Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

ANALISIS FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU KABUPATEN SIGI

 

Julifent, Hasanuddin Ishak, Paulina Taba

Pengelolaan Lingkungan Hidup Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Schistosomiasis sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Schistosomiasis adalah penyakit menahun yang disebabkan oleh cacing Schistosoma dan bersifat endemik. Prevalensi Schistosomiasis di dataran tinggi Lindu dalam lima tahun (2015-2019) berturut-turut 0,7% ,93%, 0,36%, 0,44% dan 0,97%, terjadi fluktuasi infeksi meski program pengobatan dan tindakan pengendalian terus dilakukan yang menandakan adanya faktor penyebab reinfeksi masih tetap terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko kejadian Schistosomiasis yang terjadi di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi.

Desain penelitian yang diapakai dalam penelitian ini adalah mix method dengan kuantitatif sebagai rancang bangun utama menggunakan pendekatan Case Control Study yaitu studi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian dengan penyakit) dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kontrol berdasarkan status paparannya, dan kualitatif sebagai pendukung (indepth interview). Sampel sebanyak 42 responden yang terdiri dari kelompok kasus 21 responden da kelompok control 21 responden. Data dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat dengan menggunkan uji odd ratio (OR) dilanjutkan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian pengelolaan lahan, kelompok kasus 16 responden (76,2%) melakukan penelolaan lahan berjangka, 5 responden (23,8%) melakukan pengelolaan lahan terus menerus, Kelompok Kontrol 7 responden (33,3%) melakukan penelolaan lahan berjangka, 14 responden (66,7%) melakukan pengelolaan lahan terus menerus dengan nilai p = 0,005. Pengembalaan hewan ternak, kelompok kasus 15 responden (71,4%) tidak menggunakan kandang (bebas), 6 responden (28,6%) menggunakan kandang, kelompok kontrol 8 responden (38,1%) tidak menggunakan kandang, 13 responden (61,9%) menggunakan kandang, nilai p = 0,019. Jarak tempat tinggal, kelompok kasus 17 responden (81,0%) jarak tempat tinggal dengan lokasi fokus ≤ 75 m, 4 responden (19,0%) jarak tempat tinggal dengan lokasi fokus > 75 m, kelompok kontrol 9 responden (42,9%) jarak tempat tinggal dengan lokasi fokus ≤ 75 m, 12 responden (57,1%) jarak tempat tinggal dengan lokasi fokus > 75 m, dengan nilai p = 0,011. Kesimpulan, yang menjadi faktor risiko kejadian Schistosomiasis adalah Pengolahan Lahan (OR = 6,40 Cl =1,65-24,77), Pengembalaan Hewan Ternak (OR = 4,06 Cl = 1,11-14,0), dan Jarak Tempat Tinggal (OR = 5,66 Cl = 1,41- 22,6).

 

Kata Kunci: Schistosomiasis, Pengelolaan Lahan, Pengembalaan Hewan Trnak, Jarak Tempat Tinggal.

 

Abstract

Schistosomiasis is still a health problem in Indonesia. Schistosomiasis is a chronic disease caused by Schistosoma worms and is endemic. The prevalence of Schistosomiasis in the Lindu plateau in five years (2015-2019) was 0.7% respectively,93%, 0.36%, 0.44% and 0.97%, as infection fluctuations even though treatment programs and control measures continued to be carried out indicating that the factors causing reinfection still occurred.The purpose of this study was to analyze the risk factors for the incidence of Schistosomiasis that occurred in Lindu District, Sigi Regency. The research design used in this study is a mix method with quantitative as the main design using the Case Control Study approach, which is a study that studies the relationship between exposure (research factors with disease) by comparing case and control groups based on their exposure status, and qualitative as a support (indepth interview). The sample was 42 respondents consisting of a case group of 21 respondents and a control group of 21 respondents. The data were analyzed by univariate and bivariate analysis using odd ratio (OR) tests followed by multivariate analysis using logistic regression tests. The results of the land management study, the case group of 16 respondents (76.2%) carried out futures land management, 5 respondents (23.8%) carried out continuous land management, the Control Group 7 respondents (33.3%) carried out futures land management, 14 respondents (66.7%) carried out continuous land management with a p value = 0.005. Grazing farm animals, the case group of 15 respondents (71.4%) did not use cages (free), 6 respondents (28.6%) used cages, the control group of 8 respondents (38.1%) did not use cages, 13 respondents (61.9%) used cages, p value = 0.019. Residential distance, case group of 17 respondents (81.0%) distance of residence with focus location ≤ 75 m, 4 respondents (19.0%) distance of residence with focus location of > 75 m, control group of 9 respondents (42.9%) distance of residence with focus location of ≤ 75 m, 12 respondents (57.1%) distance of residence with focus location of > 75 m, with a value of p = 0.011. In conclusion, the risk factors for the incidence of Schistosomiasis are Land Processing (OR = 6.40 Cl = 1.65-24.77), Grazing of Farm Animals (OR = 4.06 Cl = 1.11-14.0), and Distance of Residence (OR = 5.66 Cl = 1.41- 22.6).

 

Keywords:Schistosomiasis, Land Management, Grazing of Trnak Animals, Distance of Residence.

 

Pendahuluan

Schistosomiasis merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda darah dari genus Schistosoma. Schistosomiasis menempati urutan ke tiga setelah malaria dan kecacingan sebagai penyakit tropis paling dashsyat penularannya di dunia yang tersebar di 78 Negara, dengan perkiraan sekitar 218 juta penduduk membutuhkan pengobatan dan perawatan, serta kematian yang dikaitkan dengan Schistosomiasis mencapai 200 ribu kasus pertahun (WHO, 2016)

Di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh Schistosoma japonicum (cacing darah yang pertama sekali teridentifikasi di Jepang tahun 1903) pertama kali ditemukan di daerah Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, dengan hospes perantara keong yang merupakan anggota family Bithyniidae yang ditemukan pada tahun 1971 di persawahan penduduk dataran tinggi Lindu, oleh Davis dan Carney (1972) diindentifikasi sebagai Oncomelania hupensis lindoensis/OHL (Sudomo dan Sasono, 2007).

Sulawesi Tengah merupakan satu-satunya Provinsi dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia yang endemis Schistosomiasis. Tepatnya berada di dataran tinggi Lindu Kabupaten Sigi, serta dataran tinggi Napu dan Bada di Kabupaten Poso (Dinkes Sulteng, 2011).

Upaya pengendalian Schistosomiasis secara intensif dilakukan mulai tahun 1982 oleh dilakukan oleh Departemen Kesehatan dalam rangka mengeliminasi fokus penular secara tuntas di dataran tinggi Lindu dan Napu. Target pengendalian saat itu adalah menurunkan prevalensi sampai <1%. Dengan dukungan pendanaan dari ADB (Asian Development Bank) melalui proyek Central Sulawesi Integrated Area Develompent and Conservation Project (CSIADCP) tahun 1999-2005, upaya pengendalian dilakukan dengan melibatkan sektor lain di luar kesehatan berhasil secara signifikan menurunkan angka prevalensi Schistosomiasis pada manusia dari 1,8% (2001) menjadi 0,7% (2004) di dataran tinggi Napu, dan di dataran tinggi Lindu berada pada tingkat rendah antara 0,8-0,2%. Sampai berakhirnya proyek tersebut tahun 2005, tetap belum bisa mengeliminasi Schistosomiasis secara permanen (Sudomo dan Pretty, 2007)

Sejak tahun 2017, target Nasional pemberantasan Schistosomiasis adalah mengacu pada rekomendasi WHO bahwa deklarasi Eradikasi (prevalensi 0% pada manusia hewan dan keong) di tahun 2025. Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan angka prevalensi Schistosomiasis di dataran tinggi Lindu dalam lima tahun terakhir (2015-2019) masih tetap tinggi, berturut-turut yaitu 0,7%, 0,93%, 0,36%, 0,44% dan 0,97%, terjadi fluktuasi infeksi meskipun program pengobatan terus dilakukan menandakan adanya reinfeksi akibat siklus penularan yang terus berlangsang.

Kawasan fokus aktif hasil pelacakan dan survey keong rutin di dataran tinggi lindu sebanyak 32 fokus dengan luas total mencapai 552.722 M2. Terbanyak fokos berada di areal persawahan dan perkebunan (Balai Litbang P2B2 Donggala, 2018). Hal tersebut terjadi akibat pengendalian OHL sebagai hospes perantara penyakit ini belum memberikan andil yang berarti (Dinkes Sulawesi Tengah 2020), serta populasi manusia dan hewan reservoir memiliki perilaku yang tipikal dan menjadi salah satu faktor risiko terjadinya infeksi.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui faktor risiko penyebab Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi.

 

 

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah mix method dengan kuantitatif sebagai rancang bangun utama menggunakan pendekatan Case Control Study yaitu studi yang mempelajari hubungan antara paparan (faktor penelitian dengan penyakit) dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kontrol berdasarkan status paparannya, dan kualitatif sebagai pendukung (indepth interview). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang berdomisili di Kecamatan Lindu yang telah diperiksa specimen tinjanya di laboratorium (periode januari 2018 � Desember 2021).

Sampel penelitian terdiri atas sampel kasus dan sampel control yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi:

Kasus: Masyarakat yang menderita Schistosomiasis, berdasarkan catatan rekam medis yang lengkap tahun 2018 - 2021, bersedia menjadi responden. Kontrol: Masyarakat yang tidak menderita Schistosomiasis, berdasarkan catatan rekam yang lengkap tahun 2018 - 2021, bersedia menjadi responden

Kriteria eksklusi:

Pindah domisili keluar dari kecamatan Lindu, tidak bersedia menjadi responden, meninggal dunia.

Jumlah sampel adalah jumlah kasus ditambah dengan jumlah kontrol yang diambil berdasarkan matching jenis kelamin dan umur, dengan perbandingan 1:1. Jumlah kasus diambil berdasarkan atas jumlah populasi yaitu sebanyak 21 orang, maka jumlah kontrol diambil sebanyak 21 orang, sehingga total responden yang akan diteliti adalah 42 orang

Kejadian Schistosomiasis merupakan variabel terikat pada penelitian ini, sedangkan variabel bebas meliputi pengelolaan lahan, pengembalaan hewan ternak dan jarak tempat tinggal Analisis data yang digunakan univariat dan bivariat dengan menggunkan uji odd ratio (OR)

 

Hasil dan Pembahasan

Analisis Bivariat

Risiko Kejadian Schistosomiasis Menurut Pengelolaan Lahan

Berdasarkan analisis bivariat dari 42 responden, yang melakukan pengelolaan lahan tidak berkesinambungan (berjangka) adalah sebanyak 23 responden dengan kelompok kasus sebesar 76,2% dan kelompok kontrol sebanyak 33,3%. Responden yang melakukan pengelolaan lahan terus-menerus adalah sebanyak 19 responden dengan kelompok kasus sebanyak 23,8% dan kelompok kontrol sebanyak 66,7%.

Hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai odds ratio (OR) = 6,40 > 1, yang artinya bahwa variabel pengelolaan lahan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis.

Risiko Kejadian Schistosomiasis Menurut Cara Pengembalaan Hewan Ternak

Berdasarkan analisis bivariate dari 42 responden, yang mengembala hewan ternak diluar kandang atau dengan cara pengembalaan bebas adalah sebanyak 23 responden dengan kelompok kasus 71,4% dan kelompok kontrol sebanyak 38,1%. Responden yang mengembalakan hewan ternaknya dengan cara diisolasi atau dikandangakan adalah sebanyak 19 responden dengan kelompok kasus sebanyak 28,6% dan kelompok kontrol sebanyak 61,9%.

Hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai odds ratio (OR) = 4,06 > 1, yang artinya bahwa variabel cara pengembalaan hewan ternak merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis.

Risiko Kejadian Schistosomiasis Menurut Cara Pengembalaan Hewan Ternak

Berdasarkan analisis bivariate dari 42 responden, yang jarak tempat tinggalnya dengan lokasi fokus 75 meter adalah sebanyak 26 responden dengan kelompok kasus sebanyak 81,0% dan kelompok kontrol sebanyak 42,9%. Responden yang jarak tempat tinggalnya dengan areal fokus > 75meter sebanyak 16 responden dengan kelompok kasus sebanyak 19,0% dan kelompok kontrol 57,1%.

Hasil uji statistik di peroleh nilai odds ratio (OR) = 5,66 > 1, yang artinya bahwa variabel jarak tempat tinggal merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis.


 

Tabel 1

Faktor Risiko Kejadian Schistosomiasis

Faktor Risiko

Kejadian Schistosomiasis

Total

p

OR

CI : 95%

Kasus

Kontrol

N

%

n

%

n

%

Pengelolaan Lahan

 

 

 

 

 

 

 

0,005

 

6,40

 

1,65-24,77

Berjangka

16

76,2

7

33,3

23

54,8

Terus-menerus

5

23,8

14

66,7

19

45,2

Pengembalaan Hewan Ternak

 

 

 

 

 

 

 

 

0,019

 

 

4,06

 

 

1,11- 14,0

Bebas

15

71,4

8

38,1

23

54,8

Dikandangkan

6

28,6

13

61,9

19

45,2

Jarak Tempat Tinggal

 

 

 

 

 

 

 

0,011

 

5,66

 

1,41-22,76

≤ 75 Meter

17

81,0

9

42,9

26

61,9

> 75 Meter

4

19,0

12

57,2

16

38,1


Sumber: Data Primer 2022


 

Analisis Multivariat

Hasil analisis multivariat hubungan pengelolaan lahan, pengembalaan hewan ternak dan jarak tempat tinggal dengan kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu (Tabel 2)

Tabel 2

Hasil Analisis multivariat

Variabel

B

p value

OR

CI : 95%

Lower

Upper

Pengelolaan lahan

2.076

0,012

7,973

1,578

40,289

Pngembalaan h. Ternak

1,607

0,050

4,990

1,002

24,856

Jarak tempat tinggal

1,635

0,047

5,128

1.,019

25,799


Sumber: Data Primer 2022


 

Tabel 2, menunjukkan bahwa keseluruhan variabel independen yang diduga berhubungan dengan kejadian Schistosomiasis, adalah satu variabel (pengelolaan lahan) yang paling berhubungan dengan kejadian Schistosomiasis karena variabel tersebut memiliki nilai odds ratio (OR) tertinggi yaitu 7,974 (95% CI OR : 1,578-40,289). Hal ini berarti bahwa responden yang mengolah lahan pertanian secara tidak berkesinambungan atau terus-menerus lebih berisiko untuk terinfeksi Schistosomiasis yakni sebesar 7,974 kali dibandingkan dengan responden yang mengolah lahan pertaniannya secara terus-menerus.

 

Pembahasan

Hasil analisis statistik bivariat didaptkan nilai odds ratio (OR) = 6,40 (95% CI 1,65-24,77) sehingga pengelolaan lahan yang dilakukan berjangka, merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis, hal ini menunjukkan bahwa responden dengan cara pengelolaan lahan pertanian tidak secara terus-menerus dan berkelanjutan melainkan dilakukan secara musiman atau berjangka, mempunyai peluang 6,40 kali terinfeksi Schistosomiasis dibanding dengan responden yang mengelolah laha pertanian secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Lahan pertanian baik itu sawah maupun kebun yang dikelola secara berjangka banyak ditumbuhi rumput air/serasah dan juga pepohonan besar yang dapat menghalangi sinar matahari langsung, menyebabkan perkembangbiakan OHL semakin baik karena lingkungan cocok untuk tempat hidupnya dan ketersediaan makanan (alga) banyak. Oleh karena itu, masyarakat yang akan mengelola kembali lahan yang sebelumnya telah menjadi lahan tidur akan terinfeksi Schistosomiasis kembali.

Berdasarkan hasil pendalaman wawancara peneliti terhadap 23 orang (54,8%) responden yang pengelolaan lahan pertaniannya dilakukan tidak secara berkelanjutan, hampir semua responden mengatakan bahwa lahan pertaniannya dikelola secara berjangk karena responden tidak memiliki dana dan tenaga untuk kembali menggarap tanah. Penyebab utama adalah tekanan ekonomi pada masa krisis ekonomi atau rendahnya hasil jual. Hal tersebut terjadi karena penyelenggaraan kegiatan pertanian di kecamatan Lindu secara umum masih dilakukan secara tradisional. Kelompok tani yang ada bentukan pemerintah Kabupaten, tetapi tanpa adanya bantuan alat-alat pertanian yang memadai menjadi penyebab banyaknya lahan pertanian yang tidak diolah.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Garjito, 2008) yang menyebutkan bahwa pengelolaan lahan yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu memiliki hubungan dengan kejadian Schistosomiasis. Demikian halnya dengan Assessment (Depkes RI, 2003) menyatakan bahwa 72% areal fokus merupakan lahan pertanian dan 67% yang menjadi sumber infeksi adalah lahan pertanian yang pemanfaatannya tidak secara intensif setiap saat.

Eliminasi Schistosomiasis dapat berhasil dengan baik apabila keong sebagai hospes perantara dapat di eliminasi. Keong dapat dieliminasi dengan manajemen lingkungan, untuk mengubah habitat keong menjadi lahan agrikultur yang produktif dengan intensifikasi pertanian memakai bibit unggul, pengolahan sawah sepanjang tahun, perbaikan irigasi, dan mekanisasi pertanian. Pola tanam yang teratur di sawah akan mengurangi terjadinya lahan kosong yang berpotensi menjadi daerah fokus (Junus Widjaja, 2017).

Data pada tabel 1 juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara varibel pengembalaan hewan ternak dengan kejadian Schistosomiasis (p=0,019). Nilai odds ratio (OR) =5,66 > 1, yang artinya responden yang mengembalakan hewan ternak secara bebas mempunyai peluang 4,06 kali lebih berisiko menderita Schistosomiasis dibandingkan dengan responden yang mengebalakan hewan ternak dengan cara dikandangkan.

Menurut asumsi peneliti, hewan ternak tidak dapat direlokasi dari lokasi daerah endemik karena memiliki keterkaitan dengan budaya lokal. Hewan ruminansia besar ini memiliki nilai adat bagi masyarakat Sulawesi Tengah yakni digunakan dalam upacara adat dan ibadah keagamaan. Disatu sisi, penerapan pola pengembalaan ternak secara bebas dilakukan karena mengurangi beban peternak untuk memberikan pakan karena ternak dapat mencari pakan sendiri.

Aktifitas pengembalaan hewan ternak yang tidak dikandangkan melainkan diikat di padang atau di lokasi persawahan dengan rumput yang subur dan lahan yang basah serta tanpa matahari langsung, menyebabkan terjadinya kontak dengan air yang mengandung Cercaria. Dari 4 jenis hewan besar yang dipelihara oleh responden, sapi dan kerbau lebih berisiko mengalami Schistosomiasis, karena mayoritas lokasi pengembalaanya di daerah persawahan. Hewan jenis kerbau lebih suka digembalakan di tempat-tempat yang sangat berbecek serta banyak air yang tergenang untuk membuat kubangan, dan saat kerbau membuat kubangan, biasanya tali pengikatnya sering ikut tertanam di dalam lumpur yang mengahruskan pengembala untuk memperbaiki tali tersebut dan berkontak langsung dengan air/lumpur tersebut. Untuk hewan jenis kuda dan babi, faktor risiko cenderung lebih rendah. Kuda hanya berada di tempat-tempat yang lebih kering. Babi yang ada di wilayah Lindu meski jumlahnya tergolong banyak, tapi umumnya dikandangkan. Bahan pakan ternak babi juga sebagian besar adalah dedak dan jagung giling di tambah umbi-umbian.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di Kecamtan Lore Utara Kabupaten Poso, dimana 44% prevalensi Schistosomiasis ditemukan pada peternak sapi dan kerbau yang digembalakan di padang dan di lokasi persawahan (Garjito, 2008).

Pola pengembalaan dengan cara bebas, selain menjadi faktor infeksi pada manusia, tetapi juga keberadaan hewan tersebut menyebabkan penularan Schistosomiasis dapat terus berlangsung melalui siklus silvatik, karena Schistosomiasiasis di Indonesia sifatnya zoonosis. Penelitian yang dilakukan oleh Gunawan, dkk (2014), menemukan bahwa di Kecamatan Lindu prefalensi infeksi pada kerbau yakni 44,26% dan sapi sebanyak 24,05%. Situasi tersebut tidak banyak berubah berdasarkan hasil pengamatan tahun 2016 oleh Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang menemukan prevalensi Schistosomiasis pada hewan ternak besar di Kecamatan Lindu sebesar 40%. Tetap tingginya prevalensi Schistosomiasis pada hewan, terutama ternak besar, dipengaruhi oleh paparan secara terus menerus ternak toleh infeksi Cercaria di lokasi fokus sebagai dampak dari pola pengemblaan bebas dan minimnya pengobatan paraziquantel terhadap hewan. Proses infeksi schistosomiasis pada hewan terjadi pada saat sapi dan kerbau makan rumput atau minum air di daerah yang terdapat habitat keong OHL (Ridwan, 2004).

Dengan pola manajemen pengembalaan ternak yang baik, akan menghindarkan risiko masyarakat dan juga hewan untuk terinfeksi penyakit ini. . Hasil penelitian di Cina melaporkan terjadi penurunan infeksi di wilayah endemik menjadi kurang dari 1% dengan menerapkan strategi komprehensif untuk menghindarkan manusia dan sapidari lokasi potensial fokus (Long-De Wang,et al, 2009). Dengan pertimbangan budaya lokal dan kondisi lokasi endemik, tiga solusi untuk pola pengembalaan yang dapat dilakukan yakni pengkandangan ternak, pemagaran area merumput yang aman dan pemagaran fokus.

Selanjutnya, hasil analisis bivariat pada Tabel 1, responden yang memiliki jarak tempat tiinggal75 meter dengan lokasi fokus berjumlah 26 responden (61,9%) dan responden yang memiliki jarak tempat tinggal > 75 meter dengan areal fokus berjumlah 16 responden (38,1%). Nilai odds ratio (OR) = 5,66 dengan tingkat kepercayaan 95% CI 1,41-22,76, hal ini menunjukkan bahwa responden yang jarak tempat tinggalnya75 meter dengan areal fokus, mempunyai peluang 5,66 kali lebih besar untuk menderita Schistosomiasis dibandingkan dengan responden yang jarak tempat tinggalnya > 75 meter dengan areal fokus.

Menurut asumsi peneliti, Schistosomiasis dapat diderita oleh semua masyarakat khhususnya yang tinggal di daerah endemik, namun yang paling mudah terinfeksi adalah masyarakat yang jarak tempat tinggalnya sangat dekat dengan areal fokus. aktivitas sehari-hari yang tinggi di sekitar tempat tiggal, membuat tanpa disadari terjadi kontak dengan areal fokus seperti akses jalan yang dilalui setiap hari, pemanfaatan air disekitar rumah sarta memungkinkan terjadi kontak dengan anak-anak yang senang bermain-main disekitar pekarangan rumah dimana jarak rata-rata rumah responden dengan areal fokus yang memiliki risiko tinggi adalah 39 meter, dengan jarak terdekat adalah 16 meter dan yang paling jauh dengan areal fokus adalah � 173 meter.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di China yang melaporkan sebanyak 24,0% dan 16,4% tingkat infeksi ulang orang melalui kontak air yang jarak dari rumah atau tempat tinggalnya ke habitat siput 10-120 meter (Wu Zhaowu, et al, 1993). Rosmini dkk (2010) menyebutkan bahwa prevalensi Schistosomiasis disebabkan oleh habitat keong OHL yang berada di sekitar pemukiman atau tempat tinggal penduduk. Oleh karena itu keberadaan tempat tinggal sangat mempengaruhi kejadian Schistosomiasis. Jika agen penyebab Schistosomiasis terdapat di sekitar tempat tinggal penduduk, masyarakat memiliki risiko yang sangat tinggi terinfeksi terutama ketika masyarakat desa tidak menggunakan alat pelindung diri.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Desti. A (2014), juga menyebutkan bahwa jarak rumah ke habitat keong memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian terinfeksi Schistosomiasis yang dibuktikan dengan uji statistik (chi-square) dengan nilai p adalah 0,025. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat terinfeksi oleh serkaria cacing S. japonicum yang keluar dari keong OHL pada saat berada di daerah fokus, Oleh karena itu penduduk berada disekitar daerah fokus memiliki risiko yang tinggi untuk terinfeksi.

Modifikasi lingkungan dilakukan untuk meperkecil sebaran dan populasi keong perantara. Oleh karena itu, strategi untuk menekan dan mengilangkannya secara umum dapat dilakukan dua pilihan yaitu dengan peningkatan debit air (pengembangan jaringan, pembuatan kolam, dan lainya) untuk lahan yang cenderung basah sepanjang tahun, dan pengeringan lahan. Selain kegiatan modifikasi tersebut, penyediaan air minum dan sanitasi layak dan berkelanjutan merupakan komponen penting dalam penurunan prevalensi Schistosomiasis.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor risiko kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1). Pengelolaan lahan merupakan faktor risiko kejadian Schistosomiasis dengan nilai odds ratio (OR) = 6,40 > 1, tingkat kepercayaan 95% Cl = 1,65-24,77. 2). Pengembalaan hewan ternak merupakan faktor risiko kejadian Schistosomiasis dengan nilai odds ratio (OR) = 4,06 > 1, tingkat kepercayaan 95% Cl = 1,11-14,0. 3). Jarak tempat tinggal dengan areal fokus merupakan faktor risiko kejadian Schistosomiasis dengan nilai odds ratio (OR) = 5,66 > 1, tingkat kepercayaan 95% Cl = 1,41-22,6.


 

BIBLIOGRAFI

 

Departemen Kesehatan RI, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

 

Desti A, 2014, Analisis Spasial Faktor Lingkungan Dari Penderita Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah, Universitas Padjajaran, Bandung

 

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2020. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, Palu : UPT Surveilans, Data dan Informasi

 

Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2011. Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, Palu : UPT Surveilans, Data dan Informasi

 

Garjito, T.A., Sudomo, M., Abdullah Dahlan, M., Nurwidayati, A, 2008. Schistosomiasis In Indonesia: Past and Present Parascitology International. Balai Litbang P2B2 Donggala. Palu

 

Gunawan., Rosmini., Jastal, 2012. Prevalensi Schistosomiasis Di Tiga Desa Di Kecamatan Lore Barat Kabupaten Poso Propinsi Sulawbsi Tengah. Balai Litbang P2B2 Donggala. Palu

 

Junus Widjaja, Hayani Anastasia, Anis Nurwidayati, Made Agus Nurjana, Mujiyanto, dan Malonda Maksud, 2017. Curreent Situation of Intermediate Snail Focus In Schistosomiasis Endemic Area of Central Sulawesi, Buletin Penelitian Kesehatan

 

Long-De Wang, M.D, et. al, 2009. A Strategy to Control Transmission of Schistosoma Japonicum in China, The New Englad Journal of Medicine

 

Ridwan, Y. 2004. Potensi Hewan Reservoar Dalam Penularan Schistosomiasis Pada Manusia Di Sulawesi Tengah. Program Pasca Sarjana IPB.

 

Sudomo, M. & Pretty, M. D. 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan

 

Sudomo M., Sasono P.M.D, 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan,

 

World Health Organization, 2016. Schistosomiasis and other soil-trasmitted helminthiases: number of peple treated in 2015. Geneva: World Health Organization (http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/251908/1/WER9149_50.pdf?ua=1)

 

 

Copyright holder:

Julifent, Hasanuddin Ishak, Paulina Taba (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: