Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

STRUKTUR POPULASI DAN GANGGUAN SATWA LIAR MONYET HITAM “Dare” (Macaca maura Schinz, 1825) DI TAMAN WISATA ALAM LEJJA SOPPENG, SULAWESI SELATAN

 

Horti Alam*1, Slamet Santosa*2, Jatna Supriatna*3

1Program Pascasarjana Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin Makassar. 2Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin, Makassar. 3Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.

Email: 1[email protected], 2[email protected], 3[email protected].

 

Abstrak

Macaca maura yang terancam punah hanya ditemukan di bagian selatan pulau Sulawesi. Populasi mereka berkurang secara signifikan karena perusakan dan perusakan habitat serta pembunuhan akibat konflik dengan petani. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apa yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut. Kemudian kami memilih site yang menjadi lokasi yang tepat untuk belajar. Oleh karena itu penelitian ini mencoba untuk memahami (1) demografi dan kepadatan M.maura di Taman Wisata Alam Lejja (2) memetakan pola persebaran populasi M.maura di Taman Wisata Alam Lejja (3) untuk menggambarkan gangguan/konflik yang dilakukan oleh M.maura di sekitar area perumahan terdekat di Site Lejja. Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Lejja. Data populasi dikumpulkan dengan menggunakan metode Concentration Count dan mewawancarai dua puluh masyarakat sebagai responden yang memiliki perkebunan/permukiman di dekat kawasan konservasi untuk mengumpulkan data gangguan satwa liar. Data dianalisis secara kualitatif melalui penyajian hasil tabulasi dan gambar/diagram. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana populasi kelompok M.maura di Lejja beradaptasi dengan berbagai habitat mulai dari hutan, kebun desa dan diantaranya yang memiliki keanekaragaman pakan tumbuhan; Kelompok Panrenge yang populasinya meningkat, seperti yang diperkirakan, memiliki akses yang dekat dengan makanan yang banyak dan beragam di pemukiman dan perkebunan masyarakat. Sementara kelompok lain tampak sesuai dengan kepadatan monyet liar yang diharapkan,pada populasi monyet yang telah dipelajari. Kecelakaan perampokan tanaman telah tercatat di beberapa kebun desa, tetapi pembunuhan kelompok kera ini sampai saat ini tidak terdengar dari masyarakat yang diwawancarai. Tampaknya pendapatan dari pariwisata menggantikan hilangnya hasil panen. Artinya, pendapatan pariwisata dikompensasikan dengan hilangnya hasil panen yang diserang oleh M.maura.

 

Kata Kunci: Macaca maura, TWA Lejja, Populasi, Pakan tanaman, Gangguan satwaliar

 

Abstract

The endangered moor macaque is only found in the Southern part of Sulawesi island. Their population reduced significantly due to habitat destruction and destruction and killings due to the conflict with farmers. This research aimed to look at what caused this conflict. Then we selected a site that has been a perfect location to study. Therefore this study is trying to understand (1) the demographics and density of Moor macaque in the Lejja Nature Tourism Park (2) map the distribution pattern of the Moor macaque population in Lejja Nature Tourism Park(3) describe the disturbance/conflict carried out by Moor macaque around the nearest residential area at the Lejja Site. This research was conducted at the Lejja Nature Tourism Park. Its population data were collected using the Concentration Count method and interviewing twenty communities as respondents who own plantations/settlements near conservation areas to collect wildlife disturbance data. Data were analyzed qualitatively through the presentation of tabulation results and pictures/diagrams. The results show how that the population of the Moor macaque group in Lejja adapted to variety of habitats from forests, village garden and in between that had a diversity of plant feeds; Panrenge group, which has increased in population, as predicted, had close access to plenty and variety foods at the settlements and community plantations. While other groups seemed fit with the expected density in the wild moor, macaque populations have been studied. The crop-raiding accidents have been recorded on several village gardens, but the killing of these group of s macaques has been up to date not been heard from communities interviewed. It seems revenue from tourism replaced the loss of crops. It means that tourism revenue compensated for the loss of crops raided by the macaque.

 

Keywords: Moor macaque, Lejja Nature Tourism Park, Population, Plant feeds, Wildlife disturbance.

 

Pendahuluan

Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan jenis satwa primata yang paling tinggi di Asia. Hal tersebut sangat didukung dengan kondisi geografis dan kondisi hutan hujan tropisnya yang secara umum sesuai untuk kehidupan satwa primata. Belasan ribu pulau besar dan kecil yang membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia juga hal yang paling berpengaruh terhadap tingginya jumlah jenis primata Indonesia (Atmoko, 2017).

Sekitar 516 spesies primata diakui di seluruh dunia. Dengan 64 spesies yang dideskripsikan saat ini, Indonesia menempati urutan ketiga fauna primata paling beragam, setelah Brazil (130 spesies) dan Madagaskar (108 spesies). Primata Indonesia berasal lima keluarga dan 11 genera. Setidaknya 38 spesies endemik (Supriatna, Leo, et al., 2020). Mereka tersebar di beberapa daerah dari Kalimantan utara sampai pantai selatan Jawa, dan dari Sumatera bagian barat, timur, dan diperkenalkan ke Bacan, dan Timor Timur . Indonesia memiliki semua jenis primata, dari spesies primitif seperti tarsius hingga kera modern, baik kera kecil maupun kera besar (Supriatna, Shekelle, et al., 2020).

Pulau Sulawesi memiliki posisi biogeografi yang unik terletak di zona transisi dari wallacea sehingga menjadi tempat yang memiliki spesies endemik tinggi (Fairuztania & Mustari, 2017). Sulawesi memiliki 7 marga Macaca yang tersebar diantaranya ialah Macaca nigrescens, Macaca heckii, Macaca maura, Macaca brunescens, Macaca tonkeana, Macaca nigra dan Macaca ochreata (Fairuztania & Mustari, 2017). Sebagai bagian dari kawasan Wallacea, Sulawesi memiliki kekayaan hayati yang tinggi dan beberapa diantaranya bersifat endemik (Saroyo, S., Siahaan, P., Langoy, M., & Koneri, 2019).

Petani yang tinggal di sekitar hutan seringkali berkonflik dengan satwa liar. Primata umumnya dikenal sebagai pemakan tanaman yang buruk karena mereka tangkas, cerdas, dan menyerang dalam kelompok sosial yang berjumlah relatif besar, dan karena itu mereka disalahkan atas perilakunya yang ‘nakal’(Zak, 2016). Primata menduduki puncak daftar spesies satwa liar bermasalah yang merusak tanaman di sekitar Afrika dan Asia (Hill, 2017). Kejadian dimana satu atau lebih individu dari suatu spesies memasuki lahan pertanian dan mengambil atau memakan bagian dari tanaman yang dibudidayakan, kemudian meninggalkan lahan disebut Crop raiding (Utami, 2016).

Taman Wisata Alam Lejja merupakan wilayah penyebaran Macaca maura yang terletak di Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. kawasan konservasi ini adalah habitat alami bagi satwa liar genus Macaca endemik khususnya jenis Macaca maura. Namun, perubahan daya dukung habitat dalam Taman Wisata Alam Lejja saat ini secara perlahan dapat mempengaruhi populasi Macaca maura dan berpotensi menimbulkan konflik antar manusia dengan satwa liar Macaca maura dalam kawasan tersebut. Fauna khususnya primata merupakan kekayaan alam yang harus dijaga kelestariannya karena sangat potensial untuk dimanfaatkan dan mempunyai daya tarik sendiri bagi kehidupan manusia (Kinantono et al., 2018).

 

Metode Penelitian

Lokasi Penilitian

Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Lejja Soppeng, dengan sampel penelitian pengamatan difokuskan pada 3 kelompok Macaca maura pada Site Lejja yaitu Kelompok Panrenge, Kelompok Tonro Tengae dan Kelompok Sallo Alle serta 20 responden masyarakat yang memiliki perkebunan dan pemukiman di dekat kawasan konservasi pada Site Lejja.

Gambar 1. Wilayah Teritori Macaca muara pada Site Lejja.

 

Alat Dan Materi

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu GPS,binokuler, Thermometer/Hygrometer analog, kamera, handcounter, lembar pengamatan, lembar kuisioner, dan Pensil/bolpoint. Adapun materi utama penelitian ini yaitu 3 kelompok Macaca maura serta masyarakat yang bermukim/memiliki lahan perkebunan di dekat kawasan konservasi pada site Lejja.

Metode Pengumpulan Data.

Data primer diperolah dari hasil pengamatan populasi (peta hasil pengamatan, ukuran populasi, kepadatan, struktur umur, jenis kelamin, deskripsi habitat, jenis pakan) dan wawancara (responden masyarakat); sedangkan data sekunder diperoleh dari data BKSDA, text book, e-book, dan literatur terkait penelitian primata. Pengambilan data populasi dilakukan dengan metode Concentration count, yang terkonsentrasi pada beberapa titik yang diduga sebagai tempat peluang perjumpaan satwa tinggi (Bismark, 2011) pada tiap kelompok Macaca maura di Site Lejja.

Data responden diperoleh dengan melakukan wawancara semiterstruktur, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya dengan mendengarkan dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan (Sugiono, 2010) dari masyarakat yang berdomisili dekat dengan site Lejja, dan yang memiliki area persawahan/perkebunan dekat dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam Lejja Kabupaten Soppeng.

Analisis Data

1.     Data populasi dikumpulkan ke dalam tabel kemudian menghitung jumlah individu dan jumlah kelompok populasi dengan menggunakan estimasi ukuran dan kepadatan populasi (density). Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu per luas areal studi (Bismark, 2011). Penghitungan Konsentrasi (Concentration Count) :

a.     Untuk menentukan kerapatan atau kelimpahan populasi:

𝑫 =   𝒚 𝑫𝒊 𝑳𝒐𝒌𝒂𝒔𝒊 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒍𝒊𝒕𝒊𝒂𝒏

 

               𝐋 𝑾𝒊𝒍𝒂𝒚𝒂𝒉 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒎𝒂𝒕𝒂𝒏

Keterangan:

D       = kepadatan

y        = satwa yang teramati

L        = luas

b.     Untuk menentukan jumlah populasi:

P = n ∑ Xi

Keterangan :

P        = Populasi

Xi      = jumlah individu yang dijumpai pada pengamatan ke-i (individu)

n        = jumlah ulangan pengamatan

2.     Data dari hasil pengamatan dan wawancara dianalisis dengan metode kualitatif, dengan mempresentasikan berbagai gangguan konflik kelompok Macaca maura terhadap manusia di site tersebut.

 

Hasil Dan Pembahasan

Populasi Macaca maura pada Site Lejja

Berdasarkan hasil pengamatan populasi Macaca maura di TWA Lejja dengan metode Concentraton count diperoleh total Luas Pemakaian Habitat 188.127 ha dari luas wilayah hutan 1.318 Ha, diperoleh jumlah Macaca maura 101 individu dalam 3 kelompok dan jumlah tiap kelompok yang berbeda-beda yang ada pada site Lejja, dengan pembagian struktur umur yang ada pada tabel 1 dengan jumlah kepadatan sebesar 0,53 individu/ha.

 


Tabel 1. Pengelompokan M. Maura pada Site Lejja

 

Untuk mengetahui jumlah populasi sensus dilakukan dengan menghitung seluruh jumlah monyet pada masing-masing kelompok sosial, dan untuk mengetahui demografi, penghitungan dilakukan dengan membedakan jenis kelamin yaitu jantan dewasa, betina dewasa dan umur yaitu muda dan anakan pada masing-masing kelompok sosial. Struktur umur ini dapat menilai keberhasilan perkembangbiakan satwa serta menduga prospek kelestarian kedepannya (Alikodra, 2018). Jumlah individu tiap kelompok yang berbeda-beda dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keberadaan sumber daya/kompetisi, tingkat reproduksi dan predator (Gunawan et al., 2018). Untuk menjamin kelestarian populasi primata, maka habitat yang sesuai harus memiliki kualitas yang baik dan luasan yang mencukupi (Musyaffa & Santoso, 2020).

Kelompok Panrenge memiliki jumlah kelompok umur remaja yang lebih besar dibanding dengan kelompok Sallo Alle dan Kelompok Tonro Tengae. Pada kelompok ini dengan jumlah kelompok umur remaja 18 ekor dapat berpotensi lebih aktif lagi dalam melakukan pergerakannya. Menurut Mueller et al. (1974) dalam Fairuztania dan Mustari (2017), kecenderungan jumlah yang tinggi pada tingkat permudaan menandakan terpeliharanya populasi di habitatnya, dan sangat mungkin di waktu yang akan datang jumlah populasi akan terus berkembang. Hal ini juga dikatakan oleh Dharmawan et al. (2005) dalam Fakhri et al. (2012) bahwa struktur umur meningkat adalah struktur umur pada populasi dengan kerapatan kelompok umur muda paling besar, populasi dengan struktur umur demikian akan mengalami pertumbuhan populasi yang cepat pada periode mendatang. Kelompok Panrenge adalah kelompok yang memilik jumlah individu dalam kelompok yang besar dari 2 kelompok lainnya. Tersedianya akses yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, memudahkan untuk memperoleh ma- kanan yang dapat mengurangi penggunaan energi dalam pergerakan kelompok Panrenge.

Kelompok Sallo Alle dan kelompok Tonro Tengae memiliki jumlah anak dan bayi yaitu masing- masing 5 ekor lebih sedikit daripada kelompok Panrenge dengan jumlah anak dan bayi 12 ekor. Hal ini menurut Bismark (2009) dalam Fitri et al. (2013), faktor yang mempengaruhi jumlah individu dalam kelompok adalah sumberdaya makanan dan lingkungan yang memungkinkan untuk memelihara anak dengan baik. Perbedaan suhu dan kelembapan pada 3 wilayah kelompok Dare masih dalam kisaran yang stabil dalam mendukung aktivitas dan pergerakannya. Kelompok Dare di TWA Lejja saat pagi hari dengan suhu kisaran 26-28° C lebih banyak menghabiskan waktu di tempat yang tinggi untuk mencari makan. Ketika siang hingga sore hari dimana kisaran suhu 30-31°C aktivitas banyak dilakukan pada pohon yang rimbun yang dimanfaatkan sebagai tempat istirahat sejenak, menelisik (grooming) dan kawin.

Gangguan satwa liar Macaca maura terhadap manusia

Tabel 2 memperlihatkan rangkuman hasil wawancara dengan 20 responden yaitu masyarakat yang bermukim dekat dengan kawasan konservasi atau yang memiliki lahan perkebunan di dekat kawasan tersebut. Adanya faktor lain yang menyebabkan pergerakan monyet memasuki bahkan melintas di pekarangan rumah penduduk karena terdapat beberapa rumah di kawasan tersebut yang masih menjadi wilayah teritori utama khusus kelompok monyet Panrenge. Seluruh responden tidak pernah memberikan atau memperkenalkan berbagai jenis makanan kepada kelompok monyet tersebut, sebab menurut responden tidak diberikan pun mereka mengambilnya sendiri, seperti mencuri telur, memakan buah walaupun masih mentah, dan berbagai jenis tanaman lainnya. Beberapa responden sudah ada yang mengerti bahwa satwa tersebut merupakan satwa khas Sulawesi Selatan yang dapat membantu memperbanyak tanaman pohon dalam kawasan konservasi.

 


Tabel 2. Wawancara 20 responden pada site Lejja

 

Menurut Alikodra (2010), setiap spesies satwa liar mempunyai daerah jelajah dan teritori. Jika daerah jelajah atau teritori ini terpotong oleh kegiatan manusia, mereka akan tetap menganggap bahwa daerah yang dibuka manusia merupakan bagian dari daerah jelajah dan teritorinya karena mereka tidak punya alternatif lain. Selain itu menurut Mendis dan Ashoka (2016) dalam Oryza et al. (2019), monyet akan terus kembali dan tetap berada di sekitar area yang mudah ditemukannya makanan manusia. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh perampokan satwa liar merupakan konflik antara satwa liar dengan manusia yang lazim terjadi di sepanjang kawasan konservasi (Linkie et al., 2007). Untuk beberapa keadaan, kelebihan populasi herbivora dapat menyebabkan perembesan satwa liar keluar kawasan konservasi, dan seringkali merusak ataupun mengganggu daerah sekitarnya (Alikodra, 2018).

Adanya korelasi antara musim tanam khususnya tanaman padi dengan pergerakan monyet masuk ke wilayah persawahan petani menjadi pemicu intensitas kelompok Dare mencari makan dengan mengambil tanaman padi untuk dimakan. Dari keterangan petani melalui hasil wawancara, beberapa usaha yang dilakukan untuk menjaga tanaman padi mereka, dengan membuat pagar seperti jaring-jaring untuk mengahalangi masuknya kelompok monyet di area persawahan dan perkebunan mereka.

Beberapa kegiatan sudah dilakukan di kawasan TWA Lejja seperti meningkatkan hasil lokal dari wilayah tersebut berupa madu hutan dan bekerja sama dengan Perusda setempat dalam memberdayakan masyarakat sebagai pengelola (karyawan) kawasan wisata dan izin usaha kios di tempat wisata. Namun kegiatan tersebut belum cukup mendukung jika tidak dilengkapi dengan pemahaman akan pentingnya pelestarian ekosistem dalam kawasan konservasi. Muntasib (2015) dalam Puspanti (2016) menyatakan bahwa tata kelola ekowisata berbasis satwa liar di Indonesia masih perlu dibenahi, karena belum ada persepsi yang sama tentang ekowisata satwa liar, dan belum ada standar sarana prasarana ataupun standar pengelolaan yang ada. Tata kelola ekowisata satwa liar secara kolaboratif adalah salah satu pendekatan pengelolaan yang paling tepat, karena melibatkan sektor pemerintah (pusat dan daerah) dan non pemerintah yang mencakup pengelola ekowisata, industri pariwisata, masyarakat lokal, dan aktor pendukung seperti LSM, donor, pendidik, peneliti dan wisatawan dalam suatu usaha kolektif, di mana masing-masing pihak saling berkontribusi tanpa ada yang mendominasi dalam pengelolaannya.

 

Gambar 2. Usaha pemagaran oleh penduduk.


Gambar 3. Pemukiman di Site Lejja.

 

 

                                                                              


Gambar 4. M. maura dari kelompok Panrengeketika memasuki pekarangan

 

Berdasarkan hasil wawancara dominan responden mengharapkan keberadaan Macaca maura yang dilindungi dalam kawasan tersebut tidak menimbulkan gangguan terhadap aktivitas mereka dalam mengelolah kebun dan persawahan mereka. Bahkan beberapa responden menyarankan untuk memindahkan kelompok Macaca maura Panrenge ke bagian wilayah lain yang masih dalam kawasan TWA Lejja sebab jumlahnya sudah sangat banyak. Menurut Alikodra dan Santoso (1987) dalam Alikodra (2010), menekankan pentingnya mempertimbangkan keadaan faktor fisik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat dalam menanggulangi gangguan satwaliar. Perubahan-perubahan pada lingkungan kehidupan manusia baik kepentingannya, kebutuhannya maupun tujuannya akan berpengaruh terhadap upaya pelestarian ataupun pengelolaan satwaliar melalui sistem musyawarah diharapkan dapat disepakati keputusan-keputusan yang bijaksana.

Pakan Macaca maura

Tabel 3 dan 4 menunjukkan hasil pengamatan pakan 3 kelompok Macaca maura pada Site Lejja dan diperoleh beragam jenis pakan yang dikonsumsi oleh satwa tersebut. Jenis pakan tersebut dilihat saat Kelompok Dare sedang beraktivitas makan, ditemukannya jejak pakan yang ditinggalkan, hasil wawancara dari masyarakat yang bermukim dan yang memiliki perkebunan di dekat kawasan konservasi serta pengamatan beberapa dokumentasi yang diperoleh saat Kelompok Dare (Kelompok Panrenge) memasuki halaman rumah penduduk.

 


Tabel 3. Pakan Macaca maura di hutan pada Site Lejja

Keterangan : √ (ada saat pengamatan) ; (tidak dijumpai saat pengamatan)

 


Tabel 4. Pakan Macaca maura hasil tanaman masyarakat

Keterangan : (Kelompok Macaca maura yang memasuki kebun/pekarangan); (Kelompok Macaca  maura yang tidak memasuki kebun/pekarangan)


Gambar 5. Perbandingan Jumlah Pakan Macaca maura pada Site Lejja

 

 

Kelompok Dare Panrenge memiliki jumlah pakan yang paling beragam dalam kawasan TWA Lejja dibanding 2 kelompok lainnya. Kelompok ini juga memperoleh akses untuk mencari alternatif pakan saat memasuki pekarangan/lahan kebun penduduk yang berdekatan dengan kawasan konservasi. Persentase jumlah individu dalam kelompok Panrenge sebanyak 53 % dapat menunjukkan kebutuhan pakan yang juga besar.

Kelompok Tonro Tengae yang memiliki habitat di dataran tinggi kawasan TWA Lejja yang jauh dengan pemukiman penduduk. Pakan dalam kelompok ini tumbuh pada kondisi yang tersebar tidak merata, menjadi tantangan bagi kelompok tersebut agar survive sebab dalam pergerakan mencari makan (foraging) kelompok ini berpindah dengan jarak yang tidak dekat. Struktur habitat, dalam hal substrat yang tersedia, seperti pohon, bebatuan, dan lain-lain, serta distribusi dan kelimpahan sumber makanan cenderung mempengaruhi pola jelajah (penggunaan habitat secara horizontal) dan pemanfaatan hutan melalui strata vertikalnya (Sagnotti, 2013). Pada pengamatan kelompok Dare ini, hampir tidak ditemukan jenis tanaman budidaya petani karena jaraknya yang tidak berdekatan dengan pemukiman atau pun lahan perkebunan masyarakat, sehingga kebutuhan pakan sepenuhnya bersumber dari wilayah yang dimanfaatkan sebagai home range oleh kelompok Dare tersebut.

Beragam jenis tumbuhan yang dikonsumsi kelompok Dare tersebut dapat menggambarkan sumber daya (pakan) yang tersedia pada 3 wilayah kelompok Macaca maura di TWA Lejja. Menurut Karyawati (2012) ketersediaan sumber makanan primata di alam berbeda-beda, tergantung dari tempat tinggalnya. Primata harus memilih makanan sesuai dengan bahan makanan yang tersedia. Kelompok Dare di TWA Lejja selain pemakan buah juga sebagai pemakan daun (folivora) sebab ada beberapa jenis tumbuhan yang dimanfaatkan Dare yaitu dengan mengkonsumsi bagian pucuk daun muda yang dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4.

Dihadapkan pada variasi kuantitas dan kualitas pangan pada keragaman spasial dan skala temporal, hewan harus menyesuaikan pola makannya untuk memenuhi persyaratan nutrisinya (Sagnotti, 2013). Ketersediaan temporal dan spasial buah matang dan daun muda dengan kualitas tinggi sangat bervariasi (Chapman et al., 2012) dan dihadapkan pada variasi ini, hewan harus bergerak melintasi lanskap mereka dan menyesuaikan pola makan mereka. Teori mencari makan yang optimal memprediksi bahwa individu harus secara istimewa menggunakan area yang memiliki efisiensi pencarian makan tertinggi (Albani et al., 2020). Saat dihadapkan pada pilihan tipe habitat, biasanya primata lebih memilih daerah di mana sumber makanan lebih melimpah (Albani et al., 2020), karena kelimpahan dan tinggi keanekaragaman spesies makanan kemungkinan dapat menjamin pemeliharaan dalam memilih makanan (Albani et al., 2020). Kelompok Panrenge tentu dalam pergerakannya memanfaatkan peluang sumber pakan yang mudah diperoleh dan beragam sehingga dalam ukuran pemenuhan pakan masih dapat memenuhi jumlah dalam kebutuhan kelompoknya.

 

Gambar 6. Contoh Pakan M. maura.

 

Ancaman Habitat

Ditemukan suatu kegiatan berupa perilaku yang keliru baik oleh pengunjung dan pengelola kawasan di dalam lokasi TWA Lejja yang dapat mempengaruhi kualitas habitat satwa yang ada pada kawasan tersebut. Lintasan area yang berada di sekitar kolam permandian masuk dalam teritori kelompok Macaca maura Sallo Alle. Banyaknya sampah yang bertumpuk dapat merusak komposisi tanah dan menghambat pertumbuhan berbagai species tumbuhan yang masih kecil.

Pemasangan poster anjuran buang sampah dan beberapa tempat sampah yang diletakkan di berbagai sudut tempat wisata TWA Lejja tidak berfungsi secara efektif. Penertiban pengolahan sampah di kawasan wisata tersebut belum pada tahap yang serius, misalnya program 3R (Reuse, Reduce, Recycle) yang tidak berjalan karena mengalami berbagai faktor kendala seperti koordinasi dan pendukung lainnya. Menurut Tobing (1999) dalam Basalamah et al. (2010), penurunan kualitas habitat dapat mempengaruhi stabilitas populasi dan perilaku satwa primata. Hal ini juga dikatakan oleh Salim (1986) dalam Alikodra (2010) bahwa pada saat ini ancaman terhadap kelestarian satwa liar masalahnya semakin kompleks karena adanya pencemaran, yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan. Aroma yang tidak baik dari tumpukan sampah tersebut berpotensi menimbulkan berbagai sumber parasit yang dapat mengancam kesehatan dari Macaca maura khususnya kelompok Sallo Alle.

Dari sudut pandang pemanfaatan hutan, ada sejumlah alasan untuk melindungi satwa liar. Banyak jenis yang mempengaruhi proses regenerasi hutan secara langsung yang diperlukan bagi keberlangsungan produksi kayu (Meijaard et al., 2006). Peran jenis satwa liar tersebut antara lain adalah penyerbukan, penyebaran, dan pemangsaan biji (Meijaard et al., 2006). Menurut Sary (2011) dalam Adnan (2015), Kawasan konservasi memerlukan pengelolaan dan kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan masyarakat lokal agar efektif. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi dengan masyarakat adalah sangat penting, mengingat keadaaan satwa liar semakin terdesak dengan adanya pengembangan di bidang pengusahaan hutan, pertambangan, pertanian, perindustrian, perkebunan, peternakan dan semua kegiatan yang berkepentingan dengan pembukaan habitat satwa liar. Baik secara langsung ataupun tidak langsung satwa liar termasuk sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomi. Oleh karena itu, ekowisata umumnya dipandang sangat sesuai dengan tujuan konservasi, dan memang memberikan sejumlah manfaat penting, termasuk peningkatan pendapatan, dukungan untuk konservasi, dan peluang pendidikan bagi pengunjung dan masyarakat lokal (Shannon et al., 2017). Walaupun satwa liar termasuk ke dalam kelompok sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, pemanfaatannya harus memperhatikan aspek kelestarian, sehingga dapat menghindarkan terjadinya kepunahan (Alikodra, 2018).

Masyarakat sekitar kawasan memiliki peranan penting untuk aktif dalam kegiatan menjaga kawasan konservasi melalui aktivitas sehari-hari mereka. Namun, kesadaran belum sepenuhnya timbul dari sebagian besar masyarakat di sekitar kawasan TWA Lejja. Sehingga kerusakan oleh faktor eksternal secara perlahan berdampak pada ketahanan sumber daya dukung yang tersedia di kawasan konservasi tersebut baik bagi kehidupan manusia dan satwa liar salah satunya spesies M.maura. Pertambahan penduduk akan semakin mengalami potensi peningkatan di wilayah beradanya kawasan konservasi TWA Lejja. Kebutuhan ruang untuk membangun pemukiman yang baru pun bertambah dan saling berdekatan, maka potensi fragmentasi habitat, perubahan dinamika hutan dan peningkatan konflik cenderung akan terjadi. Secara perlahan jika tidak dilakukan penanganan pencegahan maka akan berdampak pada penurunan ekosistem bahkan penyebaran penyakit.

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian di Taman wisata alam Lejja Soppeng diperoleh bagaimana populasi kelompok M.maura di Lejja beradaptasi dengan berbagai habitat mulai dari hutan, kebun desa dan diantaranya yang memiliki keanekaragaman pakan tumbuhan; Kelompok Panrenge yang populasinya meningkat, seperti yang diperkirakan, memiliki akses yang dekat dengan makanan yang banyak dan beragam di pemukiman dan perkebunan masyarakat. Sementara kelompok lain tampak sesuai dengan kepadatan monyet liar yang diharapkan,pada populasi monyet yang telah dipelajari. Kecelakaan perampokan tanaman telah tercatat di beberapa kebun desa, tetapi pembunuhan kelompok kera ini sampai saat ini tidak terdengar dari masyarakat yang diwawancarai. Tampaknya pendapatan dari pariwisata menggantikan hilangnya hasil panen. Artinya, pendapatan pariwisata dikompensasikan dengan hilangnya hasil panen yang diserang oleh M.maura.

 


 

BIBLIOGRAFI

 

Albani, A., Cutini, M., Germani, L., Riley, E. P., Ngakan, P. O., & Carosi, M. (2020). Activity budget, home range, and habitat use of moor macaques (Macaca maura) in the karst forest of South Sulawesi, Indonesia. Primates, 61(5), 673–684. Google Scholar

 

Alikodra, H. S. (2018). Teknik Pengelolaan Satwaliar: Dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. PT Penerbit IPB Press. Google Scholar

 

Atmoko, T. (2017). Daya Tarik Dan Jenis-Jenis Satwa Primata Di KHDTK Samboja. Balai Penelitian Dan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam.

 

Bismark, M. (2011). Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk Keragaman Jenis Pada Kawasan Konservasi. Bogor: Balitbang Kehutanan. Google Scholar

 

Chapman, C. A., Rothman, J. M., & Lambert, J. E. (2012). Food as a selective force in primates. The Evolution of Primate Societies, 149–168. Google Scholar

 

Fairuztania, Z. Z., & Mustari, A. H. (2017). Karakteristik habitat dan populasi monyet butung (Macaca ochreata) di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Jurnal Wasian, 4(2), 97–108. Google Scholar

 

Gunawan, M. S. I., Annawaty, A., & Fahri, F. (2018). Distribusi kelompok Macaca hecki (Matschie, 1901) dan Macaca tonkeana (Meyer, 1899) di Hutan Lindung dan Cagar Alam Pangi Binangga Sulawesi Tengah. Natural Science: Journal of Science and Technology, 7(2). Google Scholar

 

Kinantono, H., Budhi, S., & Ardian, H. (2018). Keanekaragaman Jenis Primata di Seksi Wilayah II Semitau Taman Nasional Danau Sentarum Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Hutan Lestari, 6(4). Google Scholar

 

Linkie, M., Dinata, Y., Nofrianto, A., & Leader‐Williams, N. (2007). Patterns and perceptions of wildlife crop raiding in and around Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Animal Conservation, 10(1), 127–135. Google Scholar

 

Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D., Setyawati, T., Lammertink, M., Rachmatika, I., & Wong, A. (2006). Hutan pasca pemanenan: melindungi satwa liar dalam kegiatan hutan produksi di Kalimantan. CIFOR. Google Scholar

 

Musyaffa, M. E. F., & Santoso, N. (2020). Karakteristik habitat dan pola aktivitas langur borneo (Presbytis chrysomelas cruciger) di Taman Nasional Danau Sentarum. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam, 17(2), 155–172. Google Scholar

 

Sagnotti, C. (2013). Diet preferences and habitat use in relation to reproductive states in females of a wild group of Macaca maura inhabiting Karaenta Forest, South Sulawesi. Universitas Hasanuddin. Google Scholar

 

Saroyo, S., Siahaan, P., Langoy, M., & Koneri, R. (2019). Pendidikan Konservasi Satwa Endemik Sulawesi bagi Siswa Sekolah Dasar di Kelurahan Batuputih Bawah, Kecamatan Ranowulu, Kota Bitung, Sulawesi Utara. VIVABIO: Jurnal Pengabdian Multidisiplin. Google Scholar

 

Shannon, G., Larson, C. L., Reed, S. E., Crooks, K. R., & Angeloni, L. M. (2017). Ecological consequences of ecotourism for wildlife populations and communities. In Ecotourism’s promise and peril (pp. 29–46). Springer. Google Scholar

 

Sugiono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. CV. Alfabeta : Bandung. Google Scholar

 

Supriatna, J., Leo, S., Anugra, B. G., Dwiyahreni, A. A., Winarni, N. L., & Margules, C. (2020). Lessons learned from training students to conduct primate surveys. Primate Conserv, 34, 217–225. Google Scholar

 

Supriatna, J., Shekelle, M., Fuad, H. A. H., Winarni, N. L., Dwiyahreni, A. A., Farid, M., Mariati, S., Margules, C., Prakoso, B., & Zakaria, Z. (2020). Deforestation on the Indonesian island of Sulawesi and the loss of primate habitat. Global Ecology and Conservation, 24, e01205. Google Scholar

 

Utami, R. (2016). Penjarahan tanaman oleh hewan Primata di Bungus dan Teluk Kabung. Padang, Sumatera Barat, 2, 49–54. Google Scholar

 

Zak, A. A. (2016). Mischevious monkeys: Ecologogical and ethnographic components of crop raiding by moor macaques (Macaca maura) in South Sulawesi, Indonesia. San Diego State University. Google Scholar

 

Copyright holder:

Horti Alam, Slamet Santosa, Jatna Supriatna (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: