Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 8, Agustus 2022
GASTRODIPLOMACY BUDAYA MELALUI MAKANAN JEPANG DI RESTORAN RAMEN
SEIROCK-YA
Debby, Farica Yasmin, Riri Afrilia
Program Studi Marketing Communication Management,
Institut Komunikasi & Bisnis LSPR, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini berfokus pada penggunaan makanan salah satunya ramen sebagai instrumen gastrodiplomacy oleh Seirock-ya Ramen Jepang di Ramen Village, AEON Mall BSD. Saat ini, kuliner tumbuh secara kreatif dan dinamis dan hal tersebutlah yang banyak dimanfaatkan negara-negara di dunia untuk mengenalkan budaya suatu negara. Mengenalkan suatu budaya dapat menimbulkan efek lain selain memenuhi kebutuhan hidup, tetapi terdapat pertukaran nilai tanda, pertukaran simbol, dan simulasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi mengenai deskripsi suatu budaya dari sudut pandang yang berbeda, dengan menggunakan konsep gastrodiplomacy dan consumer society. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gastrodiplomacy dap�at dilakukan oleh non-state actor dalam melakukan pengenalan budaya dengan menggunakan makanan khasnya kepada suatu individu. Melalui perspektif consumer society, menunjukkan melalui sign value suatu individu lebih mementingkan suasana dan pelayanan dari suatu restoran, serta symbolic exchange dapat dirasakan berbeda pada individu, dan Seirock-ya menghadirkan suasana yang direkonstruksi sedemikian rupa agar terlihat nyata agar konsumen dapat membayangkan sebagai suatu simulasi yaitu suasana Jepang.
Kata Kunci: Gastrodiplomacy, Consumer
Society, sign value, symbolic exchange, simulation, non-state actor
Abstract
This
research focused on the use of ramen as a gastrodiplomacy instrument by the
Japanese Seirock-ya Ramen restaurant in Ramen Village, AEON Mall BSD. At this
time, culinary grows creatively and dynamically and in that case many countries
in the world use to introduce the culture of a country. Introducing a culture
can have other effects besides fulfilling life needs, but there is an exchange
of sign values, symbol exchange, and simulations. This study uses a qualitative
approach with ethnographic methods regarding the description of a culture from
a different perspective, using the concept of gastrodiplomacy and consumer
society. The results of this study indicate that gastrodiplomacy can be carried
out by non-state actors in introducing culture by using traditional foods to an
individual. Through the perspective of consumer society, it shows that through
sign values, an individual can be more concerned with the atmosphere and
service of a restaurant, and symbolic exchange can be felt differently in
individuals, and Seirock-ya presents an atmosphere that is reconstructed in
such a way that it can be seen so that consumers can imagine it as a simulation
of Japanese atmosphere.
Keywords: Gastrodiplomacy, Consumer
Society, sign value, symbolic exchange, simulation, non-state actor
Pendahuluan
Era modern saat ini, ruang lingkup hubungan internasional
bukan hanya terbatas pada negara, tetapi non-state
actor seperti organisasi internasional, perusahaan internasional,
masyarakat, individu dan lain-lain. Hubungan internasional mempunyai ruang
lingkup yang semakin luas seiring dengan perkembangan dunia yang semakin
modern, maju, dan dinamis. Menurut Goldstein & Pevehouse (2014), kekuatan
atau power adalah konsep sentral
dalam ilmu Hubungan Internasional dan kaca mata realisme yang sulit untuk
diukur. Di dalam power politics,
power dapat dibagi ke beberapa bentuk yaitu hard
power dan soft power. Hard power adalah kekuatan yang
merupakan bentuk langsung dengan menggunakan kekerasan seperti ancaman,
pemaksaan, dan militer. Bentuk power
kedua adalah soft power yang merupakan
kontradiksi dari hard power.
Melalui soft power bahwa power
tidak selalu berkaitan dengan adu kekuatan atau kekerasan melainkan kepada
kekuatan menarik orang lain untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Kekuatan
daya tarik seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui komunikasi
yang persuasif dan daya tarik sehingga membuat orang lain terpengaruh (Nye,
2008). Konsep soft power semakin berkembang
di berbagai belahan dunia yang salah satunya melalui diplomasi.
Salah satu praktek melakukan hubungan antar negara dalam
konteks hubungan internasional adalah diplomasi. Pada masa lalu, diplomasi
dilakukan oleh perwakilan diplomatik antar negara yang melalui tahapan
yakni pengiriman utusan berupa duta ataupun perwakilan-perwakilan yang dikirim
oleh negaranya Hubungan diplomatik menjadi salah satu hal yang penting dalam
menjalin hubungan antar negara untuk mempererat hubungan dalam berbagai bidang
kerjasama antar negara. Berjalannya praktik diplomasi di era tradisional
biasanya melalui departemen di kementerian luar negeri, kedutaan besar,
delegasi, para konsulat dan misi-misi khusus di seluruh dunia. Diplomasi
merupakan hal penting yang dilakukan karena berbagai macam kepentingan yang
diusahakan dalam praktek diplomasi mulai dari hal yang sederhana sampai masalah
vital antara kedua kepentingan nasional negara (Black, 2010).
Perkembangan hubungan internasional yang semakin baru, maka
melahirkan diplomasi dinamis dengan model atau track baru. Diplomasi publik dalam buku public diplomacy karya Mark Leonard (2002) mengatakan bahwa
diplomasi publik merupakan sebuah cara untuk membangun hubungan. Hubungan
dengan cara memahami kebutuhan, budaya, dan masyarakat dengan mengomunikasikan
pandangan, membenarkan mispersepsi yang ada dalam masyarakat internasional, mencari
area dimana pemerintah dapat menemukan kesamaan pandangan. Pentingnya diplomasi
publik karena merupakan aktivitas yang dilakukan oleh aktor-aktor negara maupun
non negara. Aktivitas tersebut yang berkaitan untuk memahami budaya, pikiran,
sikap, dan perilaku dalam membangun hubungan sehingga dapat mempengaruhi opini
dan aksi dengan maksud meningkatkan kepentingan dan prestis mereka (Gregory,
2008).
Kuliner adalah salah satu cabang
yang tumbuh secara kreatif dan dinamis karena dapat menampilkan jenis kebudayaan
yang khas dari makanan. Cita rasa dari suatu makanan yang khas juga dapat berperan
dalam meningkatkan citra budaya dan psikologis seseorang yang mengkonsumsi
makanan. Hal tersebutlah yang banyak dimanfaatkan negara-negara di dunia
melalui kuliner khas mereka sebagai alat diplomasi. Diplomasi melalui makanan
ini dikenal dengan istilah gastrodiplomacy
(Dewangga, 2017). Istilah Gastrodiplomacy
dipelopori dan dipopulerkan oleh Paul Rockower mengenai makanan yang digunakan
untuk mengejar tujuan diplomatik dalam diplomasi pemerintah ke masyarakat
(Gastrodiplomacy, n.d). Gastrodiplomacy
merupakan salah satu bentuk diplomasi publik yang menggabungkan diplomasi
budaya, diplomasi kuliner, dan nation
branding untuk membuat budaya asing berwujud rasa dan dapat menyentuh.
Menurut Rockower (2012), penggunaan gastrodiplomacy
dapat meningkatkan kesadaran publik terhadap budaya dan masakan suatu negara
sehingga mengenalkan makanan khas negara sebagai tujuan dari diplomasi suatu
negara. Rockower
(2012, p.1) menyatakan bahwa gastrodiplomacy
merupakan �the best way to win hearts and mind is through the stomach� (cara
terbaik untuk memenangkan hati dan pikiran adalah melalui perut) dan instrumen untuk menghadirkan pemahaman antar budaya dengan
harapan dapat meningkatkan interaksi dan kerja sama internasional.
Jepang merupakan salah satu dari negara seperti Korea dan Thailand yang menggunakan soft
power dalam menyebarkan diplomasi kulinernya di Indonesia. Makanan Jepang terus berkembang sampai saat ini dimulai
dari restoran Kikugawa yang berdiri di Jakarta sejak 1969 dan generasi pertama
penyedia makanan Jepang di Indonesia. Generasi kedua di era 1970 hingga 1980-an
adalah Furusato yang muncul bersamaan dengan diresmikannya hotel Sari Pan
Pacific di Jakarta pada tahun 1976 dan pada tahun 1987, Furusato berganti nama
menjadi Keyaki. Pada 1985, muncul Hoka Hoka Bento dengan konsep masakan cepat
saji dan menjadi restoran cepat saji ala Jepang pertama di Indonesia (Wibisono,
2017). Salah satu masakan popular khas Jepang adalah ramen. Popularitas ramen
sudah menyebar ke berbagai tempat termasuk Indonesia dilihat dengan banyaknya
restoran ramen di Jakarta yang saat ini berjumlah 334 restoran pada pertengahan
tahun 2019 (Zomato, n.d). Saat ini, ramen termasuk makanan Jepang yang laris
dan diminati di banyak mal seperti salah satunya AEON Mall yang merupakan mall
ala Jepang dibuka pada bulan Mei 2015 dan di lantai atasnya mempunyai konsep
Ramen Village sebagai tempat berkumpulnya restoran ramen dari Jepang.
Ramen Seirock-ya Jepang ���������merupakan salah satu
restoran Jepang di Ramen Village, AEON Mal yang mempunyai varian ramen ayam dan
bernuasa Jepang yang begitu menonjol di dalamnya seperti interior kayu, hiasan
kaligrafi kanji, payung kertas, kipas ( ukiyo-e ), dan pelayan yang menggunakan
atribut Jepang. Berbeda dari restoran ramen otentik Jepang kebanyakan yang
masih menggunakan kaldu maupun daging babi, Seirock-ya menawarkan beragam
pilihan ramen khas Jepang seperti Toripaitan Ramen Shoyu berkuah kental dengan
kandungan kolagen yang dapat dinikmati semua masyarakat Indonesia termasuk
muslim. Sehingga restoran Seirock-ya juga tidak menjual alkohol untuk
konsumennya. Ramen merupakan kuliner yang mempunyai seni memasak dan daya
tariknya sendiri karena penyajiannya. Kuliner secara sekilas
memberi gambaran kebudayaan suatu negara dalam makanan yang disajikan seperti
bagaimana makanan tersebut dibuat, disajikan, dan menjadi simbol identitas
budaya. Pemahaman akan budaya lain melalui makanan dapat menjadi instrumen
untuk meningkatkan interaksi internasional sehingga dapat menarik individu
untuk datang ke negara asal makanan tersebut ataupun membeli produk budaya yang
ditawarkan (Pujayanti, 2017).
Pemberian pengenalan
kepada masyarakat mengenai suatu budaya baru juga memberikan efek lain selain
pengenalan budaya itu sendiri. Melalui makanan sebagai konsumsi yang merupakan
kebutuhan manusia paling mendasar baik. Namun seiring dengan perkembangan
zaman, konsumsi bukan lagi mengenai kebutuhan manusia yang paling mendasar
sehingga diplomasi melalui kuliner dapat menimbulkan efek lain melalui
tanda-tanda budaya yang dimunculkan. Jean Baudrillard (1998) menjelaskan konsep
dasar tentang konsumsi dimana konsumen harus dapat 'membaca' untuk mengetahui
apa yang harus dikonsumsi. Komoditas dalam hal ini adalah makanan yang� tidak lagi ditentukan oleh penggunaannya,
melainkan oleh apa yang ditunjukkan dan yang ditunjukkan tidak ditentukan oleh
apa yang dibutuhkan, tetapi oleh hubungan dengan keseluruhan sistem komoditas
dan tanda-tanda. Makanan yang dikonsumsi di era modern bukan hanya memenuhi
kebutuhan hidup tetapi juga terdapat simbol, tanda, dan simulasi.
Bedasarkan artikel jurnal berjudul
Culinary Diplomacy: Breaking Bread to Win Hearts and Minds (Sokol, 2013)
kesimpulan dari konsep �diplomasi kuliner� didefinisikan sebagai penggunaan
makanan dan masakan sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman lintas budaya
dengan harapan meningkatkan interaksi dan kerja sama. Persamaan dari penelitian
ini adalah membahas mengenai diplomasi kuliner sebagai instrumen untuk
menciptakan pemahaman antar budaya agar dapat meningkatkan interaksi dan memperkenalkan budaya
suatu negara. Perbedaan dari penelitian ini adalah diplomasi kuliner dengan sekelompok koki kepala negara yang bertujuan
menyatukan orang dengan makanan enak untuk perdamaian dunia, sementara
penelitian yang akan dilakukan berfokus pada implementasi
gastrodiplomacy oleh restoran Jepang Seirock-ya di
Ramen Village, AEON Mal BSD dan ketertarikan konsumen Indonesia ke budaya
Jepang yang ada di restoran dengan perspektif consumer society.
Poin yang dapat diambil untuk penelitian ini adalah konsep �diplomasi kuliner�
sebagai instrumen untuk menciptakan pemahaman antar budaya agar dapat
meningkatkan interaksi dan memperkenalkan budaya suatu negara yang menurut
Sokol konsepnya sama dengan gastrodiplomacy.
Penelitian ini difokuskan pada pembahasan mengenai bagaimana
implementasi gastrodiplomacy oleh
restoran Seirock-ya di Ramen Village, AEON Mal BSD dan pemahaman tentang budaya
Jepang seperti apa yang dimengerti oleh konsumen yang berasal dari Indonesia
dan mengapa konsumen tertarik untuk �menikmati� nuansa Jepang yang ada di
restoran itu menggunakan perspektif consumer
society dari Jean Baudrillard. Sementara, tujuan penelitian ini adalah agar
dapat mengetahui implementasi gastrodiplomacy
oleh restoran Seirock-ya di Ramen Village, AEON Mal BSD serta mendapatkan
pemahaman tentang budaya Jepang seperti apa yang dimengerti oleh konsumen yang
berasal dari Indonesia dan mengetahui mengapa konsumen tertarik untuk �menikmati�
nuansa Jepang yang ada di restoran itu menggunakan perspektif consumer society dari Jean Baudrillard.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian etnografi karena dapat
memberikan deskripsi yang rinci tentang budaya berbeda dari sudut pandang orang
di dalam budaya untuk memfasilitasi pemahaman. Dalam Creswell (2006), etnografi
berfokus pada seluruh kelompok budaya dan desain kualitatif dimana peneliti
menggambarkan dan menafsirkan pola nilai, perilaku, kepercayaan, bahasa yang
dibagi dan dipelajari kelompok berbagi budaya. Sebagai suatu proses, etnografi
melibatkan pengamatan yang luas terhadap kelompok, sering melalui pengamatan
partisipan dan peneliti mengamati serta mewawancarai.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif karena bertujuan untuk mencari lebih dalam dan secara luas mengenai penggunaan makanan sebagai implementasi gastrodiplomacy oleh restoran Jepang Seirock-ya di Ramen Village, AEON Mal BSD dan ketertarikan konsumen Indonesia ke budaya Jepang yang ditampilkan seperti interior kayu, hiasan kaligrafi kanji, payung kertas, kipas ( ukiyo-e ), dan beberapa hiasan khas Jepang ada di restoran dengan perspektif consumer society. Informan yang digunakan dalam penelitian sudah ditentukan karena dipilih bedasarkan kriteria tertentu yang sudah ditetapkan. Kriteria tersebut adalah tindakan keterlibatan informan dalam suatu fenomena yang akan diteliti sehingga menjadi bukti bahwa informan tersebut terlibat dalam kegiatan atau fenomena mengenai implementasi gastrodiplomacy oleh restoran Jepang Seirock-ya di Ramen Village, AEON Mal BSD dan ketertarikan konsumen Indonesia ke budaya Jepang yang ada di restoran dengan perspektif consumer society.
Hasil dan Pembahasan
Pemerintah
mungkin merupakan aktor terpenting dalam hubungan negara, tetapi mereka sangat
dipengaruhi oleh berbagai aktor non-negara. Aktor-aktor ini juga disebut aktor
transnasional ketika mereka beroperasi melintasi batas internasional. Jenis
lain dari aktor transnasional adalah organisasi nonpemerintah (LSM) atau yang
merupakan organisasi swasta dan mempunyai sumber daya yang cukup besar.
Beberapa dari kelompok ini memiliki tujuan politik, beberapa tujuan
kemanusiaan, beberapa tujuan ekonomi atau teknis (Goldstein & Pevehouse, 2014). Hal tersebut yang melatar
belakangi banyak perusahaan asing untuk melakukan ekspansi atau investasi
bisnis ke luar dari negaranya terutama ke negara berkembang. Dijelaskan oleh
Yutaka Mukaida, selaku Director Seirock-ya ke Indonesia bahwa tujuan untuk
datang ke Indonesia adalah untuk mengembangkan bisnisnya di luar Jepang. MNC
pada gilirannya bergantung pada negara untuk memberikan perlindungan, pasar
yang diatur dengan baik, dan lingkungan politik yang stabil (Goldstein & Pevehouse, 2014).
Saat ini di Jepang sangat sulit untuk membuka usaha sehingga banyak perusahaan melakukan ekspansinya keluar Jepang seperti yang dijelaskan oleh Yutaka Mukaida ( komunikasi pribadi, 22 April 2019). Melanjuti perkataan Mukaida, jika dalam suatu negara sulit untuk mengembangkan bisnis, maka perusahaan akan berusaha untuk masuk ke negara berkembang atau lainnya untuk melakukan ekspansi bisnis untuk mencari pasar baru. Hal tersebut dilakukan oleh perusahaan Jepang untuk ekspansi ke Indonesia dikarenakan anak muda yang masih banyak dan konsumtif. Hal tersebut dilakukan Seirock-ya yang memilih ramen sebagai bisnis karena ramen sudah mulai berkembang di Indonesia sekaligus mudah diterima sekaligus memperkenalkan ramen asli Jepang dengan menggunakan ayam seperti penjelasan Yutaka Mukaida (komunikasi pribadi, 22 April 2019). Menurut orang asli Jepang, salah satu hal yang ingin Jepang ekspose ke luar agar dapat dikenal adalah orisinalitas makanan Jepangnya. Hal tersebut dinyatakan oleh Mukaida-san (komunikasi pribadi, 22 April 2019). Seirock-ya sebagai restoran Jepang ingin agar orisinalitas makanannya dapat diperkenalkan ke masyarakat Indonesia dengan menyesuaikan target pasarnya di Indonesia. Melalui ramen halal Jepang yang dibawa oleh Seirock-ya dengan menggunakan bahan dasar ayam agar dapat dinikmati oleh semua kalangan rasa ramen otentik.
Salah satu alasan
ketidakpuasan Baudrillard dengan penggunaan konsep kebutuhan karena dapat
dipenuhi dan karena itu tidak dapat menjelaskan ketidaknyamanan konsumen
(Baudrillard, 1998). Hal tersebut yang menggantikan kebutuhan manusia kepada
makanan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok tetapi juga didasarkan tanda
lain yang dihadirkan saat konsumsi untuk memenuhi kesenangan yang tidak ada batasnya
seperti kualitas dari segi pelayanan. Restoran Seirock-ya
juga mementingkan kualitas dari segi pelayanan dan harga karena rasa makanan
dalam memenuhi kebutuhan manusia itu bersifat subjektif. Menurut manager
Seirock-ya, Seirock-ya sangat mengutamakan kualitas dan pelayanan seperti di
Jepang. Berbeda dari restoran ramen lainnya di Ramen Village, restoran
Seirock-ya jarang memberikan diskon ke konsumen karena mementingkan value dari harga ramen yang ditawarkan
agar value nya tetap tinggi. Hal
tersebut dijelaskan Santy Tju (komunikasi pribadi, 05 April 2019). Nilai tanda merupakan kepuasan bersifat
utilitas atau pemuasan masa sekarang yang tidak terbatas seperti kesenangan
semu.
Menurut Deded Efendi selaku konsumen restoran Seirock-ya, suasana dari
restoran Jepang juga berkaitan dengan minat untuk berkunjung ke restoran.
Pelayanan, kualitas, suasana dan rasa makanan lebih diutamakan dibandingkan
dengan harga dari makanan itu sendiri. Makan bukan hanya untuk kenyang saja
tetapi suasana harus juga mendukung agar melengkapi seperti interior yang
ditampilkan restoran Jepang. Hal tersebut dirasakan dapat memenuhi kebutuhan
konsumsinya.
Jelas bahwa Baudrillard
(Baudrillard, 1998) kritis terhadap masyarakat modern dan kritik itu berasal
dari rasa pentingnya simbol, terutama pertukaran simbolis seperti yang ada
sebagian dalam masyarakat primitif dan lebih umum dalam model abstrak dari
proses pertukaran. Konsumsi modern melibatkan manipulasi tanda-tanda eksternal
dan nilai-nilai simbolis yang terlibat dalam penciptaan. Perbedaan pertukaran
sosial pada masyarakat konsumsi dapat dilihat dari siapa yang mengkonsumsi
karena hal tersebut tidak dirasakan sama oleh semua orang.
Perbedaan dapat dilihat
dari siapa yang mengkonsumsi karena hal tersebut tidak dirasakan sama oleh
semua orang. Hal berbeda dijelaskan oleh Deded Efendi yang berpandangan bahwa
bayar lebih mahal demi mendapatkan rasa, pelayanan, dan suasana itu merupakan
sesuatu yang sebanding karena customer adalah raja sehingga restoran harus
memberikan pelayanan yang maksimal. Konsep lain dalam Consumer Society adalah simulasi. Di dunia modern, alam cenderung
direduksi menjadi sesuatu yang dipersiapkan dengan hati-hati, dikelola,
diawasi, dan disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Mereka adalah objek yang
menawarkan banyak sekali tanda bahwa mereka nyata, tetapi sebenarnya tidak
(Baudrillard, 1998). Memberikan pemahaman mengenai pengenalan budaya makanan
dari restoran juga melalui representasi tanda-tanda dan simulasi yang
dihadirkan melalui dekorasi Jepang dan elemen khas Jepang seperti penggunaan
interior kayu, hiasan kaligrafi kanji, payung kertas, kipas kertas ( ukiyo-e
), dan beberapa hiasan khas lainnya. Selain hal tersebut, di Indonesia untuk
ramen harus mempunyai label halal untuk dapat menyasar pasar mayoritas sebagai
bayangan dan standar akan kelayakan makanan untuk dikonsumsi.
Suasana restoran dengan
elemen Jepang dapat membuat konsumen kemungkinan dengan mudah dapat
membayangkan �budaya Jepang� saat mengkonsumsi makanan Jepang terutama ke
konsumen yang belum pernah datang ke Jepang. Hal tersebut dijelaskan oleh
Yutaka Mukaida (komunikasi
pribadi, 22 April 2019).� Ditambahkan oleh Mukaida-san, sebagai pemilik
restoran pasti ingin menampilkan suasana Jepang dan agar konsumen dapat
merasakan tetapi itu bukan salah satu khusus untuk mengenalkan budaya Jepang.
Tetapi agar konsumen ada bayangan bagaimana suasana restoran ramen yang ada di
Jepang, ingin dibuat serupa oleh Seircok-ya.
Dapat disimpulkan bahwa
restoran Jepang yang dimiliki oleh perusahaan Jepang akan sebisa mungkin
membawa representasi atau unsur budaya ke dalam interior maupun dekorasinya
agar dapat memperkenalkan suasana Jepang ke masyarakat Indonesia. Dekorasi dan
elemen khas Jepang tersebut dapat dirasakan konsumen saat berkunjung sehingga
terdapat konstruksi yang dibuat sedemikian rupa atau simulasi objek mengenai
suasana restoran ramen yang ada di Jepang sebagai penciptaan dari suatu dari
realitas palsu. Simulasi dapat didefinisikan sebagai 'objek palsu' dan itu
adalah objek yang digambarkan sebagai representasi dari suatu budaya agar
terlihat nyata. Restoran Seircok-ya mempunyai dekorasi Jepang dan elemen khas
Jepang seperti interior kayu, hiasan kaligrafi kanji, payung kertas, kipas ( ukiyo-e ), dan beberapa hiasan khas
Jepang lainnya. Simulasi sebagai proses penciptaan dari
sebuah realitas yang dihadirkan sehingga membuat seolah-olah itu ada dan tampak
nyata sehingga bisa dibayangkan oleh manusia. Imaginasi dari suatu realitas
dirasakan oleh konsumen restoran Jepang yang merasakan suasana Jepang sebagai
imaginasi saat mengkonsumsi. Hal tersebut dijelaskan oleh Deded Efendi (komunikasi pribadi, 10
April 2019). Menurut salah satu
konsumen Seirock-ya tersebut bahwa suasana saat mengkonsumsi ramen dapat
memperkuat perasaan mengenai suasana Jepangnya. Dikatakan bahwa restoran Jepang
akan membawa budayanya ke Indonesia seperti nuansa, interior, dan lagu yang
diputar yang bertujuan memperkenalkan serta dinikmati oleh konsumen.
Representasi dimulai dari prinsip bahwa tanda dan yang sebenarnya adalah
setara. Sebaliknya, simulasi dimulai dari Utopia dari prinsip kesetaraan ini
yaitu tanda sebagai nilai dan tanda sebagai pengembalian dari setiap referensi.
Sedangkan representasi mencoba untuk menyerap simulasi dengan mengartikannya
sebagai representasi yang salah, simulasi menyelimuti seluruh representasi
sebagai simulacrum (Baudrillard, 1994).
Kesimpulan
Penelitian yang dilakukan pada Restoran Ramen Jepang Seirock-ya di Ramen Village, AEON Mal BSD sebagai salah satu restoran Jepang yang mengenalkan ramen sebagai makanan khas Jepang. AEON Mal BSD sebagai mal pertama berkonsep dan bernuansa Jepang di Indonesia dapat menjadi peluang besar bagi restoran ramen yaitu Seirock-ya di Ramen Village untuk memperkenalkan produknya. Diplomasi dengan menggunakan makanan dari suatu negara disebut gastrodiplomacy telah menjawab penelitian ini bahwa makanan dapat menjadi instrumen dalam memperkenalkan budaya Jepang terutama ke orang Indonesia karena manusia dapat ditarik lewat makanan dan makanan yang paling dekat dengan manusia.
Dengan penelitian ini, dapat mengetahui implementasi gastrodiplomacy oleh restoran Seirock-ya
di Ramen Village, AEON Mal BSD yaitu melalui penyajian orisinalitas ramen
Jepang yang telah menyesuaikan target pasar di Indonesia dengan membawa ramen
halal agar dapat dikonsumsi oleh semua kalangan. Pemahaman yang didapat
mengenai budaya Jepang oleh konsumen yang berasal dari Indonesia di restoran
tersebut yaitu ekspetasi standar ramen Jepang yang asli
karena sudah pernah mencoba yang di Jepang, makanan Jepang sehat, bunyi slurp saat makan ramen untuk
memuji chef yang memasak, rasa ramen khas berbeda-beda sesuai daerah di Jepang,
dan produk Jepang yang berkualitas.
Dilihat dari perspektif consumer
society, diketahui mengapa konsumen tertarik untuk �menikmati� nuansa
Jepang yang ada di restoran karena selain melalui rasa makanan, pelayanan yang
tanggap dan suasana Jepang dengan interior kayu yang memberikan kesan hangat.
Melalui nilai tanda, Seirock-ya selain membawa ramen khasnya juga menerapkan
standar service di restorannya agar pengunjung dapat mendapatkan pelayanan yang
memuaskan yaitu tanggap terhadap pelayanan dan tidak memberikan diskon karena
akan menurunkan value. Dalam
pertukaran simbolik yang tidak dapat dirasakan sama oleh setiap orang, konsumen
Seirock-ya berpandangan bahwa bayar lebih mahal demi mendapatkan rasa,
pelayanan, dan suasana di Seirock-ya merupakan sesuatu yang sebanding. Simulasi
yang dihadirkan oleh restoran Seirock-ya dengan menggunakan elemen khas Jepang
yaitu dengan interior kayu, hiasan kaligrafi kanji, payung kertas, kipas (ukiyo-e),
dan salam dengan bahasa Jepang karena Seirock-ya ingin menampilkan gambaran
mengenai budaya Jepang terutama bagi yang belum pernah ke Jepang agar bisa
merasakan dan mempunyai gambaran. Lewat simulasi menggunakan elemen khas Jepang
yaitu dengan interior kayu, hiasan kaligrafi kanji, payung kertas, kipas (ukiyo-e),
dan salam dengan bahasa Jepang yang dihadirkan tersebut, berhasil membangun
imaginasi oleh konsumen yang merasakan suasana atau seperti sedang di Jepang
sebagai imaginasi saat mengkonsumsi ramen di restoran tersebut.
Peneliti menyadari masih terdapat keterbatasan dalam penelitian ini,
diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya dengan
fokus perspektif consumer society sebagai strategi non-state actor terhadap
pengenalan budaya lainnya. Saran lainnya, diharapkan restoran Ramen Seirock-ya
Jepang dapat membangun suasana seperti di Jepang dengan meningkatkan
pengetahuan staff restoran melalui penjelasan maupun panduan konsumsi ramen
Jepang yang dapat ditampilkan ke konsumen. Saat ini, beberapa restoran Jepang
juga menggunakan suasana dan elemen khas Jepang, diharapkan Seirock-ya dapat
berinovasi dan mengembangkan hal baru yang berbeda.
BIBLIOGRAFI
Baudrillad, J. (1994). Simulacra
and Simulation. Michigan, MI: The University of Michigan Press.
Baudrillad, J. (1998). The Consumer
Society: Myths and Structures. London, Inggris: SAGE Publication.
Baudrillard, J. (Eds). (2017).
Symbolic Exchange and Death. London, Inggris: SAGE Publication.
Black, J. (2010). A History of Diplomacy. London, Inggris: Reaktion Books Ltd.
Creswell, J. (Eds). (2006). Qualitative Inquiry and Research Design. London, Inggris: SAGE Publication.
Dewangga, T. A. (2017, Agustus 29). Meningkatkan Branding Negara Melalui Gastrodiplomacy. Diperoleh 15 November 2018 dari http://setkab.go.id/meningkatkan-branding-negara-melalui-gastro-diplomacy/
Gastrodiplomacy. (n.d). What is gastrodiplomacy?. Diperoleh 15 November 2018 dari� http://www.gastrodiplomacy.net/gd-explanation/
Goldstein,
J. S & Pevehouse, J. C. (Eds). (2014). International Relations. New York
City, NY: Pearson.
Gregory, B. (2008). Public Diplomacy: Sunrise of an Academic Field. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 616(1), 274�290. Diperoleh 15 November 2018 dari https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/0002716207311723
Leonard, M. (2002). Public Diplomacy. London, Inggris: The Foreign Policy Centre.
Wibisono, N. (2017, April 20). Generasi Makanan Jepang di Indonesia. Diperoleh Tirto. Diperoleh 14 September 2018, dari https://tirto.id/makanan-jepang-menyerbu-indonesia-cm1t
Nye, J. S. (2008). Public Diplomacy and Soft Power. The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science, 616(1), 94�109. DOI: 10.1177/0002716207311699
Pujayanti, A. (2017). Gastrodiplomacy � Efforts to Strengthen Indonesia�s Diplomacy. Politica, 8 (1), 38-56. Diperoleh 15 November 2018 dari http://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/view/884
Rockower, P. (2012). Place Branding and Public Diplomacy: Recipes for gastrodiplomacy, 8(3), 235�246. DOI: 10.1057/pb.2012.17
Sokol, S. C. (2013). Culinary Diplomacy: Breaking Bread to Win Hearts and Minds. The Hague Journal of Diplomacy, 8(2),161-83. DOI: 10.1163/1871191X-12341244
Wibisono, N. (2017, April 20). Generasi Makanan Jepang di Indonesia. Diperoleh Tirto. Diperoleh 14 September 2018, dari https://tirto.id/makanan-jepang-menyerbu-indonesia-cm1t������
Zomato. (n.dc). Ramen Restaurants in Jakarta. Diperoleh 15 Desember 2018 darihttps://www.zomato.com/jakarta/ramen-restaurants
Debby, Farica Yasmin, Riri Afrilia (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |