Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN:
2548-1398
Vol. 8, No. 5, Mei 2023
ANALISIS
PENERAPAN PEMERIKSAAN PAJAK JARAK JAUH DI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Shopan
J. Endrawan,
Gunadi
Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
Email: [email protected] dan
[email protected]
Abstrak
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan
pemerintahan-pemerintahan di dunia termasuk Indonesia harus menerapkan
kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat. Hal ini juga menyebabkan
administrasi pajak harus menutup kantor dan bekerja dari jarak jauh. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh OECD pada tahun 2021 disampaikan bahwa
pengalihan proses pemeriksaan lapangan ke lingkungan virtual telah memberikan
pengalaman yang menjanjikan serta memiliki potensi untuk terus dilanjutkan
walaupun pandemi COVID-19 telah berakhir. Berdasarkan data dan fakta tersebut
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan beberapa peraturan terkait
seperti Surat Edaran Nomor 33 Tahun 2020 mengenai panduan umum dalam
melaksanakan tugas dalam tatanan kenormalan baru dalam lingkungan DJP, kemudian
ditambah dengan Surat Edaran Nomor 34 Tahun 2020 mengenai panduan teknis dalam
melaksanakan tugas pada tatanan kenormalan baru dalam lingkungan DJP.
Pemeriksaan jarak jauh atau pemeriksaan virtual adalah suatu mekanisme dalam
melakukan pemeriksaan dari jarak jauh dengan menggunakan metode elektronik
seperti telepon, surat elektronik, dan konferensi video untuk memperoleh
bukti-bukti pemeriksaan, seperti dalam pemeriksaan lapangan. Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis penerapan pemeriksaan jarak jauh oleh DJP.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif dengan
studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan
pemeriksaan jarak jauh oleh DJP adalah efektif, efisien, cukup, adil, responsif
dan layak, walaupun belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan pemeriksa pajak
terutama terkait pemeriksaan yang membutuhkan tatap muka secara langsung dengan
WP maupun kunjungan ke lapangan.
Kata Kunci: Pemeriksaan Jarak Jauh, Administrasi Pajak, Pemeriksa
Pajak
Abstract
The COVID-19 pandemic has forced governments in the
world, including Indonesia, to implement policies of limiting community
activities. This has also caused the tax administration to close offices and
work remotely. According to research conducted by the OECD in 2021, it was
stated that the transfer of the field audit process to a virtual environment
has provided a promising experience and has the potential to continue even
after the COVID-19 pandemic has ended. Based
on these data and facts, the Directorate General of Taxation (DGT) has issued
several related regulations, namely SE-33/PJ/2020 regarding general guidelines
in carrying out tasks in the new normal order within the DGT environment, then
added with SE-34/PJ/2020 regarding technical guidelines in carry out duties in
the new normal order within the DGT environment. Remote audit or virtual
audit� is a mechanism for conducting
audit remotely using electronic methods such as telephone, electronic mail, and
video conferencing to obtain evidence of examination, such as in field audit.
The purpose of this research is to analyze the implementation of remote audit
by DGT. The research method used is a descriptive qualitative approach with
literature study and interviews. The results show that the implementation of
remote audit by the DGT is effective, efficient, adequate, fair, responsive and
appropriate, although it has not fully met the needs of tax auditor, especially
related to audit that require face-to-face meetings with taxpayer or field
visit.
Keywords:
Remote Audit, Tax Administration, Auditor
Pendahuluan
Awal tahun
2020 ditandai dengan merebaknya pandemi COVID-19. Penyakit pernapasan ini mulai
menyebar ke seluruh dunia. Kita semua harus mengasingkan diri dan mengurangi
hampir semua kegiatan sosial dan ekonomi tanpa batas waktu yang jelas (Amin et al., 2020). Hampir semua kegiatan usaha di beberapa sektor
terhenti, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan (Hastuti et al.,
2020). Krisis yang terjadi akibat pandemi COVID-19 saat ini
menyebabkan pemerintahan di dunia termasuk Indonesia harus membuat berbagai
macam kebijakan yang membuat aktivitas masyarakat menjadi terbatas, termasuk
institusi pemerintahan dalam hal ini administrasi pajak.
Administrasi
pajak terpaksa harus menutup kantor dan beralih ke pekerjaan jarak jauh baik
secara penuh maupun sebagian. Hal ini tentunya adalah tantangan yang besar bagi
administrasi pajak karena selama ini administrasi pajak tidak dipersiapkan
untuk bekerja secara jarak jauh dalam skala yang begitu besar (Wahyuni et al., 2023).
Kondisi ini tentunya secara tidak langsung juga memberi tekanan tersendiri
terhadap sistem teknologi dan informasi (TI) dalam rangka mendukung pekerjaan
jarak jauh. Selain itu, pandemi COVID-19 juga berdampak terhadap ketersediaan
para pegawai pajak. Banyak pegawai pajak yang terinfeksi atau harus melakukan
isolasi karena memiliki riwayat kontak erat dengan penderita COVID-19 (Lase et al., 2020).
Hal ini menyebabkan administrasi pajak mengalami kekurangan sumber daya manusia
dan kesulitan untuk menjalankan proses bisnis secara normal.
Dalam
kondisi pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, bukanlah suatu hal yang mudah
dan tentunya sangat menantang ketika akan melakukan pengelolaan risiko terhadap
kepatuhan pajak. Menurut OECD (2021) dalam (Wulansari, n.d.)
bahwa dalam beberapa tahun terakhir pengalihan
intevensi manusia ke non-manusia terkait aktivitas yang berhubungan dengan
kepatuhan pajak terus mengalami peningkatan. Hal ini sangat mungkin dilakukan
karena ketersediaan dan penggunaan data yang terus meningkat, penggunaan teknik
data science, dan pemeriksaan
kepatuhan otomatis. Namun, yang perlu diperhatikan adalah masih adanya
keterlibatan sebagian besar petugas pajak dalam proses ini.
Pada
dasarnya, administrasi pajak menerapkan berbagai jenis pemeriksaan yang
berbeda-beda seperti pemeriksaan komprehensif, pemeriksaan berorientasi
masalah, inspeksi pembukuan dan catatan, dan investigasi mendalam atas dugaan
penipuan pajak (OECD, 2021) (Hadin, 2021).
Seringkali pemeriksaan-pemeriksaan tersebut mengharuskan administrasi pajak
untuk melakukan kunjungan ke tempat wajib pajak atau dikenal dengan istilah
pemeriksaan lapangan. Perkembangan serta kemajuan teknologi yang begitu cepat
telah mendorong administrasi pajak untuk mempertimbangkan pendekatan-pendekatan
baru untuk terlibat dengan wajib pajak selama proses pemeriksaan, termasuk
proses penyerahan dokumen yang terkait dengan pemeriksaan secara elektronik.
Menurut OECD (2021) (Sleebos, 2003),
tren ini telah mengalami peningkatan yang signifikan sejak awal krisis pandemi
COVID-19 karena adanya penutupan kantor pajak serta pegawai pajak yang terpaksa
bekerja dari jarak jauh. Kondisi ini tentunya berpengaruh secara siginifikan terhadap
bagaimana proses intervensi dan cara melaksanakan kepatuhan terhadap wajib
pajak secara keseluruhan.
Berdasarkan
atas laporan OECD tahun 2021 yang berjudul Tax
Administration: Digital Resilience in the COVID-19 Environment (OECD, 2021)
disampaikan bahwa 75 persen dari 32 administrasi pajak yang tercakup dalam
laporan tersebut telah melakukan penangguhan atau pengurangan pekerjaan
pemeriksaan lapangan reguler secara drastic (Sujono & Layli, n.d.).
Kemudian, hampir sebagian besar dari administrasi pajak tersebut (88 persen)
telah mengalihkan sebagian pekerjaan pemeriksaan lapangan yang mereka lakukan
ke lingkungan virtual atau digital. Bagi administrasi pajak yang mengalihkan
sebagian pekerjaan pemeriksaan lapangan mereka ke lingkungan virtual atau digital
sebanyak 90 persen mampu mengakses secara elektronik dokumen yang relevan untuk
proses pemeriksaan dan 86 persen mampu melakukan wawancara jarak jauh dengan
memuaskan.
Adapun hal
yang sangat menggembirakan terkait dengan perkembangan masa depan pada bidang
ini adalah bahwa 90 persen dari administrasi pajak melaporkan bahwa mereka dan
wajib pajak yang terlibat menganggap penggunaan alat virtual atau digital untuk
tujuan pemeriksaan sebagai pengalaman yang positif (Kara, 2018).
Selain itu, 76 persen dari administrasi pajak yang tercakup dalam laporan OECD terkait
ketahanan digital ini berencana untuk terus melanjutkan pekerjaan pemeriksaan
lapangan ke lingkungan virtual atau digital ke depannya. Rangkuman dari
penjelasan di atas dapat dilihat pada gambar 1, gambar 2 dan tabel 1 berikut.
Gambar
1
Administrasi
Pajak yang Melakukan Penangguhan atau Pengurangan Pemeriksaan Lapangan Secara
Drastis
Sumber: OECD
(2021)
Gambar
2
Administrasi
Pajak yang Melakukan Penangguhan atau Pengurangan Pemeriksaan Lapangan Secara
Drastis dan Beralih ke Virtual atau Digital
Sumber: OECD
(2021)
Tabel
1
Pengalaman
Administrasi Pajak yang Mengalihkan Pemeriksaan Lapangan ke Lingkungan Virtual
atau Digital
Pengalaman |
Persentase |
Dokumen
relevan dapat diakses secara elektronik |
90% |
Dapat melakukan
wawancara jarak jauh secara memuaskan |
86% |
Merupakan hal
yang positif bagi administrasi pajak dan wajib pajak |
90% |
Berencana
untuk terus melanjutkan pemeriksaan lapangan secara virtual atau digital |
76% |
Sumber: OECD
(2021)
�����������
Berdasarkan
data dan fakta di atas, dimana Indonesia merupakan salah satu negara yang
dijadikan objek survei maka sudah sepatutnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menjadikan
pemeriksaan jarak jauh melalui dukungan teknologi informasi sebagai salah satu
strategi (Rosdiana, n.d.).
Terkait dengan hal ini, memang DJP telah mengeluarkan beberapa peraturan
terkait seperti Surat Edaran Nomor 33 Tahun 2020 terkait dengan panduan umum
dalam melaksanakan tugas dalam tatanan kenormalan baru dalam lingkungan DJP,
kemudian ditambah dengan Surat Edaran Nomor 34 Tahun 2020 yang terkait dengan panduan
teknis dalam melaksanakan tugas pada tatanan kenormalan baru dalam lingkungan
DJP (Hastowibowo & Bandiyono, 2021).
Tetapi yang perlu digarisbawahi adalah kedua peraturan tersebut tidak mengatur
secara rinci terkait dengan bagaimana seharusnya proses bisnis pemeriksaan,
terutama pemeriksaan yang mengharuskan pemeriksa turun ke lapangan dilakukan
secara jarak jauh melalui dukungan TIK. Selain itu, kebijakan ini hanya
bersifat sementara dan kondisional saja mengingat kondisi pandemi COVID-19.
Tentunya kebijakan terkait dengan pengalihan pemeriksaan yang memerlukan
kunjungan lapangan ke lingkungan virtual atau digital ini diharapkan dapat
menjadi kebijakan yang berkelanjutan pada masa depan melalui dukungan aturan,
proses bisnis dan teknologi informasi yang memadai.
Maka dari
itu, dalam penelitian ini penulis akan menganalisis permasalahan terkait penerapan
pemeriksaan pajak jarak jauh oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan hasil analisis terkait penerapan pemeriksaan
jarak jauh oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Pemeriksaan Pajak
Menurut (Nugrahanto &
Alhadi, 2021) pajak dapat didefinisikan sebagai iuran yang wajib
dibayar oleh wajib pajak kepada pemerintah tetapi wajib pajak tidak memperoleh
imbalan secara langsung atas iuran tersebut. Sistem self-assessment yang dianut oleh Indonesia mewajibkan wajib pajak
untuk melakukan pengungkapan dasar penghitungan pajak, melakukan pelaporan
penghitungan pajak yang terutang, serta penghitungan atas pembayaran pajak
terutang, maka dari itu dibutuhkan mekanisme pemantauan dalam rangka memastikan
sistem bekerja secara efektif. Terkait dengan hal ini, (Mutia, 2014) menyampaikan bahwa dibutuhkan peran fiskus dalam
melakukan pemantauan, melakukan pemeriksaan pajak, serta tindakan penegakan
hukum guna memastikan bahwa wajib pajak sudah memenuhi kewajibannya menurut
peraturan yang berlaku.
Berdasarkan
PMK-184/PMK.03/2015 dalam (Pranata et al.,
2018) bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah
serangkaian kegiatan dalam rangka melakukan penghimpunan dan pengolahan data,
keterangan, dan/atau bukti yang dijalankan dengan objektif serta profesional
atas dasar suatu standar pemeriksaan untuk melakukan pengujian terhadap
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam
rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Lebih lanjut OECD (Fitria, 2020) mendefinisikan pemeriksaan pajak sebagai bentuk
penilaian apakah wajib pajak sudah melakukan penghitungan dan pelaporan
kewajiban perpajakannya secara benar atau belum, serta telah memenuhi kewajiban-kewajiban
lainnya. Sedangkan (Monica & Andi,
2019) menyampaikan bahwa pemeriksaan pajak adalah
pemeriksaan yang dilakukan terhadap laporan keuangan wajib pajak oleh badan
pemungut pajak dalam rangka memastikan kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan
perundang-undangan perpajakan suatu negara.
Sementara
itu pemeriksaan pajak oleh ERCA (Wijaya & Illahi,
n.d.) didefinisikan sebagai suatu atau serangkaian
kegiatan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak dalam rangka menentukan kewajiban
sebenarnya dari wajib pajak untuk suatu periode akuntansi atau pajak tertentu,
dengan melakukan pemeriksaan atas produk organisasi wajib pajak dan catatan
keuangan untuk menilai kepatuhan terhadap ketentuan perpajakan serta melakukan
verifikasi terkait kebenaran, kewajaran, kepercayaan, dan keakuratan pelaporan
pajak dan laporan keuangan. Kemudian OECD menekankan bahwa pemeriksaan pajak
adalah komponen penting dalam kegiatan kepatuhan administrasi pajak melalui
penegakan hukum yang tepat. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan pajak
merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kepatuhan yang dilakukan oleh fiskus
terhadap pemenuhan kewajiban wajib pajak.
Pemeriksaan Jarak Jauh
(Septiani, n.d.) menyampaikan bahwa pemeriksaan jarak jauh atau
dikenal juga dengan pemeriksaan virtual adalah suatu mekanisme dalam melakukan
pemeriksaan dari jarak jauh dengan menggunakan metode elektronik seperti
telepon, surat elektronik, dan konferensi video dalam rangka memperoleh
bukti-bukti pemeriksaan, seperti yang dilakukan oleh pemeriksa selama
pemeriksaan lapangan. Adapun tujuan keseluruhan dari pemeriksaan virtual adalah
untuk mengevaluasi bukti-bukti secara objektif dalam rangka menentukan sejauh
mana kriteria pemeriksaan telah dipenuhi. Selama pemeriksaan virtual, pemeriksa
dapat mengadopsi teknik pemeriksaan standar yang mereka gunakan selama
pemeriksaan lapangan, tetapi dengan menggunakan teknologi modern.
Lebih
lanjut (Khoirunnisa &
Nurwulan, 2022) menyampaikan bahwa yang dimaksud pemeriksaan jarak
jauh adalah proses dimana pemeriksa menggabungkan informasi dan teknologi
komunikasi dengan analisis data dalam rangka mengumpulkan dan menilai bukti elektronik,
berinteraksi dengan pihak yang diperiksa, serta melaporkan keakuratan data keuangan
dan pengendalian, terlepas dari lokasi fisik pemeriksa tersebut. Kemudian (Rahayu, 2022) menambahkan bahwa pemeriksaan jarak jauh merujuk kepada
penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengumpulkan
informasi, mewawancarai pihak yang diperiksa, ketika metode atau cara tatap
muka secara langsung tidak memungkinkan atau diinginkan.
Menurut (Abadi & Malang,
2021) pemeriksaan jarak jauh dapat dilakukan sebagian atau
seluruhnya di luar lokasi atau tempat pihak yang diperiksa. Berikut adalah dua
pendekatan utama dalam rangka melakukan pemeriksaan jarak jauh:
(a) Pemeriksaan Jarak Jauh Sebagian, merupakan
kombinasi dari prosedur pemeriksaan jarak jauh dan di tempat. Adapun untuk bagian
pemeriksaan yang dilakukan secara jarak jauh harus mengikuti standar proses
pemeriksaan ketika menggunakan alat teknologi dalam rangka mengakses bukti yang
dibutuhkan. Pemeriksaan jarak jauh sebagian, paling efektif jika digunakan
untuk melakukan verifikasi kepatuhan terhadap persyaratan standar yang membutuhkan
bukti dalam bentuk dokumen. Selain itu, wawancara terbatas atau bukti visual
lainnya juga akan dikumpulkan dari jarak jauh atau virtual. Sedangkan untuk
bagian pemeriksaan yang dilaksanakan di tempat bertujuan untuk melakukan
verifikasi kesimpulan dari pemeriksaan jarak jauh serta verifikasi tambahan atas
masalah yang tidak dapat dideteksi melalui proses pemeriksaan jarak jauh.
(b) Pemeriksaan Jarak Jauh Penuh, merupakan mekanisme
pemeriksaan yang dilakukan sepenuhnya dari jarak jauh atau virtual dengan menggunakan
teknologi untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan dalam rangka memastikan
kepatuhan terhadap standar yang berlaku. Pemeriksaan jarak jauh penuh, perlu
untuk dilakukan apabila kegiatan verifikasi secara langsung di lokasi secara
realistis tidak mungkin untuk dilakukan dalam siklus pemeriksaan saat ini.
Adapun pemeriksaan jarak jauh penuh harus mengikuti standar pemeriksaan saat
menggunakan mekanisme dan alat teknologi dalam rangka mengakses bukti yang
diperlukan, termasuk wawancara menggunakan teknik pengambilan sampel yang
sesuai.
Kelebihan Pemeriksaan Jarak Jauh
Berikut adalah beberapa manfaat dari
pemeriksaan jarak jauh atau virtual sebagaimana disimpulkan oleh (Serag & Daoud,
2021) dari berbagai sumber:
a) Menghemat
waktu dan biaya. Pada saat ini sebagian besar data dapat diakses dari mana
saja, sehingga tidak perlu membuang banyak waktu dan biaya perjalanan hanya
untuk sekedar memeriksa dokumentasi. Melalui pemeriksaan jarak jauh maka akan
tercipta pengurangan yang signifikan dalam hal waktu dan biaya yang dikeluarkan
dalam rangka perjalanan ke lokasi pemeriksaan. Selain itu, untuk proses
wawancara dan observasi juga dapat dilakukan melalui platform teknologi yang
populer digunakan saat ini seperti Zoom.
b) Dapat
menghindari untuk melakukan perjalanan ke lokasi pemeriksaan yang sulit.
Terdapat beberapa alasan mengapa suatu lokasi sulit untuk diakses seperti:
berada di daerah terpencil, memerlukan izin yang ketat untuk masuk, atau bahkan
terkadang diperlukan visa jika pemeriksaan dilakukan secara internasional.
Melalui pemeriksaan jarak jauh, maka pemeriksa dapat menghindari kesulitan ini.
c) Dapat
memperluas cakupan pemeriksaan. Dengan melakukan pemeriksaan jarak jauh maka
akan memungkinkan cakupan yang lebih banyak ketika ada batasan dalam hal volume
dan waktu.
d) Kerja
dari tim pemeriksaan akan lebih efisien. Bekerja dari kantor tempat mereka
berada akan membuat tim pemeriksaan merasa lebih nyaman, karena mereka dapat
memanfaatkan dan menggunakan semua alat yang diperlukan seperti internet dengan
jaringan yang sangat memadai, monitor, printer, dan lain-lain. Melalui cara
ini, maka produktivitas akan meningkat secara substansial dan tim pemeriksaan
akan memerlukan waktu yang lebih sedikit untuk menyelesaikan pemeriksaan, serta
tetap pada batas waktu yang ditetapkan.
e) Perluasan
dalam penggunaan tenaga ahli. Tenaga ahli dapat terhubung dari jarak jauh untuk
wawancara tertentu atau bagian dari perencanaan pemeriksaan, dan mereka tidak
perlu hadir secara fisik.
f) Merupakan
pendekatan yang lebih fleksibel sehingga dapat meningkatkan kualitas tinjauan
atas dokumen. Melalui tinjauan jarak jauh pemeriksa dapat menentukan kecepatan
bekerjanya sehingga berkontribusi pada tinjauan kualitas yang lebih tinggi dan
pendalaman dokumen yang lebih baik.
g) Dapat
memperkuat dokumentasi dan pelaporan. Melalui penggunaan teknologi, informasi
tertentu dapat ditangkap melalui video dan fotografi sehingga akan meningkatkan
pemahaman.
h) Logistik
terkait pemeriksaan tidak diperlukan lagi. Dengan melakukan pemeriksaan jarak
jauh atau virtual, maka organisasi akan terbebas dari logistik terkait
pemesanan ruang rapat, akomodasi tim pemeriksaan, terganggunya pekerjaan
harian, dan ketidaknyamanan lain yang dialami selama pemeriksaan di lokasi.
����������� Pendapat di atas diperkuat lagi oleh
(Sharma et al., 2009) yang menyampaikan
keuntungan dari pemeriksaan jarak jauh sebagai berikut:
a) Dapat
memberikan penghematan yang signifikan karena tidak ada waktu perjalanan serta
biaya perjalanan yang dikeluarkan.
b) Kenyamanan
dan fleksibilitas bagi tim pemeriksaan karena mereka akan bekerja dari
lingkungan kantor atau rumah.
c) Pegawai
yang terlibat dalam proses pemeriksaan tidak perlu terkonsentrasi pada satu
periode pemeriksaan yang membutuhkan waktu berminggu-minggu hanya untuk sekedar
mengumpulkan bukti.
d) Pemeriksa
dapat memperoleh bukti langsung secara langsung dari sistem teknologi informasi
karena akses langsung dapat diberikan.
e) Pemeriksaan
jarak jauh memerlukan perencanaan dan persiapan tambahan bagi pemeriksa
sehingga akan menghasilkan pemeriksaan yang lebih baik dan efektif.
f) Memperluas
pemilihan tenaga ahli.
Kekurangan Pemeriksaan Jarak Jauh
Berikut adalah beberapa kekurangan dari pemeriksaan
jarak jauh sebagaimana disampaikan oleh (Ginting, 2022):
a)
Proses
wawancara dan rapat dapat terganggu jika terjadi masalah dengan jaringan.
b) Adanya keterbatasan atau ketidakmampuan untuk memvisualisasikan
fasilitas dan peralatan, budaya organisasi, serta bahasa tubuh dari pihak yang
sedang diperiksa.
c)
Masalah
zona waktu juga dapat memengaruhi efisiensi pemeriksaan jarak jauh.
d) Peningkatan kesempatan bagi pihak yang sedang diperiksa
untuk menyajikan dokumen yang dipalsukan dan menghilangkan informasi yang
relevan. Hal ini mungkin memerlukan perencanaan tambahan, beberapa prosedur
pemeriksaan tambahan atau berbeda.
e)
Akses
jarak jauh ke sistem teknologi informasi yang sensitif mungkin tidak diizinkan.
Aspek keamanan yang terkait dengan akses jarak jauh dan privasi perlu dinilai.
f)
Adanya
potensi kelelahan yang dialami oleh pemeriksa karena tidak ada sesi istirahat.
g) Adanya tantangan terkait budaya bagi pemeriksa.
Dimana kurangnya pengetahuan tentang undang-undang dan peraturan lokal dapat
berdampak pada pemeriksaan.
Lebih
lanjut (Ariyanto, 2022) juga menyampaikan
beberapa keterbatasan dalam proses pemeriksaan jarak jauh, sebagai berikut:
a) Observasi
yang dilakukan secara langsung tetap tidak tergantikan. Pemeriksaan yang
dilakukan secara jarak jauh atau virtual memiliki keterbatasan terkait
kondisi-kondisi tertentu.
b) Pemeriksaan
jarak jauh mempersulit pemeriksa untuk membangun hubungan baik dengan pihak
yang sedang diperiksa.
c) Kurangnya
interaksi langsung antara pemeriksa dan pihak yang diperiksa membuka peluang
terjadinya kecurangan. Kondisi ini memberi kesempatan kepada pihak yang
diperiksa untuk menyajikan dokumen yang telah dipalsukan dan menghilangkan informasi
yang relevan.
Teknologi Informasi
menyampaikan beberapa hal terkait dengan teknologi
informasi. Bahwa yang dimaksud dengan teknologi informasi adalah penggunaan teknologi
modern dalam rangka melakukan pengelolaan dan pengolahan sejumlah besar data
dalam kehidupan politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan kehidupan sosial. Sedangkan
yang dimaksud dengan informasi adalah fakta-fakta yang dihasilkan dari
pengolahan data. Lebih lanjut disampaikan bahwa terdapat perbedaan antara
informasi dan data. Informasi adalah data yang telah melalui proses pengolahan
serta memberikan peluang kepada pemiliknya untuk melakukan pengambilan
keputusan yang benar pada waktu yang tepat. Selanjutnya yang dimaksud dengan
teknologi adalah komputer dan peralatan komunikasi terkait serta perangkat
lunak yang memungkinkan untuk berhubungan dalam kerangka kerja atau jaringan
yang independen dengan perangkat lain. Teknologi informasi adalah penggunaan
alat-alat teknologi modern dan salah satunya melalui komputer dalam pengumpulan
dan pengolahan data. Dalam konteks ini informatika terdiri atas tiga elemen
dasar yaitu entitas fisik seperti komputer serta peralatan dan perangkat terkait,
perangkat lunak yang berjalan pada operasi komputer dan melakukan tugas yang
berbeda, dan sumber daya pengetahuan.
(Meihami et al.,
2013) juga menyampaikan beberapa hal yang berhubungan
dengan teknologi informasi. Menurutnya, teknologi informasi adalah ilmu yang
menyelidiki penerapan komputer dalam sistem informasi dan pelaporan. Teknologi
informasi adalah seperangkat instrumen dan metode yang digunakan untuk melakukan
produksi, proses, dan menyampaikan informasi kepada manusia sebagai pengguna.
Ilmu ini mencakup teknologi yang berhubungan dengan perangkat lunak dan
perangkat keras yang dipergunakan untuk memproses, menyimpan, mempertukarkan,
dan mentransfer informasi. Menurut Mihalcescu et al. (Meihami et al.,
2013) bahwa komunikasi dibuat lebih mudah dan lebih cepat
dalam sistem komputer sehingga dapat menfasilitasi dan mempercepat kegiatan
organisasi. Perangkat teknologi informasi terdiri atas faktor mekanis dan
faktor manusia. Adapun faktor mekanis yang terpenting yaitu komputer, sedangkan
yang paling penting dari faktor manusia adalah pengguna komputer itu sendiri.
Menurut (Mustapha et al.,
2016) �teknologi
informasi membantu pemeriksa dalam menyelesaikan pekerjaannya dengan lebih
efisien dan efektif, dapat mempersingkat waktu pengujian substantif selama
proses pemeriksaan,� serta dapat
meningkatkan produktivitasnya. Lebih lanjut menurut (Braun et al., 2003) beberapa standar pemeriksaan menunjukkan bahwa
penggunaan teknologi informasi dalam pemeriksaan meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pemeriksaan. Pendapat ini diperkuat lagi oleh (Noordin et al.,
2014) bahwa penggunaan teknologi informasi dalam
pemeriksaan dapat meningkatkan efektivitas kerja pemeriksaan dalam beberapa hal
seperti pencarian informasi yang mendalam, analisis transaksi korektif, praktik
pemeriksaan yang komprehensif, peningkatan proses pemeriksaan yang
berkelanjutan serta ketepatan waktu pelaporan pemeriksaan. Jadi, dapat
dikatakan bahwa pada saat sekarang ini teknologi informasi sangat mempengaruhi
proses bisnis. Teknologi informasi dapat meningkatkan kemampuan untuk menyimpan,
menangkap, menganalisis dan memproses sejumlah besar informasi. Sehingga pada
akhirnya teknologi informasi akan mempengaruhi pemeriksaan dalam berbagai
perspektif seperti proses perencanaan, pengumpulan bukti, keterampilan dan
pengetahuan yang diperlukan dalam rangka melaksanakan pemeriksaan, risiko yang
dihadapi oleh pemeriksa serta teknik pemeriksaan yang diadopsi (MAKs & Ak, 2019).
Metode
Penelitian
Adapun yang dimaksud dengan Metode Penelitian
adalah suatu perangkat yang disusun dengan cara sistematis, rasional, serta
logis (Birnbaum et al.,
2010). Peneliti menggunakan metode penelitian untuk merencanakan,
mengumpulkan, melakukan analisis, serta menghasilkan sebuah kesimpulan. Dalam
penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut (Supono &
Tambunan, 2021) penelitian kualitatif terkait dengan mengapa dan
bagaimana suatu fenomena dapat terjadi di dalam masyarakat. Tujuan dari metode
kualitatif adalah dalam rangka menginterpretasi dan memahami kasus dan masalah
sosial. Maka dari itu, suatu penelitian kualitatif tidak boleh dilakukan di
laboratorium konvensional. Dalam melakukan penelitian secara kualitatif,
peneliti terlebih dahulu akan melakukan serangkaian tinjauan pustaka baru
kemudian mengajukan penelitian.
Tetapi yang
perlu diperhatikan adalah tinjauan pustaka dalam metode kualitatif tidak
ditujukan dalam rangka membuktikan teori. Teori dalam metode kualitatif
berfungsi sebagai kerangka berpikir kritis peneliti. Lebih lanjut, disampaikan
juga bahwa metode penelitian kualitatif ini tidak bebas nilai, artinya peneliti
bisa terpengaruh oleh nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak
seperti penelitian yang dilakukan secara kuantitatif, dalam penelitian
kualitatif sebagaimana disampaikan oleh (Creswell, 2016) seorang peneliti tidak memulai dengan teori atau tes
atau verifikasi. Sebaliknya, metode kualitatif konsisten dengan model berpikir
yang induktif, dimana suatu teori mungkin muncul selama proses pengumpulan data
dan analisis penelitian atau digunakan relatif terlambat dalam proses
penelitian sebagai dasar perbandingan dengan teori lain. Sedangkan menurut (Jumriati, 2017) bahwa yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif
adalah sebuah proses penelitian ilmiah yang didasarkan pada masalah-masalah
sosial dan tergambar secara menyeluruh melalui dukungan informasi yang berasal
dari para informan. Adapun informasi yang didapatkan bisa dalam bentuk angka,
kata-kata, dan gambar.
Penelitian
ini adalah penelitian deskriptif yang dimaksudkan untuk menggambarkan fenomena
secara rinci. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh (Budiarto et al.,
2018) bahwa yang dimaksud dengan penyusunan penelitian
dengan cara deskriptif adalah adanya data yang mendeskripsikan secara rinci
terkait fenomena yang terjadi. Adapun penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif yang memiliki tujuan dalam rangka memberikan gambaran,
meringkas berbagai macam situasi, fenomena atau kondisi sosial yang terjadi di
masyarakat khususnya yang terkait dengan proses pemeriksaan pajak. Pemilihan
pendekatan ini akan digunakan oleh peneliti untuk memberikan pemahaman secara
mendalam terkait penerapan pemeriksaan pajak jarak jauh di Direktorat Jenderal
Pajak (DJP).
Hasil
dan Pembahasan
Penerapan Pemeriksaan Jarak Jauh di Direktorat Jenderal
Pajak
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan adalah
serangkaian aktivitas dalam rangka melakukan penghimpunan dan pengolahan data,
bukti, dan/atau keterangan dimana pelaksanaaanya dijalankan dengan profesional
dan objektif atas dasar suatu standar pemeriksaan (Kadri Husin & Budi Rizki Husin, 2022).
Adapun tujuan dari dilakukannya pemeriksaan adalah untuk melakukan pengujian
kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan dalam rangka
tujuan lain guna menjalankan ketentuan peraturan perpajakan. Adapun dalam
rangka menghadapi tata kenormalan baru, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyesuaikan
prosedur dalam melaksanakan pemeriksaan dengan cara mengoptimalkan penggunaan
saluran elektronik.
Seluruh
proses pemeriksaan mulai dari tahapan persiapan hingga pembahasan akhir dari
hasil pemeriksaan diprioritaskan untuk berlangsung secara jarak jauh melalui saluran
elektronik. Kebijakan ini sangat perlu untuk diterapkan mengingat kondisi
pandemi COVID-19 yang masih terus berlangsung sehingga interaksi secara tatap
muka atau langsung antara pemeriksa dan wajib pajak dapat dikurangi. Hal ini
sekaligus bentuk adaptasi dari proses pemeriksaan terhadap tatananan kenormalan
baru.
Adapun
kebijakan terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan yang diprioritaskan untuk
dilaksanakan secara jarak jauh ini diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-34/PJ/2020 (Silitonga, 2021).
Dalam lampiran surat edaran tersebut disampaikan beberapa hal teknis terkait
penyesuaian kegiatan pemeriksaan dalam kondisi tatanan kenormalan baru sebagaimana
telah dirangkum berikut ini.
1.
Agar
aktivitas pemeriksaan bisa berlangsung secara lancar dan efektif serta
menimbang masih banyaknya wajib pajak, pegawai yang bekerja untuk wajib pajak,
serta konsultan pajak yang disewa oleh wajib pajak yang melaksanakan
pekerjaannya dari rumah maka hal-hal sebagai berikut perlu untuk diperhatikan:
a.
Pemeriksa
perlu untuk melakukan koordinasi dengan Account Representative (AR) serta
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi dalam rangka menciptakan komunikasi yang
baik dengan Wajib Pajak (WP) dan pihak-pihak yang terkait dengan memastikan WP
dapat dihubungi. Selanjutnya, dalam rangka memastikan bahwa surat elektronik yang
digunakan adalah valid maka WP diwajibkan untuk membuat pernyataan tertulis.
b. Perlu dilakukan persetujuan dan kesepakatan dengan
WP dalam penentuan lokasi, waktu, dan cara melaksanakan pemeriksaan karena
komunikasi akan diprioritaskan melalui mekanisme daring dengan menggunakan saluran
elektronik. Adapun kesepakatan tersebut misalnya seperti apakah pertemuan bisa
dilaksanakan melalui video conference/call,
apakah dokumen pemeriksaan dapat disampaikan melalui surat elektronik, serta
apakah peminjaman dokumen yang dibutuhkan dari WP dapat dikirimkan dalam bentuk
hasil pindaian atau softcopy. Semua
kesepakatan tersebut harus dituangkan dan didokumentasikan ke dalam Kertas
Kerja Pemeriksaan (KKP).
c.
Semua
tahapan pemeriksaan mulai dari persiapan hingga pembahasan akhir diprioritaskan
untuk dilaksanakan secara daring melalui saluran elektronik dalam rangka
mengurangi interaksi dengan WP secara langsung.
d.
Jika
harus dilakukan interaksi secara langsung dengan WP dalam pelaksanaan
pemeriksaan, maka pemeriksa harus memberitahukan kepada Kepala Unit Pelaksana
Pemeriksaan (UP2).
e.
Dalam
rangka melakukan antisipasi tindakan hukum atau gugatan dari WP, maka setiap
aktivitas pemeriksaan yang dilaksanakan secara daring melalui saluran
elektronik harus didokumentasikan. Dokumentasi tersebut dapat berupa rekaman
video atau audio, gambar, surat elektronik, maupun pesan, yang merupakan bagian
dari KKP.
f.
Jika
pemeriksa sudah melakukan komunikasi dalam rangka meminta persetujuan tetapi WP
tidak bersedia melaksanakan pemeriksaan baik secara daring maupun langsung maka
hal tersebut harus didokumentasikan dalam bentuk Berita Acara (BA) serta
menjadi bagian dari KKP. Adapun tujuan dari dokumentasi tersebut adalah sebagai
dasar pelaksanaan aktivitas pemeriksaan selanjutnya.
2.
Beberapa
hal berikut perlu untuk diperhatikan dalam rangka persiapan pemeriksaan:
a.
Terkait
dengan WP yang masih melaksanakan WFH, maka kegiatan pemeriksaan dilakukan
dengan identifikasi masalah melalui analisis yang dalam dan tajam pada pos
tertentu yang memiliki risiko ketidakpatuhan tinggi. Melalui pendekatan ini
diharapkan pemeriksaan akan berjalan lebih fokus serta lebih cepat
diselesaikan.
b.
Dalam
rangka mempersiapkan dokumen WP yang akan diperiksa, dapat dilakukan oleh
pemeriksa melalui optimalisasi data internal DJP yang ada pada aplikasi yang
telah disediakan maupun data eksternal yang tersedia di internet.
c.
Pemeriksa
diharapkan untuk memanfaatkan laporan hasil kunjungan AR dari WP terkait
terlebih dahulu. Jika dibutuhkan pengamatan lapangan lebih lanjut maka
pemeriksa harus memperhatikan protokol kesehatan COVID-19.
d.
Pemeriksa
dapat menggunakan aplikasi atau secara manual dalam rangka menyusun KKP
identifikasi masalah, pembuatan audit
plan serta audit program.
3.
Beberapa
hal berikut perlu untuk diperhatikan dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan:
a.
Dokumen-dokumen
seperti Surat Panggilan Pemeriksaan Kantor, Surat Panggilan Pertemuan pertama
Pemeriksaan Lapangan, dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan (SPPL) dapat
disampaikan melalui jasa pos maupun ekspedisi yang dilengkapi dengan bukti
pengiriman atau melalui surat elektronik kedinasan DJP.
b.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut ketika akan melakukan pertemuan dan
pemanggilan pertama dengan WP:
1)
Harus
disepakati terlebih dahulu dengan WP terkait waktu, tanggal, tempat, serta
media yang akan dipergunakan dalama rangka melaksanakan pertemuan.
2)
Pertemuan
dengan WP bisa dilaksanakan secara langsung atau dengan menggunakan video conference sesuai kesepakatan.
3)
Pemeriksa
memberitahu serta meminta persetujuan WP bahwa video conference atau hasil percakapan akan direkam, dituangkan
dalam BA, dan dilengkapi dengan dokumen-dokumen pendukung.
4)
Saat
melaksanakan tatap muka secara langsung atau video conference, pemeriksa harus menunjukkan tanda pengenal serta
SP2 kepada WP.
5)
Apabila
WP tidak hadir sesuai kesepakatan baik secara langsung maupun video conference serta tidak
memberitahukan kepada pemeriksa, maka WP dianggap tidak hadir. Selanjutnya
dibuatkan BA Ketidakhadiran yang dilengkapi bukti pendukung.
6)
Pemeriksa
mengutamakan untuk meminta dokumen dalam bentuk softcopy atau hasil pindaian pada pertemuan yang pertama.
Selanjutnya pemeriksa membuatkan tanda terima dokumen.
7)
Terkait
dokumen hardcopy yang dikirimkan oleh
WP secara langsung ke kantor DJP supaya ditangani sesuai standar protokol
COVID-19.
8)
Jika
pertemuan pertama dengan WP disepakati secara langsung maka dilaksanakan sesuai
protokol COVID-19.
9)
Jika
WP tidak setuju untuk hadir secara langsung atau melalui video conference, maka WP dianggap tidak hadir. Selanjutnya
dibuatkan BA Ketidakhadiran oleh pemeriksa yang dilengkapi bukti pendukung.
c.
Pemeriksa
dapat menggunakan aplikasi AsIK (Akses Informasi Keuangan) dalam rangka
mendapatkan Informasi dan/atau Bukti atau Keterangan (IBK).
d.
Dalam
rangka memperoleh data elektronik, pemeriksa perlu memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
1)
Perlu
adanya kesepakatan dengan WP jika pemeriksa akan mengunduh secara langsung data
elektronik di tempat WP.
2)
Pemeriksa
bisa mewawancarai WP terlebih dahulu baik dengan tatap muka langsung maupun
tidak langsung misalnya melalui surat elektronik, video conference, atau telepon terkait data elektonik yang
diperlukan untuk proses pemeriksaan.
3)
Pemeriksa
mengirimkan surat permintaan ke WP dalam rangka untuk mendapatkan data
elektronik.
4)
Data
elektronik yang telah diperoleh dari WP dapat diolah sendiri oleh pemeriksa
atau menggunakan bantuan e-auditor sebagai tenaga ahli.
5)
Semua
rangkaian proses yang dilakukan oleh pemeriksa dalam rangka mendapatkan data
dan data elektronik dari WP harus didokumentasikan serta menjadi satu dengan
KKP.
e.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut ketika akan melakukan peminjaman
dokumen:
1)
Agar
proses peminjaman berjalan dengan efektif, maka perlu dilakukan komunikasi awal
antara pemeriksa dan WP terkait dokumen yang dibutuhkan, mekanisme, waktu serta
tempat pengiriman.
2)
Pemeriksa
dapat melakukan tatap muka secara langsung atau tidak langsung dengan
menggunakan surat elektronik dalam rangka menyampaikan surat permintaan untuk
meminjam dokumen, bukti terkait peminjaman dokumen, bukti terkait pengembalian
dokumen, surat peringatan, tanda terima dokumen, serta BA terkait dipenuhi atau
tidak dipenuhinya peminjaman dokumen.
3)
Jika
dokumen yang dipinjam dalam bentuk hardcopy
kemudian dikirimkan oleh WP ke kantor DJP, maka ditangani sesuai protokol
COVID-19 serta dibuatkan tanda terimanya.
f.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut ketika akan meminta keterangan
kepada WP dan/atau pihak ketiga:
1)
Pemeriksa
dapat menggunakan jasa pos atau kurir yang disertai bukti pengiriman atau
melalui surat elektronik dalam rangka menyampaikan surat panggilan atau surat
permintaan keterangan kepada WP dan/atau pihak ketiga.
2)
Pemeriksa
dapat melakukan tatap muka secara langsung atau melalui video conference sebagaimana telah disepakati sebelumnya dengan WP dalam
rangka meminta keterangan kepada WP.
3)
Pemeriksa
harus menunjukkan tanda pengenal dan SP2, memberitahu WP bahwa akan dilakukan
perekaman, serta membuat BA yang dilengkapi dokumen pendukung.
g.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut ketika akan melakukan pengujian
pemeriksaan:
1)
Optimalisasi
dalam penggunaan data internal serta eksternal yang telah disediakan oleh
sistem informasi DJP.
2)
Jika
dalam pengujian dibutuhkan permintaan keterangan, wawancara, maupun konfirmasi
kepada WP, maka bisa disepakati untuk melakukan tatap muka secara langsung atau
tidak langsung melalui surat elektronik, surat, telepon, media sosial, atau video conference.
3)
Jika
akan dilaksanakan pengujian di lokasi WP maka harus dilakukan berdasarkan
kesepakatan. Lebih lanjut jika akan melakukan wawancara maka harus berdasarkan
kesepakatan apakah tatap muka langsung atau tidak langsung melalui surat, surat
elektronik, telepon, atau video
conference. Kemudian pemeriksa juga memberitahu dan meminta persetujuan
dari WP bahwa akan dilakukan perekaman serta membuat BA yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung. Selain itu, pemeriksa juga harus menunjukkan tanda pengenal
dan SP2 kepada WP baik langsung atau dengan video
conference. Terakhir, tentunya harus menjalankan protokol COVID-19.
4)
Pemeriksa
agar mendokumentasikan semua pengujian yang dilaksanakan ke dalam KKP
berdasarkan bukti pendukung yang kuat.
4.
Beberapa
hal berikut perlu untuk diperhatikan ketika menyampaikan Surat Pemberitahuan
Hasil Pemeriksaan (SPHP) dan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP):
a.
Dalam
menyampaikan SPHP bisa dilakukan atas dasar persetujuan dengan WP, baik secara
langsung, faksimili, maupun melalui surat elektronik kedinasan DJP.
b.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal berikut terkait tanggapan tertulis WP atas SPHP:
1)
WP
bisa menyampaikan tanggapan tertulisnya dengan menggunakan jasa pos, kurir,
atau surat elektronik.
2)
Pemeriksa
harus memastikan apakah SPHP akan ditanggapi oleh WP atau tidak dengan cara
menghubungi WP atau yang mewakilinya.
3)
Hasil
komunikasi serta bukti bahwa tanggapan telah disampaikan harus didokumentasikan
oleh pemeriksa dan menjadi bagian dari KKP. Jika WP tidak memberikan tanggapan
tertulis terkait SPHP maka dibuatkan BA Tidak Disampaikan Tanggapan Tertulis
oleh pemeriksa.
c.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal berikut terkait undangan PAHP:
1)
Sebelum
membuat undangan PAHP, pemeriksa harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan WP
terkait waktu, tanggal, tempat serta mekanisme untuk melaksanakan PAHP.
2)
Pemeriksa
dapat menyampaikan undangan PAHP dengan menggunakan jasa kurir, pos, atau surat
elektronik.
3)
Harus
dipastikan bahwa undangan PAHP telah diterima oleh WP. Selanjutnya bukti
penerimaan dan hasil konfirmasi dari WP didokumentasikan oleh pemeriksa.
d.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal berikut ketika akan melaksanakan PAHP:
1)
PAHP
bisa dilaksanakan atas dasar kesepakatan dengan WP, apakah akan dilakukan tatap
muka langsung atau melalui daring (video
conference/call)
2)
Pemeriksa
merekam PAHP, setelah itu pemeriksa membuat risalah pembahasan yang dilengkapi
dengan dokumen pendukung.
3)
Apabila
WP tidak hadir sebagaimana sudah ditentukan dalam undangan serta tidak
memberikan konfirmasi kepada pemeriksa, maka WP dianggap tidak hadir.
Selanjutnya pemeriksa membuat BA Ketidakhadiran yang dilengkapi dengan bukti
pendukung.
4)
Jika
PAHP disepakati untuk dilaksanakan di kantor DJP, maka harus diselenggarakan
dengan protokol COVID-19.
e.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal berikut terkait pengajuan permohonan Quality Assurance (QA):
1)
WP
bisa menyampaikan permohonan pembahasan dengan tim QA melalui kurir, pos, atau
surat elektronik.
2)
Pemeriksa
harus menghubungi WP dalam rangka memastikan apakah benar WP mengajukan
permohonan pembahasan dengan tim QA dan didokumenstasikan ke dalam KKP.
3)
Pemeriksa
harus memastikan terdapat bukti yang menunjukkan bahwa permohonan pembahasan
dengan tim QA telah disampaikan dan kemudian didokumentasikan ke dalam KKP.
f.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal berikut terkait undangan pembahasan yang akan
dilakukan dengan tim QA:
1)
Sebelum
konsep undangan dibuat, pemeriksa harus menghubungi WP terlebih dahulu untuk membuat
kesepakatan terkait waktu, tanggal, tempat dan mekanisme untuk melaksanakan
pembahasan dengan tim QA.
2)
Pemeriksa
dapat menyampaikan undangan dengan menggunakan jasa kurir, pos atau surat
elektronik.
3)
Undangan
pembahasan harus dipastikan telah diterima oleh WP. Selanjutnya bukti
penerimaan dan hasil konfirmasi didokumentasikan oleh pemeriksa.
g.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal berikut ketika akan dilaksanakan pembahasan dengan
tim QA:
1)
Pelaksanaan
pembahasan dengan tim QA didasarkan kepada kesepakatan dengan WP, apakah tatap
muka langsung atau secara daring (video
conference/call).
2)
Mendokumentasikan/merekam
pembahasan, selanjutnya dibuatkan risalah tim QA dengan WP sebagai bukti bahwa
WP sudah hadir.
3)
Pemeriksa
memberitahu serta meminta persetujuan dari WP bahwa akan dilakukan perekaman
atas percakapan atau video
conference/call.
4)
Jika
WP tidak hadir sebagaimana telah ditentukan dalam undangan serta tidak
memberikan konfirmasi kepada pemeriksa, maka WP dianggap tidak hadir.
Selanjutnya pemeriksa membuat BA Ketidahadiran yang dilengkapi bukti pendukung.
5)
Jika
WP menolak untuk hadir secara langsung ke kantor DJP maupun secara daring, maka
WP dianggap tidak hadir. Selanjutnya pemeriksa membuat BA Ketidakhadiran yang
dilengkapi bukti pendukung.
6)
Jika
disepakati dengan WP untuk dilaksanakan pembahasan dengan tim QA di kantor DJP,
maka supaya dilaksanakan dengan protokol COVID-19.
h.
Pemeriksa
perlu memperhatikan hal-hal berikut terkait dengan penandatanganan BA PAHP dan
Ikhtisar Hasil Pembahasan Akhir (IHPA):
1)
Pemeriksa
membuatkan konsep BA PAHP serta IHPA atas dasar risalah tim QA dan risalah
pembahasan. Selanjutnya BA tersebut ditandatangani oleh WP, semua tim
pemeriksa, dan Kepala UP2.
2)
Pemeriksa
harus menghubungi WP terlebih dahulu dalam rangka membuat kesepakatan terkait
cara untuk menyampaikan dan menandatangani BA PAHP serta IHPA.
3)
Komunikasi
yang dilakukan oleh pemeriksa harus didokumentasikan sebagai bukti atas
persetujuan atau penolakan dari WP terkait penandatanganan BA PAHP serta IHPA.
Evaluasi Penerapan Pemeriksaan Jarak Jauh di
Direktorat Jenderal Pajak
Melakukan pemeriksaan dari jarak jauh tidaklah
sesederhana dan semudah seperti yang dibayangkan. Ada perspektif pemikiran yang
percaya bahwa pemeriksaan jauh sebenarnya lebih mudah untuk dilakukan jika
dibandingkan dengan pemeriksaan secara langsung. Perspektif ini memiliki alasan
bahwa pemeriksaan jarak jauh tidak akan mengganggu proses bisnis Wajib Pajak
(WP) (Kristin Liu, 2015). Selain itu,
melalui pemeriksaan jarak jauh pemeriksa dapat fokus pada pekerjaan yang ada
serta mengevaluasi data dan proses yang sedang dipantau.
Hal-hal tersebut di atas tentunya terdengar seperti
utopia pemeriksaan, dimana tidak ada interaksi klien langsung dan hanya
meninjau serta menguji. Jika dilihat lebih jauh, betapa sulitnya untuk meminta kesediaan
WP atau perwakilannya untuk meluangkan waktu dan bertemu dengan pemeriksa dalam
rangka menjawab semua pertanyaan terkait dengan proses pemeriksaan. Apakah ada
WP yang dengan sukarela memberikan pemeriksa akses ke dalam sistem mereka,
menjelaskan dengan rinci semua proses bisnisnya, memberikan semua dokumentasi
yang dibutuhkan oleh pemeriksa dengan responsif, serta dengan senang hati
berdiskusi dengan pemeriksa terkait dengan temuan potensial. Memang ada
beberapa WP yang akomodatif, terbuka, bersedia menyediakan waktu, data, serta
informasi yang dibutuhkan dalam rangka menyelesaikan proses pemeriksaan, tetapi
jumlahnya hanya sedikit dan jarang. Sebagian besar WP menganggap pemeriksaan sebagai
gangguan terhadap operasional sehari-hari dimana tidak ada WP atau perwakilan dari
WP yang bersedia meluangkan waktunya untuk menjelaskan kepada tim pemeriksa
tentang semua proses bisnisnya. Menurut WP, hal-hal tersebut seharusnya sudah
diketahui oleh tim pemeriksaan.
Tetapi apapun tantangannya, proses pemeriksaan tetap
harus berlangsung demi terjaganya kepatuhan WP. Tidak dapat dipungkiri kondisi
pandemi COVID-19 menyebabkan keterbatasan pada kegiatan administrasi pajak
termasuk proses pemeriksaan. Maka dari itu, DJP melalui SE-34/PJ/2020 telah mengeluarkan panduan teknis yang
salah satunya memandu tata cara melaksanakan kegiatan pemeriksaan dalam tatanan
kenormalan baru (Jaya & Supriyadi, 2021).
Maka, dalam rangka mengukur sejauh mana suatu kebijakan atau program telah
berhasil dilaksanakan perlu dilakukan evaluasi dengan beberapa kriteria. Menurut
(Dunn, 2017) terdapat beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam
rangka menghasilkan informasi terkait kinerja dari suatu kebijakan sebagaimana
dijelaskan berikut ini:
1.
Efektivitas
Adapun efektifitas berkaitan dengan apakah suatu
alternatif kebijakan yang diterapkan telah mencapai hasil sebagaimana yang
diharapkan. Sebagaimana disampaikan oleh (Ramli, n.d.) bahwa tujuan dari pemeriksaan pajak dalam Pasal 29
UU KUP dan aturan turunannya adalah: (1) melakukan pengujian kepatuhan terkait
pemenuhan kewajiban perpajakan, dan/ atau (2) tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan. Jika tujuan ini dikaitkan dengan kondisi pandemi COVID-19, dimana
terjadi pembatasan aktivitas termasuk administrasi perpajakan dan dalam rangka
mencegah penularan yang lebih luas maka dapat dikatakan bahwa kebijakan DJP
untuk mengutamakan pemeriksaan secara jarak jauh dengan memaksimalkan saluran
elektronik telah berlangsung dengan cukup efektif. Walaupun ada beberapa hal
yang tentunya tidak dapat diakomodir melalui kebijakan ini. Berdasarkan hasil
wawancara dengan beberapa narasumber, maka kebijakan ini dapat dikatakan cukup efektif
karena beberapa hal sebagai berikut:
a.
Mencegah
penularan virus COVID-19 karena pertemuan dan pembahasan antara pemeriksa dan
WP dilaksanakan dengan menggunakan platform teknologi seperti zoom. Hal ini
tentunya akan mengurangi risiko terganggu atau bahkan berhentinya proses pemeriksaan
akibat dari pemeriksa maupun WP yang tertular virus COVID-19.
b.
Penggunaan
teknologi dalam pelaksanaan pemeriksaan jarak jauh dapat memperkuat dokumentasi
dan pelaporan. Hal ini karena informasi tertentu dapat tertangkap oleh video,
gambar, audio, surat elektronik, maupun pesan sehingga akan meningkatkan
pemahaman pemeriksa. Dokumentasi ini juga sangat berguna dan penting dalam
rangka mengantisipasi upaya hukum oleh WP.
Adapun hal-hal yang dianggap kurang efektif berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa narasumber adalah sebagai
berikut:
a.
Proses
pemeriksaan secara jarak jauh dapat terganggu ketika terjadi masalah jaringan.
Selain itu, terbatasnya jumlah user
account resmi DJP untuk aplikasi zoom juga menjadi kendala tersendiri. Hal
ini menyebabkan pemeriksa harus menggunakannya secara bergantian dalam rangka
melaksanakan pertemuan dan pembahasan terkait proses pemeriksaan dengan WP.
b.
Bagaimanapun
observasi yang dilaksanakan secara langsung tetap tidak tergantikan karena
pemeriksaan jarak jauh memiliki keterbatasan dalam menangkap informasi yang
tersirat dari budaya organisasi maiupun bahasa tubuh WP.
c.
Pemeriksaan
jarak jauh menyebabkan berkurangnya interaksi langsung antara pemeriksa dan WP.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan kecurangan oleh WP dengan cara menghilangkan
informasi yang relevan maupun penyajian dokumen yang telah dimanipulasi.
d.
WP
tidak memberikan akses jarak jauh kepada pemeriksa untuk mengakses sistem
teknologi informasi yang dianggap sensitif.
2.
Efisiensi
Adapun efisiensi berkaitan dengan seberapa besar
usaha yang dibutuhkan dalam rangka mencapai hasil yang diharapkan.
a.
Melalui
penerapan kebijakan pemeriksaan jarak jauh akan terjadi penghematan waktu dan
biaya. Pada saat ini, sebagian besar dokumen dapat diakses dari mana saja
sehingga tidak perlu membuang banyak waktu dan biaya perjalanan hanya untuk
sekedar memeriksa atau menyampaikan dokumen. Penyampaian dokumen pemeriksaan ke
WP maupun dokumen yang akan dipinjam oleh pemeriksa dari WP dapat disampaikan
dalam bentuk softcopy atau hasil
pindaian melalui surat elektronik.
b.
Dengan
menerapkan dan menggunakan Compliance
Risk Management (CRM) Pemeriksaan maka identifikasi, penilaian serta
analisis risiko terhadap WP dapat dilaksanakan lebih efisien karena biaya yang
dibutuhkan realatif tidak besar.
c.
Dalam
rangka dibutuhkan informasi, bukti, maupun keterangan dapat dilaksanakan
melalui aplikasi AsIK (Akses Informasi Keuangan).
3.
Kecukupan
Adapun kecukupan berkaitan dengan sejauh mana
pencapaian dari output yang dihasilkan dapat menyelesaikan masalah. Sebagaimana
diketahui bahwa proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) sempat terhenti beberapa bulan karena merebaknya COVID-19 pada awal tahun
2020. Melalui penerapan kebijakan ini maka proses pemeriksaan dapat berjalan
kembali dalam tatanan kenormalan baru. Kebijakan ini salah satunya memberikan
panduan teknis terkait proses pemeriksaan agar dapat berjalan dengan aman dan
produktif dalam kondisi pandemi COVID-19 (Hartono, 2020).
4.
Keadilan
Adapun keadilan berkaitan dengan apakah biaya dan
manfaat telah didistribusikan secara adil kepada para pemangku kepentingan.
Adapaun pemangku kepentingan dalam hal ini adalah pemeriksa pajak dan WP.
Seluruh rangkaian proses pemeriksaan jarak jauh dalam kebijakan ini telah
diterapkan secara adil, seperti:
a.
Penggunaan
CRM Pemeriksaan untuk melakukan identifikasi, penilaian, dan analisis risiko
terhadap WP. Melalui penggunaan CRM Pemeriksaan maka akan terbentuk suatu
matriks risiko WP sehingga telah tercipta keadilan dari awal proses pemeriksaan
tersebut dilakukan.
b.
Kebijakan
ini diterapkan untuk seluruh WP yang sedang dalam proses pemeriksaan tanpa
adanya pembedaan.
c.
Kebijakan
ini juga telah diterapkan secara merata di seluruh unit vertikal DJP yang
melaksanakan proses pemeriksaan.
5.
Responsivitas
Adapun responsivitas berkaitan dengan apakah hasil
kebijakan memenuhi kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok tertentu.
a.
Pemeriksaan
jarak jauh yang mengandalkan teknologi informasi dalam rangkaian kegiatannya
tentunya jauh lebih responsif karena dapat dilaksanakan kapan saja dan dari
mana saja.
b.
Pembahasan
dengan tim Quality Assurance (QA)
dalam proses pemeriksaan juga lebih mudah dan fleksibel karena mereka tidak
perlu hadir secara fisik.
c.
Melalui
pemeriksaan secara jarak jauh, maka DJP maupun WP akan terbebas dari beban
logistik seperti ruang rapat, akomodasi, dan lain sebagainya, sehingga akan
lebih mempermudah dan mempercepat proses pemeriksaan.
6.
Kelayakan
Adapun kelayakan berkaitan dengan apakah hasil yang
diinginkan benar-benar layak atau berharga. Secara umum, kebijakan ini layak dalam
rangka beradaptasi dengan tatanan kenormalan baru. Sebelum adanya kebijakan ini
semua proses pemeriksaan terhenti, tetapi setelah kebijakan ini diterapkan oleh
DJP maka sebagian besar proses pemeriksaan dapat berlangsung kembali. Kebijakan
ini menurut pemeriksa pajak tentu masih memiliki berbagai keterbatasan dalam
penerapannya, terutama untuk kegiatan pemeriksaan yang benar-benar butuh
kunjungan ke lapangan atau tatap muka secara langsung dengan WP dalam rangka
mengumpulkan informasi yang benar dan valid.
Berikut adalah perbandingan kinerja pemeriksaan
tahun 2019 dan tahun 2020 pada saat kondisi pandemi COVID-19.
Tabel 2
Perbandingan Kinerja Pemeriksaan Tahun
2019 dan 2020
Uraian |
Realisasi 2019 |
Realisasi 2020 |
Penyelesaian
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) |
64.806 |
85.760 |
Penerimaan
dari hasil pemeriksaan dan penagihan |
Rp58,56
triliun |
Rp54,23
triliun |
Nilai Refund Discrepancy |
Rp8,22 triliun |
Rp4,03 triliun |
Efektivitas
Pemeriksaan |
94,89% |
95,29% |
Sumber: Laporan
Tahunan DJP Tahun 2019 dan 2020
Berdasarkan data
pada tabel 2 di atas, kita dapat melihat bahwa kinerja pemeriksaan pada tahun
2020 dalam kondisi pandemi COVID-19 pada beberapa indikator jauh lebih baik
dibandingkan dengan tahun 2019. Hal ini menunjukan bahwa kebijakan pemeriksaan
jarak jauh dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi sebagaimana
diatur dalam SE-34/PJ/2020 adalah layak dan berharga.
Kesimpulan
Penerapan pemeriksaan secara jarak jauh
sebagaimana diatur dalam SE-34/PJ/2020
telah berjalan cukup baik dalam rangka adaptasi terhadap tatanan kenormalan
baru. Hal tersebut dapat terlihat dari proses pemeriksaan yang dapat berjalan
kembali setelah sebelumnya sempat terhenti beberapa bulan karena merebaknya
COVID-19 pada awal tahun 2020. Tetapi, penerapan kebijakan ini belum sepenuhnya
memenuhi kebutuhan pemeriksa pajak terutama terkait pemeriksaan yang
membutuhkan tatap muka secara langsung dengan WP maupun kunjungan ke lapangan.
Adapun
hasil evaluasi penerapan pemeriksaan jarak jauh oleh Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) dengan enam kriteria evaluasi yaitu: efektivitas, dimana penggunaan
teknologi informasi dalam proses pemeriksaan jarak jauh telah dapat
mengakomodir kebutuhan pemeriksa dalam rangka melakukan pertemuan atau
pembahasan dengan WP selain tentunya mengurangi risiko penularan COVID-19.
Selain itu, teknologi juga telah membantu meningkatkan pemahaman pemeriksa
melalui informasi yang ditangkap oleh rekaman video, audio, gambar, pesan dan
surat elektronik. Adapun kebijakan pemeriksaan jarak jauh ini dirasa kurang
efektif ketika terdapat masalah jaringan, keterbatasan dalam menangkap
informasi yang tersirat, adanya potensi kecurangan oleh WP dengan memanipulasi
atau menghilangkan informasi yang relevan, serta tidak diberikannya akses
secara jarak jauh terhadap sistem teknologi informasi yang dianggap sensitif
oleh WP. Efisiensi, dimana dengan kebijakan ini terjadi penghematan waktu dan
biaya karena penyampaian dokumen dikirimkan dalam bentuk softcopy atau hasil pindaian dengan menggunakan surat elektronik.
Lalu efisiensi juga akan tercipta karena penggunaan aplikasi pendukung seperti Compliance Risk Management (CRM)
sehingga pemeriksa dapat menentukan prioritas WP yang akan diperiksa serta
aplikasi AsIK� yang dapat digunakan untuk
mengakses informasi keuangan yang memiliki hubungan dengan WP.
Selanjutnya
adalah kecukupan, dimana melalui kebijakan ini proses pemeriksaan dapat
berlangsung kembali setelah sempat terhenti karena merebaknya COVID-19. Sedangkan
keadilan tercipta karena penggunaan CRM Pemeriksaan akan membedakan mana WP
yang patuh dan tidak patuh yang pantas untuk diperiksa, selain itu kebijakan pemeriksaan
jarak jauh ini juga diterapkan terhadap semua WP dan dilaksanakan oleh semua
unit vertikal yang ada di DJP. Kriteria yang kelima adalah responsivitas,
dimana melalui pemeriksaan jarak jauh yang mengoptimalkan teknologi informasi
tentu lebih responsif karena dapat dilakukan dari mana saja dan kapan saja,
proses Quality Assurance (QA) juga
akan lebih fleksibel karena tim QA tidak perlu hadir secara fisik, selain itu
baik WP maupun DJP tidak perlu lagi terbebani dengan masalah logistik seperti akomodasi,
ruang rapat, dan lain-lain. Terakhir adalah kelayakan, dimana kebijakan ini layak
�dan berharga karena pemeriksaan dapat
berjalan kembali walaupun dengan berbagai keterbatasan. Selain itu, kebijakan
ini menunjukkan hasil yang lebih baik pada beberapa indikator seperti jumlah
penyelesaian LHP, Nilai Refund
Discrepancy, dan Efektivitas Pemeriksaan jika dibandingkan dengan tahun
2019 sebelum pandemi COVID-19 terjadi.
BIBLIOGRAFI
Abadi, C. V. L. N., & Malang, K. L. K. (2021). Buku Ajar Hukum
Acara Pengadilan Agama.
Amin, M., Saleh, A. M., & Bilfaqih, H. Z. A. (2020). Covid-19
(Corona Virus Disease 2019): Tinjauan Perspektif Keilmuan Biologi, Sosial, Dan
Agama. Inteligensia Media.
Ariyanto, S. (2022). Pengaruh Pelaksanaan Remote Audit Terhadap Kinerja
Pemeriksa Bpk Perwakilan Provinsi Riau Selama Masa Pandemi. Journal Of
Islamic Finance And Accounting Research, 1(1), 19�29.
Birnbaum, H. G., Kessler, R. C., Kelley, D., Ben‐Hamadi, R., Joish,
V. N., & Greenberg, P. E. (2010). Employer Burden Of Mild, Moderate, And Severe
Major Depressive Disorder: Mental Health Services Utilization And Costs, And
Work Performance. Depression And Anxiety, 27(1), 78�89.
Https://Doi.Org/10.1002/Da.20580
Braun, J., Pham, T., Sieper, J., Davis, J., Van Der Linden, S. J.,
Dougados, M., & Van Der Heijde, D. (2003). International Asas Consensus
Statement For The Use Of Anti-Tumour Necrosis Factor Agents In Patients With
Ankylosing Spondylitis. Annals Of The Rheumatic Diseases, 62(9),
817�824.
Budiarto, R., Putero, S. H., Suyatna, H., Astuti, P., Saptoadi, H.,
Ridwan, M. M., & Susilo, B. (2018). Pengembangan Umkm Antara Konseptual
Dan Pengalaman Praktis. Ugm Press.
Creswell, J. W. (2016). Research Design: Pendekatan Metode Kualitatif,
Kuantitatif, Dan Campuran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 5.
Dunn, W. N. (2017). Public Policy Analysis: An Integrated Approach.
Routledge.
Fitria, A. (2020). Analisis Pemahaman Wajib Pajak Umkm Tentang
Kewajiban Perpajakan Umkm Di Kecamatan Delitua. Umsu.
Ginting, D. (2022). Teori Dan Praktek Pembelajaran Berbasis Multimedia.
Media Nusa Creative (Mnc Publishing).
Hadin, A. F. (2021). Hak Cipta: Hak Eksistensi Badan Pengawasan
Keuangan Dan Pembangunan Di Era Otonomi Daerah.
Hartono, H. (2020). �Di Rumah Unika�: Diskusi Rutin Bersama Hadapi
Covid-19 Oleh Unika. Scu Knowledge Media.
Hastowibowo, T., & Bandiyono, A. (2021). Evaluasi Penilaian Untuk
Pemeriksaan Terhadap Nilai Wajar Pasar Di Masa Pandemi Covid 19. Jurnal
Pajak Dan Keuangan Negara (Pkn), 3(1), 49�63.
Hastuti, P., Harefa, D. N., & Napitupulu, J. I. M. (2020). Tinjauan
Kebijakan Pemberlakuan Lockdown, Phk, Psbb Sebagai Antisipasi Penyebaran
Covid-19 Terhadap Stabilitas Sistem Moneter. Prosiding Webinar Fakultas
Ekonomi Unimed �Strategi Dunia Usaha Menyikapi Status Indonesia Sebagai Negara
Maju: Pra Dan Pasca Covid-19,� 57�70.
Jaya, I. M. A. S., & Supriyadi, S. (2021). Efektivitas Pelaksanaan
Penagihan Pajak Di Kpp Pratama Denpasar Barat Pada Masa Pandemi Covid-19. Jurnal
Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review), 5(2), 114�123.
Jumriati, J. (2017). Pola Komunikasi Pimpinan Terhadap Kinerja Pegawai
Dinas Pemuda Dan Olahraga Kabupaten Gowa. Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Kadri Husin, S., & Budi Rizki Husin, S. (2022). Sistem Peradilan
Pidana Di Indonesia. Sinar Grafika.
Kara, R. N. (2018). Pengaruh Penggunaan Dan Kepuasan Pengguna E-Filing
Terhadap Kepatuhan Pajak.
Khoirunnisa, B. H., & Nurwulan, L. L. (2022). Pengaruh Remote
Audit, Skeptisisme Profesional Dan Kompetensi Auditor Terhadap Kualitas Audit (Survei
Pada Auditor Yang Bekerja Di Kantor Akuntan Publik (Kap) Di Wilayah Kota
Bandung Yang Terdaftar Di Institut Akuntan Publik Indonesia (Iapi)).
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis.
Kristin Liu, C. C. H. (2015). Quantum Slimming: Mengelola Pikiran Untuk
Tubuh Sehat &. Gramedia Pustaka Utama.
Lase, D., Ndraha, A., & Harefa, G. G. (2020). Persepsi Orangtua Siswa
Sekolah Dasar Di Kota Gunungsitoli Terhadap Kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh
Pada Masa Pandemi Covid-19. Sundermann: Jurnal Ilmiah Teologi, Pendidikan, Sains,
Humaniora Dan Kebudayaan, 13(2), 85�98.
Maks, R. P. S. E., & Ak, C. A. (2019). Pemeriksaan Akuntansi: Dan
Contoh Kasus Di Indonesia. Pt. Scopindo Media Pustaka.
Meihami, B., Varmaghani, Z., & Meihami, H. (2013). The Role &
Effect Of Information Technology And Communications On Performance Of
Independent Auditors (Evidences Of Audit Institutions In Iran). Interdisciplinary
Journal Of Contemporary Research In Business, 4(12), 829�849.
Monica, R., & Andi, A. (2019). Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak,
Pemeriksaan Pajak, Dan Pencairan Tunggakan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak
Badan Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serang Tahun 2012-2016. Jurnal
Riset Akuntansi Terpadu, 12(1).
Mustapha, M. M., Marsh, J. W., & Harrison, L. H. (2016). Global
Epidemiology Of Capsular Group W Meningococcal Disease (1970�2015): Multifocal
Emergence And Persistence Of Hypervirulent Sequence Type (St)-11 Clonal
Complex. Vaccine, 34(13), 1515�1523.
Mutia, S. P. T. (2014). Pengaruh Sanksi Perpajakan, Kesadaran Perpajakan,
Pelayanan Fiskus, Dan Tingkat Pemahaman Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi (Studi Empiris Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Terdaftar Di Kpp
Pratama Padang). Jurnal Akuntansi, 2(1).
Noordin, M. A., Mohtar, S., & Ahmad, F. (2014). Innovation Capability:
An Exploration Into Its Role In Determining Firm Performance. International
Journal Of Research In Social Sciences, 4(2), 551�559.
Nugrahanto, A., & Alhadi, I. (2021). A Tax Audit Quality: An Empirical
Analysis Of The Use Of Information Technology, Competence, Task Complexity And
Time Pressure. Info Artha, 5(2), 75�92.
Pranata, I., Hardika, N. S., & Hudiananingsih, P. D. (2018). Tax Audit
Analysis Of Chicago Enterprise Ltd In Preventing The Tax Lawsuit Strategies On
Dispute The Notice Of Tax Underpayment Assessment Of Income Tax Article 21 In
Tax Court Of Jakarta. Journal Of Applied Sciences In Accounting, Finance,
And Tax, 1(1), 34�40.
Rahayu, N. S. (2022). Komunikasi Pembelajaran Pada Masa Pandemi
Covid-19 (Studi Kasus Di Sma Pasundan 7 Bandung) Nyimas Sri Rahayu, Npm
208080001, Magister Ilmu Komunikasi Pasca Sarjana Universitas Pasundan Bandung.
Perpustakaan Pascasarjana.
Ramli, N. E. A. (N.D.). Implementasi Pelaksanaan Pemeriksaan Pph Pasal
21 Dalam Pencapaian Target Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi.
Rosdiana, L. (N.D.). Analisis Perancanaan Strategis Terhadap
Optimalisasi Penerimaan Pajak Penghasilan: Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Cibinong.
Septiani, N. (N.D.). Penggunaan Aplikasi Google Classroom Pada
Pembelajaran Jarak Jauh Pai Dan Budi Pekerti Di Sma It Almaka. Jakarta:
Fitk Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Serag, A. A. E., & Daoud, M. M. (2021). Remote Auditing: An
Alternative Approach To Face The Internal Audit Challenges During The Covid-19
Pandemic. الفکر المحاسبى,
25(2), 228�259.
Sharma, A., Tyagi, V. V., Chen, C. R., & Buddhi, D. (2009). Review On
Thermal Energy Storage With Phase Change Materials And Applications. Renewable
And Sustainable Energy Reviews, 13(2), 318�345.
Silitonga, D. F. (2021). Pelaksanaan Ekstensifikasi Saat Pandemi Covid 19
Di Kantor Pelayanan Pajak Abc. Balance Vocation Accounting Journal, 5(1),
12�26.
Sleebos, J. (2003). Low Fertility Rates In Oecd Countries: Facts And
Policy Responses.
Sujono, R. I., & Layli, M. (N.D.). Peran Pembangunan Berkelanjutan
Dalam Pengentasan Kemiskinan Dan Pengangguran. Ekonomi Sirkular Dan
Pembangunan Berkelanjutan, 185.
Supono, T., & Tambunan, W. (2021). Kesiapan Penerapan Protokol
Kesehatan Di Lingkungan Sekolah Dasar Pangudi Luhur Jakarta Selatan. Jurnal
Manajemen Pendidikan, 10(2), 57�65.
Wahyuni, A., Kusuma, K. A., Mursyidah, L., & Muslih, M. (2023).
Refleksi Akhir Tahun Akademisi Umsida 2021 Merekam Jejak Kebijaksanaan Di Ujung
Masa Pandemi. Umsida Press, 1�96.
Wijaya, S., & Illahi, Y. W. (N.D.). Ketentuan Umum Perpajakan:
Perlukah Pemeriksaan Ulang? Guepedia.
Wulansari, A. (N.D.). Manajemen Strategi Sekolah Dasar Islam.
Jakarta: Fitk Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Copyright
holder: Shopan J. Endrawan dan
Gunadi (2023) |
First
publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia |
This
article is licensed under: |