Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

THE EFFECT OF TONAL (VS ATONAL) MUSIC BACKGROUND ON COOKIES TASTE PREFERENCES: A REPLICATION STUDY

 

1Afriza Animawan Arifin, 2Abdullah Azzam Al Afghani, 3Valendra Granitha

1Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, Indonesia

2, 3Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya tentang pengaruh musik latar terhadap preferensi rasa. Musik nada digunakan untuk mewakili musik yang menyenangkan, musik nada digunakan untuk mewakili musik yang tidak menyenangkan. Penelitian ini membahas tentang pentingnya pengaruh musik latar yang menyenangkan/bernada (vs tidak menyenangkan/atonal) dalam mencicipi cookies dan preferensi dalam memilih cookies. Penelitian ini melibatkan 38 partisipan (11 laki-laki dan 27 perempuan). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen inside-subject design. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pemberian musik latar yang menyenangkan (tonal) dan musik yang tidak menyenangkan (atonal) terhadap preferensi rasa cookies. Tidak ada interaksi antara urutan penyajian cookie dan musik latar yang disajikan. Pembahasan lebih lanjut dari temuan ini dibahas pada bagian diskusi.

 

Kata Kunci: tonal, atonal, rasa, preferensi, urutan penyajian

 

Abstract

This study is a replication of previous research on the background music effects on taste preferences. Tonal music is used to represent pleasant music, atonal music is used to represent unpleasant music. This study discusses the importance of pleasant/tonal (vs unpleasant/atonal) background music affect in cookies tasted and preferences in choosing cookies. This research involved 38 participants (11 men and 27 women). This study used an experimental method within-subject design. The findings in this study show that there is no effect in giving pleasant (tonal) background music and unpleasant (atonal) music to the taste preferences of cookies. There is no interaction between the presentation order of cookies and the background music presented. Further discussion of these findings is discussed in the discussion section.

 

Keywords: tonal, atonal, taste, preferences, presentation order

 

Pendahuluan

Musik sudah menjadi bagian dari perilaku sosial. Ada musik penghantar tidur (lullaby), musik untuk berburu (hunting song), musik di pesta pernikahan, bahkan ketika berada di kerumunan suporter sepak bola yang sedang bernyanyi juga merupakan bagian dari musik sebagai perilaku sosial (Davidson, 2004). Disadari atau tidak, musik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika duduk di suatu rumah makan, ada musik yang turut mengiringi ketika kita mengonsumsi makanan. Ketika berada di pusat-pusat perbelanjaan, musik juga senantiasa muncul di setiap kita melangkah dan membeli produk-produk yang tersedia. Iklan yang sering muncul di layar televisi atau media sosial juga tidak lepas dari unsur musik yang menyertainya. Namun, apakah pernah terpikirkan oleh kita jika musik-musik tersebut dapat mempengaruhi perilaku kita dalam melakukan berbagai kegiatan tersebut? Bahkan ketika kita secara tidak sadar mengonsumsi suatu produk?

Beberapa penelitian mengonfirmasi adanya pengaruh musik dalam konteks perilaku konsumen. Seorang pembeli baju di suatu toko akan memersepsikan harga baju dengan lebih tinggi ketika disajikan dengan latar musik klasik dan persepsi dengan harga lebih rendah ketika disajikan dengan latar musik country (Yalch & Spangenberg, 1990). Penelitian tersebut menggunakan aspek genre musik sebagai variabel manipulasi. Penelitian lain menemukan bahwa latar musik yang diminati dapat membuat seseorang menjadi� lebih menyukai produk coklat yang disajikan. Sedangkan musik yang tidak diminati akan membuat rasa suka terhadap produk coklat yang disajikan berkurang (Kantono, Hamid, Shepherd, Yoo, Carr, &Grazioli 2016). Penentuan musik latar yang disajikan pada penelitian tersebut didasarkan pada rating tingkat kesukaan (liking) terhadap beberapa genre musik yang disediakan peneliti. Selanjutnya ada penelitian yang melibatkan aspek tempo, timbre atau warna suara, familiaritas dan volume suara terhadap perilaku konsumen di mall (Yi & Kang, 2019). Musik latar (background music) format instrumental dengan tempo 105-120 bpm serta musik utama (foreground) menggunakan lagu populer dalam format band dengan tempo 126-130 bpm. Volume disetting rata dengan 65 +/- 3 dB. Hasilnya menunjukkan bahwa musik latar dapat meningkatkan penilaian positif� pada lingkungan, meningkatkan kesenangan, serta membuat emosi dan gairah menjadi lebih mendominasi. Aspek tempo dalam musik juga digunakan dalam penelitian Kim & Zaubermen (2019) yang menemukan bahwa ketika seseorang mendengarkan music dengan tempo cepat mereka menjadi lebih tidak sabar ketika mempertimbangkan pembelian smartphone. Intensi berbelanja seorang wanita akan meningkat ketika mendengarkan musik menyenangkan (happy music) yang disukainya (Broekemier, Marquardt, & Gentry, 2008).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa musik dapat dijadikan sebagai sarana dalam marketing. Sebuah meta analisis tentang psikologi, marketing, dan musik dari 150 artikel menunjukkan bahwa ada banyak aspek dalam musik seperti tempo, volume, kompleksitas lagu, genre, kesukaan (liking), familiaritas, serta kehadiran musik digunakan dalam konteks marketing (Garlin & Owen, 2006). Tempo merupakan induktor terkuat untuk memacu gairah (arousal) seseorang. Tempo cepat lebih menginduksi gairah dari pada kesenangan (pleasure) (Kim & Zauberman, 2019). Alasan mengapa beberapa aspek musik tersebut dapat mempengaruhi psikologis manusia dijelaskan oleh Jain & Bagdare (2011) dalam meta analisisnya yang melaporkan bahwa musik dapat memengaruhi pengalaman konsumsi pada tingkat kognitif, emosional, dan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan sikap dan persepsi, waktu dan uang yang dihabiskan, serta suasana hati dan perasaan seseorang dalam konteks perilaku konsumen.

Pada penelitian kali ini, peneliti melakukan replikasi penelitian yang berjudul; Musical flavor: the effect of background music and presentation order on taste yang ditulis oleh Naomi Ziv, yang dipublikasikan pada tahun 2018 oleh European Journal of Marketing (Ziv, 2018). Studi replikasi digunakan sebagai sarana untuk melakukan validasi terhadap hasil penelitian sebelumnya. Semakin konsisten hasilnya, maka penelitian tersebut akan memiliki validitas yang lebih tinggi dan dapat digeneralisir pada cakupan masyarakat yang lebih luas (Martin, G.N. & Clarke, R.M., 2017). Krisis replikasi dalam rumpun keilmuan psikologi sudah menjadi isu lama baik secara metodologis, statistik, maupun secara filosofis (Wiggins, B.J. & Christopherson, C. D., 2019).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah latar belakang musik yang menyenangkan (pleasant) dapat mempengaruhi pengalaman dalam merasa (taste) dan preferensi dalam memilih suatu makanan. Dari banyak cara untuk menentukan variabel independen atau varaibel manipulasi aspek musik seperti yang dipaparkan di atas; tempo, kesenangan (pleasure), familiaritas, genre, dan timbre, dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek pleasant � unpleasant atau musik menyenangkan dan tidak menyenangkan. Musik menyenangkan dipilih menggunakan musik tonal, sedangkan yang tidak menyenangkan menggunakan musik atonal.

Musik tonal sering dikaitkan dengan musik-musik gaya barat. Meliputi periode musik yaitu baroque, klasik, romantic, dan modern. Seiring dengan berkembangnya zaman, musik barat lainnya seperti jazz, pop, rock, reggae, dan salsa juga termasuk ke dalam musik tonal. Music tonal terdiri dari perputaran nada kromatis 12 nada diatonis c, c#/db, d, d#/eb, e, f, f#/gb, g, g#/ab, a, a#/bb, b (Bigand & Poulin-Charronnat, 2016). Sedangkan musik atonal adalah musik yang menggambarkan kemarahan, ketakutan, dan acak sehingga struktur harmonisasi tidak dapat terdeteksi dengan jelas. Sedangkan tonal digambarkan sebagai musik yang menyenangkan dan penuh kedamaian (Juslin and Lindstrom, 2016). Sehingga musik tonal dapat dipersepsikan sebagai musik yang menyenangkan dibandingkan atonal (Costa, 2004; Daynes, 2011). Atas dasar inilah kemudian peneliti memilih tonal dan atonal sebagai dasar teori penentuan musik menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Ziv (2018) ada 2 studi yang dilakukan. Akan tetapi, pada replikasi kali ini hanya akan diambil satu studi, yaitu studi 1 dengan hipotesis; 1) makanan dengan latar musik menyenangkan (pleasant/tonal) akan dirasa lebih enak dibandingkan makanan dengan latar musik tidak menyenangkan (unpleasant/atonal); 2) Ada interaksi antara urutan penyajian dan musik latar. Kelompok yang mendapatkan kesempatan untuk mencicipi cookies dengan latar musik menyenangkan (pleasant/tonal) akan mengalami efek primacy.

 

 

Metode Penelitian

Partisipan

Subjek penelitian ini berjumlah 38 orang dengan rincian 11 laki-laki dan 27 perempuan. Usia partisipan antara 18 hingga 29 tahun (M = 22.136 SD = 3.10). Semua partisipan merupakan mahasiswa strata satu dan strata dua. Partisipan dipilih secara random dan sedang tidak berpuasa pada hari pengambilan data. Partisipan datang ke tempat penelitian, yaitu ruang kelas Fakultas Psikologi lalu mengisi formulir dan informed consent. Jumlah ini lebih kecil dari penelitian Ziv (2018), yaitu 60 partisipan, terdiri dari 13 laki-laki dan 47 perempuan (M = 25.1 SD = 2.57).

Material

Musik. Penelitian ini menggunakan materi musik yang juga digunakan pada jurnal Ziv (2018). Karena penelitian ini berfokus pada aspek pleasant-unpleasant sehingga beberapa aspek seperti tempo, timbre, dan instrumentasi dikendalikan. Dalam sebuah pretest yang dilakukan oleh Ziv menggunakan musik instrumen piano dan hanya dibedakan berdasarkan tonal atonal nya saja. Dari hasil pretest yang dilakukan terhadap 20 partisipan (16 perempuan dan 5 laki-laki) yang mana partisipan ini tidak ikut terlibat dalam studi utama yang dilakukan muncul 1 lagu tonal dan 1 lagu atonal yang telah terseleksi. Lagu tonal (pleasant) yang digunakan adalah �Prelude 1 in C Major from Bach�s Well-Tempered Clavier� karya Johan Sebastian Bach. Lagu ini berdurasi 2.14 menit. Sedangkan tempo pada lagu ini adalah 143 bpm. Sedangkan pada lagu atonal (atonal) menggunakan lagu �Walking� karya Guillermo Balvin. Lagu ini berdurasi 1.47 menit dan dengan rata-rata tempo 154 bpm.

Cookies. Makanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah cookies vanilla dengan takaran 1 kuning telur, tepung 250 g, tepung jagung 60 g, gula jarak 80 g, mentega lunak 250 g, 3/4 sendok garam dan 1 batang vanila. Kemudian cookies tersebut dipanggang selama 10 menit dengan tingkat panas sedang. Bentuk cookies sengaja dibedakan menjadi lingkaran dan persegi agar subjek seakan-akan mengira kalau kedua cookies tersebut berbeda.

Kuesioner. Kuesioner terdiri dari penlilaian cookies di ruangan tonal dan penilaian cookies di ruang atonal. Meliputi kualitas kelezatan, tingkat kerenyahan, penampilan, manis, dan tekstur. Kemudian ada satu kuesioner lagi yang akan diisi oleh subjek ketika sudah menyelesaikan eksperimen pada kedua ruangan tonal/pleasant (P) dan atonal/unpleasant (U). Kuesioner ketiga ini berisi tentang preferensi pemilihan cookies, apakah subjek lebih menyukai cookies di ruangan P atau ruangan U. Lembar kuesioner ketiga ini juga sekaligus digunakan sebagai manipulation check, sehingga ada pertanyaan tentang menyenangkan atau tidak musik background yang turut mengiringi pada setiap ruangan.

Prosedur

Setelah mengisi lembar informed consent, setiap individu mendapatkan nomor peserta (01-100) dank ode ruangan (P dan U) yang ditentukan secara random assigned oleh peneliti. Terdapat tiga ruangan yang digunakan; pertama adalah ruang P dengan background musik tonal/pleasant, kedua adalah ruangan U dengan background musik atonal/unpleasant, serta ruang ketiga adalah ruangan yang digunakan untuk mengisi skala manipulation check. Selama pengambilan data berlangsung (subjek mencicipi cookies dan mengisi kuesioner P/U) musik diputar secara terus menerus dengan volume +/- 65 dB.

Peserta yang mendapatkan kode P (pleasant) memasuki ruang P dan mencoba cookies pertama kemudian memberi penliaian mengenai kualitas cookies. Setelah itu peserta memasuki ruangan kedua, yaitu ruang U (unpleasant). Peserta diberikan cookies dengan rasa yang sama (tanpa diketahui subjek) lalu kemudian memberi penilaian mengenai kualitas cookies kedua. Setelah menyelesaikan eksperimen di ruangan P dan U, peserta memasuki ruangan ketiga untuk mengisi kuesioner manipulation check. Sementara itu peserta dengan kode U, pertama-tama memasuki ruangan U (Unpleasant), kemudian ruang P (Pleasant), dan berikutnya ruangan manipulation check.

 

Hasil dan Pembahasan

Pengukuran reliabilitas digunakan untuk mengevaluasi kualitas skala. Skala penilaian untuk cookies U memiliki reliabilitas sebesar 0.543, n = 38. Sementara skala penilaian cookies P memiliki reliabilitas sebesar 0.698, n = 38. Berikutnya, untuk membuktikan hipotesis pertama, peneliti menghitung perbedaan skor kedua� cookies. Paired-sample t-test cookies P dan cookies U menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara keduanya [t(38) = -.269, p = 0.789]. Cookies P memiliki skor rata-rata 18.65, SD = 4.8 sedikit lebih tinggi dibandingkan cookies U yang memiliki skor rata-rata 18.5, SD = 4.17. Artinya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara preferensi memilih cookies dengan latar musik.

Preferensi. Tujuh partisipan menyatakan bahwa cookies P dan cookies U memiliki kualitas rasa yang sama. Sebanyak 10 partisipan yang mampu membedakan musik menyatakan bahwa cookies P memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan cookies U. Sementara itu 17 partisipan yang tidak bisa membedakan jenis musik menyatakan bahwa cookies U memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan cookies P. Uji one-sample chi-square dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peserta yang bisa membedakan musik dengan preferensi memilih cookies berdasarkan musik latar dengan p=0.005 (<0.01). Artinya, partisipan yang mampu membedakan jenis musik tonal dan atonal cenderung memberikan penilaian lebih tinggi pada cookies dengan latar belakang musik pleasant/tonal.

 

Tabel 1

Preferensi Berdasarkan Kemampuan Membedakan Musik

 

Cookies� Pleasant

Cookies� Unpleasant

jumlah

Bisa membedakan musik

10

2

12

Tidak bisa membedakan musik

9

17

26

 

Urutan Penyajian. Kelompok 1 adalah partisipan yang diberikan musik pleasant terlebih dahulu kemudian musik unpleasant (PleasFirst). Kelompok 2 adalah partisipan yang diberikan musik unpleasant (UnpleaFirst) terlebih dahulu kemudian musik pleasant. Jumlah partisipan kelompok 1 sebanyak 17 orang dan kelompok 2 sebanyak 21 orang. Perbedaan jumlah partisipan diatasi dengan uji homogentias dengan F = 1.740; p = 0.156 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa kedua kelompok secara stastistik homogen.

 

Tabel 2

Urutan Penyajian Dan Preferensi Cookies

Kelompok

Cookies ruang Pleasant

Cookies ruang Unpleasant

Grup 1 (PleasFirst)

17.59 (5.32)

19.52 (4.27)

Grup 2 (UnpleaFirst)

18.24 (4.07)

18.71 (4.34)

 

Uji ANOVA campuran (Mix-design ANOVA) disajikan dengan musik (pleasing/unpleasant) sebagai faktor within-subject, urutan presentasi (pleasant music first/unpleasant music first) sebagai faktor between subject dan skor rating sebagai variabel dependen. Efek utama dari musik tidak ditemukan [F = 1.543, p = 0.222 p > 0.05, partial = 0.041]. Cookies yang dicoba dengan musik yang tidak menyenangkan / unpleasant �dinilai lebih baik (M = 6.31, SD = 1.63) daripada cookies yang dicicipi dengan musik yang menyenangkan / pleasant (M = 6.31, SD = 1.63). Tidak ada perbedaan yang signifikan. Artinya bahwa tidak terdapat interaksi antara testing (pleasant music � unpleasant music) dan kelompok (pleasant first - unpleasant first). Interaksi menunjukkan bahwa perubahan skor pada kedua kelompok tidak berbeda.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Bagan 1

Penilaian Kualitas Cookies Berdasarkan Urutan Penyajian

 

Pembahasan

Hasil eksperimen menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara rasa cookies yang diiringi musik pleasant ataupun cookies yang diiringi musik unpleasant. Hasil ini berbeda dengan penelitian Ziv (2018) yang menyatakan bahwa subjek mempersepsikan cookies yang diiringi musik pleasant memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan cookies yang diiringi musik unpleasant. Selain itu ada temuan yang cukup menarik dalam penelitian ini. Musik unpleasant dengan melodi atonal dipersepsikan sebagai musik yang lebih disukai dibandingkan musik pleasant dengan melodi tonal. Pada penelitian ini juga tidak ditemukan adanya interaksi antara urutan penyajian cookies dengan musik latar yang disajikan. Penelitian ini semakin memperkuat adanya krisis replikasi pada keilmuan psikologi (Wiggins, B.J. & Christopherson, C. D., 2019). Meskipun metodologi dan prosedur yang dilakukan sudah dibuat sama, akan tetapi implikasi yang dihasilkan berbeda.

Kemungkinan adanya culture boundary yang terjadi dalam merespons stimulus pada variabel independen atau variabel manipulasinya. Variabel independen yang diberikan berupa musik tonal dan atonal yang diambil dari musik barat. Karena secara definisi teoritis memang musik tonal adalah musik-musik dengan gaya barat. Meliputi beberapa periode musik yaitu baroque, klasik, romantic, dan modern (Juslin & Lindstrom, 2016). Tonal memiliki harmoni, melodi, dan ritmik yang terstruktur (Daynes, 2011). Pengujian dalam penentuan jenis manipulasi variabel musik tonal dan atonal juga diambilkan dari sampel orang-orang dari budaya barat. Sementara di Indonesia mempunyai alat musik tradisional yang disebut gamelan. Gamelan pada dasarnya merupakan kumpulan dari sejumlah ricikan (instrumen musik) yang dimainkan bersama-sama. Seni memainkan alat tersebut kemudian disebut dengan istilah karawitan (Palgunadi, 2002). Gamelan memiliki tangga nada dengan scale diatonis yang terdiri dari 12 nada yaitu c, c#/db, d, d#/eb, e, f, f#/gb, g, g#/ab, a, a#/bb, b (Bigand & Poulin-Charronnat, 2016). Sedangkan gamelan memiliki titi-laras atau tangga nada dengan scale pentatonis. Titi laras-nya terdiri dari slendro dan pelog (Palgunadi, 2002). Tangga nada ini terdiri dari nada-nada yang berlainan dari susunan nada-nada tonal maupun atonal. Seluruh subjek pada penelitian ini merupakan mahasiswa S1 dan S2 yang tinggal di Yogyakarta. Hampir di setiap perguruan tinggi di Yogyakarta memiliki gamelan. Bunyi-bunyian dari gamelan sudah bukan merupakan hal yang asing lagi bagi para mahasiswa di Yogyakarta. Sehingga, musik atonal yang disajikan secara unconsciousness atau alam bawah sadar sudah menjadi sesuatu yang akrab bagi subjek penelitian ini. Meskipun mungkin subjek bukan merupakan penggemar atau penikmat musik gamelan, akan tetapi struktur melodi yang diluar �pakem� musik barat pada umumnya (dengan scale diatonis) sudah bukan menjadi hal asing lagi bagi subjek. Bahkan, pada penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar subjek menilai musik unpleasant dengan struktur atonal ini dipersepsikan sebagai music yang lebih menyenangkan dibandingkan musik pleasant dengan struktur tonal. Peneliti meyakini bias budaya inilah yang kemudian menyebabkan penilaian musik pleasant � unpleasant menggunakan aspek tonal dan atonal menjadi kurang sesuai untuk budaya di Indonesia khususnya masyarakat budaya Jawa.

Sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menentukan lagu yang dimungkinkan menjadi stimulus lagu pleasant � unpleasant selain menggunakan tonal dan atonal. Bisa menggunakan aspek genre, familiaritas, tempo, serta timbre. Beberapa penelitian condong kepada aspek tempo sebagai induktor terkuat untuk memacu gairah (arousal) seseorang. Tempo cepat lebih menginduksi gairah seseorang (Kim & Zauberman, 2019). Hal ini juga diperkuat dengan meta analisis dari Garlin & Owen (2006) yang menggunakan aspek tempo sebagai induktor untuk menginduksi perilaku konsumen.

Salah satu kelemahan dari penelitian replikasi ini adalah tidak adanya modifikasi dalam penentuan variabel independen-nya. Lagu yang dipilihkan adalah hasil try out yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, Ziv (2018). Melihat aspek budaya yang cukup kental di Indonesia, akan lebih baik apabila penelitian selanjutnya menggunakan try-out tersendiri untuk memilih musik yang akan dijadikan sebagai variabel independen.

 

Kesimpulan

Hipotesis ditolak, tidak ada pengaruh dalam pemberian musik latar menyenangkan (pleasant/tonal) dan musik tidak menyenangkan (unpleasant/atonal) terhadap preferensi rasa cookies. Kemudian juga tidak ditemukan adanya interaksi antara urutan penyajian cookies dengan musik latar yang disajikan. Pembahasan lebih lanjut tentang temuan ini dibahas pada bagian diskusi.

 

 


BIBLIOGRAFI

Bigand, E. & Poulin-Charronnat, B. (2016). Tonal Cognition. In: S. Halam, I. Cross & M. Thaut, ed., The Oxford Handbook of Music Psychology, 2nd ed. New York: Oxford University Press.

 

Broekemier, G., Marquardt, R., & Gentry, J. W. (2008). An exploration of happy/sad and liked/disliked music effects on shopping intentions in a women�s clothing store service setting. Journal of Services Marketing, 22(1), 59�67. https://doi.org/10.1108/08876040810851969

 

Costa, M. (2004). Interval Distributions, Mode, and Tonal Strength of Melodies as Predictors of Perceived Emotion. Music Perception: An Interdisciplinary Journal, 22(1), 1�14. https://doi.org/10.1525/mp.2004.22.1.1

 

Daynes, H. (2011). Listeners� perceptual and emotional responses to tonal and atonal music. Psychology of Music, 39(4), 468�502. https://doi.org/10.1177/0305735610378182

 

Davidson, J. (2004). Music as Social Behavior. In: E. Clarke & N. Cook, ed., Empirical Musicology: Aims, Methods, Prospects. New York: Oxford University Press.

 

Garlin, F. V., & Owen, K. (2006). Setting the tone with the tune: A meta-analytic review of the effects of background music in retail settings. Journal of Business Research, 59(6), 755�764. https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2006.01.013

 

Hallam, S., Cross, I., & Thaut, M. (Eds.). (2016). The Oxford handbook of music psychology (Second edition). New York, NY: Oxford University Press.

 

Jain, R., & Bagdare, S. (2011). Music and consumption experience: A review. International Journal of Retail & Distribution Management, 39(4), 289�302. https://doi.org/10.1108/09590551111117554

 

Juslin, P. & Lindstrom, E. (2016). Emotion in Music Performance. In: S. Hallam, I. Cross & M. Thaut, ed., The Oxford Handbook of Music Psychology, 2nd ed. New York: Oxford university Press.

 

Kantono, K., Hamid, N., Shepherd, D., Yoo, M. J. Y., Carr, B. T., & Grazioli, G. (2016). The effect of background music on food pleasantness ratings. Psychology of Music, 44(5), 1111�1125. https://doi.org/10.1177/0305735615613149

 

Kim, K., & Zauberman, G. (2019). The effect of music tempo on consumer impatience in intertemporal decisions. European Journal of Marketing, 53(3), 504�523. https://doi.org/10.1108/EJM-10-2017-0696

 

Martin, G. N. & Clarke R.M. (2017). Are psychology journals anti-replication? a snapshot of editorial practices. Frontiers in Psychology, 8(523), 1-6. http://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00523

 

Palgunadi, B. (2002). Serat Kandha Karawitan Jawi Mengenal Seni Karawitan Jawa. Bandung: Penerbit ITB.

 

Wiggins, B. J., & Christopherson, C. D. (2019). The replication crisis in psychology: An overview for theoretical and philosophical psychology. Journal of Theoretical and Philosophical Psychology, 39(4), 202�217. https://doi.org/10.1037/teo0000137

 

Yalch, R., & Spangenberg, E. (1990). Effects of Store Music on Shopping Behavior. Journal of Consumer Marketing, 7(2), 55�63. https://doi.org/10.1108/EUM0000000002577

 

Yi, F., & Kang, J. (2019). Effect of background and foreground music on satisfaction, behavior, and emotional responses in public spaces of shopping malls. Applied Acoustics, 145, 408�419. https://doi.org/10.1016/j.apacoust.2018.10.029

 

Ziv, N. (2018). Musical flavor: The effect of background music and presentation order on taste. European Journal of Marketing, 52(7/8), 1485�1504. https://doi.org/10.1108/EJM-07-2017-0427

 

Copyright holder:

Afriza Animawan Arifin, Abdullah Azzam Al Afghani, Valendra Granitha (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: