Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 9, September 2022

 

ANALISIS HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU, PERSEPSI IBU DAN DUKUNGAN SUAMI DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI DIFTERI, PERTUSIS, TETANUS PADA ANAK PADA ERA PANDEMI COVID 19 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMBACANG KOTA PADANG

 

Waldatul Hamidah, Defrin, Nice Rachmawati

Universitas Andalas Padang, Indonesia

Email: [email protected], [email protected], [email protected]

 

Abstrak

Pendahuluan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus adalah program yang mengalami penuruanan cakupan pada masa COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Rendahnya cakupan imunisasi DPT menyebabkan tingginya resiko anak terkena penyakit menular. Cakupan imunisasi DPT di Puskesmas Ambacang Kota Padang menurun sebesar 43% tahun 2020. Tujuan penelitian: menganalisis hubungan pengetahuan ibu, persepsi ibu dan dukungan suami dengan pemberian imunisasi DPT pada anak di era pandemi COVID-19 di Wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Metode penelitian: menggunakan mix method research dengan desain sekuensial explanatory. Dilakukan pada 176 responden yang memiliki anak usia 6-24 bulan dengan teknik sampling proporsional. Analisis data univariat, bivariat dan multivariat digunakan metode kuantitatif tahap pertama dilanjutkan metode kualitatif melalui indept interview. Hasil penelitian ada pengetahuan kurang (87,5%), keluarga tidak mendukung (53,4%), persepsi kepercayaan (71,0), persepsi kerentanan (69,3%), persepsi manfaat (62,5%), persepsi hambatan (62,5%). Kesimpulan : faktor yang paling dominan adalah pengetahuan (p-value 0,000). Capaian imunisasi DPT menurun disebabkan belum maksimalnya pelaksanaan promkes pada era pandemi COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.

 

Kata Kunci: cakupan imunisasi DPT, COVID-19, faktor dominan.

 

Abstract

Introduction Diphtheria, pertussis, and tetanus immunizations are programs that have decreased coverage during the COVID-19 period in the Ambacang Public Health Center Work Area, Padang City. The low coverage of DPT research causes children to be exposed to infectious diseases. The scope of DPT training decreased at the Ambacang Public Health Center, Padang City by 43% in 2020. The purpose of the study: to analyze the relationship between mother's knowledge, mother's perception and husband's support with the provision of DPT to children in the COVID-19 pandemic era in the Ambacang Public Health Center work area, Padang City. Research method: using mix method research with explanatory sequential design. Conducted on 176 respondents who have children aged 6-24 months with proportional sampling technique. Analysis of univariate, bivariate, and multivariate data used initial quantitative methods followed by qualitative methods through in-depth interviews. The results of the study there is a lack of knowledge (87.5%), the family does not support (53.4%), the perception of trust (71.0), the perception of vulnerability (69.3%), the perception of benefits (62.5%), the perception of barriers (62.5%). Conclusion: the most dominant factor is knowledge (p-value 0.000). The DPT training achievement decreased due to the not yet maximal implementation of the health promotion program during the COVID-19 pandemic in the Ambacang Public Health Center Work Area, Padang City.

 

Keywords: DPT coverage, COVID-19, dominant factor.

 

Pendahuluan

Imunisasi adalah salah satu cara untuk mencegah terkena penyakit infeksi menular. Menurut WHO (2018) imunisasi adalah alat untuk mengendalikan penyakit menular yang mengancam jiwa dan diperkirakan dapat mencegah 2-3 juta kematian balita setiap tahunnya. Imunisasi adalah usaha pemberian kekebalan kepada bayi dan anak dengan memasukkan vaksinke dalam tubuh agar tubuh membuat suatu zat untuk mencegah penyakit tertentu (Wawomeo et al., 2019). Salah satu upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian penyakit menular adalah pemberian imunisasi.

Imunisasi di Indonesia terdiri dari imunisasi wajib dan imunisai pilihan. Salah satu imunisasi wajib yang diberikan kepada bayi sebelum usia 1 tahun adalah imuniasi difteri, pertusis dan tetanus. Imunisasai difteri, pertusis, tetanus merupakan imunisasi dasar yang diberikan untuk mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus, cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang diharapkan adalah diatas 90% dari target global, tetapi di era pandemi dilaporkan bahwa terjadi penurunan imunisasi termasuk imunisasi difteri, pertusis, tetanus (Kemenkes RI, 2017).

Cakupan imunisasi dasar lengkap di Indonesia tahun 2016-2018 yaitu pada tahun 2016 sebesar 91,58%. Pada tahun 2017 cakupan imunisasi dasar lengkap mengalami penurunan 85,41%. Pada tahun 2018 mengalami penurunan 57,95%. Data pada tahun 2019 cakupan imunisasi rutin di Indonesia masih dalam kategori kurang memuaskan, dimana cakupan Pentavalent-3 dan MR tidak mencapai 90% dari target. Padahal imunisasi dasar diberikan secara gratis oleh pemerintah di posyandu, puskesmas (Kemenkes RI, 2020).

Pandemi COVID-19 yang terjadi pada empat bulan pertama tahun 2020, WHO mencatat adanya penurunan jumlah anak yang mendapatkan vaksin difteri, pertusis, tetanus 3. Data ini merupakan suatu hal yang tidak wajar karena baru pertama kalinya dalam 28 tahun, terjadi penurunan difteri, pertusis, tetanus 3 di seluruh dunia. Sampai bulan Mei 2020, toga perempat dari 82 negara melaporkan gangguan terkait program imunisasi akibat pandemi COVID-19 (WHO, 2020)

Dari 194 negara anggota WHO 65 negara memiliki cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus dibawah target global 90% salah satunya Indonesia. Menurut data WHO di Asia Tenggara setiap tahunnya menempati urutan pertama kasus difteri di dunia pada tahun 2011-2019. Indonesia peringkat kedua dengan 3.203 kasus difteri setelah India dengan jumlah kasus sebesar 18.350 (WHO, 2017). 

Berdasarkan data dari Surveilans PD3I dan imunisasi pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sampai dengan bulan April 2020 lebih dari 500.000 bayi belum mendapatkan imunisasi difteri, pertusis, tetanus 1, mengalami penurunan pada tahun 2019 dan penurunan paling drastis terjadi pada bulan April 2020 yaitu 50,1%. Hal yang sama juga terjadi pada cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus 3 (Kemenkes RI, 2020).

Rendahnya angka cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus dapat menyebabkan anak menjadi terkena penyakit menular. Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, terjadi 415 kasus difteri di Indonesia dan 24 kasus terjadi kematian. Pada tahun 2015, Sumatera Barat berada pada peringkat pertama kejadian difteri terbanyak di Indonesia dengan kasus 110 dan 1 kasus meninggal dunia. Pada tahun 2016, kasus difteri di Sumatera Barat turun secara signifikan dengan 9 kasus.

Pada tahun 2017 angka kejadian difteri kembali meningkat menjadi 26 kasus dan Sumatera Barat menjadi provinsi keenam tertinggi kejadian diferi di Indonesia. Data surveilans PD3I dan imunisasi Kemenkes RI menunjukkan bahwa hingga bulan mei 2020 suspek difteri ditemukan sebanyak 129 kasus yang tersebar di 18 provinsi. Kasus difteri paling banyak dilaporkan di provinsi Jawa Barat, Kalimantan Timur, Aceh dan DKI Jakarta. Peningkatan angka tersebut akan terus sampai akhir tahun mengingat masih terdapat jumlah kasus di provinsi yang belum dilaporkan (Kemenkes RI, 2020).

Kasus difteri pada tahun 2020 menyebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Jumlah kasus pada tahun 2020 sebanyak 259 kasus, jumlah kematian 13 kasus dengan CFR sebesar 5,02%. Jumlah kasus tahun 2020 mengalami penurunan yang cukup signifikan jika dibanding 2019, jumlah kematian juga mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya tetapi CFR pada tahun 2020 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019 (4,5%).

Berdasarkan data cakupan  imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Provinsi Sumatera Barat mengalami fluktuasi dengan uraian berikut pada tahun 2017 yaitu 83,5%, 2018 yaitu 76,29% ,pada tahun 2019 yaitu 82,9 % dan pada tahun 2020 yaitu 57, 9% , mengalami penurunan yang tajam dari tahun 2019 ke 2020. Data cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus Kota Padang pada tahun 2019 yaitu 89,7 % mengalami penurunan pada tahun 2020 yaitu 65,5% dan wilayah kerja Puskesmas Ambacang mengalami penurunan yang paling tinggi diantara 23 puskesamas di Kota Padang yaitu sebesar 43%

Imunisasi difteri, pertusis, tetanus dapat menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Penyakit difteri dapat menyebabkan kematian akibat tersumbatnya tenggorokan dan kerusakan jantung. Penyakit pertusis merupakan penyakit yang menyerang paru dan ditandai dengan batuk rejan selama 100 hari. Penyakit tetanus yaitu penyakit kejang otot yang terjadi pada seluruh tubuh disertai dengan mulut terkunci sehingga mulut tidak bisa membuka atau dibuka.

Pelaksanaan imunisasi diharapkan dapat menurunkan jumlah bayi yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (Kemenkes RI, 2017). Namun dalam beberapa tahun terakhir, angka kematian bayi akibat penyakit infeksi yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi masih terbilang tinggi. Laporan WHO tahun 2020 menyebutkan bahwa terdapat 20 juta anak belum mendapatkan pelayanan imunisasi untuk balita di seluruh dunia secara rutin setiap tahun. Tingginya jumlah anak yang belum mendapatkan imunisasi mengakibatkan penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian, yang seharusnya dapat dicegah dengan vaksin, muncul di negara maju dan berkembang.

Hasil Riskesdas 2013, alasan anak tidak diimunisasi antara lain karena keluarga tidak mengizinkan anak untuk diimunisasi, faktor sibuk, lokasi yang jauh, anak sering sakit dan tidak tahu tempat imunisasi. Walau latar belakang para orang tua heterogen, pola pengambilan keputusan orang tua terhadap imunisasi memiliki gambaran yang mirip. Faktor –faktor inilah yang mempengaruhi orang tua menolak menerima program imunisasi termasuk juga faktor dukungan yang berasal dari keluarga. Bentuk dukungan keluarga yang diberikan oleh keluarga (suami) adalah dorongan semangat, pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran atau umpan balik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soekidjo Notoatmodjo (2003) bahwa dalam mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung.

Selain faktor diatas, ada faktor lain yang mempengaruhi keputusan orang tua dalam memberikan imunisasi salah satunya adalah faktor pengetahuan orang tua tentang imunisasi (Kemenkes RI, 2020). Faktor pengetahuan ibu tentang pentingnya imunisasi difteri, pertusis, tetanus berperan penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan imunisasi. Orang tua yang memiliki pengetahuan yang baik akan mampu memastikan anaknya mendapatkan imunisasi difteri, pertusis, tetanus dan memberikan penatalaksaan yang efektif ketika efek samping imunisasi difteri, pertusis, tetanus muncul. Namun orang tua yang tidak memiliki pemahaman difteri, pertusis, tetanus akan menganggap difteri, pertusis, tetanus menyebabkan bayi sakit, sehingga lebih memilih untuk tidak memberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Pada saat pandemi COVID-19 pengetahuan seorang ibu tentang imunisasi difteri,pertusis, tetanus berkurang disebabkan karena PSBB membuat orang tua banyak di rumah saja.

Indikator tercapainya imunisasi tidak terlepas dari keterlibatan orang tua terutama ibu selaku pengambil keputusan dalam kesehatan anak . Orang tua terkadang menolak membawa anaknya untuk memperoleh imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) dikarenakan anak mengalami efek samping setelah mendapatkan imunisasi difteri, pertusis, tetanus ) atau yang di kenal dengan KIPI.

Pada tahun 2020, pandemi COVID 19 telah menjadi krisis kesehatan di dunia dikarenakan penyebaran yang sangat cepat dan beresiko tinggi menularkan di suatu komunitas yang padat sehingga telah menjadi suatu pandemi global (Kobayashi, 2020). Program imunisasi menjadi salah satu program kesehatan yang mengalami dampak dari pandemi COVID-19 (Kemenkes, 2020). Di tengah pandemi pelayanan kesehatan terfokus pada pencegahan transmisi serta penanganan kasus COVID-19, ditambah sistem pembatasan sosial berskala besar diberbagai daerah, menyebabkan pelayanan kesehatan rutin seperti imunisasi menjadi terganggu (WHO , 2020). Hal ini terlihat dari cakupan imunisasi yang menurun, terutama pada imunisasi DPT berkurang lebih dari 35% pada bulan Mei 2020 dibandingkan dengan periode waktu yang sama pada tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2020).

Dengan adanya pandemi, faktor penyebab target imunisasi sulit dicapai menjadi semakin bertambah. Orang tua khawatir anak mereka akan tertular COVID-19 jika pergi ke tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan. Alasan lain yang ditemukan adalah imbauan dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19 dengan melakukan aktifitas dari rumah dan membatasi kegiatan di luar rumah mempengaruhi akses dan pembatasan aktifitas pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan.

Survei yang dilakukan Kementrian Kesehatan terhadap pelaksanaan imunisasi menunjukkan bahwa lebih dari 43% klinik dan rumah sakit swasta menjadi sumber utama untuk mendapatkan pelayanan imunisasi selama pandemi COVID-19, dimana sebelumnya 90% anak memperoleh imunisasi di layanan publik seperti puskesmas dan posyandu. Pada survei tersebut ditemukan 76% enggan untuk menggunakan pelayanan kesehatan karena takut akan tertular COVID-19 (Kemenkes RI, 2020).

Menurut Rosenstock dalam Sarwono (2017) meliputi komponen utama yaitu kerentanan yang dirasakan, keseriusan yang dirasakan, ancaman penyakit yag dirasakan, manfaat dan rintangan yang dirasakan dan faktor cues to action. Penelitian yang dilakukan Nani Susilowati (2021) menemukan terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi kerentanan dan keseriusan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan.

Penelitian yang dilakukan Prita Devy Igiany (2020) diperoleh bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan keluarga dengan kelengkapan imunisasi dsar, p-vlue 0,004 dan OR 18. Penelitian Nur Imanah (2018) mengidentifikasi adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan ketepatan waktu ibu dalam pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus.

Penelitian yang dilakukan Septiani dan Mita (2020) di Desa Sangso Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen, didapatkan hasil ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan cakupan pemberian imunisasi dasar sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yuliana dan Sitorus (2018) didapatkan hasil adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, pendidikan , dukungan suami dan pekerjaan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap (Sitorus, 2018)

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang analisis hubungan pengetahuan ibu, persepsi ibu dan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.

 

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan mix method research dengan desain sekuensial eksplanatori. Populasi pada penelitian adalah seluruh ibu yang memiliki anak usia 6-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Sampel penelitian sebanyak 176 orang dengan teknik pengambilan sampel proporsional sampling. Intrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan indept interview. Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dan dengan cara door to door ke rumah responden untuk mengisi kuesioner. Analisis data penelitian kuantitatif adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat dan dilanjutkan analisis data penelitian kualitatif dengan analisis tematik.

 

Hasil Dan Pembahasan

 

Tabel 1

Karakteristik Subjek Penelitian Berdasarkan Umur, Pendidikan Dan Pekerjaan

No

Karakteristik responden

n (176)

%

1.

Umur

< 20 tahun

20-35 tahun                      

>35 tahun

 

1

145

30

 

 

0,6

82,4

17,0

2.

Pendidikan

SD
SMP
SMA
PT

 

8

12

89

67

 

 

4,5

6,8

50,6

38,1

 

3.

Pekerjaan

Bekerja

Tidak bekerja

 

22

145

 

12,5

87,5

 

Tabel 2

Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu

Pengetahuan

n

%

Baik

Kurang

22

154

12,5

87,5

Total

176

100

 

Tabel 3

Distribusi Frekuensi Dukungan Keluarga

Dukungan keluarga

n

%

Mendukung

Tidak mendukung

82

94

46,6

53,4

Total

176

100

 

Tabel 4

Distribusi Frekuensi Persepsi Kepercayaan

Persepsi kepercayaan

N

%

Mendukung

Tidak mendukung

51

125

29,0

71,0

Total

176

100

 

Tabel 5

Distribusi Frekuensi Persepsi Kerentanan Dan Keseriuan

Persepsi kerentanan

n

%

Tinggi

Rendah

54

122

30,7

69,3

Total

176

100

 

Tabel 6

Distribusi Frekuensi Persepsi Manfaat

Persepsi manfaat

n

%

Tinggi

Rendah

55

121

31,3

68,8

Total

176

100

 

Tabel 7

Distribusi Frekuensi Persepsi Hambatan

Persepsi hambatan

n

%

Rendah 

Tinggi

66

110

37,5

62,5

Total

176

100

 

Tabel 8

Distribusi Frekuensi Riwayat Imunisasi DPT

Persepsi hambatan

n

%

Lengkap

Tidak lengkap

75

101

42,6

57,4

Total

176

100

 

Tabel 9

No

Pengetahuan  ibu

Imunisasi DPT

Jumlah

p value

Lengkap

Tidak lengkap

n

%

n

%

n

%

1

2

Baik

Kurang

17

58

9,7

33,0

5

96

2,8

54,5

 

22

154

12,5

87,5

 

0.000

Total

75

42,6

101

57,4

176

100

Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak Di Era Pandemi Covid-19 Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

 

Tabel 10. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak Di Era pandemi COVID-19

 

No

Dukungan keluarga

Imunisasi DPT

Jumlah

p value

Lengkap

Tidak lengkap

n

%

n

%

n

%

1

2

Mendukung

Tidak mendukung

48

27

27,3

15,3

34

67

19,3

38,1

82

94

46,6

53,4

0,000

Total

75

42,6

101

57,4

176

100

 

Tabel 11. Hubungan Persepsi Kepercayaan Dengan Pemberian Imunisasi DPT pada anak d era pandemi COVID 19

No

Persepsi kepercayaan

Imunisasi DPT

Jumlah

p value

Lengkap

Tidak lengkap

n

%

N

%

n

%

1

2

Mendukung

Tidak mendukung

32

43

8,2

24,4

19

82

10,8

46,6

51

125

29,0

71,0

0,001

Total

75

42,6

101

57,4

176

100

 

Tabel 12. Hubungan Persepsi Kerentanan Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak Di Era Pandemi COVID 19 Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

No

Persepsi kerentanan

Imunisasi DPT

Jumlah

p value

Lengkap

Tidak lengkap

n

%

n

%

n

%

1

2

Tinggi

Rendah

31

44

17,6

23,0

23

78

13,1

44,3

54

122

30,7

69,3

0,008

Total

75

42,6

101

57,4

176

100

 

Tabel 13 Hubungan Persepsi Manfaat Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak Di Era Pandemi COVID 19 Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

No

Persepsi manfaat

Imunisasi DPT

Jumlah

p value

Lengkap

Tidak lengkap

n

%

N

%

N

%

1

2

Tinggi

Rendah

32

43

18,2

24,4

23

78

13,1

44,3

55

121

31,3

68,8

0.005

Total

75

42,6

101

57,4

176

100

 

Tabel 14 Hubungan Persepsi Hambatan Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak D Era Pandemi Covid 19 Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

No

Persepsi hambatan

Imunisasi DPT

Jumlah

p value

Lengkap

Tidak lengkap

n

%

n

%

n

%

1

2

Rendah

Tinggi

37

38

21,0

21,6

29

72

16,5

40,9

66

110

37,5

62,5

0.005

Total

75

42,6

101

57,4

176

100

 

5.4  Analisis Multivariat

Tabel 15 Permodelan Akhir Multivariat

Variabel

p-value

Exp (β)

CI 95%

Pengetahuan ibu

0,002

6,079

1,991-18,080

Dukungan keluarga

0,001

2,989

1,523-5,868

Persepsi kepercayaan

0,014

2,507

1,201-5,233

 

Penelitian kualitatif

 

Tabel 16. Matrik sumber daya dalam pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus

Aspek yang diperiksa

Wawancara

Telaah dokumen

Triangulasi

Sumber daya

-  Anggaran imunisasi sudah mencukupi dari BOK

-  Petugas dalam promosi kesehatan imunisasi belum maksinal

-  Sarana dan prasarana sudah memadai

-  Juknis SPO imunisasi

-  Anggaran promosi kesehatan  imunisasi DPT  sudah mencukupi

 

 

Kendala :

- Ketersediaan masker belum mencukupi

- Petugas dalam imunisasi belum maksimal

 

Tabel 17. Matrik Triangulasi Metode dalam Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi COVID-19

Aspek yang diperiksa

Wawancara

Telaah dokumen

Analisis triangulasi

Metode

-       Metode promosi kesehatan menggunakan leaflet dan lembar balik

-       Penerapan SPO masih belum maksimal

Juknis SPO yang dikeluarkan kemenkes

-       Metode imunisasi di era COVID-19 mengacu ke juknis dan SPO dari kemenkes

Kendala :

-       Penerapan SPO juknis imunisasi tentang prokes masih belum maksimal

 

Tabel 18. Matrik Triangulasi Kebijakan Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi COVID-19

Aspek yang diperiksa

Wawancara

Telaah dokumen

Analisis triangulasi

Kebijakan

-   Kebijakan hanya ada SE imunisasi dari menkes dan juknis imunisasi masa pandemi COVID-19

-   Isu strategis tentang keamanan, manfaat, ketakutan ibu

 

-    Juknis pelaksanaan imunisasi anak selama masa COVID-19

 

-       Kebijakan imunisasi berupa juknis imunisasi masa pandemi COVID-19 sudah ada

Kendala :

-       Isu strategis kepatuhan prokes

 

Tabel 19. Analisis Triangulasi Kemitraan dalam Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi COVID-19

Aspek yang dinilai

Wawancara

Telaah dokumen

Analisis triangulasi

Kemitraan

Promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di posyandu berkoordinasi dengan kader untuk penjadwalan imunisasi dan prokes.

SK gugus tugas puskesmas Ambacang

Promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di posyandu berkoordinasi dengan kader untuk penjadwalan imunisasi dan prokes.

 

Tabel 20. Analisis Triangulasi Pelaksanaan Promosi Kesehatan Pelayanan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi COVID-19

Aspek yang diperiksa

Wawancara

Telaah dokumen

Observasi pelaksanaan

Analisis tiangulasi

Pelayanan imunisasi DPT di era pandemi COVID-19

-  Penerapan promosi kesehatan  belum efektif

-  Penerapan prokes masih belum maksimal

-  Kekhawatiran ibu terhadap penyebaran COVID-19 selama pelaksanaaan imunisasi

-  Upaya memberi himbauan door to door kepada ibu masih belum maksimal

-  Tidak ada waktu untuk mengikuti jadwal posyandu karena kerja

-   Adanya petunjuk teknis pelaksanaan imunisasi di era pandemi COVID-19

-  Ketidakpatuhan prokes pada ibu saat pelaksanaan imunisasi DPT di era pandemi COVID-19

-     Pelaksanaan promosi kesehatan  imunisasi telah dilakukan, namun belum maksimal

 

Kendala :

-     Kekhawatiran ibu akan tertular COVID-19 saat pelaksanaan imunisasi

 

 

Tabel 21. Strategi Promosi Kesehatan Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi COVID-19

Aspek yang dinilai

Wawancara

Telah dokumen

Analisis triangulasi

Strategi promosi kesehatan

-     Strategi promosi kesehatan imunisasi sudah dilaksnakan, namun belum efektif.

Petunjuk teknis pelayanan imunisasi anak selama masa pandemi COVID-19

-     Strategi promosi kesehatan imunisasi sudah dilaksnakan, namun belum efektif.

-        

 

Tabel 22. Matrik Triangulasi Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi COVID-19

Aspek yang diperiksa

Wawancara

Telaah dokumen

Analisis triangulasi

Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi tahunan dilakukan dipuskesmas

Monitoring dan evaluasi sudah berpedoman kepada juknis

Monitoring dan evaluasi tahunan sudah dilakukan di puskesmas

 

Tabel 23. Output Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi COVID-19

Aspek yang diperiksa

Wawancara

Telaah dokumen

Analisis triangulasi

Output

-      Masa pandemi COVID-19 menurunkan capaian cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus

-      Isu-isu yang mempengaruhi ibu terkait keamanan vaksin, manfaat serta hambatan

-      Juknis dijalankan untuk upaya peningkatan cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus

-      Upaya yang dilakukan berupa follow up, door to door, tracing, tracking, drop out, follow up belum maksimal

-      Promosi kesehatan imunisasi belum maksimal

- Petunjuk teknis pelaksanaan imunisasi anak di era pandemi COVID-19

- Cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus belum mencapaitarget

-  

-    Masa pandemi COVID-19 menurunkan capaian cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus

-    Upaya penerapan juknis dan SPO di era pandemi COVID-19 telah dilakukan

Kendala :

-   Isu-isu yang mempengaruhi persepsi ibu tentang keamanan vaksin, manfaat dan hambatan yang diakibatkan pada masa pandemi COVID-19

-   Promosi kesehatan imunisasi belum maksimal

 

Tabel 24. Matrik reduksi hasil wawancara mendalam tentang pengetahun ibu dalam imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19

Informan 5,6,7,8,9

Kesimpulan

-       Mengetahui imunisasi difteri, pertusis, tetanus pemberian imunissi difteri, pertusis, tetanus, efek saamping dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi

-       Sebagian informan mengetahui imunisasi, pemberian imunisasi

-       efek samping dari imunisasi difteri, pertusis, tetanus hanya demam

-       penyakit yang dapat dicegah imunisasi difteri, pertusis, tetanus informan tidak mengetahui.

 

Pembahasan

Penelitian Kuantitatif

1.     Gambaran Karakteristik Ibu

Berdasarkan hasil penelitian  diketahui bahwa jumlah responden paling banyak adalah umur 20-35 tahun dan paling sedikit <20 tahun . Responden adalah seorang ibu memiliki peran penting terhadap pemenuhan kebutuhan anak, terutaman usia 0-5 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian Kurniati dan Asih (2019) menyatakan bahwa ibu memilki peran yang sangat penting pada pemberian imunisasi anak.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan paling banyak adalah SMA sebanyak 89 orang. Cara berpikir seseorang mengenai pengetahuan, sikap dan prilaku ditentukan oleh pendidikan yang cukup sehingga dapat dengan mudah termotivasi dalam hal pengembangan wawasan seseorang tersebut. Pendidikan merupakan proses belajar seseorang untuk dapat berpikir secara objektif dan memberikan kemampuan kepada seseorang untuk menilai budaya di dalam masyarakat dapat diterima dan dapat mengubah tingkah laku seseorang (Holt et al., 2009)

Pendidikan ibu yang berkaitan dengan imunisasi difteri, pertusis, tetanus bukan merupakan suatu masalah yang menjadi perhatian khusus dan tidak merupakan faktor resiko dalam pelaksanaan imunisasi terhadap anak. Hal ini sejalan dengan pendapat dari UNESCO yang dikutip oleh Lunardi, pendidikan orang dewasa apapun isinya atau tingkatan metodenya baik formal maupun tidak merupakan lanjutan adalah pengganti pendidikan di sekolah, sebab prilaku baru tersebut memerlukan dukungan tertentu, perubahan prilaku di dalam proses pendidikan orang dewasa. Ihwal dapat dipahami karena orang dewasa sudah mempunyai prilaku dan keterampilan tertentu yang mungkin sudah mereka miliki bertahun-tahun (Notoatmodjo, 2010).

Pendidikan bukanlah satu-satunya cara untuk mengubah prilaku individu/ kelompok. Salah satu upaya untuk mengubah prilaku dengan menggunakan kekuatan. Orang pun dapat berubah prilaku jika dipaksa, diancam dengan hukuman atau imbalan, namun pengalaman dan studi berbagai masyarakat menunjukkan bahwa perubahan prilaku yang terjadi melalui proses paksaan terbukti tidak dapat bertahan lama. Artinya, begitu pengawasan atau paksaan itu mengendur, timbullah kecendrungan untuk kembali kepada prilaku yang lama.

Hasil penelitian sebagian besar responden tidak bekerja sebanyak 154 orang. Menurut peneliti ibu yang tidak bekerja lebih banyak mempunyai waktu dirumah dan memperhatikan tumbuh kembang anak mereka. Akan tetapi masih banyak juga ibu yang tidak melakuan imunisasi pada anak mereka dengan tepat waktu, maka dari itu pengetahuan juga sangat berperan penting dalam pelaksanaan imunisasi.

2.     Pengetahuan ibu

Tabel menunjukkan bahwa dari 176 responden yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 22 orang. Pengetahuan adalah kumpulan informasi yang didapat dari pengalaman atau sejak lahir, yang menjadikan seseorang tahu akan sesuatu (Fauziyah, 2015). Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa responden mengetahui tentang imunisasi difteri, pertusis, tetanus dari pengalaman pribadi, saudara atau keluarga.

Lingkungan tempat tinggal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang. Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dan prilaku orang atau kelompok. Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang berpikir luas, maka pengetahuannya baik daripada orang yang hidup di lingkungn yang berpikir sempit ( Gastika Sari, 2015).

Sosial budaya juga mempengaruhi tingkat pengetahuan. Sosial budaya mencakup adat istiadat yang dimiliki dalam masyarakat.seseoarang yang memilki adat istiadat yang masih kental akan sulit menerima informsi atau bahkan menolak informasi. Selain itu, kurangnya pemahaman yang baik dari ibu terhadap efek samping dari imunisasi akan menyebabkan ibu mengurungkan niatnya untuk memberikan imunisasi pada anaknya (Kartini dan Firtiani, 2016). Oleh kaena itu peran petugas kesehatan sangat penting untuk meluruskan persepsi yang salah yang berkembang di masyarakat dn membuka pengetahuan atau wawasan masyarakat terhadap imunisasi. Menurut asumsi peneliti, ibu yang memiliki pengetahuan tentang imunisasi sudah mendapatkan informasi dari berbagai sumber seperti media massa,media eletronik, posster, kerabat dekat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Salah satu Faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah usia, dimana usia dapat mempenagruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Bertambahnya usia seseorang tingkat kematagan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah mendapat informasi. Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa pendidikan berhubungan langsung dengan pengetahuan seseorang sehingg diasumsikan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.

3.     Dukungan keluarga (suami)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 94 responden memiliki dukungan keluarga yang tidak mendukung terhadap imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hal ini sejalan dengan penelitian Febrianti dan Efendi (2017) yang menyatakan bahwa kurang dari separuh keluarga tidak mendukung dalam imunisasi di Kecamatan Padaricang tahun 2017.

Menurut teori Green yang dikutip oleh Notoatmodjo bahwa dukungan adalah salah satu faktor pendorong dalam prilaku kesehatan termasuk dalam hal pemberian imunisasi pada anak. Dukungan keluarga merupakan salah satu hubungan yang paling dekat dengan ibu sehingga memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap keputusan ibu dalam melakukan imunisasi pada anak (Notoatmodjo, 2010).

Dukungan keluarga merupakan lingkungan utama yang mempengaruhi sikap ibu untuk memberikan imunisasi kepada anak. Untuk itu penting adanya pemahaman tidak hanya oleh ibu namun juga oleh keluarga agar imunisasi dapat terlaksana dengan baik. Pengambil keputusan seperti suami diberikan pengetahuan tentang pentingnya imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Orang tua yang juga berpengaruh dalam kehidupan ibu terutama ibu muda yang baru pertama kali memiliki bayi akan lebih mempercaai orang tua dalam mengurus bayinya termasuk dengan keputusan untuk melakukan imunisasi pada anak. Orang tua biasanya kan lebih cendrung kepada pengalaman sebelumnya yang anaknya tidak lengkap imunisasinya tidak berpengaruh terhadap kesehatan anak.

4.     Persepsi kepercayaan

Berdasarkan hasil penelitian dari 176 responden sebanyak 125 orang (71,0%) memilki persepsi kepercayaan terhadap imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Religiusitas merupakan konsistensi antara keyakinan dan kepercayaan pada agamai sebagai unsur kognitif, perasaan pada agama sebagai unsur yang efektif dan prilaku agama sebagai unsur konatif. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan mampu mempengaruhi segala pandangan hidup dan tindakan individu karena kepercayaan seseorang terhadap agamanya menjadi panutan, penentu dan pedoman atas apa yang akan mereka lakukan.

Tingkat kepercayaan agama yang tinggi dapat mempengaruhi sikap masyarakat dalam memilih suatu produk makanan. Begitu juga dengan ibu-ibu yang mempunyai anak dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, akan memberikan imunisasi kepada anak mereka karena menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) memperbolehkan pemberian imunisasi sebagai pencegahan suatu penyakit. Karena dalam pandangan islam pencegahan lebih baik daripada mengobati.       

Hal ini terjadi karena informasi yang beredar tentang efek samping imunisasi seperti demam, nyeri di bekas area penyuntikan. Hal ini sejalan dengan Jauhari et al yang menyatakan bahwa responden percaya vaksin dan imunisasi aman dan terbuat dari bahan halal, meskipun ibu tidak mengetahui bahan yang digunakan untuk membuat vaksin.

5.     Persepsi kerentanan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 176 orang ibu yang memiliki anak usia 6-24 bulan menujukkan bahwa 122 orang rentan terhadap kerentanan penyakit yang diderita anak apabila tidak melakukan imunisasi deibandingkan dengan persesi yang tinggi terhadap kerentanan penyakit yang diderita anak apabila melakukan imunisasi yaitu 54 orang. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rachawati Sukarno Putri (2016) menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki persepsi yang rendah yaitu sebesar 70 dari 87 ibu (80,5%), sedangkan ibu yang memiliki persepsi yang tinggi yaitu 17 ibu (80,5%).

Dalam teori Health Belief Model, persepsi kerentanan termasuk dalam variiabel persepsi yang paling besar memberikan pengaruh individu untuk melakukan prilaku sehat. Kerentanan merupakan dapat tidaknya seseorang terkena suatu penyakit tertentu. Tindakan orang tua yang dengan sengaja menolak pemberian vaksinasi pada anaknya, kemungkinannya lebih kecil orang tua untuk percaya bahwa pemberian imunisasi diperlukan untuk melindungi kesehatan anaknya dibandingkan dengan orang tua yang memberikan imunisasi pada anaknya. Menurut Rodenstock, seseorang yang merasa dirinya dapat terkena penyakit akan lebih cepat merasa terancam, sehingga ia melakukan tindakan pencegahan (Trisna et al., 2019).

Menurut asumsi peneliti, ibu menganggap bahwa bayi tidak beresiko terinfeksi penyakit yang menyebabkan kecacatan dan kematian. Hal ini dikarenakan ibu merasa anaknya tidak terinfeksi penyakit, karena ibu belum pernah merasakan keparahan sehingga ibu tidak membawa anaknya untuk imunisasi. Semakin ibu menganggap anaknya rentan terhdap suatu penyakit maka ibu akan semakin patuh untuk melakukan pencegahan agar anaknya tidak terkena penyakit yang dilakukan dengan cara pemberian imunisasi. Kerentanan yang dirasakan rendah terhadap suatu penyakit dapat disebabakan oleh karena minimnya pengetahuan tentang bahaya penyakit tersebut.

6.     Persepsi manfaat

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 176 responden menujukkan bahwa 122 orang menganggap imunisasi tidak bermanfaat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rachmawati Putri (2016) menunjukkn bahwa sebagian besar ibu memiliki persepsi imunisasi tidak bermanfaat yaitu 69 orang (79,3%) sedangkan ibu yang memiliki persepsi imunisasi bermanfaat yaitu 18 orang (20,7%).

Persepsi manfaat merupakan keyakinan yang berkaitan dengan keefektifan dari beragam prilaku dalam usaha mengurangu ancaman penyakit yang dipersepsikan individu dalam menampilkan perilaku sehat. Manfaat yang dirasakan merupakan pendapat dari seseorang akan nilai dari suatu prilaku baru dalam menurunkan resiko penyakit . Persepsi manfaat adalah pendapat seseorang tentang nilai atau kegunaan suatu perilaku baru dalam menurunkan resiko penyakit. Seseorang akan cendrung untuk menerapkan prilaku sehat ketika ia mersa prilaku tersebut bermanfaan untuk menurunkan kasus penyakit. Persepsi manfaat belum dirasakan secara langsung terutama bagi ibu yang tidak mengimunisasikan anaknya secara lengakp karena vaksinasi menurutnya tidak efektif dalam pencegajan penyakit. Hal ini juga dapat disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (A. D. et Al., 2019)

Menurut asumsi peneliti, ibu yang menolak imunisasi akan cendrung merasakan sedikit manfaat dari imunisasi atau imunisasi tidak bermanfaat, sebaliknya ibu yang menerima imunisasi akan merasakan manfaat dari imunisasi sehingga merasa anak terlindungi dari berbagai penyakit. Pemberian imunisasi pada anak tidak hnya memberikan pencegahan penyakit tertentu tetapi juga memberikan dampak yang lebih luas karena dapat mencegah penularan penyakit untuk orang lain.

7.     Persepsi hambatan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 176 responden menunjukkan bahwa 110 orang memiliki persepsi yang mengangap ada hambatan untuk melakukan imunisasi dibanding dengan ibu yang memiliki persepsi yang menganggap tidak ada hambatan untuk melakukan imunisasi yaitu 66 orang.

Hasil penelitian sejalan dengan Rachmawati Sukarno Putri (2016) yang menujukkan bawa sebagain besar ibu memiliki persepsi hambatan adalah 60 orang (69%) sedangkan ibu yang memiliki persepsi tidak ada hambatan yaitu 27 orang (31%).

Persepsi hambatan adalah suatu hambatan yang dirasakan ibu ketika hendak mengambil keputusan untuk mengimunisasi anaknya. Hambatan yang dirasakan merupak persepsi tentang segala hal yang menjadi penghambat atau rintangan dalam mengadopsi sebuah prilaku baru (A. D. et Al., 2019). Hambatan yang dirasakan berhubungan dengan proses evaluasi individu untuk mengadopsi prilaku baru. Persepsi tentang hambatan yang akan dirasakan merupakan unsur yang signifikan dalam menentukan apakah terjadi perbahan prilaku atau tidak. Misalnya dari pengalaman orang tua bahwa dirinya dulu tidak mendapat imunisasi namun sehat dan dia harus melakukan tindakan baru yaitu melakukan tindakan imunisasi kepada anaknya.

Menurut asumsi peneliti, ibu yang merasakan ada hambatan untuk melakukan tindakan pencegahan imunisasi akan cendrung untuk tidak melakukan imunisasi atau menolak untuk imunisasi. Sebaliknya ibu yang tidak ada hambatan untuk melakukan imunisasi akan cendrung membawa anaknya untuk imunisasi. Salah satu upaya yang dilakukan untuk membangun persepsi hambatan pada masyarakat yaitu dengan cara peingkatkan kepercayaan dan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan masyarakat tidak mau membawa anaknya imunisasi karena beredarnya vaksin palsu. Masyarakat berpersepsi seperti itu karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang imunisasi dan kurangnya kepercayaan terhadap imunisasi sehingga masyarakat mudah terpengaruh dengan isu yang ada.

8.     Pemberian Imunisasi Difteri, Pertusis, Tetanus

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil dari 176 responden yang memiliki riwayat imunisasi tidak lengkap sebanyak 101 orang (57,4%) sedangkan yang memiliki imunisasi lengkap sebanyak 75 orang (42,6%). Hal yang mempengaruhi imunisasi secara lengkap yaitu ibu yang memiliki pengetahuan yang baik, dukungan keluarga yang naik dan memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya imunisasi dalam pencegahan penyakit anaknya. Sedangkan imunisasi yang tidak lengkap dipengaruhi oleh pengetahuan yang kurang serta rendahnya kesadaran akan pentingnya imunisasi.

Penelitian ini sejalan dengan Setyaningsih, Putri (2019) dari 74 respinden memiliki 51 orang (68,8%) tidak lengkap imunisasi dan memiliki imunisasi lengkap 23 orang (31,1%). Hal ini menunjukkan bahwa kelengkapan imunisasi dasar pada bayi dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan, manfaat imunisasi dan kurangnya pengetahuan jadwal imunisasi. Responden yang memiliki persepsi kurang mengatakan takut anak sakit setelah imunisasi difteri, pertusis, tetanus sehingga ada sebagian suami melarang untuk memberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anaknya dan ada juga responden beranggapan bahwa anaknya akan sehat tanpa perlu imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Persepsi yang kurang terhadap manfaat pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus menyebabkan responden bahwa setelah imunisasi anak menjadi sakit dan rewel, mengaanggap imunisasi difteri, pertusis, tetanus tidak penting karena selama ini anak sehat tanpa imunisasi, meragukan kandungan vaksin.

Pengetahuan, sikap dan perilaku kesehatan sesorang ibu akan mempengaruh dalam pemberian imunisasi pada anak, sehingga dapat mempengaruhi juga status imunisasinya. Sesuai dengan teori menurut Notoatmodjo (2012) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia. Pengetahuan yang baik akan mempunyai pengaruh yang baik pula pada prilaku ibu dalam pemberian imunisasi pada anak. Hal ini sesuai juga dengan teori Fitriani (2016) menyatakan bahwa prilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

Faktor lain yang mempengaruhi pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak yaitu ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, biaya, jarak, ketersediaan transportasi dan sarana prasarana. Berdasarkan penelitian dilakukan Fadila (2020), menyatakan bahwa ada hubungan antara ketersediaan  sarana pelayanan kesehatan dengan kelengkapan imunisasi pada bayi. Sarana pelayanan kesehatan yang tersedia dengan baik adalah segala fasilitas dan sarana yang mendukung pemberian imunisasi sehingga dengan adanya sarana pelayanan kesehatan yang sudah tersedia dengan baik maka ibu dengan mudah memberikan imunisasi kepada anaknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Yuliani (2019) mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jarak tempuh ibu dengan cakupan imunisasi campak rubela dengan nilai OR= 2,280 artinya ibu yang memiliki akses jarak tempuh dekat, akan berpeluang memberikan imunisasi pada bayinya sebesar 2,280 kali dibandingkan dengan ibu yang memiliki jarak tempuh jauh. Jarak yang terlalu jauh ditempuh akan menyebabkan masyarakat enggan untuk berobat, mereka lebih memilih tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh dari wilayah tempat tinggal mereka.

Menurut asumsi peneliti, kelengkapan imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan, manfaat yang didapat, motivasi ibu yang kurang serta faktor lingkungan. Hal ini menunjukkan pentingnya penyuluhan kesehatan sebagai solusi agar menambah wawasan pentinya tentang imunisasi difteri,pertusis, tetanus.

9.     Hubungan pengetahuan dengan imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p-value = 0,000 artinya ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (VIMA ERWANI, 2022) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan pemberian imunisasi dasar lengkap dengan nilai p-value = 0,022. Hal ini mengatakan bahwa pengetahuan  masyarakat terhadap pemberian imunisasi dasar lengkap merupakan suatu hal yang penting dan tidak bisa dilepaskan didalam pelaksanannya. Semakin banyak informasi yang diterima oleh orangtua akan pentingnya imunisasi, akan meningkatkan keinginan orang tua akan imunisas pada anaknya (VIMA ERWANI, 2022).

Hasil penelitian juga sesuai dengan penelitian Tri Anisca yang menyimpulkan ada keterkaitan antara pengetahuan dengan perilak ibu yang memberikan imunisasi dasar pada anak (Dillyana, 2019). Mayoritas ibu yang memiliki pengetahuan baik memberikan imunisasi DPT kepada anaknya secara lengkap. Tetapi pada penelitian ini juga ditemukam ibu yang pengetahuan tinggi tidak memberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus secara lengkap karena lupa jadwal dan juga tidak mendapatkan izin suami. Ada juga beberapa ibu yang pengetahuannya rendah masih tetap memberikan imunisasi difteri,pertusis, tetanus secara lengkap karena ingin anaknya tetap sehat dan mengikuti protokol dari program puskesmas

Pengetahuan seseorang merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih bertahan dari perilaku yang tidak didasari pengetahuan (Afrilia & Fitriani, 2019). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Senewe oleh Rompas et al (2017), tentang analisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi dasar menunjukkan bahwa terdapat hubungan tingkat pengetahuan dengan kepatuhan pemberian imunisasi dasar.

Rendahnya pengetahuan imunisasi difteri, pertusis, tetanus masih banyak ibu yang takut ketika bayinya demam setelah diberi imunisasi, sehingga ibu tidak membawa bayinya untuk diimunisasi karena kurangnya pengetahuan ibu tentang imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Menurut asumsi peneliti, pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus sangat dipengaruhi dengan pengetahuan ibu. Hal ini dikarenakan pengetahuan orang tua tentang pentingnya imunisasi untuk anak sangat penting sehingga kepatuhan orang tua dalam memberikan imunisasi kepada anaknya sangatlah diperlukan. Peran orang tua dalam upaya kesehatan promotif sangat penting terutama dalam melengkapi imunisasi.

10.  Hubungan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus dengan p value 0,000. Hal ini sejalan dengan penelitian Safira et al pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan kelengkapan imunisasi anak. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pendit 2019 menyatakan bawa ada hubungan yang signifikan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi pada anak dengan nilai p-value= 0,000.

Penelitian ini sejalan dengan peneitian Sari et al (2018) didapatan hasil ada hubungan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi campak pada bayi di wilayah kerja Puskemas Sawah Lebar Kota Bengkulu p-value=0,000, hal ini berarti ibu yang mendapatkan dukungan dari keluarga dalam pemberian imunisasi akan memberikan imunisasi dibandingkan denan ibu yang tidak mendapatkan dukungan keluarga. Dukungan keluarga khususnya suami kepada ibu dalam pemberian imunisasi berupa mengantar ibu ke tempat pelayanan imunisasi, menyediakan dana apabila ibu memberikan imunisasi di tempat prktek dokter.

Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa tidak mendapat dukungan dari keluarga namun tetap memberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus kepada anaknya. Hal ini sejalan denan penelitian Sari et al, (2018) dengan hasil penelitian 13,3% yang tidak ada dukungan keluarga tetapi memberikan imunisasi. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan yang tinggi serta pengetahuan ibu yang baik tentang imunisasi difteri, pertusis, tetanus sehingga walaupun tidak dapat dukungan dari keluarganya, ibu masih mempunyai motivasi yang tinggi membawa anaknya untuk imunisasi difteri, pertusis, tetanus.

Keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya yang tinggal didalam satu rumah karena adanya hubungan darah maupun ikatan pernikahan sehingga terdapat interaksi antara anggota keluarga satu dengan lainnya. Keluarga merupakan fokus pelayanan kesehatan yang strategis karena keluarga mempunyai peran utama dalam pemeliharaan kesehatan seluruh anggota keluarga dan masalah keluarga saling berkaitan. Keluarga juga sebagai tempat pengambil keputusan dalam perawatan kesehatan.

Dukungan keluarga merupakan salah satu faktor pendukung seseorang dalam melakukan tindakan tertentu. Seseorang yang mendapat dukungan dari keluarga akan merasa nyaman baik fisik maupun psikis dalam bertindak. Dukungan keluarga tersebut berupa informasi, perhatian, bantian atau penghargaan. Dukungan keluarga yang baik akan mempermudah seseorang dalam pembuatan keputusan, salah satunya keputusan untuk memenuhi imunisasi anak. Dukungan keluarga juga dapat berupa kesediaan mengantar ibu dan anak untuk imunisasi, membantu menenangkan anak rewel saat imunisasi , merawat anak demam pasca imunisasi. Dukungan seperti ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap prilaku ibu (Rafidah & Yuliastuti, 2020).

Teori yang dijelaskan oleh Wetle  dalam Lestari 2011 menyatakan bahwa keberadaan anggota keluarga dan dukungan yang diberikan memiliki peranan penting dalam mencegah atau menunda seseorang yang menderita penyakit kronis untuk pergi berobat. Dukungan yang diberikan berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, informasional dan instrumental yang mampu mempengaruhi minat seseorang dalam berprilaku (MM., 2010).

Rendahnya dukungan keluarga terhadap ibu disebabkan karena keluarga masih kurang memahami tentang pentingnya imunisasi bagi anak. Hal ini disebabkan karena faktor sosial ekonomi yang rendah sehingga mempengaruhi tingkat pendidikan dan pengetahuannya. Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah berkolersi positif terhadap pendidikan yang juga rendah serta pengetahuan yang rendah. Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan yang dimilki oleh seseorang akan membentuk sikap dan tindakan dalam berprilaku. Rendahnya pengetahuan keluarga tentang imunisasi menyebabkan mereka tidak memberikan dukungan kepada ibu untuk mengimunisasi anaknya.

Dari hasil penelitian, peneliti berasumsi bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus hal ini karena keluarga merupakan orang yang terdekat yang selalu memberikan dorongan dan motivasi untuk melakukan hal yang mengarah ke hal yang positif. Terdapat pengaruh antara dukungan keluarga terhadap ketidaklengkapan status imunisasi tidak lengkap sebgaian besar tidak mendapat dukungan dari keluarga, namun ada pula keluarga tidak mendukung tetapi pengetahuan ibu tergolong baik sehingga ibu dapat memberikan pelayanan kesehatan pada bayi atau balitanya apabila keluarga kurang tahu tentang pentingnya imunisasi, makan akan merugikan anaknya, sehingga kekebalan tubuh berkurang dan bayinya rentan terhadap penyakit (Aprilia. et Al., 2019)

Menurut asumsi peneliti, dukungan keluarga sangat penting dalam membantu ibu mengambil keputusan dalam melakukan tindakan sehubungan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Sehingga ibu lebih termotivasi membawa anaknya ke posyandu untuk imunisasi. Apabila ibu tidak mendapat dukungan yang baik, maka cendrung ibu tidak akan termotivasi melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak. Semakin baik dukungan keluarga semakin baik pula status imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak namun semakin kurang dukungan keluarga akan menyebabkan bayi tidak mendapat imunisasi lengkap karena ibu tidak terdorong untuk memenuhi kebutuhan anaknya.

11.  Hubungan persepsi kepercayaan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan nilai p-value 0,001 artinya ada hubungan antara persepsi kepercayaan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.  Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dayanti et al, 2020 yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara kepercayaan ibu tentang imunisasi dengan pemebrian imunisasi dasar lengkap pada bayinya dengan nilai p-value 0,040.   

Kontribusi pengaruh persepsi didasari agama yang mendukung terhadap prilaku ibu bayi pada tindakan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 juga mengambil andil dalam perubahan prilaku ibu. Penelitian Qamarudin (2020) mengemukakan faktor yang mempengaruhi prilaku ibu dalam pemenuhan imunisasi dasar adalah kepercayaan. Salah satu pandangan agama tentang imunisasi yaitu beberapa pandangan pihak yang kontra menganggap imunisasi suatu tindakan yang haram hukumnya karena beberapa imunisasi yang bahan dasarnya terbuat dari sesuatu yang haram. Bagi yang pro menganggap imunisasi boleh hukumnya dan ada anggapan bahwa jika imunisasi ditiadakan maka banyak penyakit yang tidak teratasi dan akan terjangkit penyakit (Azmi, 2018).

Ibu yang kelompok agamanya tidak mendukung dalam pemberian imunisasi  lebih membiarkan anaknya sakit karena menjauhi barang haram daripada sehat karena menggunakan bahan haram. Hal ini sesuai dengan hasil studi tentang pengaruh agama di pedesaan Afrika Amerika bahwa prilaku yang berhubungan dengan kesehatan menganggap penyakit sebagai hukuman dari Allah dan percaya bahwa orang yang beriman kuat dapat mengatasi penyakitnya (Holt et al., 2009)

Tingkat kepercayaan agama yang tinggi dapat mempengaruhi sikap masyarakat dalam memilih suatu produk makanan. Begitu juga dengan ibu-ibu yang mempunyai anak dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, akan memberikan imunisasi kepada anak mereka karena menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) memperbolehkan pemberian imunisasi sebagai pencegahan suatu penyakit. Karena dalam pandangan islam pencegahan lebih baik daripada mengobati.       

Hal ini terjadi karena informasi yang beredar tentang efek samping imunisasi seperti demam, nyeri di bekas area penyuntikan. Hal ini sejalan dengan Jauhari et al yang menyatakan bahwa responden percaya vaksin dan imunisasi aman dan terbuat dari bahan halal, meskipun ibu tidak mengetahui bahan yang digunakan untuk membuat vaksin.

12.  Hubungan persepsi kerentanan dengan pemebrian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 176 responden menunjukkan bahwa tidak mendapat imunisasi lengkap lebih rendah persepsi kerentanan dengan p-value 0,000 artinya terdapat hubungan antara persepsi kerentanan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hasil penelitian sejalan dengan Rosmala Dewi, dkk (2017) di desa Sungai raya kabupaten Kubu Raya bahwa ada hubungan antara kerentanan yang dirasakan terhadap prilaku ibu mengimunisasi anaknya dengan p-value 0,004 . Hasil penelitian sejalan dengan Nur Jayanti, dkk (2017) di Kabupaten Pamekasan Madura bahwa ada hubungan antara persepsi kerentanan terhadap perilaku perolehan imunisasi (p-value <0,001). Penelitian Nur Jayanti dapat disimpulkan responden memiliki persepsi kerentanan tinggi memilki status imunisasi lengkap dan sebaliknya. Jika seseorang merasa beresiko terkena penyakit maka ia akan melakukan prilaku aman dan tindakan pencegahan (J.H. HBM).

Persepsi merupakan suatu penafsiran tentang informasi yang didapatkan berdasarkan pengalaman terhadap peristiwa yang diawali melalui proses penginderaam. Kerentanan merupakan dapat tidaknya seseorang terkena suatu penyakit dan persepsi kerentanan merupakan salah satu faktor yang mempenaguhi keputusan seseorang dalm berpliaku kesehatannya.

Dalam teori Health Belief Model, persepsi kerentanan termasuk dalam variabel persepsi yang paling besar memberikan pengaruh individu untuk melakukan prilaku sehat. Kerentanan merupakan dapat tidaknya seseorang terkena suatu penyakit tertentu misalnya terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yang dirasakan oleh ibu dapat ditentukan oleh pengetahuan ibu tentang adanya penyakit ini dilingkungan sekitar tempat tinggalnya.Tindakan orang tua yang dengan sengaja menolak imunisasi pada anak, kemungkinan lebih kecil orang tua percaya bahwa pemberian imunisasi diperlukan untuk melindungi kesehatan anaknya dibandingkan dengan orang tua yang memberikan imunisasi pada anaknya. Menurut Rodenstock, seseorang yang merasa dirinya dapat terkena penyakit, akan lebih cepat merasa terancam, sehingga ia melakukan tindakanpencegahan.

Menurut asumsi peneliti, apabila persepsi kerentanan rendah, maka orang tua mempunyai sudut pandang bahwa anaknya tidak retan terhadap suatu penyakit dan akan menolak pemberian imunisasi pada anak sehingga status imunisasi tidak lengkap. Apabila persepsi kerentanan tinggi, maka orang tua mempunyai sudut pandang bahwa anaknya rentan terhadap suatu penyakit dan akan melakukan tindakan pencegahan atau perlindungan kesehatan bagi anak.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membangun persepsi kerentanan pada masyarakat adalah dengan cara memberikan penyuluhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan masyarakat beranggapan bahwa jika bayi tidak melakukan imunisasi maka tidak akan beresiko terinfeksi penyakit yang menyebabkan kecacatan dan kematian. Hal tersebut terlihat bahwa kurangnya kepercayaan dan pengetahuan terhadap imunisasi.

13.  Hubungan persepsi manfaat dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 176 responden menunjukkan bahwa tidak mendapat imunisasi lengkap lebih rendah persepsi manfaat dengan p-value 0,005 artinya terdapat hubungan antara persepsi kerentanan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rachmawati (2016) di Dukuh Pilangbangau Desa Sepat Masaran Sragen menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persespi manfaat yang dirasakan ibu dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi dasar pada balita p-value= 0,006 (p-value <0,05). Hasil penelitin ini juga sejalan dengan penelitian Yessica (2016) di Puskesmas Penumping dan Banyuanyar bahwa ada hubungan persepsi manfaat dengan kelengkapan status imunisasi p-value= 0,002. Diketahui dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa responden akan melakukan tindakan pencegahan dalam hal vaksinasi apabila responden merasa tindakan tersebut bermanfaat, sehingga masih ditemukan responden yang tidak mengimunisasikan anaknya karena belum merasakan manfaat dari imunisasi. Hasil peneltian juga sejalan dengan penelitian Rosmala Dewi, dkk (2017) di Desa Sungai raya Kabupaten Kubu Raya bahwa ada hubungan antara persepsi manfaat yang dirasakan ibu terhadap perilaku ibu mengimunisasikan anaknya dengan p-value= 0,007(p-value < 0,05).

Berdasarkan teori Glanz dalam Notoatmodjo (2012) tentang persepsi yang menyatakan bahwa individu akan mempertimbangkan apakah suatu tindakan bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit. Menurut Rodenstock (1996) persepsi manfaat adalah keyakinan yang berkaitan dengan keefektifan dari beragam prilaku dalam usaha untuk mengurangi ancaman penyakit atau keuntungan yang dipersepsikan individu dala menampilkan prilaku sehat .Persepsi manfaat adalah keyakinan yang berkaitan dengan keefektifan dari beragam prilaku dalam usaha mengurangi ancaman penyakit yang dipersepsikan individu dalam menampilkan prilaku sehat. Manfaat yang dirasakan merupakan pendapat dari seseorang akan nilai dari suatu prilaku baru dalam menurunkan resiko penyakit . Menurut asumsi peneliti, seseorang akan melakukan imunisasi secara lengkap apabila ia merasa imunisasi tersebut bermanfaat dan sebaliknya apabila seseorang merasa imunisasi tidak bermanfaat maka ia tidak akan melakukan imunisasi secara lengkap.

14.  Hubungan persepsi hambatan dengan pemberin imnunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan kepada 176 responden menunjukkan bahwa tidak mendapat imunisasi lengkap lebih rendah persepsi hambatan dengan p-value 0,005 artinya terdapat hubungan antara persepsi hambatan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ferina dkk (2019) di 7 Puskesmas Kota Semarang menyatakan bahwa ada hubungan antara persepsi ibu tentang hambatan yang dirasakan untuk memberikan imunisasi dasar pada anak dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi dasar pada anak balita dengan p-value <0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan Yessica (2016) di Puskesmas Penumping dan Banyuanyar bahwa ada hubungan antara persepsi hambatan dengan kelengkapan status imunisasi p-value 0,063 (p-value < 0,05).

Berdasarkan teori menurut Glanz dalam Notoatmodjo (2012) persepsi hambatan merupakan persepsi terhadap biaya / aspek negatif yang menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya biaya berobat, pengalaman yang tidak menyenangkan serta rasa sakit yang dialami. Menurut Rodenstock (1996) persepsi hambatan merupakan kepercayaan atau keyakinan seseorang terhadap hal-hal negatif dari perilaku sehat atau rintangan yang dipersepsikan individu yang dapat bertindak sebagai halangan dalam menjalani perilaku yang direkomendasikan.

Banyak hambatan yang harus dilalui seseorang untuk dapat melakukan suatu tindakan kesehatan dan kebanyakan hambatan tersebut datang karena seseorang mengevaluasi hambatan terhadap prilaku baru yang dilakukan. Sebelum mengadopsi prilaku baru, seseorang harus percaya bahwa besarnya rintangan yang dialami ketika melakukan tindakan pencegahan lebih kecil daripada konsekuensi tindakan. Misalnya dari pengalaman orang tua bahwa dirinya dulu tidak mendapat imunisasi namun sehat dan dia harus melakukan tindakan baru yaitu melakukan tindakan imunisasi kepada anaknya, harus percaya bahwa hambatan imunisasi lebih kecil daripada melakukan tindakan pencegahan lainya misalnya menjaga kebersihan.

Menurut asumsi peneliti, ibu yang mempunyai persepsi bahwa ada hambatan dalam melakukan imunisasi akan cendrung untuk tidak melakukan imunisasi atau imunisasi tidak dilakukan secara lengkap. Oleh karena itu berdasarkan penelitian yang dilakukan disarankan kepada petugas kesehatan dalam memberikan sosialisasi atau penyuluhan bekerjasama dengan tokoh masyarakat agar informasi lebih cepat terselesaikan. 

15.  Analisis Multivariat

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan secara statistik bahwa variabel pengetahuan merupakan faktor yang paling dominan yang mempengaruhi pemberian imunisasi dengan nilai OR= artinya pengetahuan beresiko sebanyak  kali menyebabkan tidak mengimunisasikan anaknya. Pada penelitian ini, menunjukkan masih banyaknya ibu-ibu yang memiliki pengetahuan rendah tentang pemberian imunisasi di era pandemi COVID-19 sehingga menyebabkan masih adanya ibu-ibu yang tidak mengimunisasikan anaknya.

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak ibu yang berpengetahuan rendah tentang pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19, sehingga menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang didasaran pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari pengetahuan. Sebelum seseorang mengadopsi prilaku baru ia harus tahu apa arti manfaat prilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Misalnya ibu akan membawa anaknya untuk imunisasi ke pelayanan kesehatan apabila mengerti apa manfaat imunisasi bagi bayinya, sehingga pemahaman dan pengetahuan ibu terhadap imunisasi akan menentukan kelengkapan imunisasi bagi bayinya (Notoatmodjo, 2010).

Penelitian Kualitatif

1.     Input

a.     Sumber daya (man, money, material)

Sumber daya merupakan faktor yang penting untuk berjalannya suatu program pelayanan kesehatan guna tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Kecukupan sumber daya baik tenaga, anggaran dan sarana prasaranan merupakan penunjang utama pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Pada masa pandemi COVID-19 terjadi efisiensi setiap kegaiatan salah satunya program imunisasi difteri, pertusis, tetanus sehingga berdampak pada pemenuhan sumber daya.

Berdasarkan hasil wawancara pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi masih belum maksimal dan belum fokusnya pemberian promosi kesehatan kepada masyarakat umum terutama ibu yang memilki bayi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya imunisasi. Peran tenaga kesehatan dalam pencapaian imunisasi sangat berperan penting, dimana petugas kesehatan yang merupakan seorang yang dipercayai masyarakat memiliki pengetahuan yang tinggi akan dapat mengajak masyarakat untuk membawa anak ke posyandu dan petugas kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya memberikan imunisasi kepada anaknya. Promosi kesehatan bukan hanya tugas dari petugas kesehatan khusus promosi kesehatan. Promosi kesehatan adalah tugas bagi semua petugas kesehatan , untuk itu semua petugas kesehatan dipuskesmas memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan informasi.

Berdasarkan wawancara didapatkan bahwa alokasi pendanaan dalam pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi telah di anggarkan oleh pihak puskesmas dalam BOK. Tetapi dalam hal ini belum menunjang kegiatan yang dilakukan oleh kader dalam memberikan informasi kepada masyarakat. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan. Salah satu yang berperan penting dalam upaya peningkatan cakupan imunisasi adalah pendanaan. Alokasi pendanaan tidak hanya pada pelaksanaan imunisasi dan promosi kesehatan yang dilakukan petugas kesehatan, melainkan juga dalam pelaksanaan penyebaran informasi yang dilakukan oleh kader posyandu dalam meningkatkan pengetahuan, kesadaran masyarakat akan pentingnya membawa anak ke posyandu untuk diberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus.

b.    Metode

Pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 tidak terlepas dari metode berdasarkan Juknis dan SPO imunisasi anak pada masa pandemi COVID-19. Kenyataannya pelaksanaanpromosi kesehatan  imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 masih ditemukan ketidakpatuhan ibu terhadap SPO protokol kesehatan menjadi masalah utama dalam metode pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus.

Hasil penelitian ditemukan metode pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 mengacu ke juknis SPO dari kemenkes. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan promosi kesehatan adalah leaflet dan lembar balik, namun akan lebih baik apabila media dalam promosi kesehatan menambahkan video supaya ibu-ibu lebih tertarik dalam mendengarkan pentingnya imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19. Kendala penerapan metode meliputi penerapan SPO masih belum maksimal terkait perilaku ibu. Menurut Atmoko (2011), SPO digunakan sebagai instrumen untuk penilaian kinerja organisasi publik di masyarakat, berupa responsivitas, resposibilitas dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintan.

c.     Kebijakan

Keberadaan kebijakan menjadi penunjang yang penting untuk memaksimalkan pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus dan sangat erat kaitannya dengan keberadaan isu strategis yang mempengaruhi persepsi ibu. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi dalam berperilaku. Kebijakan kesehatan membahas tentang penggarisan kebijaksanaan pengambil keputusan, kepemimpinan, hubungan masyarakat, pergerakan peran serta masyarakat dalam pengelolaan program kesehatan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan diperoleh bahwa promosi kesehatan imunisasi di posyandu Puskesmas Ambacang masih kurang maksimal dilihat dari belum maksimalnya kegiatan mobilisasi informasi oleh kader untuk mendorong masyarakat ke tempat pelayanan imunisasi. Kebijakan kesehatan melingkupi berbagai upaya dan tindakan pengambilan keputusanyang meliputi aspek teknis maupun organisasi atau institusi dari pemerintahm swasta, LSM dan representasi masyarakat lainnya yang membawa dampak kesehatan.

Program promosi kesehatan imunisasi menjadi suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh puskesmas sebagai salah satu bentuk usaha mencapai target imunisasi di seluruh wilayah kerja Puskesmas. Program promosi kesehatan dirancang untuk membawa perubahan (perbaikan) baik di dalam masyarakat sendiri maupun dalam organisasi dan lingkungan (lingkungan fisik, sosial budaya, politik dan sebagainya).  Penyebab masalah dari aspek kebijakan adalah belum terwujudnya koordinasi yang kuat antara bidan, pihak instansi kesehatan di bidang pelayanan kesehatan dan bidang imunisasi. Bidan yang secara hierarki berada di bawah bidang pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan pemberian imunisasi. Sedangkan bidang imunisasi sebagai fasilitator perihal ketersediaan vaksin dan cakupan imunisasi. Namun kolaborasi antara bidan , pihak instansi kesehatan di bidang pelayanan dan bidang imunisasi belum dapat terlaksana sesuai harapan.

d.    Kemitraan

Kemitraan adalah suatu perwujudan dari kebijakan berupa kerjasama lintas sektor. Kemitraan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terkait kekhawatiran terhadap pelayanan imunisasi selama masa pandemi COVID-19. Kemitraan lintas sektoral bertugas menyediakan sarana dan prasarana, menyediakan modal, penyediaan pendidikan dan pelatihan serta penyediaan penyuluhan dan pendampiingan.

Hasil penelitian melalui wawancara mendalam dan telaah dokumen, diketahui bahwa kemitraan pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 di Puskesmas Ambacang Kota Padang meliputi pelaksanaan koordinasi langsung dengan kader dalam hal penjadwalan imunisasi dan protokol kesehatan.

2.     Proses

a.     Pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19

Proses pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 tidak terlepas dari pelaksanaan protokol kesehatan. Tantangan pada pelaksanaan pelayanan imunisasi dipengaruhi ketidakpatuhan disertai adanya kekhawatiran ibu terhadap pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang diberikan. Alasan penundaan yang paling umum adalah ketakutan terinfeksi COVID-19 sehingga mempengaruhi ketepatasan waktu imunisasi.

Hasil penelitian terkait proses pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 didapatkan pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus telah dilaksanakan tetapi belum efektif. Hal ini ditemukan kendala masih ada keraguan ibu terhadap manfaat imunisasi, kekhawatiran bayi tertular COVID-19 dan kepatuhan ibu terhadap protokol kesehatan. Kepatuhan ibu terhadap protokol kesehatan merupakan bagian dari pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang wajib dipatuhi pada masa pandemi COVID-19 (Kemenkes RI, 2020).

Isu strategis terkait partisipasi dari ibu dalam imunisasi adanya penerapan protokol kesehatan sehingga menyebabkan adanya kekhawatiran ibu tertular COVID-19, sehingga terjadi penundaan imunisasi. Meskipun imunisasi pada anak di era pandemi COVID-19 terganggu, ditunda, diatur ulang atau ditunda sama sekali. Namun pelayanan posyandu tetap terselenggara setiap bulannya sesuai jadwal, pada era pandemi COVID-19 . Harapan kader dan pembina posyandu bisa lebih kreatif dalam mensosialisasikan pentingnya protokol kesehatan COVID-19 pada saat pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di setiap wilayah Puskesmas Ambacang Kota Padang.

b.    Strategi promosi kesehatan

Pada masa pandemi COVID-19 diperlukan strategi promosi kesehatan yang efektif dalam pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus untuk meminimalkan penyebaran COVID-19 melalui tatap muka dalam penyampaian informasi terkait pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus namun yang menjadi tantangan berkaitan dengan kemaksimalan penggunaan media komunikasi dalam penyampaian informasi tentang jadwal pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus.

Berdasarkan wawancara mendalam ditemukan bahwa strategi promosi kesehatan berupa advokasi gerakan pemberdayaan masyarakat guna pengerahan informasi yang harus dilakukan kader posyandu dalam peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID 19, tetapi strategi promosi kesehatan belum maksimal dilakukan oleh pihak puskesmas. Strategi promosi kesehatan merupakan suatu cara mewujudkan visi dan misi promosi kesehatan dengan pendekatan yang strategis agar tercapai secara efektif dan efisien (Notoatmodjo, 2010).

Krisis ekonomi bisa kapan saja muncul, penting untuk mengkomunikasikan krisis secara efektif untuk memperbaiki kerusakan yang bisa berdampak buruk terhadap program imunisasi dan juga kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2020). Beberapa upaya yang seharusnya dilakukan adalah pelatihan kader, membangun hubungan baik dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk mensosialisasikan pentingnya protokol kesehatan pada saat pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

c.     Monitoring dan evaluasi

Monitoring dan evaluasi diperlukan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Pada era pandemi COVID-19 monitoring dan evaluasi menjadi efisiensi kegiatan adanya pembatasan temu langsung untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19 dan juga adanya efisiensi anggaran pelaksanaan imunisasi di era pandemi COVID 19.Hasil wawancara dan telaah dokumen terkait monitoring dan evaluasi pelaksanaan imunisasi difteri,pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 disimpulkan monitoring dan evaluasi tahunan dilakukan di puskesmas Ambacang.

Monitoring dan evaluasi merupakan komponen yang penting dalam penyelenggaraan imunisasi. Dinas kesehatan dan puskesmas harus tetap melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan imunisasi baik di saat pandemi COVID-19 , maupun setelah masa pandemi COVID-19 dapat diatasi dengan baik. Tujuan untuk menilai apakah rencana pelaksanaan yang dibuat sudah dilaksanakan dengan baik dan memastikan pelayanan imunisasi berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 juga bermanfaat untuk menentukan tindak lanjut yang dapat diambil dan dilakukan oleh petugas imunisasi setelah masa pandemi COVID-19 dapat diatasi dengan baik (Kemenkes RI, 2020).

3.     Output

Keberhasilan pelaksanaan imunisasi dilihat dari output berupa capaian cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Pada masa pandemi COVID-19 terjadi menjadi pengaruh penurunan capaian cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus berupa adanya pembatasan kontak langsung dalam pelaksanaan, kepatuhan penerapan prokes dan masih adanya persepsi-persepsi ibu terkait imunisasi difteri, pertusis, tetanus dan belum maksimalnya pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi di era pandemi COVID-19

Hasil penelitian dari wawancara mendalam dan telaah dokumen terkait output pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 didapati capaian imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 mengalami penurunan. Upaya penerapan juknis dan SPO imunisasi pada masa pandemi COVID-19 telah dilakukan, koordinasi dengan lintas sektor satgas COVID-19 sudah dilakukan.

Keberadaan isu strategis mempengaruhi persepsi ibu tentang keamanan vaksin, manfaat serta hambatan pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang diakibatkan pada mada pandemi COVID-19. Hal ini jika tidak diantisipasi maka akan menjadi KLB penyakit PD3I akibat tidak terpenuhi cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus sehingga kebutuhan yang urgent terkait pendekatan kolaboratif antara organisasi global dan nasional untuk menghidupkan kembali tingkat vaksinasi yang terganggu.

Banyak negara berpenghasilan tinggi serta negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami penurunan cakupan imunisasi yang cepat. Akibat pengendalian yang tidak optimal PD3I pada anak-anak dapat menyebabkan dampak KLB yang bersamaan dengan COVID-19. Upaya yang dilakukan berupa sosialisasi informasi vaksin secara terus menerus perlu dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan orang tua dan meningkatkan cakupan vaksinasi di Indonesia.

Berdasarkan pembahasan diatas , diperoleh banyak faktor yang menyebabkan penurunan cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 di puskesmas Ambacang Kota Padang. Masalah utama adalah kurangnya pemahaman ibu tentang pentingnya imunisasi dan protokol kesehatan pada saat pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19. Hal ini disebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan promosi kesehatan yang menyebabkan adanya persepsi manfaat dari keuntungan imunisasi  difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

Ketidakpatuhan terhadap protokol kesehatan, sehingga menyebabkan adanya keraguan dan rasa khawatir ibu tertular COVID-19 pada saat pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Selain itu, beberapa isu lama juga berperan diantaranya terkait manfaat dan kehalalan aksin, manfaat, serta hambatan.

4.     Pengetahuan

Menurut hasil penelitian sebagian informan mengetahui pengertian imunisasi difteri, pertusis, tetanus adalah suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tidak akan sakit atau sekedar mengalami sakit ringan (Kemenkes RI, 2017). Menurut hasil penelitian yang dilakukan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus dilakukan sebanyak 3 kali. Sejalan dengan teori dari Kemenkes RI, 2017 yang menyatakan bahwa pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus dilakukan 3 kali. Pemberian pertama usia 2 bulan, pemberian kedua dengan jarak paling cepat empat minggu (1bulan), begitu pula pada pemberian yang ketiga.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan menjawab pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus di paha ini sesuai dengan teori Kemenkes RI, 2017 yaitu vaksin disuntikkan secara intramuskular di anterolateral paha atas bayi dengan dosis satu anak 0,5 ml. Dalam hal efek samping setelah diberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus seluruh informan menjawab demam. Sesuai dengan teori efek samping imunisasi difteri, pertusis, tetanus adalah demam. Namun informan hanya mengetahui efek samping setelah imunisasi difteri, pertusi, tetanus hanya demam. Teori menjelaskan efek samping dari imunisasi difteri, pertusis, tetanus adalah muncul reaksi lokal sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerhan pada lokasi suntikan.                   

Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan menjelaskan imunisasi difteri, pertusis, tetanus untuk penyakit campak, TBC dan ada informan yang menjawab tidak tau sama sekali. Ini tidak sesuai dengan teori. Teori (Kemenkes RI, 2020) menyatakan bahwa penyakit yang dicegah dengan imunisasi difteri, pertusis, tetanus adalah difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah penyakit menular melalui kontak langsung dan pernapasan, gejala berupa radang tenggorokan, nafsu makan menghilang, panas ringan dan muncul selaput putih kebiruan di tenggorokan. Pertusis adalah penyakit di saluran pernafasan yang bisa menular melalui percikan ludah dari bersin atau batuk sedangkan tetanus adalah penyakit yang ditularkan melalui kotoran yang masuk ke dalam luka dalam.

Rendahnya pengetahuan ibu tentang usia bayi yang diberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus, waktu pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus terhadap bayi sehingga banyak dari ibu yang bayinya tidak mendapat imunisasi difteri, pertusis, tetanus secara lengkap. Rendahnya pengetahuan ibu tentang imunisasi difteri, pertusis, tetanus dan dampak diberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus karena masih banyak ibu yang takut ketika bayinya demam setelah diberi imunisasi, sehingga ibu tidak membawa anaknya lagi untuk imunisasi karena kurangnya pengetahuan ibu tentang imunisasi difteri, pertusis, tetanus.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Hubungan Pengetahuan Ibu, Persepsi Ibu Dan Dukungan Suami Dengan Pemberian Imunisasi Difteri Pada Anak Pada Era Pandemic Covid-19 Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang, dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:

1.     Lebih dari setengah ibu memiliki pendidikan tamat SMA, lebih dari setengah ibu yang tidak bekerja dengan rentang umur responden 20-35 tahun.

2.     Lebih dari setengah ibu memiliki pengetahuan yang rendah pada pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

3.     Lebih dari setengah ibu tidak mendapat dukungan dari keluarga untuk melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

4.     Lebih dari setengah ibu memiliki persepsi kepercayaan yang rendah untuk melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

5.     Lebih dari setengah ibu memiliki persepsi kerentanan yang rendah untuk melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

6.     Lebih dari setengahibu memiliki persepsi yang tidak bermanfaat untuk melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

7.     Lebih dari setengah ibu memiliki persepsi hambatan yang tinggi untuk melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.

8.     Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era Pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.

9.     Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era Pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.

10.  Terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi ibu dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era Pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.

11.  Rendahnya cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 diakibatkan kurang maksimalnya promosi kesehatan imunisasi sehingga pengetahuan ibu rendah terhadap imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.


 

BIBLIOGRAFI

 

Afrilia, E. M., & Fitriani, A. (2019). Hubungan Sikap Ibu Dan Dukungan Keluarga Dengan Kelengkapan Imunisasi Lanjutan Pada Batita Di Puskesmas Curug Tahun 2017. Simposium Nasional Mulitidisiplin (SinaMu), 1.

 

Al., A. D. et. (2019). Pemanfatan Imunisasi di Kelurahan Pampang Kecamatan Panakkukang Kota Makassar (Pendekatan Health Belief Model). Bagian Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitaas Hasanuddin., 1–10.

 

Al., A. et. (2019). Hubungan Pengetahuan dan Dukungan Keluarga dengan Pemberian Imunisasi Measles Rubella. 222–229.

 

Azmi, Z. (2018). Perilaku Orang Tua Anak yang Tidak Mendapatkan Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Toddopuli Kota Makassar. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

 

Dillyana, T. A. (2019). Hubungan pengetahuan, sikap dan persepsi ibu dengan status imunisasi dasar di Wonokusumo. Jurnal Promkes: The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education, 7(1), 67–77.

 

Holt, C. L., Clark, E. M., Roth, D., Crowther, M., Kohler, C., Fouad, M., Foushee, R., Lee, P. A., & Southward, P. L. (2009). Development and validation of instruments to assess potential religion-health mechanisms in an African American population. Journal of Black Psychology, 35(2), 271–288.

 

Kemenkes RI. (2020). Profil Kesehatan Indonesia ; Infodatin. Jakarta: Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.

 

MM., F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori dan Praktek. In Jakarta: EGC.

 

Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.

Rafidah, R., & Yuliastuti, E. (2020). Persepsi dan Dukungan Keluarga terhadap Pemberian Imunisasi Measles Rubella (MR): Perception and Family Support for the Administering of Measles-Rubella (MR) Immunization. Jurnal Bidan Cerdas, 2(2), 97–103.

 

RI Kemenkes. (2017). Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Kemenkes RI.

 

Sitorus, Y. (2018). The Related Factors to Complete Basic Imunization in The Working Area Medan Area Health Centre. 1(3), 137–143.

 

Trisna, F. H. T., Saraswati, L. D., Udiyono, A., & Ginandjar, P. (2019). Hubungan Persepsi Ibu Dengan Kepatuhan Ibu Dalam Pemberian Imunisasi Dasar Pada Balita (Studi Di 7 Puskesmas Kota Semarang). Jurnal Kesehatan Masyarakat (Undip), 7(1), 149–154.

 

VIMA ERWANI, V. E. (2022). Analisis Kepatuhan Ibu dalam Pemberian Imunisasi Polio pada Anak di Puskesmas Tanjung Baru Kabupaten OKU Tahun 2021. STIK Bina Husada Palembang.

 

Wawomeo, A., Taneo, N. A., & Kambuno, N. T. (2019). Relationship Between the Level of Knowledge and Attitudes of Mother Towards Compliance with Basic Immunization. Jurnal Kesehatan Primer, 4(2), 84–91.

 

Copyright holder:

Waldatul Hamidah, Defrin, Nice Rachmawati (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: