Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 9, September 2022
ANALISIS HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU, PERSEPSI IBU DAN
DUKUNGAN SUAMI DENGAN PEMBERIAN IMUNISASI DIFTERI, PERTUSIS, TETANUS PADA ANAK
PADA ERA PANDEMI COVID 19 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS AMBACANG KOTA PADANG
Waldatul Hamidah, Defrin, Nice Rachmawati
Universitas Andalas Padang, Indonesia
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak
Pendahuluan Imunisasi difteri,
pertusis, tetanus adalah program yang mengalami penuruanan cakupan pada masa
COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Rendahnya cakupan
imunisasi DPT menyebabkan tingginya resiko anak terkena penyakit menular.
Cakupan imunisasi DPT di Puskesmas Ambacang Kota Padang menurun sebesar 43%
tahun 2020. Tujuan penelitian: menganalisis hubungan pengetahuan ibu, persepsi
ibu dan dukungan suami dengan pemberian imunisasi DPT pada anak di era pandemi
COVID-19 di Wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Metode penelitian:
menggunakan mix method research dengan desain sekuensial explanatory. Dilakukan
pada 176 responden yang memiliki anak usia 6-24 bulan dengan teknik sampling
proporsional. Analisis data univariat, bivariat dan multivariat digunakan
metode kuantitatif tahap pertama dilanjutkan metode kualitatif melalui indept
interview. Hasil penelitian ada pengetahuan kurang (87,5%), keluarga tidak
mendukung (53,4%), persepsi kepercayaan (71,0), persepsi kerentanan (69,3%),
persepsi manfaat (62,5%), persepsi hambatan (62,5%). Kesimpulan : faktor yang
paling dominan adalah pengetahuan (p-value 0,000). Capaian imunisasi DPT
menurun disebabkan belum maksimalnya pelaksanaan promkes pada era pandemi
COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.
Kata Kunci: cakupan imunisasi DPT, COVID-19,
faktor dominan.
Abstract
Introduction Diphtheria,
pertussis, and tetanus immunizations are programs that have decreased coverage
during the COVID-19 period in the Ambacang Public Health Center Work Area,
Padang City. The low coverage of DPT research causes children to be exposed to
infectious diseases. The scope of DPT training decreased at the Ambacang Public
Health Center, Padang City by 43% in 2020. The purpose of the study: to analyze
the relationship between mother's knowledge, mother's perception and husband's
support with the provision of DPT to children in the COVID-19 pandemic era in
the Ambacang Public Health Center work area, Padang City. Research method:
using mix method research with explanatory sequential design. Conducted on 176
respondents who have children aged 6-24 months with proportional sampling
technique. Analysis of univariate, bivariate, and multivariate data used
initial quantitative methods followed by qualitative methods through in-depth
interviews. The results of the study there is a lack of knowledge (87.5%), the
family does not support (53.4%), the perception of trust (71.0), the perception
of vulnerability (69.3%), the perception of benefits (62.5%), the perception of
barriers (62.5%). Conclusion: the most dominant factor is knowledge (p-value
0.000). The DPT training achievement decreased due to the not yet maximal
implementation of the health promotion program during the COVID-19 pandemic in
the Ambacang Public Health Center Work Area, Padang City.
Keywords: DPT coverage, COVID-19, dominant
factor.
Pendahuluan
Imunisasi adalah salah satu cara
untuk mencegah terkena penyakit infeksi menular. Menurut WHO (2018) imunisasi
adalah alat untuk mengendalikan penyakit menular yang mengancam jiwa dan
diperkirakan dapat mencegah 2-3 juta kematian balita setiap tahunnya. Imunisasi
adalah usaha pemberian kekebalan kepada bayi dan anak dengan memasukkan
vaksinke dalam tubuh agar tubuh membuat suatu zat untuk mencegah penyakit
tertentu (Wawomeo et al., 2019). Salah satu upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian penyakit menular adalah pemberian imunisasi.
Imunisasi di Indonesia terdiri dari
imunisasi wajib dan imunisai pilihan. Salah satu imunisasi wajib yang diberikan
kepada bayi sebelum usia 1 tahun adalah imuniasi difteri, pertusis dan tetanus.
Imunisasai difteri, pertusis, tetanus merupakan imunisasi dasar yang diberikan
untuk mencegah penyakit difteri, pertusis dan tetanus, cakupan imunisasi
difteri, pertusis, tetanus yang diharapkan adalah diatas 90% dari target
global, tetapi di era pandemi dilaporkan bahwa terjadi penurunan imunisasi
termasuk imunisasi difteri, pertusis, tetanus (Kemenkes RI, 2017).
Cakupan imunisasi dasar lengkap di
Indonesia tahun 2016-2018 yaitu pada tahun 2016 sebesar 91,58%. Pada tahun 2017
cakupan imunisasi dasar lengkap mengalami penurunan 85,41%. Pada tahun 2018
mengalami penurunan 57,95%. Data pada tahun 2019 cakupan imunisasi rutin di
Indonesia masih dalam kategori kurang memuaskan, dimana cakupan Pentavalent-3
dan MR tidak mencapai 90% dari target. Padahal imunisasi dasar diberikan secara
gratis oleh pemerintah di posyandu, puskesmas (Kemenkes RI, 2020).
Pandemi COVID-19 yang terjadi pada
empat bulan pertama tahun 2020, WHO mencatat adanya penurunan jumlah anak yang
mendapatkan vaksin difteri, pertusis, tetanus 3. Data ini merupakan suatu hal
yang tidak wajar karena baru pertama kalinya dalam 28 tahun, terjadi penurunan
difteri, pertusis, tetanus 3 di seluruh dunia. Sampai bulan Mei 2020, toga
perempat dari 82 negara melaporkan gangguan terkait program imunisasi akibat
pandemi COVID-19 (WHO, 2020)
Dari 194 negara anggota WHO 65 negara
memiliki cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus dibawah target global 90%
salah satunya Indonesia. Menurut data WHO di Asia Tenggara setiap tahunnya
menempati urutan pertama kasus difteri di dunia pada tahun 2011-2019. Indonesia
peringkat kedua dengan 3.203 kasus difteri setelah India dengan jumlah kasus
sebesar 18.350 (WHO, 2017).
Berdasarkan data dari Surveilans PD3I
dan imunisasi pada tahun 2020 menunjukkan bahwa sampai dengan bulan April 2020
lebih dari 500.000 bayi belum mendapatkan imunisasi difteri, pertusis, tetanus
1, mengalami penurunan pada tahun 2019 dan penurunan paling drastis terjadi
pada bulan April 2020 yaitu 50,1%. Hal yang sama juga terjadi pada cakupan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus 3 (Kemenkes RI, 2020).
Rendahnya angka cakupan imunisasi
difteri, pertusis, tetanus dapat menyebabkan anak menjadi terkena penyakit
menular. Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, terjadi 415 kasus
difteri di Indonesia dan 24 kasus terjadi kematian. Pada tahun 2015, Sumatera
Barat berada pada peringkat pertama kejadian difteri terbanyak di Indonesia
dengan kasus 110 dan 1 kasus meninggal dunia. Pada tahun 2016, kasus difteri di
Sumatera Barat turun secara signifikan dengan 9 kasus.
Pada tahun 2017 angka kejadian
difteri kembali meningkat menjadi 26 kasus dan Sumatera Barat menjadi provinsi
keenam tertinggi kejadian diferi di Indonesia. Data surveilans PD3I dan
imunisasi Kemenkes RI menunjukkan bahwa hingga bulan mei 2020 suspek difteri
ditemukan sebanyak 129 kasus yang tersebar di 18 provinsi. Kasus difteri paling
banyak dilaporkan di provinsi Jawa Barat, Kalimantan Timur, Aceh dan DKI
Jakarta. Peningkatan angka tersebut akan terus sampai akhir tahun mengingat
masih terdapat jumlah kasus di provinsi yang belum dilaporkan (Kemenkes RI, 2020).
Kasus difteri pada tahun 2020
menyebar hampir diseluruh wilayah Indonesia. Jumlah kasus pada tahun 2020
sebanyak 259 kasus, jumlah kematian 13 kasus dengan CFR sebesar 5,02%. Jumlah
kasus tahun 2020 mengalami penurunan yang cukup signifikan jika dibanding 2019,
jumlah kematian juga mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya tetapi
CFR pada tahun 2020 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2019 (4,5%).
Berdasarkan data cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di
Provinsi Sumatera Barat mengalami fluktuasi dengan uraian berikut pada tahun
2017 yaitu 83,5%, 2018 yaitu 76,29% ,pada tahun 2019 yaitu 82,9 % dan pada
tahun 2020 yaitu 57, 9% , mengalami penurunan yang tajam dari tahun 2019 ke
2020. Data cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus Kota Padang pada tahun
2019 yaitu 89,7 % mengalami penurunan pada tahun 2020 yaitu 65,5% dan wilayah
kerja Puskesmas Ambacang mengalami penurunan yang paling tinggi diantara 23
puskesamas di Kota Padang yaitu sebesar 43%
Imunisasi difteri, pertusis, tetanus
dapat menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan
tetanus. Penyakit difteri dapat menyebabkan kematian akibat tersumbatnya
tenggorokan dan kerusakan jantung. Penyakit pertusis merupakan penyakit yang
menyerang paru dan ditandai dengan batuk rejan selama 100 hari. Penyakit
tetanus yaitu penyakit kejang otot yang terjadi pada seluruh tubuh disertai
dengan mulut terkunci sehingga mulut tidak bisa membuka atau dibuka.
Pelaksanaan imunisasi diharapkan
dapat menurunkan jumlah bayi yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (Kemenkes RI, 2017). Namun dalam beberapa tahun terakhir, angka kematian bayi
akibat penyakit infeksi yang seharusnya dapat dicegah dengan imunisasi masih
terbilang tinggi. Laporan WHO tahun 2020 menyebutkan bahwa terdapat 20 juta
anak belum mendapatkan pelayanan imunisasi untuk balita di seluruh dunia secara
rutin setiap tahun. Tingginya jumlah anak yang belum mendapatkan imunisasi
mengakibatkan penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian, yang
seharusnya dapat dicegah dengan vaksin, muncul di negara maju dan berkembang.
Hasil Riskesdas 2013, alasan anak
tidak diimunisasi antara lain karena keluarga tidak mengizinkan anak untuk
diimunisasi, faktor sibuk, lokasi yang jauh, anak sering sakit dan tidak tahu
tempat imunisasi. Walau latar belakang para orang tua heterogen, pola
pengambilan keputusan orang tua terhadap imunisasi memiliki gambaran yang
mirip. Faktor –faktor inilah yang mempengaruhi orang tua menolak menerima
program imunisasi termasuk juga faktor dukungan yang berasal dari keluarga. Bentuk dukungan keluarga yang diberikan oleh keluarga
(suami) adalah dorongan semangat, pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk, saran
atau umpan balik. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soekidjo
Notoatmodjo (2003) bahwa dalam mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang
nyata diperlukan faktor pendukung.
Selain faktor diatas, ada faktor lain
yang mempengaruhi keputusan orang tua dalam memberikan imunisasi salah satunya
adalah faktor pengetahuan orang tua tentang imunisasi (Kemenkes RI, 2020). Faktor pengetahuan ibu tentang pentingnya imunisasi
difteri, pertusis, tetanus berperan penting dalam menentukan keberhasilan
pelaksanaan imunisasi. Orang tua yang memiliki pengetahuan yang baik akan mampu
memastikan anaknya mendapatkan imunisasi difteri, pertusis, tetanus dan
memberikan penatalaksaan yang efektif ketika efek samping imunisasi difteri,
pertusis, tetanus muncul. Namun orang tua yang tidak memiliki pemahaman
difteri, pertusis, tetanus akan menganggap difteri, pertusis, tetanus
menyebabkan bayi sakit, sehingga lebih memilih untuk tidak memberikan imunisasi
difteri, pertusis, tetanus. Pada saat pandemi COVID-19 pengetahuan seorang ibu tentang
imunisasi difteri,pertusis, tetanus berkurang disebabkan karena PSBB membuat
orang tua banyak di rumah saja.
Indikator tercapainya imunisasi tidak
terlepas dari keterlibatan orang tua terutama ibu selaku pengambil keputusan
dalam kesehatan anak . Orang tua terkadang menolak membawa anaknya untuk memperoleh
imunisasi DPT (difteri, pertusis, tetanus) dikarenakan anak mengalami efek
samping setelah mendapatkan imunisasi difteri, pertusis, tetanus ) atau yang di
kenal dengan KIPI.
Pada tahun 2020, pandemi COVID 19
telah menjadi krisis kesehatan di dunia dikarenakan penyebaran yang sangat
cepat dan beresiko tinggi menularkan di suatu komunitas yang padat sehingga
telah menjadi suatu pandemi global (Kobayashi, 2020). Program imunisasi menjadi
salah satu program kesehatan yang mengalami dampak dari pandemi COVID-19
(Kemenkes, 2020). Di tengah pandemi pelayanan kesehatan terfokus pada
pencegahan transmisi serta penanganan kasus COVID-19, ditambah sistem pembatasan
sosial berskala besar diberbagai daerah, menyebabkan pelayanan kesehatan rutin
seperti imunisasi menjadi terganggu (WHO , 2020). Hal ini terlihat dari cakupan
imunisasi yang menurun, terutama pada imunisasi DPT berkurang lebih dari 35%
pada bulan Mei 2020 dibandingkan dengan periode waktu yang sama pada tahun
sebelumnya (Kemenkes RI, 2020).
Dengan adanya pandemi, faktor
penyebab target imunisasi sulit dicapai menjadi semakin bertambah. Orang tua
khawatir anak mereka akan tertular COVID-19 jika pergi ke tenaga kesehatan dan
fasilitas kesehatan. Alasan lain yang ditemukan adalah imbauan dalam rangka
mencegah penyebaran COVID-19 dengan melakukan aktifitas dari rumah dan
membatasi kegiatan di luar rumah mempengaruhi akses dan pembatasan aktifitas
pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan.
Survei yang dilakukan Kementrian
Kesehatan terhadap pelaksanaan imunisasi menunjukkan bahwa lebih dari 43%
klinik dan rumah sakit swasta menjadi sumber utama untuk mendapatkan pelayanan
imunisasi selama pandemi COVID-19, dimana sebelumnya 90% anak memperoleh
imunisasi di layanan publik seperti puskesmas dan posyandu. Pada survei
tersebut ditemukan 76% enggan untuk menggunakan pelayanan kesehatan karena
takut akan tertular COVID-19 (Kemenkes RI, 2020).
Menurut Rosenstock dalam Sarwono
(2017) meliputi komponen utama yaitu kerentanan yang dirasakan, keseriusan yang
dirasakan, ancaman penyakit yag dirasakan, manfaat dan rintangan yang dirasakan
dan faktor cues to action. Penelitian yang dilakukan Nani Susilowati (2021)
menemukan terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi kerentanan dan
keseriusan, persepsi manfaat dan persepsi hambatan.
Penelitian yang dilakukan Prita Devy
Igiany (2020) diperoleh bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan
keluarga dengan kelengkapan imunisasi dsar, p-vlue 0,004 dan OR 18. Penelitian
Nur Imanah (2018) mengidentifikasi adanya hubungan antara dukungan keluarga
dengan ketepatan waktu ibu dalam pemberian imunisasi difteri, pertusis,
tetanus.
Penelitian yang dilakukan Septiani
dan Mita (2020) di Desa Sangso Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen,
didapatkan hasil ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan cakupan pemberian
imunisasi dasar sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yuliana dan Sitorus (2018)
didapatkan hasil adanya hubungan antara pengetahuan, sikap, pendidikan ,
dukungan suami dan pekerjaan dengan pemberian imunisasi dasar lengkap (Sitorus, 2018)
Berdasarkan latar belakang diatas
maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang analisis hubungan pengetahuan
ibu, persepsi ibu dan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi difteri,
pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas
Ambacang Kota Padang.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan mix
method research dengan desain
sekuensial eksplanatori. Populasi pada penelitian adalah seluruh ibu yang memiliki anak usia 6-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Sampel penelitian sebanyak 176 orang dengan teknik pengambilan sampel proporsional sampling. Intrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner
dan indept interview. Pengumpulan
data pada penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder
dan dengan cara door to
door ke rumah responden untuk mengisi kuesioner. Analisis data penelitian kuantitatif adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat dan dilanjutkan analisis data penelitian kualitatif dengan analisis tematik.
Hasil
Dan Pembahasan
Tabel 1
Karakteristik Subjek
Penelitian Berdasarkan Umur, Pendidikan Dan Pekerjaan
No |
Karakteristik responden |
n (176) |
% |
1. |
Umur < 20 tahun 20-35 tahun >35 tahun |
1 145 30 |
0,6 82,4 17,0 |
2. |
Pendidikan SD |
8 12 89 67 |
4,5 6,8 50,6 38,1 |
3. |
Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja |
22 145 |
12,5 87,5 |
Tabel 2
Distribusi Frekuensi
Pengetahuan Ibu
Pengetahuan |
n |
% |
Baik Kurang |
22 154 |
12,5 87,5 |
Total |
176 |
100 |
Tabel 3
Distribusi Frekuensi
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga |
n |
% |
Mendukung Tidak mendukung |
82 94 |
46,6 53,4 |
Total |
176 |
100 |
Distribusi Frekuensi Persepsi Kepercayaan
Persepsi kepercayaan |
N |
% |
Mendukung Tidak mendukung |
51 125 |
29,0 71,0 |
Total |
176 |
100 |
Tabel
5
Distribusi Frekuensi Persepsi Kerentanan Dan Keseriuan
Persepsi kerentanan |
n |
% |
Tinggi Rendah |
54 122 |
30,7 69,3 |
Total |
176 |
100 |
Tabel 6
Distribusi Frekuensi
Persepsi Manfaat
Persepsi manfaat |
n |
% |
Tinggi Rendah |
55 121 |
31,3 68,8 |
Total |
176 |
100 |
Tabel
7
Distribusi Frekuensi Persepsi Hambatan
Persepsi hambatan |
n |
% |
Rendah Tinggi |
66 110 |
37,5 62,5 |
Total |
176 |
100 |
Tabel
8
Distribusi Frekuensi Riwayat Imunisasi DPT
Persepsi hambatan |
n |
% |
Lengkap Tidak lengkap |
75 101 |
42,6 57,4 |
Total |
176 |
100 |
Tabel
9
No |
Pengetahuan ibu |
Imunisasi DPT |
Jumlah |
p value |
||||
Lengkap |
Tidak lengkap |
|||||||
n |
% |
n |
% |
n |
% |
|||
1 2 |
Baik Kurang |
17 58 |
9,7 33,0 |
5 96 |
2,8 54,5 |
22 154 |
12,5 87,5 |
0.000 |
Total |
75 |
42,6 |
101 |
57,4 |
176 |
100 |
Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak
Di Era Pandemi Covid-19 Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang
Tabel
10. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak
Di Era pandemi COVID-19
No |
Dukungan keluarga |
Imunisasi DPT |
Jumlah |
p value |
||||
Lengkap |
Tidak lengkap |
|||||||
n |
% |
n |
% |
n |
% |
|||
1 2 |
Mendukung Tidak mendukung |
48 27 |
27,3 15,3 |
34 67 |
19,3 38,1 |
82 94 |
46,6 53,4 |
0,000 |
Total |
75 |
42,6 |
101 |
57,4 |
176 |
100 |
Tabel 11. Hubungan
Persepsi Kepercayaan Dengan Pemberian Imunisasi DPT pada anak d era pandemi COVID 19
No |
Persepsi kepercayaan |
Imunisasi DPT |
Jumlah |
p value |
||||
Lengkap |
Tidak lengkap |
|||||||
n |
% |
N |
% |
n |
% |
|||
1 2 |
Mendukung Tidak mendukung |
32 43 |
8,2 24,4 |
19 82 |
10,8 46,6 |
51 125 |
29,0 71,0 |
0,001 |
Total |
75 |
42,6 |
101 |
57,4 |
176 |
100 |
Tabel 12. Hubungan
Persepsi Kerentanan Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak Di Era Pandemi
COVID 19 Di Wilayah Kerja Puskesmas
Ambacang Kota Padang
No |
Persepsi kerentanan |
Imunisasi DPT |
Jumlah |
p value |
||||
Lengkap |
Tidak lengkap |
|||||||
n |
% |
n |
% |
n |
% |
|||
1 2 |
Tinggi Rendah |
31 44 |
17,6 23,0 |
23 78 |
13,1 44,3 |
54 122 |
30,7 69,3 |
0,008 |
Total |
75 |
42,6 |
101 |
57,4 |
176 |
100 |
Tabel 13 Hubungan
Persepsi Manfaat Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak Di Era Pandemi
COVID 19 Di Wilayah Kerja Puskesmas
Ambacang Kota Padang
No |
Persepsi manfaat |
Imunisasi DPT |
Jumlah |
p value |
||||
Lengkap |
Tidak lengkap |
|||||||
n |
% |
N |
% |
N |
% |
|||
1 2 |
Tinggi Rendah |
32 43 |
18,2 24,4 |
23 78 |
13,1 44,3 |
55 121 |
31,3 68,8 |
0.005 |
Total |
75 |
42,6 |
101 |
57,4 |
176 |
100 |
Tabel 14 Hubungan
Persepsi Hambatan Dengan Pemberian Imunisasi DPT Pada Anak D Era Pandemi
Covid 19 Di Wilayah Kerja Puskesmas
Ambacang Kota Padang
No |
Persepsi hambatan |
Imunisasi DPT |
Jumlah |
p value |
||||
Lengkap |
Tidak lengkap |
|||||||
n |
% |
n |
% |
n |
% |
|||
1 2 |
Rendah Tinggi |
37 38 |
21,0 21,6 |
29 72 |
16,5 40,9 |
66 110 |
37,5 62,5 |
0.005 |
Total |
75 |
42,6 |
101 |
57,4 |
176 |
100 |
5.4
Analisis Multivariat
Tabel
15 Permodelan Akhir Multivariat
Variabel |
p-value |
Exp (β) |
CI 95% |
Pengetahuan ibu |
0,002 |
6,079 |
1,991-18,080 |
Dukungan keluarga |
0,001 |
2,989 |
1,523-5,868 |
Persepsi kepercayaan |
0,014 |
2,507 |
1,201-5,233 |
Penelitian kualitatif
Tabel 16. Matrik
sumber daya dalam pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus
Aspek yang diperiksa |
Wawancara |
Telaah dokumen |
Triangulasi |
Sumber daya |
-
Anggaran imunisasi sudah
mencukupi dari BOK -
Petugas dalam promosi kesehatan
imunisasi belum maksinal -
Sarana dan prasarana sudah
memadai |
-
Juknis SPO imunisasi |
-
Anggaran promosi kesehatan imunisasi DPT sudah mencukupi Kendala : -
Ketersediaan masker belum
mencukupi -
Petugas dalam imunisasi belum
maksimal |
Tabel 17. Matrik
Triangulasi Metode dalam Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era
Pandemi COVID-19
Aspek yang diperiksa |
Wawancara |
Telaah dokumen |
Analisis triangulasi |
Metode |
-
Metode promosi kesehatan
menggunakan leaflet dan lembar balik -
Penerapan SPO masih belum
maksimal |
Juknis SPO yang dikeluarkan kemenkes |
-
Metode imunisasi di era
COVID-19 mengacu ke juknis dan SPO dari kemenkes Kendala : -
Penerapan SPO juknis imunisasi
tentang prokes masih belum maksimal |
Tabel 18. Matrik
Triangulasi Kebijakan Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era
Pandemi COVID-19
Aspek yang diperiksa |
Wawancara |
Telaah dokumen |
Analisis triangulasi |
Kebijakan |
-
Kebijakan hanya ada SE
imunisasi dari menkes dan juknis imunisasi masa
pandemi COVID-19 -
Isu strategis tentang keamanan,
manfaat, ketakutan ibu |
-
Juknis pelaksanaan imunisasi
anak selama masa COVID-19 |
-
Kebijakan imunisasi berupa
juknis imunisasi masa pandemi COVID-19 sudah ada Kendala : -
Isu strategis kepatuhan prokes |
Tabel 19. Analisis
Triangulasi Kemitraan dalam Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi
COVID-19
Aspek yang dinilai |
Wawancara |
Telaah dokumen |
Analisis triangulasi |
Kemitraan |
Promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis,
tetanus di posyandu berkoordinasi dengan kader untuk penjadwalan imunisasi
dan prokes. |
SK gugus tugas puskesmas Ambacang
|
Promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis,
tetanus di posyandu berkoordinasi dengan kader untuk penjadwalan imunisasi
dan prokes. |
Tabel 20. Analisis
Triangulasi Pelaksanaan Promosi Kesehatan Pelayanan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang Mempengaruhi
Pemberian Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era
Pandemi COVID-19
Aspek yang diperiksa |
Wawancara |
Telaah dokumen |
Observasi pelaksanaan |
Analisis tiangulasi |
Pelayanan imunisasi DPT di era pandemi COVID-19 |
-
Penerapan promosi
kesehatan belum efektif -
Penerapan prokes
masih belum maksimal -
Kekhawatiran ibu terhadap
penyebaran COVID-19 selama pelaksanaaan imunisasi -
Upaya memberi himbauan door to door kepada ibu masih belum maksimal -
Tidak ada waktu untuk mengikuti
jadwal posyandu karena kerja |
-
Adanya petunjuk teknis
pelaksanaan imunisasi di era pandemi COVID-19 |
-
Ketidakpatuhan prokes pada ibu saat pelaksanaan imunisasi DPT di era
pandemi COVID-19 |
-
Pelaksanaan promosi
kesehatan imunisasi telah dilakukan,
namun belum maksimal Kendala : -
Kekhawatiran ibu akan tertular
COVID-19 saat pelaksanaan imunisasi |
Tabel 21. Strategi Promosi Kesehatan Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era Pandemi
COVID-19
Aspek yang dinilai |
Wawancara |
Telah dokumen |
Analisis triangulasi |
Strategi promosi kesehatan |
-
Strategi promosi kesehatan
imunisasi sudah dilaksnakan, namun belum efektif. |
Petunjuk teknis pelayanan imunisasi anak selama
masa pandemi COVID-19 |
-
Strategi promosi kesehatan
imunisasi sudah dilaksnakan, namun belum efektif. -
|
Tabel 22. Matrik
Triangulasi Monitoring dan Evaluasi
Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era
Pandemi COVID-19
Aspek yang diperiksa |
Wawancara |
Telaah dokumen |
Analisis triangulasi |
Monitoring dan evaluasi |
Monitoring dan evaluasi tahunan dilakukan dipuskesmas |
Monitoring dan evaluasi sudah berpedoman kepada juknis |
Monitoring dan evaluasi tahunan sudah dilakukan di puskesmas |
Tabel 23. Output Pelaksanaan Imunisasi difteri, pertusis, tetanus di Era
Pandemi COVID-19
Aspek yang diperiksa |
Wawancara |
Telaah dokumen |
Analisis triangulasi |
Output |
-
Masa pandemi COVID-19 menurunkan
capaian cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus -
Isu-isu yang mempengaruhi ibu
terkait keamanan vaksin, manfaat serta hambatan -
Juknis dijalankan untuk upaya
peningkatan cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus -
Upaya yang dilakukan berupa follow up, door to door,
tracing, tracking, drop out, follow up
belum maksimal -
Promosi kesehatan imunisasi
belum maksimal |
-
Petunjuk teknis pelaksanaan
imunisasi anak di era pandemi COVID-19 -
Cakupan imunisasi difteri,
pertusis, tetanus belum mencapaitarget -
|
-
Masa pandemi COVID-19
menurunkan capaian cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus -
Upaya penerapan juknis dan SPO
di era pandemi COVID-19 telah dilakukan Kendala : -
Isu-isu yang mempengaruhi
persepsi ibu tentang keamanan vaksin, manfaat dan hambatan yang diakibatkan
pada masa pandemi COVID-19 -
Promosi kesehatan imunisasi
belum maksimal |
Tabel 24. Matrik
reduksi hasil wawancara mendalam tentang pengetahun ibu dalam imunisasi
difteri, pertusis, tetanus
di era pandemi COVID-19
Informan
5,6,7,8,9 |
Kesimpulan |
-
Mengetahui imunisasi difteri,
pertusis, tetanus pemberian imunissi difteri,
pertusis, tetanus, efek saamping dan penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi |
-
Sebagian informan mengetahui
imunisasi, pemberian imunisasi -
efek samping dari imunisasi
difteri, pertusis, tetanus hanya demam -
penyakit yang dapat dicegah
imunisasi difteri, pertusis, tetanus informan tidak mengetahui. |
Pembahasan
Penelitian Kuantitatif
1. Gambaran Karakteristik
Ibu
Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa jumlah
responden paling banyak adalah umur 20-35 tahun dan paling sedikit <20 tahun
. Responden adalah seorang ibu memiliki peran penting terhadap pemenuhan
kebutuhan anak, terutaman usia 0-5 tahun. Hal ini sejalan
dengan penelitian Kurniati dan Asih (2019) menyatakan bahwa ibu memilki peran yang sangat penting pada pemberian imunisasi
anak.
Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan paling banyak adalah SMA sebanyak 89
orang. Cara berpikir seseorang mengenai pengetahuan, sikap dan prilaku ditentukan oleh pendidikan yang cukup sehingga
dapat dengan mudah termotivasi dalam hal pengembangan wawasan seseorang
tersebut. Pendidikan merupakan proses belajar seseorang untuk dapat berpikir
secara objektif dan memberikan kemampuan kepada seseorang untuk menilai budaya
di dalam masyarakat dapat diterima dan dapat mengubah tingkah laku seseorang (Holt et al., 2009)
Pendidikan ibu yang
berkaitan dengan imunisasi difteri, pertusis, tetanus bukan merupakan suatu
masalah yang menjadi perhatian khusus dan tidak merupakan faktor resiko dalam pelaksanaan imunisasi terhadap anak. Hal ini
sejalan dengan pendapat dari UNESCO yang dikutip oleh Lunardi,
pendidikan orang dewasa apapun isinya atau tingkatan
metodenya baik formal maupun tidak merupakan lanjutan adalah pengganti
pendidikan di sekolah, sebab prilaku baru tersebut
memerlukan dukungan tertentu, perubahan prilaku di
dalam proses pendidikan orang dewasa. Ihwal dapat dipahami karena orang dewasa
sudah mempunyai prilaku dan keterampilan tertentu
yang mungkin sudah mereka miliki bertahun-tahun (Notoatmodjo, 2010).
Pendidikan bukanlah
satu-satunya cara untuk mengubah prilaku individu/
kelompok. Salah satu upaya untuk mengubah prilaku
dengan menggunakan kekuatan. Orang pun dapat berubah prilaku
jika dipaksa, diancam dengan hukuman atau imbalan, namun pengalaman dan studi
berbagai masyarakat menunjukkan bahwa perubahan prilaku
yang terjadi melalui proses paksaan terbukti tidak dapat bertahan lama.
Artinya, begitu pengawasan atau paksaan itu mengendur, timbullah kecendrungan untuk kembali kepada prilaku
yang lama.
Hasil penelitian
sebagian besar responden tidak bekerja sebanyak 154 orang. Menurut peneliti ibu
yang tidak bekerja lebih banyak mempunyai waktu dirumah
dan memperhatikan tumbuh kembang anak mereka. Akan tetapi masih banyak juga ibu
yang tidak melakuan imunisasi pada anak mereka dengan
tepat waktu, maka dari itu pengetahuan juga sangat berperan penting dalam
pelaksanaan imunisasi.
2.
Pengetahuan ibu
Tabel menunjukkan
bahwa dari 176 responden yang memiliki pengetahuan baik sebanyak 22 orang.
Pengetahuan adalah kumpulan informasi yang didapat dari pengalaman atau sejak
lahir, yang menjadikan seseorang tahu akan sesuatu (Fauziyah, 2015). Dari hasil
penelitian yang dilakukan diketahui bahwa responden mengetahui tentang
imunisasi difteri, pertusis, tetanus dari pengalaman pribadi, saudara atau
keluarga.
Lingkungan tempat
tinggal merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang.
Lingkungan adalah seluruh kondisi yang ada disekitar
manusia dan pengaruhnya dapat mempengaruhi perkembangan dan prilaku
orang atau kelompok. Seseorang yang hidup dalam lingkungan yang berpikir luas,
maka pengetahuannya baik daripada orang yang hidup di lingkungn
yang berpikir sempit ( Gastika Sari, 2015).
Sosial budaya juga
mempengaruhi tingkat pengetahuan. Sosial budaya mencakup adat istiadat yang
dimiliki dalam masyarakat.seseoarang yang memilki adat istiadat yang masih kental akan sulit menerima
informsi atau bahkan menolak informasi. Selain itu,
kurangnya pemahaman yang baik dari ibu terhadap efek samping dari imunisasi
akan menyebabkan ibu mengurungkan niatnya untuk memberikan imunisasi pada
anaknya (Kartini dan Firtiani, 2016). Oleh kaena itu peran petugas kesehatan sangat penting untuk
meluruskan persepsi yang salah yang berkembang di masyarakat dn membuka pengetahuan atau wawasan masyarakat terhadap
imunisasi. Menurut asumsi peneliti, ibu yang memiliki pengetahuan tentang
imunisasi sudah mendapatkan informasi dari berbagai sumber seperti media massa,media eletronik, posster, kerabat dekat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010). Salah satu Faktor
yang mempengaruhi pengetahuan adalah usia, dimana
usia dapat mempenagruhi daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Bertambahnya usia seseorang tingkat kematagan
dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir
dan bekerja.
Faktor lain yang dapat
mempengaruhi pengetahuan adalah pendidikan. Semakin tinggi pendidikan semakin mudah
mendapat informasi. Notoatmodjo (2012) menyatakan
bahwa pendidikan berhubungan langsung dengan pengetahuan seseorang sehingg diasumsikan bahwa tingkat pendidikan yang lebih
tinggi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang.
3.
Dukungan keluarga (suami)
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 94 responden memiliki dukungan keluarga yang tidak mendukung
terhadap imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hal ini sejalan dengan
penelitian Febrianti dan Efendi (2017) yang menyatakan bahwa kurang dari
separuh keluarga tidak mendukung dalam imunisasi di Kecamatan Padaricang tahun 2017.
Menurut teori Green
yang dikutip oleh Notoatmodjo bahwa dukungan adalah
salah satu faktor pendorong dalam prilaku kesehatan
termasuk dalam hal pemberian imunisasi pada anak. Dukungan keluarga merupakan
salah satu hubungan yang paling dekat dengan ibu sehingga memiliki pengaruh
yang cukup besar terhadap keputusan ibu dalam melakukan imunisasi pada anak (Notoatmodjo, 2010).
Dukungan keluarga
merupakan lingkungan utama yang mempengaruhi sikap ibu untuk memberikan imunisasi
kepada anak. Untuk itu penting adanya pemahaman tidak hanya oleh ibu namun juga
oleh keluarga agar imunisasi dapat terlaksana dengan baik. Pengambil keputusan
seperti suami diberikan pengetahuan tentang pentingnya imunisasi difteri,
pertusis, tetanus. Orang tua yang juga berpengaruh dalam kehidupan ibu terutama
ibu muda yang baru pertama kali memiliki bayi akan lebih mempercaai
orang tua dalam mengurus bayinya termasuk dengan keputusan untuk melakukan
imunisasi pada anak. Orang tua biasanya kan lebih cendrung
kepada pengalaman sebelumnya yang anaknya tidak lengkap imunisasinya tidak
berpengaruh terhadap kesehatan anak.
4.
Persepsi kepercayaan
Berdasarkan hasil
penelitian dari 176 responden sebanyak 125 orang (71,0%) memilki
persepsi kepercayaan terhadap imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
Kota Padang. Religiusitas merupakan konsistensi
antara keyakinan dan kepercayaan pada agamai sebagai
unsur kognitif, perasaan pada agama sebagai unsur yang efektif dan prilaku agama sebagai unsur konatif. Hal ini menunjukkan
bahwa kepercayaan mampu mempengaruhi segala pandangan hidup dan tindakan
individu karena kepercayaan seseorang terhadap agamanya menjadi panutan,
penentu dan pedoman atas apa yang akan mereka lakukan.
Tingkat kepercayaan
agama yang tinggi dapat mempengaruhi sikap masyarakat dalam memilih suatu
produk makanan. Begitu juga dengan ibu-ibu yang mempunyai anak dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, akan memberikan imunisasi kepada anak mereka karena menurut
MUI (Majelis Ulama Indonesia) memperbolehkan pemberian imunisasi sebagai
pencegahan suatu penyakit. Karena dalam pandangan islam
pencegahan lebih baik daripada mengobati.
Hal ini terjadi karena
informasi yang beredar tentang efek samping imunisasi seperti demam, nyeri di
bekas area penyuntikan. Hal ini sejalan dengan Jauhari et
al yang menyatakan bahwa responden percaya vaksin dan
imunisasi aman dan terbuat dari bahan halal, meskipun ibu tidak mengetahui
bahan yang digunakan untuk membuat vaksin.
5.
Persepsi kerentanan
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan pada 176 orang ibu yang memiliki anak usia 6-24 bulan menujukkan bahwa 122 orang rentan terhadap kerentanan
penyakit yang diderita anak apabila tidak melakukan imunisasi deibandingkan dengan persesi yang
tinggi terhadap kerentanan penyakit yang diderita anak apabila melakukan
imunisasi yaitu 54 orang. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rachawati Sukarno Putri (2016) menunjukkan bahwa
sebagian besar ibu memiliki persepsi yang rendah yaitu sebesar 70 dari 87 ibu
(80,5%), sedangkan ibu yang memiliki persepsi yang tinggi yaitu 17 ibu (80,5%).
Dalam teori Health Belief Model, persepsi
kerentanan termasuk dalam variiabel persepsi yang
paling besar memberikan pengaruh individu untuk melakukan prilaku
sehat. Kerentanan merupakan dapat tidaknya seseorang terkena suatu penyakit
tertentu. Tindakan orang tua yang dengan sengaja menolak pemberian vaksinasi
pada anaknya, kemungkinannya lebih kecil orang tua untuk percaya bahwa
pemberian imunisasi diperlukan untuk melindungi kesehatan anaknya dibandingkan
dengan orang tua yang memberikan imunisasi pada anaknya. Menurut Rodenstock, seseorang yang merasa dirinya dapat terkena
penyakit akan lebih cepat merasa terancam, sehingga ia melakukan tindakan
pencegahan (Trisna et al., 2019).
Menurut asumsi
peneliti, ibu menganggap bahwa bayi tidak beresiko
terinfeksi penyakit yang menyebabkan kecacatan dan kematian. Hal ini
dikarenakan ibu merasa anaknya tidak terinfeksi penyakit, karena ibu belum
pernah merasakan keparahan sehingga ibu tidak membawa
anaknya untuk imunisasi. Semakin ibu menganggap anaknya rentan terhdap suatu penyakit maka ibu akan semakin patuh untuk
melakukan pencegahan agar anaknya tidak terkena penyakit yang dilakukan dengan
cara pemberian imunisasi. Kerentanan yang dirasakan rendah terhadap suatu
penyakit dapat disebabakan oleh karena minimnya
pengetahuan tentang bahaya penyakit tersebut.
6.
Persepsi manfaat
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan pada 176 responden menujukkan
bahwa 122 orang menganggap imunisasi tidak bermanfaat. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian Rachmawati Putri (2016) menunjukkn
bahwa sebagian besar ibu memiliki persepsi imunisasi tidak bermanfaat yaitu 69
orang (79,3%) sedangkan ibu yang memiliki persepsi imunisasi bermanfaat yaitu
18 orang (20,7%).
Persepsi manfaat
merupakan keyakinan yang berkaitan dengan keefektifan dari beragam prilaku dalam usaha mengurangu
ancaman penyakit yang dipersepsikan individu dalam menampilkan perilaku sehat.
Manfaat yang dirasakan merupakan pendapat dari seseorang akan nilai dari suatu prilaku baru dalam menurunkan resiko
penyakit . Persepsi manfaat adalah pendapat seseorang tentang nilai atau
kegunaan suatu perilaku baru dalam menurunkan resiko
penyakit. Seseorang akan cendrung untuk menerapkan prilaku sehat ketika ia mersa prilaku tersebut bermanfaan untuk
menurunkan kasus penyakit. Persepsi manfaat belum
dirasakan secara langsung terutama bagi ibu yang tidak mengimunisasikan anaknya
secara lengakp karena vaksinasi menurutnya tidak
efektif dalam pencegajan penyakit. Hal ini juga dapat
disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (A. D. et Al., 2019)
Menurut asumsi
peneliti, ibu yang menolak imunisasi akan cendrung
merasakan sedikit manfaat dari imunisasi atau imunisasi tidak bermanfaat,
sebaliknya ibu yang menerima imunisasi akan merasakan manfaat dari imunisasi
sehingga merasa anak terlindungi dari berbagai penyakit. Pemberian imunisasi
pada anak tidak hnya memberikan pencegahan penyakit
tertentu tetapi juga memberikan dampak yang lebih luas karena dapat mencegah
penularan penyakit untuk orang lain.
7.
Persepsi hambatan
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan pada 176 responden menunjukkan bahwa 110 orang
memiliki persepsi yang mengangap ada hambatan untuk
melakukan imunisasi dibanding dengan ibu yang memiliki persepsi yang menganggap
tidak ada hambatan untuk melakukan imunisasi yaitu 66 orang.
Hasil penelitian
sejalan dengan Rachmawati Sukarno Putri (2016) yang menujukkan
bawa sebagain besar ibu memiliki persepsi hambatan
adalah 60 orang (69%) sedangkan ibu yang memiliki persepsi tidak ada hambatan
yaitu 27 orang (31%).
Persepsi hambatan
adalah suatu hambatan yang dirasakan ibu ketika hendak mengambil keputusan
untuk mengimunisasi anaknya. Hambatan yang dirasakan merupak
persepsi tentang segala hal yang menjadi penghambat atau rintangan dalam
mengadopsi sebuah prilaku baru (A. D. et Al., 2019). Hambatan yang dirasakan berhubungan dengan
proses evaluasi individu untuk mengadopsi prilaku
baru. Persepsi tentang hambatan yang akan dirasakan merupakan unsur yang
signifikan dalam menentukan apakah terjadi perbahan prilaku atau tidak. Misalnya dari pengalaman orang tua
bahwa dirinya dulu tidak mendapat imunisasi namun sehat dan dia harus melakukan
tindakan baru yaitu melakukan tindakan imunisasi kepada anaknya.
Menurut asumsi peneliti, ibu
yang merasakan ada hambatan untuk melakukan tindakan pencegahan imunisasi akan cendrung untuk tidak melakukan imunisasi atau menolak untuk
imunisasi. Sebaliknya ibu yang tidak ada hambatan untuk melakukan imunisasi
akan cendrung membawa anaknya untuk imunisasi. Salah
satu upaya yang dilakukan untuk membangun persepsi hambatan pada masyarakat
yaitu dengan cara peingkatkan kepercayaan dan
pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan masyarakat tidak mau membawa anaknya imunisasi karena beredarnya
vaksin palsu. Masyarakat berpersepsi seperti itu karena kurangnya pengetahuan
masyarakat tentang imunisasi dan kurangnya kepercayaan terhadap imunisasi
sehingga masyarakat mudah terpengaruh dengan isu yang ada.
8. Pemberian Imunisasi
Difteri, Pertusis, Tetanus
Berdasarkan hasil
penelitian didapatkan hasil dari 176 responden yang memiliki riwayat imunisasi
tidak lengkap sebanyak 101 orang (57,4%) sedangkan yang memiliki imunisasi
lengkap sebanyak 75 orang (42,6%). Hal yang mempengaruhi imunisasi secara
lengkap yaitu ibu yang memiliki pengetahuan yang baik, dukungan keluarga yang
naik dan memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya imunisasi dalam
pencegahan penyakit anaknya. Sedangkan imunisasi yang tidak lengkap dipengaruhi
oleh pengetahuan yang kurang serta rendahnya kesadaran akan pentingnya
imunisasi.
Penelitian ini sejalan
dengan Setyaningsih, Putri (2019) dari 74 respinden
memiliki 51 orang (68,8%) tidak lengkap imunisasi dan memiliki imunisasi
lengkap 23 orang (31,1%). Hal ini menunjukkan bahwa kelengkapan imunisasi dasar
pada bayi dapat dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan, manfaat imunisasi dan
kurangnya pengetahuan jadwal imunisasi. Responden yang memiliki persepsi kurang
mengatakan takut anak sakit setelah imunisasi difteri, pertusis, tetanus
sehingga ada sebagian suami melarang untuk memberikan imunisasi difteri,
pertusis, tetanus pada anaknya dan ada juga responden beranggapan bahwa anaknya
akan sehat tanpa perlu imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Persepsi yang
kurang terhadap manfaat pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus
menyebabkan responden bahwa setelah imunisasi anak menjadi sakit dan rewel, mengaanggap imunisasi difteri, pertusis, tetanus tidak
penting karena selama ini anak sehat tanpa imunisasi, meragukan kandungan
vaksin.
Pengetahuan, sikap dan
perilaku kesehatan sesorang ibu akan mempengaruh
dalam pemberian imunisasi pada anak, sehingga dapat mempengaruhi juga status
imunisasinya. Sesuai dengan teori menurut Notoatmodjo
(2012) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra
manusia. Pengetahuan yang baik akan mempunyai pengaruh yang baik pula pada prilaku ibu dalam pemberian imunisasi pada anak. Hal ini
sesuai juga dengan teori Fitriani (2016) menyatakan bahwa prilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan.
Faktor lain yang
mempengaruhi pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak yaitu
ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan, biaya, jarak, ketersediaan
transportasi dan sarana prasarana. Berdasarkan penelitian dilakukan Fadila
(2020), menyatakan bahwa ada hubungan antara ketersediaan sarana pelayanan kesehatan dengan kelengkapan
imunisasi pada bayi. Sarana pelayanan kesehatan yang tersedia dengan baik
adalah segala fasilitas dan sarana yang mendukung pemberian imunisasi sehingga
dengan adanya sarana pelayanan kesehatan yang sudah tersedia dengan baik maka
ibu dengan mudah memberikan imunisasi kepada anaknya.
Penelitian yang
dilakukan oleh Yuliani (2019) mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna
antara jarak tempuh ibu dengan cakupan imunisasi campak rubela dengan nilai OR=
2,280 artinya ibu yang memiliki akses jarak tempuh dekat, akan berpeluang
memberikan imunisasi pada bayinya sebesar 2,280 kali dibandingkan dengan ibu
yang memiliki jarak tempuh jauh. Jarak yang terlalu jauh ditempuh akan
menyebabkan masyarakat enggan untuk berobat, mereka lebih memilih tempat yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari wilayah tempat tinggal mereka.
Menurut asumsi peneliti,
kelengkapan imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak dapat dipengaruhi
oleh kurangnya pengetahuan, manfaat yang didapat, motivasi ibu yang kurang
serta faktor lingkungan. Hal ini menunjukkan pentingnya penyuluhan kesehatan sebagai
solusi agar menambah wawasan pentinya tentang
imunisasi difteri,pertusis, tetanus.
9. Hubungan pengetahuan
dengan imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19
di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai p-value = 0,000 artinya ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan ibu dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis,
tetanus pada anak di era pandemi COVID-19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.
Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian (VIMA ERWANI, 2022) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara pengetahuan ibu dengan pemberian imunisasi dasar lengkap dengan nilai p-value = 0,022. Hal ini mengatakan bahwa pengetahuan masyarakat terhadap pemberian imunisasi dasar
lengkap merupakan suatu hal yang penting dan tidak bisa dilepaskan didalam pelaksanannya. Semakin
banyak informasi yang diterima oleh orangtua akan
pentingnya imunisasi, akan meningkatkan keinginan orang tua akan imunisas pada anaknya (VIMA ERWANI, 2022).
Hasil penelitian juga
sesuai dengan penelitian Tri Anisca yang menyimpulkan
ada keterkaitan antara pengetahuan dengan perilak ibu
yang memberikan imunisasi dasar pada anak (Dillyana, 2019). Mayoritas ibu yang memiliki pengetahuan baik
memberikan imunisasi DPT kepada anaknya secara lengkap. Tetapi pada penelitian
ini juga ditemukam ibu yang pengetahuan tinggi tidak
memberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus secara lengkap karena lupa
jadwal dan juga tidak mendapatkan izin suami. Ada juga beberapa ibu yang
pengetahuannya rendah masih tetap memberikan imunisasi difteri,pertusis,
tetanus secara lengkap karena ingin anaknya tetap sehat dan mengikuti protokol
dari program puskesmas
Pengetahuan seseorang
merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan seseorang. Perilaku yang
didasari pengetahuan akan lebih bertahan dari perilaku yang tidak didasari
pengetahuan (Afrilia & Fitriani, 2019). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Senewe oleh Rompas et al
(2017), tentang analisis faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu dalam
pemberian imunisasi dasar menunjukkan bahwa terdapat hubungan tingkat
pengetahuan dengan kepatuhan pemberian imunisasi dasar.
Rendahnya pengetahuan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus masih banyak ibu yang takut ketika bayinya
demam setelah diberi imunisasi, sehingga ibu tidak membawa bayinya untuk
diimunisasi karena kurangnya pengetahuan ibu tentang imunisasi difteri,
pertusis, tetanus. Menurut asumsi peneliti, pemberian imunisasi difteri,
pertusis, tetanus sangat dipengaruhi dengan pengetahuan ibu. Hal ini
dikarenakan pengetahuan orang tua tentang pentingnya imunisasi untuk anak
sangat penting sehingga kepatuhan orang tua dalam memberikan imunisasi kepada
anaknya sangatlah diperlukan. Peran orang tua dalam
upaya kesehatan promotif sangat penting terutama dalam melengkapi imunisasi.
10. Hubungan dukungan
keluarga dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era
pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
Kota Padang
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi
difteri, pertusis, tetanus dengan p value 0,000. Hal
ini sejalan dengan penelitian Safira et al pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa ada hubungan
dukungan keluarga dengan kelengkapan imunisasi anak. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Pendit 2019 menyatakan bawa ada
hubungan yang signifikan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi pada anak
dengan nilai p-value= 0,000.
Penelitian ini sejalan
dengan peneitian Sari et al (2018) didapatan hasil ada
hubungan dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi campak pada bayi di
wilayah kerja Puskemas Sawah Lebar Kota Bengkulu p-value=0,000, hal ini berarti ibu yang mendapatkan dukungan
dari keluarga dalam pemberian imunisasi akan memberikan imunisasi dibandingkan denan ibu yang tidak mendapatkan dukungan keluarga.
Dukungan keluarga khususnya suami kepada ibu dalam pemberian imunisasi berupa
mengantar ibu ke tempat pelayanan imunisasi, menyediakan dana apabila ibu
memberikan imunisasi di tempat prktek dokter.
Pada penelitian ini
juga ditemukan bahwa tidak mendapat dukungan dari keluarga namun tetap
memberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus kepada anaknya. Hal ini sejalan
denan penelitian Sari et al, (2018) dengan hasil penelitian 13,3% yang tidak ada
dukungan keluarga tetapi memberikan imunisasi. Hal ini dikarenakan tingkat
pendidikan yang tinggi serta pengetahuan ibu yang baik tentang imunisasi
difteri, pertusis, tetanus sehingga walaupun tidak dapat dukungan dari
keluarganya, ibu masih mempunyai motivasi yang tinggi membawa anaknya untuk
imunisasi difteri, pertusis, tetanus.
Keluarga merupakan
bagian terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan anggota
keluarga lainnya yang tinggal didalam satu rumah
karena adanya hubungan darah maupun ikatan pernikahan sehingga terdapat
interaksi antara anggota keluarga satu dengan lainnya. Keluarga merupakan fokus
pelayanan kesehatan yang strategis karena keluarga mempunyai peran utama dalam
pemeliharaan kesehatan seluruh anggota keluarga dan masalah keluarga saling
berkaitan. Keluarga juga sebagai tempat pengambil keputusan dalam perawatan
kesehatan.
Dukungan keluarga
merupakan salah satu faktor pendukung seseorang dalam melakukan tindakan
tertentu. Seseorang yang mendapat dukungan dari keluarga akan merasa nyaman
baik fisik maupun psikis dalam bertindak. Dukungan keluarga tersebut berupa
informasi, perhatian, bantian atau penghargaan.
Dukungan keluarga yang baik akan mempermudah seseorang dalam pembuatan
keputusan, salah satunya keputusan untuk memenuhi imunisasi anak. Dukungan
keluarga juga dapat berupa kesediaan mengantar ibu dan anak untuk imunisasi,
membantu menenangkan anak rewel saat imunisasi , merawat anak demam pasca
imunisasi. Dukungan seperti ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap prilaku ibu (Rafidah & Yuliastuti, 2020).
Teori yang dijelaskan
oleh Wetle
dalam Lestari 2011 menyatakan bahwa keberadaan anggota keluarga dan
dukungan yang diberikan memiliki peranan penting dalam mencegah atau menunda
seseorang yang menderita penyakit kronis untuk pergi berobat. Dukungan yang
diberikan berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, informasional
dan instrumental yang mampu mempengaruhi minat seseorang dalam berprilaku (MM., 2010).
Rendahnya dukungan
keluarga terhadap ibu disebabkan karena keluarga masih kurang memahami tentang
pentingnya imunisasi bagi anak. Hal ini disebabkan karena faktor sosial ekonomi
yang rendah sehingga mempengaruhi tingkat pendidikan dan pengetahuannya.
Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah berkolersi
positif terhadap pendidikan yang juga rendah serta pengetahuan yang rendah. Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pengetahuan yang dimilki oleh seseorang akan membentuk sikap dan tindakan
dalam berprilaku. Rendahnya pengetahuan keluarga
tentang imunisasi menyebabkan mereka tidak memberikan dukungan kepada ibu untuk
mengimunisasi anaknya.
Dari hasil penelitian,
peneliti berasumsi bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan
pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus hal ini karena keluarga
merupakan orang yang terdekat yang selalu memberikan dorongan dan motivasi
untuk melakukan hal yang mengarah ke hal yang positif. Terdapat pengaruh antara
dukungan keluarga terhadap ketidaklengkapan status
imunisasi tidak lengkap sebgaian besar tidak mendapat
dukungan dari keluarga, namun ada pula keluarga tidak mendukung tetapi
pengetahuan ibu tergolong baik sehingga ibu dapat memberikan pelayanan kesehatan
pada bayi atau balitanya apabila keluarga kurang tahu tentang pentingnya
imunisasi, makan akan merugikan anaknya, sehingga kekebalan tubuh berkurang dan
bayinya rentan terhadap penyakit (Aprilia. et Al., 2019)
Menurut asumsi peneliti,
dukungan keluarga sangat penting dalam membantu ibu mengambil keputusan dalam
melakukan tindakan sehubungan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis,
tetanus. Sehingga ibu lebih termotivasi membawa anaknya ke posyandu untuk
imunisasi. Apabila ibu tidak mendapat dukungan yang baik, maka cendrung ibu tidak akan termotivasi melakukan imunisasi
difteri, pertusis, tetanus pada anak. Semakin baik dukungan keluarga semakin
baik pula status imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak namun semakin
kurang dukungan keluarga akan menyebabkan bayi tidak mendapat imunisasi lengkap
karena ibu tidak terdorong untuk memenuhi kebutuhan anaknya.
11. Hubungan persepsi
kepercayaan dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di
era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
Kota Padang
Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa dengan nilai p-value
0,001 artinya ada hubungan antara persepsi kepercayaan dengan pemberian
imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID-19 di
wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dayanti et al,
2020 yang menyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara kepercayaan ibu
tentang imunisasi dengan pemebrian imunisasi dasar lengkap
pada bayinya dengan nilai p-value 0,040.
Kontribusi pengaruh
persepsi didasari agama yang mendukung terhadap prilaku
ibu bayi pada tindakan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19 juga mengambil andil dalam perubahan prilaku
ibu. Penelitian Qamarudin (2020) mengemukakan faktor
yang mempengaruhi prilaku ibu dalam pemenuhan
imunisasi dasar adalah kepercayaan. Salah satu pandangan agama tentang
imunisasi yaitu beberapa pandangan pihak yang kontra menganggap imunisasi suatu
tindakan yang haram hukumnya karena beberapa imunisasi yang bahan dasarnya
terbuat dari sesuatu yang haram. Bagi yang pro menganggap imunisasi boleh
hukumnya dan ada anggapan bahwa jika imunisasi ditiadakan maka banyak penyakit
yang tidak teratasi dan akan terjangkit penyakit (Azmi, 2018).
Ibu yang kelompok
agamanya tidak mendukung dalam pemberian imunisasi lebih membiarkan anaknya sakit karena
menjauhi barang haram daripada sehat karena menggunakan bahan haram. Hal ini
sesuai dengan hasil studi tentang pengaruh agama di pedesaan Afrika Amerika
bahwa prilaku yang berhubungan dengan kesehatan
menganggap penyakit sebagai hukuman dari Allah dan percaya bahwa orang yang
beriman kuat dapat mengatasi penyakitnya (Holt et al., 2009)
Tingkat kepercayaan
agama yang tinggi dapat mempengaruhi sikap masyarakat dalam memilih suatu
produk makanan. Begitu juga dengan ibu-ibu yang mempunyai anak dengan tingkat
kepercayaan yang tinggi, akan memberikan imunisasi kepada anak mereka karena
menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia) memperbolehkan pemberian imunisasi
sebagai pencegahan suatu penyakit. Karena dalam pandangan islam
pencegahan lebih baik daripada mengobati.
Hal ini terjadi karena
informasi yang beredar tentang efek samping imunisasi seperti demam, nyeri di
bekas area penyuntikan. Hal ini sejalan dengan Jauhari et
al yang menyatakan bahwa responden percaya vaksin dan
imunisasi aman dan terbuat dari bahan halal, meskipun ibu tidak mengetahui
bahan yang digunakan untuk membuat vaksin.
12. Hubungan persepsi
kerentanan dengan pemebrian imunisasi difteri,
pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan kepada 176 responden menunjukkan bahwa tidak mendapat
imunisasi lengkap lebih rendah persepsi kerentanan dengan p-value
0,000 artinya terdapat hubungan antara persepsi kerentanan dengan pemberian
imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hasil penelitian sejalan dengan Rosmala
Dewi, dkk (2017) di desa Sungai raya kabupaten Kubu
Raya bahwa ada hubungan antara kerentanan yang dirasakan terhadap prilaku ibu mengimunisasi anaknya dengan p-value 0,004 . Hasil penelitian sejalan dengan Nur Jayanti, dkk (2017) di Kabupaten Pamekasan Madura bahwa ada hubungan
antara persepsi kerentanan terhadap perilaku perolehan imunisasi (p-value <0,001). Penelitian Nur Jayanti dapat disimpulkan
responden memiliki persepsi kerentanan tinggi memilki
status imunisasi lengkap dan sebaliknya. Jika seseorang merasa beresiko terkena penyakit maka ia akan melakukan prilaku aman dan tindakan pencegahan (J.H. HBM).
Persepsi merupakan
suatu penafsiran tentang informasi yang didapatkan berdasarkan pengalaman
terhadap peristiwa yang diawali melalui proses penginderaam.
Kerentanan merupakan dapat tidaknya seseorang terkena suatu penyakit dan
persepsi kerentanan merupakan salah satu faktor yang mempenaguhi
keputusan seseorang dalm berpliaku
kesehatannya.
Dalam teori Health Belief Model, persepsi
kerentanan termasuk dalam variabel persepsi yang paling besar memberikan pengaruh
individu untuk melakukan prilaku sehat. Kerentanan
merupakan dapat tidaknya seseorang terkena suatu penyakit tertentu misalnya
terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi yang dirasakan oleh ibu
dapat ditentukan oleh pengetahuan ibu tentang adanya penyakit ini dilingkungan
sekitar tempat tinggalnya.Tindakan orang tua yang
dengan sengaja menolak imunisasi pada anak, kemungkinan lebih kecil orang tua
percaya bahwa pemberian imunisasi diperlukan untuk melindungi kesehatan anaknya
dibandingkan dengan orang tua yang memberikan imunisasi pada anaknya. Menurut Rodenstock, seseorang yang merasa dirinya dapat terkena
penyakit, akan lebih cepat merasa terancam, sehingga ia melakukan tindakanpencegahan.
Menurut asumsi
peneliti, apabila persepsi kerentanan rendah, maka orang tua mempunyai sudut
pandang bahwa anaknya tidak retan terhadap suatu
penyakit dan akan menolak pemberian imunisasi pada anak sehingga status
imunisasi tidak lengkap. Apabila persepsi kerentanan tinggi, maka orang tua
mempunyai sudut pandang bahwa anaknya rentan terhadap suatu penyakit dan akan
melakukan tindakan pencegahan atau perlindungan kesehatan bagi anak.
Salah satu upaya yang dapat
dilakukan untuk membangun persepsi kerentanan pada masyarakat adalah dengan
cara memberikan penyuluhan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan masyarakat
beranggapan bahwa jika bayi tidak melakukan imunisasi maka tidak akan beresiko terinfeksi penyakit yang menyebabkan kecacatan dan
kematian. Hal tersebut terlihat bahwa kurangnya kepercayaan dan pengetahuan
terhadap imunisasi.
13. Hubungan persepsi
manfaat dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era
pandemi COVID 19 di wilayah kerja Puskesmas Ambacang
Kota Padang
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan kepada 176 responden menunjukkan bahwa tidak mendapat
imunisasi lengkap lebih rendah persepsi manfaat dengan p-value
0,005 artinya terdapat hubungan antara persepsi kerentanan dengan pemberian
imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Rachmawati (2016) di Dukuh Pilangbangau
Desa Sepat Masaran Sragen menyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara persespi manfaat yang
dirasakan ibu dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi dasar pada balita
p-value= 0,006 (p-value
<0,05). Hasil penelitin ini juga sejalan dengan
penelitian Yessica (2016) di Puskesmas Penumping dan Banyuanyar bahwa ada hubungan persepsi manfaat dengan
kelengkapan status imunisasi p-value= 0,002.
Diketahui dari penelitian tersebut dihasilkan bahwa responden akan melakukan
tindakan pencegahan dalam hal vaksinasi apabila responden merasa tindakan
tersebut bermanfaat, sehingga masih ditemukan responden yang tidak
mengimunisasikan anaknya karena belum merasakan manfaat dari imunisasi. Hasil peneltian juga sejalan dengan penelitian Rosmala Dewi, dkk (2017) di Desa Sungai raya Kabupaten Kubu Raya bahwa
ada hubungan antara persepsi manfaat yang dirasakan ibu terhadap perilaku ibu
mengimunisasikan anaknya dengan p-value= 0,007(p-value < 0,05).
Berdasarkan teori Glanz dalam Notoatmodjo (2012)
tentang persepsi yang menyatakan bahwa individu akan mempertimbangkan apakah
suatu tindakan bermanfaat dapat mengurangi ancaman penyakit. Menurut Rodenstock (1996) persepsi manfaat adalah keyakinan yang
berkaitan dengan keefektifan dari beragam prilaku
dalam usaha untuk mengurangi ancaman penyakit atau keuntungan yang
dipersepsikan individu dala menampilkan prilaku sehat .Persepsi manfaat adalah keyakinan yang
berkaitan dengan keefektifan dari beragam prilaku
dalam usaha mengurangi ancaman penyakit yang dipersepsikan individu dalam
menampilkan prilaku sehat. Manfaat yang dirasakan
merupakan pendapat dari seseorang akan nilai dari suatu prilaku
baru dalam menurunkan resiko penyakit . Menurut
asumsi peneliti, seseorang akan melakukan imunisasi secara lengkap apabila ia
merasa imunisasi tersebut bermanfaat dan sebaliknya apabila seseorang merasa
imunisasi tidak bermanfaat maka ia tidak akan melakukan imunisasi secara
lengkap.
14. Hubungan persepsi
hambatan dengan pemberin imnunisasi
difteri, pertusis, tetanus pada anak di era pandemi COVID 19 di wilayah kerja
Puskesmas Ambacang Kota Padang
Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan kepada 176 responden menunjukkan bahwa tidak mendapat
imunisasi lengkap lebih rendah persepsi hambatan dengan p-value
0,005 artinya terdapat hubungan antara persepsi hambatan dengan pemberian
imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Ferina dkk (2019) di 7 Puskesmas Kota
Semarang menyatakan bahwa ada hubungan antara persepsi ibu tentang hambatan
yang dirasakan untuk memberikan imunisasi dasar pada anak dengan kepatuhan ibu
dalam pemberian imunisasi dasar pada anak balita dengan p-value
<0,001). Hasil penelitian ini sejalan dengan Yessica (2016) di Puskesmas Penumping dan Banyuanyar bahwa
ada hubungan antara persepsi hambatan dengan kelengkapan status imunisasi p-value 0,063 (p-value < 0,05).
Berdasarkan teori
menurut Glanz dalam Notoatmodjo
(2012) persepsi hambatan merupakan persepsi terhadap biaya / aspek negatif yang
menghalangi individu untuk melakukan tindakan kesehatan, misalnya biaya
berobat, pengalaman yang tidak menyenangkan serta rasa sakit yang dialami.
Menurut Rodenstock (1996) persepsi hambatan merupakan
kepercayaan atau keyakinan seseorang terhadap hal-hal negatif dari perilaku
sehat atau rintangan yang dipersepsikan individu yang dapat bertindak sebagai
halangan dalam menjalani perilaku yang direkomendasikan.
Banyak hambatan yang
harus dilalui seseorang untuk dapat melakukan suatu tindakan kesehatan dan
kebanyakan hambatan tersebut datang karena seseorang mengevaluasi hambatan
terhadap prilaku baru yang dilakukan. Sebelum
mengadopsi prilaku baru, seseorang harus percaya
bahwa besarnya rintangan yang dialami ketika melakukan tindakan pencegahan
lebih kecil daripada konsekuensi tindakan. Misalnya dari pengalaman orang tua
bahwa dirinya dulu tidak mendapat imunisasi namun sehat dan dia harus melakukan
tindakan baru yaitu melakukan tindakan imunisasi kepada anaknya, harus percaya
bahwa hambatan imunisasi lebih kecil daripada melakukan tindakan pencegahan
lainya misalnya menjaga kebersihan.
Menurut asumsi
peneliti, ibu yang mempunyai persepsi bahwa ada hambatan dalam melakukan
imunisasi akan cendrung untuk tidak melakukan
imunisasi atau imunisasi tidak dilakukan secara lengkap. Oleh karena itu
berdasarkan penelitian yang dilakukan disarankan kepada petugas kesehatan dalam
memberikan sosialisasi atau penyuluhan bekerjasama
dengan tokoh masyarakat agar informasi lebih cepat terselesaikan.
15. Analisis Multivariat
Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan secara statistik bahwa variabel pengetahuan
merupakan faktor yang paling dominan yang mempengaruhi pemberian imunisasi
dengan nilai OR= artinya pengetahuan beresiko
sebanyak kali menyebabkan tidak
mengimunisasikan anaknya. Pada penelitian ini, menunjukkan masih banyaknya
ibu-ibu yang memiliki pengetahuan rendah tentang pemberian imunisasi di era
pandemi COVID-19 sehingga menyebabkan masih adanya ibu-ibu yang tidak
mengimunisasikan anaknya.
Pengetahuan merupakan
hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap
suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga. Penelitian ini
menunjukkan bahwa masih banyak ibu yang berpengetahuan rendah tentang pemberian
imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19, sehingga
menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19.
Pengetahuan merupakan
domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Karena dari
pengalaman dan penelitian ternyata prilaku yang didasaran pengetahuan akan lebih langgeng daripada prilaku yang tidak didasari pengetahuan. Sebelum seseorang
mengadopsi prilaku baru ia harus tahu apa arti
manfaat prilaku tersebut bagi dirinya atau
keluarganya. Misalnya ibu akan membawa anaknya untuk imunisasi ke pelayanan
kesehatan apabila mengerti apa manfaat imunisasi bagi bayinya, sehingga pemahaman
dan pengetahuan ibu terhadap imunisasi akan menentukan kelengkapan imunisasi
bagi bayinya (Notoatmodjo, 2010).
Penelitian Kualitatif
1. Input
a.
Sumber daya (man, money, material)
Sumber daya merupakan
faktor yang penting untuk berjalannya suatu program pelayanan kesehatan guna
tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Kecukupan sumber daya baik tenaga,
anggaran dan sarana prasaranan merupakan penunjang
utama pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Pada masa pandemi
COVID-19 terjadi efisiensi setiap kegaiatan salah
satunya program imunisasi difteri, pertusis, tetanus sehingga berdampak pada
pemenuhan sumber daya.
Berdasarkan hasil
wawancara pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi masih belum maksimal dan
belum fokusnya pemberian promosi kesehatan kepada masyarakat umum terutama ibu
yang memilki bayi untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran akan pentingnya imunisasi. Peran tenaga kesehatan dalam pencapaian
imunisasi sangat berperan penting, dimana petugas
kesehatan yang merupakan seorang yang dipercayai masyarakat memiliki pengetahuan
yang tinggi akan dapat mengajak masyarakat untuk membawa anak ke posyandu dan
petugas kesehatan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pentingnya
memberikan imunisasi kepada anaknya. Promosi kesehatan bukan hanya tugas dari
petugas kesehatan khusus promosi kesehatan. Promosi kesehatan adalah tugas bagi
semua petugas kesehatan , untuk itu semua petugas kesehatan dipuskesmas
memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan informasi.
Berdasarkan wawancara
didapatkan bahwa alokasi pendanaan dalam pelaksanaan promosi kesehatan
imunisasi telah di anggarkan oleh pihak puskesmas dalam BOK. Tetapi dalam hal
ini belum menunjang kegiatan yang dilakukan oleh kader dalam memberikan
informasi kepada masyarakat. Pembiayaan kesehatan adalah besarnya dana yang
dikeluarkan untuk menyelenggarakan berbagai upaya kesehatan. Salah satu yang
berperan penting dalam upaya peningkatan cakupan imunisasi adalah pendanaan.
Alokasi pendanaan tidak hanya pada pelaksanaan imunisasi dan promosi kesehatan
yang dilakukan petugas kesehatan, melainkan juga dalam pelaksanaan penyebaran
informasi yang dilakukan oleh kader posyandu dalam meningkatkan pengetahuan,
kesadaran masyarakat akan pentingnya membawa anak ke posyandu untuk diberikan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus.
b.
Metode
Pelaksanaan promosi
kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 tidak
terlepas dari metode berdasarkan Juknis dan SPO imunisasi anak pada masa
pandemi COVID-19. Kenyataannya pelaksanaanpromosi
kesehatan imunisasi difteri, pertusis,
tetanus di era pandemi COVID-19 masih ditemukan ketidakpatuhan ibu terhadap SPO
protokol kesehatan menjadi masalah utama dalam metode pelaksanaan imunisasi
difteri, pertusis, tetanus.
Hasil penelitian
ditemukan metode pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19 mengacu ke juknis SPO dari kemenkes.
Metode yang digunakan dalam pelaksanaan promosi kesehatan adalah leaflet dan lembar balik, namun akan lebih baik apabila
media dalam promosi kesehatan menambahkan video supaya ibu-ibu lebih tertarik
dalam mendengarkan pentingnya imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19. Kendala penerapan metode meliputi penerapan SPO masih belum
maksimal terkait perilaku ibu. Menurut Atmoko (2011), SPO digunakan sebagai
instrumen untuk penilaian kinerja organisasi publik di masyarakat, berupa responsivitas, resposibilitas dan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintan.
c.
Kebijakan
Keberadaan kebijakan
menjadi penunjang yang penting untuk memaksimalkan pelaksanaan promosi
kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus dan sangat erat kaitannya dengan
keberadaan isu strategis yang mempengaruhi persepsi ibu. Kebijakan akan menjadi
rujukan utama para anggota organisasi dalam berperilaku. Kebijakan kesehatan
membahas tentang penggarisan kebijaksanaan pengambil keputusan, kepemimpinan,
hubungan masyarakat, pergerakan peran serta masyarakat dalam pengelolaan
program kesehatan.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan informan diperoleh bahwa promosi kesehatan imunisasi di
posyandu Puskesmas Ambacang masih kurang maksimal
dilihat dari belum maksimalnya kegiatan mobilisasi informasi oleh kader untuk
mendorong masyarakat ke tempat pelayanan imunisasi. Kebijakan kesehatan
melingkupi berbagai upaya dan tindakan pengambilan keputusanyang
meliputi aspek teknis maupun organisasi atau institusi dari pemerintahm
swasta, LSM dan representasi masyarakat lainnya yang membawa dampak kesehatan.
Program promosi kesehatan
imunisasi menjadi suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh puskesmas sebagai salah
satu bentuk usaha mencapai target imunisasi di seluruh wilayah kerja Puskesmas.
Program promosi kesehatan dirancang untuk membawa perubahan (perbaikan) baik di
dalam masyarakat sendiri maupun dalam organisasi dan lingkungan (lingkungan fisik,
sosial budaya, politik dan sebagainya).
Penyebab masalah dari aspek kebijakan adalah belum terwujudnya
koordinasi yang kuat antara bidan, pihak instansi kesehatan di bidang pelayanan
kesehatan dan bidang imunisasi. Bidan yang secara hierarki berada di bawah
bidang pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan pemberian imunisasi. Sedangkan
bidang imunisasi sebagai fasilitator perihal ketersediaan vaksin dan cakupan
imunisasi. Namun kolaborasi antara bidan , pihak instansi kesehatan di bidang
pelayanan dan bidang imunisasi belum dapat terlaksana sesuai harapan.
d.
Kemitraan
Kemitraan adalah suatu
perwujudan dari kebijakan berupa kerjasama lintas
sektor. Kemitraan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi bertujuan
untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terkait kekhawatiran terhadap
pelayanan imunisasi selama masa pandemi COVID-19. Kemitraan lintas sektoral
bertugas menyediakan sarana dan prasarana, menyediakan modal, penyediaan
pendidikan dan pelatihan serta penyediaan penyuluhan dan pendampiingan.
Hasil penelitian melalui
wawancara mendalam dan telaah dokumen, diketahui bahwa kemitraan pelaksanaan
promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19
di Puskesmas Ambacang Kota Padang meliputi
pelaksanaan koordinasi langsung dengan kader dalam hal penjadwalan imunisasi
dan protokol kesehatan.
2. Proses
a.
Pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19
Proses pelayanan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19 tidak terlepas
dari pelaksanaan protokol kesehatan. Tantangan pada pelaksanaan pelayanan
imunisasi dipengaruhi ketidakpatuhan disertai adanya kekhawatiran ibu terhadap
pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang diberikan. Alasan penundaan
yang paling umum adalah ketakutan terinfeksi COVID-19 sehingga mempengaruhi ketepatasan waktu imunisasi.
Hasil penelitian
terkait proses pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19 didapatkan pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi difteri, pertusis,
tetanus telah dilaksanakan tetapi belum efektif. Hal ini ditemukan kendala
masih ada keraguan ibu terhadap manfaat imunisasi, kekhawatiran bayi tertular
COVID-19 dan kepatuhan ibu terhadap protokol kesehatan. Kepatuhan ibu terhadap
protokol kesehatan merupakan bagian dari pelayanan imunisasi difteri, pertusis,
tetanus yang wajib dipatuhi pada masa pandemi COVID-19 (Kemenkes RI,
2020).
Isu strategis terkait
partisipasi dari ibu dalam imunisasi adanya penerapan protokol kesehatan
sehingga menyebabkan adanya kekhawatiran ibu tertular COVID-19, sehingga
terjadi penundaan imunisasi. Meskipun imunisasi pada anak di era pandemi
COVID-19 terganggu, ditunda, diatur ulang atau ditunda sama sekali. Namun pelayanan posyandu tetap terselenggara
setiap bulannya sesuai jadwal, pada era pandemi COVID-19 . Harapan kader dan
pembina posyandu bisa lebih kreatif dalam mensosialisasikan pentingnya protokol
kesehatan COVID-19 pada saat pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di
setiap wilayah Puskesmas Ambacang Kota Padang.
b.
Strategi promosi kesehatan
Pada masa pandemi
COVID-19 diperlukan strategi promosi kesehatan yang efektif dalam pelaksanaan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus untuk meminimalkan penyebaran COVID-19
melalui tatap muka dalam penyampaian informasi terkait pelaksanaan imunisasi
difteri, pertusis, tetanus namun yang menjadi tantangan berkaitan dengan
kemaksimalan penggunaan media komunikasi dalam penyampaian informasi tentang
jadwal pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus.
Berdasarkan wawancara
mendalam ditemukan bahwa strategi promosi kesehatan berupa advokasi gerakan
pemberdayaan masyarakat guna pengerahan informasi yang harus dilakukan kader
posyandu dalam peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID 19, tetapi
strategi promosi kesehatan belum maksimal dilakukan oleh pihak puskesmas.
Strategi promosi kesehatan merupakan suatu cara mewujudkan visi dan misi
promosi kesehatan dengan pendekatan yang strategis agar tercapai secara efektif
dan efisien (Notoatmodjo, 2010).
Krisis ekonomi bisa kapan saja
muncul, penting untuk mengkomunikasikan krisis secara efektif untuk memperbaiki
kerusakan yang bisa berdampak buruk terhadap program imunisasi dan juga
kesehatan masyarakat (Kemenkes RI,
2020). Beberapa upaya yang seharusnya dilakukan adalah
pelatihan kader, membangun hubungan baik dengan tokoh-tokoh masyarakat untuk
mensosialisasikan pentingnya protokol kesehatan pada saat pelayanan imunisasi
difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19.
c.
Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi
diperlukan untuk memantau dan mengevaluasi pelaksanaan imunisasi difteri,
pertusis, tetanus. Pada era pandemi COVID-19 monitoring
dan evaluasi menjadi efisiensi kegiatan adanya pembatasan temu langsung untuk
memutus mata rantai penyebaran COVID-19 dan juga adanya efisiensi anggaran
pelaksanaan imunisasi di era pandemi COVID 19.Hasil wawancara dan telaah
dokumen terkait monitoring dan evaluasi pelaksanaan
imunisasi difteri,pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19 disimpulkan monitoring dan evaluasi tahunan
dilakukan di puskesmas Ambacang.
Monitoring dan evaluasi
merupakan komponen yang penting dalam penyelenggaraan imunisasi. Dinas
kesehatan dan puskesmas harus tetap melakukan monitoring
dan evaluasi pelaksanaan imunisasi baik di saat pandemi COVID-19 , maupun
setelah masa pandemi COVID-19 dapat diatasi dengan baik. Tujuan untuk menilai
apakah rencana pelaksanaan yang dibuat sudah dilaksanakan dengan baik dan
memastikan pelayanan imunisasi berjalan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Monitoring dan
evaluasi pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19 juga bermanfaat untuk menentukan tindak lanjut yang dapat diambil dan
dilakukan oleh petugas imunisasi setelah masa pandemi COVID-19 dapat diatasi
dengan baik (Kemenkes RI,
2020).
3. Output
Keberhasilan
pelaksanaan imunisasi dilihat dari output berupa
capaian cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus. Pada masa pandemi
COVID-19 terjadi menjadi pengaruh penurunan capaian cakupan imunisasi difteri,
pertusis, tetanus berupa adanya pembatasan kontak langsung dalam pelaksanaan,
kepatuhan penerapan prokes dan masih adanya
persepsi-persepsi ibu terkait imunisasi difteri, pertusis, tetanus dan belum
maksimalnya pelaksanaan promosi kesehatan imunisasi di era pandemi COVID-19
Hasil penelitian dari
wawancara mendalam dan telaah dokumen terkait output
pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19
didapati capaian imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19
mengalami penurunan. Upaya penerapan juknis dan SPO imunisasi pada masa pandemi
COVID-19 telah dilakukan, koordinasi dengan lintas sektor satgas COVID-19 sudah
dilakukan.
Keberadaan isu
strategis mempengaruhi persepsi ibu tentang keamanan vaksin, manfaat serta
hambatan pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus yang diakibatkan pada
mada pandemi COVID-19. Hal ini jika tidak
diantisipasi maka akan menjadi KLB penyakit PD3I akibat tidak terpenuhi cakupan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus sehingga kebutuhan yang urgent terkait pendekatan kolaboratif antara organisasi
global dan nasional untuk menghidupkan kembali tingkat vaksinasi yang terganggu.
Banyak negara
berpenghasilan tinggi serta negara berpenghasilan rendah dan menengah mengalami
penurunan cakupan imunisasi yang cepat. Akibat pengendalian yang tidak optimal
PD3I pada anak-anak dapat menyebabkan dampak KLB yang bersamaan dengan COVID-19. Upaya yang dilakukan berupa sosialisasi
informasi vaksin secara terus menerus perlu dilakukan untuk mendapatkan
kepercayaan orang tua dan meningkatkan cakupan vaksinasi di Indonesia.
Berdasarkan pembahasan
diatas , diperoleh banyak faktor yang menyebabkan
penurunan cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi COVID-19
di puskesmas Ambacang Kota Padang. Masalah utama
adalah kurangnya pemahaman ibu tentang pentingnya imunisasi dan protokol
kesehatan pada saat pelaksanaan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19. Hal ini disebabkan kurang maksimalnya pelaksanaan promosi
kesehatan yang menyebabkan adanya persepsi manfaat dari keuntungan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus di
era pandemi COVID-19.
Ketidakpatuhan terhadap
protokol kesehatan, sehingga menyebabkan adanya keraguan dan rasa khawatir ibu
tertular COVID-19 pada saat pelayanan imunisasi difteri, pertusis, tetanus.
Selain itu, beberapa isu lama juga berperan diantaranya
terkait manfaat dan kehalalan aksin, manfaat, serta
hambatan.
4. Pengetahuan
Menurut hasil
penelitian sebagian informan mengetahui pengertian imunisasi difteri, pertusis,
tetanus adalah suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpajan dengan penyakit
tidak akan sakit atau sekedar mengalami sakit ringan (Kemenkes RI, 2017). Menurut hasil
penelitian yang dilakukan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus
dilakukan sebanyak 3 kali. Sejalan dengan teori dari Kemenkes RI, 2017 yang
menyatakan bahwa pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus dilakukan 3
kali. Pemberian pertama usia 2 bulan, pemberian kedua dengan jarak paling cepat
empat minggu (1bulan), begitu pula pada pemberian yang ketiga.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa informan menjawab pemberian imunisasi difteri, pertusis,
tetanus di paha ini sesuai dengan teori Kemenkes RI, 2017 yaitu vaksin
disuntikkan secara intramuskular di anterolateral paha atas bayi dengan dosis satu anak 0,5 ml.
Dalam hal efek samping setelah diberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus
seluruh informan menjawab demam. Sesuai dengan teori efek samping imunisasi
difteri, pertusis, tetanus adalah demam. Namun informan hanya mengetahui efek
samping setelah imunisasi difteri, pertusi, tetanus
hanya demam. Teori menjelaskan efek samping dari imunisasi difteri, pertusis,
tetanus adalah muncul reaksi lokal sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerhan pada lokasi suntikan.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa informan menjelaskan imunisasi difteri, pertusis, tetanus
untuk penyakit campak, TBC dan ada informan yang menjawab tidak tau sama sekali. Ini tidak sesuai dengan teori. Teori (Kemenkes RI,
2020) menyatakan bahwa
penyakit yang dicegah dengan imunisasi difteri, pertusis, tetanus adalah
difteri, pertusis dan tetanus. Difteri adalah penyakit menular melalui kontak
langsung dan pernapasan, gejala berupa radang tenggorokan, nafsu makan
menghilang, panas ringan dan muncul selaput putih kebiruan di tenggorokan.
Pertusis adalah penyakit di saluran pernafasan yang bisa menular melalui
percikan ludah dari bersin atau batuk sedangkan tetanus adalah penyakit yang
ditularkan melalui kotoran yang masuk ke dalam luka dalam.
Rendahnya pengetahuan
ibu tentang usia bayi yang diberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus,
waktu pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus terhadap bayi sehingga
banyak dari ibu yang bayinya tidak mendapat imunisasi difteri, pertusis,
tetanus secara lengkap. Rendahnya pengetahuan ibu tentang imunisasi difteri,
pertusis, tetanus dan dampak diberikan imunisasi difteri, pertusis, tetanus
karena masih banyak ibu yang takut ketika bayinya demam setelah diberi
imunisasi, sehingga ibu tidak membawa anaknya lagi untuk imunisasi karena kurangnya
pengetahuan ibu tentang imunisasi difteri, pertusis, tetanus.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Hubungan Pengetahuan Ibu, Persepsi Ibu Dan Dukungan Suami Dengan Pemberian
Imunisasi Difteri Pada Anak
Pada Era Pandemic Covid-19 Di Wilayah Kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang, dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut:
1.
Lebih dari setengah
ibu memiliki pendidikan tamat SMA, lebih dari setengah
ibu yang tidak bekerja dengan rentang umur responden
20-35 tahun.
2.
Lebih dari setengah
ibu memiliki pengetahuan yang rendah pada pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19.
3.
Lebih dari setengah
ibu tidak mendapat dukungan dari keluarga untuk
melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era
pandemi COVID-19.
4.
Lebih dari setengah
ibu memiliki persepsi kepercayaan yang rendah untuk melakukan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19.
5.
Lebih dari setengah
ibu memiliki persepsi kerentanan yang rendah untuk melakukan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19.
6.
Lebih dari setengahibu
memiliki persepsi yang tidak bermanfaat untuk melakukan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19.
7.
Lebih dari setengah
ibu memiliki persepsi hambatan yang tinggi untuk melakukan
imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19.
8.
Terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di
era Pandemi COVID-19 di wilayah kerja
Puskesmas Ambacang Kota
Padang.
9.
Terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di
era Pandemi COVID-19 di wilayah kerja
Puskesmas Ambacang Kota
Padang.
10. Terdapat hubungan yang bermakna antara persepsi ibu dengan
pemberian imunisasi difteri, pertusis, tetanus pada anak di era Pandemi COVID-19 di
wilayah kerja Puskesmas Ambacang Kota Padang.
11. Rendahnya cakupan imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19 diakibatkan kurang
maksimalnya promosi kesehatan imunisasi sehingga pengetahuan ibu rendah terhadap
imunisasi difteri, pertusis, tetanus di era pandemi
COVID-19 di Wilayah Kerja Puskesmas
Ambacang Kota Padang.
BIBLIOGRAFI
Afrilia, E. M., &
Fitriani, A. (2019). Hubungan Sikap Ibu Dan Dukungan Keluarga Dengan
Kelengkapan Imunisasi Lanjutan Pada Batita Di Puskesmas Curug Tahun 2017. Simposium
Nasional Mulitidisiplin (SinaMu), 1.
Al., A. D. et. (2019). Pemanfatan Imunisasi di Kelurahan
Pampang Kecamatan Panakkukang Kota Makassar (Pendekatan Health Belief Model). Bagian
Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitaas Hasanuddin., 1–10.
Al., A. et. (2019). Hubungan Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga dengan Pemberian Imunisasi Measles Rubella. 222–229.
Azmi, Z. (2018). Perilaku Orang Tua Anak yang Tidak
Mendapatkan Imunisasi di Wilayah Kerja Puskesmas Toddopuli Kota Makassar.
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Dillyana, T. A. (2019). Hubungan pengetahuan, sikap dan
persepsi ibu dengan status imunisasi dasar di Wonokusumo. Jurnal Promkes:
The Indonesian Journal of Health Promotion and Health Education, 7(1),
67–77.
Holt, C. L., Clark, E. M., Roth, D., Crowther, M., Kohler,
C., Fouad, M., Foushee, R., Lee, P. A., & Southward, P. L. (2009).
Development and validation of instruments to assess potential religion-health
mechanisms in an African American population. Journal of Black Psychology,
35(2), 271–288.
Kemenkes RI. (2020). Profil Kesehatan Indonesia ; Infodatin. Jakarta:
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
MM., F. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga : Riset, Teori
dan Praktek. In Jakarta: EGC.
Notoatmodjo, S. (2010). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Rafidah, R., & Yuliastuti, E. (2020). Persepsi dan
Dukungan Keluarga terhadap Pemberian Imunisasi Measles Rubella (MR): Perception
and Family Support for the Administering of Measles-Rubella (MR) Immunization. Jurnal
Bidan Cerdas, 2(2), 97–103.
RI Kemenkes. (2017). Peraturan Menteri kesehatan Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta:
Kemenkes RI.
Sitorus, Y. (2018). The Related Factors to Complete Basic
Imunization in The Working Area Medan Area Health Centre. 1(3),
137–143.
Trisna, F. H. T., Saraswati, L. D., Udiyono, A., &
Ginandjar, P. (2019). Hubungan Persepsi Ibu Dengan Kepatuhan Ibu Dalam
Pemberian Imunisasi Dasar Pada Balita (Studi Di 7 Puskesmas Kota Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Undip), 7(1), 149–154.
VIMA ERWANI, V. E. (2022). Analisis Kepatuhan Ibu dalam
Pemberian Imunisasi Polio pada Anak di Puskesmas Tanjung Baru Kabupaten OKU
Tahun 2021. STIK Bina Husada Palembang.
Wawomeo, A., Taneo, N. A., & Kambuno, N. T. (2019).
Relationship Between the Level of Knowledge and Attitudes of Mother Towards
Compliance with Basic Immunization. Jurnal Kesehatan Primer, 4(2),
84–91.
Copyright holder: Waldatul Hamidah, Defrin, Nice Rachmawati (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |