Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

URGENSI PENGATURAN ZONA TAMBAHAN DAN IMPLIKASINYA KEPADA INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

 

Wilshen Leatemia, Ricky Marthen Wattimena, Welly Angela Riry, Rony Soplantila

Fakultas Hukum, Universitas Pattimura, Ambon, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Zona tambahan merupakan suatu zona atau wilayah yang terdapat pada Konvensi Hukum Laut 1982. Adanya zona tambahan memungkinkan suatu negara pantai agar dapat mencegah dan menghukum kejahatan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangannya di bidang bea cukai, imigrasi, fiskal dan saniter. Zona tambahan merupakan zona transisi yang bermanfaat bagi Indonesia sebagai suatu negara kepulauan. Penelitian dilakukan menggunakan metode yuridis normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum yang mempunyai keterkaitan dengan masalah yang diteliti. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa zona tambahan mempunyai kedudukan yang strategis untuk mencegah dan menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, imigrasi, fiskal, dan saniter. Zona tambahan merupakan zona transisi antara laut teritorial dan zona ekonomi eksklusif dan dalam perkembangannya zona ini tenggelam diantara pranata hukum laut yang lainnya. Indonesia sampai saat ini belum mengatur mengenai zona tambahan dalam undang-undang tersendiri. Implikasi adanya zona tambahan bagi bangsa Indonesia adalah adanya keharusan untuk mengatur zona tambahan Indonesia dalam peraturan perundang-undangan dan pelaksanaan yurisdiksi negara Indonesia di laut.

 

Kata Kunci: Zona Tambahan, Yurisdiksi, Undang-Undang

 

Abstract

Contiguous zone is a zone or area contained in the 1982 Law of the Sea Convention. The existence of an contiguous zone allows a coastal state to prevent and punish crimes against violations of its laws and regulations in the fields of customs, immigration, fiscal and sanitary. Contiguous zone is a transition zone which is beneficial for Indonesia as an archipelagic country. The research was conducted using a normative juridical method by examining legal materials that have relevance to the problem under study. The results of the study show that the contiguous zone has a strategic position to prevent and punish violations of laws and regulations in the fields of customs, immigration, fiscal, and sanitary ware. Contiguous zone is a transition zone between the territorial sea and the exclusive economic zone and in its development this zone is submerged among other marine law institutions. Indonesia has not yet regulated contiguous zones in a separate law. The implication of the existence of an contiguous zone for the Indonesian people is the necessity to regulate Indonesia's contiguous zone in the laws and regulations and the implementation of the jurisdiction of the Indonesian state at sea.

 

Keywords: Contiguous zone, Jurisdiction, Constitution

 

Pendahuluan

Bagi bangsa Indonesia laut merupakan bagian dari wilayah negara yang harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya baik untuk kepentingan pertahanan negara maupun untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Untuk itu sangatlah diperlukan pengaturan yang baik oleh Indonesia terkait dengan laut yang dimilikinya karena Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya kelautan serta memiliki potensi strategis sebagai jalan silang dunia antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah mencapai 5.193.250 km. Terdiri dari 2.027.087 km berupa daratan dan 3.166.163 km berupa lautan (Sudirman Saat, 2009). Letak geografis Indonesia yang berada di antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik telah menempatkan Indonesia pada posisi strategis ditinjau dari segi ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Dalam hal ini, pengaturan batas-batas wilayah laut, pengawasan dan penegakan hukum menjadi suatu yang mutlak dilakukan. Luasnya wilayah laut Indonesia membuka peluang yang besar untuk terjadinya pelanggaran hukum terkhususnya pada wilayah laut Indonesia karena Indonesia kaya akan sumber daya kelautan (Leatemia, 2021)

Posisi dan sumber daya kelautan tersebut juga menempatkan Indonesia menjadi sangat penting bagi negara-negara dari berbagai kawasan.Namum, posisi strategis ini selain merupakan peluang sekaligus kendala bagi bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bangsa karena disamping memberikan dampak yang menguntungkan sekaligus juga dapat mengancam kepentingan negara Indonesia, sehingga menimbulkan permasalahan yang kompleks baik masalah yang berkaitan dengan bidang keamanan, hukum, ekonomi, maupun pertahanan negara. Ancaman atau permasalahan yang dapat timbul karena sebagai negara yang memiliki sumber daya kelautan yang sangat kaya dan beragam, maka sangat terbuka kemungkinan terpancingnya pihak-pihak tertentu untuk memanfaatkan secara ilegal sumber daya kelautan tersebut. Terlebih lagi mengingat tidak semua negara mempunyai laut yang cukup bagi kepentingan ekonominya, sehingga negara-negara lainnya akan berupaya untuk mendapatkan sumber daya alam dari laut secara ilegal (Purnomo, 2004).

Kepentingan indonesia atas laut adalah perlu dilindungi dan diamankan dari kemungkinan pemanfaatan yang merugikan bangsa dan negara Indonesia. Demikian juga ancaman dan gangguan yang mungkin timbul perlu diantisipasi agar upaya untuk memanfaatkan laut sebesar-besarnya demi terwujudnya keamanan di laut dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia dapat terjaga dan terjamin. Untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia di laut telah dilakukan pemantapan landasan hukum yang mengatur wilayah perairan Indonesia antara lain dengan mencabut Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia. Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, � wilayah perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan dan perairan pedalaman serta ruang udara di atas laut teritorial dan perairan pedalaman serta dasar laut dan tanah di dalamnya�. Penetapan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1996 ini dilakukan karena Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Hukum Laut (United Nation Convention on the Law of the Sea) 1982. UNCLOS 1982 telah membagi laut ke dalam dua bagian yaitu yang berada di bawah dan di luat yurisdiksi nasional, dengan rincian sebagai berikut:

1.     Berada di bawah kedaulatan penuh negara (soverignty): perairan pedalamanm perairan kepulauan dan laut teritorial;

2.     Negara memiliki yurisdiksi khusus (control) : zona tambahan;

3.     Negara memiliki hak-hak eksklusif dan yurisdiksi terbatas (soverign rights and jurisdiction) : zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen;

4.     Tunduk pada prinsip kebebasan di laut lepas (freedom of the high sea) : laut lepas dan;

5.     Dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia (common heritage of mankind) : dasat laut samudera dalam diluar yurisdiksi nasional (BPHN).

Implikasi dari diratifikasinya Konvensi Hukum Laut 1982 membutuhkan adanya implementasi pada tingkat nasional. Implementasi pada tingkat nasional meliputi (Etty R Agoes, 2004):

1.     Pengintegrasian ketentuan-ketentuan Konvensi ke dalam peraturan perundang-undangan nasional;

2.     Penerapan ketentuan-ketentuan tersebut melalui adminitrasi pemerintahan;

3.     Penetapan kebijakan pengelolaan laut secara terintegrasi dan;

4.     Kerjsama dengan negara-negara lain dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996, maka wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 4 bagian yakni laut pedalaman atau perairan kepulauan, laut teritorial sejauh 12 mil, zona tambahan sejauh 24 mil dan zona ekonomi esklusif (ZEE) sejauh 200 mil. Untuk melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridikasi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap wilayah perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang mengatur tentang zona tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran bea cukai, imigrasi, fiskal dan saniter.Hal ini penting, karena zona tambahan Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan laut teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil laut dari garis pangkal lurus kepulauan. Dapatlah dikatakan zona tambahan merupakan zona transisi antara laut lepas dan laut wilayah. Zona tambahan ini belum lama umurnya dalam sistem hukum laut dan zona ini berfungsi mengurangi kontras antar laut wilayah yang rezimnya tunduk seluruhnya pada kedaulatan negara pantai dan laut lepas dimana terdapat rezim kebebasan (Mauna, 2003)

Zona tambahan di dalam Pasal 33 ayat (1) Konvensi Hukum Laut 1982 dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk :

1.     Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter;

2.     Menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut di atas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya.

Menurut Pasal 33 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan tidak dapat melebihi lebih dari 24 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut wilayah diukur. Oleh karena konvensi dalam pasal 3 telah menetapkan bahwa lebar laut wilayah adalah 12 mil, maka dengan sendirinya lebar zona tambahan menjadi 24 mil. Dengan demikian jelaslah bahwa negara pantai mula-mula mempunyai kedaulatan atas laut wilayahnya selebar 12 mil dan sesudah itu wewenang-wewenang tertentu atas zona tambahannya selebar 12 mil pula (Koers, 1994)

Menurut Hasyim Djalal, mengenai zona tambahan (contiguous zone)Sepanjang yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada satupun batas yang ditetapkan dengan negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang belum lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh negara tetangga Indonesia telah mengundangkannya (Djalal, 1998). Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan mengenai ketentuan contiguous zone ini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan negara-negara tetangga. Urgensi untuk memiliki batas-batas yang pasti tentang wilayah dan yurisdiksi Indonesia di laut tersebut semakin tampak ketika banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran ketentuan hukum Indonesia terkhusunya pada wilayah laut yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga. Selain itu akhir-akhir itu semakin marak terjadinya atau dilakukannya kejahatan melalui laut, seperti peredaran obat terlarang (drug trafficking), penyelundupan (smuggling), perdangangan wanita dan anak (woman and children trafficking), migrasi ilegal (illegal migrant), perompakan (armed robbery), pembajakan laut (maritime piracy), penyelundupan senjata (arms smuggling) dan terorisme yang membuat rumitnya upaya-upaya untuk menjamin kemanan di laut (Handoko, 2004). Pentingnya penetapan zona tambahan di Indonesia karena banyaknya permasalahan baik dari bidang bea cukai, fiskal, imigrasi dan sanitasi yang perlu untuk segera ditanggulangi dengan peraturan hukum yang jelas dan konkret. Ketentuan rezim zona tambahan untuk penegakan hukum oleh aparat penegak hukum tidak disebutkan secara rinci dan jelas dalam undang-undang atau peraturan terkait lainnya (Sirodjuddin, 2021).

 

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif (Soekanto, 1985), dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum yang mempunyai keterkaitan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, berupa pendapat sarjana, dan bahan hukum tersier, berupa dokumen pemerintahan. Bahan-bahan hukum yang terkumpul dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan kesimpulan yang akurat.

 

Hasil dan Pembahasan

Urgensi Penetapan Zona Tambahan Dalam Hukum Nasional

Menurut Boer Mauna, mengenai urgensi adanya zona zona tambahan, wewenang negara pantai terhadap zona tambahan, bahwa negara-negara pantai melaksanakan pengawasan-pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiscal, imigrasi, dan saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya. Pengawasan itu dapat dilengkapi dengan tindakan-tindakan pemberantasan dan negara-negara pantai dapat menghukum para pelanggar peraturan perundang-undangan tersebut (Mauna, 2003). Dalam hal ini di luar laut teritorialnya, dalam suatu jalur/zona yang berbatasan dengannya yang disebut zona tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran terhadap perundang-undangannya. Konvensi Hukum Laut 1982 mengandung ketentuan tambahan tentang zona tambahan khususnya dalam Pasal 303 ayat (2) yang menetapkan bahwa kewajiban suatu negara pantai berdasarkan ketentuan Pasal 33 tersebut di atas, untuk melindungi benda-benda purbakala dan benda-benda bersejarah yang ditemukan di laut. Untuk menerapkan ketentuan Pasal 33 tersebut dan untuk mengendalikan peredarannya, pengambilan benda-benda demikian di dasar laut zona tambahannya, dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran di dalam wilayah atau laut teritorialnya dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangannya.

Dengan mulai diakuinya pranata hukum laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), maka zona tambahan ini bertumpang tindih dengan zona tersebut. Lebih tepatnya bertumpang tindih dengan ZEE seluas 12 mil laut yang diluar dan berbatasan dengan laut teritorial. Pada Zona Ekonomi Eksklusif, negara pantai dapat memiliki yurisdiksi-yurisdiksi yang sifatnya eksklusif, yakni yurisdiksi untuk membuat, memberlakukan, dan melaksanakan serta memaksakan hukum atau peraturan perundang-undangan nasionalnya. Pada zona ekonomi eksklusif juga tetap berlaku peraturan hukum laut internasional, hak- hak dan kewajiban, serta kebebasan-kebebasan negara-negara lain. Dengan status dan kondisi zona ekonomi eksklusif seperti ini, tampaklah bahwa pranata hukum laut yang bernama zona tambahan ini seperti tenggelam di antara dan di tengah-tengah pranata hukum laut lainnya (Parthiana, 2014). Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar zona tambahan Indonesia yang saling tumpang tindih dengan negara tetangga.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan memang telah memuat mengenai zona tambahan. Namun undang-undang ini hanya mengatur secara umum tentang zona tambahan Indonesia. Penetapan batas zona tambahan ini sangat penting bagi Indonesia karena belakangan ini banyak sekali terjadi pelanggaran-pelanggaran peraturan perundang-undangan di laut seperti:

1.     Di bidang imigrasi : Indonesia sering dijadikan sebagai tempat singgah imigran-imigran gelap yang hendak melakukan perjalanan ke negara-negara yang bertetangga dengan Indonesia. Banyak sekali kasus-kasus imigran gelap yang ditangkap di perairan Indonesia karena tidak memiliki dokumen-dokumen identitas diri yang lengkap. Para imigran gelap ini ditangkap karena hendak menyelundupkan diri ke negara-negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia

2.     Di bidang bea cukai: banyak sekali terjadi kasus penyelundupan-penyelundupan minuman keras dan juga narkotika lewat periaran Indonesia. Penyelundupan narkotika dan minuman keras ini berasal dari negara-negara asing yang hendak diselundupkan masuk ke dalam wilayah Indonesia untuk diperjualbelikan. Hal ini tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia karena merusak generasi muda bangsa Indonesia

3.     Di bidang kesehatan/saniter : saat ini industri minyak dunia telah berkembang pesat sehingga kecelakaan-kecelakaan kapal pengangkut minyak yang mengakibatkan tercecernya minyak di laut tidak dapat dielakan. Banyak pengiriman yang dilakukan melalui laut tentu saja ini sangat membawa kerugian apabila kapal pengangkut minyak tenggelam dalam perairan Indonesia. Tercemarnya wilayah laut Indonesia tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia karena merusak ekosistem laut wilayah Indonesia

4.     Di bidang perpajakan/fiskal : praktek penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan oleh kapal-kapal ikan berbendara asing di perairan Indonsia tentu saja sangat merugikan bangsa Indonesia. Indonesia sangat dirugikan karena pencurian-pencurian ikan ini menyebabkan Indonesia mengalami kerugian triliun rupiah setiap tahunnya.

Hal ini tentu saja dapat menyebabkan Indonesia dalam posisi yang terancam karena Indonesia adalah negara yang sangat strategis kedudukannya sehingga tanpa adanya pengaturan yang jelas mengenai zona tambahan Indonesia dengan negara-negara yang berbatasan langsung maka Indonesia berada dalam posisi yang sangat terancam karena laut Indonesia sangat kaya akan sumber daya sehingga praktek-praktek illegal fishing tidak dapat dihindari oleh Indonesia. Penetapan undang-undang mengenai zona tambahan ini sangat penting sebagai upaya penegakan hukum di seluruh laut wilayah Indonesia, terutama guna mencegah dan menghindari segala tindak pidana dan pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi di dan lewat wilayah perairan Indonesia, atau setidak-tidaknya mengurangi terjadinya tindak pidana dan pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan Indonesia di bidang bea cukai, imigrasi, fiscal, dan saniter. Dari berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, masih banyaknya perundangundangan nasional yang belum sepenuhnya mengakomodir akan adanya normanorma mengenai Zona Tambahan sehingga yang menjadi urgensi adalah perlunya zona tambahan dibuatkan undang-undang tersendiri agar menjadi sebuah kejelasan akan pengaturan zona tambahan di Indonesia (Lubis, G.A, 2019).

Implikasi Bagi Indonesia Sebagai Negara Kepulauan

Suatu negara yang sudah menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian internasional pada umumnya, untuk kemudian memberlakukan ke dalam dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasionalnya, akan menimbulkan implikasi terhadap hukum atau peraturan perundang-undangan negara yang bersangkutan. Implikasi tersebut adalah terhadap peraturan perundang-udnangannya yang memiliki hubungan dengan substansi perjanjian internasional itu sendiri. Negara juga berkewajiban untuk melakukan harmonisasi hukum nasional dengan hukum internasional (Salsabila, 2021). Dalam hubungan dengan Konvensi Hukum Laut 1982, sudah dipastikan bahwa akan menimbulkan implikasi yang cukup besar terhadap hukum nasional pada umumnya dan terhadap hukum laut nasional pada khususnya dari negara-negara pihak/peserta, dan secara lebih khusus terhadap hukum nasional negara-negara pantai (coastal states) (Parthiana, 2014) dalam hal ini Indonesia perlu untuk membuat peraturan perundang-undangan yang baru, keharusan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam konvensi, dan wajib menerapkan secara langsung ketentuan yang diatur di dalam konvensi. Implikasi dari adanya konsepsi zona tambahan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 terkait aspek keamanan dan ketertiban di wilayah perairan Indonesia. Hal ini penting karena (Harahap, 1983):

1.     Indonesia merupakan negara nusantara yang terletak antara dua samudera dan dua persimpangan jalur lalu lintas yang padat dan sibuk;

2.     Adanya alur-alur pelayaran internasional di Indonesia yang dilalui oleh kapal-kapal asing yang datang dari seluruh penjuru dunia;

3.     Padatnya lalu lintas di wilayah laut Indonesia bukan saja disebabkan oleh kapal-kapal dagang, tetapi oleh kapal-kapal nelayan, kapal tangki, kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal perang yang masing-masing mempunyai status hukum tersendiri;

4.     Perlunya yurisdiksi kriminal diterapkan terhadap kapal-kapal asing guna mencegah terganggunya keamanan dan ketertiban di perairan nusantara

Upaya menjaga keamanan dan ketertian di wilayah perairan Indonesia dilakukan melalui pelaksanaan yurisdiksi. Dalam hal ini yurisdiksi diartikan sebagai kewenangan suatu negara yang berdaulat untuk menerapkan suatu ketentuan hukum, baik atas orang maupun benda yang dapat ditundukan oleh hukum nasional yang bersangkutan (Samekto, 2009). Yurisdiksi merupakan bagian dari kedaulatan negara yang mencakup hak dan kekuasaan untuk menhalankan segala tindakan di dalam wilayahnya (darat, laut, dan udara). Dalam konteks pembahasan mengenai implikasiterkait pengaturan zona tambahan, penulis membahas pembahasan pada yurisdiksi teritorial dan pengejaran seketika terhadap kapal yang melakukan pelanggaran di laut pedalaman atau perairan kepulauan yang melarikan diri ke zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, dan laut bebas. Hal ini terkait dengan masalah yurisdiksi di laut yang meliputi laut pedalaman atau perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif maupun landas kontinen dan laut bebas.

Suatu negara mempunyai kedaulatan di dalam lingkungan tapal batas wilayahnya termasuk perairan pedalaman, perairan kepulauan maupun laut teritorialnya. Kapal niaga asing beserta semua orang yang berada di atasnya berada di bawah yurisidiksi negara pantai selama berada di dalam perairan pedalaman atau perairan kepulauan maupun laut teritorialnya. Akan tetapi pada umumnya negara pantai tidak menginginkan untuk mencampuri hak dan kewajiban yang berlangsung di atas kapal asing itu selama tidak ada penduduk negara itu yang terlibat atau mengakibatkan gangguan keamanan dan ketertiban negara pantai. Khusus pada laut wilayah, negara pantai dapat melaksanakan yurisdiksi kriminalnya apabila memenuhi persyaratan, antara lain:

1.     Akibat perbuatan pidana itu meluas ke negara pantai;

2.     Jenis kejahatan yang dilakukan dapat menggangu keamanan negara atau dapat menganggu ketertiban di laut teritorial;

3.     Telah diminta bantuan otoritas setempat oleh nahkoda atau oleh konsul negara bendera;

4.     Tindakan perlu untuk memberantas lalu lintas narkotika.

Yurisdiksi suatu negara pantai terutama dalam pemberantasan kejahatan dapat diperluas ke laut bebas. Perluasan yurisdiksi ini dapat dibenarkan karena dua hal yaitu (Harahap, 1983):

1.     Pertama, bahwa sifat delik itu sendiri yang merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia seperti yang ditetapkan oleh hukum internasional. Meskipun delik terjadi di laut bebas negara pantai, negara mana pun berhak menindaknya tanpa memandang kewarganegaraan pembuatnya. Kejahatan tersebut ialah pembajakan di laut bebas, pengangkutan dan perdagangan budak berlian, serta pengangkutan dan perdagangan obat bius.

2.     Kedua adalah pengejaran seketika. Hal ini merupakan suatu tindakan terhadap kapal asing yang telah lama dipraktekan oleh Amerika Serikat dan Inggris sebagai tindakan untuk melindungi keuangan negara yang mencegah pemasukan barang-barang yang tidak sah ke dalam negeri. Tindakan ini juga dapat diambil terhadap kapal atau awaknya yang telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum di laut wilayah yang kemudian melarikan diri ke laut bebas

Pengejaran seketika dilakukan secara terus menerus dan tidak terputus terhadap kapal yang melakukan pelanggaran perundang-undangan nasional, baik pada saat kapal berada di laut pedalaman atau perairan kepulauan dan laut teritorial. Dalam hal ini kapal TNI AL dapat melakukan pengejaran seketika sampai kapal memasuki zona tambahan, zona ekonomi eksklusif maupun sampai ke laut bebas. Demikian halnya dengan kapal pada saat berada di laut bebas hendak memasuki zona ekonomi eksklusif dan pada saat berada di zona tambahan diketahui melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, maka apabila kapal tersebut diberikan peringatan dan melarikan diri ke zona ekonomi eksklusif dapat dilakukan pengejaran seketika sampai ke laut bebas.

 

Kesimpulan

Kedudukan zona tambahan pada pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 berada pada posisi penghubung antara laut teritorial dengan wilayah laut yang tunduk pada rezim hukum zona ekonomi eksklusif. Pengaturan zona tambahan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 mengalami tumpang tindih dengan rezim zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen, akan tetapi adanya zona tambahan memiliki urgensi penting bagi Indonesia sebagai negara kepulauan karena dapat menangkal pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiscal, imigrasi, dan saniter. Kemudian dapat mencegah penggunaan laut bagi kepentingan asing yang membahayakan keamanan dan ketertiban nasional Indonesia. Implikasi hukum dari pengaturan zona tambahan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dapat berupa keharusan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan nasional yang terkait dengan kepabeanan, perpajakan, imigrasi, maupun kesehatan yang menjangkau keberlakuaanya pada zona tambahan maupun penegakan hukum di laut dan pelaksanaan yurisdiksi negara di laut pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial serta kesiapan dalam pelaksanaan pengejaran seketika ketika kapal melarikan diri ke arah laut lepas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Albert Koers. (1994). Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gadjahmada University Press, Yogyakarta

 

Boer Mauna. (2003).Hukum Internasional Pengertian, Peranan, Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung.

 

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI; Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Zona Tambahan (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985)

 

Didik Heru Purnomo. (2004). Pengamanan Wilayah Laut Indonesia, Jurnal Hukum Internasional, Desember

 

Etty R Agoes. (2004). Implementasi Nasional Konvensi Hukum Laut 1982 : Evaluasi Implementasi Nasional dan Tantangan ke Depan, Departemen Luar Negeri, Hotel Hyatt-Regency,Desember, Yogyakarta

 

Fx Adji Samekto. (2009). Negara Dalam Hukum Internasional, Citra Aditya Abakti, Bandung

 

Hasyim Djalal, Aspek Politis dan Yuridis Konsepsi Benua Maritim Indonesia, Makalah disampaikan pada Kongres Kerdirgantaraan Nasional Pertama, Jakarta

 

I Wayan Parthiana. (2014).Hukum Laut Internasional danHukum Laut Indonesia, Yrama Widya, Bandung

 

Leatemia, W., & Wattimena, R. M. (2021). Problematika Hukum dalam Penanggulangan Illegal Fishing Di Provinsi Kepulauan Maluku. Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia6(11), 5964-5978.

 

Lubis, G. A. (2019). Implementasi dan Urgensi Pengaturan Zona Tambahan di Wilayah Perairan Indonesia Berdasarkan United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982. Jurist-Diction2(5), 1707-1722.

 

Mustafa Djuang Harahap. (1983). Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia Yang Berkaitan Dengan Hukum Internasional, Alumni

 

NIM, R. A. S. Urgensi Pembuatan Peraturan Perundang-Undangan Zona Tambahan Menurut United Nations Convention On The Law Of The Sea (Unclos) 1982 (Pasal 33) Terhadap Pelanggaran Di Bidang Bea CukaiJurnal Fatwa Hukum4(4).

 

Sirodjuddin; Warka, Made; Suhartono, Slamet; Setyadji, Sri. (2021). The importance of determining the contiguous zone related to the authority of Indonesian Navy. Technium Soc. Sci. J.19, 297.

 

Soejono Seokanto dan Sri Mamuji. (1985). Penelitian Hukum Normatif, Radjawali, Jakarta

 

Sudirman Saat. (2009). Hak Pemeliharaan dan Penangkap Ikan, Eksisten dan Prospek Pengaturannya di Indonesia, LkiS, Yogyakarta.

 

Wignyo Handoko. (2004). Kebijakan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Jurnal Hukum Internasional, Edisi Khusus, dan lihat juga Fredy B.L Tobing, Peran Negara Dalam Menangani Isu Bajak Laut yang Bersifat Transnasional di Asia Tenggara

������������������������������������������������

Copyright holder:

Wilshen Leatemia, Ricky Marthen Wattimena, Welly Angela Riry, Rony Soplantila (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: