Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 9, September 2022
STRATEGI KOMUNIKASI
POLITIK POLITISI PEREMPUAN
Mesakh Mirin
LSPR Institute
of Communication & Business, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini mencoba mengetahui
standpoint para politisi perempuan
petahana di Jawa Tengah. Sebab
tidak mudah perempuan mempertahankan posisi struktural di lingkaran perpolitikkan dan perlu sebuah strategi serta taktik khusus
untuk mengatur keseluruhanya. Sumber data penelitian diperoleh dari sumber primer dan sumber sekunder. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan melalui beberapa metode yaitu wawancara
mendalam baik secara langsung maupun secara virtual dan dokumentasi yang ditemukan di
internet. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa untuk terpilih kembali menjadi politisi partisan perempuan harus meningkatkan loyalitas pemilik suara dan pengusung partai melalui berbagai cara yang tepat. Merawat politisi perempuan di lingkungan pribadi dan lingkungan keluarga sedangkan politisi perempuan mendirikan lembaga aktif sebagai
Dewan Pengurus Daerah (DPD). Menciptakan
kebersamaan bukan hanya reses para politisi yang
juga melakukan kegiatan melalui organisasi \/ komunitas di masyarakat, publisitas media juga disesuaikan
dengan kondisi daerah pemilihan (dapil) karena tidak
semua konstituen bisa mengakses media. Politisi perempuan juga melibatkan kerabat dari kerabat terdekat
ketika menerapkan seni kompromi untuk
bisa mendapatkan banyak suara jika
masa "pileg" tiba.
Membangun konsensus politisi perempuan mengajak kolaborasi calon kabupaten atau kota untuk
meningkatkan jumlah suara.
Kata kunci : komunikasi;
politik; politisi perempuan
Abstract
This study tries to find out the standpoint of incumbent female
politicians in Central Java. Because it is not easy for women to maintain a
structural position in the political circle and requires a special strategy and
tactics to manage the whole thing. Sources of research data obtained from
primary sources and secondary sources. While the data collection techniques
were carried out through several methods, namely in-depth interviews both
directly and virtually and documentation found on the internet. The results of
this study found that to be re-elected as partisan politicians, women must
increase the loyalty of voice owners and party bearers through various
appropriate ways. Caring for female politicians in their personal and family
circles, while female politicians establish an active institution as the
Regional Executive Board (DPD). Creating togetherness is not only a recess for
politicians who also carry out activities through community / community
organizations, media publicity is also adjusted to the conditions of the
electoral district (dapil) because not all
constituents can access the media. Female politicians also involve relatives of
the closest relatives when applying the art of compromise to be able to get a
lot of votes when the "pileg" period
arrives. Consensus building for women politicians invites collaboration of district
or city candidates to increase the number of votes.
Keywords: communication;
political; female politician
Pendahuluan
Budaya patriarki
menempatkan perempuan pada posisi yang lebih mengutamakan peran-peran domestik.
Perempuan dibebani tanggung jawab yang lebih besar dalam pengurusan rumah
tangga (home maker), perawatan, pengasuhan dan pendidikan anak dan penjaga
moral (Sihete, 2007).� Umumnya di berbagai belahan dunia masih
menghormati budaya patriarki, dan partisipasi perempuan di ruang publik masih
minim. Dominasi laki-laki� dalam� politik�
menunjukkan� kuatnya� budaya�
patriarki� yang seolah memberi garisan
tegas bahwa antara perempuan dan politik, merupakan dua dunia yang berbeda
dan� tidak mungkin� saling�
bersinergi satu� dengan� yang�
lainnya (Wahyudi, 2018). Banyaknya
politisi� laki-laki� yang�
masih� dianggap� lebih�
berkompeten� dibanding� perempuan�
bisa� menjadi salah�� satu��
faktor�� keterwakilan�� perempuan��
rendah.�� Tidak�� hanya��
politisi�� laki-laki�� yang menganggapnya�� demikian,��
perempuan�� sendiri�� menganggap��
laki-laki�� lebih�� berkompeten dibanding perempuan (Susilo & Nisa, 2019).
Perempuan���� dalam����
kancah���� politik memangtidak
gampang karena budaya partiarki yang�
masih� mendominasi� sehingga�
komunikasi pun� terkadang� menjadi�
kendala. Keterwakilan perempuan�
di� parlemen� yang�
sangat� timpang sebenarnya� bukan�
disebabkan� oleh� perbedaan seks�� (kodrat��
atau�� takdir),�� tetapi��
lebih�� pada perbedaan� gender�
(konstruksi� sosial).� Hal�
ini karena� adanya� persepsi�
dan� konstruksi� sosial yang�
menutup� akses� kaum�
perempuan� untuk lebih� banyak�
berkiprah� dalam� bidang�
politik (Agustina, 2009).
Kesadaran akan
pentingnya kesetaraan gender di Amerika Serikat berkembang pesat setelah
terbitnya �Women as Subjects� pada tahun 1869 oleh John Stuart Mill, yang
diilhami oleh istrinya Harriet Taylor. Bahkan negara demokrasi sebesar Amerika
Serikat telah mampu memilih perempuan selama 144 tahun sejak kemerdekaannya (Haqsaleh
& Ashadi, 2021).
Kesadaran
politik perempuan berdasarkan sejarah Indonesia. Setelah kongres perempuan
pertama diadakan di Yogyakarta pada tahun 1928, itu berkembang, dan pada tahun
1955, ketika mereka memiliki hak untuk memilih dan dipilih, kesadaran politik
ditunjukkan melalui partisipasi nyata dan pelaksanaan hak-hak politik
perempuan. Pengakuan hak-hak perempuan yang setara dengan laki-laki, dalam
kehidupan bernegara dan pemerintahan di Indonesia, diketahui dengan jelas bahwa
pengakuan ini diwujudkan dengan disetujuinya berbagai dokumen hukum dan
berbagai perjanjian yang mengukuhkan hak-hak politik mereka.
Terlihat bahwa
wanita selalu berjuang agar suaranya didengar dan diwujudkan dalam kehidupan.
Diskriminasi terhadap perempuan sudah ada sejak lama. Kehadiran patriarki dalam
masyarakat menciptakan persepsi bahwa laki-laki dominan di semua lapisan masyarakat (Silviani,
Bafadhal, & Elsi, 2021). Perbedaan karakter, status dan
kekuasaan antara laki-laki dan perempuan telah dipraktikkan dalam masyarakat
secara turun-temurun. Ketidakadilan ini memanifestasikan dirinya dalam
stereotip, marginalisasi, penaklukan dan bahkan kekerasan terhadap perempuan.
Fenomena
perempuan berkecimpung dalam ranah politik sudah tidak asing bagi masyarakat (Jeumpa,
2016). Secara
global para perempuan sudah menyerukan kesetaraan berpolitik melalui Convention
on Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW)
negara-negara anggota Perkumpulan Bangsa-Bangsa (PBB) melaksanakan konvensi persamaan
hak bagi peremuan dan laki-laki disegala aspek kehidupan dimana salah satu
bentuk implentasi keputusannya berupa keterwakilan kaum perempuan dalam
lingkaran politik (Rasyidin & Fidhia, 2016). Kegiatan
politik secara alami bukan termasuk lahan yang diminati perempuan secara umum (White & Naafs, 2012). Di Indonesia
beberapa nama politisi perempuan mulai bermunculan di panggung politik, bahkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pernah dipimpin oleh Megawati
Soekarno Putri selaku Presiden perempuan pertama di Indonesia sekaligus
Presiden RI ke-empat pada periode jabatan 2001-2004.
Menjadikan
important point bagi para aktivis perempuan khususnya mereka yang memiliki
skill and passion di ranah perpolitikkan untuk menyuarakan ide ataupun gagasan
besarnya terkait isu-isu keperempuanan dengan cara mencalonkan dirinya sebagai
kontestan politik. Keberadaan perempuan dalam hal mempunyai akses berpolitik
sangat diperlukan sebagai wakil dari para perempuan lain sehingga
kepentingan-kepentingan kaum perempuan dapat diperjuangkan (Manuahe, Lapian, & Kairupan, 2017). Pada pemilihan
umum (pemilu) tahun 1999 para aktivis perempuan Indonesia di parlemen mencoba
melempar poin penting mengenai kuota perempuan. Sampai pada akhirnya gayung
bersambut dengan adanya affirmative action. Adanya affirmative action dapat
digunakan sebagai salah salah satu pintu pembuka kelahiran politik ramah
perempuan. Perlu menjadi catatan bagi aktivis perempuan dengan booming-nya
affirmative action jangan dianggap formalitas semata. Partisipasi politik
perempuan merupakan dua kata yang acapkali dijadikan slogan oleh partai politik
menjelang pemilu (Dhafir, 2012).
Pada pemilu 2019
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan hasil rekapitulasi data Daftar Pemilih
Tetap (DPT) dengan jumlah total 187.781.884 orang, hasil campuran pemilih
laki-laki sebanyak 92.802.671 sedangkan pemilih perempuan 92.929.422. Bila
dicermati pemilih perempuan lebih banyak dibandingkan pemilih laki-laki dan
menjadi unsur menarik apabila politisi perempuan mampu mengajak sesama pemilih
perempuan agar memenangkannya diperhelatan pemilu akbar selanjutnya.
Keterwakilan perempuan dalam bidang politik diperlukan untuk memperjuangkan
problematika yang sering menimpa kaum perempuan (Setiawan, 2019). Maraknya kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), minimnya upah buruh perempuan, hak cuti
buruh perempuan ketika menstruasi, hamil, melahirkan hingga menyusui, angka
kematian tinggi ibu melahirkan dan isu-isu pokok berkaitan dengan perempuan
wajib disuarakan sesama perempuan. Baik itu melalui kebijakan diranah parlemen
ataupun level bawah dengan metode demonstrasi. Melalui lembaga politik kaum
perempuan dapat mencurahkan sebagian besar energi, waktu dan pikirannya dalam
proses pembuatan undang-undang dengan kapasistas struktural yang dimilikinya
untuk membentuk atau mempengaruhi kebijakan publik (Jandevi, 2019).
Maka partisipasi
perempuan di jalur politik khususnya di struktural legislatif harus
ditingkatkan agar polemik kaum perempuan dapat diminimalisir. Menyoroti
keterwakilan perempuan pada tingkatan kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI
periode 2019-2024 dari total 575 kursi legislatif sudah 118 kursi atau 21%
diduduki oleh anggota dewan perempuan. Dibandingkan periode sebelumnya hanya
ada 97 anggota dewan perempuan berhasil duduk di mimbar senayan, periode ini
terjadi peningkatan sebesar 22%. Sedangkan untuk di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) tingkat provinsi kuantitas politisi perempuan berbeda satu sama
lain. Dilihat melalui tiga posisi DPT dari 33 provinsi di seluruh Indonesia,
DPT terbanyak berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dari ketiga provinsi tersebut Provinsi Jawa Tengah, mempunyai jumlah pemilih
perempuan sebesar 13.995.538 dan pemilih laki-laki 13.901.364. Meskipun Jawa
Tengah menduduki peringkat ketiga secara DPT, dibandingkan Jawa Barat dan Jawa
Timur perwakilan perempuan di kursi DPRD sedikit lebih unggul. Mempertahankan
posisi kekuasaan tentu saja berlaku juga bagi kaum hawa di dunia politik. Para
politisi perempuan mendapatkan nilai plus tersendiri bila mereka mampu dan bisa
memperoleh banyak suara dikancah politik sehingga dapat memenangkan mereka
meraih kursi di dewan perwakilan rakyat. Apalagi bila politisi perempuan
tersebut mampu mempertahankan posisinya lebih dari satu periode di DPRD.
partisipasi� perempuan�
dalam� politik� di�
beberapa negara� berkembang,� ada�
tiga� tantangan� utama�
yang� dihadapi� oleh�
perempuan.� Yang� pertama adalah� adalah supply�
and� demand. Supplyyang� berarti�
faktor-faktor� yang prinsipal� yang mempengaruhikualitas� perempuan�
dan demandadalah�
faktor-faktor� institutional� dan�
politis yang� terkait� dengan�
sistem� rekrutmen� partai.�
Sedangkan� faktor� yang�
kedua� adalah� masalah sosialisasi politik yang selalu
menganggap bahwa kesuksesan perempuan adalah karena bantuan pihak lain dan yang
ketiga adalah faktor situasional yang mencakup masalah keibuan (Mukarom, 2008).
Perjuangan
tersendiri bagi para perempuan mau bekerja keras menyuarakan hak-hak perempuan
berkecimpung serta berkiprah disektor non domestic seperti lingkungan politik
yang notabene �dihegemoni� oleh kaum laki-laki. Bila masyarakat Jawa mengenal
perempuan hanya lincah di dapur, kasur dan sumur maka narasi itu tidak berlaku
bagi para perempuan Jawa yang terjun di lintas perpolitikkan. Setiap perhelatan
pemilu ada wajah-wajah lama terpilih kembali, para petahana tersebut mampu
mempertahankan posisinya dan dipilih kembali oleh konstituen dapilnya.
Keistimewaan
bagi politisi-politisi perempuan yang berhasil melakukan hal tersebut dimana
minimal dua kali berturut-turut mereka mampu terpilih sebagai wakil rakyat, tak
terkecuali di DPRD Provinsi Jawa Tengah. Jarang ada politisi perempuan
mengulang suksesnya di pemilu periode berikutnya dan ini berbeda dengan
politisi laki-laki yang bisa terpilih kembali minimal dua periode secara
berturut-turut (Kertati, 2014). Penelitian ini mencoba mengetahui standpoint
para politisi perempuan petahana di Jawa Tengah. Sebab tidak mudah perempuan
mempertahankan posisi struktural di lingkaran perpolitikkan dan perlu sebuah
strategi serta taktik khusus untuk mengatur keseluruhanya.
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui berbagai strategi komunikasi politik politisi
perempuan petahana di level Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa
Tengah agar tetap bisa bertahan lebih dari satu periode pemilihan.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini menerapkan desain penelitian deskriptif-kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang berusaha memberikan gambaran dengan menggunakan kata-kata dan angka-angka atau profil masalah atau daftar langkah-langkah untuk menjawab pertanyaan siswa tentang kapan, di mana, dan bagaimana untuk tujuan dan kegunaan tertentu.Ada juga jenis deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menentukan modus mean dan
median atau untuk menguji hipotesis deskriptif data statistik, oleh karena itu perlu
ditegaskan bahwa penelitian deskriptif bukan sekedar penelitian
deskriptif tanpa tujuan yang ingin dicapai.
�Teori yang digunakan
adalah teori loyalitas yang disajikan melalui tiga poin
strategi komunikasi politik
yaitu ketokohan dan kelembagaan; menciptakan kebersamaan; membangun consensus.
Narasumber penelitian hanya khusus politisi
perempuan petahana di DPRD Provinsi Jawa Tengah yang minimal dua
kali berturut-turut terpilih
kembali sebagai anggota dewan. Teknik pengumpulan
data dilakukan lewat beberapa metode yakni wawancara mendalam baik secara
langsung maupun virtual dan
dokumentasi-dokumentasi yang ditemukan
di internet.
Hasil dan Pembahasan
Merawat ketokohan diterapkan oleh politisi perempuan secara internal dan
eksternal. Ketokohan secara internal mencakup kepribadian individu politisi
perempuan dengan tidak melakukan tindak pidana korupsi (tipikor), tidak
terseret dan menjadi pelaku kolusi dan nepotisme, tidak mengkonsumsi narkoba,
tidak melakukan rindakan penganiayaan dan tidak melakukan perselingkuhan sama
sekali. Karena apabila politisi perempuan tersandung kasus-kasus tersebut
masyakarat akan langsung melabeling negatif dan tidak memilih kembali.
Sedangkan merawat ketokohan secara eksternal yakni politisi perempuan
memastikan orang-orang dalam lingkarannya terutama keluarga tidak terlibat
dalam perilaku-perilaku menyimpang. Hal ini membuat politisi perempuan petahana
di Jawa Tengah mampu melenggang memenangkan kontestasi pileg lebih dari satu
kali periode. Memantapkan kelembagaan serta tidak tergoda ajakan pindah ke
partai poltik lain juga kunci politisi perempuan di Jawa Tengah bisa terpilih
kembali.
Selain itu dengan aktif menjadi Dewan Pengurus Daerah (DPD) partai politik
akan memudahkan politisi perempuan mendapatkan nomor urut satu saat pemilihan
legislatif (pileg). Manfaat lain selain mudah memperoleh nomor emas, politisi petahana
juga bisa semakin dekat dengan Dewan Pengurus Cabang (DPC) partai politiknya
dan dapat melakukan kerjasama salah satunya memasang tandem politik ketika masa
pencalegan. Suara politisi perempuan petahana bisa bertambah lewat tandem
politik. Tidak hanya pada partai politik saja, politisi perempuan juga tidak
meninggalkan organsisasi non partai yang sudah mengusung dirinya dan membantu
dalam memperoleh suara. Organisasi tersebut merupakan organisasi yang memang
sudah lama diikuti oleh para politisi perempuan sebelum akhirnya berkiprah di
dunia politik.
Dalam memahami khalayak politik, politisi perempuan di DPRD Jawa Tengah
tidak turun ke daerah pemilihan saat mengerjakan tugas reses saja. Justru
politisi perempuan petahana rajin mengunjungi konstituen dapil di luar reses
agar masyarakat semakin dekat dengan dirinya dan para politisi perempuan
petahana juga dapat mendengarkan aspirasi serta segera membantu permasalahan
masyarakat. Sering merealisasikan kunjungan dapil secara informal adalah kunci
kemenangan para politisi perempuan petahana di DPRD. Komunikasi interpersonal
terbukti masih menjadi komunikasi yang cukup efektif dibandingkan dengan
komunikasi massa dan media sosial. Tim sukses dan� konsultan politik mempunyai� dampak yang besar dalam membangun komunikasi
politik dan strategi politik caleg (Umari dan Dewi, 2020). Komunikasi politik
dan perempuan memiliki strategi yang seharusnya dapat mendorong perempuan untuk
berpolitik sehat (Adeni dan Harahap, 2017).
Akan tetapi, banyaknya perempuan yang berkiprah di dunia politik ternyata
belum mampu menawarkan kultur politik yang berbeda. Perempuan belum mampu
menunjukkan diri sebagai agen perubahan. Lemahnya peran perempuan di parlemen
terjadi karena kapabilitas perempuan yang lolos ke parlemen kurang teruji.
Kebanyakan perempuan yang terpilih dan berkiprah di� dunia politik formal saat ini berasal dari
dinasti politik atau figur populer seperti artis. Pasalnya, mekanisme perekrutan
diwarnai aroma nepotisme, ditambah proses kaderisasi tidak berjalan (Amalia
2012).
Provinsi Jawa Tengah. Politisi perempuan mengunjungi dapilnya selain dalam
rangka diundang sebagai pembicara acara di masyarakat atau sebatas tamu
undangan dalam �gawe� masyarakat, sekaligus menyerap aspirasi dengan metode
informal. Politisi perempuan petahana juga tidak pelit ketika ada masyarakatnya
meminta bantuan dana, bantuan dana yang dikeluarkan oleh politisi perempuan
bukan sebatas anggaran pemerintah tetapi juga anggaran pribadi. Sering
melakukan kunjungan dan berbagi dapat membuat loyalitas pemilih lama pada
politisi perempuan tetap terjaga.
Publisitas media tidak semua diterapkan oleh politisi perempuan petahana di
Jawa Tengah, mereka melihat segmentasi konstituennya. Media massa baik cetak
maupun online tidak setiap bulan digunakan oleh politisi perempuan. Namun ada
beberapa politisi perempuan memanfaatkan akun media sosial pribadinya berupa
facebook untuk mengupload kegiatan-kegiatannya selama diamanahi menjadi anggota
dewan. Media hanya dikerahkan intens oleh para politisi perempuan petahana di
awal kampanye memasuki gerbang politik saja. Setelah memasuki periode kedua,
politisi perempuan petahana jarang menggunakan media massa.
Strategi komunikasi politik partai politik dilakukan melalui media untuk
menyampaikan pesan-pesan politik. Media tidak selamanya sebagai saluran yang
menggambarkan perempuan secara negatif. Media juga mampu mengangkat posisi
perempuan sederajat dengan laki-laki bila digunakan sebagai media strategi
komunikasi (Mukarom, 2008).
Penyampaian pesan politik melalui media sangat tepat menggunakan teori difusi
inovasi. Difusi melakukan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Pelaksanaan
kegiatan strategi pemasaran politik (political marketing), dalam hal ini untuk
kegiatan promasi melakukan personal branding untuk menciptakan kesan positif
kepada khalayak tehadap dirinya (Jumriani, Sultan, & Maria, 2019).
Tetapi lebih intens mendatangi rumah masyarakat. Dalam seni berkompromi,
politisi perempuan petahana juga memanfaatkan relasi keluarga baik dari relasi
sang suami maupun sang ayah. Jejaring keluarga dioptimalkan saat pencalonan
pertama, hal itu dilakukan untuk meraih suara terbanyak agar terpilih terlebih
dahulu. Kompromi dilakukan dan dibantu oleh relasi keluarga terlebih dahulu
supaya politisi perempuan dapat masuk ke kolega-kolega dari relasi keluarganya.
Politisi perempuan di DPRD Jawa Tengah cenderung berkompromi santun apabila
menyelesaikan konflik dan sesuai AD ART yang dipegang. Hal semacam itulah yang
membuat politisi perempuan petahana di Jawa Tengah tidak didepak dari partai
politik maupun kursi anggota dewan.
Politisi perempuan petahana di Jawa Tengah untuk menggaet dan menambah
konstituennya juga turut aktif di beberapa organisasi maupun komunitas yang
memang sudah ada di masyarakat. Politisi perempuan tersebut masuk dalam jajaran
kepengurusan, sehingga hal ini menambah point plus bagi dirinya. Selama jadi
pengurus di organisasi/komunitas tersebut terjadi hubungan simbiosis
mutualisme. Komunitas itu akan mudah mendapatkan hibah melalui sang politisi,
begitupun sebaliknya politisi perempuan akan makin dikenal oleh konstituen dan
bisa menaikkan jumlah suara ketika musim pileg. Selain itu faktor politisi
perempuan petahana mampu bertahan karena mereka juga tidak membatasi konstituen
untuk berkomunikasi secara langsung, konstituen mudah mendatangi kediaman
politisi perempuan untuk menyampaikan �uneg- unegnya.�. politisi perempuan di
DPRD Provinsi Jawa Tengah hanya sebagian yang memang mengakar terlahir dari
aktivis perempuan, selebihnya berasal dari �sanad� politik keluarga. Perlu
kerja keras ekstra bagi politisi-politisi perempuan yang memang berjuang dari
akar rumput serta tidak memiliki privilage keluarga apabila masih ingin
melanjutkan estafet perjuangan dan tidak tersingkir dari lingkaran politik. Ada
corak perbedaan komunikasi politik politisi perempuan petahana yang berasal
dari grassroot (aktivis) dan berasal dari lingkungan keluarga berbasis politik,
yakni kemudahan memperoleh konstituen berkat relasi keluarga politisi
perempuan.
Kesimpulan
Merawat ketokohan
diterapkan oleh politisi perempuan secara internal dan eksternal. Ketokohan secara internal mencakup kepribadian individu politisi perempuan dengan tidak melakukan
tindak pidana korupsi, tidak terseret dan menjadi pelaku kolusi dan nepotisme, tidak mengkonsumsi narkoba, tidak melakukan rindakan penganiayaan dan tidak melakukan perselingkuhan sama sekali. Sering merealisasikan kunjungan dapil secara informal adalah kunci kemenangan para politisi perempuan petahana di DPRD.
Dalam penelitian
ini, politisi perempuan petahana mampu bertahan di kursi parlemen lebih dari satu
periode secara berkelanjutan karena tidak pernah memandang
konstituen berdasarkan jenis kelamin hingga
agama. Bahkan para politisi
perempuan tidak segan serta tidak
pelit ide mengajak politisi laki-laki yang satu dapil untuk
bekerjasama merealisasikan gagasan dari politisi
perempuan tersebut. Politisi perempuan di DPRD Jawa
Tengah cenderung berkompromi
santun apabila menyelesaikan konflik dan sesuai AD ART yang dipegang. Hal semacam itulah yang membuat politisi perempuan petahana di Jawa Tengah
tidak didepak dari partai politik
maupun kursi anggota dewan.
Agustina, Heriyani. (2009). Keterwakilan
perempuan di parlemen dalam perspektif keadilan dan kesetaraan gender. Dlm.
Siti Hariti Sastriyani (Pnyt.). Gender and Politics. Hlm, 163�170.
Dhafir, Ahmad.
(2012). Rekrutmen Perempuan Dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP) Kota Surakarta.
Haqsaleh, Afied
Dien, & Ashadi, Ashadi. (2021). Study Of Feminism Architecture Concept In
Museum Building" The Solomon R Guggenheim Museum in America US". Journal
of Development and Integrated Engineering, 1(1), 12�25.
Jandevi, Uspal.
(2019). New media for increasing political participation in Indonesia. Ijcs,
1, 19.
Jeumpa, Nurul.
(2016). Peran Perempuan Aceh pada Pendidikan dan Politik: Studi kasus di
lingkungan Universitas Muhammadiyah Aceh. JURNAL ILMIAH DIDAKTIKA: Media
Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran, 16(2), 153�168.
Jumriani,
Sultan, Iqbal, & Maria, Jeany. (2019). Perempuan dan Politik (Strategi
Komunikasi Politik untuk Pemenangan Bupati Indah Putri pada Pilkada Luwu Utara
2015). Ejournal.Iain.Palopo.Ac.Id, 2(1). Retrieved from
http://ejournal.iainpalopo.ac.id/
Manuahe, Fien,
Lapian, Marlien, & Kairupan, Josef. (2017). Peran Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Perempuan Dalam Memperjuangkan Kepentingan Perempuan Di Kabupaten
Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Jurnal eksekutif, 2(2).
Mukarom, Zaenal.
(2008). Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang Keterwakilan
Perempuan di Legislatif. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(2), 257�270.
Rasyidin,
Rasyidin, & Fidhia, Aruni. (2016). GENDER DAN POLITIK: Keterwakilan
Perempuan Dalam Politik. Unimal Press.
Setiawan, Eko.
(2019). Studi Pemikiran Fatima Mernissi Tentang Kesetaraan Gender. Yinyang:
Jurnal Studi Islam Gender Dan Anak, 14(2), 221�244.
Sihete, Romany.
(2007). Perempuan kesetaraan keadilan suatu tinjauan berwawasan Gender.
Silviani, Deby,
Bafadhal, Faizah, & Elsi, Sutri Destemi. (2021). Pengaruh Budaya
Patriarki Terhadap Kegagalan Calon Legislatif Perempuan Di Dprd Kota Sungai
Penuh Tahun 2019. Universitas Jambi.
Susilo, Muhammad
Edy, & Nisa, Nurul Latifatun. (2019). Strategi Komunikasi Politisi
Perempuan. Jurnal Ilmu Komunikasi, 16(1), 54�65.
Wahyudi, Very.
(2018). Peran Politik Perempuan dalam Persfektif Gender. Politea: Jurnal
Politik Islam, 1(1), 63�83.
White, Benjamin,
& Naafs, Suzanne. (2012). Generasi antara: refleksi tentang studi pemuda
Indonesia. Jurnal Studi Pemuda, 1(2), 89�106.
Copyright holder: Mesakh Mirin (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |