Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia pISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

MANAJEMEN JARINGAN DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERKAWINAN ANAK DI KABUPATEN MAROS

 

Andi Nur Alam Rezeki, Alwi, Suryadi Lambali

Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Hasanuddin, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Tujuan penelitian adalah untuk menjawab dan menganalisis manajemen jaringan dalam implementasi kebijakan perkawinan anak di kabupaten maros. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan data meliputi wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data melalui reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan perkawinan anak di kabupaten maros berjalan efektif dengan adanya peraturan bupati maros nomor 21 tahun 2020 tentang pencegahan perkawinan anak, kasus perkawinan anak dapat menurun selain itu dalam proses implementasi kebijakan perkawinan anak melibatkan beberapa organisasi perangkat daerah yang ada di kabupaten maros dan manajemen jaringan dapat di katakan berhasil. Network Structure terbagi atas dua model yaitu self governance dimana proses kerjasama jika sesama pemerintah di kabupaten maros berdasarkan peraturan bupati nomor 21 tahun 2020 dan Lead Organization dimana jika pihak yang terlibat bukan pihak dari pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat memiliki perjanjian kerjasama. Commitment to a common purpose sudah berjalan efektif ditandai dengan adanya komitmen yang baik dari masing-masing pihak yang terlibat dan menjalankan seluruh pekerjaan yang telah disepakati. Trust among the participants sudah berjalan efektif ditandai masing-masing pihak yangterlibat telah memiliki kepercayaan terhadap instansi yang terlibat dengan adanya kegiatan bersama seperti sosialisasi yang di lakukan. Access to authority sudah berjalan dengan efektif ditandai dengan masing-masing pihak yang terlibat memiliki otoritas masing-masing atau wewenang yang telah diatur mengenai apa saja yang akan di lakukan untuk mencegah perkawinan anak di kabupaten maros dapat terus menurun dari tahun ke tahun.

 

Kata Kunci: Manajemen Jaringan, Implementasi, Kebijakan Perkawinan Anak

 

Abstract

The purpose of this research is to answer and analyze network management in the implementation of child marriage policies in Maros Regency. The research method used is qualitative with data collection techniques including interviews, observation, and documentation. Data analysis techniques through data reduction, data presentation, and drawing conclusions. The results showed that the implementation of the child marriage policy in Maros Regency was effective with the Maros Regent's regulation number 21 of 2020 concerning the prevention of child marriage, child marriage cases could decrease. and network management can be said to be successful. The Network Structure is divided into two models, namely self-governance, where the cooperation process occurs when fellow governments in Maros Regency are based on regent's regulation number 21 of 2020 and Lead Organization where if the parties involved are not parties from the government such as non-governmental organizations, they have a cooperation agreement. Commitment to a common purpose has been running effectively marked by a good commitment from each party involved and carrying out all the work that has been agreed upon. Trust among the participants has been running effectively, marked by each party involved having trust in the agencies involved through joint activities such as the socialization that was carried out.

 

Keywords: Network Management, Implementation, Child Marriage Policy

 

Pendahuluan

Negara Indonesia telah memiliki jaminan terhadap hak anak yang telah di atur dalam UUD 1945. Pasal 3 undang-undang nomor 35 tahun 2014 mengenai perlindungan anak berbunyi� perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak yang mendefinisikan bahwa yang di katakan anak adalah sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Pemerintah juga mengeluarkan kebijakan mengenai batas usia perkawinan, dilihat dari tingginya kasus perkawinan anak.

Undang-Undang Negara Indonesia telah mengatur batas usia perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Dalam Undang-Undang tersebut telah mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan dan laki-laki menjadi 19 tahun. Perkawinan usia anak adalah pernikahan yang terjadi sebelum anak berusia 19 tahun serta belum memiliki kematangan fisik, fisiologis, dan psikologis. Khususnya pemerintah indonesia memiliki komitmen dalam perlindungan terhadap anak salah satunya mencegah perkawinan anak yang marak terjadi. Masalah perkawinan anak atau pernikahan usia dini merupakan masalah yang menjadi skala nasional dan bukan merupakan sebuah masalah yang baru khususnya di Indonesia.

Banyaknya dampak buruk yang kemungkinan besar dapat terjadi pada anak yang belum cukup umur untuk menikah. Perkawinan anak memiliki dampak buruk di antaranya pada masalah kesehatan reproduksi dimana anak yang berusia kurang dari 17 tahunkehamilan dapat meningkatkan risiko komplikasi medis baik pada ibu maupun anak disebutkan bahwa anak perempuan yang baru berusia 10-14 tahun beresiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin, berisiko anak terlahir premature dan kematian bayi sebelum 1 tahun dan masalah kurang gizi pada bayi (Stunting), 85 % anak perempuan mengakhiri pendidikan setelah menikah, kekerasan dalam keluarga dan rentan berujung pada perceraian (UNICEF,2020).

Pemerintah Indonesia telah berupaya membuat beberapa regulasi kebijakan mengenai permasalahan perkawinan anak tersebut, antara lain perubahan usia minimum menikah untuk perempuan, perkawinan anak sebagai prioritas di dalam RPJMN, dan kampanye nasional. Indikator ini sebagai salah satu dasar pengambilan kebijakan untuk perlindungan anak dari praktik perkawinan serta menekan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia. Sebab, jika proporsi perkawinan anak tetap tinggi, maka beberapa tujuan dalam TPB yang lain akan sulit untuk dicapai. Permasalahan kompleks mengenai anak yang terjadi di kabupaten Maros yaitu masalah perkawinan anak, dimana perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak anak.

Jaringan pemerintahan (Governance Network) pada dasarnya diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan dengan berbagai jenis kesulitan yang berbeda-beda. Tentunya dibutuhkan sebuah pengelolaan atau manajemen jaringan antar aktor sehingga masalah publik dapat diatasi dan terselesaikan secara maksimal serta tujuan yang diharapkan tercapai. Adanya pengelolaan jaringan yang baik dari masing-masing Stakeholders juga diharapkan mampu mengatasi terbatasnya sumberdaya yang dimiliki suatu organisasi publik. Salah satunya kebijakan perlindungan anak mengenai pencegahan perkawinan anak.

Provan dan Kennis (2007) mengemukakan definisi jaringan atau network adalah sebagai kelompok yang terdiri dari tiga atau lebih badan otonomi yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan bersama atau kolektif. Karakteristik manajemen jaringan menurut Scharpf (1978) dan O�Toole (1988) dalam Hendrikus (2013) menjelaskan ciri penting dari pengelolaan jaringan, Scharpf mengatakan membangun citra bersama dan pemecahan masalah (Problem Solving), sedangkan O�Toole menyebutnya dengan penggerakan untuk tindakan bersama.

Pada Tahun 2018 kasus perkawinan anak di kabupaten maros dapat di katakan meningkat dari empat belas kecamatan yang ada di kabupaten maros. Berdasarkan data dari dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kabupaten maros dan penelitian Institute community of justice (ICJ), angka perkawinan anak yang terjadi pada tahun 2018 sangat meningkat sebelum adanya peraturan bupati tersebut. Data dari 14 kecamatan yang ada di kabupaten maros menunjukkan angka 225 kasus perkawinan anak pada Tahun 2018

 

Tabel 1

Data Perkawinan AnakTahun 2018

NO

KECAMATAN

PERKAWINAN ANAK

1

MANDAI

13

2

CAMBA

10

3

BANTIMURUNG

33

4

MAROS BARU

22

5

BONTOA

28

6

MALLAWA

6

7

TANRALILI

15

8

MARUSU

17

9

SIMBANG

11

10

CENRANA

11

11

TOMPOBULU

20

12

LAU

24

13

MONCONGLOE

2

14

TURIKALE

13

 

JUMLAH

225

Sumber: Penelitian media ICJ, 2018

 

Meningkatnya kasus perkawinan anak pada tahun 2018, membuat pemerintah kabupaten maros segera mengeluarkan kebijakan berupa peraturan yang bertujuan untuk pencegahan perkawinan anak di kabupaten maros sehingga kasus perkawinan anak di kabupaten maros dapat dikendalikan. Pada Tahun 2020 pemerintah kabupaten maros mengeluarkan kebijakan mengenai pencegahan perkawinan anak yang tertuang dalam peraturan bupati maros nomor 21 tahun 2020. Sanksi yang di keluarkan oleh pemerintah kabupaten maros jika ada yang melanggar peraturan tentang perkawinan anak sejalan dengan adanya undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang batas usia perkawinan adalah sanksi administrasi adalah tidak adanya izin pesta dan sanksi sosial ialah tidak di hadirinya oleh masyarakat atau took adat pesta tersebut.

Grindle dalam winarno (2016) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa �secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan (linkage) yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah�. Sementara itu, Ripley dan Franklin dalam winarno (2016) mengemukakan bahwa: �Implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output")�.

Pemerintah daerah kabupaten maros memerintahkan untuk seluruh pihak dapat mendukung gerakan pencegahan perkawinan anak, untuk bekerjasama hingga kasus perkawinan anak dapat menurun di kabupaten maros, baik dari pihak pemerintah, masyarakat, maupun lembaga swadaya masyarakat untuk dapat berkontribusi dan mendukung penuh gerakan pencegahan perkawinan anak. Sejalan dengan adanya peraturan bupati, berbagai bentuk implementasi kebijakan terkait pencegahan perkawinan anak yaitu dengan adanya pemberian edukasi, dan sosialisasi kepada masyarakat terkait perkawinan anak khususnya dampak dari adanya perkawinan anak hingga mengenai sanksi jika melanggar peraturan tersebut.

 

 

 

 

 

Tabel 2

Data Perkawinan Anak Tahun 2020

NO

KECAMATAN

PERKAWINAN ANAK

1

MANDAI

11

2

CAMBA

9

3

BANTIMURUNG

19

4

MAROS BARU

20

5

BONTOA

13

6

MALLAWA

2

7

TANRALILI

7

8

MARUSU

15

9

SIMBANG

9

10

CENRANA

1

11

TOMPOBULU

4

12

LAU

16

13

MONCONGLOE

7

14

TURIKALE

16

 

JUMLAH

149

 

Pada Tahun 2020 kasus perkawinan anak di kabupaten maros dapat di katakan menurun jika di bandingkan pada tahun 2018. Adanya peraturan bupati maros di anggap mampu menekan kasus perkawinan anak di kabupaten maros. Bukan hanya itu pemerintah daerah kabupaten maros juga melakukan kerjasama dengan berbagai pihak baik dari pihak pemerintah itu sendiri hingga pihak non pemerintah agar kebijakan tersebut dapat efektif dan berhasil dengan adanya kerjasama dari berbagai pihak yang diharapkan mampu mendukung gerakan pencegahan perkawinan anak hingga terus menurun dari tahun ke tahun.

Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judulmanajemen jaringan dalam implementasi kebijakan perkawinan anak di kabupaten maros

 

Metode Penelitian

Waktu penelitian ini di laksanakan dari bulan juni hingga September 2022. Adapun penelitian ini di laksanakan di kabupaten maros, provinsi Sulawesi selatan dan kota Makassar provinsi Sulawesi selatan. Spesifiknya penelitian ini di lakukan di dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kabupaten maros dan beberapa dinas di kabupaten maros yang terlibat dalam pencegahan perkawinan anak dan lembaga swadaya masyarakat yaitu Institute community of justice (ICJ) Kota Makassar.

Jenis penelitian yang digunakan adalah kualitatif, analisis data bersifat induktif yang digunakan untuk menggambarkan mengenai manajemen jaringan. fokus penelitian ini mengarah pada manajemen jaringan dalam implementasi kebijakan pencegahan perkawinan anak di kabupaten maros, untuk menilai keberhasilan manajemen jaringan kerjasama antar pemerintah dan masyarakat terkait pencegahan perkawinan anak. Pada penelitian ini dapat dilihat dengan merujuk pada teori yang di kemukakan oleh Desave (2007) mengenai manajemen keberhasilan dalam kolaborasi yang terdiri dari struktur jaringan, komitmen terhadap tujuan, kepercayaan antar partisipan, akses terhadap kekuasaan.

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kabupaten maros, dinas sosial kabupaten maros, forum anak buttasalewangang kabupaten maros, puspaga kabupaten maros, pengadilan agama kelas 1B Kabupaten maros, dan Institute community of justice (ICJ) Kota Makassar. Jenis sumber data data yang di gunakan berupa data primer dan data sekunder. Data primer di peroleh secara langsung dari sumber aslinya yang di lakukan melalui wawancara, observasi serta dokumentasi. Adapun data sekunder diperoleh dari sumber yang ada di lakukan melalui studi pustaka, naskah peraturan perundang-undangan serta referensi yang di peroleh dari lokasi penelitian.

Teknik pengumpulan data berupa jurnal dan buku terbaru yang relevan dengan manajemen jaringan. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan langsung di beberapa lokasi penelitian di kabupaten maros, kemudian wawancara lebih mendalam dengan beberapa informan terkait untuk mendapatkan informasi mengenai manajemen jaringan implementasi kebijakan perkawinan anak yang di jalankan. Hasil wawancara kemudian di olah dengan menggunakan teknik analisis data berupa reduksi data dengan melakukan penyederhanaan hasil penelitian, selanjutnya melakukan penyajian data, dengan maksud agar lebih mudah dipahami sehingga memungkinkan penarikan kesimpulan yang benar.

 

Hasil dan Pembahasan

Keterlibatan aktor dari organisasi lintas sektor membutuhkan mekanisme pengelolaan yang mampu menjawab kebutuhan masing-masing aktor yang terlibat dalam suatu jaringan, sebagai program kebijakan yang melibatkan multiaktor, tentunya tingkat kompleksitas dalam mengelola jaringan meningkat selaras dengan meningkatnya jumlah aktor yang terlibat. Manajemen diartikan sebagai sebuah aktivitas, atau pengelolaan (Klijin, 1996). Dalam membahas konsep jaringan tidak terlepas dari beberapa teori yang membahas jaringan antar organisasi. Menurut Hill ( Alwi, 2018:48), Salah satu karakteristik jaringan antar organisasi yaitu Collaborative, dimana dijelaskan didalamnya jika sebenarnya inti dari sebuah jaringan antar organisasi adalah kolaborasi, semua kegiatan di mulai dengan perencanaan dan dilaksanakan dalam proses interaksi, termasuk kesepakatan yang dapat berbentuk aturan dan program yang akan dilakukan secara bersama-sama. Manajemen jaringan adalah proses pengelolaan mengenai kerjasama antara masing-masing organisasi yang terlibat kemudian membentuk suatu hubungan kerja yang mengikat aktor-aktor yang berkepentingan di dalamnya agar bersama-sama menjalankan pekerjaan yang sudah disepakati hingga tujuan yang telah di tetapkan secara kolektif dapat tercapai dengan maksimal.

 

 

 

1.     Network Structure (Struktur Jaringan)

DeSeve (2007) Menjelaskan tentang deskripsi konseptual suatu keterkaitan antara satu institusi dengan institusi lain yang menyatu secara bersamasama yang mencerminkan unsur-unsur fisik dari jaringan yang ditangani yang terdiri dari Self Governance adanya struktur dimana tidak terdapat entitas administratif, namun demikian masing-masing stakeholders berpartisipasi dalam network dan manajemen dilakukan oleh semua anggota yang terlibat dan Lead Organization adanya etentitas administratif.

Dalam mencegah perkawinan anak di kabupaten maros, pemerintah daerah bekerjasama dengan seluruh SKPD di kabupaten maros, dan juga lembaga swadaya masyarakat untuk bersama-sama ikut berpartisipasi dalam mengurangi tingginya kasus perkawinan anak yang ada. Dalam hal ini Dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak sebagai leading sektor bekerjasama dengan beberapa instansi yang ada di kabupaten maros.

Proses kerjasama antar pihak yang berkepentingantentunya memiliki aturan sebelum memulai proses kerjasama dari masing-masing instansi, ada yang melalui perjanjian kerjasama yang tertuang dalam nomor MOU, dan ada juga melalui peraturan bupati kabupaten maros untuk seluruh SKPD yang berada di kabupaten maros mengenai langkah yang harus di tempuh dalam berpartisipasi mencegah perkawinan anak meningkat.

Dalam proses kerjasama dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di kabupaten maros terdapat dua jenis yaitu jika SKPD yang ada di kabupaten maros lebih merujuk kepada peraturan bupati kabupaten maros nomor 21 tahun 2020 dan untuk lembaga non pemerintah lebih kepada perjanjian kerjasama adanya nomor MOU dari pihak yang terlibat. Berdasarkan penjelasan diatas model struktur jaringan dalam manajemen jaringan kebijakan perkawinan anak di kabupaten maros terdapat dua model tergantung dari instansi yang terlibat, jika instansi pemerintah modelnya yaitu self governance dan jika organisasi non pemerintah modelnya yaitu Lead organization.

2.     Commitment to Common Purpose (Komitmen Terhadap Tujuan)

Mengacu pada alasan mengapa sebuah network atau jaringan harus ada. Alasan mengapa network harus ada adalah karena perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan positif. Tujuan-tujuan ini biasanya terartikulasikan di dalam misi umum (DeSeve, 2007).

Pencegahan perkawinan anak di kabupaten maros, instansi yang terlibat tentunya berkomitmen dengan tujuan masing- masing instansi mereka dan tujuan bersama. Berbagai upaya di lakukan dimulai dari edukasi, kepada masyarakat, diadakannya sosialiasi sehingga masyarakat dapat sadar kalau perkawinan anak merupakan sebuah masalah yang multidimensional dimana seluruh pihak di harapkan dapat berpartisipasi dengan baik. Untuk menjawab apa saja hambatan yang terjadi dalam penanganan perkawinan anak adanya case conference yang di lakukan baik dari internal maupun eksternal dari pihak dinas sosial itu sendiri yang merupakan salah satu bentuk komitmen terhadap berpartisipasi menurunkan perkawinan anak.

Institute community of justice (ICJ) selaku Lembaga masyarakat terus berpartisipasi dengan mendampingi organisasi perangkat daerah yang ada di kabupaten maros agar terus meningkatkan kerjasama. Hal tersebut terlihat ICJ mengadakan perjanjian nota kesepakatan bersama pemerintah kabupaten maros terkait pencegahan perkawinan anak, setelah itu wujud komitmen ICJ yaitu terjun langsung dalam proses penyusunan strategi daerah pencegahan perkawinan anak bersama dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kabupaten maros, bersama membuat peraturan desa dan juga peraturan bupati maros terkait pencegahan perkawinan anak.

Institute Community of Justice (ICJ) juga bersama instansi daerah rutin mengadakan pertemuan untuk mensosialisasikan gerakan stop perkawinan anak, di dukung dengan adanya kampanye di media sosial. Secara bersama-sama membahas jika ada masalah perkawinan anak yang terjadi guna mencari solusi. Masalah perkawinan anak bukan masalah yang sepele, banyak dampak yang dapat terjadi sehingga merugikan anak yang seharusnya usia mereka dapat digunakan untuk sekolah atau menambah wawasan harus terhenti karena dihadapkan dengan masalah keluarga, mengurus anak, dan kasus kekerasan dalam rumah tangga.

Perkawinan bukan merupakan sebuah ajang kompetensi untuk anak, bukan merupakan sebuah tempat bermain banyak resiko yang kemungkinan dapat terjadi. Forum anak selaku pelapor dan pelopor gerakan stop perkawinan anak mendukung penuh pencegahan perkawinan anak khususnya kabupaten maros, komitmen mereka untuk terus mensosialisasikan khususnya kepada remaja yang masih duduk di bangku sekolah dasar ataupun sekolah menengah, bukan hanya itu forum anak juga menginformasikan kepada anak-anak atau remaja baik yang masuk dalam forum anak maupun tidak untuk segera melaporkan kepada forum anak jika di sekitar mereka terjadi kasus perkawinan anak.

Dalam komitmen terhadap tujuan dari instansi yang terlibat yaitu dinas sosial, dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, forum anak, ICJ, Puspaga, Pengadilan Agama kelas 1B, dapat dikatakan sudah berjalan efektif karena adanya komitmen yang jelas dari masing-masing instansi dalam mencegah perkawinan anak dan juga terus bekerjasama dengan instansi yang lainnya seperti mengadakan sosialisasi dan pemberian edukasi kepada masyarakat.

3.     Trust Among The Participants (Kepercayaan Antar Partisipan)

Berdasarkan pada adanya hubungan professional atau sosial, keyakinan bahwa para partisipan mempercayakan pada informasi atau usaha-usaha dari stakeholders lainnya dalam suatu jaringan untuk mencapai tujuan bersama. Bagi lembaga-lembaga pemerintah, unsur ini sangat esensial karena harus yakin bahwa mereka memenuhi mandat legislatif atau regulatori dan bahwa mereka bisa �percaya� terhadap partner (rekan kerja dalam jaringan) lainnya yang ada di dalam sebuah pemerintahan (bagian-bagian, dinas-dinas, badan-badan dalam satu pemerintahan daerah, misalnya) dan partner-partner di luar pemerintah untuk menjalankan aktivitas-aktivitas yang telah disetujui bersama, DeSeve (2007).

Dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kabupaten maros bentuk kepercayaan terhadap partisipan ialah dengan adanya data yang jelas dari instansi yang bekerjasama, seperti data dispensasi kawin dari pengadilan agama terkait sejauh mana proses pencegahan dari masing-masing perangkat daerah. Selain itu dengan adanya peraturan desa yang dibuat merupakan bentuk nyata jika arahan dilaksanakan dengan baik serta adanya koordinasi antar pihak yang terlibat.

ICJ sangat percaya kepada pemerintah daerah kabupaten maros karena sejak awal kerjasama dimulai pihak dari Dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pengadilan agama, dan dinas lainnya sangat intens berkomunikasi dengan pihak ICJ, setiap di adakan diskusi bersama perangkat daerah membahas perkawinan anak, instansi yang terlibat selalu menghadiri kegiatan yang diadakan. Adanya pemahaman bersama terkait perkawinan anak merupakan hal yang penting dibahas dan suatu hal yang harus dihilangkan khususnya di kabupaten maros karena dampaknya yang sangat berbahaya.

Dalam kepercayaan antar partisipan sudah berjalan dengan efektif, setiap instansi memiliki cara tersendiri untuk membangun kepercayaan antar partisipan dan adanya koordinasi dan komunikasi yang terjalin dengan baik untuk kegiatan yang akan di lakukan bersama, sehingga arahan pekerjaannya sesuai dengan peran masing-masing instansi.

4.     Access to Authority (Akses Terhadap Kekuasaan)

Menurut DeSeve (2007) menjelaskan jika akses terhadap kekuasaan adalah tersedianya standar-standar atau ukuran-ukuran ketentuan atas prosedur-prosedur yang jelas dan diterima secara luas. Bagi kebanyakan network, mereka tersebut harus memberi kesan kepada salah satu anggota network untuk memberikan otoritas guna mengimplementasikan keputusan-keputusan atau menjalankan pekerjaannya. Adanya aturan yang jelas untuk setiap instansi yang terlibat, sehingga masing-masing instansi memiliki ketentuan-ketentuan yang jelas seperti apa yang akan mereka kerjakan.

Setiap instansi ataupun lembaga telah memiliki otoritas masing-masing, baik itu lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini ICJ bentuk otoritasnya yaitu sebagai fasilitator dimana ICJ dapat memfasilitasi apa yang di perlukan untuk jalannya kegiatan seperti sosialisasi yang akan di lakukan pemerintah daerah kabupaten maros, motivator, hingga bersama membuat keputusan- keputusan dalam menyusun peraturan bupati hingga peraturan desa terkait pencegahan perkawinan anak di kabupaten maros.

Sejalan dengan kebijakan- kebijakan yang di keluarkan pemerintah daerah kabupaten maros dan adanya perjanjian kerjasama bersama ICJ. Lembaga swadaya masyarakat ICJ yang berada di kota Makassar terus mendampingi dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak kabupaten maros dalam terus memberikan sosialisasi maupun edukasi kepada masyarakat mengenai gerakan stop perkawinan anak.

Dalam akses terhadap kekuasaan dari masing-masing instansi sudah efektif karena adanya aturan yang jelas, prosedur- prosedur yang di buat serta masing masing-masing Stakeholders memiliki otoritas untuk mengimplementasikan keputusan serta kebijakan yang telah di buat bersama dengan sebaik-baiknya.

 

Kesimpulan

1.     Berdasarkan penjelasan diatas model struktur jaringan dalam manajemen jaringan kebijakan perkawinan anak di kabupaten maros terdapat dua model tergantung dari instansi yang terlibat, jika instansi pemerintah modelnya yaitu self governance dan jika organisasi non pemerintah modelnya yaitu Lead organization.

2.     Dalam komitmen terhadap tujuan dari instansi yang terlibat yaitu dinas sosial, dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, forum anak, ICJ, Puspaga, Pengadilan Agama kelas 1B, dapat dikatakan sudah berjalan efektif karena adanya komitmen yang jelas dari masing-masing instansi dalam mencegah perkawinan anak dan juga terus bekerjasama dengan instansi yang lainnya seperti mengadakan sosialisasi dan pemberian edukasi kepada masyarakat.

3.     Dalam kepercayaan antar partisipan sudah berjalan dengan efektif, setiap instansi memiliki cara tersendiri untuk membangun kepercayaan antar partisipan dan adanya koordinasi dan komunikasi yang terjalin dengan baik untuk kegiatan yang akan di lakukan bersama, sehingga arahan pekerjaannya sesuai dengan peran masing-masing instansi.

4.     Dalam akses terhadap kekuasaan dari masing-masing instansi sudah efektif karena adanya aturan yang jelas, prosedur- prosedur yang di buat serta masing masing-masing Stakeholders memiliki otoritas untuk mengimplementasikan keputusan serta kebijakan yang telah di buat bersama dengan sebaik-baiknya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Alwi, (2018).Kolaborasi dan Kinerja Kebijakan �Tantangan dan Strategi dalam Penentuan dan Implementasi Kebijakan�. Makassar: Kedai Buku Jenny.

 

Goldsmith, Stephen., & Donald F.Kettl. (2020). Unlocking The Power of Network, Keys to High Performance Government. Washington D.C: Brookings Institution Press.

 

Sugiyono. (2019). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:Penerbit Alfabeta.

 

DeSeve, G.Edward (2007).�Creating Managed Networks as a Response to Societal Challenges�, Journal Spring Providing Cutting-EDGE Knowledge to Government Leaders �The Business of Government, 45, 47-52.

 

Herranz, Joaquin, & Jr.. (2007).�The Multisectoral Trilemma of Network Management�, Jurnal of Public Administration Research and Theory, 18, doi:10.1093/jopart/mum004, 1-31.

 

Winarno, B. (2016). Kebijakan Publik Era Globalisasi. Sleman: CAPS.

 

Bryson, John., & Barbara, C.Crosby. (2015). Designing and Implementing Cross-Sector Collaborations:Needed and Challenging�, Public Administration Review, 3, 648-656.

 

Kusumaningrum, Santi, & Basorudin. (2020).�Pencegahan Perkawinan Anak, Percepatan yang tidak bisa ditunda data oleh BPS dan Kementrian PPA�, ResearchGate, 8-25.

 

Copyright holder:

Andi Nur Alam Rezeki, Alwi, Suryadi Lambali (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: