Syntax
Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol.
7, No. 10, Oktober 2022
STRUKTUR POPULASI DAN GANGGUAN SATWA
LIAR MONYET HITAM “Dare” (Macaca maura
Schinz, 1825) DI TAMAN WISATA ALAM LEJJA SOPPENG, SULAWESI SELATAN
Horti Alam*1, Slamet Santosa*2, Jatna Supriatna*3
1Program Pascasarjana Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Hasanuddin
Makassar. 2Jurusan Biologi,
Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin,
Makassar. 3Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia.
Email: 1[email protected], 2[email protected], 3[email protected].
Abstrak
Macaca maura yang terancam punah hanya ditemukan di bagian selatan pulau
Sulawesi. Populasi mereka berkurang secara signifikan karena perusakan dan
perusakan habitat serta pembunuhan akibat konflik dengan petani. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat apa yang menyebabkan terjadinya konflik tersebut.
Kemudian kami memilih site yang menjadi lokasi yang tepat untuk belajar. Oleh
karena itu penelitian ini mencoba untuk memahami (1) demografi dan kepadatan M.maura di Taman Wisata Alam Lejja (2)
memetakan pola persebaran populasi M.maura
di Taman Wisata Alam Lejja (3) untuk menggambarkan gangguan/konflik yang
dilakukan oleh M.maura di sekitar area perumahan terdekat di Site Lejja.
Penelitian ini dilakukan di Taman Wisata Alam Lejja. Data populasi dikumpulkan
dengan menggunakan metode Concentration
Count dan mewawancarai dua puluh masyarakat sebagai responden yang memiliki
perkebunan/permukiman di dekat kawasan konservasi untuk mengumpulkan data
gangguan satwa liar. Data dianalisis secara kualitatif melalui penyajian hasil
tabulasi dan gambar/diagram. Hasil penelitian menunjukkan bagaimana populasi
kelompok M.maura di Lejja beradaptasi
dengan berbagai habitat mulai dari hutan, kebun desa dan diantaranya yang
memiliki keanekaragaman pakan tumbuhan; Kelompok Panrenge yang populasinya
meningkat, seperti yang diperkirakan, memiliki akses yang dekat dengan makanan
yang banyak dan beragam di pemukiman dan perkebunan masyarakat. Sementara
kelompok lain tampak sesuai dengan kepadatan monyet liar yang diharapkan,pada
populasi monyet yang telah dipelajari. Kecelakaan perampokan tanaman telah
tercatat di beberapa kebun desa, tetapi pembunuhan kelompok kera ini sampai
saat ini tidak terdengar dari masyarakat yang diwawancarai. Tampaknya
pendapatan dari pariwisata menggantikan hilangnya hasil panen. Artinya,
pendapatan pariwisata dikompensasikan dengan hilangnya hasil panen yang
diserang oleh M.maura.
Kata Kunci: Macaca maura, TWA Lejja, Populasi, Pakan
tanaman, Gangguan satwaliar
Abstract
The endangered moor macaque is
only found in the Southern part of Sulawesi island. Their population reduced
significantly due to habitat destruction and destruction and killings due to
the conflict with farmers. This research aimed to look at what caused this
conflict. Then we selected a site that has been a perfect location to study.
Therefore this study is trying to understand (1) the demographics and density
of Moor macaque in the Lejja Nature Tourism Park (2) map the distribution
pattern of the Moor macaque population in Lejja Nature Tourism Park(3) describe
the disturbance/conflict carried out by Moor macaque around the nearest
residential area at the Lejja Site. This research was conducted at the Lejja
Nature Tourism Park. Its population data were collected using the Concentration
Count method and interviewing twenty communities as respondents who own
plantations/settlements near conservation areas to collect wildlife disturbance
data. Data were analyzed qualitatively through the presentation of tabulation
results and pictures/diagrams. The results show how that the population of the
Moor macaque group in Lejja adapted to variety of habitats from forests,
village garden and in between that had a diversity of plant feeds; Panrenge
group, which has increased in population, as predicted, had close access to
plenty and variety foods at the settlements and community plantations. While
other groups seemed fit with the expected density in the wild moor, macaque
populations have been studied. The crop-raiding accidents have been recorded on
several village gardens, but the killing of these group of s macaques has been
up to date not been heard from communities interviewed. It seems revenue from
tourism replaced the loss of crops. It means that tourism revenue compensated
for the loss of crops raided by the macaque.
Keywords: Moor macaque, Lejja Nature
Tourism Park, Population, Plant feeds, Wildlife disturbance.
Pendahuluan
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan jenis satwa
primata yang paling tinggi di Asia. Hal tersebut sangat didukung dengan kondisi
geografis dan kondisi hutan hujan tropisnya yang secara umum sesuai untuk
kehidupan satwa primata. Belasan ribu pulau besar dan kecil yang membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga hal yang paling berpengaruh terhadap
tingginya jumlah jenis primata Indonesia (Atmoko, 2017).
Sekitar 516 spesies primata diakui di seluruh dunia. Dengan
64 spesies yang dideskripsikan saat ini, Indonesia menempati urutan ketiga
fauna primata paling beragam, setelah Brazil (130 spesies) dan Madagaskar (108
spesies). Primata Indonesia berasal lima keluarga dan 11 genera. Setidaknya 38
spesies endemik (Supriatna, Leo, et
al., 2020). Mereka tersebar di beberapa daerah dari Kalimantan utara sampai pantai selatan Jawa, dan dari Sumatera bagian barat, timur, dan
diperkenalkan ke Bacan, dan Timor Timur . Indonesia memiliki semua jenis
primata, dari spesies primitif seperti tarsius hingga kera modern, baik kera
kecil maupun kera besar (Supriatna,
Shekelle, et al., 2020).
Pulau Sulawesi memiliki posisi biogeografi yang unik terletak
di zona transisi dari wallacea sehingga menjadi tempat yang memiliki spesies
endemik tinggi (Fairuztania &
Mustari, 2017). Sulawesi memiliki 7 marga Macaca yang tersebar diantaranya
ialah Macaca nigrescens, Macaca heckii,
Macaca maura, Macaca brunescens, Macaca tonkeana, Macaca nigra dan Macaca
ochreata (Fairuztania &
Mustari, 2017). Sebagai bagian dari kawasan Wallacea, Sulawesi memiliki
kekayaan hayati yang tinggi dan beberapa diantaranya bersifat endemik (Saroyo, S.,
Siahaan, P., Langoy, M., & Koneri, 2019).
Petani yang tinggal di sekitar hutan seringkali berkonflik
dengan satwa liar. Primata umumnya dikenal sebagai pemakan tanaman yang buruk
karena mereka tangkas, cerdas, dan menyerang dalam kelompok sosial yang
berjumlah relatif besar, dan karena itu mereka disalahkan atas perilakunya yang
‘nakal’(Zak, 2016). Primata menduduki puncak daftar spesies satwa liar
bermasalah yang merusak tanaman di sekitar Afrika dan Asia (Hill, 2017). Kejadian dimana satu atau lebih individu dari suatu spesies
memasuki lahan pertanian dan mengambil atau memakan bagian dari tanaman yang
dibudidayakan, kemudian meninggalkan lahan disebut Crop raiding (Utami, 2016).
Taman Wisata Alam Lejja merupakan wilayah penyebaran Macaca maura yang terletak di Kabupaten
Soppeng Sulawesi Selatan. kawasan konservasi ini adalah habitat alami bagi
satwa liar genus Macaca endemik
khususnya jenis Macaca maura. Namun,
perubahan daya dukung habitat dalam Taman Wisata Alam Lejja saat ini secara
perlahan dapat mempengaruhi populasi Macaca
maura dan berpotensi menimbulkan konflik antar manusia dengan satwa liar Macaca maura dalam kawasan tersebut.
Fauna khususnya primata merupakan kekayaan alam yang harus dijaga
kelestariannya karena sangat potensial untuk dimanfaatkan dan mempunyai daya
tarik sendiri bagi kehidupan manusia (Kinantono et al., 2018).
Metode Penelitian
Lokasi Penilitian
Penelitian ini
dilakukan di Taman Wisata Alam Lejja Soppeng, dengan sampel penelitian
pengamatan difokuskan pada 3 kelompok Macaca
maura pada Site Lejja yaitu Kelompok Panrenge, Kelompok Tonro Tengae dan
Kelompok Sallo Alle serta 20 responden masyarakat yang memiliki perkebunan dan
pemukiman di dekat kawasan konservasi pada Site Lejja.
Gambar 1. Wilayah Teritori Macaca muara pada Site Lejja.
Alat Dan Materi
Peralatan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu GPS,binokuler, Thermometer/Hygrometer
analog, kamera, handcounter, lembar pengamatan, lembar kuisioner, dan
Pensil/bolpoint. Adapun materi utama penelitian ini yaitu 3 kelompok Macaca maura serta masyarakat yang
bermukim/memiliki lahan perkebunan di dekat kawasan konservasi pada site Lejja.
Metode
Pengumpulan Data.
Data primer
diperolah dari hasil pengamatan populasi (peta hasil pengamatan, ukuran
populasi, kepadatan, struktur umur, jenis kelamin, deskripsi habitat, jenis
pakan) dan wawancara (responden masyarakat); sedangkan data sekunder diperoleh
dari data BKSDA, text book, e-book, dan literatur terkait penelitian primata.
Pengambilan data populasi dilakukan dengan metode Concentration count, yang
terkonsentrasi pada beberapa titik yang diduga sebagai tempat peluang
perjumpaan satwa tinggi (Bismark, 2011) pada tiap
kelompok Macaca maura di Site Lejja.
Data responden
diperoleh dengan melakukan wawancara semiterstruktur, dimana pihak yang diajak
wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya dengan mendengarkan dan mencatat apa
yang dikemukakan oleh informan (Sugiono, 2010) dari masyarakat
yang berdomisili dekat dengan site Lejja, dan yang memiliki area
persawahan/perkebunan dekat dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam Lejja
Kabupaten Soppeng.
Analisis Data
1. Data populasi
dikumpulkan ke dalam tabel kemudian menghitung jumlah individu dan jumlah
kelompok populasi dengan menggunakan estimasi ukuran dan kepadatan populasi
(density). Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu per
luas areal studi (Bismark, 2011). Penghitungan
Konsentrasi (Concentration Count) :
a. Untuk menentukan
kerapatan atau kelimpahan populasi:
𝑫 = ∑ 𝒚
𝑫𝒊 𝑳𝒐𝒌𝒂𝒔𝒊 𝑷𝒆𝒏𝒆𝒍𝒊𝒕𝒊𝒂𝒏
𝐋 𝑾𝒊𝒍𝒂𝒚𝒂𝒉 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒂𝒎𝒂𝒕𝒂𝒏
Keterangan:
D = kepadatan
y = satwa yang teramati
L = luas
b. Untuk menentukan
jumlah populasi:
P = n ∑ Xi
Keterangan :
P = Populasi
Xi = jumlah individu yang dijumpai pada
pengamatan ke-i (individu)
n = jumlah ulangan pengamatan
2. Data dari hasil
pengamatan dan wawancara dianalisis dengan metode kualitatif, dengan
mempresentasikan berbagai gangguan konflik kelompok Macaca maura terhadap
manusia di site tersebut.
Hasil
Dan Pembahasan
Populasi Macaca maura pada Site Lejja
Berdasarkan hasil pengamatan
populasi Macaca maura di
TWA Lejja dengan metode Concentraton count diperoleh total Luas Pemakaian
Habitat 188.127 ha dari luas
wilayah hutan 1.318 Ha, diperoleh
jumlah Macaca maura 101 individu dalam 3 kelompok dan jumlah tiap kelompok
yang berbeda-beda yang ada
pada site Lejja, dengan pembagian struktur umur yang ada pada tabel 1 dengan jumlah kepadatan sebesar 0,53 individu/ha.
Tabel 1. Pengelompokan M. Maura
pada Site Lejja
Untuk
mengetahui jumlah populasi sensus dilakukan dengan menghitung seluruh jumlah monyet pada masing-masing kelompok sosial, dan untuk mengetahui demografi, penghitungan dilakukan dengan membedakan jenis kelamin yaitu jantan
dewasa, betina dewasa dan umur yaitu muda dan anakan pada masing-masing kelompok
sosial. Struktur umur ini dapat
menilai keberhasilan perkembangbiakan satwa serta menduga prospek
kelestarian kedepannya (Alikodra, 2018). Jumlah individu
tiap kelompok yang berbeda-beda dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya keberadaan sumber daya/kompetisi, tingkat reproduksi dan predator (Gunawan et al., 2018). Untuk menjamin
kelestarian populasi primata, maka habitat yang sesuai harus memiliki
kualitas yang baik dan luasan yang mencukupi (Musyaffa & Santoso, 2020).
Kelompok
Panrenge memiliki jumlah kelompok umur remaja yang lebih besar dibanding
dengan kelompok Sallo Alle dan Kelompok Tonro Tengae. Pada kelompok ini dengan
jumlah kelompok umur remaja 18 ekor dapat berpotensi
lebih aktif lagi dalam melakukan
pergerakannya. Menurut
Mueller et al. (1974) dalam Fairuztania dan Mustari (2017), kecenderungan jumlah yang tinggi pada tingkat permudaan menandakan terpeliharanya populasi di habitatnya, dan
sangat mungkin di waktu
yang akan datang jumlah populasi akan terus berkembang.
Hal ini juga dikatakan oleh
Dharmawan et al.
(2005) dalam Fakhri et al. (2012) bahwa struktur
umur meningkat adalah struktur umur pada populasi dengan kerapatan kelompok umur muda
paling besar, populasi dengan struktur umur demikian akan
mengalami pertumbuhan populasi yang cepat pada periode mendatang. Kelompok Panrenge adalah kelompok yang memilik jumlah individu dalam kelompok yang besar dari 2 kelompok lainnya. Tersedianya akses yang berdekatan dengan pemukiman penduduk, memudahkan untuk memperoleh ma- kanan yang dapat mengurangi penggunaan energi dalam pergerakan
kelompok Panrenge.
Kelompok
Sallo Alle dan kelompok Tonro Tengae memiliki
jumlah anak dan bayi yaitu masing- masing 5 ekor lebih sedikit
daripada kelompok Panrenge dengan jumlah anak dan bayi 12 ekor. Hal ini menurut Bismark
(2009) dalam Fitri et al. (2013), faktor
yang mempengaruhi jumlah individu dalam kelompok adalah sumberdaya makanan dan lingkungan yang memungkinkan untuk memelihara anak dengan baik.
Perbedaan suhu dan kelembapan pada 3 wilayah kelompok
Dare masih dalam kisaran yang stabil dalam mendukung aktivitas dan pergerakannya. Kelompok Dare di TWA Lejja saat pagi hari
dengan suhu kisaran 26-28° C lebih banyak menghabiskan waktu di tempat yang tinggi untuk mencari
makan. Ketika siang hingga sore hari dimana kisaran suhu 30-31°C aktivitas banyak dilakukan pada pohon yang rimbun yang dimanfaatkan sebagai tempat istirahat sejenak, menelisik (grooming) dan kawin.
Gangguan satwa liar Macaca maura terhadap manusia
Tabel
2 memperlihatkan rangkuman hasil wawancara dengan 20 responden yaitu masyarakat yang bermukim dekat dengan kawasan konservasi atau yang memiliki lahan perkebunan di dekat kawasan tersebut. Adanya faktor lain yang menyebabkan pergerakan monyet memasuki bahkan melintas di pekarangan rumah penduduk karena terdapat beberapa rumah di kawasan tersebut yang masih menjadi wilayah teritori utama khusus kelompok
monyet Panrenge. Seluruh responden tidak pernah memberikan
atau memperkenalkan berbagai jenis makanan kepada kelompok monyet tersebut, sebab menurut responden tidak diberikan pun mereka mengambilnya sendiri, seperti mencuri telur, memakan buah walaupun
masih mentah, dan berbagai jenis tanaman lainnya. Beberapa responden sudah ada yang mengerti bahwa satwa tersebut merupakan satwa khas Sulawesi Selatan yang dapat membantu memperbanyak tanaman pohon dalam
kawasan konservasi.
Tabel 2. Wawancara 20 responden pada site Lejja
Menurut
Alikodra (2010), setiap spesies satwa liar mempunyai daerah jelajah dan teritori. Jika daerah jelajah atau teritori ini
terpotong oleh kegiatan manusia, mereka akan tetap menganggap
bahwa daerah yang dibuka manusia merupakan bagian dari daerah jelajah
dan teritorinya karena mereka tidak punya alternatif lain. Selain itu menurut
Mendis dan Ashoka (2016) dalam
Oryza et al. (2019), monyet akan terus
kembali dan tetap berada di sekitar area yang mudah ditemukannya makanan manusia. Kerusakan tanaman yang disebabkan oleh perampokan satwa liar merupakan konflik antara satwa liar dengan manusia yang lazim terjadi di sepanjang kawasan konservasi (Linkie et al., 2007). Untuk beberapa
keadaan, kelebihan populasi herbivora dapat menyebabkan perembesan satwa liar keluar kawasan konservasi, dan seringkali merusak ataupun mengganggu daerah sekitarnya (Alikodra, 2018).
Adanya
korelasi antara musim tanam khususnya
tanaman padi dengan pergerakan monyet masuk ke
wilayah persawahan petani menjadi pemicu intensitas kelompok Dare mencari makan dengan
mengambil tanaman padi untuk dimakan.
Dari keterangan petani melalui hasil wawancara,
beberapa usaha yang dilakukan untuk menjaga tanaman padi mereka, dengan
membuat pagar seperti jaring-jaring untuk mengahalangi masuknya kelompok monyet di area persawahan dan perkebunan mereka.
Beberapa
kegiatan sudah dilakukan di kawasan TWA Lejja seperti meningkatkan
hasil lokal dari wilayah tersebut berupa madu hutan
dan bekerja sama dengan Perusda setempat dalam memberdayakan masyarakat sebagai pengelola (karyawan) kawasan wisata dan izin usaha kios di tempat
wisata. Namun kegiatan tersebut belum cukup mendukung
jika tidak dilengkapi dengan pemahaman akan pentingnya pelestarian ekosistem dalam kawasan konservasi. Muntasib (2015) dalam Puspanti (2016) menyatakan bahwa tata kelola ekowisata berbasis satwa liar di Indonesia masih perlu dibenahi, karena belum ada
persepsi yang sama tentang ekowisata satwa liar, dan belum ada standar sarana
prasarana ataupun standar pengelolaan yang ada. Tata kelola ekowisata satwa liar secara kolaboratif adalah salah satu pendekatan pengelolaan yang
paling tepat, karena melibatkan sektor pemerintah (pusat dan daerah) dan non pemerintah yang mencakup pengelola ekowisata, industri pariwisata, masyarakat lokal, dan aktor pendukung seperti LSM, donor, pendidik, peneliti dan wisatawan dalam suatu usaha kolektif,
di mana masing-masing pihak saling
berkontribusi tanpa ada yang mendominasi dalam pengelolaannya.
Gambar 2. Usaha pemagaran oleh
penduduk.
Gambar
3. Pemukiman di Site Lejja.
Gambar 4. M. maura dari kelompok Panrengeketika memasuki pekarangan
Berdasarkan hasil wawancara
dominan responden mengharapkan keberadaan Macaca maura
yang dilindungi dalam kawasan tersebut tidak menimbulkan gangguan terhadap aktivitas mereka dalam mengelolah kebun dan persawahan mereka. Bahkan beberapa responden menyarankan untuk memindahkan kelompok Macaca maura Panrenge ke bagian
wilayah lain yang masih dalam
kawasan TWA Lejja sebab jumlahnya sudah sangat banyak. Menurut Alikodra dan Santoso
(1987) dalam Alikodra (2010),
menekankan pentingnya mempertimbangkan keadaan faktor fisik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat dalam menanggulangi gangguan satwaliar. Perubahan-perubahan pada lingkungan
kehidupan manusia baik kepentingannya, kebutuhannya maupun tujuannya akan berpengaruh terhadap upaya pelestarian ataupun pengelolaan satwaliar melalui sistem musyawarah diharapkan dapat disepakati keputusan-keputusan
yang bijaksana.
Pakan Macaca maura
Tabel
3 dan 4 menunjukkan hasil pengamatan pakan 3 kelompok Macaca maura pada Site Lejja dan diperoleh beragam jenis pakan yang dikonsumsi oleh satwa tersebut. Jenis pakan tersebut dilihat saat Kelompok
Dare sedang beraktivitas makan, ditemukannya jejak pakan yang ditinggalkan, hasil wawancara dari masyarakat yang bermukim dan yang
memiliki perkebunan di dekat kawasan konservasi
serta pengamatan beberapa dokumentasi yang diperoleh saat Kelompok Dare (Kelompok Panrenge) memasuki halaman rumah penduduk.
Tabel
3. Pakan Macaca
maura di hutan pada
Site Lejja
Keterangan : √ (ada saat pengamatan) ; − (tidak dijumpai saat pengamatan)
Tabel 4. Pakan Macaca maura hasil tanaman masyarakat
Keterangan : √ (Kelompok Macaca maura yang memasuki kebun/pekarangan); − (Kelompok Macaca maura yang tidak memasuki kebun/pekarangan)
Gambar 5. Perbandingan Jumlah Pakan Macaca maura pada
Site Lejja
Kelompok Dare Panrenge
memiliki jumlah pakan yang paling beragam dalam kawasan TWA Lejja dibanding 2 kelompok lainnya. Kelompok ini juga memperoleh akses untuk mencari alternatif
pakan saat memasuki pekarangan/lahan kebun penduduk
yang berdekatan dengan kawasan konservasi. Persentase jumlah individu dalam kelompok Panrenge sebanyak 53 % dapat menunjukkan kebutuhan pakan yang juga besar.
Kelompok Tonro
Tengae yang memiliki
habitat di dataran tinggi kawasan TWA Lejja yang jauh dengan pemukiman
penduduk. Pakan dalam kelompok ini tumbuh pada kondisi yang tersebar tidak merata, menjadi
tantangan bagi kelompok tersebut agar survive sebab dalam pergerakan
mencari makan (foraging)
kelompok ini berpindah dengan jarak yang tidak dekat. Struktur habitat, dalam hal substrat
yang tersedia, seperti pohon, bebatuan, dan lain-lain, serta distribusi dan kelimpahan sumber makanan cenderung mempengaruhi pola jelajah (penggunaan habitat secara horizontal) dan pemanfaatan
hutan melalui strata vertikalnya (Sagnotti, 2013). Pada pengamatan
kelompok Dare ini, hampir tidak ditemukan
jenis tanaman budidaya petani karena jaraknya yang tidak berdekatan dengan pemukiman atau pun lahan perkebunan masyarakat, sehingga kebutuhan pakan sepenuhnya bersumber dari wilayah yang dimanfaatkan sebagai home range
oleh kelompok Dare tersebut.
Beragam jenis
tumbuhan yang dikonsumsi kelompok Dare tersebut dapat menggambarkan sumber daya (pakan)
yang tersedia pada 3 wilayah kelompok
Macaca maura di TWA Lejja. Menurut Karyawati (2012) ketersediaan sumber makanan primata di alam berbeda-beda, tergantung dari tempat tinggalnya. Primata harus memilih
makanan sesuai dengan bahan makanan
yang tersedia. Kelompok
Dare di TWA Lejja selain pemakan buah juga sebagai pemakan daun (folivora) sebab ada beberapa
jenis tumbuhan yang dimanfaatkan Dare yaitu dengan mengkonsumsi bagian pucuk daun
muda yang dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4.
Dihadapkan pada variasi
kuantitas dan kualitas pangan pada keragaman spasial dan skala temporal, hewan harus menyesuaikan
pola makannya untuk memenuhi persyaratan nutrisinya (Sagnotti, 2013). Ketersediaan
temporal dan spasial buah matang dan daun muda dengan kualitas
tinggi sangat bervariasi (Chapman et al., 2012) dan dihadapkan
pada variasi ini, hewan harus bergerak
melintasi lanskap mereka dan menyesuaikan pola makan mereka.
Teori mencari makan yang optimal memprediksi bahwa individu harus secara istimewa
menggunakan area yang memiliki
efisiensi pencarian makan tertinggi (Albani et al., 2020). Saat
dihadapkan pada pilihan tipe habitat, biasanya primata lebih memilih
daerah di mana sumber makanan lebih melimpah
(Albani et al., 2020), karena
kelimpahan dan tinggi keanekaragaman spesies makanan kemungkinan dapat menjamin pemeliharaan dalam memilih makanan (Albani et al., 2020). Kelompok
Panrenge tentu dalam pergerakannya memanfaatkan peluang sumber pakan yang mudah diperoleh dan beragam sehingga dalam ukuran pemenuhan
pakan masih dapat memenuhi jumlah dalam kebutuhan
kelompoknya.
Gambar 6. Contoh Pakan M. maura.
Ancaman Habitat
Ditemukan suatu
kegiatan berupa perilaku yang keliru baik oleh pengunjung dan pengelola kawasan di dalam lokasi TWA Lejja yang dapat mempengaruhi kualitas habitat satwa yang ada pada kawasan tersebut. Lintasan area yang berada di sekitar kolam permandian
masuk dalam teritori kelompok Macaca maura Sallo Alle. Banyaknya sampah yang bertumpuk dapat merusak komposisi
tanah dan menghambat pertumbuhan berbagai species tumbuhan yang masih kecil.
Pemasangan poster anjuran
buang sampah dan beberapa tempat sampah yang diletakkan di berbagai sudut tempat wisata TWA Lejja tidak berfungsi
secara efektif. Penertiban pengolahan sampah di kawasan wisata tersebut belum pada tahap yang serius, misalnya program 3R (Reuse, Reduce, Recycle) yang tidak berjalan karena mengalami berbagai faktor kendala seperti koordinasi dan pendukung lainnya. Menurut Tobing (1999) dalam Basalamah et al.
(2010), penurunan kualitas
habitat dapat mempengaruhi stabilitas populasi dan perilaku satwa primata. Hal ini juga dikatakan oleh Salim (1986) dalam
Alikodra (2010) bahwa pada saat ini ancaman
terhadap kelestarian satwa liar masalahnya semakin kompleks karena adanya pencemaran,
yang sangat berbahaya bagi kelangsungan kehidupan. Aroma
yang tidak baik dari tumpukan sampah
tersebut berpotensi menimbulkan berbagai sumber parasit yang dapat mengancam kesehatan dari Macaca maura khususnya kelompok Sallo Alle.
Dari sudut
pandang pemanfaatan hutan, ada sejumlah
alasan untuk melindungi satwa liar. Banyak jenis yang mempengaruhi proses regenerasi hutan secara langsung yang diperlukan bagi keberlangsungan produksi kayu (Meijaard et al., 2006). Peran jenis
satwa liar tersebut antara lain adalah penyerbukan, penyebaran, dan pemangsaan biji (Meijaard et al., 2006). Menurut
Sary (2011) dalam Adnan
(2015), Kawasan konservasi memerlukan
pengelolaan dan kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan masyarakat lokal agar efektif. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi dengan masyarakat adalah sangat penting, mengingat keadaaan satwa liar semakin terdesak dengan adanya pengembangan
di bidang pengusahaan hutan, pertambangan, pertanian, perindustrian, perkebunan, peternakan dan semua kegiatan yang berkepentingan dengan pembukaan habitat satwa liar. Baik secara langsung
ataupun tidak langsung satwa liar termasuk sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomi. Oleh karena itu, ekowisata
umumnya dipandang sangat sesuai dengan tujuan
konservasi, dan memang memberikan sejumlah manfaat penting, termasuk peningkatan pendapatan, dukungan untuk konservasi, dan peluang pendidikan bagi pengunjung dan masyarakat lokal (Shannon et al., 2017). Walaupun
satwa liar termasuk ke dalam kelompok
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, pemanfaatannya harus memperhatikan aspek kelestarian, sehingga dapat menghindarkan terjadinya kepunahan (Alikodra, 2018).
Masyarakat sekitar
kawasan memiliki peranan penting untuk aktif dalam
kegiatan menjaga kawasan konservasi melalui aktivitas sehari-hari mereka. Namun, kesadaran belum sepenuhnya timbul dari sebagian
besar masyarakat di sekitar kawasan TWA Lejja. Sehingga kerusakan oleh faktor eksternal secara perlahan berdampak pada ketahanan sumber daya dukung yang tersedia di kawasan konservasi tersebut baik bagi kehidupan
manusia dan satwa liar
salah satunya spesies M.maura. Pertambahan penduduk akan semakin mengalami
potensi peningkatan di
wilayah beradanya kawasan konservasi TWA Lejja. Kebutuhan ruang untuk membangun pemukiman yang baru pun bertambah dan saling berdekatan, maka potensi fragmentasi habitat, perubahan dinamika hutan dan peningkatan konflik cenderung akan terjadi. Secara
perlahan jika tidak dilakukan penanganan pencegahan maka akan berdampak
pada penurunan ekosistem bahkan penyebaran penyakit.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Taman wisata alam Lejja
Soppeng diperoleh bagaimana populasi kelompok M.maura di Lejja
beradaptasi dengan berbagai habitat mulai dari hutan, kebun desa dan diantaranya yang memiliki keanekaragaman pakan tumbuhan;
Kelompok Panrenge yang populasinya meningkat, seperti
yang diperkirakan, memiliki akses yang dekat dengan makanan yang banyak dan
beragam di pemukiman dan perkebunan masyarakat. Sementara kelompok lain tampak
sesuai dengan kepadatan monyet liar yang diharapkan,pada
populasi monyet yang telah dipelajari. Kecelakaan perampokan tanaman telah
tercatat di beberapa kebun desa, tetapi pembunuhan kelompok kera ini sampai
saat ini tidak terdengar dari masyarakat yang diwawancarai. Tampaknya
pendapatan dari pariwisata menggantikan hilangnya hasil panen. Artinya,
pendapatan pariwisata dikompensasikan dengan
hilangnya hasil panen yang diserang oleh M.maura.
Albani, A., Cutini, M.,
Germani, L., Riley, E. P., Ngakan, P. O., & Carosi, M. (2020). Activity
budget, home range, and habitat use of moor macaques (Macaca maura) in the
karst forest of South Sulawesi, Indonesia. Primates, 61(5),
673–684. Google Scholar
Alikodra, H. S. (2018). Teknik Pengelolaan Satwaliar:
Dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. PT Penerbit
IPB Press. Google Scholar
Atmoko, T. (2017). Daya Tarik Dan Jenis-Jenis Satwa Primata
Di KHDTK Samboja. Balai Penelitian Dan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam.
Bismark, M. (2011). Prosedur Operasi Standar (SOP) untuk
Keragaman Jenis Pada Kawasan Konservasi. Bogor: Balitbang Kehutanan. Google Scholar
Chapman, C. A., Rothman, J. M., & Lambert, J. E. (2012).
Food as a selective force in primates. The Evolution of Primate Societies,
149–168. Google Scholar
Fairuztania, Z. Z., & Mustari, A. H. (2017).
Karakteristik habitat dan populasi monyet butung (Macaca ochreata) di Suaka
Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Jurnal Wasian, 4(2),
97–108. Google Scholar
Gunawan, M. S. I., Annawaty, A., & Fahri, F. (2018).
Distribusi kelompok Macaca hecki (Matschie, 1901) dan Macaca tonkeana (Meyer,
1899) di Hutan Lindung dan Cagar Alam Pangi Binangga Sulawesi Tengah. Natural
Science: Journal of Science and Technology, 7(2). Google Scholar
Kinantono, H., Budhi, S., & Ardian, H. (2018).
Keanekaragaman Jenis Primata di Seksi Wilayah II Semitau Taman Nasional Danau
Sentarum Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Hutan Lestari, 6(4). Google Scholar
Linkie, M., Dinata, Y., Nofrianto, A., & Leader‐Williams,
N. (2007). Patterns and perceptions of wildlife crop raiding in and around
Kerinci Seblat National Park, Sumatra. Animal Conservation, 10(1),
127–135. Google Scholar
Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B.,
Iskandar, D., Setyawati, T., Lammertink, M., Rachmatika, I., & Wong, A.
(2006). Hutan pasca pemanenan: melindungi satwa liar dalam kegiatan hutan
produksi di Kalimantan. CIFOR. Google Scholar
Musyaffa, M. E. F., & Santoso, N. (2020). Karakteristik
habitat dan pola aktivitas langur borneo (Presbytis chrysomelas cruciger) di
Taman Nasional Danau Sentarum. Jurnal Penelitian Hutan Dan Konservasi Alam,
17(2), 155–172. Google Scholar
Sagnotti, C. (2013). Diet preferences and habitat use in
relation to reproductive states in females of a wild group of Macaca maura
inhabiting Karaenta Forest, South Sulawesi. Universitas Hasanuddin. Google Scholar
Saroyo, S., Siahaan, P., Langoy, M., & Koneri, R. (2019).
Pendidikan Konservasi Satwa Endemik Sulawesi bagi Siswa Sekolah Dasar di
Kelurahan Batuputih Bawah, Kecamatan Ranowulu, Kota Bitung, Sulawesi Utara. VIVABIO:
Jurnal Pengabdian Multidisiplin. Google Scholar
Shannon, G., Larson, C. L., Reed, S. E., Crooks, K. R., &
Angeloni, L. M. (2017). Ecological consequences of ecotourism for wildlife
populations and communities. In Ecotourism’s promise and peril (pp.
29–46). Springer. Google Scholar
Sugiono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. CV.
Alfabeta : Bandung. Google Scholar
Supriatna, J., Leo, S., Anugra, B. G., Dwiyahreni, A. A.,
Winarni, N. L., & Margules, C. (2020). Lessons learned from training
students to conduct primate surveys. Primate Conserv, 34,
217–225. Google Scholar
Supriatna, J., Shekelle, M., Fuad, H. A. H., Winarni, N. L.,
Dwiyahreni, A. A., Farid, M., Mariati, S., Margules, C., Prakoso, B., &
Zakaria, Z. (2020). Deforestation on the Indonesian island of Sulawesi and the
loss of primate habitat. Global Ecology and Conservation, 24,
e01205. Google Scholar
Utami, R. (2016). Penjarahan tanaman oleh hewan Primata di
Bungus dan Teluk Kabung. Padang, Sumatera Barat, 2, 49–54. Google Scholar
Zak, A. A. (2016). Mischevious monkeys: Ecologogical and
ethnographic components of crop raiding by moor macaques (Macaca maura) in
South Sulawesi, Indonesia. San Diego State University. Google Scholar
Copyright holder: Horti Alam,
Slamet Santosa, Jatna Supriatna (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed under: |