Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p�ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

THE POSITION OF LAW USED IN THE ESTABLISHMENT OF A BUMN OIL AND GAS HOLDING COMPANY OF PT PERTAMINA AND PT PGN

 

Emma Maripah

Universitas Islam As Syafiiyah Jakarta, Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hukum yang digunakan dalam pendirian holding BUMN migas PT Pertamina dan PT PGN. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif, yaitu suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena yang ada, baik fenomena alam maupun fenomena buatan manusia. Sedangkan bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif. Penelitian yuridis-normatif adalah prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika ilmiah hukum ditinjau dari hal-hal normatifnya sebagai instrumen untuk menemukan kedudukan hukum yang digunakan dalam pendirian perusahaan induk BUMN minyak dan gas bumi PT Pertamina dan PT PGN. Teknik yang digunakan untuk memperoleh bahan hukum lebih lanjut adalah penelitian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, beberapa literatur, jurnal hukum, dan tulisan-tulisan yang berhubungan langsung dengan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa: 1) Kedudukan hukum yang digunakan dalam pendirian holding BUMN migas PT Pertamina dan PT PGN hanya berdasarkan PP No. 22 Tahun 2016, maka untuk mengakui kedudukan tersebut, penulis menganalisis kepatuhan PP tersebut terhadap isi pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti: hukum perbendaharaan negara, hukum keuangan negara, hukum perusahaan milik negara migas, hukum perusahaan Indonesia (PT), dan hukum larangan praktik monopoli dan daya saing yang tidak sehat, sehingga penulis berkesimpulan bahwa kedudukan hukum yang digunakan dalam pendirian holding BUMN migas PT Pertamina dan PT PGN masih lemah karena masih ada pasal-pasal yang harus sesuai dengan ketentuan yang lebih tinggi. hukum; dan 2) terdapat kendala yang dihadapi dalam proses pendirian holding BUMN migas PT Pertamina dan PT PGN, yaitu: kendala yang timbul dari legalitas yang dijadikan dasar pendirian holding BUMN migas PT Pertamina dan PT PGN, kendala yang muncul dari rencana pendirian holding BUMN migas terkait persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atas penyelenggaraan holding migas, dan kendala dari segi kesiapan PT Pertamina dan PT PGN dalam mengelola holding company.

 

Kata Kunci: Holding Company; BUMN; Legal Standing

 

 

 

Abstract

This research is aimed to recognize the position of law used in the establishment of a BUMN oil and gas holding company of PT Pertamina and PT PGN. This research used a descriptive research, namely a research method whose objective is to describe the existing phenomenon, both natural phenomenon and human-made phenomenon. Meanwhile, the form of this research is juridical-normative. A juridical-normative research means a procedure of scientific research to find truth based on law scientific logical in terms of its normative matter as an instrument to find the position of law used in the establishment of a BUMN oil and gas holding company of PT Pertamina and PT PGN. The technique used to obtain further law materials is library research, namely by studying the laws and regulations, some literatures, law journals, and writings that directly relate to the problem focused in this research. Results of this research discloses that: 1) The position of law used in the establishment ofa BUMN oil and gas holding company of PT Pertamina and PT PGN was only based on PP No. 22 of 2016, consequently to recognize the position, the author analyzed the compliance of such PP to the contents of Articles of higher laws, such as: law of state treasury, law of state finance, law of oil and gas state-owned companies, law of Indonesia companies (PT), and law of prohibitions of monopoly practices and unhealthy competitiveness, which leads the author to conclude that the position of law used in the establishment of a BUMN oil and gas holding company of PT Pertamina and PT PGN is still weak since there are still articles should be compliant with the higher laws; and 2) there were obstacles faced in process of establishment of a BUMN oil and gas holding company of PT Pertamina and PT PGN, namely: obstacles aroused from the legality used as the basis for the establishment of a BUMN oil and gas holding company of PT Pertamina and PT PGN, obstacles aroused from the planning of establishment of a BUMN oil and gas holding company in connection to the approval of the House of Representatives (DPR) on the implementation of the oil and gas holding company, and obstacles in terms of the readiness of PT Pertamina and PT PGN in managing the holding company.

 

Keywords: Holding Company; BUMN; Legal Standing

 

Pendahuluan

Badan Usaha Milik Negara merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional. Dasar keberadaan BUMN adalah pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: �Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara. Pengertian dikuasai oleh negara dalam pasal diatas menurut Mahkamah Konstitusi diartikan sebagai rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beied) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam melaksanakan tugas konstitusional tersebut, negara melakukan penguasaan atas seluruh kekuatan ekonomi melalui regulasi sektoral yang merupakan kewenangan menteri. Teknis dan kepemilikan negara pada unit-unit usaha milik negara menjadi kewenangan menteri BUMN. Sebagai turunan dari UUD 1945 tersebut, kebijakan pembinaan BUMN dituangkan dalam Undang-undang nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN pada umumnya berbentuk badan hukum dimana permodalannya sebagian besar dimiliki oleh pemerintah, yaitu permodalannya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Modal yang dimiliki oleh pemerintah kemudian diwujudkan dalam bentuk saham perusahaan, dimana pada perusahaan BUMN pemerintah memiliki 51% saham sehingga menjadikan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali.BUMN memegang peranan penting untuk mendorong berjalannya roda perekonomian suatu negara. Tujuan pendirian BUMN diatur dalam pasal 2 Undang-Undang no 19 tahun 2003 yaitu :

1.   Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional. BUMN diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat sekaligus memberikan kontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan dapat membantu penerimaan negara.

2.   Mengejar keuntungan. Meskipun maksud dan tujuan persero adalah untuk mengejar keuntungan, namun dalam hal-hal tertentu untuk melakukan pelayanan umum, persero dapat diberikan tugas khusus dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan yang sehat.

3.   Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan jasa yang bermutu tinggi serta memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak, dengan maksud dan tujuan seperti ini, setiap hasil usaha dari BUMN baik barang maupun jasa, dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

4.   Menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan korporasi.

5.   Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, korporasi dan masyarakat.

 

Metode Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif, Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia�. Adapun bentuk penelitiannya adalah yuridis- normatif, penelitian yuridis normatifadalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Tipe penelitian hukum yuridis normatif mempertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang membuka peluang terjadinya praktik eksploitasi terhadap lingkungan hidup.���

����������� Dalam penelitian yuridis normatif penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundangan. Penelitian hukum normatif dapat juga dikatakan sebagai suatu studi kepustakaan karena yang diteliti adalah Peraturan pemerintah tentang pembentukan Holding Company migas PT pertamina dan PGN.

Hasil dan Pembahasan

Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh Negara (Poggi, 1978). Hal ini terlihat ada prinsip dari negara kesejahteraan yang terdapat dalam UUD 1945 yang berkaitan dalam bidang sosial ekonomi. Prinsip Negara kesejahteraan tersebut berada dalam UUD 1945 khususnya pada Pasal 33 dan 34, dimana isinya mengandung tentang ekonomi-sosial. Dalam pandangan teori klasik tentang negara, peran negara dalam pembangunan, termasuk peran kesejahteraan, mencakup lima hal. Pertama, peran ekstraksi, yakni mengumpulkan sumberdaya, misalnya memperoleh devisa dari ekspor, eksploitasi sumberdaya alam, menarik pajak warga, atau menggali pendapatan asli daerah. Kedua, peran regulasi, yakni melancarkan kebijakan dan peraturan yang digunakan untuk mengatur dan mengurus barang-barang publik dan warga. Ketiga, peran konsumsi, yakni menggunakan (alokasi) anggaran negara untuk membiayai birokrasi agar fungsi pelayanan publik berjalan secara efektif dan profesional. Keempat, peran investasi ekonomi, yakni mengeluarkan biaya untuk untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja bagi warga. Kelima, peran distribusi sosial, yakni negara mengeluarkan belanja untuk membiayai pembangunan sosial atau kebijakan sosial (Asshiddiqie, 2005). Wujud konkretnya adalah pelayanan publik untuk memenuhi hak-hak dasar warga. Berdasarkan penjelasan diatas maka teori walfare state dijadikan salah satu teori yang mendasari tentang kedudukan hukum dalam pembentukan Holding Company Migas BUMN PT. Pertamina dan PT. PGN, karena dalam pelaksanaannya BUMN mempunyai tanggungjawab dalam pelaksanaan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3 dimana peran negara dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat harus tetap menjadi tujuan utama.

Mengkaji masalah kedudukan hukum Saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena beberapa alasan, alasan yang pertama diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Alasan kedua, secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunan memakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) (Lawrence W. Friedman, 1984). Alasan ketiga, pada dasarnya Teori Hukum Pembangunan memberikan dasar fungsi hukum sebagai �sarana pembaharuan masyarakat�(law as a tool social engeneering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang (Rasjidi & Rasjidi, 2012).

Teori hukum pembangunan menurut Mochtar kusumaatmadja dijadikan sebagai teori yang menganalisis dalam pembentukan Holding Company Migas PT. Pertamina dan PT. PGN sesuai dengan esensi pemikiran hukum Mochtar mengenai posisi dan peran hukum dalam pembangunan, dimana pembangunan dalam arti seluas-luasnya meliputi segala segi dari pada kehidupan masyarakat dan tidak hanya segi kehidupan ekonomi saja tetapi meliputi segi sosial dan politik yang berkembang dalam masyarakat (Kusumaatmadja, 1986).

Manusia bukan satu-satunya yang menjadi subjek hukum, terdapat segala sesuatu yang menurut hukum dapat mempunyai hak dan kewajiban hal tersebut dikenal dengan nama badan hukum. Badan hukum adalah suatu organisasi, badan, kumpulan, institusi atau harta benda, yang dibentuk atau dikukuhkan oleh hukum, dimaksudkan sebagai pemangku hak, kewenangan, kewajiban, kekayaan, tugas, status, privilege sendiri yang pada prinsipnya terpisah dari yang dimiliki oleh manusia individu, memiliki pengurus yang mewakili dan menjalankan kepentingan badan hukum disamping juga kepentingan anggotanya, sehingga badan hukum dapat menuntut/ menggugat atau dituntut/ digugat di depan pengadilan disamping juga dapat menjadi korban dari suatu tindak pidana bahkan dalam pengertiannya yang modern, badan hukum dapat juga melakukan suatu tindak pidana dan dihukum pidana (Fuady, 2004).

Teori-teori badan hukum diatas menjadi salah satu teori yang akan digunakan untuk menganalisis tinjauan hukum dalam pembentukan Holding Company BUMN Migas. Terkait dua BUMN yang di holding yaitu PT. Pertamina dan PGN, dalam hal ini terdapat perubahan status PT PGN yang semula BUMN menjadi non BUMN, tentunya agar perubahan tersebut sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan mempunyai dasar hukum yang tepat maka teori badan hukum tepat jika dijadikan salah satu tinjauan.

Beberapa konsep yang relevan dengan penelitian ini dintaranya adalah:

A.  Holding Company

Holding Company atau disebut juga Perusahaan Induk merupakan sebuah perusahaan sentral dimana mempunyai tujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan yang tentunya pada perusahaan lain, untuk mengatur satu atau sejumlah lebih pada perusahaan lain tersebut (UUPT Nomor.40 Tahun 2007 Pasal. 122 s/d Pasal 134).Oleh karena itu Holding Company dapat diartikan sebagai Induk perusahaan (Parent Company) atau Controlling company disebabkan perusahaan tersebut memiliki kepentingan terhadap anak-anak perusahaan anak perusahaan dapat dilihat dalam penjelasan pasal 29 UU no 1 tahun 1995.

Adapun tujuan dibentuknya Holding Company diantaranya:

1.     Meningkatkan kinerja perusahaan sehingga meningkatkan laba atau penghasilan yang lebih besar.

2.     Peningkatan kesejahteraan pemegang saham (Fuady, 2004)

3.     Memperluas pangsa pasar (market Share) yang mengurangi competitor,

4.     Meningkatkan pendapatan karena penjualan dari volume produksi semakin meningkat (Arisuta, 2000)

5.     Selain itu dapat meningkatkan daya saing melalui sinergi anggota perusahaan grup melalui strategi pertumbuhan eksternal dengan membentuk struktur dan konstruksi perusahaan grup.

Proses Pembentukan Holding Company terdiri atas tiga prosedur yaitu prosedur residu, prosedur penuh dan prosedur terprogram. Prosedur residu adalah perusahaan asal dipecah-pecah sesuai dengan masing-masing sektor usaha (Fuadi, 2004).Sedangkan Prosedur penuh ini sebaiknya dilakukan jika sebelumnya tidak terlalu banyak terjadi pemecahan/pemandirian perusahaan, tetapi masing-masing perusahaan dengan kepemilikan yang sama/berhubungan saling terpencar-pencar, tanpa terkonsentrasi dalam suatu perusahaan holding (Fuady, 2004).sedangkan prosedur terprogram adalah dari awal orang-orang bisnis telah sadar akan pentingnya perusahaan holding. Sehingga awal start bisnis sudah terpikir untuk membentuk suatu perusahaan holding.

����� Keuntungan dan kerugian Holding Company diantara keuntungannya adalah adanya kemandirian resiko, hak pengawasan lebih besar, pengontrolan dari perusahaan holding, operasional yang lebih efisien, kemudahan sumber modal, keakuratan keputusan yang diambil. Sedangkan kerugian Holding Company adalah pajak ganda, lebih birokratis, manajemen one man show, konglomerat game, penutupan usaha, resiko usaha (Fuady, 2004).

B.  Latar belakang Pembentukan Holding Company Di Indonesia��������

Holding Company dimulai sejak tahun 1889, ketika Nem Jersey menjadi negara bagian pertama yang memberlakukan Undang-undang yang mengijinkan pembentukan perusahaan dengan tujuan utamanya memiliki saham perusahaan lain. sedangkan pembentukanHolding Company di Indonesia dikenal dengan perusahaan Grup, dalam perkembangan di dunia bisnis dimana perusahaan grup menjadi salah satu pilihan bentuk usaha yang banyak dipilih oleh para pelaku usaha di Indonesia. Dalam perkembangan perusahaan grup di Indonesia yang semakin pesat, munculnya perseroan terbatas berbentuk grup yang mana pada umumnya bentuk Holding Company banyak dijumpai pada badan hukum perseroan terbatas.Perusahaan holding adalah perusahaan yang kegiatan utamanya melaksanakan invensi pada anak-anak perusahaan dan selanjutnya melakukan pengawasan atas kegiatan manajemen anak perusahaan (Yani & Widjaja, 2000).

Pembentukan perusahaan grup tersebut dipengaruhi oleh berbagai motif antara lain meliputi penciptaan nilai tambah melalui sinergi dari beberapa perusahaan, upaya perusahaan mencapai keunggulan kompetitif yang melebihi perusahaan lain, motif jangka panjang untuk mendayagunakan dana-dana yang telah dikumpulkan ataupun perintah perundang-undangan yang mendorong terbentuknya perusahaan grup.

Adapun pembentukan perusahaan grup di Indoensia dibedakan menjadi dua bagian yaitu:

1.   Upaya pelaku usaha untuk mengakomodasi ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan ini dapat berupa perintah perundang-undangan ataupun escaped clause peraturan perundang-udangan yang berimplikasi pada terbentuknya perusahaan grup.

2.   Upaya pelaku usaha untuk mengutamakan kepentingan ekonomi dari perusahaan grup. Dalam hal ini perusahaan grup bertujuan untuk meningkatkan daya saing melalui sinergi perusahaan grup melalui strategi pertumbuhan eksternal dengan membentuk struktur dan konstruksi perusahaan grup (Arisuta, 2000).

Dalam pelaksanaannya perseroan terbatas di Indonesia menganut konsep adanya pertanggungjawaban terbatas atau Limited liability, dimana pemegang saham hanya bertanggungjawab atas kerugian yang diderita perseroan sebatas saham yang dimilikinya. Doktrin limited liability adalah doktrin yang menjelaskan tanggung jawab terbatas dalam perseroan. doktrin ini terdapat dalam aturan UU no 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas pasal 3 ayat 1 dimana dinyatakan bahwa terdapat batasan-batasan pertanggungjawaban pemegang saham dalam perseroan. konsep separate legal entity, yaitu bahwa perseroan terbatas merupakan entitas yang terpisah dari badan hukum lainnya (Harahap, 2011).

Adapun syarat- syarat pembentukan Holding Company adalah pertama-tama mendirikan perusahaan induk/PT induk, bergerak di bidang umum, bukan PT yang bergerak di bidang khusus. Sesudah ada perusahaan induk/PT induk, maka PT yang bersangkutan dapat membentuk PT baru selaku pemegang saham. Pendirian PT baru dilakukan sebagaimana pendirian PT pada umumnya, yaitu dengan akta notaris, dan seterusnya, atau masuk sebagai pemegang saham PT lain yang sudah ada dengan jalan membeli saham. Pembelian saham dilakukan dengan pembelian saham pembelian saham yang mengakibatkan terjadinya perubahan pengendalian PT wajib memenuhi ketentuan yang berlaku (Harahap, 2011).

Syarat pembentukan Holding Company di Indonesia belum memiliki aturan yang Khusus. Holding Company di Indonesia pada umumnya berbentuk perseroan terbatas, maka syarat dan ketentuan pembentukan Holding Company harus tunduk pada aturan UU no 40 tahun 2007 , Bab VIII tentang Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan pemisahanyaitu pasal 125 � pasal 134 UU No. 40 Tahun 2007, kemudian dalam pasal 7 yang secara umum menyatakan bahwauntuk mendirikan tentang perseroan terbatas harus memiliki dua atau lebih pemegang saham kecuali perseroan terbatas yang dimiliki oleh negara atau lembaga-lembaga sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang pasar modal, adapun secara jelas isi dari pasal 7 UU no 40 tahun 2007.

Adapun jenis Holding Company tersebut dibedakan ditinjau berdasarkan atas kegiatan perusahaan induk dapat dijelaskan sebagai berikut (Sulistiowati, Jakarta,2010).

a. Investment holding company

Pengertian Investment Holding Company adalah perusahaan yang kegiatana utamanya adalah memegang dan memiliki investasi seperti property dan saham untuk investasi jangka panjang dan memperoleh penghasilan investasi dari deviden, bunga, pendapatan sewa serta pendapatan lainnya yang bukan berasal dari hasil jual beli produk barang dan jasa (Fuady, 2004).

b. Operating Holding Company

Operating holding company berdasarkan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan Tentang Pedoman Penilaian Dan Penyajian Laporan Penilaian Usaha di Pasar Modalterdapat dalam Pasal 1 huruf a butir ke 25 yang menyatakan bahwa\ perusahaan Induk Operasional (Operating Holding Company) adalah suatu perusahaan yang pendapatannya berasal dari penyertaan pada perusahaan lain dan kegiatan usaha lainnya

c.Strategic Holding Company

���� Strategic holding adalah pemisahan fungsi operasional dan fungsi holding tanpa harus mengabaikan pengelolaan ekuitas. induk perusahaan memegang merk anak perusahaan. Munculnya bentuk Strategic Holding ketika induk perusahaan mengalihkan posisinya sebagai operating company menjadi sebaliknya sebagai perusahaan yang tidak menjalankan kegiatan operasional. Pengalihan ini berupa pemisahan fungsi antara Operating Company dengan Holding Company dengan pemisahan unit bisnis (Spin of) Induk perusahaan ataupun pendirian perusahaan baru sebagai anak perusahaan (Simanjuntak, 1994).

C.  Perusahaan BUMN dalam Perseroan Terbatas

Pengertian BUMN dijelaskan dalam UU no 19 tahun 2003 pasal 1 butir 1 yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimilki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN.Badan Usaha Milik Negara atau sering disingkat dengan BUMN, merupakan bentuk badan usaha dibidang-bidang tertentu, yang umumnya menyangkut dengan kepantingan umum, dimana peran pemerintah di dalamnya relatif besar, minimal dengan menguasai mayoritas pemegang saham.

Di dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 macam-macam bentuk BUMN itu adalah sebagai berikut:

1.   Perusahaan Perseroan (Persero). Pasal 1 angka 2 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003, berbunyi: perseroan terbatas yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Organ-organ dari Persero adalah RUPS, Direksi dan Komisaris.

2.   Perusahaan umum (Perum). Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara dan tidak terbagi atas saham, tujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus untuk mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Pada dasarnya proses pendirian Perum sama dengan Persero. Organ dari suatu Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas

D.  Restrukturisasi BUMN

Pengelolaan BUMN saat ini belum maksimal, terbukti dengan banyaknya kerugian di beberapa bidang sehingga kemakmuran sosial yang menjadi tujuan BUMN belum dapat terpenuhi secara optimal, pada hakikatnya BUMN masih tertinggal jauh dari perkembangan badan usaha milik swasta. Analisa kelemahan BUMN diatas terbukti dengan beberapa faktor berikut ini yang terjadi pada BUMN di Indonesia saat ini yaitu:

  1. Saat ini baru hanya ada satu BUMN di Indonesia yang dapat disebut sebagai pemain internasional yaitu pertamina.
  2. Tingkat usaha persaingan yang semakin tinggi, baik di pasar domestik, regional, maupun internasional.
  3. Diperlukan pembenahan skala usaha BUMN sehingga menciptakan daya kompetisi yang lebih kuat.
  4. Perlu sinergi yang lebih kuat dan luas antar BUMN karena BUMN bergerak hampir pada semua sector usaha.
  5. Dunia usaha tidak dapat lagi bergantung pada pertumbuhan organik, diperlukan pertumbuhan unorganic melalui merger, akusisi, kosolidasi dll.
  6. BUMN perlu mendapat level playing field yang sejajar dengan sector swasta terutama terkait dengan rigiditas. (PP no 33 tahun 2005 jo PP no 59 tahun 2010)

Dengan kondisi tersebut maka tercetuslah upaya restrukturisasi BUMN, adapun terdapat dua cara yang dominan dilakukan oleh kementrian BUMN yaitu:

1.�������� Privatisasi

����������� Pengertian privatisasi terdapat dalam pasal 1 butir 2 peraturan pemerintah no 33 tahun 2005 tentang tata cara privatisasi perusahaan perseroan (persero) sebagaimana telah dirubah dalam PP no 59 tahun 2009 yang berisi: Privatisasi adalah penjualan saham persero baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat.

2.�������� Righsizing

����������� adalah regouping/ konsolidasi BUMN secara sectoral untuk memetakan kembali jumlah masing-masing BUMN sectoral tersebut, untuk mendapatkan jumlah dan skala yang lebih ideal sampai dengan akhir 2009 memang belum dapat dilaksanakan Adapun untuk sampai bisa merealisasikan rightsizing dalam bentuk Holding company BUMN pemerintah telah melewati beberapa perubahan masterplan dan roadmap yang bertahap untuk mampu meningkatkan penciptaan nilai BUMN, dimana dalam pelaksanaannya dimensi kepentingan politik dalam pengelolaan BUMN belum dapat secara tuntas terpisahkan dari kekuasaan yang memang bersumber dari kekuatan politik. Alasan pemilihan Holding Company dalam pengembangan BUMN yang lebih baik adalah bahwa pemerintah akan melakukan kebijakan strategis dalam rangka upaya peningkatan kinerja, dengan restrukturisasi BUMN untuk stand alone, merger/konsolidasi, holding, divestasi, serta likuidasi (Kementrain BUMN master plan kementrian BUMN periode 2010-2014) (Pranoto, 2017). Program rekstrukturisasi mempunyai tujuan diantarnya adalah :

a.��� Meningkatkan kinerja dan nilai dari perusahaan

b.��� Memberikan manfaat berupa deviden dan pajak kepada negara

c.��� Menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen dan memudahkan pelaksanaan privatisasi.

Restrukturisasi BUMN dilakukan melalui 3 pertimbangan yaitu:

1.       Restrukturisasi sektoral, dimana pelaksanaannya disesuaikan dengan kebijakan sektor dan/atau peraturan perundang-undanagan yang terkait.

2.       Restrukturisasi korporasi perusahaan adalah meliputi peningkatan intensitas persaingan usaha, terutama di sektor-sektor yang terdapat monopoli. Baik yang diregulasi maupun monopoli alamiah, dan penataan hubungan fungsional antara pemerintah selaku regulator dan BUMN sebagai selaku badan usaha, termasuk didalamnya penerapan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan menetapkan arah dalam rangka pelaksanaan kewajiban pelayanan publik.

3.       Restrukturisasi internal yakni mencakup keuangan, organisasi manajemen, operasional system dan prosedur.

E.  Keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan

Dalam memahami hubungan hukum antara induk perusahaan dan anak perusahaan maka harus dipahami silogisme yang disampaikan oleh Blumberg yaitu : � limited liability protected shareholder, a parent corporationwas a shareholder of the subsidiary , ergo limited liability protected parent corporation (Philip I Blumberg, 1987). Berdasarkan hal tersebut maka dapat diartikan bahwa induk perusahaan dan anak perusahaan sebagai perusahaan yang terpisah dan mandiri dalam melakukan kegiatannya masing-masing yang dibatasi dengan prinsip limited liability.

Tanggung Jawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan Anak Perusahaan dalam menjalankan usahanya sudah pasti berhubungan dengan pihak lain yaitu pihak ketiga (Supramono, 2007). Biasanya kalau transaksinya dapat berjalan dengan lancar atau tidak ada masalah kondisinya akan aman-aman saja, namun bila terjadi sebaliknya terjadi masalah misalnya perusahaan melakukan wanprestasi maka yang dicari adalah yang menyangkut tanggung jawab. Berhubung yang melakukan transaksi adalah suatu Perusahaan maka mengenai masalah tanggung jawab dipengaruhi oleh statusnya, apakah berstatus badan hukum atau tidak. Adanya perbedaan status tersebut berpengaruh pada siapa yang harus bertanggung jawab.

Selain itu Tanggung jawab induk perusahaan karena adanya kontrak yang bersifat kebendaan. Induk perusahaan dapat melakukan kontrak-kontrak yang bersifat kebendaan dalam hubungan dengan kegiatan anak perusahaan. Sehingga, tanggung jawab yuridis dari perbuatan yang dilakukan oleh anak perusahaan sampai batas-batas tertentu dapat dibebankan kepada induk perusahaan. Kemudian tanggung jawab induk perusahaan karena adanya kontrak yang bersifat personal. Untuk menembus tanggung jawab mandiri dari suatu badan hukum, incase tanggung jawab dari anak perusahaan, sehingga induk perusahaan dapat juga dimintakan tanggung jawabnya atas bisnis anak perusahaan, dalam hal ini dapat juga dibuat kontrak-kontrak yang bersifat personal. Dilakukan misalnya untuk menjamin hutang-hutangnya anak perusahaan.

Keterkaitan antara induk dan anak perusahaan dalam kontruksi Holding Company, disebabkan oleh adanya hal-hal berikut, antara lain :

a.    Kepemilikan induk perusahaan terhadap saham anak perusahaan.

b.   Rapat umum pemegang saham

c.    Penempatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris anak perusahaan

d.   Keterkaitan melalui perjanjian hak bersuara

e.    Keterkaitan melalui kontrak. (Sulistiowaty,2010)

����������� Berdasarkan landasan teori dan konsep yang disampaikan, hasil penelitian dapat dianalisis dari beberapa aspek berikut:

1.   Analisis perundang-undangan yang berlaku terhadap pembentukan Holding

��� Company BUMN Migas.

a.   Analisis UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Pada dasarnya analisis dalam UU ini tidak dapat dipisahkan dari UU no 1 tahun 2004 pasal pasal 1 ayat 10 tentang perbendaharaan negara berkaitan dengan pengertian Barang milik negara yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sedangkan menurut PP no 72 tahun 2016 pasal 2 ayat 2: Sumber Penyertaan Modal Negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kekayaan negara berupa: b. barang milik negara; dengan dihapusnya ketentuan huruf b tentang�proyek-proyek yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara� digantikan dengan frasaBarang Milik Negara� , akan memiliki risiko terbukanya mekanisme pencucian aset negara menjadi aset badan usaha lain karena terdapat degradasi dalam proses maupun pengawasannya. (Andi, Renyowijoyo Muindro, 2010) karena suatu barang masih berstatus sebagai Barang Milik Negara, maka pemindahtanganannya memerlukan persetujuan DPR RI atau Menteri Keuangan sesuai dengan batas kewenangannya. (Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014) hal tersebut menjadi kekhawatiran DPR karena dalam pasal 2A PP no 72 tahun 2016 dijelaskan:

(1) Penyertaan Modal Negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d kepada BUMN atau Perseroan Terbatas lain, dilakukan oleh Pemerintah Pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Berdasarkan isi pasal di atas kalimat tanpa melalui mekanisme anggaran Pendapatan dan Belanja negara, mempunyai arti dimana secara serta merta peran DPR dieliminasi. Sedangkan kekayaan negara /keuangan negara sebagaimana diatur dalam UU Keuangan Negara no 17 tahun 2003, Pasal 1 angka 1 menyatakanKeuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebutLebih lanjut dalam Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara menyatakankekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah�. Jadi berdasarkan ketentuan dalam UU Keuangan Negara kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN merupakan akutansi keuangan negara, sehingga kebijakan dan perlakuannya harus melalui mekanisme APBN dengan demikian sudah terdapat perbedaan antara UU no 17 tahun 2003 dengan PP no 72 tahun 2016.

  1. Analisa pembentukan Holding Company Migas menurut UU no 1 tahun 2004

Ditinjau dari Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (�UU Perbendaharaan Negara�) tidak secara tegas menyatakan bahwa pelepasan aset Negara adalah apabila aset tersebut tidak lagi berada di bawah penguasaan Negara dan tidak ada pengecualian untuk perbuatan hukum di mana Pemerintah menghibahkan sahamnya dari satu BUMN ke BUMN lain yang dikuasai 100% oleh Pemerintah.

Adapun isi pasal 45 Undang-Undang no 1 tahun 2004 menyatakan: Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. (2) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Berdasarkan isi pasal di atas pemindahtanganan atau inbreg saham tetap memerlukan kontrol dari DPR karena UU perbendahaan negara memuat subtansi tersebut. Oleh karenanya jika DPR tidak dilibatkan maka akan terdapat kemungkinan adanya risiko keberatan dari pihak ketiga atau DPR dikemudian hari.

  1. Analisis UU no 19 tahun 2003 tentang BUMN terhadap Holding Company Migas

Berkenaan dengan UU BUMN No 19 tahun 2003 dalam PP no 72 tahun 2016 kurang sejalan dengan UU BUMN no 19 tahun 2003, diantaranya menilai ada dua hal yang dilanggar oleh PP 72/2016. Pertama, dari sisi prosedur, pada dasarnya, PMN diatur dalam UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN, yakni Pasal 4 ayat (2) yang isinya adalah (2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: a.�� Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, b.�� kapitalisasi cadangan, c.�� sumber lainnya. Isi dari pasal tersebut menyebutkan bahwa APBN merupakan sumber dari PMN.Sedangkan dalam PP no 72 tahun 2016 dikatakan bahwa Pasal 2 A ayat 3 dan 4 yang berisi Kekayaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas, bertransformasi menjadi saham/ modal negara pada BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut. (4) Kekayaan negara yang bertransformasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menjadi kekayaan BUMN atau Perseroan Terbatas tersebut.��

Terdapat upaya memisahkan kekayaan BUMN dari keuangan Negara (APBN), karena menurut UU BUMN disebutkan bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN. Terdapat perubahan status PGN yang tadinya BUMN menjadi PT dikhawatirkan jika terjadi pengambilalihan saham menjadi milik swasta. Berhubungan dengan UU BUMN terutama tentang permasalahan kesesuaian status anak perusahaan BUMN bukan BUMN dalam pasal 66 UU no 19 tahun 2003 dikatakan bahwa (1) Pemerintah dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN.Sedangkan dalam PP no 72 tahun 2016 dikatakan bahwa Anak perusahaan BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlakukan sama dengan BUMN untuk hal sebagai berikut:

a. mendapatkan penugasan Pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum; dan/atau

b. mendapatkan kebijakan khusus negara dan/atau Pemerintah, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dengan perlakuan tertentu sebagaimana diberlakukan bagi BUMN.

Alasan berikutnya adalah Revisi UU tentang BUMN berkaitan dengan revisi UU BUMN yang memiliki point penting dalam pembentukan Holding Company Ada dua pasal dalam UU BUMN yang digugat Pertama, pasal 2 ayat (1) huruf a dan b yang menyebutkan maksud dan tujuan pendirian BUMN untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya serta untuk mengejar keuntungan. Kedua, pasal 4 ayat (4) UU BUMN yang menyebutkan setiap perubahan penyertaan modal negara, baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atas saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

�� Pengaturan anak usaha BUMN pengaturan ini sangat penting dilakukan agar kinerja anak usaha BUMN dapat diaudit dan di investigasi. Hal penting lainnya yang baru diatur dalam revisi UU BUMN adalah soal Penyertaan Modal Negara (PMN). PMN yang berasal dari saham BUMN lain seperti yang diatur dalam revisi UU BUMN yang merupakan bentuk koreksi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016. Menurut penulis revisi UU BUMN ini bisa menjawab permasalahan Holding Company khususnya Holding Company BUMN Migas.

  1. Analisis UU Migas 21 tahun 2001 terhadap Holding Company Migas

Migas mempunyai UU tersendiri yakni UU no 22 tahun 2001, tentumya kebijakan Holding Company migas ini harus sesuai dengan UU diatasnya. PP no 72 tahun 2016 merupakan salah satu payung hukum dalam pembentukan Holding Company Migas yang menjadi regulasi pelaksanaannya. Holding Company Migas ini belum sepenuhnya disetujui oleh DPR karena saat ini DPR sedang merevisi UU no 22 tahun 2001 tentang Migas. Disaat DPR dalam proses revisi UU Migas pemerintah mengeluarkan PP no 72 tahun 2016 dan PP no 16 tahun 2018 yang mengatur tentang Holding Company Migas sedangkan DPR berencana membuat model kelembagaan migas yang berbentuk Badan usaha Khusus migas (BUK) yakni badan yang secara khusus melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir migas yang seluruh modal dan kekayaannya dimiliki oleh negara dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Bentuk kelembagaan ini berbeda dengan konsep Holding Company Migas yang diambil oleh pemerintah.

Berdasarkan pengamatan penulis pemerintah dapat menunggu penyelesaian revisi UU migas karena akan menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan kebijakan Migas. Dengan kata lain yang harus menyesuaikan adalah Peraturan pemerintah tentang Holding Company Migas karena berdasarkan tata urutan perundang-undang PP berada dibawah UU dengan demikian pembentukan Holding Company Migas harus disesuaikan dengan hasil revisi UU migas.

  1. Analisis pembentukan Holding Company BUMN Migas ditinjau dari UU no 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dalam UURI Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak memberikan definisi yuridis mengenai Holding Company dan tidak terdapat ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai Holding Company di Indonesia, jika Holding Company termasuk dalam konteks pengertian �pelaku usaha� dalam undang-undang tersebut maka Holding Company di Indonesia haruslah memenuhi unsur-unsur pelaku usaha dan bila dipandang bahwa Holding Company sebagai pemegang saham dalam perseroan maka harus turut pula pertanggungjawab atas perbuatan anak perusahaanya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.

Pasal 106 UUPT tersebut di atas dapat di tarik dua kesimpulan penting. Pertama, untuk melakukan tindakan hukum pembentukan perseroan harus didahului dengan perbuatan rancangan pembentukan Perseroan Terbatas dalam satu group yang telah di buat itu harus minta persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Kedua, tindakan hukum kegiatan Holding Company dalam Perseroan Terbatas, hanya berakibat diubahnya Anggaran Dasar/Akte Pendirian.

Berdasarkan analisis mengenai kerangka pengaturan mengenai keterkaitan antara induk dan anak perusahaan pada UUPT No. 40 Tahun 2007, melalui ketentuan Pasal 84 Ayat (2) huruf (b), kedudukan induk dan anak perusahaan sebenarnya diakui. Tetapi tidak ada pengaturan mengenai siapa yang disebut induk perusahaan dan siapa yang menjadi anak perusahannya. Jadi, perusahaan grup sebenarnya tidak dikenal dalam UUPT. Penentuan Pertamina sebagai induk dan PGN sebagai anak perusahaan pun tidak mempunyai dasar. Dalam hal Holding Company Migas terdapat penggabungan dua BUMN yang mana perbandingan pengaturan antara BUMN dengan swasta tentu berbeda. Jika swasta hanya tunduk kepada Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan UU sektoral, BUMN selain kepada 3 UU tersebut juga tunduk kepada UU BUMN. UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, UU Tipikor, UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.

Terdapat setidaknya dua instrumen untuk menimbang aspek konstitusionalitas perusahaan holding BUMN, yaitu: memenuhi konsep dikuasai oleh negara, kemudian harus bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Memang dalam Holding Company BUMN, pemerintah tetap sebagai pemegang saham tertinggi yang menguasai lebih dari 50% saham apabila model Holding Company BUMN berbentuk perseroan. Dengan posisi seperti ini maka posisi pemerintah lebih dominan dibandingkan dengan pemegang saham lain. Akan tetapi meskipun posisi pemerintah dominan, jika suatu saat karena kondisi ekonomi misalnya, Pemerintah harus melepas dominasi kepemilikan sahamnya ke pasar, atau terdapat keadaan tertentu yang menyebabkan pemerintah melepas sebagian sahamnya sehingga tidak lagi berstatus sebagai pemegang saham dominan, maka potensial terjadi peralihan kepemilikan Holding BUMN dari pemerintah ke pihak swasta. Sehingga penulis dapat menjelaskan bahwa pembentukan Holding Company Migas merupakan gagasan yang tepat jika dasar hukumnya kuat Berlakunya UU perseroan terbatas adalah pada penggabungan antar perseroan terbatas sedangkan untuk BUMN migas memerlukan sebuah rancangan UU yang komprehensif untuk mekanisme pelaksanaannya

  1. Analisis pelaksanaan Holding Company berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Berdasarkan Pasal 50 ayat a UU Anti Monopoli, ketentuan UU Anti Monopoli dikecualikan terhadap perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengecualian tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (�KPPU�) Nomor 5 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 Huruf a UU Anti Monopoli (�Perkom 5�).

Jika Holding Company merupakan pelaku usaha, dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah setiap orang atau badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Indonesia. Disini akan berpengaruh atas kedudukan Holding Company tersebut, apakah dapat dikatakan sebagai pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan bagaimana juga tanggung jawab Holding Company terhadap perbuatan pelanggaran larangan praktek monopoli yang dilakukan oleh anak perusahaannya.

Pembentukan Holding Company BUMN Migas jika dilihat berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat saat ini yang diatur dalam UU no 5 tahun 1999 kebijakan yang menjadi pengecualian dalam persaingan dipengaruhi oleh berbagai pertimbangan misalnya adanya perlindungan terhadap HAKI, perdagangan, perlindungan terhadap usaha kecil dan menegah serta kepentingan nasional terhadap perekonomian yang dikelola BUMN.Dalam hal ini Holding Company BUMN Migas menurut penulis tidak bertentangan dengan UU no 5 tahun 1999 karena menyangkut kepentingan nasional terhadap perekonomian yang dikelola BUMN, akan tetapi berbeda ketika anak perusahaan BUMN yang menjalankannya dalam prakteknya apakah peraturan tersebut masih berlaku, oleh karena itu diperlukan pembentukan UU Holding Company BUMN migas. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Holding Company Migas maka diperlukan koordinasi antara pemerintah dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) terkait aspek persaingan usaha.

2. Analisis Hambatan dalam Pembentukan Holding Company Migas

a.   Rencana pembentukan Holding migas BUMN terhambat karena permasalahan aspek legalitas.

Dalam PP 72 tahun 2016 terdapat banyak ketentuan yang kemudian mengundang pertanyaan dan pro kontra dari para ahli hukum berkenaan beberapa pasal didalamnya diantaranya adanya kekhawatiran aspek legal konstitusional yaitu tentang governance, kemudian jika uu dilanggar dengan tidak melibatkan DPR BPK tidak mengawasi bagaimana tata kelola BUMN itu dapat bebas KKN. Holding Company Migas masih belum bisa terealisasi dengan maksimal karena masih menunggu kajian dan kesimpulan dari DPR terkait dasar hukumnya yakni PP no 72 tahun 2016, alasannya pihak komisi VI masih harus mendalami memerlukan pendalaman tentang isi PP tersebut dan membutuhkan penjelasan yang dinilai mengabaikan peran DPR didalam pembentukannya.

Hambatan berikutnya adalah ketika Pertamina di jadikan induk perusahaan dan PGN dijadikan anak perusahaan sedangkan dari sisi keuangan dan manajemen PT Pertamina saat itu tidak prudence dalam tahun buku 2017 kerugian mencapai 17 triliun, sebaliknya yang terjadi dengan PT PGN saat tahun 2017 PGN mendapatkan keuntungan sebanyak 150 juta $. Data tersebut kemudian memunculkan pendapat bahwa Holding Company Migas kemungkinan tidak memberikan nilai tambah bagi induk holding kecuali menambah inefisiensi biaya dan memperpanjang rantai pengambil keputusan.

Hambatan dari Rencana pembentukan holding migas BUMN berkaitan dengan persetujuan DPR terhadap pelaksaanaan Holding Company Migas komisi VI menganggap PP no 72 tahun 2016 masih memiliki banyak pelanggaran yakni bertabrakan dengan UU yang menjadi Induk aturan tersebut BUMN yang menjadi anak perusahaan merupakan perusahaan yang terbuka yang terlepas dari kontrol negara hal inilah yang menjadikan pemerintah merasa harus merevisi PP tersebut dengan Pp no 72 tahun 2016. Menurut pertimbangan DPR saat ini pembentukan holding masih memerlukan pertimbangan berbagai aspek. Diantaranya adalah: Permasalahan hukum, di mana proses pembentukan Holding tanpa melibatkan DPR sebagai fungsi pengawas dari setiap perpindahan aset kekayaan negara. Pemerintah perlu mencari cara agar tidak kehilangan mekanisme kontrolnya. Pemerintah perlu menetapkan berbagai ketentuan dalam UU Migas yang saat ini sedang direvisi DPR. untuk mengatasinya pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk melaksanakan pengawasan. Sebab, berubahnya status PGN menjadi badan usaha swasta akan menghilangkan kewajiban perusahaan tersebut memberi layanan publik atau public service obligation (PSO).

Pasal 2 pp 72 tersebut sangat berbahaya karena membuka peluang privatisasi BUMN tanpa persetujuan lembaga legislative. Kemudian dengan Holding Company Migas yang menjadikan PGN sebagai anak perusahaan yang tadinya BUMN berubah menjadi perseroan terbuka sehingga tidak bisa lagi diawasi oeh BPK. Dilihat dari segi governance jika tanpa melibatkan DPR dalam Holding Company Migas ini sesungguhnya telah terjadi pelanggaran UU, Sementara masalah kita saat ini adalah bagaimana membentuk good governance dalam BUMN. Pembentukan Holding Company Migas ini terjadi di tengah berlangsungnya proses gugatan Undang-Undang BUMN. Apabila gugatan ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), diperkirakan berimbas kepada turunannya termasuk PP Holding. Sehingga DPR memang meminta pemerintah untuk menunda pembentukan Holding Company BUMN Migas karena dasar hukumnya, yaitu PP Nomor 72 Tahun 2016, bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Pelaksanaan Holding Company BUMN Migas juga terhambat karena diperlukan Persetujuan DPR terkait adanya rekomendasi dari Panitia Kerja (�Panja�) DPR yang tertuang dalam Laporan Panja Aset BUMN Komisi VI DPR RI tertanggal 24 September 2014 (�Laporan Panja�) yang ditujukan kepada Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan untuk menghentikan pembentukan Holding BUMN yang berpotensi untuk menghilangkan BUMN dan mengakibatkan terbentuknya anak perusahaan yang berasal dari induk BUMN.

Berdasarkan analisa di atas Holding Company Migas merupakan ranah eksekutif, akan tetapi terkait dengan komoditas migas merupakan komoditas yang mengacu pada pasal 33 apalagi kemudian konteks penggabungan migas antara komoditas minyak bensin dan gas saling subtitusi menjadi salah satu pertimbangan bahwa migas ini komoditas strategis yang harus diatur tersendiri dalam peraturan tertentu. Pertimbangan DPR juga bertambah dengan adanya perbedaan konsep Holding Company BUMN Migas dengan konsep kelembagaan yang sedang di finalisasi dalam revisi dalan UU Migas di DPR

b.     Analisis hambatan Holding Company Migas ditinjau dari kesiapan PT Pertamina dan PT PGN dalam hal Tata kelola holding migas

Melihat situasi Holding Company BUMN saat ini dan beberapa benchmarking yang dilakukan, optimalisasi pengelolaan Holding Company BUMN Migas ke depan perlu mencermati beberapa hal: Pertama, secara kelembagaan perlu penguatan peran holding sehingga mereka bisa bergerak lebih fleksibel dan mengurangi hambatan birokrasi. dan kedua, proses transformasi menjadi Holding yang kuat bisa dilakukan apabila penanganan PMI dijalankan dengan baik.

 

 

Kesimpulan

Kedudukan hukum dalam pembentukan Holding Company BUMN migas PT. Pertamina dan PT. PGN, dalam hal ini holding company migas hanya bersandar pada aturan PP no 72 tahun 2016 sehingga untuk mengetahui kedudukannya penulis menganalisa dari kesesuaian isi pasal dari peraturan diatasnya yaitu UU perbendaharaan negara, keuangan negara, BUMN, Migas, PT dan UU larangan praktek monopoli dan persaingan tidak sehat. Berdasarkan hasil analisa peraturan tersebut penulis menyimpulkan bahwa kedudukan hukum holding company migas masih lemah karena terdapat beberapa pasal yang perlu penyesuaian dengan perundang-undangan diatasnya.

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses pembentukan holding company migas adalah sebagai berikut:

a.      Hambatan legalitas yang mendasari pembentukan holding company migas PT Pertamina dan PT PGN.

b.     Hambatan dari Rencana pembentukan holding migas BUMN berkaitan denganpersetujuan DPR terhadap pelaksaanaan Holding company migas

c.      Hambatan holding company migas ditinjau dari kesiapan PT Pertamina dan PT PGN dalam hal Tata kelola holding migas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Arisuta, I. putu gede. (2000). Menuju pasar modal modern. Jakarta.yayasan SAD satia Bhakti.

 

Asshiddiqie, J. (2005). Hukum Tata Negara dan pilar-pilar demokrasi. Google Scholar

 

Fuady, M. (2004). Hukum Perusahaan: Dalam Paradigma Hukum Bisnis. Google Scholar

 

Harahap, M. Y. (2011). Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta. Google Scholar

 

Kusumaatmadja, M. (1986). Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional. Penerbit Bina Cipta, Bandung. Google Scholar

 

Lawrence W. Friedman. (1984). American Law: An invaluable guide to the many faces of the law, and how it affects our daily our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hlm. 1-8.

 

Poggi, G. (1978). The development of the modern state: A sociological introduction. Stanford University Press. Google Scholar

 

Pranoto, T. (2017). Holding company BUMN: konsep, implementasi, dan benchmarking. Lembaga Management, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia. Google Scholar

 

Rasjidi, L., & Rasjidi, I. T. (2012). Hukum Sebagai Suatu Sistem. Google Scholar

 

Simanjuntak, E. P. (1994). Perusahaan kelompok Yogyakarta seri hukum dagang. Universitas Gajah Mada. Google Scholar

 

Supramono, G. (2007). Kedudukan Perusahaan sebagai subjek dalam gugatan perdata di Pengadilan. Rineka Cipta, Jakarta. Google Scholar

 

Yani, A., & Widjaja, G. (2000). Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. PT Rajagrafindo Persada, Jakarta. Google Scholar

 

Copyright holder:

Emma Maripah (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: