Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
8, Agustus 2022
ANALISIS CADANGAN DEVISA
NEGARA, FINANCIAL DEEPENING, TINGKAT SUKU BUNGA, DAN TINGKAT INFLASI TERHADAP
STABILITAS NILAI TUKAR DI INDONESIA PERIODE 2016.9-2021.7
E Diah
Lufti Wijayanti, Sri Suharsih, Rias Wenerda
Universitas Pembangunan Nasional,
Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Perkembangan ekonomi Indonesia menunjukkan semakin terintegrasi dengan perekonomian dunia. Pada dasarnya cadangan devisa negara berfungsi untuk berjaga-jaga demi menghadapi ketidakpastian ekonomi yang akan datang. Financial deepening pun telah diidentifikasi sebagai salah satu strategi yang pelaksanaannya secara tidak langsung dapat menjaga nilai tukar. Tingkat suku bunga dan tingkat inflasi dinilai juga dapat menjaga nilai tukar. Namun, efek dari strategi ini perlu ditentukan dan diperiksa dari waktu ke waktu terutama bagi negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang (emerging market) membutuhkan kebijakan yang tepat untuk tetap menjaga cadangan devisa serta mempercepat laju kedalaman keuangan.� Penelitian ini menggunakan Error Correction Model (ECM) untuk melihat pengaruh jangka panjang dan jangka pendek dari cadangan devisa negara, financial deepening, tingkat suku bunga dan tingkat inflasi terhadap stabilitas nilai tukar. Hasilnya di Indonesia cadangan devisa negara mempengaruhi stabilitas nilai tukar dalam jangka pendek. Tingkat suku bunga mempengaruhi stabilitas nilai tukar baik dalam jangka pendek maupun jangka Panjang. Financial deepening dan tingkat inflasi di Indonesia belum mampu menjaga kestabilan nilai tukar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Kata Kunci: Cadangan Devisa Negara; Financial Deepening; Tingkat Suku Bunga; Tingkat Inflasi; REER; Stabilitas Nilai Tukar
Abstract
Indonesia's economic development
is increasingly integrated with the world economy. Basically, the country's
foreign exchange reserves work to guard against future economic uncertainties.
Financial deepening has been identified as one of the strategies whose
implementation can indirectly maintain exchange rates. Interest rates and
inflation rates can also maintain exchange rates. However, this strategy needs
to be determined and checked from time to time, especially for developing
countries. Indonesia as a developing country (emerging market) needs the right
policies to maintain reserves and the speed of finance. This study uses the
Error Correction Model (ECM) to see the long-term and short-term effects of
foreign exchange reserves, financial deepening, interest rates and inflation rates
on the exchange rate. As a result, Indonesia's foreign exchange reserves affect
the exchange rate in the short term. Interest rates affect exchange rates both
in the short and long term. Financial deepening and inflation rate. In Indonesia
has not been able to maintain value stability both in the short and long term.
Keywords: State
Foreign Exchange Reserves; Financial Deepening; Interest Rate; Inflation Rate;
REER; Exchange Rate Stability
Pendahuluan
Nilai tukar mata uang suatu negara merupakan indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Mengingat hampir semua negara di dunia melakukan transaksi valuta asing dalam kegiatan perdagangan internasional. Transaksi valuta asing ini sendiri tergantung pada permintaan atau kesepakatan suatu negara. Pasca Global Financial Crisis (GFC) tahun 2008-2009 paradigma baru kebijakan moneter mengarah pada pentingnya kestabilan sistem keuangan dalam mendukung kestabilan harga. Kompleksitas permasalahan dan tambahan sasaran kebijakan mengisyaratkan bahwa perlu penguatan strategi bauran kebijakan. Dimana dalam hal ini, stabilitas keuangan didukung oleh penggunaan instrumen kebijakan makroprudensial dan sistem nilai tukar mengambang terkendali dengan intervensi pasar valuta asing (Bank Indonesia, 2021).
Indonesia sebagai negara berkembang yang menganut sistem perekonomian terbuka terlibat dalam transaksi perdagangan internasional. Hal ini merupakan konsekuensi
dari dianutnya sistem perekonomian terbuka yang dalam aktivitasnya selalu berhubungan dan tidak lepas dari fenomena
hubungan internasional. Adanya keterbukaan perekonomian ini memiliki dampak pada perkembangan neraca pembayaran suatu negara yang meliputi arus perdagangan
dan lalu lintas modal terhadap luar negeri suatu negara. Salah satu bentuk aliran modal yang masuk ke dalam
negeri yaitu dapat berupa devisa yang berasal dari perdagangan
internasional yang dilakukan
oleh negara tersebut. Meningkatnya
ekspor suatu negara akan membawa keuntungan
yaitu kenaikan pendapatan, kenaikan devisa, transfer modal dan makin banyaknya kesempatan kerja. Demikian juga dengan
meningkatnya impor suau negara maka akan memberikan lebih banyak alternatif
barang-barang yang dapat dikonsumsi dan terpenuhinya kebutuhan bahan-bahan baku
penolong serta barang modal untuk kebutuhan industri di negara-negara tesebut
juga transfer teknologi.
Gambar 1
Real Effective Exchange Rate Indonesia Sept 2016- Juli 2020
Sumber: Bank For International Settlement (diolah)
Berdasarkan gambar 1 Real Effective
Exchange Rate (REER) mengalami
penurunan yang signifikan, pada bulan Januari 2017 sebesar 96,56% dan pada pada
bulan Oktober 2018 sebesar 84,8% atau mengalami penurunan sebesar 12,17%.
Penurunan REER ini mengindikasikan bahwa nilai tukar rill rupiah mengalami apresiasi
dan dalam kondisi undervalue. Makna kondisi undervalue adalah
nilai REER dibawah 100 dimana posisinya akan baik untuk nilai tukar rupiah
karena mengalami apresiasi. Dalam penelitian ini nilai tukar riil akan
diproksikan dengan Real Effective Exchange Rate.
Variabel yang dapat berdampak pada perubahan nilai tukar salah satunya adalah cadangan devisa. Pada dasarnya cadangan devisa berfungsi sebagai buffer stock untuk berjaga-jaga guna menghadapi ketidakpastian keadaan dimasa depan. Apabila terjadi depresiasi nilai tukar riil akibat memburuknya terms of trade maka disitulah cadangan devisa berfungsi sebagai penstabil. Perbaikan dari nilai tukar perdagangan akan meningkatkan aliran modal masuk sehingga akan kembali mendorong apresiasi nilai tukar riil.
Upaya untuk mengatasi gejolak nilai tukar selain dengan cadangan devisa juga dapat diatasi dengan mengukur financial deepening (kedalaman sektor keuangan) suatu negara (Asmanto, 2008). Suatu negara dengan rasio financial deepening yang besar cederung mengurangi peran cadangan devisa negara sebagai penstabil nilai tukar riil. Hal ini dikarenakan negara dengan rasio financial deepening yang besar dapat dikatakan telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang sudah baik sehingga negara tersebut dapat mengatasi gejolak nilai tukar akibat terms of trade shock dengan penyesuaian otomatis melalui mekanisme pasar (Aizenman dan Crichton, 2006).
Variabel lain yang juga berdampak pada perubahan nilai tukar salah satunya adalah tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga adalah salah satu indikator moneter yang digunakan pemerintah untuk mengontrol nilai mata uang dengan pembatasan jumlah permintaan uang dengan menambah suku bunga. Menurut Bank Indonesia, menjelaskan dengan instrumen tingkat suku bunga yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai Bank Sentral guna mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Inflasi juga memberikan pengaruh pada nilai tukar rupiah. Jika inflasi suatu negara meningkat, permintaan atas mata uang negara tersebut menurun dikarenakan ekspornya juga turun disebabkan harga yang lebih tinggi (2006). Nilai ekspor yang turun akan menurunkan permintaan terhadap mata uang domestik dan meningkatkan permintaan terhadap mata uang asing. Rendahnya permintaan terhadap mata uang domestik akan membuat mata uang domestik terdepresiasi yang pada maknanya berindikasi pada kenaikan nilai Real Effective Exchange Rate.
Penelitian ini mengadopsi variabel yang digunakan pada penelitian Aizenman (2008) dan Philipe (2006) serta memodifikasinya menjadi model
yang dibutuhkan guna untuk mencapai tujuan penelitian ini. Variabel bebas
cadangan devisa negara diambil untuk menunjukkan
keterbukaan perekonomian
negara. Variabel bebas financial
deepening akan diwakilkan
dengan dua indikator diantaranya mewakilkan dari sektor perbankan oleh perbandingan jumlah uang beredar dengan PDB (M2/PDB) dan perbandingan kredit sektor swasta dengan
PDB (KS/PDB). Modifikasi variabel
bebas penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya, termasuk dari Slavtcheva (2015) yang menggunakan variabel financial
deepening. Namun pada penelitiannya
hanya menggunakan satu indikator saja, dan pada penelitian ini menambahkan indikator lainnya yaitu perbandingan kredit sektor swasta
dengan PDB (KS/PDB).�
Dilihat pada kombinasi
penggunaan variabel dan penambahan indikator financial
deepening tersebut, penelitian
ini juga menambahkan variabel bebas berupa tingkat suku bunga Bank Indonesia yaitu BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRR) dan juga tingkat inflasi. Selain itu, variabel
dependen pada penelitian ini adalah nilai
tukar yang akan diwakilkan dengan nilai Real Effective Exchange Rate (REER). Penelitian ini juga menggunakan data yang sangat terbaru
dari tahun 2016.9 hingga 2021.7 sehingga akan menghasilkan penelitian yang terbaru.
Metode Penelitian
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif dan kualitatif untuk melihat pengaruh cadangan devisa negara, financial deepening, tingkat suku bunga bank Indonesia dan tingkat inflasi terhadap stabilitas nilai tukar. Dimana menggunakan Error Model Correction untuk memperkirakan hubungan jangka pendek dan jangka panjang variabel tersebut.� Masalah konseptual dan teoritis yang terkait serta statistika deskriptif memberikan wawasan yang lebih dalam dan memungkinkan kita untuk menarik implikasi, kesimpulan dan membuat rekomendasi untuk sebuah kebijakan.
Definisi
Operasional Variabel
Untuk memberikan pemahaman terhadap variabel-variabel dalam penelitian ini, maka diperlukan definisi operasional yakni:
a. Variabel
nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini adalah Real Effective Exchange
Rate (REER). REER adalah indikator yang dapat menjelaskan nilai mata uang suatu
negara relative terhadap beberapa mata uang negara-negara lainnya yang telah
disesuaikan dengan tingkat inflasi pada tahun tertentu atau indeks harga
konsumen negara tertentu dan menunjukkan daya saing dalam perdagangan
Internasional. Data yang digunakan adalah data REER bulanan dari 2016.0-2021.07
dengan tahun dasar Consumer Price Index tahun 2010 yang diperoleh dari Bank for
International Settlement (BIS).\
b. Variabel
cadangan devisa Indonesia yang digunakan dengan satuan miliar rupiah.
c. Variabel
financial deepening yang diproksikan oleh rasio jumlah uang beredar
terhadap PDB (M2/PDB). Variabel ini disebut juga tingkat monetisasi yang
mencerminkan kegiatan bank dalam inovasi produk-produk keuangan atau mengukur
peranan sistem keuangan dalam memobilisasi tabungan. Satuan yang digunakan
dalam variabel ini adalah persen (%).
d. Variabel
financial deepening yang diproksikan oleh rasio kredit swasta terhadap
PDB (KS/PDB) merupakan kredit dalam yang disalurkan oleh perbankan sektor
swasta mengacu pada sumber daya keuangan yang diberikan kepada sektor swasta
oleh perusahaan penyimpanan lainnya (deposito perusahaan kecuali bank sentral).
Satuan yang digunakan dalam variabel ini adalah persen (%).
e. Variabel
tingkat suku bunga yang digunakan adalah suku bunga BI Rate yang digunakan
adalah BI 7 Days Reverse Repo Rate, satuan yang digunakan adalah persen (%).
f. Variabel
inflasi Indonesia yang digunakan adalah nilai inflasi aktual yang terjadi,
satuan yang digunakan adalah persen (%).
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
������������������������������ �����.������... (3.1)
Yt = β0+ β1 X1 + β2 X2 + β3 X3+ β4 X4e+ β5
X5e
Yt������������������� = Nilai Tukar
β0�������������������� = Konstanta
β1X1�������������������������� = Cadangan devisa Indonesia
β2X2�������������������������� = M2/PDB (Indikator Financial Deepening)
β3X3�������������������������� = KS/PDB (Indikator Financial Deepening)
β4X4�������������������������� = Tingkat suku bunga
β5X5�������������������������� = �Inflasi
e��������������������� = Error
Selanjutnya, dibentuk fungsi biaya tunggal dalam metode koreksi kesalahan:
Ct = β1 (Yt � Yt*) + β2 {(Yt-Yt-1)-ft (Zt-Zt-1)}2�����������......(3.2)
Berdasarkan fungsi diatas, Ct adalah fungsi biaya kuadrat, Yt adalah nilai tukar pada periode t, sedangkan Zt merupakan vektor variabel yang mempengaruhi nilai tukar dan dianggap dipengaruhi secara linear oleh cadangan devisa negara, financial deepening, tingkat suku bunga dan inflasi. β1 dan β2 merupakan vektor baris yang memberikan bobot kepada Zt-Zt-1.
Komponen pertama fungsi biaya tunggal pada fungsi 3.2 merupakan biaya ketidakseimbangan dan komponen kedua merupakan komponen biaya penyesuaian. Sedangkan β adalah operasi kelambanan waktu. Zt adalah factor variabel yang mempengaruhi nilai tukar.
Dari hasil parameterisasi persamaan jangka pendek maka dapat menghasilkan bentuk persamaan baru, persamaan tersebut dikembangkan dari persamaan yang sebelumnya untuk mengukur parameter jangka panjang dengan menggunakan model ECM. Model ECM yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
ECM yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
DYt = β0+ β1 D(X1) + β2� �D(X2)
+ β3 D(X3) + β4�
�D(X4) + β5 D(X5)
+ ECT (-1)
����������������������������������������������������������� ����� �..������������.(3.3)
ECT = X1t-1 + X2t-1 + X3 t-1 + X4 t-1 + X5 t-1 ������������..(3.4)
Keterangan:
D(Yt) = Yt �Yt-1
D(X1) = Cadangan Devisa t - Cadangan Devisa t-1
D(X2) = M2/DPB t � M2/PDB t-1
D(X3) = KS/DPB t � KS/PDB t-1
D(X4) = BI Rate t - BI Rate t-1
D(X5) = Inflasi t � Inflasi t-1
β0 = Konstanta
β1, β2, β3, β4, β5= Koefisien ECM
ECT (-1) = Koefisien Error Correction Term (ECT)
t = Periode Waktu
Makna dari Error Correction Term itu sendiri adalah menunjukkan angka koreksi jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Nilainya untuk menunjukkan koefisien regresi ECM dalam jangka panjang.
Adapun tahapan dalam pengujian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1. Uji
Akar Unit (unit root test)
Konsep yang dipakai untuk menguji stasioner suatu data runtut waktu adalah uji akar unit. Apabila suatu data runtut waktu bersifat tidak stasioner, maka dapat dikatakan bahwa data tersebut tengah menghadapi persoalan akar unit (unit root problem). Keberadaan unit root problem bisa terlihat dengan cara membandingkan nilai t-statistik hasil regresi dengan nilai test Augmented Dickey Fuller (ADF).
2. Uji
Derajat Integrasi
Apabila pada uji akar unit di atas data runtut waktu yang diamati belum stasioner, maka langkah berikutnya adalah melakukan uji derajat integrasi untuk mengetahui pada derajat integrasi ke berapa data akan stasioner.
3. Uji
Kointegrasi
Uji Kointegrasi yang paling sering dipakai uji Engle-Granger (EG), uji augmented Engle-Granger (AEG) dan uji cointegrating regression Durbin-Watson (CRDW). Pada derajat yang sama data harus sudah berintegrasi untuk mendapatkan nilai EG, AEG dan CRDW hitung. Dapat dilakukan langsung menggunakan pengujian kointegrasi dalam applikasi eviews
4.
Uji Asumsi Klasik
a.
Uji Multikolinieritas
Suatu keadaan di mana satu atau lebih variabel bebas dapat dinyatakan sebagai kombinasi linier dari variabel bebas lainnya disebut masalah multikolinearitas. Adanya multikolinieritas dalam persamaan yang ditaksir masih BLUE (Best-Linear Unbiased Estimation), akan tetapi kurang akurat (Gujarati,1995).
Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinieritas dapat dilihat dari nilai R2, F hitung tinggi, sedang nilai t hitung banyak yang tidak signifikan. Nilai R2 yang tinggi yaitu antara 0,7-1,0 dan jika koefisien korelasi sederhana juga tinggi. Selain itu secara individu masing-masing variabel tidak memiliki pengaruh terhadap variabel bebasnya. Apabila nilai R2 tinggi, ini berarti uji F melalui analisis varians pada umumnya akan menolak hipotesis nol, yang mengatakan bahwa secara simultan seluruh koefisien regresi parsial nilainya nol.
Dalam penelitian ini uji Multikolinearitas yang digunakan adalah uji Variance Impulse Factor (VIF). Di mana pengambilan keputusan disadarkan dengan Tolerance dan VIF pada uji multikolinearitas yang sebagai berikut:
Jika nilai VIF < 10,00 maka artinya tidak terjadi multikoliniearitas �� �dalam model regresi.
Jika nilai VIF > 10,00 maka artinya terjadi multikoliniearitas dalam model regresi.
b. Uji
Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah keadaan di mana variabel pengganggu tidak mempunyai varian yang sama untuk semua observasi. Munculnya heteroskedastisitas mengakibatkan parameter yang diestimasi tidak bias akan tetapi tidak efisien (Gujarati, 1995). Jika varians dan residual satu pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika bebas disebut heteroskedastisitas.
Pengujian heteroskedastisitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey. Apabila nilai uji probabilitas obs*R-squared Heteroskedasticity Test lebih besar dari 0.05 (α > 0.05) maka penelitian ini lolos dari adanya heteroskedasitas.
c. Uji
Autokorelasi
Autokorelasi adalah keadaan di mana variabel pengganggu pada periode tertentu berkorelasi dengan variabel penganggu pada peiode lain atau dengan kata lain variabel pengganggu tidak random. Adanya autokorelasi dalam persamaan mengakibatkan parameter yang diestimasi adalah bias dan variannya tidak minimum, sehingga tidak efisien (Gujarati, 1995).
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya korelasi antara lain dalam menentukan model, penggunaan lag pada model, dan tidak memasukkan variabel yang penting dalam model. Metode dalam uji autokorelasi sebenarnya ada banyak jenis yang bisa dilakukan, namun pada penelitian ini menggunakan uji Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Apabila nilai uji probabilitas obs*R-squared Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test lebih besar dari 0.05 (α > 0.05) maka penelitian ini lolos dari adanya autokorelasi.
d. Uji
Normalitas
Uji normalitas merupakan uji yang dilakukan untuk mengevaluasi apakah nilai residual dari model yang dibentuk sudah normal atau tidak. Pengujian normalitas dalam penelitian ini menggunakan Jarque Berra. Pengujian normalitas dengan pendekatan Jarque Berra membangun dua hipotesis sebagai berikut:
Ho������ : Nilai residual dari model tidak terdistribusi normal
Ha������ : Nilai residual dari model terdistribusi normal
Apabila nilai probabilitas dari pengujian normalitas dengan pendekatan Jarque Berra menunjukkan angka yang lebih kecil daripada tingkat signifikansi (5%) maka, H0 diterima atau Ha ditolak. Apabila nilai probabilitas dari pengujian normalitas dengan pendekatan Jarque Berra menunjukkan angka yang lebih besar daripada tingkat signifikansi (5%) maka H0 ditolak atau Ha diterima.
e. Uji
Linearitas
Untuk regresi liner berganda, pengujian terhadap linearitas dapat menggunakan Ramsey Reset Test. Jika nilai
probabilitas F hitung lebih besar dari
alpha maka model regresi memenuhi asumsi linieritas dan sebaliknya.
Hasil dan Pembahasan
Uji yang dilakukan pertama adalah uji stasioneritas, digunakan untuk mengeahui stasioner atau tidaknya suatu data atau variabel yang akan dipergunakan dalam penelitian. Data dapat dilanjutkan Ketika sudah memenuhi syarat uji stasioneritas dan dapat dikatakan terhindar dari regresi lancung. Regresi lancung adalah keadaan dimana hasil regresi
menunjukkan koefisien dari regresi yang signifikan secaras statistic dan nilai koefisien determinasi yang tinggi namun sebenarnya hubungan antar variabel di dalam model tidak ada kaitan
atau hubungan (Widarjono, 2009).
Uji Akar unit yang digunakan dalam
uji stasioneritas penelitian ini adalah menggunakan Uji Augmented Dickey
Fuller (ADF). Berikut hasil uji ADF pada tingkat level:
Tabel 1
Uji Akar Unit
(Tingkat Level)
Variabel |
ADF t-statistic |
Derajat Kepercayaan
5% |
Hasil |
Cadangan Devisa (X1) |
-1.687101 |
-2.91631 |
Tidak stasioner |
Financial Deepening M2/PDB (X2) |
0.847747 |
-2.913549 |
Tidak stasioner |
Financial Deepening KS/PDB (X3) |
-1,432519 |
-2.912631 |
Tidak stasioner |
Suku Bunga (X4) |
-0.729081 |
-2.913549 |
Tidak stasioner |
Inflasi (X5) |
-1.459634 |
-2.913549 |
Tidak stasioner |
Sumber: Lampiran 1, data diolah
Berdasarkan uji Augmented Dickey
Fuller (ADF) dengan nilai
kritis Mackinnon 5% dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun
variabel yang stasioner
pada akar unit tingkat
level sehingga perlu dilanjutkan uji berikutnya pada tingkat 1st difference. Hasil uji stasioneritas data menurut time
series dilakukan dengan menggunakan nilai uji Augmented
Dickey-Fuller (ADF). Nilai uji ADF menunjukkan bahwa tidak ada
variabel stasioner pada tingkat level karena t-statistik ADF untuk semua variabel lebih kecil dari
nilai kritis uji 5%. Pada tabel 2 dilakukan pengujian lebih lanjut pada tingkat 1st
Difference.
Tabel 2
Uji Derajat Integrasi
Variabel |
ADF t-statistic |
Derajat Kepercayaan
5% |
Hasil |
Cadangan Devisa (X1) |
-9.398295 |
-2.913549 |
Stasioner |
Financial Deepening M2/PDB (X2) |
-9.581251 |
-2.913549 |
Stasioner |
Financial Deepening KS/PDB (X3) |
-9.230836 |
-2.913549 |
Stasioner |
Suku Bunga (X4) |
-4.839976 |
-2.913549 |
Stasioner |
Inflasi (X5) |
-10.97922 |
-2.913549 |
Stasioner |
Sumber: Lampiran 1, data diolah
Untuk
menghindari regresi lancung, dapat dilakukan uji kointegrasi. Jika sisa nilai semua
variabel stasioner, dapat dikatakan telah terjadi kointegrasi (hubungan jangka
panjang) antara data atau variabel yang digunakan dalam model dan menghindari
regresi lancung (Gujarati, 2003). Uji kointegrasi pada penelitian inni
menggunakan metode residual based test. Metode residual based test yang
dipilih adalah menggunakan uji statistic Augmented Dickey Fuller yaitu
dengan mengamati residual regresi kointegrasi stasioner atau tidak. Untuk
menghitung nilai ADF itu sendiri dilakukan dengan membuat persamaan regresi
kointegrasi degan metode OLS (Ordinary Least Square) terlebih dahulu.
Tabel 3
Uji Kointegrasi
ADF t-statistic |
Derajat
Kepercayaan 5% |
-6.220331 |
-2.912631 |
Sumber: Lampiran 1, data diolah
Hasil pengujian
kointegrasi pada tabel 3 yang menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller terlihat
residual nilai absolut ADF adalah sebesar -6,220331 > nilai kritis 5% yatu
-2,912631 sehingga sudah stasioner pada tingkat level. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai t-statistik ADF lebih besar dari pengujian nilai kritis 5% sehingga
dapat dikatakan telah terjadi kointegrasi antara variabel yang digunakan dalam
model tersebut.
Pengujian dilanjutkan dengan menguji uji asumsi klasik. Apabila lolos dari
uji asumsi klasik maka regresi dapat
diinterpretasi dengan baik. Berikut hasil
uji asumsi klasik model
pada penelitian:
Tabel 4
Hasil Uji Asumsi Klasik
Uji |
Test |
Nilai
Probabilitas R-Squared |
Hasil |
Multikolinearitas |
Variance Inflation Factors |
VIF
< 10 |
Tidak terdapat Multikolinearitas |
Heteroskedastisitas |
Breusch-Pagan-Godfrey |
0.2991 |
Tidak terdapat Heteroskedastisitas |
Autokorelasi |
LM Test |
0.1814 |
Tidak terdapat Autokorelasi |
Normalitas |
Jarque Berra |
0.832481 |
Terdistribusi Normal |
Linearitas |
Ramsey Reset Test |
0.4258 |
Tidak terdapat hubungan linear |
Hasil dan pembahasan dalam
jangka pendek
Pengujian
pertama yang dilakukan adalah menggunakan model untuk pengujian dalam jangka
pendek. Berdasarkan tabel 5 hasil pengujian pada jangka pendek variabel X1
yaitu cadangan devisa negara sebagai bentuk tingkat ekonomi memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap REER. Begitu juga untuk variabel X2 yaitu financial
deepening yang diproksikan oleh rasio jumlah uang yang beredar, dimana
hasilnya financial deepening dalam jangka pendek berpengaruh negatif
tidak signifikan terhadap REER pada derajat kepercayaan 5%. Variabel X4 yaitu
tingkat suku bunga memiliki pengaruh negatif signifikan dalam jangka pendek
terhadap REER pada derajat kepercayaan 5%.. Sedangkan untuk variabel X3 yaitu financial
deepening yang diproksikan oleh rasio kredit sektor swasta hasilnya adalah
dalam jangka pendek tidak signifikan terhadap REER. Begitu juga untuk variabel
X5 yaitu tingkat inflasi juga menunjukkan hasil yang dalam jangka pendek tidak
signifikan terhadap REER.
Tabel 5
Koefisien Regresi
Jangka Pendek
Variabel |
Koefisien |
Nilai Probabilitas |
Cadangan
Devisa (X1) |
-0.000138 |
0.0444** |
Financial
Deepening M2/PDB (X2) |
-0.148565 |
0.5985 |
Financial
Deepening KS/PDB (X3) |
0.554036 |
0.3686 |
Suku Bunga (X4) |
-1.882796 |
0.0807* |
Inflasi (X5) |
0.575999 |
0.4014 |
Sumber: Lampiran 1, diolah
Keterangan: *Signifikan pada derajat kepercayaan 10%
**Signifikan pada derajat kepercayaan 5%
***Signifikan pada derajat kepercayaan 1%
Variabel cadangan devisa negara dalam hal ini merupakan variabel yang diproksikan untuk sekaligus memperlihatkan tingkat perekonomian negara. Variabel cadangan devisa negara pada estimasi model dalam jangka pendek memiliki nilai koeefisien -0.000138 artinya setiap peningkatan cadangan devisa negara 100 miliar rupiah akan menyebabkan penurunan nilai REER sebesar 0,013 poin, cateris paribus. Dengan nilai probabilitas 0,0444 < 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan variabel cadangan devisa negara dalam jangka pendek memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap stabilitas nilai tukar pada derajat kepercayaan 5%.
Dalam jangka pendek, tingkat perekonomian sebagai proksi dari cadangan devisa negara berpengaruh negatif signifikan terhadap stabilitas nilai tukar di Indonesia. Hasil ini menunjukkan bahwa dugaan terhadap cadangan devisa negara terhadap stabilitas nilai tukar di Indonesia telah sesuai dengan hipotesis. Hal ini berarti bahwa peningkatan tingkat perekonomian artinya memdorong apresiasi nilai tukar di Indonesia. Dalam hal ini, ada pengaruh dari ekonomi global yang membuat stabilitas nilai tukar terus meningkat ketika tingkat perekonomian Indonesia meningkat. Makna apresiasi nilai tukar disini pada halnya cadangan devisa negara terhadap nilai REER adalah berpengaruh negatif. Turunnya nilai REER artinya menunjukkan nilai tukar domestik yang lebih murah dibandingkan nilai tukar negara lain yang maknanya adalah apresiasi nilai tukar rupiah.
Financial
deepening di penelitian
diproksikan dengan dua variabel yaitu rasio jumlah uang beredar terhadap PDB
dan rasio kredit sektor swasta terhadap PDB. Pertama akan membahas tentang
variabel financial deepening yang diproksikan oleh rasio jumlah uang
beredar terhadap PDB. Variabel financial deepening yang diproksikan oleh
rasio jumlah uang beredar terhadap PDB pada model pertama yang melihat hubungan
jangka pendek memiliki nilai koefisien -0.148565 dengan nilai probabilitas
0,5985 > 0,05 dan arah koefisien negatif artinya dalam jangka pendek financial
deepening yang diproksikan dengan rasio jumlah uang beredar tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas nilai tukar yang dalam hal ini
diproksikan dengan nilai REER. Untuk variabel financial deepening yang
diproksikan oleh rasio kredit sektor swasta terhadap PDB pada model jangka
pendek memiliki nilai koefisien 0,554036 dengan nilai probabilitas 0,3686
artinya dapat disimpulkan variabel financial deepening yang diproksikan
oleh rasio kredit sektor swasta terhadap PDB tidak berpengaruh dalam jangka
pendek terhadap stabilitas nilai tukar yang dalam hal ini diproksikan dengan
nilai REER.
Berdasarkan hasil
pengolahan data menunjukkan belum adanya kesesuaian untuk variabel financial
deepening yang diproksikan oleh rasio jumlah uang beredar terhadap PDB
maupun rasio kredit sektor swasta terhadap PDB terhadap stabilitas nilai tukar
dalam jangka pendek. Pada periode penelitian September 2016 hingga Juli 2021
tidak hanya pada indikator rasio jumlah uang beredar yang hasilnya tidak
signifikan terhadap stabilitas nilai tukar melainkan indikator rasio kredit
sektor swasta. Dalam pengolahan data jangka pendek karena belum menunjukkan hal
yang signifikan dan tidak sesuai dengan hipotesis pada bab 2, menandakan financial
deepening belum dapat berfungsi sebagai shock absorser ketika negara
Indonesia mengalami depresiasi nilai tukar riil. Terjadinya depresiasi nilai
tukar yang diakibatkan oleh terms of trade shock belum mampu distabilkan oleh financial
deepening di negara Indonesia dalam jangka pendek.
Variabel tingkat suku bunga pada model
jangka pendek memiliki nilai koefisien -1.882796 dengan nilai probabilitas
0,0807 < 0,10 dengan arah koefisien negatif artinya setiap peningkatan
tingkat suku bunga Bank Indonesia 1 basis points akan menyebabkan penurunan
nilai REER sebesar Rp 0,08 poin cateris paribus. Hal ini sesuai dengan
teori ekonomi bahwa hubungan antara tingkat suku bunga dan nilai tukar dalam
hal ini adalah REER berpengaruh negatif. Dalam jangka pendek dapat disimpulkan
bahwa tingkat suku bunga bank Indonesia memiliki pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap nilai tukar.
Hasil penelitian dalam jangka pendek
menunjukkan nilai probabilitas variabel tingkat inflasi adalah sebesar 0,4014
artinya lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan dalam jangka pendek
tingkat inflasi di Indonesia tidak berpengaruh terhadap nilai tukar yang pada
penelitian ini adalah nilai REER.
Hasil dan pembahasan dalam
jangka Panjang
Tabel 6
Koefisien Regresi ECM Jangka
Panjang
Variabel |
Koefisien |
Nilai Probabilitas |
Cadangan
Devisa D(X1) |
-0.000120 |
0.2086 |
Financial
Deepening M2/PDB D(X2) |
0.390359 |
0.5490 |
Financial
Deepening KS/PDB D(X3) |
0.163950 |
0.8332 |
Suku Bunga D(X4) |
-5.667753 |
0.0330** |
Inflasi D(X5) |
0.204721 |
0.7374 |
ECT
(-1) |
-0.945474 |
0.0000*** |
Sumber: Lampiran 1, diolah
Keterangan: *Signifikan pada derajat kepercayaan 10%
**Signifikan pada derajat kepercayaan 5%
***Signifikan pada derjat kepercayaan 1%
Hasil uji ECM menunjukkan nilai probabilitas 0.000 yang lebih kecil dari derajat kepercayaan 5% yang artinya bahwa nilai ECT berpengaruh signifikan yang menunjukkan bahwa ada pengaruh antar variabel dalam menuju keseimbangan jangka panjang.
Pada pengujian model ECM jangka panjang, variabel cadangan devisa negara dalam jangka panjang memiliki nilai koefisien -0.000120 namun memiliki nilai probabilitas 0,2086 dimana nilai ini lebih besar dari 0,05 yang artinya dapat disimpulkan dalam jangka panjang variabel cadangan devisa negara tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas nilai tukar yang dalam hal ini adalah nilai REER.
Analisis dengan menggunakan metode error correction model didapatkan beberapa temuan yang menggambarkan hubungan cadangan devisa negara terhadap stabilitas nilai tukar di Indonesia. Tingkat perekonomian Indonesia diproksikan dengan cadangan devisa negara dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan empat model yang jangka pendek yang diadopsi dari penilitian Aizenman (2008). Kemudian dari model yang telah diadopsi dilakukan beberapa simulasi yang dilihat dari model penelitian milik Slavtcheva (2015) sehingga terbentuk simulasi menggunakan model ECM untuk melihat pengaruhnya pada jangka panjang.
Hal ini sejalan dengan penelitian milik Gokhale dan Raju (2013), yang meniliti penelitiannya di India, hasilnya menyebutkan bahwa cadangan devisa negara baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang tidak ada pengaruhnya di Negara India. Hal ini ditemukan juga pada penelitian milik Aizenman (2008) yang menyatakan bahwa cadangan devisa negara tidak punya pengaruh pada nilai tukar untuk negara yang fokus pada ekspor manufakturnya, dalam hal ini adalah negara maju.
Pengujian dilanjutkan dengan menguji model ECM yaitu dalam jangka panjang. Variabel financial deepening yang diproksikan oleh rasio jumlah uang beredar terhadap PDB pada model ECM yang melihat hubungan jangka panjang memiliki nilai koefisien 0,390359 dengan nilai probabilitas 0,5490 > 0,05 artinya dalam jangka panjang variabel financial deepening yang diproksikan oleh rasio jumlah uang beredar terhadap PDB belum berpengaruh secara signifikan terhadap stabilitas nilai tukar. Di mana dalam hal ini menunjukkan bahwa kedalaman sektor keuangan Indonesia belum membantu stabilitas nilai tukar di Indonesia dalam jangka panjang.
Sama halnya dengan variabel financial deepening yang diproksikan oleh rasio kredit sektor swasta terhadap PDB, memiliki nilai koefisien 0,163950 dengan nilai probabilitas 0,8332 > 0,05 dan arah koefisien positif artiya dalam jangka panjang variabel financial deepening yang diproksikan oleh rasio kredit sektor swasta terhadap PDB belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas nilai tukar atau dalam hal ini diproksikan dengan nilai REER.
Dalam pengolahan data jangka panjang menggunakan model ECM kedua indikator financial deepening tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas nilai tukar. Hal ini menandakan financial deepening belum dapat berfungsi sebagai shock absorser ketika negara Indonesia mengalami depresiasi nilai tukar riil. Terjadinya depresiasi nilai tukar yang diakibatkan oleh terms of trade shock belum mampu distabilkan oleh financial deepening di negara Indonesia dalam jangka panjang. Hal ini tidak sejalan dengan beberapa penemuan sebelumnya. Penemuan milik Aghion (2006) menyatakan bahwa pembangunan keuangan (financial deepening) menghasilkan pengaruh yang positif terhadap stabilitas nilai tukar, dimana beliau meneliti 83 negara dan menyebutkan bahwa negara dengan financial deepening yang buruk maka akan menyebabkan guncangan terhadap nilai tukar. Begitu juga penemuan milik Slavtcheva (2015) menemukan bahwa suatu negara berkembang dengan financial deepening yang dangkal maka akan mengguncang nilai tukar. Penelitian milik Calderon dan Liu (2002), menyebutkan bahwa financial deepening yang baik harusnya juga dapat menstabilkan nilai tukar rupiah. Hal ini dapat disimpulkan bahwa variabel financial deeepening di Indonesia memang belum optimal sebagai shock absorber depresiasi nilai tukar ketika terjadi depresiasi nilai tukar akibat terms of trade. Indonesia dinilai masih harus memaksimalkan sektor keuangan dimana intermediasi perbankan harus lebih dioptimalkan.
Hal ini juga dapat dimungkinkan kekuatan pasar yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh financial deepening, namun oleh faktor lainnya. Ketidakmampuan financial deepening sebagai penstabil nilai tukar mendukung penelitian pada Asmanto (2008) untuk negara Korea, Hongkong, Jepang dan Singapura. Temuannya menyampaikan bahwa financial deepening tidak optimal sebagai shock absorber untuk depresiasi nilai tukar karena asumsi negara tersebut sudah memiliki kondisi financial deepening yang dalam dimana negara tersebut telah maju, berkembang and sektor-sektor keuangan di negara tersebut tidak hanya didominasi oleh sektor perbankan.
Pada negara Hongkong ketidaksesuaian hasil ini karena negara Hongkong menganut system nilai tukar tetap sehingga yang lebih berperan sebagai penstabil nilai tukar adalah dengan menggunakan cadangan devisa negara. Sedangkan untuk negara Jepang, pada periode penelitian peningkatan jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) belum cukup mengangkat perekonomian Jepang dari deflasi. Sehingga, pemerintahan negara Jepang diasumsikan lebih banyak menggunakan cadangan devisa melalui kegiatan intervensi di pasar valas. Hal ini dilakukan untuk menahan laju apresiasi Yen yang cukup cepat karena apresiasi yen yang terlalu besar dapat menurunkan profit yang diperoleh eksportir. Sehingga, pada periode penelitian financial deepening kurang berperan sebagai penstabil nilai tukar. Begitu juga yang terjadi di Indonesia selama periode penelitian kurang efektif dalam mendukung stabilitas nilai tukar pada periode yang sama.
Untuk pengujian model ECM jangka panjang menunjukkan variabel tingkat suku bunga mempunyai nilai koefisien -5,667753 dan memiliki nilai probabilitas 0,0330 < 0,05 artinya berpengaruh signfikan terhadap nilai tukar yang dalam penelitian ini diproksikan dengan nilai REER. Dapat disimpulkan bahwa setiap peningkatan tingkat suku bunga sebesar 1 basis points akan menyebabkan penurunan nilai REER sebesar -5,66 poin cateris paribus. Hal ini sesuai dengan hipotesis pada bab 2 bahwa pengaruh antara tingkat suku bunga dan nilai REER adalah negatif.� Dalam jangka panjang dapat disimpulkan bahwa tingkat suku bunga bank Indonesia memiliki pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap nilai REER. Suku bunga naik artinya dapat mendorong nilai tukar rupiah yang pada asumsi penelitian ini berarti berpengaruh negatif terhadap nilai REER. Makna turunnya REER berarti nilai tukar domestik lebih murah yang sama maknanya dengan apresiasi nilai tukar rupiah.
Penelitian dilanjutkan dengan estimasi model ECM jangka panjang dimana hasilnya juga sama menunjukkan nilai probabilitas variabel tingkat inflasi sebesar 0,7374 artinya lebih besar dari 0,05 maka dapat disimpulkan dalam jangka panjang tingkat inflasi di Indonesia tidak berpengaruh terhadap nilai REER.
Hasil penelitian ini sejatinya tidak sesuai dengan hipotesis yang menyampaikan bahwasanya tingkat inflasi memiliki pengaruh negatif terhadap nilai tukar. Hal ini disebabkan periode penelitian yang dilakukan dari September 2016 hingga Juli 2021 dapat diartikan inflasi belum dapat mempengaruhi nilai tukar. Hasil penemuan ini mendukung penelitian milik Sitilonga (2017) yang menyatakan tidak signifikannya pengaruh antara variabel tingkat inflasi dengan nilai tukar rupiah.
Kesimpulan
Temuan penelitian ini
menyimpulkan bahwa cadangan devisa negara di Indonesia
mempengaruhi stabilitas nilai tukar dalam
jangka pendek. Hal ini benar adanya
sesuai asumsi penulis pada awalnya. Namun untuk financial
deepening masih belum menunjukkan keoptimalan dalam menstabilkan nilai tukar, sehingga
perlu dilakukan fungsi intermediasi perbankan lainnya untuk mendukung hal ini agar dapat
dirasakan efeknya pada sistem pasar. Tingkat suku bunga di Indonesiabaik dalam jangka pendek
maupun jangka Panjang menunjukkan hasil berpengaruh negatif terhadap nilai REER atau apabila suku
bunga naik maka akan mendorong apresiasi nilai tukar rupiah yang dapat menjaga stabilitas nilai tukar. Tingkat inflasi di Indonesia belum mampu mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah pada periode terpilih. Kedepannya, perlu dilakukan kebaruan penelitian bagi peneliti yang berkeinginan melanjutkan penelitian. Terutama dalam penentuan financial
deepening yang hasilnya masih
belum optimal, perlu dilihat komparasi dengan negara berkembang lainnya yang berdekatan atau bertetangga dengan Indonesia. Hal ini perlu sebagai pembanding
apakah sebenarnya system keuangan di Indonesia sudah dapat dinilai cukup
baik ataupun belum.
BIBLIOGRAFI
Agus Widarjono. (2018). Ekonometrika Pengantar Dan Aplikasinya Disertai Panduan Eviews. Edisi keli. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Yogyakarta.
Gujarati,D.N (1995). Basic Econometrics. McGraw Hill, New York.
Kuncoro, M.
(2017). Manajemen Keuangan Internasional. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Salvatore, D.
(1996). Ekonomi Internasional. (H. Munandar, Ed.) (5th ed.). Jakarta.
Warjiyo, D. P.
(2016). Kebijakan Bank Sentral Teori dan Praktik. Jakarta: Raja Grafino
Persada.
Aizenman, Joshua dan Daniel Riera-Crichton. 2006. Real Exchange Rate And International Reserves In The Era of Growing Financial And Trade Integration. Working Paper 12363. National Bureau of Economic Research. July 2006. pp. 1-54
Aghion, P., Bacchetta, P., Ranciere,
R., & Rogoff, K. (2009). Exchange rate volatility and productivity growth:
The role of financial development. Journal of monetary economics, 56(4),
494-513.
Agustina,
& Reny. (2014). Pengaruh ekspor, impor, nilai tukar rupiah, dan tingkat
inflasi terhadap cadangan devisa indonesia. Jurnal Wira Ekonomi Mikrosil,
4(2), 61�70.
Asmanto, P. (2008). Cadangan Devisa, Financial Deepening Dan Stabilisasi Nilai Tukar Riil Rupiah Akibat Gejolak Nilai Tukar Perdagangan. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 11(2).
Emmanuel, Umeora, 2013, Accumulation of External Reserves and Effects on Exchange Rates and Inflation in Nigeria.
Mildyanti, R., & Triani, M. (2019). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Cadangan Devisa (Studi Kasus Di Indonesia Dan China). Jurnal Kajian Ekonomi Dan Pembangunan, 1(1). https://doi.org/10.24036/jkep.v1i1.5363
Rodriguez, C. M. (2017). The growth effects of financial openness and
exchange rates. International Review of Economics & Finance, 48,
492-512.
Bank Indonesia, 2021
Bank Indonesia, 2022
Permatasari, R. W., Purwanto, H., & Sidanti, H.
(2019). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi kurs rupiah terhadap
dollar amerika serikat pada tahun 2018. Seminar Inovasi Manajemen, Bisnis
Dan Akuntansi I, 11288�11298.
Copyright holder: E Diah
Lufti Wijayanti, Sri Suharsih, Rias Wenerda (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |