Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
PERBANDINGAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN SEBELUM
DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 2021 ATAS PENGHASILAN DARI
USAHA WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
R. Soerjatno
Politeknik Ubaya Surabaya, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Penulis memilih
melakukan penelitian dengan membandingkan penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh orang pribadi, dengan maksud agar para pelaku usaha orang pribadi memperoleh gambaran tentang penghitungan pajak penghasilan baik sebelum maupun
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 yang juga disebut Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal
29 Oktober 2021 dan diundangkan
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia pada tanggal 29 Oktober 2021. Pengertian orang pribadi yang mempunyai usaha berdasarkan UU Pajak Penghasilan adalah mereka yang mempunyai usaha dan kegiatan seperti toko, rumah makan
dan sejenisnya. Selain penghasilan yang berasal dari usaha juga terdapat penghasilan dari pekerjaan dan dari pekerjaan bebas yang tidak di bahas dalam penelitian
ini. Metode penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu
dengan menggunakan aturan perpajakan seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak yang masih berlaku sebagai dasar untuk melakukan
analisis permasalahan yang dibahas, sehingga kesimpulan dari penelitian ini dapat langsung diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat. Hasil dari kajian dalam
penelitian ini adalah nominal pajak penghasilan terutang dengan asumsi Dasar Pengenaan Pajak yang sama setelah Undang-Undang
No.7 tahun 2021 diberlakukan
adalah lebih kecil dibanding dengan nilai nominal pajak penghasilan terutang sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 khususnya kluster Pajak Penghasilan memberikan keringanan dalam menghitung pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi.
Kata Kunci: Pajak Penghasilan, Orang Pribadi, UU Nomor 7 tahun2021
Abstract
The author chooses to conduct research by comparing
the calculation of income tax on income from businesses received or obtained by
individuals, with the intention that individual business actors obtain an
overview of the calculation of income tax both before and after the enactment
of Law Number 7 of 2021 which is also called Law No. -The Law on Harmonization
of Tax Regulations which was ratified by the President of the Republic of
Indonesia on October 29, 2021 and promulgated by the
Minister of Law and Human Rights on October 29, 2021. The definition of an
individual who has a business under the Income Tax Law is those who have
businesses and activities such as shops restaurants and the like. In addition
to income from business, there is also income from work and from independent
work which are not discussed in this study. This research method uses library
research, namely by using tax rules such as Laws, Government Regulations,
Regulations of the Minister of Finance, Regulations of the Director General of
Taxes which are still valid as a basis for analyzing the problems discussed, so
that the conclusions of this research can be directly implemented. in community
life. The results of the study in this study are the nominal income tax payable
with the assumption that the same Tax Imposition Base after Law No. 7 of 2021
is enacted is smaller than the nominal value of income tax payable before the
enactment of Law Number 7 of 2021. So it can be
concluded it is concluded that Law Number 7 of 2021, especially the Income Tax
cluster, provides relief in calculating income tax for individual taxpayers.
Keywords: Income Tax, Individual, Law Number 7 of. 2021
Pendahuluan
Reformasi Perpajakan telah dimulai pada tahun 1983 dengan melahirkan Undang-Undang Pajak sebagai hasil
karya anak bangsa Indonesia (Ramli, 2021), dimana sebelum tahun 1983 Undang-Undang Pajak masih menggunakan
aturan peninggalan Belanda seperti Ordonansi Pajak Penghasilan, Ordonansi Pajak Perseroan, Ordonansi Pajak Penjualan dan sebagainya.
Perkembangan Zaman terus
bergulir, pertumbuhan ekonomi terus berjalan,
pembangunan terus berkembang menuju social masyarakat Indonesia yang lebih baik, maka untuk
mewujudkan hal tersebut perlu adanya pendanaan yang lebih besar. Penggalian
dana yang diperlukan tersebut
antara lain berasal dari penggalian sumber daya alam
dan pemungutan pajak (Zakariya, Istiqomah, & Aji, 2022).
Tentang pengertian
pajak itu sendiri telah di muat dalam Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan pada pasal
1 angka 1 yang pada intinya
menyatakan bahwa pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang berasal dari warga negara Indonesia, baik Orang pribadi maupun Badan dimana hasil dari pemungutan
pajak tersebut akan digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya, jadi pajak tersebut adalah berasal dari dari warga
negara untuk warga negara
juga, artinya walaupun kita mengeluarkan uang untuk membayar pajak namun uang pajak yang dikumpulkan oleh
negara tersebut akan dikembalikan kepda kita semua secara
merata dengan bentuk perbaikan infra struktur (jalan, jembatan, keamanan dsb), juga fasilitas-fasilitas seperti fasilitas penerbangan, angkutan kapal laut, pelabuhan
dan sebagainya sehingga diharapkan berguna untuk memperlancar usaha para wajib pajak yang pada akhirnya dapat meningkatkan usaha bagi semua
wajib pajak menjadi lebih maju.
Khusus mengenai penggalian dana dari sumber pajak sudah
barang tentu harus didasari oleh aturan yang adil dan merata dan system pemungutan yang
berkembang pula seiring dengan perkembangan ekonomi, teknologi informasi dan kondisi social masyarakat. Sebagai contoh perkembangan ekonomi yang dibarengi dengan teknologi informasi yang maju pesat telah terjadi
di negara kita yang kita semua telah tahu
dan rasakan adalah adanya penggunaan sistem informasi digital yang dipakai dalam dunia bisnis seperti adanya market place, transaksi elektronik.…dan sebagainya yang dimasa lalu tidak
kita temukan (Adelina, 2022).
Untuk itu perlu dilakukan pembaharuan secara berkesinambungan terhadap aturan perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak yang selama ini berlaku dan sudah tidak sesuai
lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, social masyarakat dan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat. Hal ini harus diusahakan
agar aturan perpajakan dapat menjadi landasan
yang kuat dalam pemungutan pajak secara adil dan merata serta dapat
menjamin tersedianya dana
yang berasal dari pajak sebagai wujud
kegotongroyongan seluruh bangsa dan kegunaannya adalah untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, sehingga harapannya lambat laun dapat
melepaskan diri dari ketergantungan pada sumber pendapatan negara yang berasal dari luar
negeri. Dalam konsiderannya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 menyatakan bahwa asas diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adalah keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan dan kepentingan nasional. Sedangkan tujuan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendukung percepatan pemulihan ekonomi, mendorong penerimaan negara agar
optimal, mewujudkan system perpajakan
yang berkeadilan dan mempunyai
kepastian hukum serta agar kepatuhan wajib pajak secara
sukarela menjadi meningkat (Triwinarso, Susianti, & Leda, 2022).
Undang Undang pajak terdiri atas
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(KUP), Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), dan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang kesemuanya
secara berkala akan dilakukan evaluasi terhadap pasal-pasal yang ada, melakukan penyesuaian kembali sesuai dengan kondisi perkembangan ekonomi, dan jika dinilai sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan
ekonomi serta perkembangan social masyarakat, maka terhadap Undang
Undang tersebut akan dilakukan perubahan yang biasanya tidak semua pasal
dalam Undang Undang yang lama dihapus, namun hanya beberapa
pasal dalam Undang Undang tersebut
yang diubah, dan selanjutnya
diikuti dengan aturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktur Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Dirjen Pajak
yang kesemuanya itu berguna untuk menjabarkan
apa yang dimaksud dalam Undang Undang
Perpajakan tersebut dan bagaimana menerapkannya secara detil sehingga
pelaksanaan Undang Undang Perpajakan menjadi lebih mudah
dan jelas untuk dapat dimengerti dan dilaksanakan oleh aparatur pajak maupun oleh masyarakat wajib pajak pada umumnya (Tapada, 2022).
Dalam praktek dilapangan diketahui bahwa cukup banyak
wajib pajak orang pribadi yang belum mengetahui tentang penghitungan Pajak Penghasilan terutang atas penghasilan dari usahanya terutama
setelah berlakunya Undang Undang Pajak
yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, apakah setelah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tersebut diberlakukan pajaknya akan menjadi
lebih besar, sama atau lebih
kecil jika dibandingkan dengan pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan Undang Undang yang lama (Pratama, 2022.).
Tulisan ini kami batasi hanya membahas
penghitungan Pajak Penghasilan Terutang atas penghasilan dari usaha Wajib
Pajak Orang pribadi. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) tepatnya pada Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, disebutkan bahwa penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja (karyawan), 2. pekerjaan bebas seperti praktik
dokter, aktuaris, akuntan, pengacara dan sebagainya yang intinya mempunyai keahlian, dan 3. penghasilan dari usaha dan kegiatan (toko, home industri, bengkel dsb) (Nurholisa, 2022).
Dalam pembahasan
selanjutnya akan penulis bedakan antara Pajak Penghasilan
terhadap Wajib Pajak Orang pribadi yang mempunyai peredaran bruto usaha (Omzet)
tidak lebih dari Rp.4.800.000.000,- (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) setahun
dan Wajib Pajak Orang pribadi yang mempunyai peredaran bruto usaha melebihi Rp.4.800.000.000,-
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) setahun. Pembahasan terhadap penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan Wajib Pajak Orang pribadi dengan batasan Omzet tersebut
kami bedakan karena bagi Wajib Pajak
yang mempunyai Omzet sampai dengan Rp.4.800.000.000,-
(empat miliar delapan ratus juta rupiah) setahun dapat menggunakan
penghitungan Pajak Penghasilan terutang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 dengan tariff 0,5% dari Omzet yang dinilai lebih sederhana
penghitungannya dan lebih kecil nilai pajak
terutangnya dibanding jika menggunakan Tarif PPh umum sesuai
pasal 17 Undang Undang Pajak Penghasilan.
Sedangkan penghitungan Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak
Orang pribadi yang mempunyai
peredaran bruto usaha (Omzet) diatas
Rp.4.800.000.000,- (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) tidak diperkenankan menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 23 th.2018 (0,5%
dari Omzet) tetapi harus menggunakan
tariff PPh umum, tepatnya tariff Pajak Penghasilan sesuai Tarif pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan (Amelia Putri & Aslami, 2022).
Sehingga penghitungan
pajak terutang atas penghasilan dari Wajib Pajak
Orang pribadi untuk masa sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (memakai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018), berbeda dengan penghitungan Pajak Penghasilan terutang untuk masa setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jika penghitungan Pajak Penghasilan pada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan didasarkan pada Peredaran Bruto Usaha (0,5% x Omzet), namun untuk penghitungan
Pajak Penghasilan setelah Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan perpajakan, Pajak Penghasilan terutang dihitung dengan dasar pengenaan
pajak adalah Penghasilan Kena Pajak (tarif psl.17 x Penghasilan Kena Pajak) Dengan demikian
para wajib pajak dapat menghitung sendiri Pajak Penghasilan
atas penghasilannya sendiri sehingga dapat mengetahui apakah Pajak Penghasilan
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 lebih besar atau lebih
kecil dibanding dengan Pajak Penghasilan
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 (Wahyudi & Wijaya, 2022).
Penulis berharap
bahwa tulisan ini akan sangat berguna bagi masyarakat luas, karena pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan mulai diberlakukan pada tahun pajak 2022. Artinya untuk penghasilan tahun pajak 2022 dari Wajib Pajak
baik yang semula menghitung Pajak Penghasilannya memakai Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 maupun yang memakai PPh Umum diwajibkan
menghitung pajak terutang sesuai dengan aturan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 7 tahun 2021 (Wafikhoh, 2022).
Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library
research). Library research adalah penelitian yang obyek kajiannya menggunakan data pustaka berupa buku-buku sebagai sumber datanya (Nelliraharti & Nurmalina, 2022).
Sedangkan dalam https://e-journal.usd.ac.id tentang
studi kepustakaan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah usaha menghimpun
informasi yang relevan dengan topik yang akan diteliti. Informasi itu dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan,
buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak
maupun elektronik lain. Penelitian library research ini termasuk dalam metode penelitian kualitatif. “Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik pengumpulan
data dilakukan secara trianggulasi (gabungan)”.
Penelitian ini
dilakukan dengan mengambil data yang termasuk dalam jenis data sekunder dimana data diambil dari peraturan
yang diterbitkan oleh Pemerintah
Republik Indonesia dalam bentuk: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjen Pajak, dan Surat Edaran Dirjen Pajak serta
sumber informasi yang didapat dari internet yang relevan dengan masalah yang akan dibahas.
Terhadap data yang telah didapat dari
peraturan-peraturan dan informasi
yang relevan dengan masalah yang akan dibahas, yang didapat dari buku maupun
dari internet, dilakukan analisis dengan cara mencari korelasi
antar data tersebut sehingga bisa memperoleh
kesimpulan akhir atas permasalahan yang ada (Pia Permata Putri, Sumardi, & Mulyadi, 2020).
Hasil dan Pembahasan
Sebelum berlakunya
UU No.7 tahun 2021
Penghitungan
Pajak Penghasilan terhadap penghasilan dari usaha wajib
pajak orang pribadi yang dihitung berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 th.2018 dengan syarat Omzet tidak
melebihi Rp.4,8 Miliar pada
sebelum berlakunya UU HPP (misal peredaran bruto rp.200.000.000 per bulan) adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Contoh penghitungan PPh Terutang berdasar
PP23 (sebelum UU HPP)
No |
Bulan |
Peredaran Bruto (Rp) |
Tarif |
Pajak Terutang final (Rp) |
1 |
Januari |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
2 |
Februari |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
3 |
Maret |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
4 |
April |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
5 |
Mei |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
6 |
Juni |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
7 |
Juli |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
8 |
Agustus |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
9 |
September |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
10 |
Oktober |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
11 |
November |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
12 |
Desember |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
|
jumlah |
2.400.000.000 |
|
12.000.000 |
Tabel
5 diatas menunjukkan bahwa wajib pajak
dengan Peredaran Bruto usaha sebesar
Rp.2.400.000.000,- (dua miliar empat ratus juta rupiah) setahun berdasarkan PP23 akan dikenakan pajak penghasilan sebesar
Rp.12.000.000,-.
Penghitungan
Pajak Penghasilan terhadap penghasilan dari usaha wajib
pajak orang pribadi yang dihitung berdasarkan Tarif Umum PPh (psl.17 UU PPh), karena Peredaran
Bruto usaha telah melebihi Rp.4,8 Miliar (sebelum berlakunya UU HPP). Sebagai ilustrasi dimisalkan Tn. A adalah Wajib pajak
yang menerima penghasilan dari usaha, peredaran
bruto usaha dalam tahun 2019 adalah Rp.6.000.000.000,- (enam miliar rupiah), biaya untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan tersebut adalah Rp.5.400.000.000,- (lima miliar
empat ratus juta rupiah), dengan status K/2 (kawin dengan tanggungan 2 anak kandung), maka penghitungan sbb:
Peredaran Bruto Usaha (Omzet) =
Rp.6.000.000.000,-
Biaya usaha = Rp.5.400.000.000,- (-)
Penghasilan neto = Rp. 600.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak =
Rp. 600.000.000,-
Penghasilan Tdk Kena Pajak (K/2):
Utk WP sendiri : Rp.54.000.000,-
Status
kawin :
Rp. 4.500.000,-
Tanggungan :
Rp. 9.000.000,-
(2xRp.4,5
jt) =
Rp. 67.500.000,- (-)
Penghasilan Kena Pajak =
Rp. 532.500.000,-
Pajak Terutang:
5%
x Rp.50.000.000,- = Rp. 2.500.000,-
15%
x Rp.200.000.000,- = Rp. 30.000.000,-
25%
x Rp.250.000.000,- = Rp. 62.500.000,-
30%
x Rp.32.500.000,- = Rp. 9.750.000,-
(+)
Rp.104.750.000,-
Artinya
untuk wajib pajak orang pribadi dengan Penghasilan Kena Pajak setahun
sebesar Rp.600.000.000,- (enam ratus juta rupiah) akan dikenakan pajak sebesar Rp.104.750.000,-
Setelah berlakunya
Undang-Undang No.7 tahun
2021
Setelah
berlakunya Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, maka baik penghitungan
pajak terutang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 maupun berdasarkan PPh Umum menjadi berubah
sebagai berikut (dimisalkan peredaran bruto setahun
Rp.2.400.000.000,-), penghitungan adalah
sbb (Djufri, 2022):
Tabel 2
PPh Terutang untuk peredaran bruto usaha tidak
melebihi Rp. 4,8 Miliar (sebelum UU HPP)
No |
Bulan |
Peredaran Bruto (Rp) |
Tarif |
Pajak Terutang final (Rp) |
1 |
Januari |
200.000.000 |
- |
0 |
2 |
Februari |
200.000.000 |
- |
0 |
3 |
Maret |
100.000.000 |
- |
0 |
100.000.000 |
0,5% |
500.000 |
||
4 |
April |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
5 |
Mei |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
6 |
Juni |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
7 |
Juli |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
8 |
Agustus |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
9 |
September |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
10 |
Oktober |
200.000.000 |
05% |
1.000.000 |
11 |
November |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
12 |
Desember |
200.000.000 |
0,5% |
1.000.000 |
|
Jumlah |
2.400.000.000 |
|
9.500.000 |
Setelah
berlakunya UU nomor 7 tahun 2021, maka pajak penghasilan dengan penghitungan berdasarkan PP23 th.2018 menjadi berubah karena UU No.7 th.2021 pasal 7 ayat (2a) mengatur bahwa peredaran bruto sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak dikenakan Pajak Penghasilan.
Untuk
penghitungan pajak penghasilan bagi penghasilan dari usaha Wajib Pajak
Orang pribadi dengan peredaran bruto diatas Rp.4,8 Miliar diilustrasikan sama dengan contoh diatas
(Peredaran bruto Rp.6 Miliar dan biaya usaha Rp.5,4 Miliar) sebagai berikut:
Peredaran
Bruto Usaha (Omzet) = Rp.6.000.000.000,-
Biaya usaha = Rp.5.400.000.000,- (-)
Penghasilan neto = Rp. 600.000.000,-
Penghasilan Kena Pajak =
Rp. 600.000.000,-
Penghasilan Tdk Kena Pajak (K/2):
Utk WP sendiri :
Rp.54.000.000,-
Status
kawin :
Rp. 4.500.000,-
Tanggungan :
Rp. 9.000.000,-
(2xRp.4,5
jt) =
Rp. 67.500.000,- (-)
Penghasilan Kena Pajak =
Rp. 532.500.000,-
Pajak Terutang:
5%
x Rp.60.000.000,- = Rp. 3.000.000,-
15%
x Rp.190.000.000,-= Rp. 28.500.000,-
25%
x Rp.250.000.000,-= Rp. 62.500.000,-
30%
x Rp.32.500.000,- = Rp. 9.750.000,-
(+)
= Rp.103.750.000,-
Dari penghitungan
diatas dapat kita bandingkan penghitungan Pajak Penghasilan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 dan Pajak Penghasilan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 sebagai berikut:
Tabel 3
Peredaran Bruto tidak melebihi Rp.4,8 Miliar (setelah UU HPP)
No |
Tahun |
Peredaran Bruto |
PPh Terutang (final) |
1 |
Sebelum UU No.7
th.2021 |
Rp.2.400.000.000 |
Rp.12.000.000 |
2 |
Setelah UU No.7
th.2021 |
Rp.2.400.000.000 |
Rp.9.500.000 |
Tabel 4
Peredaran Bruto melebihi Rp.4,8 Miliar
No |
Tahun |
Penghasilan Kena Pajak |
Pajak Terutang (tidak
final) |
1 |
Sebelum UU No.7
th.2021 |
Rp.532.500.000 |
Rp.104.750.000 |
2 |
Setelah UU No.7
th.2021 |
Rp.532.500.000 |
Rp.103.750.000 |
Dari Rekapitulasi
pada Tabel 7 diatas didapat bahwa Pajak
Penghasilan setahun yang penghitungannya menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018 sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 sebesar Rp. 12.000.000,- (dua belas
juta rupiah), namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 turun menjadi hanya Rp.9.500.000,- (ada penurunan Rp.2.500.000). Sedangkan pada Tabel 8. dapat dilihat bahwa
pajak penghasilan setahun yang penghitungannya menggunakan PPh Umum (Peredaran bruto diatas Rp.4,8 Miliar) sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 adalah sebesar Rp.104.750.000,-, namun setelah
berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 turun menjadi Rp.103.750.000,- (ada penurunan Rp. 1 juta). Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pengenaan pajak penghasilan terhadap wajib pajak orang pribadi yang mempunyai usaha baik yang mempunyai peredaran bruto usaha tidak melebihi
Rp.4,8 Miliar (penghitungan
menggunakan PP23), maupun
yang melebihi Rp.4,8 Miliar
saat sesudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 selalu lebih kecil
dibanding sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021.
Kesimpulan
Pajak
merupakan kontribusi wajib dari semua
warga negara kepada negara
yang nantinya akan dikembalikan juga kepada warga negara dalam bentuk pembiayaan atas infra struktur seperti pembangunan jalan, pembangunan jembatan, pelaksanaan keamanan, pembangunan fasilitas penerbangan, pelabuhan laut dan lain-lain yang
bertujuan untuk keperluan masyarakat pada umumnya sehingga fasilitas untuk sarana pengembangan usaha dapat terpenuhi
dan diharapkan agar usaha dapat berkembang dengan baik. Jadi pajak dapat kita
katakan sebagai iuran wajib dari
kita untuk kita. Maka dari
itu setelah kita mengetahui bahwa pajak adalah
dari kita untuk kita, semoga
para wajib pajak akan berkenan untuk
terus meningkatkan kepatuhan sukarela dalam membayar pajak, baik mengenai
jumlah pembayaran pajak maupun ketepatan
waktu penyetoran dan pelaporan pajak.
Bagi
wajib pajak orang pribadi yang mempunyai peredaran bruto tidak melebihi Rp.4.800.000.000,- (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) setahun dan menghitung pajak penghasilan menggunakan Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2018, setelah berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pajak penghasilan terutang menjadi lebih kecil
dibanding sebelum berlakunya Undang Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam menghitung pajak terutang setelah berlakunya UU HPP, peredaran bruto setahun dikurangi
Rp.500.000.000,- (lima ratus juta
rupiah) lebih dahulu baru sisanya yang dikenakan pajak penghasilan. Dengan demikian terlihat bahwa pemerintah memperhatikan keadaan para pengusaha yang masih kecil (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) yang perlu didukung perkembangannya agar
UMKM tersebut tidak terlalu dibebani pajak sehingga dapat mengembangkan usahanya. Dengan telah diberinya keringanan pajak tersebut, adalah merupakan kesempatan bagi pengusaha untuk berkontribusi membayar pajak kepada negara dengan mendapaftarkan diri sebagai wajib pajak.
Untuk
semua wajib pajak orang pribadi dengan diberlakukannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan maka Tarif Pajak Penghasilan diturunkan dengan cara menaikkan
batas Penghasilan Kena Pajak pada lapisan I (tariff 5%) dari
Rp.50.000.000,- menjadi Rp.60.000.000,- dan menurunkan Nilai Penghasilan Kena Pajak pada lapisan ke II (15%) yang dikenakan pajak yang semula Rp.200.000.000,- menjadi
Rp.190.000.000,- sehingga Penghasilan
Kena Pajak yang dikenakan tarif 5% meningkat, namun yang dikenakan tarif 15% menurun, akibatnya jumlah pajak terutang
akan menurun. Upaya Pemerintah menurunkan tarif pajak penghasilan orang pribadi melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan ini perlu diapresiasi
dengan meningkatkan kepatuhan sukarela dalam membayar pajak antara lain dengan cara melakukan
pelaporan pajak sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya.
Adelina, Andi Aliya. (2022). Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XV/2017 Tentang Pengujian Undang-Undang No. 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Terhadap Pasal 1 Ayat (3),
27 Ayat (1), Dan 28d Ayat (1) UUD 1945. Jurnal Sains Sosio Humaniora, 6(1),
157–170. Google Scholar
Djufri, Djufri. (2022). Dampak Pengenaan
PPN 11% terhadap Pelaku Dunia Usaha Sesuai UU No. 7 thn 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan Di Indonesia. Journal Of Social Research,
1(5), 391–404. Google Scholar
Nelliraharti, Nelliraharti, &
Nurmalina, Nurmalina. (2022). Manajemen Pendidikan Islam dalam Membentuk
Karakter Siswa di Era Revolusi Industri 4.0. Journal of education science,
8(1), 62–69. Google Scholar
Nurholisa, Siti. (2022). Analisis
Penerapan PSAK 46 Amandemen 2016 Tentang Pajak Penghasilan Pada Laporan
Keuangan Konsolidasian PT Perusahaan Gas Negara Tbk (Aspek Pengakuan,
Pengukuran, Penyajian, dan Pengungkapan) Tahun 2019 dan 2020. Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Universitas Pakuan. Google Scholar
Pratama, Bayu Rizki. (n.d.). Prosedur
Penghitungan, Pembayaran Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 Atas Wajib
Pajak Orang Pribadi Melalui Jasa Kantor Konsultan Pajak Drs. Agus Sambodo Dan
Rekan. Google Scholar
Putri, Amelia, & Aslami, Nuri. (2022).
The Effect of Policy on Changes in Final Income Tax Rates on MSME Taxpayer
Compliance in Binjai City. Jurnal Akuntansi, Manajemen Dan Bisnis Digital,
1(2), 347–352. Google Scholar
Putri, Pia Permata, Sumardi, Sumardi, &
Mulyadi, Sima. (2020). Pengaruh Permainan Treasure Hunt Terhadap Kecerdasan
Interpersonal Anak Usia 5-6 Tahun. Jurnal Paud Agapedia, 4(1),
118–130. Google Scholar
Ramli, Muhammad. (2021). Politik hukum
pengelolaan zakat di indonesia (studi tentang zakat untuk mengentaskan
kemiskinan).
Tapada, Risenly. (2022). Akibat Hukum
Penerapan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap
Peningkatan Nilai Tambah Pertambangan. Lex privatum, 10(4). Google Scholar
Triwinarso, Arif, Susianti, Susianti, &
Leda, Maria Giovani Putri. (2022). Pajak hotel di Kabupaten Ende: trend,
efektivitas dan kontribusi terhadap pajak asli daerah. E-Jurnal Perspektif
Ekonomi Dan Pembangunan Daerah, 11(2), 83–94. Google Scholar
Wafikhoh, Inas Syadza. (2022). Pengecualian
Objek Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Atas Dividen. Jurist-Diction, 5(2),
537–550. Google Scholar
Wahyudi, Wahyudi, & Wijaya, Suparna.
(2022). Isu Keadilan Dalam Batasan Bruto Tidak Kena Pajak Atas Pajak
Penghasilan Orang Pribadi. Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review),
6(1), 122–129. Google Scholar
Zakariya, A.Fahmi, Istiqomah, Nur
Hidayatul, & Aji, Bayu. (2022). Potensi Wakaf Uang Digital (Financial Technologi
Syariah) Dalam Membangun Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat. Al-Musthofa:
Journal of Sharia Economics, 5(1), 1–9. Google Scholar
Copyright holder: R. Soerjatno (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |