Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398
Vol. 7, No. 10, Oktober 2022
Clara
Sahasti Astuti
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Pembangunan infrastruktur
di Indonesia yang masuk dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) yang telah ditetapkan pemerintah sebelumnya
untuk pengembangan investasi dan peluang usaha di Indonesia. Berkaitan dengan rencana pembangunan tersebut, Pemerintah Indonesia membutuhkan
pembiayaan seluas-luasnya dengan membuka investasi seluas-luasnya kepada badan usahha baik asing maupun
badan usaha dalam negeri. Tujuan
dari menelitian ini mengetahui tanggung jawab hukum para pihak pada kerjasama antara badan usaha baik perusahaan
dalam negeri maupun luar negeri untuk investasi dengan mengadakan perjanjian dalam pola kerjasama
antara pemerinah dengan badan usaha/Public Private Partnership (PPP), serta
memaparkan mengenai implementasi kerjasama dengan pola PPP serta menjabarkan lebih lanjut mengenai
implikasi dari investasi dari badan usaha terkait pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Penulis
menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dan
juga studi pustaka. Model kerjasama antara badan usaha untuk berinvestasi
dengan pemerintah melalui KPS atau KPBU adalah BOT, dimana badan usaha yang memenangkan tender atas pelelangan proyek dari pemerintah,
dengan pertimbangan nilai investasi yang disetor dan perhitungan masa konsesi, maka badan usaha tersebut akan melaksanakan Build yakni melakukan proses pembangunan hingga selesai sesuai dengan jadwal target yang telah disepakati bersama dengan Pemerintah. Peran pemerintah selama masa build
dan operate, untuk
meminimalisir risiko Pemerintah ketika jadwal mundur maka
akan berimplikasi pada nilai investasi yang akan melebihi target, sehingga pemerintah akan rawan untuk
menambah anggaran proyek.
Kata Kunci: infrastruktur; pemerintah; badan usaha, investasi; public
private partnership
Abstract
Infrastructure development in Indonesia is included in the Medium Term Development Plan (RPJMN) that has been set by
the previous government for the development of investment and business
opportunities in Indonesia. In connection with the development plan, the
Government of Indonesia requires the widest possible financing by opening the
widest possible investment to business entities, both foreign and domestic. The
purpose of this research is to find out the legal responsibilities of the
parties in cooperation between business entities, both domestic and foreign
companies for investment by entering into agreements in the pattern of
cooperation between the government and business entities/Public Private
Partnership (PPP), as well as explaining the implementation of cooperation with
the pattern. PPP and elaborate further on the implications of investment from
business entities related to infrastructure development in Indonesia. The
author uses juridical-normative research methods and also
literature studies. The model of cooperation between business entities to
invest with the government through PPP or PPP is BOT, where the business entity
that wins the tender for the project auction from the government, taking into account the value of the investment paid up and
the calculation of the concession period, the business entity will carry out
Build, namely carrying out the development process. until it is completed according
to the target schedule that has been agreed with the Government. The role of
the government during the build and operate period is to minimize the
government's risk when the schedule is delayed, it will have implications for
the investment value that will exceed the target, so that the government will
be prone to increasing the project budget.
Keywords: infrastructure; government; private; investment; public private
partnership
Pendahuluan
Hingga saat ini
tahun 2022, Presiden Negara Republik Indonesia, Joko Widodo masih melanjutkan
proyek pembangunan infrastruktur, salah satunya yakni pembangunan jalan tol
untuk mendorong kemudahan pengangkutan barang/produk untuk membantu percepatan
distribusi dan membangun percepatan perekonomian di Indonesia. Melalui
Peraturan Presiden tahun 2019, telah ditetapkan fokus pemerintah untuk
membangun 54 jalan tol yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Berdasarkan informasi dari Kementerian Keuangan,
diketahui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk proyek pembangunan
infrastruktur tahun 2020 adalah sebesar 423,3 Triliun yang dibagi kebeberapa
sasaran target salah satunya adalah pembangunan konektivitas yakni jalan
sepanjang 486 km
(Keuangan,
2020).
Adapun dalam
melaksanakan pembangunan infrastruktur tersebut, pemerintah sadar bahwa tidak
dapat terus mengandalkan dana dari APBN saja. Mengantisipasi hal tersebut,
Indonesia membuka investasi seluas-luasnya bagi badan usaha baik asing maupun
dalam negeri untuk bekerjasama dengan pemerintah dalam pengerjaan proyek
tersebut. Pembiayaan investasi tersebut digunakan untuk mempercepat pembangunan
infrastruktur di Indonesia. Kerjasama atas pembiayaan investasi dan pengerjaan
proyek pembangunan infrastruktur tersebut disebut dengan pola public private
partnership, yakni kerjasama antara pemerintah dengan badan usaha. Kerjasama
pemerintah dengan badan usaha sebenarnya telah dikenal sejak masa Orde Baru
seperti pada jalan tol dan ketenagalistrikan, namun mulai dikembangkan tahun
1998 pasca krisis moneter (Kristiana
& Sunandar, 2020).
Mekanisme yang
dapat ditempuh untuk pengerjaan proyek yang mengandung nilai investasi tersebut
yakni dimulai dari proses tender yang diadakan oleh pemerintah, pembentukan
konsorsium bagi peserta tender atau pelaksanaan tender yang diikuti oleh badan
usaha, hingga penandatanganan perjanjian kerjasama (PKS) dengan skema PPP,
hingga pelaksanaan pekerjaan dan serah terima hasil pekerjaan dari badan usaha
kepada pemerintah. Proses pelaksanaan pengerjaan pembangunan infrastruktur tersebut
tentunya tidak lepas dari berbagai kendala yang dialami oleh badan usaha (Orocomna,
2017),
kemudian akan ditemukan beberapa kendala mengenai pembagian resiko antara para
pihak, dan bagaimana implikasi dari pelaksanaan PKS PPP tersebut bagi
perekonomian dan investasi dari badan usaha kepada Pemerintah Indonesia.
Untuk itu
penulis akan mencoba untuk membahas mengenai tanggung jawab
hukum para pihak pada kerjasama antara badan usaha baik perusahaan dalam negeri
maupun luar negeri untuk investasi dengan mengadakan perjanjian dalam pola
kerjasama antara pemerinah dengan badan usaha/Public Private Partnership
(PPP). Penulis juga akan memaparkan mengenai implementasi kerjasama dengan pola
PPP serta menjabarkan lebih lanjut mengenai implikasi dari investasi dari badan
usaha terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode
penelitian yuridis-normatif
dan juga studi pustaka. Metode penelitian yuridis-normatif merupakan suatu metode penelitian dalam bidang ilmu
hukum yang dalam pengertiannya adalah meneliti kaidah-kaidah atau norma-norma hukum yang berlaku (Tan,
2021). Penelitian terhadap hukum normatif merupakan jenis penelitian yang lazim digunakan dalam kegiatan pengembanan ilmu hukum, yang biasa disebut dogmatika hukum.
Mengenai metode
penelitian dengan studi pustaka Menurut
(Marzuki,
2016) adalah
suatu teknik penelitian dengan cara melakukan pengumpulan data-data dan informasi
yang berkaitan dengan suatu topik tertentu
dan melakukan perbandingan terhadap buku dan atau literatur yang masih memiliki hubungan keterkaitan dengan topik permasalahan
yang akan dipecahkan. Berkaitan dengan jenis data, dalam penelitian ini sebagian besar menggunakan jenis data sekunder. Jenis data sekunder berasal dari peraturan
perundang-undangan dan buku-buku
hukum yang berkaitan dengan permasalahan mengenai penyediaan infrastruktur, model kerjasama pemerintah dan tanggung jawab pihak dalam
pengadaan tender proyek sampai dengan kewajiban
ketika masa konsesi berakhir, peraturan mengenai penanaman modal, hingga pelaksanaan proyek strategis nasional.
Hasil dan Pembahasan
1.
Model Kerjasama pemerintah dengan badan usaha/Public
Private Partnership (PPP) dalam Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
PPP
merupakan kerjasama antara pihak pemerintah dengan badan usaha/perusahaan
swasta untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan mekanisme pembiayaan alternatif dalam
pengadaan pelayanan publik yang telah digunakan
secara luas di beberapa negara maju (Gunawan,
2018). Di indonesia, pengaturan mengenai PPP dibentuk
kedalam regulasi yakni berupa peraturan presiden tentang kerjasama pemerintah
dengan badan usaha, yang didalamnya mengatur mengenai proyek kerjasama dengan
pola ppp dengan sebutan kerjasama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) untuk
pembangunan infrastruktur.
Kerjasama
pemerintah dengan badan usaha atau disingkat KPBU diatur dalam Pasal 1 ayat (6)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang kerjasama pemerintah
dengan badan usaha dalam penyediaan Infrastruktur (Perpres 38/2015) yang
menyatakan bahwa:
“KPBU
adalah kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur untuk kepentingan umum dengan mengacu pada spesifikasi yang telah
ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Badan usaha
Milik Negara/Badan usaha Milik Daerah, yang sebagian atau seluruhnya
menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko diantara
para pihak.”
Kerjasama
PPP ditunjukkan dengan adanya penandatanganan kontrak atau perjanjian antara pemerintah
dengan badan usaha yang didalamnya mengandung nilai investasi proyek (yakni
total pengerjaan proyek pembangunan jalan yang akan dikerjakan), pembagian
resiko para pihak, hak dan kewajiban para pihak, penyelesaian sengketa, serta
pengaturan mengenai masa konsesi jalan tol, serta mekanisme serah terima proyek
jalan tol tersebut dari badan usaha kepada pemerintah.
Segala
pengaturan dalam kontrak perjanjian dengan pola PPP tersebut harus disebutkan
secara jelas dan rinci dan wajib untuk dilaksanakan para pihak. Judul kontrak
yang biasa digunakan pun mengandung kata-kata seperti Kerjasama Pemerintah-Swasta
(KPS), karena melibatkan sektor badan usaha yakni perusahaan swasta.
Pasal 3
huruf c Perpres 38/2015 menyebutkan bahwa KPBU atau KPS atau PPP dilakukan
dengan tujuan untuk menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan badan
usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasarkan prinsip usaha secara sehat.
Pasal 3 huruf a Perpres 38/2015 juga menyebutkan bahwa tujuan PPP adalah untuk
mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam Penyediaan
Infrastruktur melalui pengerahan dana swasta. Sehingga dapat memunculkan
ketersediaan dana berupa investasi dari pihak swasta terhadap pemerintah untuk
pembangunan infrastruktur.
KPBU
dengan pola PPP dilaksanakan dengan model kemitraan dimana para pihak yakni badan
usaha dan pemerintah menjalankan kerjasama dengan memperhatikan kebutuhan kedua
belah pihak. Pemerintah yang membutuhkan dana berupa investasi untuk mencapai
goals-nya yakni percepatan pembangunan infrastruktur, dan badan usaha yakni
perusahaan swasta yang mendapat manfaat ekonomi dari investasi yang
dilakukannya, jika dalam pembangunan jalan tol maka keuntungan dari investasi
bisa didapat dari masa konsesi selama beberapa tahun hingga puluhan tahun
sebelum dialihkan kepada pemerintah. Keduanya dijalankan dengan prinsip saling
membutuhkan dan saling menguntukan para pihak.
Pasal 13
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur bahwa untuk
mengembangkan usaha jasa konstruksi diperlukan dukungan dari mitra usaha
berupa:
a. perluasan
dan peningkatan akses terhadap sumber pendanaan, serta kemudahan persyaratan
dalam pendanaan
b. pengembangan
jenis usaha pertanggungan untuk mengatasi risiko yang timbul dan tanggung jawab
hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau akibat dari
kegagalan bangunan.
Pendanaan
berupa modal untuk investasi dan modal kerja dapat diperoleh melalui lembaga
keuangan yang terdiri dari bank atau bukan bank sebagai mitra usaha (Sari,
2016). Untuk
mengatasi resiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dapat
ditempuh melalui pertanggungan dengan mitra usaha antara lain: Jaminan
penawaran, jaminan pe1aksanaan, jaminan uang muka, jaminan sosial tenaga kerja,
construction all risk insurance, professional liability insurance,
professional indenmity insurance.
Untuk
pembangunan infrastruktur, model kerjasama yang sering digunakan adalah model Build
Operate Transfer dimana kerjasama ini mengandung para pihak yang terdiri
dari pemerintah dan juga perusahaan penyedia jasa, yakni kontraktor yang juga
merupakan investor badan usaha. Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman
modal menjelaskan bahwa perjanjian investasi antara pemerintah dengan badan
usaha berupa penanaman modal jika terjadi perselisihan maka pemerintah tetap
dapat digugat. Kebijakan pemerintah untuk menentukan model kontrak kerjasama
apa yang akan digunakan untuk bekerjasama dengan badan usaha juga merupakan
suatu hak yang dimiliki oleh pemerintah. Kemudian hak badan usaha (swasta)
untuk menggugat pemerintah juga dapat dilakukan dalam rangka pemenuhan
kerjasama investasi antar para pihak.
BOT merupakan
model kontrak yang melibatkan dua pihak yakni pengguna jasa yang pada umumnya
adalah pemerintah dengan penyedia jasa. Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2017 tentang jasa konstruksi menyebutkan definisi penyedia jasa adalah orang
atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi (badan
usaha), Pasal 1 ayat (3) juga menyebutkan bahwa pengguna jasa orang atau badan
sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjan/proyek yang memerlukan layanan jasa
konstruksi (pemerintah) (Undang-Undang, 2017).
Jika
dibedah dari istilah BOT (Build Operate Transfer), Build
diartikan sebagai kegiatan investor (badan usaha) untuk membangun fasilitas
sebagaimana dikehendaki sesuai dengan yang diatur dalam perjanjian. Kemudian operate
diartikan sebagai kegiatan untuk mengoperasikan hasil build sesuai
dengan jangka waktu tertentu (disebut dengan masa konsesi jika dikaitkan dengan
pembangunan jalan tol). Sedangkan transfer diartikan sebagai pengalihan atau
pengembalian atas fasilitas yang sudah di bangun dan di operasikan tadi, dalam
hal ini pengembalian jalan tol dan pengoperasiannya menjadi milik pemerintah setelah
lewat kurun waktu tertentu/masa konsesi habis. Sehingga keseluruhan proses tadi
disebut dengan kontrak BOT (Build Operate Transfer) (Adha,
2017).
Pada
proses Operate, proyek (dalam hal ini jalan tol) dimanfaatkan oleh pihak badan
usaha dalam rangka pemanfaatan investasi dari badan usaha. Pada Pada Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
(PP 6/2006) disebutkan mekanisme transfer atas kelanjutan dari proses Operate
yakni sebagai berikut:
Pasal 1
ayat (12):
“Bangun
guna serah adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka
waktu tertentu yang telah disepakati, untuk selanjutnya diserahkan kembali
tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya
jangka waktu.”
Pasal 1
ayat (13):
“Bangun
serah guna adalah pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk didayagunakan
oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.”
2. Tanggungjawab
Para Pihak dalam Implementasi Model Kerjasama PPP
Perjanjian
kerjasama adalah kesepakatan tertulis dalam rangka penyediaan infrastruktur dan
bidang lainnya antara instansi pemberi kontrak dengan badan usaha. Berdasarkan peraturan pemerintah Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang investasi pemerintah, Pasal 1 ayat (15)
juga menyebutkan bahwa perjanjian Investasi adalah kesepakatan tertulis dalam
rangka penyediaan dana investasi antara badan investasi pemerintah dengan badan
usaha, BLU, Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, BLUD, dan/atau badan hukum
asing.
Proyek
pembangunan infrastruktur merupakan investasi langsung dari Pemerintah. Dalam
perkembangan investasi di Indonesia, dikenal badan investasi pemerintah yang
merupakan unit pelaksana investasi sebagai satuan kerja yang mempunyai tugas
dan tanggung jawab pelaksanaan Investasi pemerintah atau badan hukum yang
lingkup kegiatannya di bidang pelaksanaan investasi pemerintah, berdasarkan
kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Investasi langsung dimaksudkan untuk
diinvestasikan kembali dalam rangka meningkatkan fasilitas infrastruktur dan
bidang lainnya guna memacu roda perekonomian masyarakat.
Dalam
hal pemerintah mengadakan kerjasama KPS dengan pola PPP dengan badan usaha,
maka badan investasi pemerintah dapat memberikan dukungan finansial dan/atau
dukungan lainnya sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Investasi Pemerintah (PP 1/2008).
Pemberian dukungan finansial tersebut harus dilakukan melalui skema pembagian risiko
yang harus ditanggung oleh Badan Investasi Pemerintah dan Badan usaha sesuai
Pasal 27 ayat (2) PP 1/2008.
Pengaturan
dalam perjanjian KPS yang mengandung unsur-unsur dari model kerjasama
pembangunan infrastruktur dengan pola PPP dengan kontrak Build Operate
Transfer (BOT), diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Perpres 38/2015 yang
menyebutkan bahwa dalam perjanjian KPS diatur:
a. tujuan
pemanfaatan aset dan larangan untuk memanfaatkan aset untuk tujuan selain yang
telah disepakati;
b. tanggung
jawab pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk pembayaran pajak dan kewajiban
lain yang timbul akibat pemanfaatan aset;
c. hak dan
kewajiban pihak yang menguasai aset untuk mengawasi dan memelihara kinerja aset
selama digunakan;
d. larangan
bagi badan usaha pelaksana untuk mengagunkan aset sebagai jaminan kepada pihak
ketiga;
e. tata
cara penyerahan dan/atau pengembalian aset;
f. hal-hal
lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tahap
yang dilalui dalam Transaksi KPBU terdiri dari kegiatan-kegiatan seperti pengadaan badan
usaha pelaksana yang akan dilewati melalui proses pelelangan proyek oleh pemerintah
dan diikuti oleh badan usaha sebagai peserta tender proyek pembangunan, penandatangan
perjanjian KPS antara pemerintah dengan badan usaha serta
pemenuhan pembiayaan infrastruktur oleh badan usaha yang dinyatakan sebagai
pemenang tender dan akan melaksanakan kegiatan pembangunan proyek dan
menginvestasikan dalam kegiatan operate.
Tahap
transaksi pelaksanaan perjanjian KPS tercantum dalam Pasal 31 Peraturan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang tata cara pelaksanaan kerjasama pemerintah
dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur, dan terdiri dari 5 tahap
sebagai berikut:
a. Penjajakan
minat pasar (market sounding);
b. Penetapan lokasi KPS;
c. Pengadaan badan
usaha pelaksana yang mencakup persiapan dan pelaksanaan pengadaan badan usaha pelaksana;
d. Penandatanganan
perjanjian KPS yang dilaksanakan oleh pemenang lelang; dan
e. Pemenuhan
pembiayaan (financial close).
Pemenuhan
pembiayaan yang bersumber dari pinjaman dinyatakan telah terlaksana apabila
telah ditandatanganinya perjanjian pinjaman untuk membiayai seluruh KPS dan
sebagian pinjaman telah dapat dicairkan untuk memulai pekerjaan konstruksi.
Perjanjian KPS juga perlu mencantumkan dengan jelas status kepemilikan aset
yang diadakan selama jangka waktu perjanjian (berdasarkan Pasal 23 Perpres
13/2010) berkaitan dengan pelaksanaan transfer dari badan usaha kepada Pemerintah
setelah berakhirnya masa konsesi.
Pasal 11
ayat (1) Perpres 38 Tahun 2015 mengatur bahwa penanggung jawab proyek kerjasama
yang merupakan pihak dari pemerintah akan menetapkan bentuk pengembalian
investasi yang meliputi penutupan biaya modal, biaya operasional dan keuntungan
badan usaha pelaksana (Sitanggang
et al., 2017). Badan
usaha pelaksana yakni badan usaha yang melaksanakan pembangunan infrastruktur.
Selain itu, dalam Pasal 11 ayat (2) Perpres 28 Tahun 2015 menyebutkan bahwa
pengembalian investasi kepada badan usaha tersebut nantinya akan diganti dalam
bentuk tarif atas penyediaan infrastruktur, dan keuntungan dalam kurun waktu tertentu
atas penyediaan pembangunan infrastruktur. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1)
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 67 Tahun 2005 tentang kerjasama pemerintah
dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur (Perpres 67/2005),
menyebutkan bahwa:
“Tarif
awal dan penyesuaiannya secara berkala ditetapkan untuk memastikan tingkat
pengembalian investasi yang meliputi penutupan biaya modal, biaya operasional
dan keuntungan yang wajar dalam kurun waktu tertentu.”
Atas
tarif awal dan penyesuaian tersebut dan memperhatikan tingkat kemampuan
pengguna (oleh pemerintah), maka sesuai dengan tahap pelaksanaan kerjasama
dengan pola PPP, pemerintah akan memberikan kompensasi atas investasi dengan
keuntungan yang wajar kepada badan usaha dengan mempertimbangkan penawaran
dengan besaran kompensasi terendah pada saat proses pelelangan proyek sebelum
menandatangani kontrak KPS antara pemerintah dengan badan usaha. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 15 ayat (4) Perpres 67/2005:
“Besaran
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), didasarkan pada perolehan hasil
kompetisi antar peserta lelang dan dipilih berdasarkan penawaran besaran
kompensasi terendah.”
Ketentuan
mengenai nilai investasi juga perlu untuk dicantumkan dalam perjanjian KPS. Hal
ini diatur dalam Pasal 32 ayat (2) Perpres 38/2015 yang mensyaratkan bahwa perjanjian
KPBU/KPS paling kurang memuat ketentuan mengenai salah satunya jaminan
pelaksanaan. Kemudian dalam Pasal 32 ayat (3) Perpres 38/2015 tersebut juga
mengatur bahwa besaran jaminan pelaksanaan setinggi-tingginya ada 5 % dari
nilai investasi KPBU.
Melalui
Perjanjian KPS selain berisi nilai angka investasi kerjasama pemerintah dengan badan
usaha, Pasal 32 ayat (1) Perpres 38/2015 juga mengatur klausul-klausul
perjanjian yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak termasuk
pengaturan mengenai alokasi risiko, yakni kerja sama Penyediaan Infrastruktur
dilakukan dengan penilaian risiko, pengembangan strategi pengelolaan, dan
mitigasi terhadap risiko (Kurniawan,
2018).
Untuk
proyek pembangunan KPS pembangunan infrastruktur, pemerintah sudah menerapkan land
fund, yakni pemberian insentif fiskal yakni dengan skema pembiayaan berupa
pinjaman kepada swasta untuk pembelian lahan infrastruktur dengan tujuan
mengurangi risiko peningkatan harga atas isu-isu pembangunan dan aksi makelar
yang melebihi dari perhitungan kontrak/perjanjian. Dalam perjanjian, jika semakin berkurangnya
partisipasi pemerintah maka akan semakin besar potensi risiko yang akan
ditanggung oleh badan usaha, dan sebaliknya.
Pada
perjanjian investasi pembangunan dan pengelolaan proyek infrastruktur dengan skema BOT, semakin sedikit peran pemerintah
dalam proyek pembangunan, maka akan semakin banyak beban badan usaha, misalnya
dalam hal pembebasan lahan. Maka dalam perjanjian KPS antara pemerintah dengan badan
usaha, perlu dirincikan secara jelas aturan mengenai beban pekerjaan sesuai
dengan nilai investasi yang ditanggung oleh badan usaha dan peran pemerintah untuk
melancarkan pembebasan lahan agar pada tahap build, tidak menghambat
proses pembangunan infrastruktur yang dikerjakan oleh badan usaha.
Kemudian
pada tahap operate, badan usaha akan lebih banyak menanggung resiko pada
pengelolaan selama masa konsesi, karena itu masih menjadi tanggung jawab badan usaha
sebelum pengelolaan dialihkan kepada pemerintah setelah masa konsesi habis. Badan
usaha perlu untuk mempertimbangkan investasi terhadap proyek ini sebaik-baiknya
sesuai dengan besaran investasi yang dikeluarkan oleh badan usaha. Kemudian
beban tanggungannya masih menjadi tanggung jawab dari badan usaha pada tahap operate
atau pemeliharaan infrastruktur ini.
Pasal 17
ayat (1) Perpres 38/2015 menyebutkan bahwa pemerintah dapat memberikan Jaminan Pemerintah
terhadap KPBU (atau KPS) dan ayat (2) menyebutkan dapat diberikan dalam bentuk
penjaminan infrastruktur dan diberikan dengan prinsip pengelolaan dan
pengendalian risiko keuangan dalam APBN. Pasal 1 ayat (14) Perpres 38/2015
menyebutkan bahwa:
“Jaminan
pemerintah adalah kompensasi finansial yang diberikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan dan kekayaan negara kepada
badan usaha Pelaksana melalui skema pembagian risiko untuk Proyek Kerja Sama”.
Kesimpulan
Model kerjasama
antara badan usaha untuk berinvestasi dengan pemerintah melalui KPS atau KPBU
adalah BOT, dimana badan usaha yang memenangkan tender atas pelelangan proyek
dari pemerintah, dengan pertimbangan nilai investasi yang disetor dan
perhitungan masa konsesi, maka badan usaha tersebut akan melaksanakan Build
yakni melakukan proses pembangunan hingga selesai sesuai dengan jadwal target
yang telah disepakati bersama dengan Pemerintah. Dengan memperhatikan manajemen
investasi dan masa konsesi, perhitungan dan pengelolaan mitigasi risiko antara
para pihak. Peran pemerintah selama masa build dan operate, untuk
meminimalisir risiko Pemerintah ketika jadwal mundur maka akan berimplikasi
pada nilai investasi yang akan melebihi target, sehingga pemerintah akan rawan
untuk menambah anggaran proyek. Pemerintah dan badan usaha juga harus memperhatikan
isi perjanjian investasi dalam perjanjian kerjasama tersebut sesuai dengan
peraturan/regulasi terkait KPBU dan jasa konstruksi yakni Perpres 38/2015, PP
67-2015 dan peraturan pelaksanaan lainnya. Pemerintah juga berperan untuk
membantu swasta dalam pelaksanaan proyek, terkait pelepasan lahan, investasi
modal untuk proyek dan penyesuaian jadwal dan nilai investasi ke dalam
perjanjian KPS.
Adha, L. H. (2017). Kontrak Bot
sebagai Perjanjian Kebijakan (Beleidovereenkomst). Law Reform, 4(2),
1–18.
Gunawan, N.
P. S. (2018). Kemitraan Pemerintah Daerah Dengan Swasta Dalam Pelaksanaan
Program Corporate Social Responsibility (Csr)(Studi Pada Kemitraan Pemerintah
Kecamatan Gresik Dengan Pt Petrokimia Gresik). Universitas Brawijaya.
Keuangan,
K. (2020). Kebijakan Extraordinary APBN Untuk Membantu Masyarakat Serta
Dunia Usaha Pulih dan Bangkit. Pers: APBN 2020.
Kristiana,
R., & Sunandar, A. (2020). Identifikasi Risiko Fase Operasional Dan
Pemeliharaan Proyek Stadion Equestrian, Jakarta Berbasis Pendekatan Public Private
Partnership. Fondasi: Jurnal Teknik Sipil, 9(2), 127–137.
Kurniawan,
W. (2018). Standar Formal Dan Substantif Dalam Mengelola Risiko Pada Kerjasama
Pemerintah Swasta. Jurnal Hukum & Pasar Modal, 8(15), 68–78.
Marzuki, P.
M. (2016). Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan Ke-12. Jakarta: Kencana.
Orocomna,
E. (2017). Implementasi Pembangunan Infrastruktur Transportasi Udara Di Distrik
Moskona Utara Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat. Jurnal
Renaissance, 2(2), 209–223.
Sari, N.
(2016). Manajemen Dana Bank Syariah. Jurnal Ilmu Syariah: Al-Maslahah, 12(1),
45–61.
Sitanggang,
P. A., Santoso, B., & Njatrijani, R. (2017). Pelaksanaan Kontrak Kerjasama
dengan Sistem Bangun Guna Serah/Build Operate Transfer (Bot) dalam Pembangunan
Infrastruktur Jalan Tol Medan–Kualanamu–Tebing Tinggi. Diponegoro Law
Journal, 6(2), 1–16.
Tan, D.
(2021). Metode Penelitian Hukum: Mengupas Dan Mengulas Metodologi Dalam
Menyelenggarakan Penelitian Hukum. Nusantara: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial,
8(8), 2463–2478.
Undang-Undang.
(2017). Undang-Undang Pasal 1 ayat (4) Nomor 12 Tahun 2017 tentang Jasa
Konstruksi.
Copyright holder: Clara Sahasti Astuti (2022) |
First publication right: Syntax Literate: Jurnal Ilmiah
Indonesia |
This article is licensed
under: |