Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No.
10, Oktober 2022
ANALISIS IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN RELAKSASI PAJAK DALAM RANGKA PEMULIHAN EKONOMI PADA SEKTOR PARIWISATA
YANG TERDAMPAK COVID-19
Kaca Dian Meila, Putri Gantine Lestari
Universitas Informatika dan Bisnis Indonesia, Indonesia
Email: [email protected]; [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebesar besar dampak covid-19 bagi wajib pajak di sektor pariwisata, manfaat relaksasi pajak pada sektor pariwisata, serta pengimplementasian kebijakan relaksasi pajak tersebut dalam rangka pemulihan ekonomi pada sektor pariwisata yang terdampak covid-19. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif menggunakan wawancara kepada fiskus dan diolah menggunakan teknik koding serta melakukan penyebaran kuesioner kepada wajib pajak. Sampel yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 60 responden yang diperoleh dengan metode purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase wajib pajak yang memanfaatkan relaksasi pajak yaitu sebesar 53,33% bagi wajib pajak yang memiliki usaha di bidang perhotelan, 42,11% bagi wajib pajak yang memiliki usaha di bidang restoran dan 27,27% bagi wajib pajak yang memiliki usaha di bidang hiburan. Hal ini menunjukkan masih terdapat wajib pajak yang belum dapat memanfaatkan relaksasi pajak.
Kata Kunci: pariwisata; kebijakan relaksasi pajak; pemulihan ekonomi
Abstract
This study
aims to determine the magnitude of the impact covid-19 in the tax prayers
tourism sector, the benefits of tax relaxation in the tourism sector, and the
implementation of the tax relaxation policy in the context of economic recovery
in the tourism sector affected by covid-19. This research is a type of
qualitative research method using interviews which are processed using coding
techniques and distributing questionnaires to tax payers. The sample obtained
by purposive sampling method as many as 60 respondents. The result show that
the percentage of tax payers who take advantage of tax relaxtation is 53,33%
for tax payers who have business in the hotel sector, 42,11% for tax payers who
have a business in the restaurant sector and 27,27% for tax payers who have a
business in the enterataiment business. This shows that there are still tax
payers who have not been able to take advantage of tax relaxation.
Keywords: tourism; tax relaxation policy;
economic recovery
Pendahuluan
Akhir tahun 2019, dunia digemparkan
dengan munculnya virus yang berasal dari Wuhan, China pada tanggal 8 desember
2019 yang menyebar di berbagai provinsi lain seperti di China, Thailand, Jepang
dan Korea Selatan (Susilo et al., 2020). Pandemi covid-19
memberikan guncangan dampak besar bagi pada perekonomian di Indonesia terutama
sektor pariwisata yang mengalami penurunan sangat signifikan akibat pandemi
covid-19 adalah sektor pariwisata (Bayu, 2020). World Travel &
Tourism Council (WTTC) mengungkapkan kontribusi sektor pariwisata terhadap
Produk Domestik Bruto (PDB) secara global mengalami penurunan hingga 3,7%
sepanjang tahun 2020. Penyusutan kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) di Asia Tenggara mengalami penyusutan kontribusi
masing-masing sebesar 53%.
Sektor pariwisata dinilai memiliki
andil cukup besar dalam pendapatan devisa negara, termasuk dalam penciptaan
kesempatan kerja (Pusparisa, 2021). Realisasi kontribusi
ekonomi dari sektor pariwisata pada tahun 2019 mencapai 4,7 persen dan pada
tahun 2020 mencapai 4,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia.
Devisa sektor pariwisata pada tahu 2019 mencapai US$16,9 miliar dan pada tahun
2020 mengalami penurunan drastis sebesar US$3,54 miliar. Hal ini mengakibatkan
penurunan pda jumlah tenaga kerja pariwisata menjadi 13,97 juta orang di 2020
dari sebelumnya 14,96 juta orang di tahun 2019 (Ananda, 2020).
Indonesia memiliki kota-kota yang
memiliki banyak tempat wisata dan salah satunya adalah Kota Bandung (Kartika et al., 2017). Pada tanggal 11 Desember
2015, Bandung telah dinobatkan sebagai kota Kreatif Dunia oleh UNESCO yang
diakui secara internasional sebagai kota desain dunia atau city of design. Hingga kini, Kota Bandung masih menjadi tujuan
wisata bagi wisatawan. Jenis wisata yang tersedia di Kota Bandung sangatlah
bergam diantaranya wisata belanja, wisata kuliner, wisata budaya, dan berbagai
tempat wisata rekreasi dan alam. Perkembangan kepariwisataan di Kota Bandung
menjadi perhatian bagi Pemerintah Kota dengan harapan memberikan dampak dampak
positif sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, dan menjadikan industri
pariwisata sebagai sumber potensial bagi pemasukan pendapatan daerah. Pandemi
covid-19 memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, sektor
social, ekonomi, Pendidikan bahkan sektor pariwisata (Utami & Kafabih, 2021). Berikut merupakan data
penerimaan pajak di sektor pariwisata periode 2019-2021:
Gambar 1
Penerimaan Pajak
Sektor Pariwisata
Sumber: KPP Madya
Bandung (2022)
Berdasarkan gambar 1, penerimaan
pajak tahun 2020-2021 mengalami penurunan untuk sektor pariwisata yaitu hotel,
restoran dan hiburan. Hal ini dikarenakan masih adanya pembatasan mobilisasi
orang karena Pandemi Covid-19. Kebijakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar
(PSBB) oleh pemerintah membuat masyarakat lebih banyak beraktifitas di rumah,
yang tentunya berdampak pada kunjungan ke tempat wisata, tingkat hunian hotel
dan restoran akan mengalami penurunan pendapatan yang drastis.
Sektor pariwisata memberikan dampak
multiplier effect yang mengalami
penurunan signifikan sehingga sehingga pemerintah perlu membuat terobosan dan
langkah strategis untuk memulihkan sektor ini. Langkah yang dilakukan oleh
pemerintah untuk menjadikan perekonomian khususnya sektor pariwisata di
Indonesia mulai bangkit dan pulih yang
melanda adalah dengan adanya pemberian relaksasi perpajakan (Kartiko, 2020). Stimulus yang diberikan
kepada khususnya kepada sektor pariwisata dalam rangka menanggulangi dampak
virus covid-19 tertuang dalam PMK 9/PMK.03/2021 mengenai Insentif Pajak Untuk
Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019.
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan untuk
menganalisis suatu fenomena atau peristiwa yang terjadi dengan mengenai masalah
manusia dan sosial yang kemudian diamati, dikumpulkan dan disajikan secara
alamiah dalam bentuk narasi. (Fadli, 2021). Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menguraikan bagaimana implementasi relaksasi pajak
pada sektor pariwisata yang ditimbulkan pada masa pandemi Covid-19.
2.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah semua wajib
pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Bandung. Sampel
penelitian dalam penelitian ini adalah wajib pajak yang memiliki usaha di
sektor pariwisata. Pemilihan sampling dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dengan kriteria yang
ditentukan oleh peneliti yaitu pelaku
usaha yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), termasuk ke dalam wajib
pajak sektor pariwisata yang memiliki omzet atau peredaran usaha sebanyak 60
wajib pajak dan wajib pajak adalah wajib pajak yang terdaftar di KPP Madya
Bandung.
3.
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan sumber data yang berasal
dari data primer dan data sekunder. Sumber data primer dalam penelitian ini
berupa catatan hasil wawancara dan kuesioner. Penulis melakukan wawancara dan
menyebarkan kuesioner kepada pihak-pihak atau informan yang diangap memiliki
informasi relevan terkait masalah di dalam penelitian ini. Data sekunder yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berasal dari catatan atau
dokumentasi perusahaan, teori-teori yang mendukung penelitian, publikasi
pemerintah seperti website Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Direktorat Jendral
Pajak (DJP), Undang-Undang Perpajakan dan turunannya, media analisis industri,
internet dan sejenisnya.
4.
Teknik Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara semi berstruktur. Pedoman wawancara menjamin peneliti dapat
mengumpulkan jenis data yang sama dari informan (Thalha &
Anufia, 2019). Selain
wawancara terbuka, penulis menyebarkan kuesioner kepada responden dalam ini
wajib pajak di sektor pariwisata. Pengukuran kuesioner yang dilakukan oleh
peneliti menggunakan skala likert yang
merupakan skala psikometrik yang sering digunakan dalam kuesioner penelitian
untuk mengukur sebuah persepsi, sikap, pendapat seseorang atau kelompok mengenai
sebuah peristiwa atau fenomena sosial (Bahrun, 2018). Skala likert yang terdiri dari 5 pilihan
jawaban yang tersedia yaitu Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Cukup
Setuju (CS), Setuju (S), Sangat Setuju (SS).
Teknik yan diginakan dalam melakukan pengolahan data
wawancara yaitu menggunakan teknik koding. Menurut (Mahpur, 2017) koding adalah
istilah yang biasa digunakan untuk proses menghasilkan code/kode. Coding
dibutuhkan untuk menunjukkan keterkaitan antara data yang didapat dengan
analisis yang dihasilkan. Teknik koding yang digunakan adalah konding deduktif
yaitu kode-kode yang sudah disiapkan terlebih dahulu yang berasal dari
indicator rumusan masalah dan selanjutnya hasilnya akan disajikan dalam
pembahasan.
5.
Operasionalisasi Variabel
Variabel yang digunakan terdiri dari 2 variabel
dengan 7 indikator dan 17 sub indikator penelitian (Tabel 1).
Tabel
1
Variabel,
Indikator, Sub Indikator
Variabel |
Indikator |
Sub Indikator |
Relaksasi Pajak
(Larasati et al., 2021) |
Tujuan pelaku usaha dalam pemanfaatan
relaksasi pajak |
1.
Insentif
pajak bagi pelaku usaha sektor pariwisata di masa pandemic covid-19 sangat
membantu saya sebagai wajib pajak. 2.
Relaksasi
pajak dapat meringkankan cash flow
bagi para pelaku usaha di masa pandemi covid-19. 3.
Pengaplikasian
insentif pajak digunakan tidak hanya pada saat krisis namun pada setiap
kuartal. |
Kebijakan relaksasi
pajak dapat meningkatkan kepatuhan |
1.
Saya
mengetahui dan memahami adanya kebijakan relaksasi pajak bagi pelaku usaha
selama pandemi covid-19. 2.
Insentif
pajak dapat meningkatkan kesadaran pentingnya membayar pajak. 3.
Relaksasi
pajak merupakan hal efektif untuk meningkatkan kepatuhan pajak di masa
pandemi covid-19. |
|
Kemudahan dalam pengajuan relaksasi pajak |
1.
Syarat
dan ketentuan untuk pengajuan relaksasi pajak sangat mudah bagi wajib pajak. 2.
Petugas
pajak membantu saya dalam pelaporan perpajakan terkait relaksasi pajak. 3.
Jangka
waktu relaksasi pajak digunakan dengan maksimal oleh para pelaku usaha. |
|
Dampak covid-19 bagi pelaku usaha (Statistik, 2020) |
Penurunan finansial
atau pendapatan |
1.
Pelaku
usaha mengalami penurunan dalam finansial atau pendapatan selama masa
pandemi. 2.
Pendapatan
usaha mengalami penurunan >50%
selama masa pandemi. |
Penurunan tenaga kerja |
1.
Adanya
pandemi covid-19 pelaku usaha merumahkan tenaga kerja. 2.
Adanya
pandemi covid-19 pelaku usaha mengalami pemutusan hubungan kerja. |
|
Penurunan jumlah produksi atau jasa usaha |
1.
Adanya
pandemic covid-19 kapasitas produk atau jasa menurun. 2.
Semenjak
pandemi covid-19 produksi atau jasa usaha beroperasi tidak beroperasi sama
sekali. |
|
Keterlambatan pengiriman
bahan baku, barang jadi dan jasa |
1.
Bahan
baku tidak tersedia dan harganya menjadi lebih mahal akibat adanya pandemi. 2.
Penyedia
bahan baku (supplier) tidak menyediakan sesuai dengan kebutuhan. |
Hasil dan Pembahasan
1. Kondisi Sektor Pariwisata di Masa Pandemi Covid-19
Indonesia
memiliki kota-kota yang memiliki banyak tempat wisata dan salah satunya adalah
Kota Bandung (Kartika et al., 2017). Pada tanggal 11 Desember 2015, Bandung
telah dinobatkan sebagai kota Kreatif Dunia oleh UNESCO yang diakui secara
internasional sebagai kota desain dunia atau city of design. Pada awal tahun 2020, tepatnya bulan Maret 2020
covid-19 dinyatakan sebagai pandemi yang memberikan dampak luar biasa di berbagai belahan dunia salah satunya
Indonesia. Adanya peraturan mengenai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),
Pemberlakuan Pembatasn Kegiatan Masyarakat (PPKM) memberikan dampak yang kurang
baik di berbagai sektor baik sektor ekonomi, sosial, politik bahkan sektor yang
paling terdampak adalah sektor pariwisata di masa pandemi ini. Hal ini dapat terlihat
dari data kunjungan wisatawan ke Kota Bandung berdasarkan pintu masuk Kota
Bandung pada Gambar 2.
Gambar 2
Grafik Penurunan Jumlah Wisatawan
2019-2021
Sumber:
Badan Pusat Statistik (2022)
Berdasarkan
gambar 2, terjadi penurunan jumlah kunjungan wisatawan ke Kota Bandung dari
tahun 2019 ke tahun 2020 sebesar 88.05% untuk jumlah wisatawan mancanegara.
Wisatawan domestik mengalami penurunan dari tahun 2019 ke 2020 sebesar 60,68%,
namun terjadi peningkatan yang tidak terlalu signifikan pula dari tahun 2020 ke
tahun 2021 sebesar 15,24% (Statistik, 2022). Penurunan yang signifikan
yang terjadi di 2020 bukan hanya di Indonesia saja, bahkan hampir di seluruh
belahan dunia dalam menghadapi pandemi covid-19.
Berdasarkan
hasil wawancara dengan narasumber pertama yaitu Bapak Deden selaku Analis
Keuangan Pusat dan Daerah Subkor Pengembangan Potensi Pajak Dearah Bapenda Kota
Bandung mengungkapkan bahwa Kota Bandung dikenal dengan istilah Paris Van Java yang dapat memberikan
daya tarik dan keunikan tersendiri bagi para wisatawan. Bandung memiliki
berbagai potensi wisata lainnya seperti bangunan bersejarah, budaya, wisata
alam, kuliner, pusat perbelanjaan, bahkan terkenal dengan orang-orangnya yang
ramah. Hal inilah yang menjadi daya tarik wisatawan berdatangan ke Kota
Bandung. Kondisi sektor pariwisata di Kota Bandung pada saat pandemi covid-19
mengalami penurunan lebih dari 50% dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
merupakan dampak yang terjadi dari adanya penurunan jumlah wisatawan ke
berkunjung ke Kota Bandung. Berkurangnya kunjungan wisatawan maka hal ini akan
berkaitan dengan pendapatan yang menurun sehingga akan berdampak kepada
penurunan pajak yang harus disetorkan ke negara.
2. Penerimaan Pajak Sektor Pariwisata di Masa Pandemi Covid-19
Sektor
pariwisata memberikan memberikan sumbangan ekonomi yang cukup besar dan positif
pada kinerja neraca transaksi berjalan melalui ekspor bersih jasa travel yang
selalu surplus setiap tahunnya. Sektor pariwisata bagi pemerintah daerah
merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup besar berupa pajak
hotel, pajak restoran dan pajak hiburan (Wirastomo et al., 2020). Berikut merupakan realisasi pendapatan
pajak hotel, restoran dan hiburan periode 2019-2021:
Gambar 3
Realisasi Pendapatan
Pajak Sektor Pariwisata
Kota Bandung Periode 2019-2021
Sumber: Dinas
Pendapatan Daerah Kota Bandung (2022)
Berdasarkan
grafik diatas, terlihat bahwa telah terjadi penurunan pendapatan pada tahun
2020-2021 di usaha hotel, restoran dan hiburan yang termasuk ke dalam sektor
pariwisata. Penerimaan pajak hotel pada 2020 mengalami penurunan sebesar 50,84%
dari tahun 2019 dan di tahun 2021 mengalami peningkatkan yang tidak signifikan
yaitu sebesar 6,11% dari tahun 2020. Penerimaan pajak restoran pun mengalami
penurunan yang signifikan di tahun 2020 sebesar 42,31% dari tahun 2019 dan di
tahun 2021 mengalami peningkatan yang tidak signifikan yaitu sebesar 1,93%. Dampak
lainnya terjadi di penerimaan pajak hiburan yang mengalami penurunan di tahun
2020 sebesar 72,06% dari tahun 2019 dan di tahun 2021 mengalami penurunan
kembali sebesar 56,60%. Berdasarkan data tersebut,
pajak hiburan mengalami penurunan secara terus menerus dari tahun 2020 sampai
tahun 2021.
Narasumber kedua
Pa Charles selaku Sub Bidang Hotel[KD1] dan Restoran Bapenda Kota
Bandung mengungkapkan bahwa pada tahun 2020-2021 penerimaan pajak di Kota
Bandung mengalami penurunan yang sangat drastis yang dapat dilihat dari
penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak hiburan. Ketiga usaha tersebut
yaitu hotel, restoran dan hiburan sudah pasti mengalami penurunan karena ada
pergerakan masyarakat yang dibatasi. Penurunan pajak hotel dan hiburan mengalami
penurunan lebih dari 50% karena kapasitas yang
dibatasi sehingga orang-orang akan dibatasi bahkan ditiadakan semetara untuk
melakukan kegiatan meeting, pernikahan di hotel dan orang yang menginap.
Penerimaan pajak restoran pun mengalami penurunan dikisaran <50% dimana
angka tersebut tidak sebesar penuruanan pada pajak hotel dikarenakan di
restoran masih dapat memberikan pelayanan dalam bentuk take away dan tidak dine in. Penurunan hotel dan
hiburan >50% dan restoran penurunan
sebesar 50%. Penurunan paling drastis itu pada saat awal pandemi yaitu awal
tahun 2020 tepatnya bulan Maret 2020 dimana kantor, sekolah melakukan Work From Home (WFH) dan pada saat PPKM
Level 4 di tahun 2021. Penurunan ini disebabkan karena adanya kunjungan atau
wisatawan yang dibatasi, banyak usaha yang tutup sementara karena modal mereka
dan pendapatan yang didapat lebih besar modal sehingga pelaku usaha merugi.
Restoran dan hotel bahkan sudah tidak ada yang beroperasi lagi sampai saat ini
(tutup permanen) semenjak pandemi dan bahkan hotel, restoran dan tempat hiburan
tersebut dijual.
Berikut
merupakan data penerimaan pajak di sektor pariwisata periode 2019-2021:
Gambar 4
Penerimaan
Pajak Sektor Pariwisata
Sumber: Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
Madya Bandung (2022)
Data jumlah penerimaan pajak di sektor pariwisata
menunjukkan adanya penurunan pada tahun 2020-2021. Berdasarkan jenis wajib
pajak yang memiliki usaha di usaha hotel mengalami penurunan dimana pada tahun
2019 penerimaan pajak dari usaha hotel sebesar 18.009.476.620 dan di tahun 2020
mengalami penurunan penerimaan pajak sebesar Rp8.866.717.497. Tahun 2021
kembali mengalami kenaikan dalam penerimaan pajak senilai Rp13.029.238.256.
Wajib pajak di bidang usaha restoran pun sama mengalami penurunan dimana tahun 2019 penerimaan dari wajib pajak di bidang
usaha restoran sebesar Rp18.857.872.167 dan di tahun 2020 akibat covid-19
mengalami penurunan penerimaan pajak sebesar Rp12.663.519.012 dan di tahun 2021
mengalami penurunan yang signifikan sehingga penerimaan pajak hanya mencapai Rp8.925.906.567 dikarenakan pemberlakukan PSBB
dan tidak diperkenankannya mendatangkan konsumen di restoran sehingga hanya menerima dine-in. Hal yang sama didapati pada penerimaan pajak di bidang usaha hiburan
yang secara penerimaan pajaknya sangat kecil jika dibandingkan dengan penerimaan pajak di bidang usaha hotel dan restoran. Tahun 2019 penerimaan pajak di usaha hiburan sebesar Rp3.324.511.213
yang mengalami penurunan hampir 50% pada tahun 2020 sehingga penerimaan pajak hanya sebesar
Rp1.097.774.846 dan di tahun 2021 mengalami
kenaikan yang signifikan dalam penerimaan pajak sebesar Rp16.686.345.025.
3.
Pemanfaatan Relaksasi Pajak Bagi Wajib
Pajak di Sektor Pariwisata
Pandemi covid-19
memberikan respon negatif hampir di seluruh sektor usaha. Pemerintah harus
memberikan langkah-langkah strategis untuk mengatasi perekonomian yang tidak
membaik di Indonesia akibat covid-19. Pemerintah memberikan solusi untuk
mengatasi perekonomian dengan cara memberikan stimulus fiskal berupa relaksasi
pajak. Kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam merespon
covid-19 yang dibahas dalam penelitian ini adalah PMK 9/PMK.03/2021. Relaksasi
yang diberikan di PMK 9/PMK.03/2021 tidak mengalami perubahan atau penambahan
yang signifikan dari peraturan relaksasi pajak yang sebelumnya. Jangka waktu
pemanfaatan relaksai pajak yang diberikan pemerintah yaitu terhitung untuk masa
pajak Januari hingga Juni 2022. Relaksasi pajak yang dapat dimanfaatkan oleh
para pelaku usaha di sektor pariwisata adalah:
1. PPh Pasal 21
Ditanggung Pemerintah (DTP).
2. PPh Final UMKM
Ditanggung Pemerintah. Wajib pajak yang dapat memanfaatkan relaksasi pajak
dalam hal ini adalah Wajib pajak yang memiliki omzet atau peredaran bruto
tertentu serta wajib pajak yang dikenakan PPh Final berdasarkan PP Nomor 23
Tahun 2008.
3. Pengurangan
angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebesar 50%.
Pemanfaatan
relaksasi pajak PPh Final UMKM DTP dapat secara langsung dimanfaatkan oleh
wajib pajak yang termasuk ke dalam PP 23/2018 khususnya wajib pajak di sektor
pariwisata. Narasumber ketiga mengungkapan bahwa wajib pajak dapat menyampaikan
laporan realisasi PPh Final Ditanggung Pemerintah (DTP) paling lambat tanggal
20 bulan berikutnya melalui lama Direktorat Jendral Pajak secara daring.
Laporan realisasi yang tidak disampaikan sampai dengan batas waktu yang
ditentukan, maka maka wajib pajak tidak dapat memanfaatkan relaksasi
PPh Final Ditanggung Pemerintah. Bentuk relaksasi pajak dalam PMK 9/PMK.03/2021
yaitu adanya angsuran PPh Pasal 25 yang mendapatkan pengurangan sebesar 50%
dari angsuran PPh Pasal 25 yang tertera sebelumnya dalam PMK 86/PMK.03/2020
berupa angsuran PPh Pasal 25 yang dapat dikurangkan sebesar 30%. Akun
Representatif (AR) di KPP Madya Bandung mengatakan bahwa wajib pajak yang
diampu oleh AR mereka memanfaatkan relaksasi pajak untuk PPh Pasal 21 dan
angsuran PPh Pasal 25.
Narasumber
ketiga yaitu salah satu Akun Representatif di KPP Madya Bandung mengatakan
bahwa dalam PMK 9/PMK.03/2021 sudah tertera kriteria wajib pajak yang
dapat memanfaatkan relaksasi pajak adalah wajib pajak yang memiliki Klasifikasi
Lapangan Usaha (KLU) yang sesuai dengan lampiran di PMK 9/PMK.03/2021. Jika
Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) wajib pajak tidak termasuk ke dalam lampiran
PMK r 9/PMK.03/2021 maka wajib pajak tidak dapat memanfatkan relaksasi pajak.
Narasumber
mengungkapkan bahwa wajib pajak yang diampu oleh Akun Representatif (AR) sudah
mengetahui adanya relaksasi pajak terkait PMK 9/PMK.03/2021 sedangkan
narasumber kelima mengungkapkan bahwa tidak sepenuhnya wajib pajak di sektor
pariwisata mengetahui adanya relaksasi pajak yang dikeluarkan oleh pemerintah
pada masa pandemi covid-19. Tabel dibawah ini merupakan menunjukkan besarnya
pemanfaatan relaksasi pajak yang diberikan pemerintah dapat:
Tabel 4.1
Pemanfaatan Relaksasi Pajak Wajib Pajak di Sektor Pariwisata
Keterangan
Wajib
Pajak |
Jumlah Wajib
pajak |
Total
WP yang Memanfaatkan Relaksasi Pajak |
Persentase
Pemanfaatan Wajib Pajak |
Penolakan Wajib Pajak |
Persentase Penolakan Wajib Pajak |
Wajib Pajak di Bidang
Usaha Hotel |
30 |
16 |
53,33% |
1 |
6,25% |
Wajib Pajak di Bidang
Usaha Restoran |
19 |
8 |
42,11% |
0 |
0% |
Wajib Pajak di Bidang
Usaha Hiburan |
11 |
3 |
27,27% |
3 |
100% |
Sumber:
KPP Madya Bandung (2022)
Berdasarkan data
pemanfaatan relaksasi pajak yang bersumber dari KPP Madya Bandung, jumlah wajib
pajak di sektor pariwisata di usaha perhotelan sebanyak 30 wajib pajak, 19
wajib pajak dengan usaha restoran dan 11 wajib pajak dengan usaha di kelompok
hiburan. Wajib pajak di usaha perhotelan yang memanfaatkan relaksasi pajak
sebanyak 53,33% yang dan sebesar 6,25% permohonan yang ditolak. Wajib pajak di
usaha restoran yang memanfaatkan relaksasi pajak sebesar 42,11% tidak ada
permohonan yang tertolak. Wajib pajak di usaha hiburan yang memanfaatkan
relaksasi pajak sebesar 27,27% dan masih seluruh wajib pajak di usaha hiburan
dalam hal permohonan relaksasi pajak sebesar 100% permohonan ditolak secara keseluruhan.
4.
Faktor yang Mempengaruhi Wajib Pajak Belum
Memanfaatkan Relaksasi Pajak
Berdasarkan data pada tabel pemanfaatan relaksasi
pajak di sektor pariwisata, menunjukkan bahwa lebih dari 50% wajib pajak di
sektor pariwisata yang belum memanfaatkan relaksasi pajak. Narasumber ketiga
mengatakan hal ini disebabkan karena kurang masifnya informasi yang diberikan
oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP) kepada wajib pajak khususnya terkait
relaksasi pajak yang dapat dimanfaatkan. Kendala ini pun bukan hanya dari DJP
tetapi dari wajib pajak yang seringkali kurang aktif untuk mendapatkan dan mencari
informasi-informasi terbaru mengenai stimulus atau insentif yang dikeluarkan
pemerintah dan masih banyaknya wajib pajak yang belum memahami secara mendetail
terkait relaksasi pajak yang diberikan sehingga butuh informasi yang
disederhanakan baik oleh pemerintah, DJP atau ataupun masing-masing unit Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) sehingga masyarakat dapat memiliki pemahaman dan memiliki pengetahuan terkait relaksasi
pajak yang dapat memberikan manfaat bagi wajib pajak. Hasil kuesioner yang
diisi oleh wajib pajak mengungkapkan bahwa wajib pajak belum memanfaatkan
relaksasi pajak karena adanya ketidakcocokan antara relaksasi pajak yang
dikeluarkan oleh pemerintah dengan dampak yang dialami oleh wajib pajak dan ada
pula yang memang tidak memiliki omzet atau penghasilan bruto.
Berdasarkan hasil kuesioner dan pernyataan
narasumber kedua menjelaskan sala satu faktor yang menyebabkan wajib pajak yang
belum memanfaatkan relaksasi pajak dikarenakan para pelaku usaha di usaha
hotel, restoran dan hiburan selama masa pandemi mengalami penurunan signifikan
kurang lebih sebesar 50% dikarenakan adanya PSBB dan PPKM level 4 sehingga
kunjungan atau wisatawan yang dibatasi, banyak usaha yang tutup sementara
karena modal mereka dan pendapatan yang didapat lebih besar modal sehingga
pelaku usaha merugi. Restoran, hotel dan hiburan bahkan sudah tidak beroperasi
lagi sampai saat ini (tutup permanen) semenjak pandemi dan bahkan hotel,
restoran dan tempat hiburannya pun dijual karena para pelaku usaha sudah tidak
bisa lagi membiayai kegiatan operasional seperti membayar gaji, membeli bahan
baku dan aktivitas bisnis lainnya.
Narasumber ketiga pun mengatakan faktor yang membuat
Wajib pajak belum memanfaatkan relaksasi pajak adalah merasa kesulitan dalam
hal mengajukan permohonan walaupun pihak DJP dan unitnya sudah memudahkan
aplikasi permohonan untuk pengajuan relaksasi secara daring. Salah satu yang
menjadi hambatan adalah adanya kewajiban wajib pajak untuk dapat menyampaikan
laporan realisasi PPh Final Ditanggung Pemerintah (DTP) paling lambat tanggal
20 bulan berikutnya melalui lama Direktorat Jendral Pajak secara daring
berdasarkan PMK Nomor 9/PMK.03/2021.
Akun representatif di KPP Madya Bandung mengatakan
jika melihat dari karakteristik wajib pajak, maka wajib pajak yang terdaftar di
KPP Madya Bandung sepenuhnya belum memahami betul mengenai teknologi
diantaranya penggunaan aplikasi untuk pengajuan permohonan relaksasi pajak
secara daring. Selain itu, muncul kekhawatiran yang membuat wajib pajak
ketakutan akan tersandung permasalahan perpajakan jika memanfaatkan relaksasi
pajak. Maka dari itu, kepastian hukum sangat dibutuhkan agar dapat menciptakan
keamanan serta keberlangsungan wajib pajak jika wajib pajak memanfaatkan
relaksasi yang diberikan oleh pemerintah.
5. Tertolaknya Permohonan Pengajuan Relaksasi Wajib Pajak
Berdasarkan
data pemanfaatan relaksasi pajak di sektor pariwisata yang terlihat pada tabel
4.1, tertolak pengajuann wajib terdapat 4 wajib pajak yang merupakan wajib
pajak di sektor pariwisata khususnya hotel dan hiburan. Menurut Akun
Representatif di KPP Madya Bandung, penolakan permohonan pengajuan wajib pajak
merujuk pada dua syarat yang disusun oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP) yaitu
tidak terpenuhinya Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sehingga wajib pajak terhalang
oleh Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan disebabkan pula adanya perbedaan
Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) menurut peraturan dengan KLU yang dikantongi
oleh wajib pajak.
Akun
Representatif pun menyatakan hal lainnya yang menyebabkan tertolaknya
permohonan pengajuan relaksasi yaitu tidak terpenuhinya pemenuhan Surat
Pemberitahunan Tahunan (SPT) dua tahun berturut-turut sebagai basis penentuan
Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sehingga penolakan pun dilakukan oleh DJP
kepada wajib pajak yang mungkin belum cocok penyampaian SPT-nya, walaupun untuk
permohonan pengajuan relaksasi sudah dipermudah oleh DJP yang seharusnya dapat
meminimalkan penolakan pengajuan relaksasi pajak.
Alasan
lain tertolaknya permohonan pengajuan relaksasi pajak didasarkan pada PMK
9/PMK.03/2021 dikarenakan wajib pajak belum melakukan pengajuan surat
keterangan. Wajib pajak yang akan memanfaatkan relaksasi pajak dengan peredaran
bruto tertentu tidak diperlukan untuk membuat surat keterangan. Wajib pajak
yang belum memiliki surat keterangan, maka dapat memanfaatkan relaksasi pajak
PPh Final Ditanggung Pemerintah (DTP) dengan syarat wajib pajak harus
menyampaikan laporan realisasi sesuai pasal 6 ayat (5) PMK 9/2021. Akun
Representatif mengatakan bahwa laporan realisasi yang disampaikan oleh wajib
pajak tersebut dianggap sebagai pengajuan surat keterangan dan jika memenuhi
persyaratan maka surat keterangan yang dimaksud akan diterbitkan oleh Kantor
Pelayanan Pajak.
Narasumber
ketiga mengungkapkan bahwa faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi para pelaku
usaha belum dapat memanfaatkan relaksasi yang diberikan dikarenakan wajib pajak
tidak memenuhi syarat sesuai PMK 9/PMK.03/2021 dan masih terdapat kesalahan
dalam pelaporan relaksasi pajak, sehingga relaksasi pajak yang dapat diakui
oleh DJP hanya sebagian saja.
6.
Efektivitas Relaksasi Pajak Bagi Wajib
Pajak Sektor Pariwisata
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber
pertama mengatakan bahwa relaksasi pajak bagi wajib pajak di sektor pariwisata
dinilai sudah cukup baik dan efektif. Hal ini didukung dari hasil kuesioner
kepada wajib pajak yang berhubungan dengan sektor pariwisata bahwa dengan
adanya relaksasi pajak, cukup membantu
wajib pajak di masa pandemi.
Akun Representatif di KPP Madya Bandung mengatakan
hal yang sama dengan narasumber pertama. Wajib pajak di sektor pariwisata
mengungkapkan bahwa relaksasi pajak sudah cukup efektif khususnya relaksasi
bagi PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah sehingga dapat mengurangi dampak
pandemi covid-19 yang dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja dan dapat
menstabilkan arus kas perusahaan. Relaksasi dalam angsuran PPh Pasal 25 di
dalam PMK 9/2021 yaitu mendapatkan potongan sebesar 50% dinilai cukup efektif
karena adanya potongan angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib pajak dapat
menstabilkan cash flow wajib pajak
walaupun pada saat itu adanya aturan pemerintah dengan diberlakukannya
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM).
Menurut Akun Representatif, relaksasi PPh Final
Ditanggung Pemerintah bagi wajib pajak yang menggunakan PP 23/2008 tidak dapat
dimanfaatkan secara keseluruhan oleh wajib pajak. Wajib pajak usahanya ditutup
baik sementara atau permanen dan tidak memiliki omzet, maka tidak akan ada
pembayaran pajak dan juga tidak ada relaksasi pajak yang ditawarkan kepada
wajib pajak tersebut sehingga dampaknya wajib pajak tidak akan memanfaatkan
relaksasi yang diberikan ini karena pendapatannya nihil dan tidak ada pajak
yang harus disetorkan ke negara. Berdasarkan hasil kuesioner, wajib pajak
merasakan adanya ketidakmudahan dalam hal permohonan ataupun pengajuan
relaksasi pajak yang tadinya dilakukan secara offline menjadi daring karena kurangnya sosialisasi dalam penggunaan
fasilitas.
Kebijakan relaksasi pajak untuk pajak pertambahan
nilai bagi sektor pariwisata berdasarkan PMK 9/PMK.03/2021 terkait dengan
restitusi pajak pertambahan nilai atau pengembalian pajak yang dipercepat. Akun
Representatif mengatakan bahwa relaksasi dalam hal Pajak Pertambahan Nilai
tidak dalam bentuk pengurangan atau pembebasan dari kewajiban pembayaran
lainnya yaoti seperti pada PPh Final Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh Pasal 21
Ditanggung Pemerintah (DTP), dan angsuran PPh Pasal 25 yang dikurangkan sebesar
50%.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam
penelitian ini pandemi covid-19 memberikan dampak yang negatif terhadap
perekonomian terutama di sektor pariwisata. Hal ini terlihat adanya penurunan
kunjungan wisatawan dan penerimaan pajak daerah di sektor pariwisata yaitu
usaha di bidang perhotelan, restoran, dan hiburan mengalami penurunan yang
sangat drastis selama masa pandemi covid-19. Pemerintah membuat langkah
strategis sebagai upaya dalam pemulihan yaitu dengan memberikan relaksasi pajak
bagi wajib pajak di sektor pariwisata selama masa pandemi covid-19 diantaranya
adalah relaksasi Pajak Penghasilan Ditanggung Pemerintah. Wajib pajak yang
memanfaatkan relaksasi pajak di sektor pariwisata yaitu wajib pajak dengan kelompok
lapangan usaha perhotelan sebesar 53,33%, wajib pajak dengan kelompok usaha
restoran sebesar 42,11%, dan wajib pajak dengan kelompok usaha hiburan sebesar
27,27%.
Relaksasi pajak yang diberikan
selama masa pandemi cukup membantu wajib pajak dengan menurunkan tarif dan
pembebasan PPh Ditanggung Pemerintah (DTP) sehingga dapat menstabilkan cash flow agar dapat bertahan dalam
melakukan kegiatan usahanya untuk mempercepat penanganan dampak dari pandemi
covid-19 berupa pajak penghasilan yang Ditanggung Pemerintah
(DTP) terutama untuk PPh Pasal 21 dan potongan angsuran PPh Pasal 25 sebesar
50% walaupun terdapat ketidakmudahan dalam hal permohonan ataupun pengajuan
relaksasi pajak yang tadinya dilakukan secara offline menjadi daring karena kurangnya sosialisasi dalam
penggunaan fasilitas kepada wajib pajak.
Wajib pajak belum sepenuhnya
memanfaatkan relaksasi pajak yang diberikan oleh pemerintah dikarenakan
Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) wajib pajak tidak memenuhi syarat sesuai PMK
Nomor 9/PMK.03/2021, tidak terpenuhinya pemenuhan Surat Pemberitahunan Tahunan
(SPT) dua tahun berturut-turut sebagai basis penentuan Klasifikasi Lapangan
Usaha (KLU), adanya kesalahan dalam pelaporan relaksasi pajak, sehingga
relaksasi pajak yang dapat diakui oleh Direktorat Jendral Pajak hanya sebagian
saja sehingga pemanfaatan relaksasi pajak tidak dapat dilakukan secara optimal.
Saran untuk fiskus
diharapkan agar dapat meningkatkan sosialisasi terkait insentif pajak serta mengirimkan
surat pemberitahuan terkait insentif pajak kepada wajib
pajak guna mendorong wajib pajak dapat memanfaatkan
insentif pajak dengan baik. Saran untuk peneliti
selanjutnya diharapkan peneliti selanjutnya membahas mengenai relaksasi Pajak
Pertambahan Nilai bagi wajib pajak di sektor pariwisata dikarenakan penulis
tidak menemukan kebijakan pemerintah terkait relaksasi pajak di kluster Pajak
Pertambahan Nilai berupa pengurangan atau pembebasan PPN berdasarkan PMK Nomor
9/PMK.03/2021 bagi wajib pajak di sektor pariwisata, sehingga perilaku
masyarakat dalam konsumsi dapat diatasi.
Peneliti selanjutnya disarankan
agar tidak melihat dari aturan perpajakannya saja tetapi melihat dari
perspektif yang berbeda yaitu realisasi bantuan pemerintah yang dibutuhkan dan
dampaknya bagi pelaku usaha di sektor pariwisata pasca pandemi. Analisis data
lebih lanjut dapat menggunakan pendekatan kuantitatif agar dapat diuji
validitas dan reliabilitas secara statistik sehingga dapat melengkapi hasil
penelitian sehingga dapat merespon manfaat relaksasi pajak bagi wajib pajak di
sektor pariwisata selama masa pandemi covid-19. Peneliti
selanjutnya disarankan agar
dapat memperluas lokasi pengamatan penelitian tidak hanya berfokus pada satu Kantor Pelayanan Pajak saja guna
mendapatkan hasil yang
optimal.
BIBLIOGRAFI
Ananda, C. F. (2020). Pariwisata: Kapan
Bangkit. https://feb.ub.ac.id/id/pariwisata-kapan-bangkit.html.
Bahrun, S., Alifah, S., & Mulyono,
S. (2017). Rancang Bangun Sistem Informasi Survey Pemasaran dan Penjualan
Berbasis Web. Jurnal Transistor Elektro Dan Informatika, 2(2),
81–88. http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/EI/article/view/3054.
Bayu, D. D. (2020, 19 April). Sektor
Pariwisata Paling Terdampak Corona, Ribuan Hotel Tutup. https://katadata.co.id/marthathertina/berita/5e9c3e548dc39/kadin-sektor-pariwisata-paling-terdampak-corona-ribuan-hotel-tutup.
Fadli, M. R. (2021). Memahami desain
metode penelitian kualitatif. Humanika, 21(1), 33–54. https://doi.org/10.21831/hum.v21i1.38075.
Kartika, T., Fajri, K., & Kharimah,
R. (2017). Pengembangan Wisata Heritage Sebagai Daya Tarik Kota Cimahi. Jurnal
Manajemen Resort Dan Leisure, 14(2), 35–46.
Kartiko, N. D. (2020). Insentif pajak
dalam merespons dampak pandemi covid-19 pada sektor pariwisata. Jurnal Pajak
Dan Keuangan Negara, 2(1), 124–137.
Larasati, A. Y., Purwanto. (2021).
Dampak Ekonomi Dari Covid-19 Dan Pemanfaatan Insentif Pajak. Jurnal
Akuntansi, Perpajakan Dan Auditing, 24(1), 26–39.
Mahpur, M. (2017). Memantapkan Analisis
Data Melalui Tahapan Koding. Repository Universitas Islam Negeri Malang,
1–17. http://repository.uin-malang.ac.id/800/2/koding.pdf
Nation, U. (2018). Design and Assesment of Tax Incentives in Developing Countiries. New York.
Nhamo, G., Dube, K., Chikodzi, D. (2020).
Tourism
Economic Stimulus Packages as a Response to COVID-19. In Counting the Cost of
COVID-19 on the Global Tourism Industry. Springer, Cham. 353-374.
Pusparisa, Y. (2021, 23 April).
Kontribusi Pariwisata terhadap PDB Dunia Anjlok 3,7% pada 2020. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/23/kontribusi-pariwisata-terhadap-pdb-dunia-anjlok-37-pada-2020.
Suwena, I.K. & Widyatmaja, I.G.N.
(2017). Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata. Denpasar: Universitas Udayana.
Statistik, B. P. (2020). Kuisioner Survei
Dampak Covid-19 bagi Para Pelaku Usaha. https://covid-19.bps.go.id/assets/doc/2-Kuesioner-Pelaku-Usaha-LimeSurvei-final.pdf.
Statistik, B. P. (2022). Jumlah
Kunjungan Wisatawan ke Kota Bandung Berdasarkan Pintu Masuk Kota Bandung
2013-2021. https://bandungkota.bps.go.id/subject/16/pariwisata.html#subjekViewTab3.
Susilo, A., Rumende, C. M., Pitoyo, C.
W., Santoso, W. D., Yulianti, M., Herikurniawan, H., Sinto, R., Singh, G.,
Nainggolan, L., Nelwan, E. J., Chen, L. K., Widhani, A., Wijaya, E., Wicaksana,
B., Maksum, M., Annisa, F., Jasirwan, C. O. M., & Yunihastuti, E. (2020).
Coronavirus Disease 2019: Tinjauan Literatur Terkini. Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 7(1), 45. https://doi.org/10.7454/jpdi.v7i1.415.
Thalha A., & Anufia, B. (2019). Instrumen Pengumpulan Data. INA-Rxiv
Papers. https://osf.io/preprints/inarxiv/s3kr6/.
Utami, B. A., & Kafabih, A. (2021).
Sektor Pariwisata Indonesia Di Tengah Pandemi Covid 19. Jurnal Dinamika
Ekonomi Pembangunan, 4(1), 383–389. https://doi.org/10.33005/jdep.v4i1.198.
Wirastomo, A.E.P., Septiyanti , F.M., Setiawan, H., Damayanty, S.A.,
Tjahjaprijadi, C., Tenrini, R.H., Djunaedi, P., Habibi, R.B.G., SSendary, I.,
Pramasanti, C., Seftari S., Susanto I., Asmara, P.Y., Nasir, M. (2020). Ekonomi
Mulai Pulih. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Edisi ke-5.
Copyright holder: Kaca Dian Meila, Putri Gantine Lestari (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |
[KD1]Sub bidang pajak hotel dan restoran