Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 eISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 8, Agustus 2022
IMPLEMENTASI DIPLOMASI LINGKUNGAN INDONESIA DALAM
PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI, RIAU
Verdinand Robertua, Riskey Oktavian, Lubendik
Sigalingging
Universitas Kristen Indonesia, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Di
Indonesia, kebakaran hutan dan lahan telah mengakibatkan perubahan pada lingkungan
yang berpengaruh pada kerusakan alam dan resiko bagi kehidupan manusia, seperti
kerusakan ekosistem, emisi karbon, masalah kesehatan, sosial dan kerugian
ekonomi. Kondisi
dapat� memicu perubahan iklim yang sangat
drastis. Melihat kondisi geografis, Indonesia adalah salah satu negara yang
rentan akan perubahan iklim. Komitmen pemerintah Indonesia di dunia
internasional menjadi suatu hal yang harus dikaji lebih dalam mengingat hal ini
menjadi bagian dari kepentingan nasional Indonesia. Diplomasi lingkungan
Indonesia menjadi dipertanyakan efektivitasnya melihat implementasi perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB) di Indonesia. Peran pemerintah
kabupaten dan kota menjadi sentral dalam implementasi Perjanjian Paris dan TPB
dan perlu diteliti lebih dalam. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber kunci,
masih banyaknya retorika dan realita yang terjadi dari tingkatan instansi yang
sifatnya top-down. Masih banyaknya ketidaksinambungan kebijakan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang mengakibatkan restorasi dan
penanggulangan kebakaran gambut tidak berkelanjutan. Dengan menggunakan
tipologi fragmentasi Biermann, peneliti mengidentifikasi fragmentasi kerjasama
yang belum mampu menghadapi ancaman perubahan iklim.
Pemerintah kabupaten Kepulauan Meranti tidak dilibatkan secara optimal dalam
perencanaan tata ruang dan tata lahan serta prioritas lokal. Bukan hanya itu
dengan tipologi Ibon juga peneliti melihat peranan tingkatan pemerintah dengan
permasalahan Meranti ini. Berbekal hasil wawancara tersebut, penelitian ini
merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia secara serius mengejar fragmentasi
sinergi dengan melibatkan pemerintah kabupaten dan kota dalam implementasi
Perjanjian Paris dan TPB.
Kata Kunci: Perjanjian Paris, Diplomasi Lingkungan
Indonesia, Restorasi Gambut, Fragmentasi, Kerjasama
Abstract
In Indonesia, forest and land fires
have resulted in changes to the environment that affect the destruction of
nature and risks to human life, such as ecosystem damage, carbon emissions,
health, social and economic losses. Conditions can trigger very drastic climate change. Looking at geographical
conditions, Indonesia is one of the countries that is vulnerable to climate
change. The Indonesian government's commitment to the international world is
something that must be studied more deeply considering that this is part of
Indonesia's national interest. Indonesia's environmental diplomacy has become
questionable in its effectiveness in seeing the implementation of the Paris agreement and the
Sustainable Development Goals (SDGs) in Indonesia. �The role of district and municipal governments is central
in the implementation of the Paris Agreement and the SDGs and needs to be
examined more deeply. �Based on the results of interviews with key
sources, there is still a lot of rhetoric and reality that occurs from the
level of agencies that are top-down in nature. There are still many policy inconsistencies from the central
government to local governments that result in unsustainable peat fire
restoration and mitigation. Using Biermann's typology of fragmentation, researchers
identified fragmentation of cooperation that has not been able to deal with the
threat of climate change. The Meranti Islands district government is not
optimally involved in spatial planning and land planning as well as local
priorities. Not only that, with the Ibon typology, researchers also see the
role of the government level with this Meranti problem. Armed with the results
of the interview, this study recommends that the Government of Indonesia
seriously pursue synergy fragmentation by involving district and city governments
in the implementation of the Paris Agreement and the SDGs.
Keywords:� Paris Agreement, Indonesia's Environmental Diplomacy, PeatLand Restoration,
Fragmentation, Cooperation
Pendahuluan
Implementasi diplomasi lingkungan
Indonesia masih menjadi kajian yang belum diteliti secara intensif. Indonesia
adalah salah satu negara yang memiliki lahan gambut terbesar di dunia setelah Rusia,
Kongo dan Kanada (Robertua,
Politik Lingkungan Indonesia 2020). Adanya lahan gambut yang luas di
Indonesia tentu memberikan
banyak manfaat, diantaranya mampu menyimpan dan mensuplai air, memberikan kayu
dan non kayu sebagai hasil hutan, mencegah kekeringan menyimpan dan memberikan
sumbangan sebesar 30 persen karbondioksida kepada dunia, hingga sebagai tempat
bagi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia, baik flora maupun fauna yang
langka maupun hampir punah. Namun, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di
Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau telah mengakibatkan perubahan lingkungan yang
menimbulkan kerusakan lingkungan dan resiko bagi kehidupan manusia, seperti
kerusakan ekosistem, emisi karbon, masalah kesehatan, sosial dan kerugian
ekonomi.
Permasalahan kebakaran hutan dan ekosistem gambut yang
terdegradasi disebabkan oleh tata kelola yang lemah dimana jaringan patronase
terjadi di setiap sektor sosial, politik dan ekonomi. Para elit
ekonomi ini bekerja sama dengan para elit lainnya terutama dalam bidang
sosial-politik dan para pihak penegak hukum yang dijadikan sebagai klien.
Adanya kerja sama antar elite ini dapat disebut sebagai patronase politik yang
tentunya sejalan dengan permasalahan lingkungan terkhusus deforestasi hutan
maupun ekosistem gambut yang kemudian diubah menjadi lahan lain seperti
pembangunan perumahan ataupun kawasan
industri. Seringkali para elit yang terlibat mengabaikan kondisi
lingkungan demi mencapai kepentingan bisnis dan usaha mereka demi mendapatkan
keuntungan dalam kegiatan perekonomian.
Ekosistem� gambut
adalah contoh penting dari perlindungan lingkungan. Gambut tercipta dari
dekomposisi kayu dan� bahan organik
lainnya. Gambut dapat menahan lebih banyak karbon dan air daripada tanah biasa,
tetapi gambut yang dikeringkan lebih rentan terhadap kebakaran. Memiliki gambut
memiliki dampak positif dan negatif. Gambut yang ditinggikan membantu penduduk
setempat menghemat air. Hal ini juga digunakan oleh manusia untuk pertanian dan
budidaya seperti nanas, kakao, kopi dan beras. Selain itu, dampak negatif yang
ditimbulkan oleh kebakaran gambut dapat mempengaruhi berbagai bidang kehidupan,
mulai dari gangguan terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat, hambatan lalu
lintas, kerusakan ekosistem, berkurangnya wisatawan, implikasi politik dan
ekonomi, serta masalah kesehatan. Namun, gambut telah terdegradasi secara
signifikan oleh perluasan� perumahan,
industri kelapa sawit, dan industri berbasis kayu (Robertua 2020).
Kebakaran hutan dan
lahan di Riau sudah berlangsung sejak tahun 1998 hingga 2015 yang sudah
memasuki status darurat asap.
Dalam menghadapi permasalahan ini, sikap lengah yang dilakukan oleh pemerintah
Provinsi Riau menyebabkan kebakaran hutan dan lahan gambut di wilayah ini
terjadi secara terus menerus (Meiwanda 2016). Upaya sistem dan proses penanggulangan kebakaran belum
optimal dan terjadi berulang-ulang kali. Kemampuan pemerintah Provinsi Riau
dalam membuat kebijakan pengendalian sangat dituntut dalam mengendalikan hal
ini. Pemerintah pusat maupun daerah dituntut untuk memiliki kemampuan atau
kapabilitas sebagai bentuk dari kewajiban yang harus dimiliki oleh instansi
pemerintahan dalam menghadapi serta menjawab semua tantangan dan permasalahan
yang terjadi sesuai dengan dinamika serta perubahan yang terjadi secara berkala.
Kebakaran hutan tahun 2015 di Provinsi Riau telah
menghancurkan jutaan hektar lahan gambut. Pada bulan Oktober 2015, Presiden
Joko Widodo mengunjungi Kalimantan Selatan untuk melakukan survei pengawasan
kebakaran yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan
Pencarian dan Pertolongan Nasional (SAR), Tentara Nasional Indonesia� Republik Indonesia dan kepolisian (Guardian,
2015). Jokowi mencermati bahwa permasalahan degradasi� gambut di Riau disebabkan banyaknya kanal
yang mengeringkan lahan gambut akibat perkebunan kelapa sawit dan menjadi
hotspot kebakaran hutan di Indonesia. Transformasi fungsi hutan gambut dapat
mengurangi bahkan menghilangkan fungsi gambut sebagai kawasan konservasi
keanekaragaman hayati, selain mengurangi fungsi gambut sebagai penyerap karbon
dan fasilitas penyimpanan air.
Ekosistem gambut di
Kepulauan Meranti telah mengalami masalah yang serius akibat eksploitasi
industri terhadap sumber daya alam terutama di bidang pulp and paper dan
perkebunan kelapa sawit. Pemanfaatan ekosistem gambut secara eksploitatif telah
dilegitimasi oleh kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya sektor
kehutanan dan pertanahan yang memberi insentif kebijakan kepada kelompok bisnis
padat modal tersebut melalui pemberian konsesi-konsensi skala besar. Tata
kelola berbasis konsensi ini menimbulkan dampak sosial yang mengakibatkan munculnya
konflik antara masyarakat lokal dengan pemilik konsensi dan pemerintah pusat
maupun daerah. Kehidupan masyarakat lokal di Kepulauan Meranti sangat bergantung
pada ekosistem gambut. Namun, hal ini menjadi renggang akibat dampak dari
eksploitasi yang menyebabkan kerusakan ekosistem gambut. Secara sosial-ekonomi,
hal ini sangat berpengaruh terhadap penghasilan masyarakat di Kepulauan Meranti
yang melahirkan kemiskinan dan kerentanan sosial-ekonomi lainnya.
Deforestasi hutan
dan lahan yang berlangsung terus menerus menunjukan bahwa ketidakmampuan
Pemerintah Provinsi Riau dalam mengendalikan deforestasi serta kebakaran hutan
yang dapat dilihat berdasarkan adanya kabut asap yang melewati batas negara.
Oleh karena itu,� diperlukan sebuah
komitmen dan kedisplinan dalam menunjukan kapabilitas yang baik dalam
mengendalikan penyebab kabut asap. Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai
Otonomi Daerah menjelaskan bahwa instansi pemerintahan merupakan suatu instansi yang
memberikan pelayanan jasa yang diberikan
secara umum kepada publik
dengan cara memberikan kepuasan kepada masyarakat. Pernyataan ini berkaitan
dengan penelitian kami yang bertujuan untuk memberikan analisa terkait upaya
yang dilakukan pemerintah dan respon masyarakat terhadap restorasi
penanggulangan gambut.
Selain, penelitian
ini juga akan memberikan kajian mendalam tentang kebijakan yang mengatur
pengelolaan ekosistem gambut dalam menghadapi persoalan-persoalan terkait
kerusakan ekosistem gambut, seperti kebijakan yang tercantum dalam NDC (Nationally
Determined Contribution) yang merupakan dokumen berisi komitmen
negara-negara atas aksi penyelamatan iklim melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang
dikomunikasikan kepada dunia pada tahun 2015 melalui Perjanjian Paris (Paris
Aggrement) lalu sebagai bentuk diplomasi lingkungan Indonesia yang bersifat
outside-in.
Oleh karena itu,
peneliti mengharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan informasi
maupun rekomendasi kepada pemerintah Indonesia sebagai pembuat dan pemangku
kebijakan dan masyarakat Kabupaten Meranti dalam merespons perkembangan
restorasi lahan gambut. Penelitian ini disusun dengan menggunakan indikator
kinerja utama penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Kristen Indonesia (Fisipol UKI) di mana di dalamnya dosen melibatkan mahasiswa
untuk menjadi asisten peneliti sebagaimana diarahkan oleh Kemenristekdikti
(Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi).
Metode
Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode
kualitatif. Menurut Sugiyono (2005), sifat filsafat post-positivisme
adalah landasan dalam metode penelitian kualitatif. Landasan ini digunakan oleh
peneliti dalam pengambilan dan pengumpulan sampel data hingga analisis data.
Dalam analisis data peneliti menganalisis secara induktif maupun kualitatif
untuk memperkuat hasil analisis yang lebih mendalam. Peneliti menggunakan
teknik-teknik tersebut untuk dijadikan sebagai instrumen kunci untuk menunjang
keberlangsungan penelitian. Peneliti fokus pada kondisi ilmiah yang merupakan
objek dalam bereksperimen.
Dalam hal ini peneliti menfokuskan penelitiannya dalam
menganalisa kebijakan-kebijakan terkait restorasi, penanganan serta
penanggulangan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat dengan
menggunakan konsep diplomasi lingkungan Indonesia yang terfokus pada permasalahan
kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Indonesia. Peneliti juga menggunakan jenis kualitatif tipe deskriptif
analitik. Menurut Sugiono,
metode deskriptif adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau
juga memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel
yang telah terkumpul sebagaimana adanya dengan memusatkan penelitian kepada
masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan, hasil penelitian yang
kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.
Studi kasus adalah
rangkaian kegiatan akademik yang dilakukan secara rinci dan rinci tentang suatu
program, peristiwa, atau kegiatan pada tingkat individu, sekelompok orang,
lembaga, atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan yang terperinci tentang
peristiwa tersebut. Biasanya, peristiwa yang dipilih adalah peristiwa
aktual� yang sedang berlangsung, bukan
peristiwa yang terjadi. Louis Smith, Stake, menjelaskan "a bounded system", kasus� yang dimaksudkan sebagai� sistem yang tidak independen. Suatu
penelitian tidak bisa didukung oleh satu kasus saja, maka dari itu kami memakai
metode studi kasus dalam kualitatif karena banyak kasus yang mendukung dari
kasus utama yang kami angkat sebagai penelitian. Suatu penelitian tidak bisa didukung oleh satu kasus
saja, maka dari itu kami memakai metode studi kasus dalam kualitatif karena
banyak kasus yang mendukung dari kasus utama yang kami angkat sebagai penelitian.
Sumber data yang digunakan oleh peneliti adalah sumber data primer dan data sekunder. Data
sekunder berasal dari buku dan majalah atau sumber ilmiah, arsip berupa dokumen
pribadi atau juga dokumen resmi. Peneliti akan menggunakan sumber data dari
bahan bacaan seperti jurnal ilmiah, buku, serta informasi dari media massa di internet. Bahan bacaan yang digunakan oleh peneliti adalah bacaan
yang bertemakan dan berhubungan dengan politik dan diplomasi lingkungan
Indonesia dalam studi kasus kebakaran hutan dan lahan.
Untuk metode studi kasus dalam kualitatif, penelitian ini
akan memperoleh data dengan menggunakan beberapa teknik seperti observasi
lapangan, wawancara secara mendalam dengan masyarakat maupun pemegang
kepentingan hingga diskusi kelompok secara terarah yang dilakukan secara
berkala. Peneliti mencari informan kunci yang akan diwawancarai dan diobservasi
melalui focus group discussion, diantaranya adalah pejabat pemerintah,
lembaga swadaya masyarakat dan perwakilan komunitas akademik.
Informan kunci
pertama dalam focus group discussion adalah staff
pemerintahan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau yaitu Dr. Prayoto,
S.Hut, MT yang menjabat sebagai bagian dari Seksi Restorasi Gambut,
Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Teknik
pengumpulan data meliputi dua teknik yaitu�
wawancara dan teknik pengumpulan data�
yang kemudian di analisis dari berbagai sumber terpercaya, baik dari
penelitian yang telah dilakukan oleh staff dinas lingkungan hidup dan kehutanan
Riau maupun sumber-sumber lain berupa laporan, berita maupun gambar atauapun
grafik� yang dapat
digunakan untuk melengkapai metode wawancara.
Informan kunci kedua yang diwawancarai berasal dari
lembaga swadaya masyarakat yaitu Pantau Gambut yang diwakili oleh Romes Irawan
Putra S.H, M.H sebagai manajer keterlibatan dan penjangkauan Pantau� Gambut dan Agiel Prakoso S. Hut. sebagai
manajer riset di Pantau Gambut. Pantau Gambut adalah suatu lembaga non-profit
yang menggunakan media sosial untuk memberikan informasi, pengetahuan dan
pembelajarab terkait kegiatan dalam perlindungan ekosistem gambut serta
mengawal implementasi komitmen pemerintah, pelaku ekonomi bisnis, organisasi
masyarakat sipil dalam upaya perlindungan ekosistem gambut di Indonesia.
Peneliti juga mengadakan diskusi terbatas dengan
perwakilan dari komunitas akademik yaitu Theresia Kurniaty S.Hum, M.Sos yang
dilibatkan dalam focus group discussion dengan Dr. Prayoto, S.Hut, MT
untuk memperkuat dan mempertajam analisis data yang telah dikumpulkan. Selain
itu, peneliti juga menggunakan tinjauan literatur dan peraturan pemerintah yang
terkait dengan upaya restorasi lingkungan, moratorium lahan gambut, restorasi gambut,
kebakaran hutan dan perjanjian lingkungan internasional akan diadakan.
Sumber data |
Teknik Pengumpulan Data |
Aspek data |
|
Primer |
Diskusi Terbatas |
Focus Group
Discussion dengan� Staff Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau |
1. Data terkait dampak
kasus kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kepulauan Meranti 2. Data terkait
kebijakan yang ditetapkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. 3. Data jumlah
kerugian ekonomi pada sektor-sektor terkait dan hubungan antar negara
tetangga. |
Primer |
Wawancara |
Diskusi dengan
lembaga swadaya masyarakat : Pantau Gambut |
1. Perdebatan terkait
cakupan dan dimensi konsep diplomasi lingkungan Indonesia. 2. Peran negara di dalam
mengkaji kebijakan tentang restorasi lahan gambut Riau. |
Sekunder |
Dokumentasi |
Penelaahan dan
pencatatan isi media massa online di internet tentang kasus kebakaran
hutan dan lahan di Riau serta peraturan terkait kebijakan yang ditetapkan
pemerintah. |
Data terkait kasus
pelanggaran lingkungan hidup, kesejahteraan masyarakat dan keterikatan dengan� bantuan sosial yang terjadi di daerah
tersebut. |
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian
ini, peneliti akan mengumpulkan data-data yang berasal dari berbagai macam
sumber. Sumber-sumber tersebut meliputi ahli-ahli yang terkait dengan permasalahan
dalam penelitian ini, dokumen maupun laporan dari media massa serta jurnal yang
terpublikasi secara resmi baik dari pemerintah maupun non-pemerintah.
Sumber-sumber yang sudah dikumpulkan akan peneliti bandingkan satu sama lain
untuk menemukan sumber yang aktual dan konkrit sehingga dapat digunakan sebagai
data dalam penelitian.
Analisis data
dalam penelitian dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu reduksi data, penyajian
data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. Pertama, reduksi data yaitu dengan
adanya proses analisis data yang dilakukan untuk mereduksi dan kemudian
merangkum keseluruhan penelitian. Hal ini berguna untuk memudahkan pemahaman
data menjadi sebuah acuan yang lebih rinci. Kedua, penyajian data dilakukan
dalam bentuk laporan sesuai dengan hasil penelitian yang diperoleh. Ketiga,
verifikasi adalah pemberian makna terhadap penelitian yang dilakukan atau
dianalisis.
Proses ini
diawali dengan penataan data lapangan, dan mereduksi hingga menjadi unifikasi
dalam bentuk kategorisasi data. Dalam
penelitian ini, peneliti akan menggunakan cara reduksi data. Peneliti akan
mengumpulkan data-data yang diperoleh dan merangkumnya sesuai dengan
relevansinya pada penelitian ini. Hal ini peneliti lakukan untuk mencari data
yang sepadan dan berkaitan agar dapat dikategorikan dalam satu jenis yang sama.
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan Luar Negeri Indonesia dalam Isu Perubahan Iklim
Menurut
David Easton, kebijakan adalah keputusan yang diambil oleh pemerintah atau
pemimpin kelompok/organisasi sebagai kekuasaan untuk mengalokasikan nilai-nilai
bagi masyarakat atau anggota kelompok (Nadel
1975). Dari pengertian yang
diuraikan oleh David Easton ini semakin jelas menggambarkan situasi dimana
kebijakan dalam struktur organisasi menjadi sangat penting sehingga kemauan,
dan paham yang ingin disampaikan oleh kelompok tersebut dapat dipahami dan
dimengerti oleh pihak lainnya. Kebijakan yang dapat dikatakan bijak adalah
suatu kebijakan yang dapat memberikan kesejahteraan kepada setiap pihak dan
dapat menyesuaikan dengan kondisi realita dalam lapangan. Dengan hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan yang bijaksana merupakan suatu kebijakan yang dapat
tepat sasaran dan sesuai dengan realita sehingga dalam pengaplikasiannya,
kebijakan tersebut dapat searah dengan apa yang diharapkan dan kondisi yang
terjadi di lapangan.
Kebijakan
menjadi suatu modal yang penting dalam suatu perubahan ide maupun gagasan
menjadi suatu tindakan. Melihat kondisi yang terjadi di Kepulauan Meranti, Riau
terkait restorasi tanah gambut akibat kebakaran hutan, ini menjadi suatu hal
yang tentunya tidak terlepas dari kebijakan luar negeri Indonesia dalam isu
melawan perubahan iklim. Indonesia telah menyadari
bahwa Indonesia termasuk negara yang rentan akan perubahan iklim. Kondisi
seperti ini menjadi faktor yang mendorong Indonesia untuk meratifikasi Perjanjian
Paris yang dibuktikan dengan disahkannya UU No. 16 Tahun 2016 dan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (TPB) Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017. Dengan
diratifikasinya kedua perjanjian ini menunjukan bentuk komitmen Indonesia
kepada dunia internasional bahwa Indonesia turut aktif berkontribusi mencapai
tujuan yang telah disepakati. Kebijakan luar negeri Indonesia dalam Perjanjian
Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tidak terlepas dari adanya
kepentingan luar negeri Indonesia. Hal ini tidak terlepas bahwa Indonesia telah
menjadi salah satu negara
penghasil emisi karbon terbesar ke-4 pada tahun 2015, sudah saatnya Indonesia
mengubah citranya di mata dunia bahwa Indonesia mampu menjadi solusi atas
perubahan iklim, karena negara-negara dunia menyadari bahwa hutan sebagai kunci
dalam perubahan iklim.
Kini sudah saatnya Indonesia menunjukan eksistensinya di mata
dunia bahwa Indonesia adalah negara berkembang yang berani mewujudkan aksi
global yang tentunya akan menjadi langkah awal bagi Indonesia untuk menjadi
negara maju apabila Indonesia mampu mencapai target Nationally
Determined Contribution (NDC) yang telah dibentuk oleh pemerintah Indonesia sendiri. Nationally Determined Contribution atau
NDC sendiri merupakan suatu kebijakan pasti yang telah dirumuskan oleh
pemerintah Indonesia dalam mengatasi polusi udara akibat kebakaran hutan maupun
lahan di Indonesia. Kewajiban negara berkembang dalam aksi perubahan iklim disesuaikan
dengan kemampuan nasional dan adanya dukungan pendanaan dari negara maju (Kementerian BUMN Indonesia 2017).
Dengan demikian, dengan adanya kepentingan nasional dalam kebijakan luar negeri
Indonesia dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi hijau dalam pembangunan
berkelanjutan yang tentunya dapat memicu adanya investasi rendah karbon agar
terciptanya keseimbangan dan keadilan antar negara berkembang dan negara
maju.
Hadirnya kebijakan luar negeri akan permasalahan asap udara di
Indonesia ini menjadi suatu jawaban dari permasalahan yang dapat memberikan
citra buruk kepada Indonesia. Negara tetangga Indonesia seperti Malaysia dan
Singapura yang sering �mengeluh� terhadap asap polusi kebakaran lahan maupun
hutan yang dapat mempengaruhi kualitas udara di negara mereka. Keluhan ini
jelas bukanlah suatu keluhan yang hanya disampaikan person by person saja namun keluhan ini dituangkan dan disuarakan
pada publik internasional yang artinya seluruh masyarakat Internasional dapat mengetahui
dan mendengar �keluhan� yang dirasakan oleh negara tetangga Indonesia itu
sendiri. Citra dan labelling menjadi
salah satu hal yang dipertaruhkan oleh Indonesia dalam usaha yang dilakukan
oleh negara tetangganya itu. Ancaman ini jelas menjadikan suatu cambukan keras
bagi pemerintah Indonesia untuk lebih serius dan memperhatikan lagi bagaimana
kebijakan luar negeri Indonesia dapat secara tuntas menyelesaikan permasalahan
asap akibat pembakaran tersebut.
Kepentingan nasional Indonesia tidak akan tercapai tanpa adanya
keselarasan kebijakan nasional dengan pemerintah daerah. Indonesia telah
mewujudkan kebijakan luar negeri dalam bentuk kerja sama internasional dalam
investasi pendanaan, namun yang menjadi tugas terbesar Indonesia adalah
bagaimana Indonesia membuat kebijakan nasional yang mampu diimplementasikan di
tingkat daerah. Perubahan iklim memang masalah global yang perlu dipecahkan
akar permasalahannya, tetapi dari tingkat nasional adalah kunci bagaimana
permasalahan global dapat terpecahkan, karena fokus pemecahan masalah
lingkungan bersumber dari efektivitas kebijakan suatu negara dalam membuat
peraturan peraturan mengatasi isu perubahan iklim. Kebijakan nasional yang
terimplementasi di tingkat daerah akan memberikan manfaat yang signifikan, yang
kemudian akan dikaji lebih dalam efektivitasnya oleh dunia internasional apabila
sudah memenuhi standar pencapaian NDC dan juga memberikan manfaat kepada
masyarakat lokal, daerah, nasional hingga internasional.
Dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah menjadi suatu kunci tokoh
utama yang penting dalam berjalannya kebijakan luar negeri yang telah disusun
secara baik oleh pemerintah Indonesia sendiri. Berjalan atau tidak berjalannya
kebijakan luar negeri suatu negara, diperlukannya suatu kesenergian antara pemerintah
daerah dan pemerintah pusat dalam menjalankannya. Pemerintah pusat sebagai
lembaga pemerintahan yang membuat, mengesahkan serta mengawasi berjalannya
kebijakan sedangkan pemerintah daerah menjadi subjek yang menjalankan kebijakan
tersebut yang dicampurtangani juga dengan pemerintah pusat dengan
lembaga-lembaga tertentu seperti kementerian, BUMN dan lainnya. Setelah apa
yang dilakukan oleh pemerintah daerah sudah sejalan dengan apa yang dituliskan
pada kebijakan, maka tugas pemerintah pusat-lah untuk melaporkan dan
menunjukkan kepada dunia internasional tentang pencapaian yang telah
dilakukannya dalam mengatasi masalah melalui kebijakan tersebut. Namun negara
ataupun pemerintah pusat disini tidak hanya sampai disitu saja, diharapkan
kebijakan luar negeri yang telah dibuat ini dapat mempengaruhi serta menarik
kembali perhatian masyarakat internasional dengan melakukan kerjasama
internasional dengan pemerintah daerah dan lainnya. Usaha-usaha ini perlu
dilakukan oleh pemerintah daerah sehingga kebijakan luar negeri yang telah
dibuat bersama oleh pemerintah pusat dapat terus terjaga
keberlangsungannya.
Erat kaitannya dalam pembangunan berkelanjutan, dilema lingkungan
masih menjadi hal yang masih diperdebatkan. Menurut Lele dan Richardson, dalam
pembangunan berkelanjutan seringkali pemerintah, perusahaan dan individu
bersaing untuk menciptakan konsep pembangunan berkelanjutan berdasarkan
kepentingan masing-masing aktor (Sinaga, The
Crisis of Pluralism in Environmental Studies of English School ? Case Study of
Joko Widodo's Environmental Diplomacy (2014-2018) 2018). Definisi ini
tidak merincikan hal-hal secara ringkas dan spesifik yang akibatnya membuat stakeholder mengkonsumsi konsep
pembangunan berkelanjutan sesuai dengan kepentingan pragmatis mereka sendiri.
Jika konsep dari pembangunan berkelanjutan terhadap lingkungan sudah terperinci
dengan jelas, maka keterkaitan antara kebijakan luar negeri Indonesia dengan
masyarakat global akan membentuk diplomasi lingkungan yang kuat dan ideal dan
mencakup nilai-nilai keberlanjutan yang maju, integrasi antar sektor dengan
cangkupan yang luas. Namun, kebijakan diplomasi lingkungan Indonesia dalam
lingkup internasional masih sebatas proses untuk mengejar target yang ambisius.
Akar permasalahan diplomasi lingkungan Indonesia masih terfokus pada
implementasi tingkat internasional untuk mewujudkan eksistensi Indonesia semata
sehingga mengabaikan implementasi dalam tingkat domestik. Dapat dikatakan
perjanjian dalam Perjanjian Paris dan Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan dan kerja sama yang melibatkan organisasi
internasional hanya sebatas janji diplomatik di atas
kertas untuk memenuhi kepentingan nasional dari kebijakan luar negeri
Indonesia.
Salah satu penyebab kegagalan Indonesia dalam memenuhi komitmen
lingkungan secara global dikarenakan kurangnya dana dan kapasitas dasar dari
badan pelaksana, meskipun sudah tercantum dalam Perpres No.59 tahun 2017.
Banyak upaya pemerintah Indonesia untuk memenuhi komitmen global, seperti
disahkannya undang-undang lingkungan, namun upaya Indonesia untuk berproses
patut untuk di apresiasi meskipun belum membuahkan hasil yang maksimal, karena
konteks dari diplomasi lingkungan yang dapat mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang disertai dengan strategi yang lebih kuat untuk mencapai
target-target yang telah disepakati. Sudah seharusnya Indonesia lebih
memprioritaskan pembangunan yang sifatnya dari dalam ke luar (inside-out). Jika terus berfokus pada
diplomasi yang rasional dan berorientasi dari luar ke dalam (outside-in) masih banyak �tugas� yang
harus dijalankan untuk beradaptasi dengan budaya baru yang mungkin belum
terapkan di lingkup nasional dan kemungkinan terburuknya akan berdampak pada
pembangunan yang tidak berkelanjutan. Dengan demikian, membangun dan membina
interaksi dengan masyarakat dalam negeri adalah �pekerjaan rumah� yang besar
yang harus dilakukan untuk membangun kepentingan nasional Indonesia yang
bergerak secara dinamis.
Sistem desentralisasi yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia
seharusnya tidak menjadi suatu alasan dalam ketidakberhasilan kebijakan yang
telah dibuat oleh pemerintah pusat. Justru, desentralisasi menjadi suatu akses
fasilitas dimana dengan adanya pelimpahan wewenang dan tugas ini menjadikan
pemerintah daerah yang menjadi suatu subjek utama dapat memahami dan mengerti
apa yang dibutuhkan dan langkah apa selanjutnya yang tepat. Pelimpahan tugas
maupun wewenang yang ada dalam desentralisasi tidak menggambarkan suatu kondisi
dimana pemerintah pusat secara penuh memberikan tugas dan wewenang tersebut
sehingga tidak ada usaha dari pemerintah pusat itu sendiri dalam menjalankan
kebijakan yang telah dibuat. Desentralisasi yang dibicarakan ini tetap
membutuhkan peran pemerintah pusat setidaknya menjadi lembaga pengawas. Selain
itu, pemerintah pusat dapat pula mengambil bagian penting dalam berjalannya
kebijakan dengan pemerintah daerah.
Dalam menjalankannya suatu kebijakan yang telah disepakati antara
pemerintah pusat dan daerah, pada akhirnya akan menciptakan suatu produk baru
pula dalam menjawab kebijakan tersebut. Produk tersebut adalah regulasi
kebijakan. Regulasi kebijakan menjadi suatu alat pencegah yang dibuat oleh
pemerintah pusat maupun daerah agar pihak swasta maupun pihak berwenang lainnya
dimasa depan dapat memahami dan melakukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan yang telah sejalan dengan kebijakan pemerintah yang telah dibuat dan
dijalankan.Kebijakan yang telah dilaksanakan antara pemerintah pusat dan daerah
yang pada akhirnya nanti akan menghasilkan suatu regulasi merupakan suatu usaha
dari negara dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Sehingga kebijakan luar
negeri tidak selalu menggambarkan bagaimana negara bertindak atas tindakan
negara lain saja namun kebijakan luar negeri sendiri dapat dijalankan secara
teknis oleh pemerintah pusat dan daerah.
Diplomasi lingkungan Indonesia adalah
sentral dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Peran negosiator sebagai
perwakilan Indonesia dalam diplomasi lingkungan menjadi ujung tombak
keberhasilan atau kegalalan dalam diplomasi. Strategi komunikasi adalah sebagai
�best practice� bagi para negosiator
untuk mengkomunikasikan gagasannya untuk mendorong keberhasilan diplomasi
lingkungan Indonesia (Kurniaty 2020).
Dapat dikatakan, keberhasilan diplomasi akan terlaksana jika adanya instrumen
pendukung yang membantu percepatan keberhasilan diplomasi, karena keefektifan
diplomasi lingkungan Indonesia membutuhkan kerja sama multi-stakeholder. Namun sebaliknya, diplomasi lingkungan tidak
akan berjalan efektif apabila masih bersandar kepada pemerintah pusat Indonesia
saja.
Keefektifan
kebijakan luar negeri suatu negara dapat dilihat dari berjalan tidaknya
pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan diplomasi lingkungan itu sendiri
dalam negaranya sendiri. Setelah mereka dapat menjalankannya dengan baik, maka
negara dapat secara sah menggambarkan situasi kebijakan luar negerinya di dunia
internasional. Sehingga secara sederhananya, sebelum negara menyatakan sikap
kebijakan luar negerinya perlu ada usaha pada negara itu sendiri untuk menjalankan
kebijakan serupa pada sektor dalam negerinya. Pada akhirnya akan tergambar pula
pola hubungan antara kebijakan luar negeri dan dalam negeri yang baik sehingga
kepentingan internasional negara dapat berjalan lebih baik dan jelas. Namun fakta yang masih sering
terjadi adalah pemerintah pusat masih lebih memprioritaskan kepentingan ekonomi
atau perlindungan teritorial dan tidak mempertimbangkan kondisi lingkungan (Benedick
1986).
Adanya faktor
kebijakan internal yang tidak sesuai juga menjadi faktor penghambat dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan. Seperti yang diasumsikan oleh kaum
pluralisme bahwa masih banyaknya perbedaan kepentingan para aktor yang sulit
untuk disatukan (Sigalingging 2019).
Dalam tingkat domestik, negara sebagai aktor utama dalam tatanan internasional
telah dipandang sebagai pembuat onar dalam diplomasi lingkungan Indonesia. Hal
ini ditandai dengan adanya berbagai kebijakan yang masih simpang siur dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah hingga lembaga-lembaga yang terlibat dalam
restorasi lahan gambut. Contohnya seperti kepentingan ekonomi yang membuat
adanya pembukaan kawasan hutan lindung gambut menjadi perkebunan kelapa sawit
dan melibatkan aktor-aktor daerah. Tetapi di lain sisi pemerintah pusat membuat
Badan Restorasi Gambut untuk merestorasi lahan gambut akibat pembukaan lahan
yang dilakukan secara sengaja. Kondisi seperti ini menempatkan bahwa pemerintah
Indonesia membuat kebijakan yang masih konfrontatif yang masih menimbulkan
banyak perdebataan antara koorporasi, lembaga swadaya masyarakat hingga
masyarakat lokal.
Diplomasi Lingkungan
Indonesia dan Desentralisasi Pemerintahan
����������� Penelitian ini fokus menganalisis
implementasi diplomasi lingkungan. Diplomasi
telah memainkan peran baik dalam situasi normal maupun pada saat timbulnya
konflik. Diplomasi lingkungan sebagai salah satu kegiatan diplomasi pada
umumnya, akan memberikan kontribusi yang berdampak positif bagi perbaikan
kualitas lingkungan hidup dan perkembangannya dalam dunia internasional. Diplomasi lingkungan tidak dapat dipisahkan dalam ilmu
hubungan internasional terutama berkaitan erat dengan kebijakan politik luar
negeri. Selain itu, diplomasi lingkungan termasuk dalam proses negosiasi yang
tidak terlepas dari berbagai macam perbedaan serta kepentingan nasional,
sekelompok organisasi maupun individu.
Dalam buku Andreas
Pramudianto (2008) menjelaskan bahwa diplomasi lingkungan Indonesia adalah
upaya yang harus dijalankan oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia.
Diplomasi adalah bagian ilmu dan seni yang harus dimiliki oleh setiap negara
untuk menyelesaikan konflik atau permasalahan yang sedang terjadi untuk
mencapai kepentingan nasional suatu negara yang kaitannya juga berhadapan
dengan negara-negara lain. Secara khusus dalam menerapkan diplomasi lingkungan
Indonesia� yang bertujuan untuk menangani
isu-isu terkait lingkungan hidup demi mencapai kepentingan nasional maupun
kepentingan entitas non-negara berdasarkan kesesuaian dan kebijakan yang ditetapkan
oleh pihak-pihak terkait. Diplomasi lingkungan Indonesia dapat disesuaikan
dengan kebijakan politik luar negeri dan kebijakan politik dalam negeri
terutama dalam bidang keselamatan lingkungan hidup Indonesia.
Sumber : (Pramudianto 2008)
Model Diplomasi Lingkungan
Berdasarkan gambar
diatas, diplomasi lingkungan merupakan gabungan seni dan ilmu. Ilmu dalam hal
ini didasarkan pada ilmu pengetahuan, dimana diplomasi lingkungan dapat
dipelajari dan dikaji melalui berbagai macam studi. Seni dalam diplomasi
lingkungan dapat dilihat dari berbagai aspek seperti seni berkomunikasi, seni
bernegosiasi serta alat-alat untuk membantu dalam berdiplomasi.
Dalam dinamika
hubungan internasional yang semakin kompleks, peran diplomasi lingkungan hidup
telah berkembang dengan pesat dimana dalam perundingannya dapat menentukan
program lingkungan hidup global yang baik yang tentunya berkaitan erat dengan
kontribusi negara yang bermanfaat di kemudian hari. Kasus kebakaran hutan di
Kalimantan dan Sumatera menjadi salah satu contoh bagaimana para pemegang
keputusan di ASEAN menjadi sibuk dalam rangka menangani persoalan regional.
Akan tetapi, seorang diplomat harus bertindak tegas dan tidak hanya melihat
kepentingan negaranya saja, melainkan perlu memperhatikan
kepentingan-kepentingan dari negara lain. Peran seorang diplomat harus
menempatkan posisi secara tepat dan melihat situasi yang berkembang dalam
dinamika perundingan terutama dalam diplomasi lingkungan. Oleh karena itu,
dalam diplomasi lingkungan keterlibatan peran semua pihak dapat mempengaruhi
negosiasi maupun keberhasilan dari suatu perundingan.
Salah satu tujuan
utama diplomasi lingkungan adalah untuk menetapkan, menciptakan, meningkatkan,
menerapkan dan menyepakati norma-norma hukum lingkungan internasional. Sejak
diplomasi lingkungan memainkan peran penting dalam sistem politik
internasional, hukum lingkungan internasional telah menciptakan hak dan
kewajiban untuk menjaga keseimbangan sistem antara negara kesatuan non-negara
(substansi) dan komunitas internasional lainnya.Kajian diplomasi lingkungan
sebagai salah satu bidang baru yang muncul dalam bidang diplomasi dan hubungan
internasional tidak lepas dari dampak munculnya isu lingkungan� yang diangkat sebagai isu politik global.
Masalah lingkungan yang semula bersifat ilmiah sejak Deklarasi Stockholm 1972,
kini menjadi urusan politik dan�
internasional.
Banyak dari
prinsip-prinsip Deklarasi menjelaskan bahwa istilah pembangunan dan� lingkungan�
tidak dapat dipisahkan dengan mudah. Tentu saja diperlukan perjuangan
diplomatik untuk menerjemahkan prinsip-prinsip internasional tersebut ke dalam
konsep domestik. Salah satu� yang dapat
dilakukan adalah� model konferensi
diplomatik yang dikembangkan oleh banyak organisasi internasional, khususnya
badan-badan PBB. Pelaksanaan diplomasi lingkungan akan merujuk kepada
kepentingan nasional suatu negara yang mencangkup ekonomi, politik, sosial dan
budaya. Tujuan diplomasi adalah untuk menjalin relasi dan mempererat hubungan
dengan negara lain dan menciptakan perdamaian dunia. Oleh karena itu, diplomasi
lingkungan dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi kepentingan� negara lain dalam hal mewakili kepentingan
yang terkait dengan masalah ekologi.
Menurut Ali
dan Vladich (2016), diplomasi lingkungan berkaitan dengan konflik
nilai dan norma dalam diplomasi lingkungan yang akan dilaksanakan. Bagi negara
berkembang, diplomasi lingkungan akan dikategorikan berhasil jika negara maju
menyalurkan berbagai macam bantuan dan bantuan untuk proyek lingkungan. Jelas
bahwa negara-negara berkembang menginginkan kompensasi yang lebih adil karena
dampak integrasi perlindungan lingkungan ke dalam diplomasi lingkungan mereka.
Dalam hal ini, negara berkembang akan mempekerjakan diplomat terampil yang dapat
menyajikan taktik canggih untuk mendapatkan manfaat lebih dari perjanjian
lingkungan multilateral dan negara maju akan menyewa konsultan untuk memantau
dan mengevaluasi bantuan dan bantuannya.
Indonesia adalah salah satu negara yang
memiliki hutan tropis dan hutan gambut terbesar di dunia. Dengan demikian,
Indonesia adalah salah satu negara yang sangat penting dalam berkontribusi
terkait konservasi iklim global Dalam hal ini, negara berkembang akan
mempekerjakan diplomat terampil yang dapat menyajikan taktik canggih untuk mendapatkan
manfaat lebih dari perjanjian lingkungan multilateral dan negara maju akan
menyewa konsultan untuk memantau dan mengevaluasi bantuan dan bantuannya.
Namun, terdapat masalah utama dalam diplomasi lingkungan Indonesia yaitu kurangnya
koordinasi antar negara dan marginalisasi kearifan lokal. Berfokus pada
implementasi lingkungan Indonesia secara khusus dalam restorasi dan
penanggulangan kebakaran hutan, akibat yang timbul dari kebakaran hutan adalah
percemaran kabut asap yang melintasi batas negara. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Robertua dan Lubendik (2019) yang menyatakan bahwa diplomasi
lingkungan Indonesia bersifat kompleks dan dinamis.
Kompleksitas ini hadir dengan berbagai
kebijakan yang saling bertentangan. Benturan kepentingan mendasari berbagai
sikap, tanggapan dan kebijakan serta memerlukan solusi yang komprehensif dan
strategis dengan pemahaman yang mendalam tentang preferensi pemangku
kepentingan dan isu-isu terkait. Diplomasi lingkungan merupakan konsep yang
menarik untuk diuji relevansinya dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) sebagai salah satu
kebijakan luar negeri Indonesia untuk mengintegrasikan isu pencemaran kabut
asap, khususnya isu lingkungan di luar negeri. Selain itu, diplomasi lingkungan
Indonesia memainkan peran strategis dalam memerangi polusi asap di Asia
Tenggara. Namun, diplomasi lingkungan Indonesia seringkali berfokus pada
pembangunan ekonomi Indonesia, sehingga menimbulkan protes dari masyarakat adat
dan aktivis lingkungan.
Dalam penelitian ini, dampak kerusakan
lingkungan di suatu kawasan berdampak negatif bagi kawasan lain, seperti
Kepulauan Meranti Indonesia yang secara geografis dekat dengan negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura. Polusi
asap, degradasi hutan, dan ekosistem hutan berdampak besar karena isu-isu
ini� melintasi batas negara. Konflik
tidak dapat dihindari dan berbagai tindakan ofensif diambil sebagai akibat dari
konflik. Oleh karena itu, ada keterkaitan antara konflik dan kerjasama dalam
diplomasi lingkungan Indonesia. Kolaborasi diperlukan untuk menyelesaikan
setiap konflik yang muncul. Kerja sama antar negara menjadi standar utama dalam
mengatasi masalah lingkungan.
Berdasarkan
penjelasan tersebut, kerjasama dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral.
Dalam kerjasama ini, Indonesia harus melakukan negosiasi untuk mencapai tujuan
baru dalam mengatasi urgensi masalah lingkungan karena sifat dari masalah
lingkungan bersifat global, lintas batas dan tanpa kewarganegaraan. Kerja sama
antar negara menjadi standar utama dalam mengatasi masalah lingkungan.
Negara-negara maju telah memperoleh teknologi yang lebih canggih daripada
negara-negara berkembang. Negara berkembang, di sisi lain, memiliki sumber daya
alam yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, seperti hutan lindung
dan ekosistem laut. Kerjasama antara negara maju dan� negara berkembang merupakan prasyarat untuk
penanganan masalah lingkungan yang efektif.
Dalam kerjasama,
diplomasi lingkungan memfasilitasi penyempurnaan teknis dan rincian program
yang akan dilaksanakan. Solusi efektif untuk masalah lingkungan membutuhkan
saling ketergantungan yang kompleks antara negara dan aktor non-negara.
Komunitas profesional, teknologi informasi, organisasi internasional,
perusahaan swasta, dan masyarakat sipil merupakan pihak-pihak yang terlibat
dalam pelaksanaan diplomasi lingkungan. Diplomasi tidak akan berjalan dengan
efektif tanpa adanya dukungan dari pihak aktor non-negara. Diplomasi lingkungan
harus direalisasikan terkhusus dalam restorasi dan penanggulangan kebakaran
hutan di Indonesia. Diplomasi lingkungan tidak hanya sebatas perjanjian
internasional tetapi diplomasi lingkungan harus dijadikan senjata dalam
mengimplementasikan dan meratifikasi perjanjian tersebut untuk menembak target
yang telah ditetapkan, seperti yang tercantum dalam Nationally Determined Contributions (NDC).
Salah satu tujuan
terpenting dari diplomasi lingkungan�
adalah� untuk� menerapkan hukum lingkungan internasional dan
terus disepakati. Bisa kita lihat dari tujuannya bahwa implementasi kebijakan-kebijakan
lingkungan yang tercipta dari adanya diplomasi bidang lingkungan yang dilakukan
oleh para aktor negara maupun non-negara pun harus selaras dengan kesepakatan
dan juga kasus yang terjadi serta pokok permasalah yang telah dihasilkan. Nationally
Determined Contributions (NDC) terbentuk dikarenakan target-target kebijakan
yang disusun oleh para aktor non-negara untuk dapat di implementasikan dalam
restorasi dan penanggulangan ekosistem gambut dan kebakaran hutan.
Situasi diplomasi
lingkungan di Indonesia sendiri mengalami suatu tantangan sendiri yang
menjadikannya sulit untuk tercapai dengan situasi yang mulus. Kebijakan
lingkungan menjadi bagian dari hasil produk diplomasi lingkungan. Sehingga bila
melihat tantangan ataupun dilemanya sendiri, kebijakan lingkungan suatu negara
akan menghadapi dilema. Dilema ini ini merupakan kondisi dimana kebijakan harus
dapat memenuhi situasi kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek (Falkner,
2012). Dalam pelaksanaannya, Indonesia masih menggambarkan pola hubungan
diplomasi ini bersifat top-down
dimana negara menjadi aktor utama dan satu-satunya penentu dalam berjalannya
suatu diplomasi lingkungan ini sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi
terkini dimana negara hanya melibatkan aktor lainnya misalnya sektor swasta
ataupun pengusaha pada bidang-bidang terkait saja namun perumusan kebijakan
yang lebih spesifik lainnya secara sepihak dikendalikan seluruhnya oleh negara.
Bukan hanya tidak
menempatkan aktor lainnya mengambil peran dalam kebijakan saja namun dalam
studi kasus tanah gambut di Kabupaten Meranti ini sendiri pemerintah pusat
tidak melibatkan pemerintah daerah Riau ataupun pemerintah kota untuk berperan
dalam penyempurnaan kebijakan ini. Dengan kemandirian yang tidak seimbang ini
menjadikan hasil dimana kebijakan yang dilakukan dalam penyelesaian masalah
gambut di Kabupaten Meranti tidak dapat sesuai dengan keadaan di lapangan.
Pastinya hal ini dikarenakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat secara
sepihak tidak dapat secara maksimal memahami serta melihat kondisi lapangan itu
sendiri. Satu-satunya pihak yang dapat memenuhi nilai-nilai tersebut adalah
pemerintah daerah ataupun kota. Maka tidak heran bila kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah pusat merupakan suatu kebijakan yang hanya baik secara tertulis
ataupun retorika namun secara kerja di lapangannya jelas akan berbanding
terbalik. Dapat dikatakan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat ini
merupakan hasil pemahaman sepihak akan kondisi lingkungan maupun masyarakat di
kawasan tersebut yang akan memberikan resiko selanjutnya yaitu tidak
berjalannya kebijakan yang dikarenakan kebijakan yang tidak memadai dengan
kondisi daerah.
Dari cara pembuatan
kebijakan ini sendiri telah menyiratkan secara jelas bahwa kebijakan ini
bersifat top-down dimana pemerintah
pusat sebagai lembaga tertinggi memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk
menjalankan suatu kebijakan yang sudah dirumuskan dan dibuat oleh pemerintah
pusat sendiri. Sifat kebijakan yang seperti ini dapat digambarkan seakan kebijakan
ini dibuat dari pemerintah pusat untuk dijalankan oleh pemerintah daerah.
Kebijakan yang sifatnya lebih top-down
ini biasanya melemahkan peran pemerintah daerah sebagai subjek utama dari
kepentingan kebijakan ini sendiri. Keabsenan pemerintah daerah ini memberikan
kondisi yang lebih serius lagi bagaimana pemerintha pusat lebih memusatkan
kepentingan mereka pada permasalahan-permasalahan daerah. Idealnya, kebijakan
yang sifatnya top-down ini akan
berjalan dengan baik bila menggunakan instrumen pengawasan yang jelas oleh
pemerintah pusat itu sendiri kepada pemerintah daerah. Sehingga pemerintah
pusat sebagai sang pencipta kekuasaan ini dapat menilai dan memantau secara
pasti bagaimana kebijakan yang dibuat ini dapat berjalan dengan baik. Bila
sistem pengawasan ini berjalan dengan baik maka kebijakan yang sifatnya top-down ini lebih akan mudah
dilaksanakan dengan hasil yang maksimal dan lebih murni untuk kepentingan
publik bukan untuk kepentingan politik saja.
Namun bila kembali
berkaca pada studi kasus di Kota Meranti ini dapat dikatakan bahwa banyak
instrumen-instrumen yang tidak berjalan dengan baik antara pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah yang pada akhirnya menjadikan kebijakan ini tidak
dapat berjalan dengan maksimal pula. Tantangan lainnya pada kondisi dan pola
perilaku buruk yang dilakukan antara pemerintah pusat maupun daerah. Sikap
pemerintah pusat yang acuh tak acuh pada proyek ini menjadikan pemerintah
daerah juga sulit untuk melaksanakan keberlanjutan akan pengembangan kebijakan
itu sendiri. Terlebih lagi perilaku buruk yang sering dilakukan oleh pemerintah
daerah yaitu keberlanjutan akan proyek ini tergantung akan seberapa besar dana
yang dihibahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tersebut. Sistem
kerja seperti ini jelas merupakan sistem kerja yang tidak efektif serta dapat
dinilai tidak bertanggung jawab. Maka semakin jelas pula bahwa pemerintah pusat
maupun daerah tidak memberikan prioritas proyek ini sebagai kepentingan bersama
antara pemerintah pusat, daerah dan masyarakat. Namun proyek ini sekali lagi
sebagai bagian dari kepentingan kelompok tertentu yang menjadikan proyek ini
sulit untuk mengalami progres yang lebih maju kedepan.
Permasalahan utama
dari situasi ini semua berada di satu titik dimana pemerintah daerah yang hal
ini merupakan pemerintah kabupaten ataupun kota tidak dilibatkan secara aktif
dalam perumusan kebijakan. Kemandirian yang dimiliki oleh pemerintah pusat
menggambarkan bahwa selama ini pemerintah pusat menempatkan pemerintah kabupaten
sebatas objek dari kebijakan bukan bagian dari subjek kebijakan. Bila
pemerintah pusat melibatkan pula pemerintah kabupaten maka kebijakan akan dapat
sesuai dengan kondisi lapangan serta kebijakan akan lebih mudah diuraikan pada
implementasi-implementasi di lapangan. Bukan hanya itu saja namun pemerintah
daerah pun tidak diberikan kepercayaan oleh pemerintah pusat untuk dapat
menjalankan proyek ini. Seluruh peran penting yang dikendalikan sendiri oleh
pemerintah pusat jelas merugikan pemerintah Kota Meranti dimana pemerintah
daerah hanya dijadikan pelaksana dan tidak dapat memberikan keputusan kepada
hal teknis maupun non-teknis sehingga pelaksanaan akan kebijakan ini jelas akan
bersifat kaku dan sulit untuk menghadapi masalah-masalah yang tak terduga di
masa depan.
Di sisi lain bila
pemerintah kabupaten dilibatkan, maka pelaksanaan implementasi kebijakan ini
jelas akan menggambarkan hasil yang berbanding balik pula. Tidak hanya rasa
dilibatkan saja yang dirasakan oleh pemerintah kabupaten namun adanya rasa
tanggung jawab atas keberlanjutan implementasi ini yang akan meningkatkan serta
memaksimalkan kinerja yang akan mewujudkan kebijakan tersebut lebih baik.
Pemerintah pusat disini seharusnya menjadi lebih menjadi lembaga pengawas dan
pengesahan saja. Sehingga ada pembagian peran serta
tanggung jawab yang jelas disini. Pemerintah daerah dapat diberikan peran dalam
mengatasi masalah teknis dan pemerintah pusat dapat menjadi lembaga yang lebih
mengoptimalkan pada peran pengawasan. Bila pemerintah pusat maupun daerah mendapatkan
tugas serta tanggung jawab yang dibagi ini maka tingkat keberhasilan dalam
implementasi ini jelas lebih tinggi dan maksimal ketimbang ketidakterlibatan
pemerintah daerah.
Tipologi Ibon: Pembagian Tugas
Pemerintah Pusat dan Daerah
Di
Indonesia, kebakaran hutan dan lahan telah mengakibatkan perubahan pada
lingkungan yang berpengaruh pada kerusakan alam dan resiko bagi kehidupan
manusia, seperti kerusakan ekosistem, emisi karbon, masalah kesehatan, sosial
dan kerugian ekonomi. Permasalahan kebakaran hutan dan ekosistem gambut yang
terdegradasi di Kabupaten Kepulauan Meranti disebabkan oleh adanya tata kelola
yang lemah yang diakibatkan oleh jaringan patronase yang terjadi di setiap
sektor sosial, politik dan ekonomi. Adanya kerja sama antar elit ini disebut
sebagai patronase politik yang tentunya sejalan dengan permasalahan lingkungan
terkhusus deforestasi hutan maupun ekosistem gambut, yang kemudian diubah
menjadi lahan lain seperti pembangunan perumahan ataupun kawasan industri. Seringkali
elite-elite yang terlibat mengabaikan kondisi lingkungan demi mencapai
kepentingan bisnis dan usaha mereka demi mendapatkan keuntungan dalam kegiatan
perekonomian.
Kebakaran hutan tahun 2015 di Riau telah menghancurkan
jutaan hektar lahan gambut. Dalam menghadapi permasalahan ini, sikap lengah
yang dilakukan oleh pemerintah Provinsi Riau menyebabkan kebakaran hutan dan
lahan gambut di wilayah ini terjadi secara terus menerus (Meiwanda 2016). Upaya
sistem dan proses penanggulangan kebakaran belum optimal dan terjadi
berulang-ulang kali, seperti konflik pembukaan lahan yang telah membuat
kebakaran hutan semakin parah. Penyebab utamanya disebabkan karena aspek
sosiologis. Aspek sosiologis atau budaya yang telah berlaku dalam masyarakat
menjadi faktor penghambat dalam restorasi dan penanggulangan kebakaran hutan di
kawasan tersebut. Aspek ini tidak hanya berlaku dikalangan pemengang
kepentingan seperti pihak-pihak pemerintahan saja melainkan juga berlaku
dikalangan elit-elit desa. Banyak kelompok-kelompok khususnya di desa-desa
tertentu yang diberikan amanah untuk menjalankan program 3R tetapi tidak
merealisasikannya dengan baik.
Hal ini dikenal dengan istilah �belah semangka� yang
artinya adanya potongan dari dana bantuan sosial yang diberikan kepada pihak
yang diberikan wewenang untuk menjalankan amanah yang diberikan. Erat kaitannya
dengan kesejahteraan masyarakat desa, bantuan dana sosial sudah seharusnya
diganti dengan dana bergulir. Tentu hal ini akan jauh lebih bermanfaat bagi
masyarakat desa karena dana akan lebih bermanfaat dan disalurkan secara merata
dibanding bantuan dana sosial yang hanya dinikmati segelintir oknum tertentu.
Permasalahan seperti ini juga diakibatkan karena kurangnya pendampingan dan
pengawasan kepada masyarakat desa sehingga hal ini terkesan hanya penyerapan
anggaran saja. Dapat dikatakan bahwa perencanaan program 3R telah sesuai namun
tidak berkelanjutan sampai saat ini. Hanya bergerak di awal saja dan akan
bergerak jika adanya dana yang turun dari pemerintah. Apabila dana tidak turun,
maka program tersebut tidak berjalan. Berlaku juga terhadap kelompok-kelompok
di desa, jika tidak ada dana yang turun maka kelompok tersebut tidak terbentuk.
Desa Peduli Gambut merupakan bagian dari program kerja
Badan Restorasi Gambut untuk pembangunan desa gambut. Program ini bertujuan
untuk membantu masyarakat dalam memanfaatkan kawasan yang ada disekitar mereka.
Dibutuhkannya peran fasilitator desa dan stakeholder untuk mensosialisasikan
kegiatan ini karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui
kebermanfaatan dari program yang dibentuk oleh BRG. Desa Peduli Gambut ini
telah terintegrasi ke dalam kebijakan perencanaan desa dan APB Desa. Namun,
program kerja ini hanya sebatas sosialiasi tanpa menghasilkan luaran yang
berkelanjutan. Sedangkan dalam restorasi gambut membutuhkan upaya yang
signifikan agar terealisasi dengan baik.
Program 3R dan Desa Peduli Gambut hingga saat ini masih
kurang optimal dan masih ada berbagai kegiatan yang tidak relevan. Kurangnya
sosialisasi di desa terkait antisipasi kebakaran hutan dan lahan juga menjadi
faktor penyebab buruknya implementasi restorasi lahan gambut, sehingga
menyebabkan kebakaran hutan dan lahan sering terjadi berulang-ulang kali.
Optimisme masyarakat setempat dalam restorasi dan penanggulangan kebakaran
hutan di Kepulauan Meranti juga masih sebatas mengharapkan dana dari
pemerintah. Ini telah menjadi suatu budaya yang melekat erat dan telah
berkembang dari masa ke masa. Budaya seperti ini dapat dirubah dari segi
pembangunan di desa. Masyarakat harus memiliki kesadaran sendiri akan
pentingnya kawasan tersebut untuk keberlangsungan kehidupannya, karena dengan
mengandalkan anggaran saja tidak dapat mengatasi kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu, masih sering ditemukannya pemahaman dan
pengetahuan para pemerintah desa bahwa alokasi dana desa harus habis dalam
periode masa anggaran, walau kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi. Meskipun
secara aturan bahwa pemakaian dana tersebut jika ada penetapan status kebakaran
hutan dan lahan, jika tidak ada maka dana tersebut dialihkan untuk keperluan
lain. Selain itu dalam rata-rata pengalokasian dana desa untuk penanganan
kebakaran hutan dan lahan tingkat desa masih dalam operasional Masyarakat
Peduli Api yang masih melewatkan bagian penting yaitu pengadaan dukungan
peralaan. Sehingga, ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan banyak jumlah
orang yang turun ke lapangan tanpa diiringi dengan peralatan yang lengkap
seperti alat pelindung diri dan mesin pompa air.
Keberadaan Peraturan Daerah No. 01/2020 tentang Pengendalian
Kebakaran Lahan yang diantaranya menjelaskan untuk memberi ruang membakar lahan
oleh masyarakat hukum adat yang belum diiringi dengan Peraturan Gubernur secara
teknis yang kemudian memicu kekhawatiran tentang adanya pemahaman yang salah di
masyarakat sehingga memicu potensi pelanggaran hukum. Ini adalah sebuah
tantangan yang perlu disikapi agar kelonggaran untuk pengendalian kebakaran
hutan dan lahan tidak semakin parah. Kondisi seperti ini perlu menjadi sebuah
pembelajaran bahwa dibutuhkannya kerja sama dan dukungan semua pihak sangat
membantu dalam penguatan kesadaran akan aksi penanganan kebakaran hutan dan
lahan, mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan pihak-pihak abdi
negara.
Tabel 1
Perubahan iklim
dan tata kelola multi-level: aktor utama, fungsi dan alat pada skala aksi yang
berbeda
Lokal/Kota |
Daerah sub-nasional (misalnya negara bagian atau provinsi) |
Nasional |
Internasional |
�
Melaksanakan keputusan lokal seperti yang diperkirakan di bawah hukum
nasional atau regional. Dimana otoritas ada, bertindak secara otonom,
misalnya melalui penggunaan lahan perencanaan, keputusan tentang
infrastruktur lokal (jalan lokal, perencanaan kota dan zonasi, pengendalian
banjir, pasokan air, taman lokal/cadangan/ruang hijau, limbah sanitasi, dll) �
Identifikasi prioritas lokal ��
meningkatkan pemahaman kerja�
lokal/regional dengan aktor lokal �
Meningkatkan kesadaran; menciptakan 'ruang' deliberatif untuk
pengambilan keputusan �
Mengembangkan kebijakan dan tindakan yang disesuaikan secara lokal,
misalnya publik-swasta kemitraan dan kebijakan pengadaan publik lokal |
�
Implementasi hukum nasional, standar �
Kerangka kebijakan iklim regional � target dekat dan jangka panjang
-orientasi strategis regional �
Hukum dan kebijakan regional kunci iklim terkait sektor (misalnya
energi, polusi udara, air) �
�Mengatur kinerja di
sektor-sektor utama jika diizinkan oleh undang-undang nasional untuk
melakukannya (misalnya bangunan atau peralatan standar) �
Memprioritaskan dan menetapkan kerangka waktu untuk tindakan regional
(misalnya berdasarkan sektor) �
Memberikan insentif, pendanaan, dan otorisasi untuk memungkinkan aksi
lokal terhadap perubahan iklim �
Karakterisasi risiko pada skala regional; definisi aturan atau pedoman
manajemen risiko, pendanaan dan prinsip �
Membangun sistem pemantauan untuk melacak emisi dan kebijakan GRK kinerja
dari waktu ke waktu �
Mendanai masukan analitis inti untuk memfasilitasi pengambilan
keputusan regional dan lokal �
Memastikan bahwa pengambil keputusan memiliki alat, informasi, dan
konteks kelembagaan yang sesuai untuk menyampaikan keputusan yang baik |
�
Kerangka kebijakan iklim nasional � target jangka pendek dan jangka
panjang � orientasi strategis untuk kebijakan �
Undang-undang, kebijakan dan standar nasional kunci iklim terkait
sektor (misalnya energi, polusi udara, air). �
Mengatur kinerja (misalnya standar bangunan atau peralatan) �
Memprioritaskan dan menetapkan kerangka waktu untuk aksi nasional
(misalnya berdasarkan sektor) �
Pendanaan infrastruktur dan otorisasi untuk konstruksi (misalnya jalan
nasional, pembangkit listrik atau transmisi fasilitas, pasokan dan kualitas
air, taman atau cagar alam) �
Membangun sistem inventarisasi nasional dan membangun pemahaman
tentang mitigasi nasional peluang dan biayanya �
Karakterisasi risiko skala nasional; definisi aturan atau pedoman
manajemen risiko, pendanaan dan prinsip �
Memantau kinerja kebijakan iklim �skala nasional �
Mendanai masukan analitis inti untuk memfasilitasi pengambilan
keputusan sub-nasional (regional dan lokal) �
Menyediakan alat dan dukungan kepada daerah, pemerintah daerah untuk
membuat yang baik keputusan (misalnya metode inventaris) |
�
Tetapkan kerangka waktu dan prioritas untuk tindakan kooperatif,
kolaboratif kerangka kerja untuk membimbing aksi nasional �
Menyediakan sumber benih untuk mendukung tindakan �
Monitor dan mengulas dan bila perlu, penilaian kepatuhan (misalnya
FCCC) �
Memfasilitasi berbagi pengalaman antar negara |
Sumber: (OECD 2009)
Tantangan lainnya datang dari kebijakan pemerintah atas
tanah gambut itu sendiri. Kebijakan pemerintah yang seharusnya dapat menjadi
sebuah landasan hukum yang jelas bagaimana peran pihak yang terkait, contohnya
seperti pemerintah daerah maupun pihak swasta lainnya yang memiliki andil dalam
bidang ini dapat bergerak. Tanpa adanya kebijakan dapat menajadikan banyak
program, ide, gagasan maupun buah pikir tidak akan mungkin sampai pada titik
suatu usaha. Terlebih lagi bila dilihat dalam sektor pemerintahan, setiap
tindakan yang akan dilakukan oleh para pemangku kepentingan dalam pemerintahan
memerlukan suatu kebijakan yang jelas dimana kebijakan itu sendiri bisa saja
datang dari pemerintah pusat. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam melakukan
setiap usahanya, kebijakan harus menjadi landasan yang penting dalam melakukan
suatu tindakan yang pasti.
Bila kita melihat lebih aplikatif lagi dengan kondisi
yang terjadi dengan restorasi tanah gambut akibat kebakaran hutan di Kepulauan
Meranti, Riau, dapat dikatakan bahwa tidak maksimal dikarenakan kebijakan yang
seharusnya menjadi modal maupun landasan dalam bertindak tidak dapat dipahami
maupun dimengerti oleh pemerintah daerah. Ketidakmengertian pemerintah daerah
dalam membaca dan menganalisa kebijakan yang datang dari pemerintah pusat ini
bukan karena pemerintah daerah yang tidak dapat memahami apa yang ditulis serta
dimaksudkan pada kebijakan tersebut melainkan kebijakan itu sendiri-lah yang
menjadikan dirinya ambigu. Perubahan kebijakan akan restorasi tanah gambut yang
terus sering berubah menjadikan pemerintah daerah sulit dalam bertindak lebih
jauh untuk memaksimalkan usaha mereka.
Keresahan pemerintah daerah ini sendiri tidak hanya
datang karena perubahan kebijakan yang terus sering terjadi namun kurangnya
pengawasan menjadikan kebijakan pemerintah sulit mendapatkan hasil yang
maksimal. Dalam pengaplikasian suatu kebijakan terdapat instrumen-instrumen
yang datang dari kebijakan itu sendiri. Salah satu instrumen tersebut adalah
pengawasan. Pengawasan yang berasal dari pemerintah pusat harus dapat berjalan
dengan baik sehingga setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kedua belah pihak Bukan hanya itu saja
namun dengan adanya instrumen pengawasan yang baik dan benar menjadikan
gambaran akan seberapa besar tanggung jawab pemerintah pusat dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi di daerahnya. Hal ini mengartikan bahwa
dengan adanya pengawasan yang baik maka terjadi keberlanjutan implementasi
dalam kebijakan itu sendiri. Namun sayangnya, instrumen ini tidak dapat dilihat
pada kebijakan restorasi gambut di Riau ini.
Pemerintah daerah yang menantikan pihak-pihak pengawas
yang terkait tidak kunjung datang. Pengawasan yang seharusnya menjadi bagian
dari keberlanjutan suatu kebijakan sulit untuk dapat dilihat dan menjadikan
Pemerintah Daerah sulit untuk melakukan langkah selanjutnya. Pengawasan menjadi
sangat penting dalam mega-project yang ada pada restorasi tanah gambut ini.
Usaha pemerintah pusat dalam mewujudkan kebijakan itu sendiri dapat dilihat
dari seberapa besar pengawasan yang dilakukan pada proyek terkait. Minimnya
pengawasan menjadi suatu batu sandungan yang dapat menimbulkan kebimbangan yang
dirasakan oleh pemerintah daerah. Tanpa adanya pengawasan, sulit untuk bisa
membaca apa tindakan selanjutnya yang tepat untuk dipilih dan dilakukan oleh
pemerintah daerah itu sendiri.
Tantangan akan kebijakan ini sendiri dapat dilihat dari
filosofis akan kebijakan itu dibuat. Dari implementasinya, dapat kita lihat
bagaimana relasi akan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pembentukan
kebijakan pemerintah. Pemerintah pusat disini mengambil alih banyak peran
bahkan terlalu over control atas kebijakan itu sendiri. Sedangkan pemerintah
daerah menjadi suatu pihak yang dinomor duakan bahkan pemerintah daerah tidak
mengambil banyak andil atas kebijakan bagi daerahnya itu sendiri. Dapat dikatakan
bahwa pemerintah daerah hanya sebatas dijadikan sebagai wadah aspirasi
masyarakat sedangkan keputusan atas jawaban dan reaksi pemerintah atas aspirasi
tersebut secara mutlak hanya dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Pemerintah daerah tidak banyak mengambil peran dalam
proses pembentukan kebijakan tersebut. Jelas hal ini membuahkan hasil kondisi
dimana sering terjadi perubahan kebijakan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan
kepentingan pemerintah pusat bukan karena kondisi yang terjadi di daerah terkait.
Keputusan kebijakan yang terlalu bersifat top down ini jelas merugikan
pemerintah daerah karena pemerintah daerah dijadikan korban atas kepentingan
pemerintah pusat. Dapat dikatakan pula bahwa pemerintah daerah ini dipandang
sebatas objek oleh pemerintah pusat yang dimana seharusnya pemerintah pusat
harusnya memandang pemerintah daerah ini menjadi bagian dari subjek. Pemerintah
pusat seharusnya menjadi suatu instrumen pembantu dan pelegalan saja bukan
mengambil kontrol atas semua yang terjadi dan apa yang akan terjadi pada
daerah.
Analisis Implementasi Diplomasi
Lingkungan Indonesia
Sebuah
perjanjian internasional diperjuangkan oleh sebuah negara karena didorong oleh
masyarakat domestic negara tersebut. Perjanjian Paris ditandatangani dan
dituliskan NDC karena didorong oleh masyarakat Indonesia. Perjanjian Paris
dipaksa oleh negara-negara kaya agar Indonesia meratifikasi dan melaksanakan
Perjanjian Paris dan SDGs. Ketika membahas gambut dan hutan Indonesia,
presedennya adalah ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yang baru
diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2015 padahal sudah ditandatangani oleh
Indonesia pada tahun 2004. Meratifikasi AATHP merupakan dorongan
dari Singapura dan Malaysia yang menjadi korban dari kebakaran hutan.
Ratifikasi Perjanjian Paris dan TPB merupakan kesadaran
dari Indonesia terkait bahaya perubahan iklim. Indonesia merupakan korban dari
perubahan iklim tetapi tidak termanifestasikan dalam kebijakan yang efektif.
BRGM merupakan inovasi Pemerintahan Joko Widodo dalam implementasi UU
Perjanjian Paris dan SDGs. BRGM diharapkan menjadi ujung tombak diplomasi
lingkungan Indonesia. Melalui pendekatan 3R, BRGM yakin bahwa Indonesia akan
menjadi pemimpin global dalam isu mitigasi perubahan iklim.
Pemerintah pusat dan daerah seharusnya saling melengkapi.
Menurut William D. Nordhaus, hubungan pemerintah pusat dan daerah tidak
seharusnya menjadi hubungan patron-client. Analogi yang tepat antara pemerintah
pusat dan daerah adalah hubungan antara dokter dan pasien. Dokter memberikan preskripsi
kepada pasien. Tetapi bukan hanya dokter yang berjasa bagi pasien, tetapi juga
asuransi, perawat dan pemerintah. Saling melengkapi untuk memberikan kesembuhan
bagi pasien.
Sayangnya, hubungan saling melengkapi tidak selalu
terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Seperti yang disampaikan oleh
Galaraga, terjadi paradox of lent target. Target yang disusun oleh pemerintah
pusat tidak disinkronisasikan dengan agenda pemerintah daerah sehingga terjadi
perbedaan perspektif mengenai Perjanjian Paris dan SDGs. �It is national governments that are legally bound to achieve Kyoto
targets but it is regional governments that implement many of the policies to
achieve those goals.�
Sebelum
meratifikasi perjanjian internasional, pemerintah pusat seharusnya
berkonsultasi dahulu dengan pemerintah daerah sehingga keputusan yang diambil
merupakan keputusan bersama. Dalam konteks Perjanjian Paris secara khusus,
keputusan bersama tersebut tidak direalisasikan secara efektif. Maka ketika
dihadapkan dengan berbagai masalah yang timbul akibat implementasi perjanjian
Paris, pemerintah daerah menyerahkan sepenuhnya bagi pemerintah pusat untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam kondisi seperti ini, paradox of lent targets menjadi
tergambarkan dengan jelas dan tegas.
Sebaliknya
pemerintah daerah juga dihadapkan kepada keterbatasan sumber daya manusia dan
anggaran ketika pemerintah daerah terlibat langsung dalam Perjanjian Paris.
Ketika Pemerintahan Trump memutuskan meninggalkan Perjanjian Paris, puluhan
walikota melawan keputusan Trump dengan membuat United States Climate Alliance (Lieblang
2020). Sayangnya, aliansi ini tidak efektif di dalam
mengimplementasikan Perjanjian Paris akibat sumber daya anggaran dan manusia
yang terbatas. United States Climate Alliance lebih diidentikkan sebagai symbol
perlawanan terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Typology
of fragmentation (Biermann, et al. 2009)
|
Synergistic |
Cooperative |
Conflictive |
Institutional integration |
One core institution, with
other institutions being closely integrated |
Core institutions with other
institutions that are loosely integrated |
Different, largely unrelated
institutions |
Norm conflicts |
Core norms of institutions
are integrated |
Core norms are not conflicting |
Core norms conflict |
Actor Constellations |
All relevant actors support
the same institutions |
Some actors remain outside
main institutions, but maintain cooperation |
Major actors support
different institutions |
Terlihat
bahwa diplomasi lingkungan Indonesia mengarah ke scenario kerjasama, bukan
sinergi. Pemerintah daerah tidak diintegrasikan secara ketat oleh pemerintah
pusat dan pemerintah daerah menjadi aktor yang berada di luar institusi utama
diplomasi lingkungan yang tetap mempertahankan kerjasama. Tidak menjadi ekstrim
kerjasama dan ekstrim konflik. Apakah dengan tantangan perubahan iklim yang
dihadapi berbagai negara termasuk Indonesia, skenario sinergi adalah skenario
yang terbaik?
Biermann et.al menjelaskan lebih dalam tipologi fragmentasi
dengan mendetailkan masing-masing scenario. Skenario sinergi terdiri atas �the core institutions includes (almost) all countries and provides for
effective and detailed general principles that regulate the policies in
distinct yet substantially integrated institutional arrangements�. Fragmentasi
sinergi merupakan anak tangga yang menempati posisi puncak sedangkan
fragmentasi konflik merupakan anak tangga yang paling bawah.
Dengan
menggunakan pemikiran fragmentasi Biermann, peneliti menyusun tangga
fragmentasi yang tersusun atas tiga anak tangga yaitu konflik, kerjasama dan
sinergi. Tangga
fragmentasi dapat memetakan arah dinamis antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah.
Figure 1
Tangga
Fragmentasi
Seperti
yang disampaikan William Nordhaus, kerjasama adalah komponen yang diperlukan
dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam hal ini, kerjasama diartikan
sebagai scenario sinergi. Fragmentasi kerjasama dalam restorasi gambut
berdampak kepada perilaku Indonesia dalam organisasi internasional dan kerjasama
antar bangsa. Akibat fragmentasi yang terjadi, pencapaian NDC menjadi lebih
sulit tercapai pada target yang ditentukan yaitu pengurangan 29% pada tahun
2030. Indonesia tidak berani menjadi the
green leader karena fragmentasi minor yang terjadi di dalam Indonesia.
Solusi
yang dapat diambil untuk mempercepat posisi Indonesia sebagai the green leader
adalah dengan melibatkan secara sungguh-sungguh pemerintah kota dan kabupaten
dalam implementasi ratifikasi Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Seperti yang terlihat dalam tipologi Ibon, pemerintah kota memiliki banyak
tugas dalam mitigasi perubahan iklim seperti perencanaan tata kota dan tata
lahan serta infrastruktur. Selain itu, pemerintah kota dan kabupaten memiliki
tugas untuk menentukan prioritas lokal. Berdasarkan catatan wawancara, kedua
tugas ini sudah diambil alih oleh pemerintah nasional.
Keadaan
Meranti sesuai dengan kesimpulan Ibon bahwa terjadi �the paradox of lent
target�. Paradoks ini menggambarkan bahwa target yang dibuat oleh pemerintah
nasional tidak berdasarkan kepentingan dan prioritas dari pemerintah daerah.
Target yang dibuat seolah-olah menjadi target bersama. �The paradox of lent
target� dapat menjadi boomerang apabila terakumulasi dan terkapitalisasi dalam
kegagalan program serta praktik illegal korupsi. Dalam konteks sejarah
Indonesia, �the paradox of lent target� sangat terlihat dalam era otoriter
Suharto.
Kebijakan eksploitasi hutan secara massif dan terstruktur
terjadi pada era Suharto. Kebijakan ini terlihat seolah-olah melibatkan
pemerintah kota dan kabupaten. Deforestasi akibat kebijakan eksploitasi hutan
dan transmigrasi menjadi penyebab utama kebakaran hutan dan pencemaran udara
lintas batas yang sangat parah yang terjadi pada tahun 1997/1998. Selain krisis
lingkungan yang terjadi pada tahun 1997, Indonesia juga mengalami krisis
politik dimana pemerintah daerah tidak memberikan kepercayaan kepada pemerintah
pusat dalam kebijakan-kebijakan strategis di kota dan kabupaten.
Dalam era Suharto, hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah kota dan kabupaten menjadi sebatas patron-client yang berujung
kepada konflik. Dalam penelitian Meranti ini, hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah kota masih berada dalam transisi dari konflik menuju sinergi.
Perubahan-perubahan system politik yang dilahirkan pada era Reformasi
memberikan harapan dan kepercayaan bagi pemerintah daerah dalam pengelolaan
sumber daya alam. Berdasarkan catatan wawancara dengan Prayoto, masih
diperlukan lebih banyak perubahan agar bentuk fragmentasi antara pemerintah
pusat dan daerah menjadi sinergi.
Kesimpulan
Indonesia sudah terikat ke dalam Perjanjian Paris dan
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan seharusnya Indonesia dapat
mengimplementasikan Perjanjian Paris dan TPB secara efektif dan maksimal. Kepemimpinan
Indonesia dalam isu-isu lingkungan global ditentukan oleh seberapa efektif
Indonesia merealisasikan janji dan komitmennya. Penelitian ini mengkaji proses
implementasi Perjanjian Paris dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan melalui
studi kasus restorasi gambut di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.
Melalui studi kasus yang diteliti dengan menggunakan
metode wawancara dengan informan-informan kunci, peneliti menemukan
masalah-masalah yang terjadi akibat sentralisasi kekuasaan dalam pengelolaan
gambut di Indonesia. Terjadi dominasi pemerintah pusat dalam penentuan agenda
dan prioritas pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Dominasi pemerintah
pusat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan terkait efektivitas restorasi gambut di
Kepulauan Meranti
Dengan menggunakan tipologi fragmentasi, peneliti
mengidentifikasi terjadi masalah-masalah dalam implementasi Perjanjian Paris
dan TPB yang menyebabkan fragmentasi kerjasama. Indonesia belum bisa menjadi
the green leader akibat fragmentasi yang terjadi antara pemerintah
kota/kabupaten dengan pemerintah pusat. Indonesia dan komunitas internasional
membutuhkan fragmentasi sinergi dalam menghadapi ancaman nyata perubahan iklim.
Fragmentasi sinergi hanya dapat terjadi apabila
pemerintah pusat memberikan ruang politik bagi pemerintah kabupaten dan kota
dalam menentukan prioritas lokal serta perencanaan tata kota dan tata lahan di
daerah. Selain itu, pendanaan juga perlu mempertimbangkan skema �bottom-up�
sehingga pemerintah daerah dan kota bersedia mengintegrasikan sistem politik
sektoral ke dalam sebuah sistem politik nasional dan internasional.
Ali, S, dan H Vladich. Environmental Diplomacy.
London: The SAGE Handbook of Diplomacy, 2016. Google Scholar
As�ari, H., Yuliani, F., & Sadad, A.
Faktor-Faktor Percepatan Implementasi Kebijakan Restorasi Gambut Dalam Upaya
Peningkatan Ekonomi Masyarakat Di Desa Sungai Tohor Kabupaten Kepulauan Meranti
Provinsi Riau. Google Scholar
Benedict,
Richard E. "Diplomacy for the Environment." In Environmental
Diplomacy, by American Institute for Contemporary German Studies, 1999:
3-13. Google Scholar
Bram,
D. "Kejahatan Korporasi dalam Pencemaran Lintas Batas Negara: Studi
Pencemaran Kabut Asap Kebakaran Hutan di Indonesia." Law Review,
2012: 377-393. Google Scholar
Clapp,
J, and P Dauvergne. Path to a Green World: the Political Economy of Global
Environmental. Masschusets: MIT Press, 2005.
Creswell,
J. W. Research Design: Qualitative, Quantitave and Mixed Methods Approach.
California: Sage Publication, 2003.
Departemen
Lingkungan Hidup BEM UI 2020. 2020.
http://green.ui.ac.id/kajian-hari-bumi-ndc-indonesia-tanda-ketidakseriusan-pemerintah-dalam-menyelamatkan-lingkungan/
(accessed December 10, 2021).
Falkner,
R. "The Political Economy of 'Normative Power' Europe: EU Environmental
Leadership in International Biotechnology Regulation." Journal of
European Public Policy , 2007: 507-526. Google Scholar
Frank
Biermann, Philipp Pattberg, Harro van Asselt Fariborz Zelli. The Fragmentation
of Global Governance. Massachusetts Institute of Technology: Global
Environmental Politics, 2009. Google Scholar
Greenpeace.
Burnung up Borneo. Amsterdam: Greenpeace, 2008.
Issundari,
Sri. "Diplomasi Lingkungan Dan Bisnis: Benturan Antara Kepentingan." Business
Conference (BC) 2012, 2012: 1-14. Google Scholar
Jalan
NDC Indonesia. Nationally Determined Contribution. 2020.
https://jalanndcindonesia.com/nationally-determined-contribution-ndc/ (accessed
December 8, 2021).
Jalil,
Ashaluddin, and Yesi. "Upaya
Pemulihan Ekosistem Gambut Pasca Kebakaran Hutan Dan Lahan." TALENTA
Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts Volume 2 Issue 3,
2019. Google Scholar
Jurnal
Madani. "Tingkat Harapan Hidup di Kepulauan Meranti Mssih Rendah ." Jurnalmadani.com,
2019.
KarimunKab.
Kabupaten Karimun . 2021.
https://karimunkab.go.id/bp-kawasan-karimun-ftz/ (accessed December 13, 2021).
Kementerian
BUMN Indonesia. "Peraturan Pemerintah PP Nomor 58 Tahun 2017." 12 27,
2017. https://jdih.bumn.go.id/lihat/PP%20Nomor%2058%20Tahun%202017#:~:text=Peraturan%20Pemerintah%20PP%20Nomor%2058%20Tahun%202017%20tanggal%2027%20Desember%202017,-Penambahan%20Penyertaan%20Modal&text=PP%20Nomor%2058%20Tahun%202017%20tanggal%2027%20Desember%20
(accessed 8 19, 2022).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Strategi
Implementasi NDC (Nationally Determined Contribution). . Jakarta: Direktoran Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,
2017.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. United
Nations Environmental Assembly. April 10, 2019.
https://kemlu.go.id/portal/id/read/170/halaman_list_lainnya/united-nations-environmental-assembly
(accessed Desember 12, 2021).
Kurniaty,
Theresia. "Indonesia Environmental Diplomacy in President Joko Widodo's
Era (2014-2019) of The Issue Rejection Indonesia's CPO by European Union."
Sociae Polites, 2020: 74-95.
Masato,
IKUTA. 2004 .
https://www.scj.go.jp/ja/int/kaisai/mega2004/detail/pdf_pre/prof_ikuta.pdf
(accessed December 13, 2021).
Mastur,
Amalia. Environmental Diplomacy (Diplomasi Lingkungan). oktober 8, 2014.
http://amaliamastur-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-116605-Negosiasi%20Diplomasi-Environtment%20Diplomacy%20(Diplomasi%20Lingkungan).html
(accessed desember 21, 2021).
Meiwanda, Geovani. �Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi
Riau.� Jurnal Ilmu Sosial dan Politik , 2016: 251-263.
Meiwanda,
Geovani. "Kapabilitas Pemerintah Daerah Provinsi Riau." Jurnal
Ilmu Sosial dan Politik, 2016: 251-263.
Nadel,
M.V. "The hidden dimension of public policy: private governments and the
policy-making process." The Journals of Politics, 1975: 37(1),
2-34. Google Scholar
Nasution, Zamzam Isnan. �Mengolah Sumber Daya, Menjaga
Kuasa : Patronase Politik di Balik Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten
Kampar.� 2018.
Nordhaus,
William D. The Spirit of Green : The Economics of Collisions and Contagions
in a Crowded World. New Jersey, United States: Princeton University Press,
2021. Google Scholar
OECD.
Governing Regional development policy: the use of performance indicators.
Paris: OECD, 2009.
Perkumpulan HuMa Indonesia. Riset Skema Hukum Pengelolaan
Gambut (Studi Kasus di Kelurahan Teluk Meranti, Kebupaten Pelalawan, Kampung
Penyengat Kabupaten Siak dan Desa Bagan Melibur Kabupaten Meranti. 2018.
Pramudianto,
Andreas. Diplomasi Lingkungan Teori dan Fakta. Jakarta: UI-Press, 2008.
Quayle,
Linda. "National and Regional Obligations, the Metaphor of Two-Level
Games, and the ASEAN Socio-Cultural Community." Asian Politics &
Policy 5, 2013: 499-521. Google Scholar
Robertua,
Verdinand. Politik Lingkungan Indonesia . Jakarta: UKI Press , 2020.
Robertua,
Verdinand, and Lubendik Sigalingging. "Indonesia Environmental Diplomacy
Reformed: Case Studies of Greening ASEAN Way and Peat Restoration Agency."
Andalas Journal of International Studies , 2019: 1-15. Google Scholar
Setyowati,
Abidah B. "Governing the ungovernable: contesting and reworking REDD+ in
Indonesia." Journal of Political Ecology, 2020: 456-475. Google Scholar
Setyowati,
Abidah B. "Making Territory and Negotiating Citizenship in a Climate Mitigation
Initiative in Indonesia." Development and Change, 2019: 144-166.
Google Scholar
Sigalingging,
Verdinand Robertua & Lubendik. "Indonesia Environmental Diplomacy
Reformed: ." Andalas Journal of International Studies, 2019: 1-15.
Google Scholar
Sinaga,
Obsatar. "The Crisis of Pluralism in Environmental Studies of English
School ? Case Study of Joko Widodo's Environmental Diplomacy (2014-2018)."
The Turkish Online Journal of Design, Art and Communication, 2018:
1597-1608. ��2018%29.%22+The+Turkish+Online+Journal+of+Design%2C+Art+and+Communication%2C+2018%3A+1597-1608.+&btnG="
��Google
Scholar
Sinaga, Obsatar, Mochamad Yanyan Yani, dan Verdinand
Robertua Siahaan. Diplomasi Lingkungan Indonesia. Jakarta: UKI Press,
2018. ��HYPERLINK
"https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=Sinaga%2C+Obsatar%2C+Mochamad+Yanyan+Yani%2C+dan+Verdinand+Robertua+Siahaan.+Diplomasi+Lingkungan+Indonesia.+Jakarta%3A+UKI+Press%2C+2018.&btnG="
��Google
Scholar
UNEP . �Environmental Diplomacy.� UN-Environmental
Program, t.thn.
Wibisono,
C. "Kedaulatan Asap RI." Kompas, 2015: 7.
Wikipedia.
Wikipedia. 2021. https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Kepulauan_Meranti
(accessed Desember 13, 2021).
Yuliani, Febri. "Implementasi Perlindungan dan Pengelolaan
Ekosistem Gambut Serta Pengendalian Kebakaran Hutan di Lahan." Jurnal
Kebijakan Publik, 2018: Volume 9, Nomor1, 1-68. ��Hyperlink
"https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=Yuliani%2C+Febri.+%22Implementasi+Perlindungan+dan+Pengelolaan+Ekosistem+Gambut+Serta+Pengendalian+Kebakaran+Hutan+di+Lahan.%22+Jurnal+Kebijakan+Publik%2C+2018%3A+Volume+9%2C+Nomor1%2C+1-68.&btnG="
��Google
Scholar
Yuliani,
Febri. "Pelaksanaan Cannal Blocking Sebagai Upaya Restorasi Gambut." Spirit
Publik, Vol.12, No. 1, 2017: 69-84.
Verdinand
Robertua (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |