Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia p–ISSN: 2541-0849 e-ISSN: 2548-1398

Vol. 7, No. 10, Oktober 2022

 

POLEMIK POKOK PIKIRAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

 

Federico Timotius Tan

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Email: [email protected]

 

Abstrak

Secara umum, lembaga perwakilan baik di tingkat pusat maupun daerah memiliki tugas yang kurang lebih sama, seperti pembentukan peraturan, melakukan pengawasan dan hak anggaran. Namun, pada poin hak anggaran, DPRD memiliki kewenangan lebih lewat adanya mekanisme pokok pikiran, yang mengijinkan DPRD untuk mengusulkan kegiatan secara spesifik untuk diakomodasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Praktik ini berbeda jauh dari DPR yang pasca putusan MK Nomor 35/PUU-XI/2013, memosisikan hak budget sebatas menerima dan menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Dengan adanya mekanisme pokok pikiran, dikhawatirkan DPRD memiliki hak budget yang melampaui apa yang dicita-citakan. Kekuasaan keuangan yang berlebihan ini dapat terlihat dari banyaknya kasus korupsi yang melibatkan dana pokok pikiran DPRD. Hasil penelitian menemukan bahwa hak pokir yang dimiliki oleh DPRD adalah paradoks dari perkembangan teori perwakilan dan juga peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di satu sisi, pokir legal karena DPRD merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, karenanya bisa ikut membahas satuan tiga APBD. Di sisi lain, tafsir MK pada praktik yang sama untuk DPR RI berkata lain, karena tidak sesuai dengan semangat pemisahan kekuasaan.

 

Kata Kunci:   Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Anggaran; Pokok Pikiran; Keuangan Daerah

 

Abstract                            

In general, representative institutions at both the central and regional levels have more or less the same tasks, such as formulating regulations, conducting oversight and budgeting rights. However, at the point of budget rights, DPRD has more authority through the existence of a main idea mechanism, which allows DPRD to propose specific activities to be accommodated in the Regional Revenue and Expenditure Budget (APBD). This practice is very different from the DPR, which, after the Constitutional Court's decision Number 35/PUU-XI/2013, positioned the budgetary right to accept and reject the RAPBN proposed by the government. With the mechanism of the main idea, it is feared that the DPRD has the right to a budget that exceeds what it aspires to. This excessive financial power can be seen from the many cases of corruption involving the main funds of the DPRD. The results of the study found that the right of thought owned by the DPRD is a paradox of the development of the theory of representation as well as the applicable laws and regulations. On the one hand, thinking is legal because DPRD is part of the administration of regional government, so it can participate in discussing the three APBD units. On the other hand, the MK's interpretation of the same practice for the DPR RI says differently, because it is not in accordance with the spirit of separation of powers.

 

Keywords: Regional House of Representatives; Budget; Main Thoughts; Regional Finance

 

Pendahuluan

Salah satu ciri dari negara modern yang menganut demokrasi adalah adanya lembaga perwakilan. Di Indonesia, hal ini bisa terlihat melalui lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaran Rakyat di tingkat pusat. Sedangkan di daerah, ada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Baik di pusat maupun daerah, fungsi dari lembaga perwakilan ini kurang lebih sama, seperti fungsi pembentukan peraturan, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Satu hal unik yang membedakan antara lembaga perwakilan di tingkat pusat dan daerah, adalah adanya pokok pikiran (pokir) bagi DPRD.

Istilah ini tidak terdapat dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, melainkan baru digunakan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota. Di dalam Pasal 54 huruf a, PP 20/2018 memberikan kewenangan kepada Badan Anggaran untuk bisa memberikan saran dan pendapat berupa pokok pikiran kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan APBD, sebelum rencana kerja pemerintah ditetapkan. Istilah pokir juga bisa ditemukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 (Republik Indonesia, 2003) yang memberikan mekanisme penelaahan pokir dan menjelaskan dasar pokir yakni reses atau aspirasi masyarakat.

Secara kasat mata tidak ada yang bermasalah dengan hak pokir yang dimiliki oleh DPRD. Namun, jika kita melihat pemberitaan yang ada mengenai penggunaan hak pokir, praktiknya banyak dihinggapi dengan korupsi. Di Kota Malang misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil membongkar korupsi massal yang dilakukan oleh 41 anggota DPRD Kota Malang. Terjadi permintaan ‘uang pokir’ oleh Arief Wicaksono, Ketua DPRD Kota Malang sebesar Rp700.000.000 untuk anggota-anggota DPRD Kota Malang, demi kelancaran pembahasan raperda APBD perubahan 2015 (Aminudin, 2015).

  Ada pula kasus korupsi yang melibatkan Ketua dan tiga Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Barat. Menurut penuturan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat, modus yang digunakan adalah memasukkan proyek melalui mekanisme pokok pikiran agar terlihat seolah-olah aspirasi masyarakat (CNN Indonesia, 2022). 

Kasus monumental yang melibatkan penggunaan hak pokir DPRD adalah di DKI Jakarta pada tahun 2015 Gubernur DKI Jakarta pada sat itu menemukan adanya anggaran siluman dalam bentuk pokir dari tahun 2012 hingga 2015 yang mencapai Rp40 triliun. Gubernur mempermasalahkan pengajuan pokir di luar tahapan musyawarah perencanaan pembangunan, sehingga patut dicurigai kebenaran pokir tersebut, apakah betul merupakan aspirasi rakyat atautitipanbelaka (Ramdani, n.d.). Kasus ini menciptakan keributan besar antara Gubernur dan DPRD Provinsi DKI Jakarta, dari pengguliran hak angket hingga akhirnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak lagi mengakomodir anggaran pokir sampai hari ini.

Sebetulnya masih ada banyak kasus-kasus korupsi yang melibatkan hak pokir. Perdebatan mengenai hak ini juga banyak terjadi baik yang pro maupun kontra. Komentar pro pernah dilontarkan oleh Reydonnyzar Moenek, yang pada tahun 2015 menjabat sebagai Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Ia berpendapatan bahwa pokir tidak bermasalah dan sah-sah saja selama pengusulannya sesuai dengan tahapan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan (Daerah, n.d.). Sedangkan kritikan terhadap hak pokir dilayangkan oleh beberapa akademisi, seperti Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada yang menilai bahwa pokir hanyalah bahasa sandi dalam korupsi dengan tujuan untuk mengelabui (Risalah, n.d.). Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Beni Kurnia Illahi, juga memberikan kritik terhadap pokir. Ia menilai bahwa pokir bertentangan dengan konstitusi, putusan pengadilan, dan banyak peraturan perundang-undangan (Illahi, 2022).

Hak pokir pada akhirnya menjadi sebuah polemik tersendiri bagi pejabat di tingkat daerah dan upaya pemberantasan korupsi. Di satu sisi, anggota-anggota DPRD membutuhkan mekanisme pokir untuk bisa mengakomodasi aspirasi, aduan, dan masalah yang diterimanya. Pokir menawarkan solusi dengan memastikan bahwa kegiatan yang diusulkan akan dilaksanakan pada tahun anggaran selanjutnya. Di sisi lain, pokir sendiri bisa dijadikan loophole untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri atau golongannya. Belum lagi, indikasi bahwa hak pokir telah melampaui kewenangan ideal dari sebuah lembaga perwakilan.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis hendak menganalisis hak pokir yang dimiliki oleh DPRD, ditinjau dari filsafat hukum, perkembangan teori lembaga perwakilan yang berkembang, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, penulis juga hendak mencari tahu bentuk terbaik bagi kelembagaan DPRD, agar dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat dengan maksimal.

 

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif dapat juga dikatakan sebagai suatu studi kepustakaan karena yang diteliti adalah peeraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak keuangan yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam penelitian hukum normatif, yang menjadi sumber data adalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Penelitian hukum normatif tidak memerlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kualitas tersendiri yang tidak bisa diganti dengan jenis data lainnya. Tujuannya adalah menganalisis penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan terkait yang dihubungkan dengan produk hukum yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini agar ditemukan penafsiran yang ideal berdasarkan perkembangan teori hukum.

 

Hasil dan Pembahasan

A. Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DPRD

Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah adanya desentralisasi fiskal. Lewat desentralisasi fiskal, terjadi pelimpahan sumber keuangan negara untuk dikelola oleh pemerintahan daerah. Tujuannya untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah, sebagai bentuk dukungan pemerintah pusat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan daya saing daerah. Desentralisasi fiskal dalam praktiknya terwujud dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD menjadi dasar bagi pemerintah daerah, untuk menjalankan roda pemerintahannya selama satu tahun.

Peran dan kedudukan DPRD dalam menyusun dan menetapkan APBD mengalami pasang surut dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Pada masa orde baru, dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, tidak dijelaskan secara rinci batas kewenangan DPRD dalam menyusun APBD. Pada masa ini, DPRD merupakan bagian dari pemerintah daerah dengan kepala daerah. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, DPRD memiliki kewenangan bersama-sama dengan kepala daerah untuk menentukan arah dan kebijakan umum APBD. Sedangkan pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, DPRD hanya memiliki kewenangan untuk membahas arah dan kebijakan umum -yang kini terwujud dalam dokumen Kebijakan Umum Anggaran- setelah diajukan oleh kepala daerah.

Sepintas kewenangan ini terlihat sama saja, namun bila kita melihat lagi konstruksi pemerintahan daerah pada era UU 22/1999, hal ini justru membuat celah terjadinya korupsi. Dalam UU 22/1999, DPRD memiliki kedudukan sebagai badan legislatif daerah. Pada masa ini, pemerintahan daerah cenderung bernuansa legislative heavy, di mana DPRD memiliki kekuasaan lebih dalam menentukan arah pembangunan daerah. DPRD mempunyai hak untuk mencalonkan kepala daerah, memilih kepala daerah, dan dapat memberhentikan kepala daerah. Dengan kewenangan ini, potensi terjadinya kolusi antara DPRD dengan kepala dearah sangat tinggi.

Baru pada masa Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU 23/2014, kedudukan DPRD beralih menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pergeseran kedudukan ini dianggap perlu dilakukan karena kekuasaan legislasi atau pembentukan undang-undang pada hakikatnya tidak pernah dilimpahkan ke daerah. Kekuasaan legislasi adalah mutlak milik badan legislatif di tingkat pusat. Pendapat senada diutarakan oleh Bagir Manan yang menilai bahwa peraturan daerah sebagai produk hukum DPRD dan kepala daerah, merupakan rumpun administratiefrechtelijke dan bukan staatrechtelijke, sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dianut Indonesia. Sehingga, pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah merupakan bagian dari penyelenggaraan administrasi negara dan tidak menghapus hubungan pusat dan daerah.

Tafsir terhadap unsur penyelenggara pemerintahan daerah, sering dijadikan alasan bagi diberikannya hak pokir kepada DPRD. Jika dilihat dari fungsinya, DPRD dalam UU 23/2014 memiliki fungsi pembentukan peraturan daerah, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran. Lebih lanjut dijelaskan, DPRD mempunyai tugas dan wewenang, yaitu:

1.       membentuk perda bersama kepala daerah;

2.       membahas dan memberikan persetujuan rancangan perda tentang APBD yang diajukan oleh kepala daerah;

3.       melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan APBD;

4.       memilih kepala daerah;

5.       mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan pemberhentian;

6.       memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;

7.       memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah;

8.       meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi;

9.       memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah; dan

10.    melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pokir secara spesifik baru diberikan melalui Permendagri 20/2018. Hak pokir termaktub dalam Pasal 54 huruf a, yang memberikan kewenangan kepada badan anggaran untuk memberikan saran dan pendapat berupa pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah, dalam mempersiapkan rancangan APBD sebelum peraturan Kepala Daerah tentang nencana kerja Pemerintah Daerah ditetapkan. Pokir kembali ditegaskan dalam Permendagri 86/2017, yang menjelaskan bahwa rancangan awal Rencana Kerja Perangkat Daerah mecakup salah satunya adalah penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD.

Pokir baru dijelaskan secara detil dalam Pasal 178 Permendagri 86/2017, yakni:

1.      Penelaahan pokok-pokok pikiran DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 huruf k merupakan kajian permasalahan pembangunan Daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan/atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.

2.      Pokok-pokok pikiran DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diselaraskan dengan sasaran dan prioritas pembangunan serta ketersediaan kapasitas riil anggaran.

3.      Risalah rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah dokumen yang tersedia sampai dengan saat rancangan awal disusun dan dokumen tahun sebelumnya yang belum ditelaah.

4.      Hasil telaahan pokok-pokok pikiran DPRD dirumuskan dalam daftar permasalahan pembangunan yang ditandatangani oleh Pimpinan DPRD.

5.      Pokok-pokok pikiran DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum Musrenbang RKPD dilaksanakan.

6.      Pokok-pokok pikiran DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dimasukkan kedalam e-planning bagi Daerah yang telah memiliki SIPD.

7.      Pokok-pokok pikiran DPRD yang disampaikan setelah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), akan dijadikan bahan masukan pada penyusunan perubahan RKPD dasar perubahan APBD tahun berjalan atau pada penyusunan RKPD tahun berikutnya.

 

Ketentuan secara teknis bagi daerah baru akan diatur kembali dalam Peraturan Tata Tertib DPRD tiap daerah. Misalnya dalam menunjang tuntutan pertanggungjawaban, daerah bisa menetapkan sistem e-pokir, seperti yang dilakukan oleh Kota Semarang melalui bappeda.semarangkota.go.id/pokir, atau pun Provinsi Kalimantan Barat melalui pokir.simdalrenbang.kalbarprov.go.id. Walau sudah memiliki situs resmi, nampaknya keinginan politik untuk memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas masih belum maksimal. Di Kota Semarang, e-pokir sudah berhenti memperbaharui data sejak tahun 2021. Sedangkan dalam e-pokir Provinsi Kalimantan Barat, mengharuskan adanya akun untuk bisa masuk ke dalam sistem dan melihat kegiatan-kegiatan yang diusulkan.

B.  Pokir sebagai Hak Budget DPRD

Jika dilihat dari sejarahnya, sistem perwakilan sebetulnya hidup berdampingan dengan sistem demokrasi. Sistem perwakilan lahir untuk menunjang berkembangnya demokrasi. Pada saat kehidupan bernegara masih sangat sederhana, masyarakat berdemokrasi dengan cara mendatangi langsung balai kota untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemimpin. Hal ini disebut dengan direct democracy. Kehadiran langsung masyarakat dimungkinkan karena ukuran negara yang masih sangat kecil yang biasa disebut dengan city state atau Polis. Dengan terus berkembangnya kehidupan bernegara, ukuran wilayah yang terus bertambah karena perang, ekspansi, pertambahan jumlah penduduk, hingga migrasi, menyebabkan demokrasi langsung menjadi semakin sulit untuk dilaksanakan. Masyarakat memiliki kehidupan di luar politik yang sudah cukup menyita perhatiannya. Dari sini lah lahir ide untuk mengirim perwakilan. Alih-alih mendatangi langsung balai kota, masyarakat menunjuk seseorang untuk menjadi wakilnya dalam menyampaikan aspirasi dan mendengar proposal kebijakan pemimpin.

Keberadaan perwakilan ini menjadi salah satu dasar dari pemikiran Montesquieu ketika mengajukan ide pemisahan kekuasaan. Menurut Montesquieu, kekuasaan itu ada untuk menampung, membiacarakan, dan memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta merumuskan peraturan, dalam sebuah lembaga bernamalegislatif’. Wakil-wakil rakyat menjadi mediator antara masyarakat dengan penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan orang banyak. Montesquieu kemudian menawarkan pembagian kekuasaan menjadi Eksekutif, Legislatif, Kekuasaan Kehakiman, dengan tujuan masing-masing cabang kekuasaan memiliki wewenang untuk saling mengawasi. Dengan demikian, kekuasaan tidak akan berada di satu tangan tunggal, tetapi justru terbagi dan dibedekan dengan pemegang kekuasaan lainnya.

J.J. Rousseau juga menuangkan pemikirannya terhadap konsep perwakilan melalui buku Du Contrat Social. Menurut Rousseau, bentuk negara yang baik adalah bentuk negara republik, karena dianggap paling mampu mengakomodasi Volonto Generaale atau kehendak umum. Ia menilai bahwa manusia hidup dalam situasi lugu/polos dan memiliki kecenderungan untuk mencintai dan menghormati dirinya sendiri. Penghormatan pada dirinya sendiri tidak akan pernah terlepas dari upaya juga memikirkan apa yang terbaik menurut dirinya dan pasti juga setiap orang memikiran yang terbaik itu untuk dirinya. Maka kehendak umum itu adalah wujud dari setiap orang berpikir tentang kebaikan-kebaikan yang perlu untuk dirinya sendiri. Kehendak Umum adalah kehendak bersama semua individu yang mengarah kepada kepentingan umum. Loyalitas pada diri sendiri itu kemudian berakhir menjadi loyalitas kepada negara secara mutlak, sehingga negara akan tahu persis apa yang terbaik bagi warga negaranya.

Pemikiran-pemikiran Montesquieu dan Rousseau terus dijadikan landasan dalam menyusun format sistem perwakilan sampai hari ini. Dalam konteks era modern saat ini, ciri dari negara demokratis bisa dilihat dari keberadaan penguatan kedaulatan rakyat melalui lembaga perwakilan. Kepada perwakilan (pemimpin eksekutif) dan lembaga-lembaga perwakilan ini, diberikan pula kewenangan untuk mengurus keuangan negara/daerahnya dalam bentuk hak budget.

Pertama kali hak budget digunakan untuk membatasi pengeluaran anggaran negara yang dilakukan oleh raja atau pemerintahan yang ada. Hak untuk membatasi pengeluaran anggaran negara sebagian besar diberikan kepada lembaga perwakilan (parlemen) seperti di Belanda, dan ada pula yang menggunakan sistem/program anggaran seperti yang dilakukan oleh Amerika pada era Presiden Johsnon yang bernama Planning, Programming, Budgeting Systems (PPBS) pada tahun 1965. Sistem atau program yang dimaksud adalah serangkaian peraturan perundang-undangan, badan independen di bawah arahan Presiden, yang bertugas menyusun rancangan anggaran negara, dan badan independen di bawah parlemen yang bertugas mengawasi pelaksanaan anggaran negara.

Hak budget juga memiliki batasan. Dalam hal ini, berkaitan erat dengan sistem pembukuan yang dianut dalam membentuk suatu rancangan anggaran negara/daerah. Karenanya, batasan dari hak budget lebih kepada teoritis ilmu ekonomi, karena dalam ilmu ekonomi, anggaran harus didasarkan pada sisi penerimaan dan pengeluaran. Menurut pengamat hukum administrasi negara, Ronny Sautma Hotma Bako dalam disertasinya yang berjudul Penggunaan Hak Budget Dalam Penetapan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara, pengertian ilmu ekonomi pada anggaran diterima oleh ilmu hukum terutama dalam kerangka penyusunan anggaran. Oleh ilmu hukum, keistimewaan dari ilmu ekonomi diterapkan pada dua lembaga negara yang berperan penting dalam perumusan anggaran, yakni lembaga pemerintah yang bertugas untuk menyusun rancangan anggaran negara, dan lembaga parlemen yang bertugas mengawasi rancangan anggaran negara.

Berdasarkan hal ini, maka lembaga pemerintah menyusun rancangan anggaran negara, baik unsur pengeluaran negara maupun penerimaan negara, sedangkan lembaga parlemen bertugas untuk mengawasi pemerintah. Bentuk pengawasan ini hanya sebatas mengawasi jumlah pengeluaran anggaran negara, sedangkan dalam hal penerimaan negara lembaga parlemen hanya mengawasi pelaksanaannya saja, karena unsur penerimaan negara sifatnya tidak pasti. Hal ini diamini dengan sebuah studi yang dilakukan oleh World Bank.

Dalam studinya pada peran lembaga perwakilan dalam perumusan anggaran negara, World Bank menemukan bahwa sekalipun parlemen diberikan kewenangan yang memadai untuk mengubah proposal anggaran, sering kali hak tersebut tidak digunakan. Dalam 99 negara yang menjadi sampel dalam penelitian, total hanya dua negara yang menyetujui anggaran dengan tingkat perubahan 3-20%. Sedangkan 97 lainnya, menyetujui anggaran dengan perubahan minor di bawah 3% atau bahkan tidak sama sekali. Hal ini disebabkan karena keterlibatan yang besar dalam proses perumusan anggaran, membutuhkan kapasitas yang besar pula untuk menganalisa anggaran. Sebanyak 72% negara di dunia tidak memiliki organisasi yang khusus merumuskan anggaran. Alasan lainnya adalah karena parlemen akan membutuhkan akses informasi aktual dan benar dari pemerintah secara konsisten.

Dalam konteks hak pokir yang dimiliki oleh DPRD, argumen yang membela keberadaan hak ini adalah posisi DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Memang jika dilihat sejak era UU 32/2004, DPRD bukan lah badan legislatif lagi seperti pada masa UU 22/1999, karenanya tidak bisa disebut sebagai lembaga legislatif (parlemen). Fungsi anggaran yang diberikan kepada DPRD juga cukup luas. Dalam Pasal 152 UU 23/2014, fungsi anggaran dijelaskan sebagaimana berikut:

1.   Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b diwujudkan dalam bentuk pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap Rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD Kabupaten/Kota yang diajukan oleh bupati/wali kota.

2.   Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:

a.     membahas KUA dan PPAS yang disusun oleh bupati/wali kota berdasarkan RKPD;

b.     membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang APBD kabupaten/kota;

c.     membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang perubahan APBD kabupaten/kota; dan

d.     membahas rancangan Perda Kabupaten/Kota tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kabupaten/kota

 

Kewenangan ini bila dibandingan dengan lembaga perwakilan di tingkat pusat, yakni DPR RI, maka sebetulnya DPRD memiliki kekuasaan yang lebih besar. DPR RI pasca Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/PUU-IX/2013, tidak lagi diberikan wewenang untuk menyetujui APBN yang terperinci dari unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, sampai jenis belanja, melainkan hanya unit organisasi, fungsi, dan program. Hal ini telah dimuat dalam Undang-Undang Majelis Permusyawarat Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) yang baru, Nomor 17 Tahun 2014.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim MK menyatakan fungsi anggaran dari DPR RI tidak terlalu jauh ikut membuat perencanaan anggaran, akan tetapi hanya memberikan persetujuan atas rencana yang diajukan oleh presiden. Hal ini dikarenakan adanya prinsip pembagian kekuasaan dan check and balance, yang mengakibatkan kewenangan DPR RI dibatasi dan ditegaskan pada fungsi pengawasan jalannya pemerintahan. Sedangkan fungsi perencanaan sudah merupakan fungsi eksekutif, yaitu merencanakan dan melaksanakan atau mengeksekusi jalannya pemerintahan. Menurut Majelis Hakim MK, pembahasan terperinci sampai satuan tiga yang memuat kegiatan dan jenis belanja kementerian atau lembaga, dapat menimbulkan persoalan konstitusional DPR RI dalam menjalankan fungsi anggaran.

Persoalan tersebut berasal dari keikutsertaan DPR RI dalam membahas rancangan APBN yang terperinci sampai pada kegiatan dan jenis belanja. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR RI sebagai lembaga perwakilan yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci tersebut. Kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh presiden sebagai perencana dan eksekutor APBN.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menjelaskan: “Menurut Mahkamah, pembahasan terinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja kementerian/lembaga dapat menimbulkan persoalan konstitusional apabila dilihat dari kewenangan konstitusional DPR sebagaimana telah diuraikan di atas. Persoalan tersebut bersumber dari keikutsertaan DPR dalam membahas RAPBN yang terperinci sampai dengan kegiatan dan jenis belanja. Hal tersebut tidak sesuai dengan fungsi dan kewenangan DPR sebagai lembaga perwakilan yang seharusnya tidak ikut menentukan perencanaan yang sifatnya sangat rinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja. Adapun kegiatan dan jenis belanja merupakan urusan penyelenggaraan pemerintahan negara yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai perencana dan pelaksana APBN.

Lebih lanjut, Majelis Hakim juga menilai kewenangan ini telah melampaui batas lembaga legislative. Menurut Mahkamah, selain itu, pembahasan terperinci sampai pada tingkat kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) dalam APBN merupakan implementasi program atas perencanaan yang merupakan wilayah kewenangan Presiden, karena pelaksanaan rincian anggaran sangat terkait dengan situasi dan kondisi serta dinamika sosial ekonomi pada saat rencana tersebut di- implementasikan. Ketika DPR melalui Badan Anggaran memiliki kewenangan untuk membahas RAPBN secara terperinci sampai dengan tingkat kegiatan dan jenis belanja maka pada saat itu DPR telah melewati kewenangannya dalam melakukan fungsi anggaran dan telah terlalu jauh memasuki pelaksanaan perencanaan anggaran yang merupakan ranah kekuasaan eksekutif. Menurut Mahkamah harus ada batasan mengenai rincian anggaran yang dapat dibahas atau diubah oleh DPR. Selain itu, proses perencanaan anggaran adalah proses kerja yang sangat spesifik dan teknis, sehingga hanya dipahami secara mendetail dan terperinci oleh masing-masing penyelenggara negara tersebut.

Kewenangan DPRD di lain hal, bisa membahas rancangan peraturan daerah tentang APBD yang rinciannya mencakup urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, sub kegiatan, akun, kelompok, jenis pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Terhadap kewenangan DPRD ini, menurut Refly Harun, pakar hukum tata negara, sebetulnya telah dibatasi melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri yang terbit tidak lama setelah putusan MK 35/PUU-IX/2013 keluar. SE tersebut mengatur mekanisme penganggaran daerah untuk mengikuti mekanisme di DPR RI, di mana pembahasan APBD tidak sampai pada tingkat satuan tiga atau mata anggaran (kegiatan dan jenis belanja).

Kembalinya mekanisme penganggaran DPRD hingga bisa membahas satuan tiga atau mata anggaran seperti hari ini, disebabkan karena tidak adanya keinginan politik untuk mempertahankan nilai tersebut. DPR RI dan pemerintah pusat telah merespons putusan MK 35/PUU-IX/2013 terhadap UU MD3 yang lama, yang pada akhirnya melahirkan UU MD3 yang baru Nomor 17 Tahun 2014. Namun, terhadap SE Mendagri yang mengatur mekanisme penganggaran daerah, tidak. Setelah UU MD3 yang lama dinyatakan tidak lagi berlaku, tidak ada tindak lanjut terhadap SE Mendagri, yang menyebabkan SE tersebut juga tidak lagi berlaku. DPR RI dan pemerintah pusat juga tidak memiliki keinginan untuk mempertahankan nilai tersebut semasa pembahasan UU Pemerintahan Daerah 23/2014. Kekuasaan DPRD dibiarkan luas begitu saja dan menjadi celah untuk terjadinya korupsi.

Kewenangan untuk membahas satuan tiga, memberikan legitimasi kepada keberadaan pokir. Pokir dianggap merupakan wujud konkrit dari aspirasi warga, karena DPRD berhak untuk mengusulkan penambahan kegiatan di APBD. Lagi-lagi, sebetulnya ide ini pernah diuji materi di MK dalam putusan Nomor 106/PUU-XIII/2015, tepatnya pada Pasal 80 huruf j UU MD3 yang memberi kewenangan bagi anggota DPR RI untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Meskipun putusan Majelis Hakim MK menyatakan Pasal 80 huruf J UU MD3 konstitusional, namun dalam pertimbangan, Majelis Hakim menjelaskan bahwa:

Pasal 80 huruf j UU 17/2014 bukanlah semata-mata merupakan kebijakan hukum terbuka yang dipilih oleh pembentuk Undang-Undang dalam mengimplementasikan tugas menyerap aspirasi rakyat melainkan sekaligus amanat kepada seluruh anggota DPR untuk sungguh-sungguh menyerap aspirasi rakyat di mana hal itu tidak terlepas dari fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan dari DPR. Ketiga fungsi dimaksud berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai lembaga eksekutif yang bertugas melaksanakan pembangunan nasional demi tercapainya tujuan nasional. Pembagian tugas antara legislatif dan eksekutif telah jelas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bahwa DPR sebagai penyerap aspirasi rakyat yang mencakup seluruh wilayah Indonesia akan membawa aspirasi tersebut ke forum dewan perwakilan rakyat sebagai lembaga perwakilan, yang kemudian diserahkan kepada lembaga eksekutif, baik tingkat pusat maupun daerah, untuk dilaksanakan. Terkait dengan dana aspirasi yang menjadi akar permasalahan dalam permohonan a quo, menurut Mahkamah adalah permasalahan implementasi dari norma Pasal 80 huruf j UU 17/2014, yang bukan merupakan permasalahan konstitusional yang menjadi kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya.

 

Lewat pertimbangan ini, Majelis Hakim MK telah menggariskan batasan pengawalan aspirasi, aduan, dan masalah yang dilakukan oleh DPR RI maupun DPRD, yakni diserahkan kepada lembaga eksekutif baik di tingkat pusat maupun daerah untuk dilaksanakan, bukan dengan langsung memasukkan aspirasi tersebut masuk ke dalam anggaran. Proses penyerahan aspirasi dari DPRD kepada pemerintah daerah perlu dilakukan, agar kepala daerah bisa menyesuaikan usulan tersebut dengan rencana pembangunan yang telah dibuatnya. Karena apa bila tidak, maka kasus ribut-ribut anggaran seperti yang pernah terjadi di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta akan kembali terulang, di mana DPRD Provinsi DKI Jakarta menganggarkan pembelian Uninteruptable Power Supply melalui mekanisme pokir, yang tidak sesuai dengan rencana kerja Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Dugaan kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp130 miliar.

 Menyerap aspirasi sudah merupakan tugas mutlak sebuah lembaga perwakilan, namun untuk bisa memasukkan kegiatan secara spesifik ke dalam dokumen anggaran, merupakan kekuasaan yang berbeda dan tidak bisa disematkan kepada lembaga rumpun legislatif. Sebetulnya hal ini mudah dipahami melalui logika pertanggungjawaban APBD secara sederhana. Setiap tahunnya, kepala daerah harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan APBD melalui dokumen Pertanggungjawaban Penggunaan APBD. Akan janggal rasanya, jika kepala daerah juga harus dituntut mepertanggungjawabkan kegiatan yang bukan usulannya. Apa bila di kemudian hari ditemukan ada masalah terkait kegiatan yang diusulkan melalui pokir, maka kepala daerah bisa ikut terseret. APBD seharusnya menjadi cerminan utuh dan khusus dari visi dan misi kepala daerah, dengan terus memperhatikan masukan dari DPRD sebagai perpanjangan suara rakyat.

Ketidakseragaman praktik lembaga perwakilan tingkat pusat dan daerah merupakan akibat dari bentuk yang dipilih dalam menjalankan otonomi daerah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, DPRD pernah menjadi badan legislatif daerah sebelum kemudian menjadi unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Terhadap hal ini, Marbun memberikan komentar yang menyatakan bahwa:

 

Adapun pembentukan, pertumbuhan, dan pergeseran dari kedudukanlegislatif daerahselama ini selalu dikaitkan dengan Undang-Undang dasar dan produk perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Perubahan ketentuan kedudukan DPRD dari suatu peraturan ke peraturan lainnya sangat signifikan dan selalu merupakan perubahan total. Setiap perubahan undang-undang terbaru tentang pemerintahan daerah, biasanya mengganti hampir semua ketentuan pokok yang diatur sebelumnya. Anehnya, undang-undang terbaru selanjutnya, biasanya kembali atau mendekati isi ketentuan yang lama.

 

Perubahan dan eksperimen yang dilakukan dalam mencari format terbaik otonomi daerah ini, menyebabkan hak pokir yang dimiliki oleh DPRD menjadi sebuah paradoks. Di satu sisi, pokir legal karena DPRD merupakan bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah, karenanya bisa ikut membahas satuan tiga APBD. Di sisi lain, tafsir MK pada praktik yang sama untuk DPR RI berkata lain, karena tidak sesuai dengan semangat pemisahan kekuasaan. Di satu sisi, kita menyadari bahwa lembaga perwakilan tidak bisa ikut membahas satuan tiga anggaran karena merupakan kewenangan eksekutif. Namun di sisi lain juga, lembaga perwakilan tidak bisa serta-merta menerima suatu kegiatan hanya karena program yang diajukan terlihat baik. DPRD sering kali juga membutuhkan satuan tiga untuk menilai program yang diajukan.

 

Kesimpulan

Ketentuan secara teknis bagi daerah baru akan diatur kembali dalam Peraturan Tata Tertib DPRD tiap daerah. Misalnya dalam menunjang tuntutan pertanggungjawaban, daerah bisa menetapkan sistem e-pokir, seperti yang dilakukan oleh Kota Semarang melalui bappeda.semarangkota.go.id/pokir, atau pun Provinsi Kalimantan Barat melalui pokir.simdalrenbang.kalbarprov.go.id. Walau sudah memiliki situs resmi, nampaknya keinginan politik untuk memenuhi asas transparansi dan akuntabilitas masih belum maksimal. Di Kota Semarang, e-pokir sudah berhenti memperbaharui data sejak tahun 2021. Sedangkan dalam e-pokir Provinsi Kalimantan Barat, mengharuskan adanya akun untuk bisa masuk ke dalam sistem dan melihat kegiatan-kegiatan yang diusulkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


BIBLIOGRAFI

 

Peraturan Perundang-Undangan

 

Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

 

Undang-Undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

 

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

 

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

 

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 86 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian Dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah

         Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 35/PUU-IX/2013

         Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XIII/2015

 

Rick Stapenhurst, Legislative Oversight and Budgeting: A World Perspective, (Washington DC: World Bank, 2012)

 

Osbin Samosir, Sistem Perwakilan Politik di Era Modern, (Jakarta: UKI Press, 2021)

 

Rahyunir Rauf, Asas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, (Riau: Zanafa Publishing, 2018)

 

Indra Muchlis Adnan, Kedudukan DPRD dan Kepala Daerah Pasca Reformasi di Indonesia, (DIY: Trussmedia Grafika, 2016)

 

Anggi Rahajeng, Perencanaan Penganggaran Keuangan Daerah, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2016)

 

Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Depok: RajaGrafindo Persada, 2004)

 

Ronny Sautma Hotma Bako, Penggunaan Hak Budget Dalam Penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Studi Kasus Fungsi Anggaran Dalam Rangka Proses Demokratisasi di Indonesia), Disertasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2003)

 

Wulan Pri Handini, Problematika Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dprd) di antara Kekuasaan Legislatif Dan Ekesekutif, dalam Jurnal Majalah Hukum Nasional No. 1, 2019

 

Sunanda Haizel Fitri, Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, dalam Jurnal Online Mahasiswa Universitas Riau No. 1, 2019

 

Mei Susanto, Eksistensi Hak Budget DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Jurnal Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Vol. 3, No. 1, 2016

 

Muhammad Aminudin, APBD-P Tahun 2015 Ini Berujung Korupsi Massal DPRD Kota Malang, news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4200617/apbd-p-tahun-2015-ini-berujung-korupsi-massal-dprd-kota-malang, diakses pada 20 Juni 2022

 

CNN Indonesia, Ketua DPRD Sulbar dan Tiga Wakilnya Tersangka Korupsi APBD, cnnindonesia.com/nasional/20171005074430-12-246234/ketua-dprd-sulbar-dan-tiga-wakilnya-tersangka-korupsi-apbd, diakses pada 20 Juni 2022

 

Ramdani, Ahok Ungkap Dana Pokir Rp40 T, mediaindonesia.com/megapolitan/1482/ahok-ungkap-dana-pokir-rp40-t, diakses pada 20 Juni 2022

 

Detik News, Dirjen Keuangan Daerah: Pokir Bisa, tapi Tidak Boleh Naik di Tengah Jalan APBD, news.detik.com/berita/d-2876792/dirjen-keuangan-daerah-pokir-bisa-tapi-tidak-boleh-naik-di-tengah-jalan-apbd, diakses pada 20 Juni 2022

 

Dian Fath Risalah, Pengamat: 'Uang Pokir' adalah Istilah untuk Kelabui KPK, republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/10/19/oy2qa1409-pengamat-uang-pokir-adalah-istilah-untuk-kelabui-kpk, diakses pada 20 Juni 2022

 

Beni Kurnia Illahi, Bancakan Korupsi Daerah Bernama Pokir, geotimes.id/opini/bancakan-korupsi-daerah-bernama-pokir, diakses pada 20 Juni 2022

 

Ayunda Windyastuti Savitri, Pengamat Tegaskan DPRD Tak Punya Wewenang Mengajukan Anggaran, news.detik.com/berita/d-2852573/pengamat-tegaskan-dprd-tak-punya-wewenang-mengajukan-anggaran, diakses pada 20 Juni 2022

 

Arsito Hidayatullah, Refly Harun: "Satuan Tiga" APBD adalah Kewenangan Eksekutif, suara.com/news/2015/03/04/170100/refly-harun-satuan-tiga-apbd-adalah-kewenangan-eksekutif, diakses pada 20 Juni 2022

 

Nur Khafifah, Ahok Ungkap Awal Munculnya UPS yang Melenyapkan Anggaran Truk Sampah, news.detik.com/berita/d-3134892/ahok-ungkap-awal-munculnya-ups-yang-melenyapkan-anggaran-truk-sampah, diakses pada 20 Juni 2022

        

Copyright holder:

Federico Timotius Tan (2022)

 

First publication right:

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia

 

This article is licensed under: