Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN:
2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 9, September 2022
THE EFFECT OF TONAL (VS
ATONAL) MUSIC BACKGROUND ON COOKIES TASTE PREFERENCES: A REPLICATION STUDY
1Afriza
Animawan Arifin, 2Abdullah Azzam Al Afghani,
3Valendra Granitha
1Fakultas
Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta, Indonesia
2,
3Fakultas Psikologi,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian
ini merupakan replikasi dari penelitian sebelumnya tentang pengaruh musik latar terhadap
preferensi rasa. Musik nada
digunakan untuk mewakili musik yang menyenangkan, musik nada digunakan untuk mewakili musik yang tidak menyenangkan. Penelitian ini membahas tentang pentingnya pengaruh musik latar yang menyenangkan/bernada (vs tidak menyenangkan/atonal) dalam mencicipi cookies dan preferensi dalam memilih cookies. Penelitian ini melibatkan 38 partisipan (11 laki-laki dan 27 perempuan). Penelitian ini menggunakan metode eksperimen inside-subject
design. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh
pemberian musik latar yang menyenangkan (tonal)
dan musik yang tidak menyenangkan (atonal) terhadap preferensi rasa cookies. Tidak ada interaksi antara
urutan penyajian cookie dan
musik latar yang disajikan. Pembahasan lebih lanjut dari
temuan ini dibahas pada bagian diskusi.
Kata
Kunci: tonal,
atonal, rasa, preferensi, urutan
penyajian
Abstract
This study
is a replication of previous research on the background music effects on taste
preferences. Tonal music is used to represent pleasant music, atonal music is
used to represent unpleasant music. This study discusses the importance of
pleasant/tonal (vs unpleasant/atonal) background music affect in cookies tasted
and preferences in choosing cookies. This research involved 38 participants (11
men and 27 women). This study used an experimental method within-subject
design. The findings in this study show that there is no effect in giving
pleasant (tonal) background music and unpleasant (atonal) music to the taste
preferences of cookies. There is no interaction between the presentation order
of cookies and the background music presented. Further discussion of these
findings is discussed in the discussion section.
Keywords:
tonal, atonal, taste, preferences, presentation order
Pendahuluan
Musik
sudah menjadi bagian dari perilaku sosial. Ada musik penghantar tidur (lullaby),
musik untuk berburu (hunting song), musik di pesta pernikahan,
bahkan ketika berada di kerumunan suporter sepak bola yang sedang bernyanyi juga
merupakan bagian dari musik sebagai perilaku sosial (Davidson, 2004). Disadari
atau tidak, musik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika duduk di suatu
rumah makan, ada musik yang turut mengiringi ketika kita mengonsumsi makanan.
Ketika berada di pusat-pusat perbelanjaan, musik juga senantiasa muncul di
setiap kita melangkah dan membeli produk-produk yang tersedia. Iklan yang
sering muncul di layar televisi atau media sosial juga tidak lepas dari unsur
musik yang menyertainya. Namun, apakah pernah terpikirkan oleh kita jika
musik-musik tersebut dapat mempengaruhi perilaku kita dalam melakukan berbagai
kegiatan tersebut? Bahkan ketika kita secara tidak sadar mengonsumsi suatu
produk?
Beberapa
penelitian mengonfirmasi adanya pengaruh musik dalam konteks perilaku konsumen.
Seorang pembeli baju di suatu toko akan memersepsikan harga baju dengan
lebih tinggi ketika disajikan dengan latar musik klasik dan persepsi dengan
harga lebih rendah ketika disajikan dengan latar musik country (Yalch & Spangenberg, 1990).
Penelitian tersebut menggunakan aspek genre musik sebagai variabel manipulasi. Penelitian lain
menemukan bahwa latar musik yang diminati dapat membuat seseorang menjadi� lebih menyukai produk coklat yang disajikan.
Sedangkan musik yang tidak diminati akan membuat rasa suka terhadap produk
coklat yang disajikan berkurang (Kantono, Hamid, Shepherd, Yoo, Carr, &Grazioli 2016).
Penentuan musik latar yang disajikan pada penelitian tersebut didasarkan pada
rating tingkat kesukaan (liking) terhadap beberapa genre musik yang
disediakan peneliti. Selanjutnya ada penelitian yang melibatkan aspek tempo,
timbre atau warna suara, familiaritas dan volume suara terhadap perilaku
konsumen di mall (Yi & Kang, 2019).
Musik latar (background music) format instrumental dengan tempo 105-120
bpm serta musik utama (foreground) menggunakan lagu populer dalam format
band dengan tempo 126-130 bpm. Volume disetting rata dengan 65 +/- 3 dB.
Hasilnya menunjukkan bahwa musik latar dapat meningkatkan penilaian
positif� pada lingkungan, meningkatkan
kesenangan, serta membuat emosi dan gairah menjadi lebih mendominasi. Aspek
tempo dalam musik juga digunakan dalam penelitian Kim & Zaubermen (2019) yang menemukan bahwa
ketika seseorang mendengarkan music dengan tempo cepat mereka menjadi lebih
tidak sabar ketika mempertimbangkan pembelian smartphone. Intensi
berbelanja seorang wanita akan meningkat ketika mendengarkan musik menyenangkan
(happy music) yang disukainya (Broekemier, Marquardt, & Gentry, 2008).
Pemaparan
di atas menunjukkan bahwa musik dapat dijadikan sebagai sarana dalam marketing.
Sebuah meta analisis tentang psikologi, marketing, dan musik dari 150 artikel
menunjukkan bahwa ada banyak aspek dalam musik seperti tempo, volume,
kompleksitas lagu, genre, kesukaan (liking), familiaritas, serta
kehadiran musik digunakan dalam konteks marketing (Garlin & Owen, 2006).
Tempo merupakan induktor terkuat untuk memacu gairah (arousal) seseorang.
Tempo cepat lebih menginduksi gairah dari pada kesenangan (pleasure) (Kim & Zauberman, 2019).
Alasan mengapa beberapa aspek musik tersebut dapat mempengaruhi psikologis
manusia dijelaskan oleh Jain & Bagdare (2011)
dalam meta analisisnya yang melaporkan bahwa musik dapat memengaruhi pengalaman
konsumsi pada tingkat kognitif, emosional, dan perilaku, khususnya yang
berkaitan dengan sikap dan persepsi, waktu dan uang yang dihabiskan, serta
suasana hati dan perasaan seseorang dalam konteks perilaku konsumen.
Pada
penelitian kali ini, peneliti melakukan replikasi penelitian
yang berjudul; Musical flavor: the effect of background music
and presentation order on taste yang ditulis oleh Naomi Ziv, yang
dipublikasikan pada tahun 2018 oleh European Journal of Marketing (Ziv, 2018).
Studi replikasi
digunakan sebagai sarana untuk melakukan
validasi terhadap hasil penelitian sebelumnya. Semakin konsisten hasilnya, maka penelitian tersebut akan memiliki
validitas yang lebih tinggi dan dapat digeneralisir pada cakupan masyarakat yang lebih luas (Martin, G.N. & Clarke, R.M., 2017). Krisis replikasi dalam rumpun keilmuan
psikologi sudah menjadi isu lama baik secara metodologis,
statistik, maupun secara filosofis (Wiggins,
B.J. & Christopherson, C. D., 2019).
Penelitian
ini bertujuan untuk menguji apakah latar belakang musik yang menyenangkan (pleasant)
dapat mempengaruhi pengalaman dalam merasa (taste) dan preferensi dalam
memilih suatu makanan. Dari banyak cara untuk menentukan variabel independen
atau varaibel manipulasi aspek musik seperti yang dipaparkan di atas; tempo,
kesenangan (pleasure), familiaritas, genre, dan timbre, dalam penelitian
ini peneliti menggunakan aspek pleasant � unpleasant atau musik
menyenangkan dan tidak menyenangkan. Musik menyenangkan dipilih menggunakan
musik tonal, sedangkan yang tidak menyenangkan menggunakan musik atonal.
Musik
tonal sering dikaitkan dengan musik-musik gaya barat. Meliputi periode musik
yaitu baroque, klasik, romantic, dan modern. Seiring dengan
berkembangnya zaman, musik barat lainnya seperti jazz, pop, rock, reggae, dan
salsa juga termasuk ke dalam musik tonal. Music tonal terdiri dari perputaran
nada kromatis 12 nada diatonis c, c#/db, d, d#/eb, e, f, f#/gb,
g, g#/ab, a, a#/bb, b (Bigand & Poulin-Charronnat,
2016).
Sedangkan musik atonal adalah musik yang menggambarkan kemarahan, ketakutan,
dan acak sehingga struktur harmonisasi tidak dapat terdeteksi dengan jelas.
Sedangkan tonal digambarkan sebagai musik yang menyenangkan dan penuh kedamaian
(Juslin
and Lindstrom, 2016). Sehingga musik tonal dapat dipersepsikan
sebagai musik yang menyenangkan dibandingkan atonal (Costa, 2004; Daynes, 2011).
Atas dasar inilah kemudian peneliti memilih tonal dan atonal sebagai dasar
teori penentuan musik menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ziv (2018)
ada 2 studi yang dilakukan. Akan tetapi, pada replikasi kali ini hanya akan
diambil satu studi, yaitu studi 1 dengan hipotesis; 1) makanan
dengan latar musik menyenangkan (pleasant/tonal) akan dirasa lebih enak
dibandingkan makanan dengan latar musik tidak menyenangkan (unpleasant/atonal);
2) Ada interaksi antara urutan penyajian dan musik latar. Kelompok yang mendapatkan kesempatan untuk
mencicipi cookies dengan latar musik menyenangkan (pleasant/tonal)
akan mengalami efek primacy.
Metode Penelitian
Partisipan
Subjek
penelitian ini berjumlah 38 orang dengan rincian 11 laki-laki dan 27 perempuan.
Usia partisipan antara 18 hingga 29 tahun (M = 22.136 SD = 3.10). Semua
partisipan merupakan mahasiswa strata satu dan strata dua. Partisipan dipilih
secara random dan sedang tidak berpuasa pada hari pengambilan data. Partisipan
datang ke tempat penelitian, yaitu ruang kelas Fakultas Psikologi lalu mengisi
formulir dan informed consent. Jumlah ini lebih kecil dari penelitian
Ziv (2018), yaitu 60 partisipan, terdiri dari 13 laki-laki dan 47 perempuan (M
= 25.1 SD = 2.57).
Material
Musik.
Penelitian
ini menggunakan materi musik yang juga digunakan pada jurnal Ziv (2018). Karena
penelitian ini berfokus pada aspek pleasant-unpleasant sehingga beberapa
aspek seperti tempo, timbre, dan instrumentasi dikendalikan. Dalam sebuah pretest
yang dilakukan oleh Ziv menggunakan musik instrumen piano dan hanya
dibedakan berdasarkan tonal atonal nya saja. Dari hasil pretest yang
dilakukan terhadap 20 partisipan (16 perempuan dan 5 laki-laki) yang mana
partisipan ini tidak ikut terlibat dalam studi utama yang dilakukan muncul 1
lagu tonal dan 1 lagu atonal yang telah terseleksi. Lagu tonal (pleasant)
yang digunakan adalah �Prelude 1 in C Major from Bach�s Well-Tempered
Clavier� karya Johan Sebastian Bach. Lagu ini berdurasi 2.14 menit.
Sedangkan tempo pada lagu ini adalah 143 bpm. Sedangkan pada lagu atonal (atonal)
menggunakan lagu �Walking� karya Guillermo Balvin. Lagu ini
berdurasi 1.47 menit dan dengan rata-rata tempo 154 bpm.
Cookies.
Makanan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah cookies vanilla dengan
takaran 1 kuning telur, tepung 250 g, tepung jagung 60 g, gula jarak 80 g,
mentega lunak 250 g, 3/4 sendok garam dan 1 batang vanila. Kemudian cookies tersebut
dipanggang selama 10 menit dengan tingkat panas sedang. Bentuk cookies sengaja
dibedakan menjadi lingkaran dan persegi agar subjek seakan-akan mengira kalau
kedua cookies tersebut berbeda.
Kuesioner.
Kuesioner
terdiri dari penlilaian cookies di ruangan tonal dan penilaian cookies
di ruang atonal. Meliputi kualitas kelezatan, tingkat kerenyahan,
penampilan, manis, dan tekstur. Kemudian ada satu kuesioner lagi yang akan
diisi oleh subjek ketika sudah menyelesaikan eksperimen pada kedua ruangan
tonal/pleasant (P) dan atonal/unpleasant (U). Kuesioner ketiga
ini berisi tentang preferensi pemilihan cookies, apakah subjek lebih
menyukai cookies di ruangan P atau ruangan U. Lembar kuesioner ketiga
ini juga sekaligus digunakan sebagai manipulation check, sehingga ada
pertanyaan tentang menyenangkan atau tidak musik background yang turut
mengiringi pada setiap ruangan.
Prosedur
Setelah
mengisi lembar informed consent, setiap individu mendapatkan nomor
peserta (01-100) dank ode ruangan (P dan U) yang ditentukan secara random
assigned oleh peneliti. Terdapat tiga ruangan yang digunakan; pertama
adalah ruang P dengan background musik tonal/pleasant, kedua
adalah ruangan U dengan background musik atonal/unpleasant, serta
ruang ketiga adalah ruangan yang digunakan untuk mengisi skala manipulation
check. Selama pengambilan data berlangsung (subjek mencicipi cookies dan
mengisi kuesioner P/U) musik diputar secara terus menerus dengan volume +/- 65
dB.
Peserta
yang mendapatkan kode P (pleasant) memasuki ruang P dan mencoba cookies
pertama kemudian memberi penliaian mengenai kualitas cookies. Setelah
itu peserta memasuki ruangan kedua, yaitu ruang U (unpleasant). Peserta
diberikan cookies dengan rasa yang sama (tanpa diketahui subjek) lalu
kemudian memberi penilaian mengenai kualitas cookies kedua. Setelah menyelesaikan
eksperimen di ruangan P dan U, peserta memasuki ruangan ketiga untuk mengisi
kuesioner manipulation check. Sementara itu peserta dengan kode U,
pertama-tama memasuki ruangan U (Unpleasant), kemudian ruang P (Pleasant),
dan berikutnya ruangan manipulation check.
Hasil
dan Pembahasan
Pengukuran reliabilitas digunakan untuk
mengevaluasi kualitas
skala.
Skala penilaian untuk cookies U memiliki reliabilitas sebesar 0.543, n =
38. Sementara skala penilaian cookies P memiliki reliabilitas sebesar
0.698,
n = 38. Berikutnya, untuk membuktikan
hipotesis pertama, peneliti menghitung
perbedaan skor kedua� cookies.
Paired-sample t-test cookies P dan cookies U menunjukkan tidak
ada perbedaan yang signifikan antara keduanya [t(38) = -.269, p = 0.789]. Cookies
P memiliki skor rata-rata 18.65, SD = 4.8 sedikit lebih tinggi dibandingkan
cookies U yang memiliki skor rata-rata 18.5, SD = 4.17. Artinya, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara preferensi memilih cookies dengan latar musik.
Preferensi. Tujuh partisipan
menyatakan bahwa cookies P dan cookies U memiliki kualitas rasa yang sama. Sebanyak 10 partisipan yang
mampu membedakan musik menyatakan
bahwa cookies P memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan cookies U. Sementara
itu 17 partisipan yang
tidak bisa membedakan jenis musik menyatakan
bahwa cookies U memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan cookies P. Uji
one-sample chi-square dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peserta yang bisa membedakan musik dengan preferensi memilih cookies berdasarkan
musik latar dengan p=0.005 (<0.01). Artinya,
partisipan yang mampu membedakan jenis musik tonal dan atonal cenderung memberikan penilaian lebih tinggi pada cookies dengan latar belakang
musik pleasant/tonal.
Tabel
1
Preferensi
Berdasarkan Kemampuan Membedakan Musik
|
Cookies� Pleasant |
Cookies� Unpleasant |
jumlah |
Bisa membedakan musik |
10 |
2 |
12 |
Tidak bisa membedakan musik |
9 |
17 |
26 |
Urutan
Penyajian.
Kelompok 1 adalah partisipan yang diberikan musik pleasant terlebih
dahulu kemudian musik unpleasant (PleasFirst). Kelompok 2 adalah
partisipan yang diberikan musik unpleasant (UnpleaFirst) terlebih dahulu
kemudian musik pleasant. Jumlah partisipan kelompok 1 sebanyak 17 orang
dan kelompok 2 sebanyak 21 orang. Perbedaan jumlah partisipan diatasi dengan
uji homogentias dengan F = 1.740; p = 0.156 (p > 0.05). Hal ini menunjukkan
bahwa kedua kelompok secara stastistik homogen.
Tabel
2
Urutan
Penyajian Dan Preferensi
Cookies
Kelompok |
Cookies
ruang Pleasant |
Cookies
ruang Unpleasant |
Grup 1 (PleasFirst) |
17.59
(5.32) |
19.52
(4.27) |
Grup 2 (UnpleaFirst) |
18.24
(4.07) |
18.71
(4.34) |
Uji ANOVA campuran (Mix-design
ANOVA) disajikan dengan musik (pleasing/unpleasant) sebagai
faktor within-subject, urutan presentasi (pleasant music
first/unpleasant music first) sebagai faktor between subject dan
skor rating sebagai variabel dependen. Efek utama dari musik tidak ditemukan [F
= 1.543, p = 0.222 p > 0.05, partial = 0.041]. Cookies yang dicoba dengan
musik yang tidak menyenangkan / unpleasant �dinilai lebih baik (M = 6.31, SD = 1.63)
daripada cookies yang dicicipi dengan musik yang menyenangkan / pleasant
(M = 6.31, SD = 1.63). Tidak ada perbedaan yang signifikan. Artinya bahwa tidak
terdapat interaksi antara testing (pleasant music � unpleasant music)
dan kelompok (pleasant first - unpleasant first). Interaksi menunjukkan
bahwa perubahan skor pada kedua kelompok tidak berbeda.
Bagan 1
Penilaian
Kualitas Cookies Berdasarkan
Urutan Penyajian
Hasil
eksperimen menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara rasa cookies
yang diiringi musik pleasant ataupun cookies yang diiringi musik unpleasant.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Ziv (2018) yang
menyatakan bahwa subjek mempersepsikan cookies yang diiringi musik pleasant
memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan cookies yang diiringi musik unpleasant.
Selain itu ada temuan yang cukup menarik dalam penelitian ini. Musik unpleasant
dengan melodi atonal dipersepsikan sebagai musik yang lebih disukai
dibandingkan musik pleasant dengan melodi tonal. Pada penelitian ini juga tidak
ditemukan adanya interaksi antara urutan penyajian cookies dengan musik
latar yang disajikan. Penelitian ini semakin memperkuat
adanya krisis replikasi pada keilmuan psikologi (Wiggins, B.J. & Christopherson, C. D., 2019).
Meskipun metodologi dan prosedur yang dilakukan sudah dibuat sama,
akan tetapi implikasi yang dihasilkan berbeda.
Kemungkinan adanya culture boundary
yang terjadi dalam merespons stimulus pada variabel independen atau variabel
manipulasinya. Variabel independen yang diberikan berupa musik tonal dan atonal
yang diambil dari musik barat. Karena secara definisi teoritis memang musik
tonal adalah musik-musik dengan gaya barat. Meliputi beberapa periode musik
yaitu baroque, klasik, romantic, dan modern (Juslin & Lindstrom, 2016).
Tonal memiliki harmoni, melodi, dan ritmik yang terstruktur (Daynes, 2011).
Pengujian dalam penentuan jenis manipulasi variabel musik tonal dan atonal juga
diambilkan dari sampel orang-orang dari budaya barat. Sementara di Indonesia
mempunyai alat musik tradisional yang disebut gamelan. Gamelan pada
dasarnya merupakan kumpulan dari sejumlah ricikan (instrumen musik) yang
dimainkan bersama-sama. Seni memainkan alat tersebut kemudian disebut dengan
istilah karawitan (Palgunadi, 2002). Gamelan memiliki tangga nada
dengan scale diatonis yang terdiri dari 12 nada yaitu c, c#/db, d, d#/eb, e,
f, f#/gb, g, g#/ab, a, a#/bb, b (Bigand &
Poulin-Charronnat, 2016).
Sedangkan gamelan memiliki titi-laras atau tangga nada dengan scale pentatonis.
Titi laras-nya terdiri dari slendro dan pelog (Palgunadi, 2002).
Tangga nada ini terdiri dari nada-nada yang berlainan dari susunan nada-nada
tonal maupun atonal. Seluruh subjek pada penelitian ini merupakan mahasiswa S1
dan S2 yang tinggal di Yogyakarta. Hampir di setiap perguruan tinggi di Yogyakarta
memiliki gamelan. Bunyi-bunyian dari gamelan sudah bukan merupakan hal yang
asing lagi bagi para mahasiswa di Yogyakarta. Sehingga, musik atonal yang
disajikan secara unconsciousness atau alam bawah sadar sudah menjadi
sesuatu yang akrab bagi subjek penelitian ini. Meskipun mungkin subjek bukan
merupakan penggemar atau penikmat musik gamelan, akan tetapi struktur melodi
yang diluar �pakem� musik barat pada umumnya (dengan scale diatonis)
sudah bukan menjadi hal asing lagi bagi subjek. Bahkan, pada penelitian ini
ditemukan bahwa sebagian besar subjek menilai musik unpleasant dengan
struktur atonal ini dipersepsikan sebagai music yang lebih menyenangkan
dibandingkan musik pleasant dengan struktur tonal. Peneliti meyakini
bias budaya inilah yang kemudian menyebabkan penilaian musik pleasant �
unpleasant menggunakan aspek tonal dan atonal menjadi kurang sesuai untuk
budaya di Indonesia khususnya masyarakat budaya Jawa.
Sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk menentukan lagu
yang dimungkinkan menjadi stimulus lagu pleasant � unpleasant selain
menggunakan tonal dan atonal. Bisa menggunakan aspek genre,
familiaritas, tempo, serta timbre. Beberapa penelitian condong kepada aspek
tempo sebagai
induktor terkuat untuk memacu gairah (arousal) seseorang. Tempo cepat
lebih menginduksi gairah seseorang (Kim & Zauberman, 2019).
Hal ini juga diperkuat dengan meta analisis dari Garlin & Owen (2006)
yang menggunakan aspek tempo sebagai induktor untuk menginduksi perilaku
konsumen.
Salah
satu kelemahan dari penelitian replikasi ini adalah tidak adanya modifikasi
dalam penentuan variabel independen-nya. Lagu yang dipilihkan adalah hasil try
out yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, Ziv (2018). Melihat
aspek budaya yang cukup kental di Indonesia, akan lebih baik apabila penelitian
selanjutnya menggunakan try-out tersendiri untuk memilih musik yang
akan dijadikan sebagai variabel independen.
Kesimpulan
Hipotesis
ditolak, tidak ada pengaruh dalam pemberian musik latar menyenangkan (pleasant/tonal)
dan musik tidak
menyenangkan (unpleasant/atonal) terhadap preferensi rasa cookies. Kemudian
juga tidak ditemukan adanya interaksi antara urutan penyajian cookies dengan
musik latar yang disajikan. Pembahasan lebih lanjut tentang temuan ini dibahas
pada bagian diskusi.
Bigand, E. &
Poulin-Charronnat, B. (2016). Tonal Cognition. In: S. Halam, I. Cross & M.
Thaut, ed., The Oxford Handbook of Music Psychology, 2nd ed. New York: Oxford University
Press.
Broekemier, G., Marquardt, R., & Gentry, J. W. (2008). An
exploration of happy/sad and liked/disliked music effects on shopping
intentions in a women�s clothing store service setting. Journal of Services
Marketing, 22(1), 59�67. https://doi.org/10.1108/08876040810851969
Costa, M. (2004). Interval Distributions, Mode, and Tonal
Strength of Melodies as Predictors of Perceived Emotion. Music Perception:
An Interdisciplinary Journal, 22(1), 1�14.
https://doi.org/10.1525/mp.2004.22.1.1
Daynes, H. (2011). Listeners� perceptual and emotional
responses to tonal and atonal music. Psychology of Music, 39(4),
468�502. https://doi.org/10.1177/0305735610378182
Davidson, J. (2004). Music as
Social Behavior. In: E. Clarke & N. Cook, ed., Empirical
Musicology: Aims, Methods, Prospects. New York: Oxford University Press.
Garlin, F. V., & Owen, K. (2006). Setting the tone with
the tune: A meta-analytic review of the effects of background music in retail
settings. Journal of Business Research, 59(6), 755�764.
https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2006.01.013
Hallam, S., Cross, I., & Thaut, M. (Eds.). (2016). The
Oxford handbook of music psychology (Second edition). New York, NY: Oxford
University Press.
Jain, R., & Bagdare, S. (2011). Music and consumption
experience: A review. International Journal of Retail & Distribution
Management, 39(4), 289�302.
https://doi.org/10.1108/09590551111117554
Juslin, P. & Lindstrom, E.
(2016). Emotion in Music Performance. In: S. Hallam, I. Cross & M. Thaut,
ed., The Oxford Handbook of Music Psychology, 2nd ed. New York: Oxford
university Press.
Kantono, K., Hamid, N., Shepherd, D., Yoo, M. J. Y., Carr, B.
T., & Grazioli, G. (2016). The effect of background music on food
pleasantness ratings. Psychology of Music, 44(5), 1111�1125.
https://doi.org/10.1177/0305735615613149
Kim, K., & Zauberman, G. (2019). The effect of music
tempo on consumer impatience in intertemporal decisions. European Journal of
Marketing, 53(3), 504�523. https://doi.org/10.1108/EJM-10-2017-0696
Martin, G. N. & Clarke R.M.
(2017). Are psychology journals anti-replication? a snapshot of editorial
practices. Frontiers in Psychology, 8(523), 1-6. http://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.00523
Palgunadi, B. (2002). Serat Kandha Karawitan Jawi Mengenal
Seni Karawitan Jawa. Bandung: Penerbit ITB.
Wiggins,
B. J., & Christopherson, C. D. (2019). The replication crisis in
psychology: An overview for theoretical and philosophical psychology. Journal of
Theoretical and Philosophical Psychology, 39(4), 202�217. https://doi.org/10.1037/teo0000137
Yalch, R., & Spangenberg, E. (1990). Effects of Store
Music on Shopping Behavior. Journal of Consumer Marketing, 7(2),
55�63. https://doi.org/10.1108/EUM0000000002577
Yi, F., & Kang, J. (2019). Effect of background and
foreground music on satisfaction, behavior, and emotional responses in public
spaces of shopping malls. Applied Acoustics, 145, 408�419.
https://doi.org/10.1016/j.apacoust.2018.10.029
Ziv, N. (2018). Musical flavor: The effect of background
music and presentation order on taste. European Journal of Marketing, 52(7/8),
1485�1504. https://doi.org/10.1108/EJM-07-2017-0427
Afriza
Animawan Arifin, Abdullah Azzam Al Afghani, Valendra Granitha (2022) |
First publication right: Syntax Literate:
Jurnal Ilmiah Indonesia |
This article is licensed under: |