Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 9, September 2022
ANALISIS FAKTOR RISIKO LINGKUNGAN TERHADAP KEJADIAN SCHISTOSOMIASIS DI KECAMATAN LINDU
KABUPATEN SIGI
Julifent, Hasanuddin Ishak, Paulina
Taba
Pengelolaan Lingkungan Hidup Sekolah Pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Schistosomiasis sampai saat ini masih merupakan
masalah kesehatan di
Indonesia. Schistosomiasis adalah penyakit menahun yang disebabkan oleh cacing Schistosoma
dan bersifat endemik. Prevalensi Schistosomiasis
di dataran tinggi Lindu dalam lima tahun (2015-2019) berturut-turut
0,7% ,93%, 0,36%, 0,44% dan 0,97%, terjadi fluktuasi infeksi meski program pengobatan dan tindakan pengendalian terus dilakukan yang menandakan adanya faktor penyebab reinfeksi masih tetap terjadi. �Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor risiko kejadian Schistosomiasis yang terjadi
di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi.
Desain penelitian yang diapakai
dalam penelitian ini adalah mix method dengan kuantitatif
sebagai rancang bangun utama menggunakan
pendekatan Case
Control Study yaitu studi yang mempelajari hubungan antara paparan
(faktor penelitian dengan penyakit) dengan cara membandingkan kelompok kasus
dan kontrol berdasarkan status paparannya, dan kualitatif sebagai
pendukung (indepth interview). Sampel sebanyak 42 responden yang terdiri dari kelompok
kasus 21 responden da kelompok control 21 responden. Data
dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat dengan menggunkan
uji odd ratio (OR)
dilanjutkan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian pengelolaan lahan, kelompok kasus 16 responden (76,2%) melakukan penelolaan lahan berjangka, 5 responden (23,8%) melakukan pengelolaan lahan terus menerus,
Kelompok Kontrol 7 responden (33,3%) melakukan penelolaan lahan berjangka, 14 responden (66,7%) melakukan pengelolaan lahan terus menerus
dengan nilai p = 0,005. Pengembalaan
hewan ternak, kelompok kasus 15 responden (71,4%) tidak menggunakan kandang (bebas), 6 responden (28,6%) menggunakan kandang, kelompok kontrol 8 responden (38,1%) tidak menggunakan kandang, 13 responden (61,9%) menggunakan kandang, nilai p = 0,019. Jarak tempat
tinggal, kelompok kasus 17 responden (81,0%) jarak tempat tinggal
dengan lokasi fokus ≤ 75 m, 4 responden
(19,0%) jarak tempat tinggal dengan lokasi fokus > 75 m, kelompok kontrol 9 responden (42,9%) jarak tempat tinggal dengan lokasi fokus
≤ 75 m, 12 responden (57,1%) jarak tempat tinggal
dengan lokasi fokus > 75 m, dengan nilai p = 0,011. Kesimpulan,
yang menjadi faktor risiko
kejadian Schistosomiasis adalah
Pengolahan Lahan (OR = 6,40 Cl =1,65-24,77), Pengembalaan Hewan Ternak (OR =
4,06 Cl = 1,11-14,0), dan Jarak
Tempat Tinggal (OR = 5,66 Cl = 1,41- 22,6).
Kata Kunci: Schistosomiasis,
Pengelolaan Lahan, Pengembalaan Hewan Trnak, Jarak Tempat Tinggal.
Abstract
Schistosomiasis is still a health problem in Indonesia. �Schistosomiasis is a chronic disease caused by
Schistosoma worms and is endemic. The prevalence of Schistosomiasis in the Lindu plateau in five years (2015-2019) was 0.7%
respectively,93%, 0.36%, 0.44% and 0.97%, as infection fluctuations even though
treatment programs and control measures continued to be carried out indicating
that the factors causing reinfection still occurred.� The purpose of this study was to analyze the
risk factors for the incidence of Schistosomiasis that occurred in Lindu District, Sigi Regency. The
research design used in this study is a mix method with quantitative as the
main design using the Case Control Study approach, which is a study that
studies the relationship between exposure (research factors with disease) by
comparing case and control groups based on their exposure status, and
qualitative as a support (indepth interview). The
sample was 42 respondents consisting of a case group of 21 respondents and a
control group of 21 respondents. The data were analyzed by univariate and
bivariate analysis using odd ratio (OR) tests followed by multivariate analysis
using logistic regression tests. The results of the land management study, the
case group of 16 respondents (76.2%) carried out futures land management, 5
respondents (23.8%) carried out continuous land management, the Control Group 7
respondents (33.3%) carried out futures land management, 14 respondents (66.7%)
carried out continuous land management with a p value = 0.005. Grazing farm
animals, the case group of 15 respondents (71.4%) did not use cages (free), 6
respondents (28.6%) used cages, the control group of 8 respondents (38.1%) did
not use cages, 13 respondents (61.9%) used cages, p value = 0.019. Residential
distance, case group of 17 respondents (81.0%) distance of residence with focus
location ≤ 75 m, 4 respondents (19.0%) distance of residence with focus
location of > 75 m, control group of 9 respondents (42.9%) distance of
residence with focus location of ≤ 75 m, 12 respondents (57.1%) distance
of residence with focus location of > 75 m, with a value of p = 0.011. In
conclusion, the risk factors for the incidence of Schistosomiasis are Land
Processing (OR = 6.40 Cl = 1.65-24.77), Grazing of Farm Animals (OR = 4.06 Cl =
1.11-14.0), and Distance of Residence (OR = 5.66 Cl = 1.41- 22.6).
Keywords:� Schistosomiasis, Land Management, Grazing of Trnak
Animals, Distance of Residence.
Pendahuluan
Schistosomiasis
merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh cacing trematoda darah dari genus Schistosoma. Schistosomiasis menempati urutan ke tiga
setelah malaria dan kecacingan
sebagai penyakit tropis paling dashsyat penularannya di dunia yang tersebar
di 78 Negara, dengan perkiraan
sekitar 218 juta penduduk membutuhkan pengobatan dan perawatan, serta kematian yang dikaitkan dengan Schistosomiasis mencapai
200 ribu kasus pertahun (WHO, 2016)
Di Indonesia, penyakit ini disebabkan
oleh Schistosoma japonicum (cacing darah yang pertama sekali teridentifikasi di Jepang tahun 1903) pertama kali ditemukan di daerah Sulawesi
Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, dengan
hospes perantara keong yang merupakan anggota family Bithyniidae yang ditemukan pada tahun 1971 di persawahan penduduk dataran tinggi Lindu, oleh Davis dan Carney (1972) diindentifikasi
sebagai Oncomelania hupensis lindoensis/OHL (Sudomo dan Sasono, 2007).
Sulawesi Tengah merupakan satu-satunya Provinsi dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia
yang endemis Schistosomiasis.
Tepatnya berada di dataran tinggi Lindu Kabupaten Sigi, serta dataran
tinggi Napu dan Bada di Kabupaten
Poso (Dinkes Sulteng, 2011).
Upaya pengendalian Schistosomiasis secara
intensif dilakukan mulai tahun 1982 oleh dilakukan oleh Departemen Kesehatan
dalam rangka mengeliminasi fokus penular secara tuntas di dataran tinggi Lindu dan Napu. Target
pengendalian saat itu
adalah menurunkan prevalensi sampai <1%. Dengan dukungan
pendanaan dari ADB (Asian Development Bank) melalui proyek Central Sulawesi Integrated Area Develompent and Conservation Project (CSIADCP) tahun 1999-2005, upaya pengendalian dilakukan dengan melibatkan sektor lain di luar kesehatan berhasil secara signifikan menurunkan angka prevalensi Schistosomiasis
pada manusia dari 1,8%
(2001) menjadi 0,7% (2004) di dataran
tinggi Napu, dan di dataran
tinggi Lindu berada pada tingkat rendah antara 0,8-0,2%. Sampai berakhirnya proyek tersebut tahun 2005, tetap belum bisa mengeliminasi
Schistosomiasis secara
permanen (Sudomo dan
Pretty, 2007)
Sejak tahun 2017, target Nasional
pemberantasan Schistosomiasis
adalah mengacu pada rekomendasi WHO bahwa deklarasi Eradikasi (prevalensi 0% pada manusia hewan dan keong) di tahun 2025. Data
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah menunjukkan angka prevalensi Schistosomiasis
di dataran tinggi Lindu dalam lima tahun terakhir (2015-2019) masih tetap tinggi,
berturut-turut yaitu 0,7%,
0,93%, 0,36%, 0,44% dan 0,97%, terjadi fluktuasi infeksi meskipun program pengobatan terus dilakukan menandakan adanya reinfeksi akibat siklus penularan yang terus berlangsang.
Kawasan fokus
aktif hasil pelacakan dan survey keong rutin di dataran tinggi lindu sebanyak
32 fokus dengan luas total mencapai 552.722 M2.
Terbanyak fokos berada di areal persawahan dan perkebunan (Balai Litbang P2B2 Donggala, 2018). Hal
tersebut terjadi akibat pengendalian OHL sebagai hospes perantara penyakit ini belum
memberikan andil yang berarti (Dinkes Sulawesi Tengah 2020),
serta populasi manusia dan hewan reservoir memiliki perilaku yang tipikal dan menjadi salah satu faktor risiko
terjadinya infeksi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dilakukan
penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui faktor risiko penyebab Schistosomiasis di Kecamatan
Lindu Kabupaten Sigi.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah mix method dengan
kuantitatif sebagai rancang bangun utama menggunakan pendekatan Case
Control Study yaitu studi yang mempelajari hubungan
antara paparan (faktor penelitian dengan penyakit) dengan cara membandingkan
kelompok kasus dan kontrol berdasarkan status paparannya, dan kualitatif sebagai pendukung (indepth
interview). �Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh
penduduk yang berdomisili
di Kecamatan Lindu yang telah diperiksa specimen tinjanya
di laboratorium (periode januari 2018 � Desember 2021).
Sampel penelitian terdiri atas sampel
kasus dan sampel control
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi:
Kasus: Masyarakat yang menderita
Schistosomiasis, berdasarkan catatan rekam
medis yang lengkap tahun 2018 - 2021, bersedia menjadi responden. Kontrol: Masyarakat
yang tidak menderita Schistosomiasis, berdasarkan catatan rekam
yang lengkap tahun 2018 - 2021, bersedia menjadi responden
Kriteria eksklusi:
Pindah domisili keluar dari kecamatan Lindu, tidak
bersedia menjadi responden, meninggal dunia.
Jumlah sampel adalah
jumlah kasus ditambah dengan jumlah kontrol yang diambil berdasarkan matching jenis
kelamin dan umur, dengan perbandingan 1:1. Jumlah kasus diambil
berdasarkan atas jumlah populasi yaitu sebanyak 21 orang, maka jumlah kontrol
diambil sebanyak 21 orang, sehingga total responden yang akan diteliti adalah
42 orang
Kejadian Schistosomiasis merupakan
variabel terikat pada penelitian ini, sedangkan variabel bebas meliputi pengelolaan lahan, pengembalaan
hewan ternak dan jarak tempat tinggal Analisis data yang digunakan univariat
dan bivariat dengan menggunkan uji odd ratio (OR)
Hasil
dan Pembahasan
Analisis
Bivariat
Risiko Kejadian
Schistosomiasis Menurut Pengelolaan
Lahan
Berdasarkan analisis bivariat dari 42 responden,
yang melakukan pengelolaan lahan tidak berkesinambungan (berjangka) adalah sebanyak 23 responden
dengan kelompok kasus sebesar 76,2% dan kelompok kontrol sebanyak 33,3%. Responden
yang melakukan pengelolaan lahan terus-menerus adalah sebanyak 19 responden dengan kelompok
kasus sebanyak 23,8% dan kelompok kontrol sebanyak 66,7%.
Hasil uji statistik Chi square
diperoleh nilai odds ratio (OR) = 6,40 > 1, yang artinya bahwa variabel
pengelolaan lahan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis.
Risiko Kejadian
Schistosomiasis Menurut
Cara Pengembalaan Hewan Ternak
Berdasarkan analisis bivariate dari 42 responden,
yang mengembala hewan ternak diluar kandang atau dengan cara pengembalaan bebas adalah
sebanyak 23 responden dengan kelompok kasus 71,4% dan kelompok kontrol
sebanyak 38,1%.
Responden yang mengembalakan hewan ternaknya dengan cara diisolasi atau dikandangakan
adalah sebanyak 19 responden
dengan kelompok kasus sebanyak 28,6% dan kelompok
kontrol sebanyak 61,9%.
Hasil uji statistik Chi square diperoleh nilai odds
ratio (OR) = 4,06 > 1, yang artinya bahwa variabel cara pengembalaan
hewan ternak merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis.
Risiko Kejadian
Schistosomiasis Menurut
Cara Pengembalaan Hewan Ternak
Berdasarkan
analisis bivariate dari 42 responden, yang jarak tempat tinggalnya dengan lokasi fokus
≤ 75 meter adalah
sebanyak 26 responden dengan kelompok kasus sebanyak 81,0% dan kelompok kontrol sebanyak 42,9%. Responden yang jarak tempat tinggalnya
dengan areal fokus > 75meter sebanyak 16 responden dengan kelompok kasus sebanyak 19,0% dan kelompok kontrol 57,1%.
Hasil uji statistik di peroleh nilai odds ratio
(OR) = 5,66 > 1, yang artinya bahwa
variabel jarak tempat tinggal merupakan faktor risiko terhadap kejadian Schistosomiasis.
Tabel 1
Faktor Risiko Kejadian Schistosomiasis
Faktor Risiko |
Kejadian Schistosomiasis |
Total |
p |
OR |
CI : 95% |
||||
Kasus |
Kontrol |
||||||||
N |
% |
n |
% |
n |
% |
||||
Pengelolaan Lahan |
|
|
|
|
|
|
0,005 |
6,40 |
1,65-24,77 |
Berjangka |
16 |
76,2 |
7 |
33,3 |
23 |
54,8 |
|||
Terus-menerus |
5 |
23,8 |
14 |
66,7 |
19 |
45,2 |
|||
Pengembalaan Hewan Ternak |
|
|
|
|
|
|
0,019� |
4,06 |
1,11- 14,0 |
Bebas |
15 |
71,4 |
8 |
38,1 |
23 |
54,8 |
|||
Dikandangkan |
6 |
28,6 |
13 |
61,9 |
19 |
45,2 |
|||
Jarak Tempat Tinggal |
|
|
|
|
|
|
0,011 |
5,66 |
1,41-22,76 |
≤ 75 Meter |
17 |
81,0 |
9 |
42,9 |
26 |
61,9 |
|||
> 75 Meter |
4 |
19,0 |
12 |
57,2 |
16 |
38,1 |
Sumber: Data Primer 2022
Analisis
Multivariat
Hasil analisis
multivariat hubungan pengelolaan lahan, pengembalaan hewan ternak dan jarak tempat tinggal dengan kejadian Schistosomiasis di Kecamatan
Lindu (Tabel 2)
Tabel 2
Hasil
Analisis multivariat
Variabel |
B |
p value |
OR |
CI : 95% |
|
Lower |
Upper |
||||
Pengelolaan
lahan |
2.076 |
0,012 |
7,973 |
1,578 |
40,289 |
Pngembalaan
h. Ternak |
1,607 |
0,050 |
4,990 |
1,002 |
24,856 |
Jarak
tempat tinggal |
1,635 |
0,047 |
5,128 |
1.,019 |
25,799 |
Sumber: Data Primer 2022
Tabel
2, menunjukkan bahwa keseluruhan variabel independen yang diduga berhubungan dengan kejadian Schistosomiasis,
adalah satu variabel (pengelolaan lahan) yang paling berhubungan dengan kejadian Schistosomiasis karena
variabel tersebut memiliki nilai odds ratio (OR) tertinggi
yaitu 7,974 (95% CI OR :
1,578-40,289). Hal ini berarti
bahwa responden yang mengolah lahan pertanian secara tidak berkesinambungan atau terus-menerus lebih berisiko untuk terinfeksi Schistosomiasis yakni
sebesar 7,974 kali dibandingkan
dengan responden yang mengolah lahan pertaniannya secara terus-menerus.
Pembahasan
Hasil analisis
statistik bivariat didaptkan nilai odds ratio (OR) =
6,40 (95% CI 1,65-24,77) sehingga pengelolaan
lahan yang dilakukan berjangka, merupakan faktor risiko terhadap
kejadian Schistosomiasis,
hal ini menunjukkan
bahwa responden dengan cara pengelolaan
lahan pertanian tidak secara terus-menerus
dan berkelanjutan melainkan
dilakukan secara musiman atau berjangka,
mempunyai peluang 6,40 kali
terinfeksi Schistosomiasis
dibanding dengan responden yang mengelolah laha pertanian secara terus-menerus dan berkelanjutan.
Lahan
pertanian baik itu sawah maupun kebun yang dikelola secara berjangka banyak ditumbuhi rumput air/serasah dan juga pepohonan besar yang dapat menghalangi sinar matahari langsung, menyebabkan perkembangbiakan OHL semakin baik karena
lingkungan cocok untuk tempat hidupnya
dan ketersediaan makanan
(alga) banyak. Oleh karena itu, masyarakat yang akan mengelola kembali lahan yang sebelumnya telah menjadi lahan tidur
akan terinfeksi Schistosomiasis kembali.
Berdasarkan
hasil pendalaman wawancara peneliti terhadap 23 orang (54,8%) responden
yang pengelolaan lahan pertaniannya dilakukan tidak secara berkelanjutan,
hampir semua responden mengatakan bahwa lahan pertaniannya
dikelola secara berjangk karena responden tidak memiliki dana dan tenaga untuk kembali menggarap
tanah. Penyebab utama adalah tekanan
ekonomi pada masa krisis ekonomi atau rendahnya
hasil jual. Hal tersebut terjadi karena penyelenggaraan kegiatan pertanian di kecamatan Lindu secara umum masih
dilakukan secara tradisional. Kelompok tani yang ada bentukan
pemerintah Kabupaten, tetapi tanpa adanya
bantuan alat-alat pertanian yang memadai menjadi penyebab banyaknya lahan pertanian yang tidak diolah.
Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian sebelumnya (Garjito, 2008) yang menyebutkan bahwa pengelolaan lahan yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu memiliki hubungan dengan kejadian Schistosomiasis.
Demikian halnya dengan Assessment (Depkes RI,
2003) menyatakan bahwa 72%
areal fokus merupakan lahan pertanian dan 67% yang menjadi sumber infeksi adalah lahan pertanian yang pemanfaatannya tidak secara intensif setiap saat.
Eliminasi
Schistosomiasis dapat berhasil
dengan baik apabila keong sebagai
hospes perantara dapat di eliminasi. Keong dapat dieliminasi dengan manajemen lingkungan, untuk mengubah habitat keong menjadi lahan
agrikultur yang produktif dengan intensifikasi pertanian memakai bibit unggul, pengolahan
sawah sepanjang tahun, perbaikan irigasi, dan mekanisasi pertanian. Pola tanam yang teratur di sawah akan mengurangi terjadinya lahan kosong yang berpotensi menjadi daerah fokus (Junus Widjaja,
2017).
Data
pada tabel 1 juga menjelaskan
bahwa terdapat
hubungan antara varibel pengembalaan hewan ternak dengan
kejadian Schistosomiasis
(p=0,019). Nilai odds ratio (OR) =5,66 > 1, yang artinya
responden yang mengembalakan
hewan ternak secara bebas mempunyai
peluang 4,06 kali lebih berisiko menderita Schistosomiasis dibandingkan
dengan responden yang mengebalakan hewan ternak dengan cara
dikandangkan.
Menurut
asumsi peneliti, hewan ternak tidak
dapat direlokasi dari lokasi daerah
endemik karena memiliki keterkaitan dengan budaya lokal.
Hewan ruminansia besar ini memiliki
nilai adat bagi masyarakat Sulawesi Tengah yakni digunakan dalam upacara adat
dan ibadah keagamaan. Disatu
sisi, penerapan pola pengembalaan ternak secara bebas
dilakukan karena mengurangi beban peternak untuk memberikan pakan karena ternak dapat
mencari pakan sendiri.
Aktifitas
pengembalaan hewan ternak yang tidak dikandangkan melainkan diikat di padang atau di lokasi persawahan dengan rumput yang subur dan lahan yang basah serta tanpa matahari
langsung, menyebabkan terjadinya kontak dengan air yang mengandung Cercaria. Dari 4 jenis
hewan besar yang dipelihara oleh responden, sapi dan kerbau lebih berisiko mengalami Schistosomiasis,
karena mayoritas lokasi pengembalaanya di daerah persawahan. Hewan jenis kerbau lebih
suka digembalakan di tempat-tempat yang sangat berbecek
serta banyak air yang tergenang untuk membuat kubangan, dan saat kerbau membuat
kubangan, biasanya tali pengikatnya sering ikut tertanam
di dalam lumpur yang mengahruskan pengembala untuk memperbaiki tali tersebut dan berkontak langsung dengan air/lumpur tersebut. Untuk hewan jenis kuda
dan babi, faktor risiko cenderung lebih rendah. Kuda hanya berada di tempat-tempat yang lebih kering. Babi yang ada di wilayah Lindu meski jumlahnya
tergolong banyak, tapi umumnya dikandangkan.
Bahan pakan ternak babi juga sebagian besar adalah dedak dan jagung giling di tambah umbi-umbian.
Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya di Kecamtan Lore Utara Kabupaten Poso, dimana 44% prevalensi Schistosomiasis
ditemukan pada peternak sapi dan kerbau yang digembalakan di padang dan di lokasi persawahan (Garjito, 2008).
Pola pengembalaan
dengan cara bebas, selain menjadi
faktor infeksi pada manusia, tetapi juga keberadaan hewan tersebut menyebabkan penularan Schistosomiasis
dapat terus berlangsung melalui siklus silvatik, karena Schistosomiasiasis di Indonesia sifatnya
zoonosis. Penelitian
yang dilakukan oleh Gunawan,
dkk (2014), menemukan bahwa di Kecamatan Lindu prefalensi infeksi pada kerbau yakni 44,26% dan sapi sebanyak 24,05%. Situasi tersebut tidak banyak berubah berdasarkan hasil pengamatan tahun 2016 oleh Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang menemukan prevalensi Schistosomiasis
pada hewan ternak besar di Kecamatan Lindu sebesar 40%. Tetap tingginya prevalensi Schistosomiasis
pada hewan, terutama ternak besar, dipengaruhi
oleh paparan secara terus menerus ternak
toleh infeksi Cercaria di lokasi
fokus sebagai dampak dari pola
pengemblaan bebas dan minimnya pengobatan paraziquantel terhadap hewan. Proses infeksi schistosomiasis pada hewan
terjadi pada saat sapi dan kerbau makan rumput atau
minum air di daerah yang terdapat habitat keong OHL (Ridwan, 2004).
Dengan
pola manajemen pengembalaan ternak yang baik, akan menghindarkan
risiko masyarakat dan juga hewan untuk terinfeksi
penyakit ini. . Hasil penelitian di Cina melaporkan terjadi penurunan infeksi di wilayah endemik menjadi kurang dari 1% dengan menerapkan strategi komprehensif untuk menghindarkan manusia dan sapi� dari
lokasi potensial fokus (Long-De
Wang,et al, 2009). Dengan pertimbangan budaya lokal dan kondisi lokasi endemik, tiga solusi untuk
pola pengembalaan yang dapat dilakukan yakni pengkandangan ternak, pemagaran area merumput yang aman dan pemagaran fokus.
Selanjutnya, hasil analisis
bivariat pada Tabel 1,
responden yang memiliki jarak tempat tiinggal
≤ 75 meter dengan lokasi fokus berjumlah
26 responden (61,9%) dan responden
yang memiliki jarak tempat tinggal > 75 meter dengan areal fokus berjumlah 16 responden (38,1%). Nilai
odds ratio (OR) = 5,66 dengan tingkat kepercayaan 95% CI 1,41-22,76, hal
ini menunjukkan bahwa responden yang jarak tempat tinggalnya
≤ 75 meter dengan
areal fokus, mempunyai peluang 5,66 kali lebih besar untuk menderita
Schistosomiasis dibandingkan
dengan responden yang jarak tempat tinggalnya
> 75 meter dengan areal fokus.
Menurut
asumsi peneliti, Schistosomiasis dapat
diderita oleh semua masyarakat khhususnya yang tinggal di daerah endemik, namun yang paling mudah terinfeksi adalah masyarakat yang jarak tempat tinggalnya
sangat dekat dengan areal fokus. aktivitas sehari-hari yang tinggi di sekitar tempat tiggal, membuat tanpa disadari
terjadi kontak dengan areal fokus seperti akses jalan
yang dilalui setiap hari, pemanfaatan air disekitar rumah sarta memungkinkan terjadi kontak dengan anak-anak yang senang bermain-main disekitar pekarangan rumah dimana jarak
rata-rata rumah responden dengan areal fokus yang memiliki risiko tinggi adalah 39 meter, dengan jarak terdekat
adalah 16 meter dan yang paling jauh dengan areal fokus adalah � 173 meter.
Penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di China yang melaporkan
sebanyak 24,0% dan 16,4% tingkat
infeksi ulang orang melalui kontak air yang jarak dari rumah
atau tempat tinggalnya ke habitat siput 10-120 meter (Wu Zhaowu, et
al, 1993). Rosmini dkk
(2010) menyebutkan bahwa prevalensi Schistosomiasis
disebabkan oleh habitat keong
OHL yang berada
di sekitar pemukiman atau tempat tinggal
penduduk. Oleh karena itu keberadaan tempat tinggal sangat mempengaruhi kejadian Schistosomiasis. Jika agen penyebab Schistosomiasis terdapat
di sekitar tempat tinggal penduduk, masyarakat memiliki risiko yang sangat tinggi terinfeksi terutama ketika masyarakat desa tidak menggunakan
alat pelindung diri.
Penelitian
lain yang dilakukan oleh Desti.
A (2014), juga menyebutkan bahwa
jarak rumah ke habitat keong memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian terinfeksi Schistosomiasis yang dibuktikan
dengan uji statistik (chi-square) dengan
nilai p adalah 0,025. Hal ini dapat dipahami
karena masyarakat terinfeksi oleh serkaria cacing S. japonicum
yang keluar dari keong OHL pada saat berada di daerah fokus, Oleh karena itu penduduk
berada disekitar daerah fokus memiliki
risiko yang tinggi untuk terinfeksi.
Modifikasi
lingkungan dilakukan untuk meperkecil sebaran dan populasi keong perantara. Oleh karena itu, strategi untuk menekan dan mengilangkannya secara umum dapat dilakukan
dua pilihan yaitu dengan peningkatan
debit air (pengembangan jaringan,
pembuatan kolam, dan lainya) untuk lahan
yang cenderung basah sepanjang tahun, dan pengeringan lahan. Selain kegiatan modifikasi tersebut, penyediaan air minum dan sanitasi layak dan berkelanjutan merupakan komponen penting dalam penurunan prevalensi Schistosomiasis.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang faktor risiko kejadian Schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1). Pengelolaan lahan merupakan faktor risiko kejadian Schistosomiasis dengan nilai odds ratio (OR) = 6,40 > 1, tingkat kepercayaan 95% Cl = 1,65-24,77. 2). Pengembalaan hewan ternak merupakan faktor risiko kejadian Schistosomiasis dengan nilai odds ratio (OR) = 4,06 > 1, tingkat kepercayaan 95% Cl = 1,11-14,0. 3). Jarak tempat tinggal dengan areal fokus merupakan faktor risiko kejadian Schistosomiasis dengan nilai odds ratio (OR) = 5,66 > 1, tingkat kepercayaan 95% Cl = 1,41-22,6.
BIBLIOGRAFI
Departemen Kesehatan RI, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman
Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Desti A, 2014, Analisis Spasial Faktor Lingkungan Dari Penderita Schistosomiasis di Dataran Tinggi Lindu Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah,
Universitas Padjajaran, Bandung
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2020.
Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, Palu : UPT Surveilans, Data dan
Informasi
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, 2011.
Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah, Palu : UPT Surveilans, Data dan
Informasi
Garjito,
T.A., Sudomo, M., Abdullah Dahlan, M., Nurwidayati, A,
2008. Schistosomiasis In Indonesia:
Past and Present Parascitology International. Balai Litbang P2B2 Donggala. Palu
Gunawan., Rosmini., Jastal,
2012. Prevalensi Schistosomiasis Di Tiga Desa Di Kecamatan Lore Barat Kabupaten Poso
Propinsi Sulawbsi Tengah. Balai
Litbang P2B2 Donggala. Palu
Junus
Widjaja, Hayani Anastasia, Anis Nurwidayati, Made Agus Nurjana, Mujiyanto, dan
Malonda Maksud, 2017. Curreent
Situation of Intermediate Snail Focus In Schistosomiasis Endemic Area of
Central Sulawesi, Buletin
Penelitian Kesehatan
Long-De
Wang, M.D, et. al, 2009. A Strategy to Control Transmission of Schistosoma Japonicum in China, The New Englad Journal of Medicine
Ridwan, Y. 2004. Potensi Hewan Reservoar
Dalam Penularan Schistosomiasis Pada Manusia Di Sulawesi Tengah. Program Pasca
Sarjana IPB.
Sudomo, M. & Pretty, M. D. 2007.
Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan
Sudomo M.,
Sasono P.M.D, 2007. Pemberantasan Schistosomiasis di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan,
World Health Organization, 2016. Schistosomiasis and other soil-trasmitted
helminthiases: number of peple treated in 2015.
Geneva: World Health Organization (http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/251908/1/WER9149_50.pdf?ua=1)
Julifent,
Hasanuddin Ishak, Paulina Taba (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |