagaimana Indonesia membuat kebijakan nasional yang mampu diimplementasikan di tingkat daerah. Perubahan iklim memang masalah global yang perlu dipecahkan akar permasalahannya, tetapi dari tingkat nasional adalah kunci bagaimana permasalahan global dapat terpecahkan, karena fokus pemecahan masalah lingkungan bersumber dari efektivitas kebijakan suatu negara dalam membuat peraturan peraturan mengatasi isu perubahan iklim. Kebijakan nasional yang terimplementasi di tingkat daerah akan memberikan manfaat yang signifikan, yang kemudian akan dikaji lebih dalam efektivitasnya oleh dunia internasional apabila sudah memenuhi standar pencapaian NDC dan juga memberikan manfaat kepada masyarakat lokal, daerah, nasional hingga internasional. 

Dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah menjadi suatu kunci tokoh utama yang penting dalam berjalannya kebijakan luar negeri yang telah disusun secara baik oleh pemerintah Indonesia sendiri. Berjalan atau tidak berjalannya kebijakan luar negeri suatu negara, diperlukannya suatu kesenergian antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam menjalankannya. Pemerintah pusat sebagai lembaga pemerintahan yang membuat, mengesahkan serta mengawasi berjalannya kebijakan sedangkan pemerintah daerah menjadi subjek yang menjalankan kebijakan tersebut yang dicampurtangani juga dengan pemerintah pusat dengan lembaga-lembaga tertentu seperti kementerian, BUMN dan lainnya. Setelah apa yang dilakukan oleh pemerintah daerah sudah sejalan dengan apa yang dituliskan pada kebijakan, maka tugas pemerintah pusat-lah untuk melaporkan dan menunjukkan kepada dunia internasional tentang pencapaian yang telah dilakukannya dalam mengatasi masalah melalui kebijakan tersebut. Namun negara ataupun pemerintah pusat disini tidak hanya sampai disitu saja, diharapkan kebijakan luar negeri yang telah dibuat ini dapat mempengaruhi serta menarik kembali perhatian masyarakat internasional dengan melakukan kerjasama internasional dengan pemerintah daerah dan lainnya. Usaha-usaha ini perlu dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga kebijakan luar negeri yang telah dibuat bersama oleh pemerintah pusat dapat terus terjaga keberlangsungannya. 

Erat kaitannya dalam pembangunan berkelanjutan, dilema lingkungan masih menjadi hal yang masih diperdebatkan. Menurut Lele dan Richardson, dalam pembangunan berkelanjutan seringkali pemerintah, perusahaan dan individu bersaing untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan berdasarkan kepentingan masing-masing aktor (Sinaga, The Crisis of Pluralism in Environmental Studies of English School ? Case Study of Joko Widodo's Environmental Diplomacy (2014-2018) 2018). Definisi ini tidak merincikan hal-hal secara ringkas dan spesifik yang akibatnya membuat stakeholder mengkonsumsi konsep pembangunan berkelanjutan sesuai dengan kepentingan pragmatis mereka sendiri. Jika konsep dari pembangunan berkelanjutan terhadap lingkungan sudah terperinci dengan jelas, maka keterkaitan antara kebijakan luar negeri Indonesia dengan masyarakat global akan membentuk diplomasi lingkungan yang kuat dan ideal dan mencakup nilai-nilai keberlanjutan yang maju, integrasi antar sektor dengan cangkupan yang luas. Namun, kebijakan diplomasi lingkungan Indonesia dalam lingkup internasional masih sebatas proses untuk mengejar target yang ambisius. Akar permasalahan diplomasi lingkungan Indonesia masih terfokus pada implementasi tingkat internasional untuk mewujudkan eksistensi Indonesia semata sehingga mengabaikan implementasi dalam tingkat domestik. Dapat dikatakan perjanjian dalam Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan kerja sama yang melibatkan organisasi internasional hanya sebatas janji diplomatik di atas kertas untuk memenuhi kepentingan nasional dari kebijakan luar negeri Indonesia.

Salah satu penyebab kegagalan Indonesia dalam memenuhi komitmen lingkungan secara global dikarenakan kurangnya dana dan kapasitas dasar dari badan pelaksana, meskipun sudah tercantum dalam Perpres No.59 tahun 2017. Banyak upaya pemerintah Indonesia untuk memenuhi komitmen global, seperti disahkannya undang-undang lingkungan, namun upaya Indonesia untuk berproses patut untuk di apresiasi meskipun belum membuahkan hasil yang maksimal, karena konteks dari diplomasi lingkungan yang dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang disertai dengan strategi yang lebih kuat untuk mencapai target-target yang telah disepakati. Sudah seharusnya Indonesia lebih memprioritaskan pembangunan yang sifatnya dari dalam ke luar (inside-out). Jika terus berfokus pada diplomasi yang rasional dan berorientasi dari luar ke dalam (outside-in) masih banyak �tugas� yang harus dijalankan untuk beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin belum terapkan di lingkup nasional dan kemungkinan terburuknya akan berdampak pada pembangunan yang tidak berkelanjutan. Dengan demikian, membangun dan membina interaksi dengan masyarakat dalam negeri adalah �pekerjaan rumah� yang besar yang harus dilakukan untuk membangun kepentingan nasional Indonesia yang bergerak secara dinamis.

Sistem desentralisasi yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia seharusnya tidak menjadi suatu alasan dalam ketidakberhasilan kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah pusat. Justru, desentralisasi menjadi suatu akses fasilitas dimana dengan adanya pelimpahan wewenang dan tugas ini menjadikan pemerintah daerah yang menjadi suatu subjek utama dapat memahami dan mengerti apa yang dibutuhkan dan langkah apa selanjutnya yang tepat. Pelimpahan tugas maupun wewenang yang ada dalam desentralisasi tidak menggambarkan suatu kondisi dimana pemerintah pusat secara penuh memberikan tugas dan wewenang tersebut sehingga tidak ada usaha dari pemerintah pusat itu sendiri dalam menjalankan kebijakan yang telah dibuat. Desentralisasi yang dibicarakan ini tetap membutuhkan peran pemerintah pusat setidaknya menjadi lembaga pengawas. Selain itu, pemerintah pusat dapat pula mengambil bagian penting dalam berjalannya kebijakan dengan pemerintah daerah.

Dalam menjalankannya suatu kebijakan yang telah disepakati antara pemerintah pusat dan daerah, pada akhirnya akan menciptakan suatu produk baru pula dalam menjawab kebijakan tersebut. Produk tersebut adalah regulasi kebijakan. Regulasi kebijakan menjadi suatu alat pencegah yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah agar pihak swasta maupun pihak berwenang lainnya dimasa depan dapat memahami dan melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan yang telah sejalan dengan kebijakan pemerintah yang telah dibuat dan dijalankan.Kebijakan yang telah dilaksanakan antara pemerintah pusat dan daerah yang pada akhirnya nanti akan menghasilkan suatu regulasi merupakan suatu usaha dari negara dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Sehingga kebijakan luar negeri tidak selalu menggambarkan bagaimana negara bertindak atas tindakan negara lain saja namun kebijakan luar negeri sendiri dapat dijalankan secara teknis oleh pemerintah pusat dan daerah.

Diplomasi lingkungan Indonesia adalah sentral dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Peran negosiator sebagai perwakilan Indonesia dalam diplomasi lingkungan menjadi ujung tombak keberhasilan atau kegalalan dalam diplomasi. Strategi komunikasi adalah sebagai �best practice� bagi para negosiator untuk mengkomunikasikan gagasannya untuk mendorong keberhasilan diplomasi lingkungan Indonesia (Kurniaty 2020). Dapat dikatakan, keberhasilan diplomasi akan terlaksana jika adanya instrumen pendukung yang membantu percepatan keberhasilan diplomasi, karena keefektifan diplomasi lingkungan Indonesia membutuhkan kerja sama multi-stakeholder. Namun sebaliknya, diplomasi lingkungan tidak akan berjalan efektif apabila masih bersandar kepada pemerintah pusat Indonesia saja.

Keefektifan kebijakan luar negeri suatu negara dapat dilihat dari berjalan tidaknya pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan diplomasi lingkungan itu sendiri dalam negaranya sendiri. Setelah mereka dapat menjalankannya dengan baik, maka negara dapat secara sah menggambarkan situasi kebijakan luar negerinya di dunia internasional. Sehingga secara sederhananya, sebelum negara menyatakan sikap kebijakan luar negerinya perlu ada usaha pada negara itu sendiri untuk menjalankan kebijakan serupa pada sektor dalam negerinya. Pada akhirnya akan tergambar pula pola hubungan antara kebijakan luar negeri dan dalam negeri yang baik sehingga kepentingan internasional negara dapat berjalan lebih baik dan jelas. Namun fakta yang masih sering terjadi adalah pemerintah pusat masih lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi atau perlindungan teritorial dan tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan (Benedick 1986).

Adanya faktor kebijakan internal yang tidak sesuai juga menjadi faktor penghambat dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. Seperti yang diasumsikan oleh kaum pluralisme bahwa masih banyaknya perbedaan kepentingan para aktor yang sulit untuk disatukan (Sigalingging 2019). Dalam tingkat domestik, negara sebagai aktor utama dalam tatanan internasional telah dipandang sebagai pembuat onar dalam diplomasi lingkungan Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai kebijakan yang masih simpang siur dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah hingga lembaga-lembaga yang terlibat dalam restorasi lahan gambut. Contohnya seperti kepentingan ekonomi yang membuat adanya pembukaan kawasan hutan lindung gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dan melibatkan aktor-aktor daerah. Tetapi di lain sisi pemerintah pusat membuat Badan Restorasi Gambut untuk merestorasi lahan gambut akibat pembukaan lahan yang dilakukan secara sengaja. Kondisi seperti ini menempatkan bahwa pemerintah Indonesia membuat kebijakan yang masih konfrontatif yang masih menimbulkan banyak perdebataan antara koorporasi, lembaga swadaya masyarakat hingga masyarakat lokal.

Diplomasi Lingkungan Indonesia dan Desentralisasi Pemerintahan

����������� Penelitian ini fokus menganalisis implementasi diplomasi lingkungan. Diplomasi telah memainkan peran baik dalam situasi normal maupun pada saat timbulnya konflik. Diplomasi lingkungan sebagai salah satu kegiatan diplomasi pada umumnya, akan memberikan kontribusi yang berdampak positif bagi perbaikan kualitas lingkungan hidup dan perkembangannya dalam dunia internasional. Diplomasi lingkungan tidak dapat dipisahkan dalam ilmu hubungan internasional terutama berkaitan erat dengan kebijakan politik luar negeri. Selain itu, diplomasi lingkungan termasuk dalam proses negosiasi yang tidak terlepas dari berbagai macam perbedaan serta kepentingan nasional, sekelompok organisasi maupun individu.

Dalam buku Andreas Pramudianto (2008) menjelaskan bahwa diplomasi lingkungan Indonesia adalah upaya yang harus dijalankan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia. Diplomasi adalah bagian ilmu dan seni yang harus dimiliki oleh setiap negara untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan yang sedang terjadi untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara yang kaitannya juga berhadapan dengan negara-negara lain. Secara khusus dalam menerapkan diplomasi lingkungan Indonesiayang bertujuan untuk menangani isu-isu terkait lingkungan hidup demi mencapai kepentingan nasional maupun kepentingan entitas non-negara berdasarkan kesesuaian dan kebijakan yang ditetapkan oleh pihak-pihak terkait. Diplomasi lingkungan Indonesia dapat disesuaikan dengan kebijakan politik luar negeri dan kebijakan politik dalam negeri terutama dalam bidang keselamatan lingkungan hidup Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 


Sumber : (Pramudianto 2008)

 

 

 

 

 

 

 

Model Diplomasi Lingkungan

 

Berdasarkan gambar diatas, diplomasi lingkungan merupakan gabungan seni dan ilmu. Ilmu dalam hal ini didasarkan pada ilmu pengetahuan, dimana diplomasi lingkungan dapat dipelajari dan dikaji melalui berbagai macam studi. Seni dalam diplomasi lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek seperti seni berkomunikasi, seni bernegosiasi serta alat-alat untuk membantu dalam berdiplomasi.

Dalam dinamika hubungan internasional yang semakin kompleks, peran diplomasi lingkungan hidup telah berkembang dengan pesat dimana dalam perundingannya dapat menentukan program lingkungan hidup global yang baik yang tentunya berkaitan erat dengan kontribusi negara yang bermanfaat di kemudian hari. Kasus kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera menjadi salah satu contoh bagaimana para pemegang keputusan di ASEAN menjadi sibuk dalam rangka menangani persoalan regional. Akan tetapi, seorang diplomat harus bertindak tegas dan tidak hanya melihat kepentingan negaranya saja, melainkan perlu memperhatikan kepentingan-kepentingan dari negara lain. Peran seorang diplomat harus menempatkan posisi secara tepat dan melihat situasi yang berkembang dalam dinamika perundingan terutama dalam diplomasi lingkungan. Oleh karena itu, dalam diplomasi lingkungan keterlibatan peran semua pihak dapat mempengaruhi negosiasi maupun keberhasilan dari suatu perundingan.

Salah satu tujuan utama diplomasi lingkungan adalah untuk menetapkan, menciptakan, meningkatkan, menerapkan dan menyepakati norma-norma hukum lingkungan internasional. Sejak diplomasi lingkungan memainkan peran penting dalam sistem politik internasional, hukum lingkungan internasional telah menciptakan hak dan kewajiban untuk menjaga keseimbangan sistem antara negara kesatuan non-negara (substansi) dan komunitas internasional lainnya.Kajian diplomasi lingkungan sebagai salah satu bidang baru yang muncul dalam bidang diplomasi dan hubungan internasional tidak lepas dari dampak munculnya isu lingkunganyang diangkat sebagai isu politik global. Masalah lingkungan yang semula bersifat ilmiah sejak Deklarasi Stockholm 1972, kini menjadi urusan politik daninternasional.

Banyak dari prinsip-prinsip Deklarasi menjelaskan bahwa istilah pembangunan danlingkungantidak dapat dipisahkan dengan mudah. Tentu saja diperlukan perjuangan diplomatik untuk menerjemahkan prinsip-prinsip internasional tersebut ke dalam konsep domestik. Salah satuyang dapat dilakukan adalahmodel konferensi diplomatik yang dikembangkan oleh banyak organisasi internasional, khususnya badan-badan PBB. Pelaksanaan diplomasi lingkungan akan merujuk kepada kepentingan nasional suatu negara yang mencangkup ekonomi, politik, sosial dan budaya. Tujuan diplomasi adalah untuk menjalin relasi dan mempererat hubungan dengan negara lain dan menciptakan perdamaian dunia. Oleh karena itu, diplomasi lingkungan dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi kepentingannegara lain dalam hal mewakili kepentingan yang terkait dengan masalah ekologi.

Menurut Ali dan Vladich (2016), diplomasi lingkungan berkaitan dengan konflik nilai dan norma dalam diplomasi lingkungan yang akan dilaksanakan. Bagi negara berkembang, diplomasi lingkungan akan dikategorikan berhasil jika negara maju menyalurkan berbagai macam bantuan dan bantuan untuk proyek lingkungan. Jelas bahwa negara-negara berkembang menginginkan kompensasi yang lebih adil karena dampak integrasi perlindungan lingkungan ke dalam diplomasi lingkungan mereka. Dalam hal ini, negara berkembang akan mempekerjakan diplomat terampil yang dapat menyajikan taktik canggih untuk mendapatkan manfaat lebih dari perjanjian lingkungan multilateral dan negara maju akan menyewa konsultan untuk memantau dan mengevaluasi bantuan dan bantuannya.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan tropis dan hutan gambut terbesar di dunia. Dengan demikian, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat penting dalam berkontribusi terkait konservasi iklim global Dalam hal ini, negara berkembang akan mempekerjakan diplomat terampil yang dapat menyajikan taktik canggih untuk mendapatkan manfaat lebih dari perjanjian lingkungan multilateral dan negara maju akan menyewa konsultan untuk memantau dan mengevaluasi bantuan dan bantuannya. Namun, terdapat masalah utama dalam diplomasi lingkungan Indonesia yaitu kurangnya koordinasi antar negara dan marginalisasi kearifan lokal. Berfokus pada implementasi lingkungan Indonesia secara khusus dalam restorasi dan penanggulangan kebakaran hutan, akibat yang timbul dari kebakaran hutan adalah percemaran kabut asap yang melintasi batas negara. Hal ini sesuai dengan pernyataan Robertua dan Lubendik (2019) yang menyatakan bahwa diplomasi lingkungan Indonesia bersifat kompleks dan dinamis.

Kompleksitas ini hadir dengan berbagai kebijakan yang saling bertentangan. Benturan kepentingan mendasari berbagai sikap, tanggapan dan kebijakan serta memerlukan solusi yang komprehensif dan strategis dengan pemahaman yang mendalam tentang preferensi pemangku kepentingan dan isu-isu terkait. Diplomasi lingkungan merupakan konsep yang menarik untuk diuji relevansinya dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai salah satu kebijakan luar negeri Indonesia untuk mengintegrasikan isu pencemaran kabut asap, khususnya isu lingkungan di luar negeri. Selain itu, diplomasi lingkungan Indonesia memainkan peran strategis dalam memerangi polusi asap di Asia Tenggara. Namun, diplomasi lingkungan Indonesia seringkali berfokus pada pembangunan ekonomi Indonesia, sehingga menimbulkan protes dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan.

Dalam penelitian ini, dampak kerusakan lingkungan di suatu kawasan berdampak negatif bagi kawasan lain, seperti Kepulauan Meranti Indonesia yang secara geografis dekat dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Polusi asap, degradasi hutan, dan ekosistem hutan berdampak besar karena isu-isu inimelintasi batas negara. Konflik tidak dapat dihindari dan berbagai tindakan ofensif diambil sebagai akibat dari konflik. Oleh karena itu, ada keterkaitan antara konflik dan kerjasama dalam diplomasi lingkungan Indonesia. Kolaborasi diperlukan untuk menyelesaikan setiap konflik yang muncul. Kerja sama antar negara menjadi standar utama dalam mengatasi masalah lingkungan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, kerjasama dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral. Dalam kerjasama ini, Indonesia harus melakukan negosiasi untuk mencapai tujuan baru dalam mengatasi urgensi masalah lingkungan karena sifat dari masalah lingkungan bersifat global, lintas batas dan tanpa kewarganegaraan. Kerja sama antar negara menjadi standar utama dalam mengatasi masalah lingkungan. Negara-negara maju telah memperoleh teknologi yang lebih canggih daripada negara-negara berkembang. Negara berkembang, di sisi lain, memiliki sumber daya alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, seperti hutan lindung dan ekosistem laut. Kerjasama antara negara maju dannegara berkembang merupakan prasyarat untuk penanganan masalah lingkungan yang efektif.

Dalam kerjasama, diplomasi lingkungan memfasilitasi penyempurnaan teknis dan rincian program yang akan dilaksanakan. Solusi efektif untuk masalah lingkungan membutuhkan saling ketergantungan yang kompleks antara negara dan aktor non-negara. Komunitas profesional, teknologi informasi, organisasi internasional, perusahaan swasta, dan masyarakat sipil merupakan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan diplomasi lingkungan. Diplomasi tidak akan berjalan dengan efektif tanpa adanya dukungan dari pihak aktor non-negara. Diplomasi lingkungan harus direalisasikan terkhusus dalam restorasi dan penanggulangan kebakaran hutan di Indonesia. Diplomasi lingkungan tidak hanya sebatas perjanjian internasional tetapi diplomasi lingkungan harus dijadikan senjata dalam mengimplementasikan dan meratifikasi perjanjian tersebut untuk menembak target yang telah ditetapkan, seperti yang tercantum dalam Nationally Determined Contributions (NDC).

Salah satu tujuan terpenting dari diplomasi lingkunganadalahuntukmenerapkan hukum lingkungan internasional dan terus disepakati. Bisa kita lihat dari tujuannya bahwa implementasi kebijakan-kebijakan lingkungan yang tercipta dari adanya diplomasi bidang lingkungan yang dilakukan oleh para aktor negara maupun non-negara pun harus selaras dengan kesepakatan dan juga kasus yang terjadi serta pokok permasalah yang telah dihasilkan. Nationally Determined Contributions (NDC) terbentuk dikarenakan target-target kebijakan yang disusun oleh para aktor non-negara untuk dapat di implementasikan dalam restorasi dan penanggulangan ekosistem gambut dan kebakaran hutan.

Situasi diplomasi lingkungan di Indonesia sendiri mengalami suatu tantangan sendiri yang menjadikannya sulit untuk tercapai dengan situasi yang mulus. Kebijakan lingkungan menjadi bagian dari hasil produk diplomasi lingkungan. Sehingga bila melihat tantangan ataupun dilemanya sendiri, kebijakan lingkungan suatu negara akan menghadapi dilema. Dilema ini ini merupakan kondisi dimana kebijakan harus dapat memenuhi situasi kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek (Falkner, 2012). Dalam pelaksanaannya, Indonesia masih menggambarkan pola hubungan diplomasi ini bersifat top-down dimana negara menjadi aktor utama dan satu-satunya penentu dalam berjalannya suatu diplomasi lingkungan ini sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi terkini dimana negara hanya melibatkan aktor lainnya misalnya sektor swasta ataupun pengusaha pada bidang-bidang terkait saja namun perumusan kebijakan yang lebih spesifik lainnya secara sepihak dikendalikan seluruhnya oleh negara.

Bukan hanya tidak menempatkan aktor lainnya mengambil peran dalam kebijakan saja namun dalam studi kasus tanah gambut di Kabupaten Meranti ini sendiri pemerintah pusat tidak melibatkan pemerintah daerah Riau ataupun pemerintah kota untuk berperan dalam penyempurnaan kebijakan ini. Dengan kemandirian yang tidak seimbang ini menjadikan hasil dimana kebijakan yang dilakukan dalam penyelesaian masalah gambut di Kabupaten Meranti tidak dapat sesuai dengan keadaan di lapangan. Pastinya hal ini dikarenakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat secara sepihak tidak dapat secara maksimal memahami serta melihat kondisi lapangan itu sendiri. Satu-satunya pihak yang dapat memenuhi nilai-nilai tersebut adalah pemerintah daerah ataupun kota. Maka tidak heran bila kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat merupakan suatu kebijakan yang hanya baik secara tertulis ataupun retorika namun secara kerja di lapangannya jelas akan berbanding terbalik. Dapat dikatakan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat ini merupakan hasil pemahaman sepihak akan kondisi lingkungan maupun masyarakat di kawasan tersebut yang akan memberikan resiko selanjutnya yaitu tidak berjalannya kebijakan yang dikarenakan kebijakan yang tidak memadai dengan kondisi daerah.

Dari cara pembuatan kebijakan ini sendiri telah menyiratkan secara jelas bahwa kebijakan ini bersifat top-down dimana pemerintah pusat sebagai lembaga tertinggi memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk menjalankan suatu kebijakan yang sudah dirumuskan dan dibuat oleh pemerintah pusat sendiri. Sifat kebijakan yang seperti ini dapat digambarkan seakan kebijakan ini dibuat dari pemerintah pusat untuk dijalankan oleh pemerintah daerah. Kebijakan yang sifatnya lebih top-down ini biasanya melemahkan peran pemerintah daerah sebagai subjek utama dari kepentingan kebijakan ini sendiri. Keabsenan pemerintah daerah ini memberikan kondisi yang lebih serius lagi bagaimana pemerintha pusat lebih memusatkan kepentingan mereka pada permasalahan-permasalahan daerah. Idealnya, kebijakan yang sifatnya top-down ini akan berjalan dengan baik bila menggunakan instrumen pengawasan yang jelas oleh pemerintah pusat itu sendiri kepada pemerintah daerah. Sehingga pemerintah pusat sebagai sang pencipta kekuasaan ini dapat menilai dan memantau secara pasti bagaimana kebijakan yang dibuat ini dapat berjalan dengan baik. Bila sistem pengawasan ini berjalan dengan baik maka kebijakan yang sifatnya top-down ini lebih akan mudah dilaksanakan dengan hasil yang maksimal dan lebih murni untuk kepentingan publik bukan untuk kepentingan politik saja.

Namun bila kembali berkaca pada studi kasus di Kota Meranti ini dapat dikatakan bahwa banyak instrumen-instrumen yang tidak berjalan dengan baik antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang pada akhirnya menjadikan kebijakan ini tidak dapat berjalan dengan maksimal pula. Tantangan lainnya pada kondisi dan pola perilaku buruk yang dilakukan antara pemerintah pusat maupun daerah. Sikap pemerintah pusat yang acuh tak acuh pada proyek ini menjadikan pemerintah daerah juga sulit untuk melaksanakan keberlanjutan akan pengembangan kebijakan itu sendiri. Terlebih lagi perilaku buruk yang sering dilakukan oleh pemerintah daerah yaitu keberlanjutan akan proyek ini tergantung akan seberapa besar dana yang dihibahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut. Sistem kerja seperti ini jelas merupakan sistem kerja yang tidak efektif serta dapat dinilai tidak bertanggung jawab. Maka semakin jelas pula bahwa pemerintah pusat maupun daerah tidak memberikan prioritas proyek ini sebagai kepentingan bersama antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Namun proyek ini sekali lagi sebagai bagian dari kepentingan kelompok tertentu yang menjadikan proyek ini sulit untuk mengalami progres yang lebih maju kedepan.

Permasalahan utama dari situasi ini semua berada di satu titik dimana pemerintah daerah yang hal ini merupakan pemerintah kabupaten ataupun kota tidak dilibatkan secara aktif dalam perumusan kebijakan. Kemandirian yang dimiliki oleh pemerintah pusat menggambarkan bahwa selama ini pemerintah pusat menempatkan pemerintah kabupaten sebatas objek dari kebijakan bukan bagian dari subjek kebijakan. Bila pemerintah pusat melibatkan pula pemerintah kabupaten maka kebijakan akan dapat sesuai dengan kondisi lapangan serta kebijakan akan lebih mudah diuraikan pada implementasi-implementasi di lapangan. Bukan hanya itu saja namun pemerintah daerah pun tidak diberikan kepercayaan oleh pemerintah pusat untuk dapat menjalankan proyek ini. Seluruh peran penting yang dikendalikan sendiri oleh pemerintah pusat jelas merugikan pemerintah Kota Meranti dimana pemerintah daerah hanya dijadikan pelaksana dan tidak dapat memberikan keputusan kepada hal teknis maupun non-teknis sehingga pelaksanaan akan kebijakan ini jelas akan bersifat kaku dan sulit untuk menghadapi masalah-masalah yang tak terduga di masa depan.

Di sisi lain bila pemerintah kabupaten dilibatkan, maka pelaksanaan implementasi kebijakan ini jelas akan menggambarkan hasil yang berbanding balik pula. Tidak hanya rasa dilibatkan saja yang dirasakan oleh pemerintah kabupaten namun adanya rasa tanggung jawab atas keberlanjutan implementasi ini yang akan meningkatkan serta memaksimalkan kinerja yang akan mewujudkan kebijakan tersebut lebih baik. Pemerintah pusat disini seharusnya menjadi lebih menjadi lembaga pengawas dan pengesahan saja. Sehingga ada pembagian peran serta tanggung jawab yang jelas disini. Pemerintah daerah dapat diberikan peran dalam mengatasi masalah teknis dan pemerintah pusat dapat menjadi lembaga yang lebih mengoptimalkan pada peran pengawasan. Bila pemerintah pusat maupun daerah mendapatkan tugas serta tanggung jawab yang dibagi ini maka tingkat keberhasilan dalam implementasi ini jelas lebih tinggi dan maksimal ketimbang ketidakterlibatan pemerintah daerah.

Tipologi Ibon: Pembagian Tugas Pemerintah Pusat dan Daerah

Di Indonesia, kebakaran hutan dan lahan telah mengakibatkan perubahan pada lingkungan yang berpengaruh pada kerusakan alam dan resiko bagi kehidupan manusia, seperti kerusakan ekosistem, emisi karbon, masalah kesehatan, sosial dan kerugian ekonomi. Permasalahan kebakaran hutan dan ekosistem gambut yang terdegradasi di Kabupaten Kepulauan Meranti disebabkan oleh adanya tata kelola yang lemah yang diakibatkan oleh jaringan patronase yang terjadi di setiap sektor sosial, politik dan ekonomi. Adanya kerja sama antar elit ini disebut sebagai patronase politik yang tentunya sejalan dengan permasalahan lingkungan terkhusus deforestasi hutan maupun ekosistem gambut, yang kemudian diubah menjadi lahan lain seperti pembangunan perumahan ataupun kawasan industri. Seringkali elite-elite yang terlibat mengabaikan kondisi lingkungan demi mencapai kepentingan bisnis dan usaha mereka demi mendapatkan keuntungan dalam kegiatan perekonomian.

Kebakaran hutan tahun 2015 di Riau telah menghancurkan jutaan hektar lahan gambut. Dalam menghadapi permasalahan ini, sikap lengah yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Riau menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah ini terjadi secara terus menerus (Meiwanda 2016). Upaya sistem dan proses penanggulangan kebakaran belum optimal dan terjadi berulang-ulang kali, seperti konflik pembukaan lahan yang telah membuat kebakaran hutan semakin parah. Penyebab utamanya disebabkan karena aspek sosiologis. Aspek sosiologis atau budaya yang telah berlaku dalam masyarakat menjadi faktor penghambat dalam restorasi dan penanggulangan kebakaran hutan di kawasan tersebut. Aspek ini tidak hanya berlaku dikalangan pemengang kepentingan seperti pihak-pihak pemerintahan saja melainkan juga berlaku dikalangan elit-elit desa. Banyak kelompok-kelompok khususnya di desa-desa tertentu yang diberikan amanah untuk menjalankan program 3R tetapi tidak merealisasikannya dengan baik.

Hal ini dikenal dengan istilah �belah semangka� yang artinya adanya potongan dari dana bantuan sosial yang diberikan kepada pihak yang diberikan wewenang untuk menjalankan amanah yang diberikan. Erat kaitannya dengan kesejahteraan masyarakat desa, bantuan dana sosial sudah seharusnya diganti dengan dana bergulir. Tentu hal ini akan jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat desa karena dana akan lebih bermanfaat dan disalurkan secara merata dibanding bantuan dana sosial yang hanya dinikmati segelintir oknum tertentu. Permasalahan seperti ini juga diakibatkan karena kurangnya pendampingan dan pengawasan kepada masyarakat desa sehingga hal ini terkesan hanya penyerapan anggaran saja. Dapat dikatakan bahwa perencanaan program 3R telah sesuai namun tidak berkelanjutan sampai saat ini. Hanya bergerak di awal saja dan akan bergerak jika adanya dana yang turun dari pemerintah. Apabila dana tidak turun, maka program tersebut tidak berjalan. Berlaku juga terhadap kelompok-kelompok di desa, jika tidak ada dana yang turun maka kelompok tersebut tidak terbentuk.

Desa Peduli Gambut merupakan bagian dari program kerja Badan Restorasi Gambut untuk pembangunan desa gambut. Program ini bertujuan untuk membantu masyarakat dalam memanfaatkan kawasan yang ada disekitar mereka. Dibutuhkannya peran fasilitator desa dan stakeholder untuk mensosialisasikan kegiatan ini karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui kebermanfaatan dari program yang dibentuk oleh BRG. Desa Peduli Gambut ini telah terintegrasi ke dalam kebijakan perencanaan desa dan APB Desa. Namun, program kerja ini hanya sebatas sosialiasi tanpa menghasilkan luaran yang berkelanjutan. Sedangkan dalam restorasi gambut membutuhkan upaya yang signifikan agar terealisasi dengan baik.

Program 3R dan Desa Peduli Gambut hingga saat ini masih kurang optimal dan masih ada berbagai kegiatan yang tidak relevan. Kurangnya sosialisasi di desa terkait antisipasi kebakaran hutan dan lahan juga menjadi faktor penyebab buruknya implementasi restorasi lahan gambut, sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan sering terjadi berulang-ulang kali. Optimisme masyarakat setempat dalam restorasi dan penanggulangan kebakaran hutan di Kepulauan Meranti juga masih sebatas mengharapkan dana dari pemerintah. Ini telah menjadi suatu budaya yang melekat erat dan telah berkembang dari masa ke masa. Budaya seperti ini dapat dirubah dari segi pembangunan di desa. Masyarakat harus memiliki kesadaran sendiri akan pentingnya kawasan tersebut untuk keberlangsungan kehidupannya, karena dengan mengandalkan anggaran saja tidak dapat mengatasi kebakaran hutan dan lahan.

Selain itu, masih sering ditemukannya pemahaman dan pengetahuan para pemerintah desa bahwa alokasi dana desa harus habis dalam periode masa anggaran, walau kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi. Meskipun secara aturan bahwa pemakaian dana tersebut jika ada penetapan status kebakaran hutan dan lahan, jika tidak ada maka dana tersebut dialihkan untuk keperluan lain. Selain itu dalam rata-rata pengalokasian dana desa untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan tingkat desa masih dalam operasional Masyarakat Peduli Api yang masih melewatkan bagian penting yaitu pengadaan dukungan peralaan. Sehingga, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan banyak jumlah orang yang turun ke lapangan tanpa diiringi dengan peralatan yang lengkap seperti alat pelindung diri dan mesin pompa air.

Keberadaan Peraturan Daerah No. 01/2020 tentang Pengendalian Kebakaran Lahan yang diantaranya menjelaskan untuk memberi ruang membakar lahan oleh masyarakat hukum adat yang belum diiringi dengan Peraturan Gubernur secara teknis yang kemudian memicu kekhawatiran tentang adanya pemahaman yang salah di masyarakat sehingga memicu potensi pelanggaran hukum. Ini adalah sebuah tantangan yang perlu disikapi agar kelonggaran untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak semakin parah. Kondisi seperti ini perlu menjadi sebuah pembelajaran bahwa dibutuhkannya kerja sama dan dukungan semua pihak sangat membantu dalam penguatan kesadaran akan aksi penanganan kebakaran hutan dan lahan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan pihak-pihak abdi negara.

 

Tabel 1

Perubahan iklim dan tata kelola multi-level: aktor utama, fungsi dan alat pada skala aksi yang berbeda

Lokal/Kota

Daerah sub-nasional (misalnya negara bagian atau provinsi)

Nasional

Internasional

     Melaksanakan keputusan lokal seperti yang diperkirakan di bawah hukum nasional atau regional. Dimana otoritas ada, bertindak secara otonom, misalnya melalui penggunaan lahan perencanaan, keputusan tentang infrastruktur lokal (jalan lokal, perencanaan kota dan zonasi, pengendalian banjir, pasokan air, taman lokal/cadangan/ruang hijau, limbah sanitasi, dll)

     Identifikasi prioritas lokal �meningkatkan pemahaman kerjalokal/regional dengan aktor lokal

     Meningkatkan kesadaran; menciptakan 'ruang' deliberatif untuk pengambilan keputusan

     Mengembangkan kebijakan dan tindakan yang disesuaikan secara lokal, misalnya publik-swasta kemitraan dan kebijakan pengadaan publik lokal

 

 

      Implementasi hukum nasional, standar

      Kerangka kebijakan iklim regional � target dekat dan jangka panjang -orientasi strategis regional

      Hukum dan kebijakan regional kunci iklim terkait sektor (misalnya energi, polusi udara, air)

      Mengatur kinerja di sektor-sektor utama jika diizinkan oleh undang-undang nasional untuk melakukannya (misalnya bangunan atau peralatan standar)

      Memprioritaskan dan menetapkan kerangka waktu untuk tindakan regional (misalnya berdasarkan sektor)

      Memberikan insentif, pendanaan, dan otorisasi untuk memungkinkan aksi lokal terhadap perubahan iklim

      Karakterisasi risiko pada skala regional; definisi aturan atau pedoman manajemen risiko, pendanaan dan prinsip

      Membangun sistem pemantauan untuk melacak emisi dan kebijakan GRK kinerja dari waktu ke waktu

      Mendanai masukan analitis inti untuk memfasilitasi pengambilan keputusan regional dan lokal

      Memastikan bahwa pengambil keputusan memiliki alat, informasi, dan konteks kelembagaan yang sesuai untuk menyampaikan keputusan yang baik

     Kerangka kebijakan iklim nasional � target jangka pendek dan jangka panjang � orientasi strategis untuk kebijakan

     Undang-undang, kebijakan dan standar nasional kunci iklim terkait sektor (misalnya energi, polusi udara, air).

     Mengatur kinerja (misalnya standar bangunan atau peralatan)

     Memprioritaskan dan menetapkan kerangka waktu untuk aksi nasional (misalnya berdasarkan sektor)

     Pendanaan infrastruktur dan otorisasi untuk konstruksi (misalnya jalan nasional, pembangkit listrik atau transmisi fasilitas, pasokan dan kualitas air, taman atau cagar alam)

     Membangun sistem inventarisasi nasional dan membangun pemahaman tentang mitigasi nasional peluang dan biayanya

     Karakterisasi risiko skala nasional; definisi aturan atau pedoman manajemen risiko, pendanaan dan prinsip

     Memantau kinerja kebijakan iklim �skala nasional

     Mendanai masukan analitis inti untuk memfasilitasi pengambilan keputusan sub-nasional (regional dan lokal)

     Menyediakan alat dan dukungan kepada daerah, pemerintah daerah untuk membuat yang baik keputusan (misalnya metode inventaris)

     Tetapkan kerangka waktu dan prioritas untuk tindakan kooperatif, kolaboratif kerangka kerja untuk membimbing aksi nasional

     Menyediakan sumber benih untuk mendukung tindakan

     Monitor dan mengulas dan bila perlu, penilaian kepatuhan (misalnya FCCC)

     Memfasilitasi berbagi pengalaman antar negara

Sumber: (OECD 2009)

 

Tantangan lainnya datang dari kebijakan pemerintah atas tanah gambut itu sendiri. Kebijakan pemerintah yang seharusnya dapat menjadi sebuah landasan hukum yang jelas bagaimana peran pihak yang terkait, contohnya seperti pemerintah daerah maupun pihak swasta lainnya yang memiliki andil dalam bidang ini dapat bergerak. Tanpa adanya kebijakan dapat menajadikan banyak program, ide, gagasan maupun buah pikir tidak akan mungkin sampai pada titik suatu usaha. Terlebih lagi bila dilihat dalam sektor pemerintahan, setiap tindakan yang akan dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam pemerintahan memerlukan suatu kebijakan yang jelas dimana kebijakan itu sendiri bisa saja datang dari pemerintah pusat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam melakukan setiap usahanya, kebijakan harus menjadi landasan yang penting dalam melakukan suatu tindakan yang pasti.

Bila kita melihat lebih aplikatif lagi dengan kondisi yang terjadi dengan restorasi tanah gambut akibat kebakaran hutan di Kepulauan Meranti, Riau, dapat dikatakan bahwa tidak maksimal dikarenakan kebijakan yang seharusnya menjadi modal maupun landasan dalam bertindak tidak dapat dipahami maupun dimengerti oleh pemerintah daerah. Ketidakmengertian pemerintah daerah dalam membaca dan menganalisa kebijakan yang datang dari pemerintah pusat ini bukan karena pemerintah daerah yang tidak dapat memahami apa yang ditulis serta dimaksudkan pada kebijakan tersebut melainkan kebijakan itu sendiri-lah yang menjadikan dirinya ambigu. Perubahan kebijakan akan restorasi tanah gambut yang terus sering berubah menjadikan pemerintah daerah sulit dalam bertindak lebih jauh untuk memaksimalkan usaha mereka.

Keresahan pemerintah daerah ini sendiri tidak hanya datang karena perubahan kebijakan yang terus sering terjadi namun kurangnya pengawasan menjadikan kebijakan pemerintah sulit mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam pengaplikasian suatu kebijakan terdapat instrumen-instrumen yang datang dari kebijakan itu sendiri. Salah satu instrumen tersebut adalah pengawasan. Pengawasan yang berasal dari pemerintah pusat harus dapat berjalan dengan baik sehingga setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua belah pihak Bukan hanya itu saja namun dengan adanya instrumen pengawasan yang baik dan benar menjadikan gambaran akan seberapa besar tanggung jawab pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di daerahnya. Hal ini mengartikan bahwa dengan adanya pengawasan yang baik maka terjadi keberlanjutan implementasi dalam kebijakan itu sendiri. Namun sayangnya, instrumen ini tidak dapat dilihat pada kebijakan restorasi gambut di Riau ini.

Pemerintah daerah yang menantikan pihak-pihak pengawas yang terkait tidak kunjung datang. Pengawasan yang seharusnya menjadi bagian dari keberlanjutan suatu kebijakan sulit untuk dapat dilihat dan menjadikan Pemerintah Daerah sulit untuk melakukan langkah selanjutnya. Pengawasan menjadi sangat penting dalam mega-project yang ada pada restorasi tanah gambut ini. Usaha pemerintah pusat dalam mewujudkan kebijakan itu sendiri dapat dilihat dari seberapa besar pengawasan yang dilakukan pada proyek terkait. Minimnya pengawasan menjadi suatu batu sandungan yang dapat menimbulkan kebimbangan yang dirasakan oleh pemerintah daerah. Tanpa adanya pengawasan, sulit untuk bisa membaca apa tindakan selanjutnya yang tepat untuk dipilih dan dilakukan oleh pemerintah daerah itu sendiri.

Tantangan akan kebijakan ini sendiri dapat dilihat dari filosofis akan kebijakan itu dibuat. Dari implementasinya, dapat kita lihat bagaimana relasi akan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembentukan kebijakan pemerintah. Pemerintah pusat disini mengambil alih banyak peran bahkan terlalu over control atas kebijakan itu sendiri. Sedangkan pemerintah daerah menjadi suatu pihak yang dinomor duakan bahkan pemerintah daerah tidak mengambil banyak andil atas kebijakan bagi daerahnya itu sendiri. Dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah hanya sebatas dijadikan sebagai wadah aspirasi masyarakat sedangkan keputusan atas jawaban dan reaksi pemerintah atas aspirasi tersebut secara mutlak hanya dikendalikan oleh pemerintah pusat.

Pemerintah daerah tidak banyak mengambil peran dalam proses pembentukan kebijakan tersebut. Jelas hal ini membuahkan hasil kondisi dimana sering terjadi perubahan kebijakan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan pemerintah pusat bukan karena kondisi yang terjadi di daerah terkait. Keputusan kebijakan yang terlalu bersifat top down ini jelas merugikan pemerintah daerah karena pemerintah daerah dijadikan korban atas kepentingan pemerintah pusat. Dapat dikatakan pula bahwa pemerintah daerah ini dipandang sebatas objek oleh pemerintah pusat yang dimana seharusnya pemerintah pusat harusnya memandang pemerintah daerah ini menjadi bagian dari subjek. Pemerintah pusat seharusnya menjadi suatu instrumen pembantu dan pelegalan saja bukan mengambil kontrol atas semua yang terjadi dan apa yang akan terjadi pada daerah.

Analisis Implementasi Diplomasi Lingkungan Indonesia

Sebuah perjanjian internasional diperjuangkan oleh sebuah negara karena didorong oleh masyarakat domestic negara tersebut. Perjanjian Paris ditandatangani dan dituliskan NDC karena didorong oleh masyarakat Indonesia. Perjanjian Paris dipaksa oleh negara-negara kaya agar Indonesia meratifikasi dan melaksanakan Perjanjian Paris dan SDGs. Ketika membahas gambut dan hutan Indonesia, presedennya adalah ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang baru diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2015 padahal sudah ditandatangani oleh Indonesia pada tahun 2004. Meratifikasi AATHP merupakan dorongan dari Singapura dan Malaysia yang menjadi korban dari kebakaran hutan.

Ratifikasi Perjanjian Paris dan TPB merupakan kesadaran dari Indonesia terkait bahaya perubahan iklim. Indonesia merupakan korban dari perubahan iklim tetapi tidak termanifestasikan dalam kebijakan yang efektif. BRGM merupakan inovasi Pemerintahan Joko Widodo dalam implementasi UU Perjanjian Paris dan SDGs. BRGM diharapkan menjadi ujung tombak diplomasi lingkungan Indonesia. Melalui pendekatan 3R, BRGM yakin bahwa Indonesia akan menjadi pemimpin global dalam isu mitigasi perubahan iklim.

Pemerintah pusat dan daerah seharusnya saling melengkapi. Menurut William D. Nordhaus, hubungan pemerintah pusat dan daerah tidak seharusnya menjadi hubungan patron-client. Analogi yang tepat antara pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan antara dokter dan pasien. Dokter memberikan preskripsi kepada pasien. Tetapi bukan hanya dokter yang berjasa bagi pasien, tetapi juga asuransi, perawat dan pemerintah. Saling melengkapi untuk memberikan kesembuhan bagi pasien.

Sayangnya, hubungan saling melengkapi tidak selalu terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Seperti yang disampaikan oleh Galaraga, terjadi paradox of lent target. Target yang disusun oleh pemerintah pusat tidak disinkronisasikan dengan agenda pemerintah daerah sehingga terjadi perbedaan perspektif mengenai Perjanjian Paris dan SDGs. �It is national governments that are legally bound to achieve Kyoto targets but it is regional governments that implement many of the policies to achieve those goals.

Sebelum meratifikasi perjanjian internasional, pemerintah pusat seharusnya berkonsultasi dahulu dengan pemerintah daerah sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama. Dalam konteks Perjanjian Paris secara khusus, keputusan bersama tersebut tidak direalisasikan secara efektif. Maka ketika dihadapkan dengan berbagai masalah yang timbul akibat implementasi perjanjian Paris, pemerintah daerah menyerahkan sepenuhnya bagi pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kondisi seperti ini, paradox of lent targets menjadi tergambarkan dengan jelas dan tegas.

Sebaliknya pemerintah daerah juga dihadapkan kepada keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran ketika pemerintah daerah terlibat langsung dalam Perjanjian Paris. Ketika Pemerintahan Trump memutuskan meninggalkan Perjanjian Paris, puluhan walikota melawan keputusan Trump dengan membuat United States Climate Alliance (Lieblang 2020). Sayangnya, aliansi ini tidak efektif di dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris akibat sumber daya anggaran dan manusia yang terbatas. United States Climate Alliance lebih diidentikkan sebagai symbol perlawanan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

 

Typology of fragmentation (Biermann, et al. 2009)

 

Synergistic

Cooperative

Conflictive

Institutional integration

One core institution, with other institutions being closely integrated

Core institutions with other institutions that are loosely integrated

Different, largely unrelated institutions

Norm conflicts

Core norms of institutions are integrated

Core norms are not conflicting

Core norms conflict

Actor Constellations

All relevant actors support the same institutions

Some actors remain outside main institutions, but maintain cooperation

Major actors support different institutions

 

Terlihat bahwa diplomasi lingkungan Indonesia mengarah ke scenario kerjasama, bukan sinergi. Pemerintah daerah tidak diintegrasikan secara ketat oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjadi aktor yang berada di luar institusi utama diplomasi lingkungan yang tetap mempertahankan kerjasama. Tidak menjadi ekstrim kerjasama dan ekstrim konflik. Apakah dengan tantangan perubahan iklim yang dihadapi berbagai negara termasuk Indonesia, skenario sinergi adalah skenario yang terbaik?

Biermann et.al menjelaskan lebih dalam tipologi fragmentasi dengan mendetailkan masing-masing scenario. Skenario sinergi terdiri atas �the core institutions includes (almost) all countries and provides for effective and detailed general principles that regulate the policies in distinct yet substantially integrated institutional arrangements�. Fragmentasi sinergi merupakan anak tangga yang menempati posisi puncak sedangkan fragmentasi konflik merupakan anak tangga yang paling bawah.

Dengan menggunakan pemikiran fragmentasi Biermann, peneliti menyusun tangga fragmentasi yang tersusun atas tiga anak tangga yaitu konflik, kerjasama dan sinergi. Tangga fragmentasi dapat memetakan arah dinamis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Figure 1

Tangga Fragmentasi

 

Seperti yang disampaikan William Nordhaus, kerjasama adalah komponen yang diperlukan dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam hal ini, kerjasama diartikan sebagai scenario sinergi. Fragmentasi kerjasama dalam restorasi gambut berdampak kepada perilaku Indonesia dalam organisasi internasional dan kerjasama antar bangsa. Akibat fragmentasi yang terjadi, pencapaian NDC menjadi lebih sulit tercapai pada target yang ditentukan yaitu pengurangan 29% pada tahun 2030. Indonesia tidak berani menjadi the green leader karena fragmentasi minor yang terjadi di dalam Indonesia.

Solusi yang dapat diambil untuk mempercepat posisi Indonesia sebagai the green leader adalah dengan melibatkan secara sungguh-sungguh pemerintah kota dan kabupaten dalam implementasi ratifikasi Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Seperti yang terlihat dalam tipologi Ibon, pemerintah kota memiliki banyak tugas dalam mitigasi perubahan iklim seperti perencanaan tata kota dan tata lahan serta infrastruktur. Selain itu, pemerintah kota dan kabupaten memiliki tugas untuk menentukan prioritas lokal. Berdasarkan catatan wawancara, kedua tugas ini sudah diambil alih oleh pemerintah nasional.

Keadaan Meranti sesuai dengan kesimpulan Ibon bahwa terjadi �the paradox of lent target�. Paradoks ini menggambarkan bahwa target yang dibuat oleh pemerintah nasional tidak berdasarkan kepentingan dan prioritas dari pemerintah daerah. Target yang dibuat seolah-olah menjadi target bersama. �The paradox of lent target� dapat menjadi boomerang apabila terakumulasi dan terkapitalisasi dalam kegagalan program serta praktik illegal korupsi. Dalam konteks sejarah Indonesia, �the paradox of lent target� sangat terlihat dalam era otoriter Suharto.

Kebijakan eksploitasi hutan secara massif dan terstruktur terjadi pada era Suharto. Kebijakan ini terlihat seolah-olah melibatkan pemerintah kota dan kabupaten. Deforestasi akibat kebijakan eksploitasi hutan dan transmigrasi menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan pencemaran udara lintas batas yang sangat parah yang terjadi pada tahun 1997/1998. Selain krisis lingkungan yang terjadi pada tahun 1997, Indonesia juga mengalami krisis politik dimana pemerintah daerah tidak memberikan kepercayaan kepada pemerintah pusat dalam kebijakan-kebijakan strategis di kota dan kabupaten.

Dalam era Suharto, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah kota dan kabupaten menjadi sebatas patron-client yang berujung kepada konflik. Dalam penelitian Meranti ini, hubungan pemerintah pusat dan pemerintah kota masih berada dalam transisi dari konflik menuju sinergi. Perubahan-perubahan system politik yang dilahirkan pada era Reformasi memberikan harapan dan kepercayaan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam. Berdasarkan catatan wawancara dengan Prayoto, masih diperlukan lebih banyak perubahan agar bentuk fragmentasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi sinergi.

 

Kesimpulan

Indonesia sudah terikat ke dalam Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan seharusnya Indonesia dapat mengimplementasikan Perjanjian Paris dan TPB secara efektif dan maksimal. Kepemimpinan Indonesia dalam isu-isu lingkungan global ditentukan oleh seberapa efektif Indonesia merealisasikan janji dan komitmennya. Penelitian ini mengkaji proses implementasi Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui studi kasus restorasi gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Melalui studi kasus yang diteliti dengan menggunakan metode wawancara dengan informan-informan kunci, peneliti menemukan masalah-masalah yang terjadi akibat sentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan gambut di Indonesia. Terjadi dominasi pemerintah pusat dalam penentuan agenda dan prioritas pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Dominasi pemerintah pusat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terkait efektivitas restorasi gambut di Kepulauan Meranti

Dengan menggunakan tipologi fragmentasi, peneliti mengidentifikasi terjadi masalah-masalah dalam implementasi Perjanjian Paris dan TPB yang menyebabkan fragmentasi kerjasama. Indonesia belum bisa menjadi the green leader akibat fragmentasi yang terjadi antara pemerintah kota/kabupaten dengan pemerintah pusat. Indonesia dan komunitas internasional membutuhkan fragmentasi sinergi dalam menghadapi ancaman nyata perubahan iklim.

Fragmentasi sinergi hanya dapat terjadi apabila pemerintah pusat memberikan ruang politik bagi pemerintah kabupaten dan kota dalam menentukan prioritas lokal serta perencanaan tata kota dan tata lahan di daerah. Selain itu, pendanaan juga perlu mempertimbangkan skema �bottom-up� sehingga pemerintah daerah dan kota bersedia mengintegrasikan sistem politik sektoral ke dalam sebuah sistem politik nasional dan internasional.

 

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Ali, S, dan H Vladich. Environmental Diplomacy. London: The SAGE Handbook of Diplomacy, 2016. Google Scholar

 

As�ari, H., Yuliani, F., & Sadad, A. Faktor-Faktor Percepatan Implementasi Kebijakan Restorasi Gambut Dalam Upaya Peningkatan Ekonomi Masyarakat Di Desa Sungai Tohor Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Google Scholar

 

Benedict, Richard E. "Diplomacy for the Environment." In Environmental Diplomacy, by American Institute for Contemporary German Studies, 1999: 3-13. Google Scholar

 

Bram, D. "Kejahatan Korporasi dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi Pencemaran Kabut Asap Kebakaran Hutan di Indonesia." Law Review, 2012: 377-393. Google Scholar

 

Clapp, J, and P Dauvergne. Path to a Green World: the Political Economy of Global Environmental. Masschusets: MIT Press, 2005.

 

Creswell, J. W. Research Design: Qualitative, Quantitave and Mixed Methods Approach. California: Sage Publication, 2003.

 

Departemen Lingkungan Hidup BEM UI 2020. 2020. http://green.ui.ac.id/kajian-hari-bumi-ndc-indonesia-tanda-ketidakseriusan-pemerintah-dalam-menyelamatkan-lingkungan/ (accessed December 10, 2021).

 

Falkner, R. "The Political Economy of 'Normative Power' Europe: EU Environmental Leadership in International Biotechnology Regulation." Journal of European Public Policy , 2007: 507-526. Google Scholar

 

Frank Biermann, Philipp Pattberg, Harro van Asselt Fariborz Zelli. The Fragmentation of Global Governance. Massachusetts Institute of Technology: Global Environmental Politics, 2009. Google Scholar

 

Greenpeace. Burnung up Borneo. Amsterdam: Greenpeace, 2008.

 

Issundari, Sri. "Diplomasi Lingkungan Dan Bisnis: Benturan Antara Kepentingan." Business Conference (BC) 2012, 2012: 1-14. Google Scholar

 

Jalan NDC Indonesia. Nationally Determined Contribution. 2020. https://jalanndcindonesia.com/nationally-determined-contribution-ndc/ (accessed December 8, 2021).

 

Jalil, Ashaluddin, and Yesi. "Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut Pasca Kebakaran Hutan Dan Lahan." TALENTA Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts Volume 2 Issue 3, 2019. Google Scholar

 

Jurnal Madani. "Tingkat Harapan Hidup di Kepulauan Meranti Mssih Rendah ." Jurnalmadani.com, 2019.

 

KarimunKab. Kabupaten Karimun . 2021. https://karimunkab.go.id/bp-kawasan-karimun-ftz/ (accessed December 13, 2021).

 

Kementerian BUMN Indonesia. "Peraturan Pemerintah PP Nomor 58 Tahun 2017." 12 27, 2017. https://jdih.bumn.go.id/lihat/PP%20Nomor%2058%20Tahun%202017#:~:text=Peraturan%20Pemerintah%20PP%20Nomor%2058%20Tahun%202017%20tanggal%2027%20Desember%202017,-Penambahan%20Penyertaan%20Modal&text=PP%20Nomor%2058%20Tahun%202017%20tanggal%2027%20Desember%20 (accessed 8 19, 2022).

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Strategi Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution). . Jakarta: Direktoran Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017.

 

Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. United Nations Environmental Assembly. April 10, 2019. https://kemlu.go.id/portal/id/read/170/halaman_list_lainnya/united-nations-environmental-assembly (accessed Desember 12, 2021).

 

Kurniaty, Theresia. "Indonesia Environmental Diplomacy in President Joko Widodo's Era (2014-2019) of The Issue Rejection Indonesia's CPO by European Union." Sociae Polites, 2020: 74-95.

 

Masato, IKUTA. 2004 . https://www.scj.go.jp/ja/int/kaisai/mega2004/detail/pdf_pre/prof_ikuta.pdf (accessed December 13, 2021).

 

Mastur, Amalia. Environmental Diplomacy (Diplomasi Lingkungan). oktober 8, 2014. http://amaliamastur-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-116605-Negosiasi%20Diplomasi-Environtment%20Diplomacy%20(Diplomasi%20Lingkungan).html (accessed desember 21, 2021).

 

Meiwanda, Geovani. �Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau.� Jurnal Ilmu Sosial dan Politik , 2016: 251-263.

 

Meiwanda, Geovani. "Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau." Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 2016: 251-263.

 

Nadel, M.V. "The hidden dimension of public policy: private governments and the policy-making process." The Journals of Politics, 1975: 37(1), 2-34. Google Scholar

 

Nasution, Zamzam Isnan. �Mengolah Sumber Daya, Menjaga Kuasa : Patronase Politik di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Kampar.� 2018.

 

Nordhaus, William D. The Spirit of Green : The Economics of Collisions and Contagions in a Crowded World. New Jersey, United States: Princeton University Press, 2021. Google Scholar

 

OECD. Governing Regional development policy: the use of performance indicators. Paris: OECD, 2009.

 

Perkumpulan HuMa Indonesia. Riset Skema Hukum Pengelolaan Gambut (Studi Kasus di Kelurahan Teluk Meranti, Kebupaten Pelalawan, Kampung Penyengat Kabupaten Siak dan Desa Bagan Melibur Kabupaten Meranti. 2018.

 

Pramudianto, Andreas. Diplomasi Lingkungan Teori dan Fakta. Jakarta: UI-Press, 2008.

 

Quayle, Linda. "National and Regional Obligations, the Metaphor of Two-Level Games, and the ASEAN Socio-Cultural Community." Asian Politics & Policy 5, 2013: 499-521. Google Scholar

 

Robertua, Verdinand. Politik Lingkungan Indonesia . Jakarta: UKI Press , 2020.

 

Robertua, Verdinand, and Lubendik Sigalingging. "Indonesia Environmental Diplomacy Reformed: Case Studies of Greening ASEAN Way and Peat Restoration Agency." Andalas Journal of International Studies , 2019: 1-15. Google Scholar

 

Setyowati, Abidah B. "Governing the ungovernable: contesting and reworking REDD+ in Indonesia." Journal of Political Ecology, 2020: 456-475. Google Scholar

 

Setyowati, Abidah B. "Making Territory and Negotiating Citizenship in a Climate Mitigation Initiative in Indonesia." Development and Change, 2019: 144-166. Google Scholar

 

Sigalingging, Verdinand Robertua & Lubendik. "Indonesia Environmental Diplomacy Reformed: ." Andalas Journal of International Studies, 2019: 1-15. Google Scholar

 

Sinaga, Obsatar. "The Crisis of Pluralism in Environmental Studies of English School ? Case Study of Joko Widodo's Environmental Diplomacy (2014-2018)." The Turkish Online Journal of Design, Art and Communication, 2018: 1597-1608. 2018%29.%22+The+Turkish+Online+Journal+of+Design%2C+Art+and+Communication%2C+2018%3A+1597-1608.+&btnG=" Google Scholar

 

Sinaga, Obsatar, Mochamad Yanyan Yani, dan Verdinand Robertua Siahaan. Diplomasi Lingkungan Indonesia. Jakarta: UKI Press, 2018. HYPERLINK "https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=Sinaga%2C+Obsatar%2C+Mochamad+Yanyan+Yani%2C+dan+Verdinand+Robertua+Siahaan.+Diplomasi+Lingkungan+Indonesia.+Jakarta%3A+UKI+Press%2C+2018.&btnG=" Google Scholar

 

UNEP . �Environmental Diplomacy.� UN-Environmental Program, t.thn.

 

Wibisono, C. "Kedaulatan Asap RI." Kompas, 2015: 7.

 

Wikipedia. Wikipedia. 2021. https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepulauan_Meranti (accessed Desember 13, 2021).

 

Yuliani, Febri. "Implementasi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Serta Pengendalian Kebakaran Hutan di Lahan." Jurnal Kebijakan Publik, 2018: Volume 9, Nomor1, 1-68. Hyperlink "https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=Yuliani%2C+Febri.+%22Implementasi+Perlindungan+dan+Pengelolaan+Ekosistem+Gambut+Serta+Pengendalian+Kebakaran+Hutan+di+Lahan.%22+Jurnal+Kebijakan+Publik%2C+2018%3A+Volume+9%2C+Nomor1%2C+1-68.&btnG=" Google Scholar

 

Yuliani, Febri. "Pelaksanaan Cannal Blocking Sebagai Upaya Restorasi Gambut." Spirit Publik, Vol.12, No. 1, 2017: 69-84.

 

Copyright holder:

Verdinand Robertua (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: